• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kohesi dan linieritas wacana dalam karangan fiksi siswa MAN Tempursari, Mantingan, Ngawi 56

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kohesi dan linieritas wacana dalam karangan fiksi siswa MAN Tempursari, Mantingan, Ngawi 56"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

KOHESI DAN LINIERITAS W ACANA DALAM

KARANGAN FIKSI SISW A M AN TEM PURSARI,

M ANTINGAN, NGAW I

TESIS

Untuk M emenuhi Sebagian Persyaratan M encapai Derajat M agister Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia

Rina Kurniaw at i

S 840908028

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS M ARET

SURAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sistem arti dan bentuk dalam merealisasikan arti. Pada prinsipnya, bahasa terwujud untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, bahasa terstruktur menurut kebutuhan manusia pada bahasa. Dengan kata lain, struktur bahasa ditentukan oleh fungsi yang dilakukan bahasa atau fungsi yang disampaikan penutur melalui bahasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat. Menurut pendapat Halliday (1985 : 13) "Language is functional in the sense that is designed to account for how language is use". Hal ini berarti

bahwa pemakaian bahasa sebagai sistem arti dan bentuk tergantung pada konteks pemakaian bahasa.

Konteks sangat mempengaruhi realisasi ragam bentuk bahasa dalam suatu teks. Konteks direalisasikan dalam bentuk ekspresi tipikal melalui realisasi pilihan kosa- kata dan struktur - strukturnya. Dalam hal ini Martin dan Eggins (1994 : 15-18) menyatakan bahwa : "Each text appears to carry with it some influences from the context in which it was produced. Context, we could say, gets into text by

influencing the words and structure producers use". Dengan kata lain fungsi dan

(3)

kalimat tersebut terikat satu sama lain membentuk kesatuan makna. Dengan kata lain terdapat suatu sistem yang menghubungkan makna antara satu kalimat dengan kalimat lainnya sehingga menjadi sebuah kalimat yang padu dan utuh yang mempunyai fungsi sama dalam sebuah penggunaan kosakata dan kalimat tertentu. Kohesi bersifat semantis, konsep tersebut mengacu pada hubungan makna yang terdapat di dalam teks dan yang menentukannya sebagai teks. Kohesi sangat berbeda dengan struktur informasi dalam suatu teks. Kohesi bersifat potensial untuk menghubungkan suatu elemen dengan elemen lainnya dalam suatu teks. Oleh karena itu kohesi merupakan bagian komponen teks dalam sitem linguistik (Halliday dan Hasan, 1976 : 4).

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan itu kohesi adalah 'organisasi sintaktik. Organisasi sintaktik ini adalah merupakan wadah ayat-ayat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini bermaksud bahwa kohesi adalah hubungan di antara ayat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun dari segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan kohesi yang baik, seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik. Hal itu juga dijelaskan oleh Cook (1989: 127), yaitu sebagai berikut.

(4)

Kohesi dalam bahasa mengajarkan asumsi tersembunyi antara bahasa pertama dengan bahasa kedua, dengan kata lain melalui terjemahan secara langsung. Sekarangpun telah dilaksanakan riset mengenai kohesi, namun ada suatu hambatan untuk memberi keunggulan dalam pendidikan bahasa.

Dalam kohesi, kaedah-kaedah yang digunakan adalah berdasarkan penyampaian informasi lama dan informasi baru. Kaedah-kaedah itu adalah seperti kaedah perujukan, kaedah penggantian, kaedah pengguguran, kaedah konjungsi dan kohesi leksikal. Wacana juga dicirikan oleh kesinambungan informasi yang diartikan sebagai kesatuan makna. Kesatuan makna dalam wacana ini pula dapat dilihat dari segi makna logika dan makna kohesi.

Kohesi merupakan konsep semantik yang juga merujuk kepada perkaitan kebahasaan yang didapati pada suatu ujaran yang membentuk wacana. Manakala menurut Halliday dan Hasan (1976: 5) bahwa kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan. Hal ini berarti bahwa hubungan makna baik makna leksikal maupun makna gramatikal, perlu diwujudkan secara terpadu dalam kesatuan yang membentuk teks. Halliday dan Hasan (1976: 7) menjelaskan konsep kohesi sebagai berikut.

(5)

meaning is put into wording and wording into sound or writing."

Halliday dan Hasan (1976: 7) telah mencoba melihat kohesi makna itu dari dua sudut, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kedua gramatikal ini terdapat dalam sesuatu kesatuan teks. Kohesi ini juga memperlihatkan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks dengan cara menghubungkan makna yang terkandung di dalam unsur. Kaedah kohesi ini lebih dikenali dalam istilah perujukan, penggantian, pengguguran, konjungsi dan gramatikal leksikal. (Efri Yoni Baikoen, 2008: 1).

Moeliono (1992: 34) suatu kalimat dikatakan sempurna apabila dalam kalimat tersebut ada dua unsur kohesi dan koherensi. Kohesi merujuk ke perpautan bentuk, sedangkan koherensi pada perpautan makna. Pendapat ini diperjelas oleh Tarigan (1990: 96-97) suatu kalimat dikatakan sempurna apabila dalam kalimat merupakan organisasi sintaksis, sebagai tempat kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan.

(6)

terhadap penguasaan kosa kata anak (siswa SMA) dalam berbahasa. Pentingnya penguasaan dan pemakaian bahasa secara tertulis yang diwujudkan dalam karangan akan melatih siswa SMA sedikit demi sedikit dapat mempergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selain kohesi, karangan yang baik adalah karangan yang memiliki sifat linier. Linieritas adalah suatu urutan yang dikenakan pada bahasa (Robins, 1992: 394). Kemudian, Brown dan Yule (1996: 124) berpendapat bahwa mengurutkan kata-kata menjadi kalimat dan mengurutkan kalimat-kalimat menjadi teks merupakan masalah linierisasi. Sifat linier merupakan masalah tersendiri bagi penulisnya. Artinya, penulis terkadang tidak peduli terhadap kelinieran wacana paragraf yang telah ditulisnya.

(7)

Penulis akan selalu menghadapi masalah linierisasi. Untuk itu, penulis harus terlebih dahulu menentukan titik awal penulisannya. Titik awal atau titik tolak ini disebut juga topik, yaitu hal yang dibicarakan dalam wacana atau topik pokok pikiran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibatasi sejauh mana keteraturan urutan bagian-bagian yang utuh dan terpadu dalam sebuah wacana dapat diartikan linieritas. Kemudian, pengungkapan kalimat yang berputar-putar, meloncat-loncat, dan menyimpang dari topik dalam sebuah wacana bersifat tidak linier. Sifat yang tidak linier dapat dikatakan bahwa alam pikiranya bersifat siklis, tidak staight to the point, dan melingkar ( Dick Hartoko, 1992: 126).

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk peranti kohesi yang terdapat dalam karangan fiksi. 2. Bagaimanakah tingkat linieritas wacana pada karangan fiksi?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendiskripsikan dan menjelaskan bentuk peranti kohesi yang terdapat dalam karangan fiksi.

2. Mendiskripsikan dan menjelaskan linieritas wacana pada karangan fiksi.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis

(8)

2. Secara Praktis

a. Bagi siswa, khususnya siswa setingkat SMA dapat memahami kohesi dan linieritas dalam bahasa secara praktis sesuai dengan fungsinya.

b. Bagi guru, khususnya guru bahasa Indonesia sebagai tambahan pengetahuan dalam memahami kohesi leksikal, gramatikal dan linieritas dalam bahasa tulis.

(9)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori

1. Pengertian Teks, Konteks, dan Wacana

Cook (1994:23) berpendapat bahwa hal yang sentral dalam pengertian wacana adalah teks dan konteks. Istilah, konteks dan teks, diletakkan bersama seperti ini, mengingatkan bahwa dua hal ini merupakan aspek dari proses yang sama. Ada teks dan teks lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu, adalah konteks. Namun, pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata (non-verbal) lainnya-keseluruhan lingkungan teks itu.

a. Teks

Ada beberapa definisi teks yang dikemukakan oleh ahli-ahli bahasa, antara lain oleh Halliday dan Hasan (dalam Mulyana, 2005:131) yang menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melaksanakan tugasnya dalam konteks situasi tertentu pula. Ricoeur (dalam Alex Sobur, 2004:53) menyatakan bahwa teks adalah wacana (berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan sehingga nampak adanya hubungan antara tulisan dengan teks.

(10)

Haliday dan Hassan (1976: 1) berpendapat bahwa :

A text is a unit of language in use. It is not a grammatical unit, like a clause or sentence; and it is not defined by its size. A text is sometimes envisaged to be some kind of super-sentence, a grammatical unit that is larger than a sentence but it is related to a sentence in the same way that a sentence is related to a clause, a clause to a group and so on.

Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunaannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit gramatikal yang lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu sebuah teks dianggap sebagai unit semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan bentuk maknanya. Dengan demikian teks itu dalam realisasinya berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah kalimat.

(11)

melengkapi dalam proses sosial non kebahasaan. Lebih lanjut Riyadi Santoso menyatakan bahwa bahasa selalu muncul dalam bentuk teks dan selalu dikelilingi oleh lingkungannya, baik fisik maupun non fisik yang secara langsung mendukung keberadaan suatu teks; atau dengan kata lain teks selalu dalam konteksnya dan membawakan suatu fungsi sosial tertentu.

Crystal dalam Nunan (1993:6) menuliskan bahwa teks adalah wacana dalam bentuk lisan, tulisan, atau tanda yang diidentifikasi untuk tujuan analisis. Bentuk teks dapat berupa percakapan, poster,. Dengan demikian, pengertian teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas untuk mengekspresikan fungsi atau makna sosial dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural.

b. Konteks

Konteks adalah konsep yang penting dalam analisis wacana. Menurut Nunan (1993:7-8) konteks mengacu pada situasi yang memunculkan suatu wacana. Nunan membedakan konteks dalam dua jenis. Pertama, konteks linguistik yaitu bahasa yang melingkupi atau menyertai wacana dalam analisis. Kedua adalah non-linguistik di mana wacana terjadi. Konteks non-lingistik memasukkan jenis kejadian komunikatif (misal: ukuran ruangan, penataan perabot), partisipan dan hubungan antar partisipan dan latar belakang pengetahuan serta asumsi dalam kejadian komunikatif.

(12)

menerima pesan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor di luar studi kebahasaan. Lebih lanjut Cook menyatakan bahwa konteks adalah semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya.

Konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab atau alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatar belakangi peristiwa tuturan itu (Mulyana, 2005:21).

Sumarlam (2003:47) menyatakan bahwa konteks wacana adalah aspek-aspek dalam (internal) wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Konteks wacana dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa (ekstra linguistic context) disebut dengan konteks situasi dan konteks saja (Molinowski dalam

Halliday dan Hasan, 1992:8).

(13)

1) (Setting and scene) latar dan suasana. Latar mengacu pada waktu dan tempat, misalnya suasana nyata di mana tuturan terjadi. Suasana mengacu pada keadaan psikologi yang abstrak (formal, informal), atau definisi budaya dari suatu kejadian. Dalam kedaan tertentu, partisipan bebas untuk mengubah situasi.

2) (Participants) peserta tuturan, termasuk kombinasi dari pembicara-pendengar, pemberi tutur-yang diberi tuturan, atau pengirim dan penerima. Mereka umumnya memenuhi aturan tertentu. Misalnya dalam percakapan melalui telepon, percakapan tersebut melibatkan pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver).

3) (Ends) hasil, mengacu pada harapan yang dihasilkan dari pertukaran sebagaimana tujuan pribadi dari partisipan yang mencari penyelesaian pada kejadian tertentu. Misalnya dalam persidangan di pengadilan, partisipan dalam persidangan tersebut (saksi, jaksa, pembela, dan hakim) memiliki tujuan yang berbeda-beda dari tuturan yang mereka kemukakan. 4) (Act sequence) pesan/amanat mengacu pada bentuk dan muatan aktual

dari yang dikatakan: kata-kata yang tepat untuk digunakan, bagaimana kata-kata itu digunakan, dan hubungan dari apa yang dikatakan, dan hubungan dari apa yang dikatakan pad topik aktual yang dipegang. Perilku tutur dalam perkuliahan akan berbeda dengan perilaku tutur dalam perdagangan.

(14)

Kunci juga bisa ditandai dengan perilaku non verbal, misalnya gerak tubuh. Seorang pendengar akan lebih menekankan perhatiannya pada kunci daripada muatan aktualnya.

6) (Instrumentalities) sarana mengacu pada pilihan saluran atau media, misalnya lisan, tertulis, atau telegrafik, dan pada bentuk aktual dari tutur yang digunakan seperti bahasa, dialek, kode, atau register yang dipilih. 7) (Norms of interaction and interpretation) norma-norma interaksi dan

interpretasi mengacu pada tingkah laku tertentu dan milik yang mengena untuk pembicaraan dan juga mengetahui bagaimana tingkah laku tersebut mungkin dilihat oleh seorang yang tidak berbagi dengannya, misalnya keras volume suara, ketenangan.

8) (Genre) jenis mengacu pada jenis pembatas yang jelas dari tuturan, seperti puisi, peribahasa, doa, perkuliahan, dan editorial.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks situasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan banyak unsur yang mempengaruhinya (Halliday dan Hasan , 1994: 13). Selanjutnya, Brown dan Yule (1996: 12) berpendapat bahwa teks adalah rekaman verbal tindak komunikasi. Meskipun teks dalam tulis berupa rentetan kata-kata dan kalimat-kalimat, tetapi sebenarnya yang penting dicermati adalah teks itu terdiri atas makna-makna.

(15)

berbentuk tulisan, misalnya skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel, dan karangan. Menurut Van Dijk (dalam Hamid, 1988: 21) wacana adalah kesatuan beberapa kalimat yang satu dengan yang lain terikat dengan erat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Stubbs (1983: 1) bahwa wacana adalah pengaturan bahasa di atas kalimat atau klusa. Artinya,wacana itu lebih luas dan lebih besar dari kalimat, seperti percakapan dan teks tertulis.

Wacana dapat diangkat sebagai istilah linguistik yang berupa satuan lingual yang paling besar. Ini berarti analisis wacana (discourse analysis) merupakan cabang linguistik yang mengkaji satuan lingual di atas kalimat. Wacana dapat dianalisis dari segi internal dan eksternal (Praptomo Baryadi, 2002: 3). Analisis wacana dari segi internal meliputi jenis wacana, struktur yang membangun wacana, dan hubungan antarkalimat yang membentuk wacana. Analisis wacana dari segi eksternal yang dianalisis meliputi hubungan wacana dengan ekstra lingual, yaitu yang berkaitan dengan pembicara atau penulis, hal yang diinformasikan, dari penyimak atau pembaca. Dengan demikian, analisis wacana merupakan analisis bahasa dalam penggunaannya.

(16)

meliputi: pembicara, pendengar, situasi, pengetahuan akan dunia, pengalaman masa lalu, topik pembicaraan, waktu, saluran, dan cara penyampaiannya.

Hasan Alwi (1999: 48-486) mencoba mendiskripsikan penanda kohesi di dalam bahasa Indonesia yang meliputi: (1) hubungan sebab-akibat, (2) hubungan unsur-unsur yang mengungkapkan pertentangan, pengutamaan, perkecualian, konsesi, dan tujuan (3) pengulangan kata atau frase, (4) kata-kata yang berkoreferensi dan (5) hubungan leksikal. Kebanyakan wacana menunjukkan bentuk lahir yang kohesif dengan pemakaian penanda kohesif tersebut. Namun, yang penting suatu wacana yang kohesif yang menyiratkan koherensi, yaitu hubungan semantis yang mendasari wacana itu. Jadi, yang paling penting adalah suatu wacana memiliki hubungan yang kohesif sekaligus koheren.

c. Wacana

Istilah wacana telah dibahas oleh banyak ahli bahasa. Cook (1994:24) mendefinisikan wacana sebagai kelenturan penggunaan bahasa, pengambilan makna dalam konteks untuk pemakaiannya, dan dirasa bertujuan, bermakna, dan berkaitan.

(17)

menginterpretasikan hubungan antara regularitas dan makna serta tujuan yang diekspresikan melalui wacana.

Firth (dalam Alex Sobur, 2004:10) menyatakan bahwa wacana adalah bahasa dan tuturan yang ada dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh sehingga makna suatu bahasa berada pada rangkaian konteks dan situasi. Dapat diartikan bahwa dalam wacana terdapat hubungan antara konteks-konteks yang terdapat di dalam teks.

Wacana dimaknai sebagai teks dalam konteks bersama-sama. Titik perhatian analisis wacana adalah mengambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi (Eriyanto, 2001:9). Alex Sobur berpendapat bahwa wacana adalah semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Johnstone (2002:2) menyatakan bahwa para penganalisis wacana biasanya berarti kejadian aktual dari suatu komunikasi dalam media bahasa, Komunikasi sendiri dapat melibatkan media lain selain bahasa.

Pengertian wacana menurut Carlson dalam Tarigan, 1993:23-24) adalah rentangan ujaran yang berkesinambungan (urutan kalimat-kalimat individual). Wacana tidak hanya terdiri dari untaian ujaran atau kalimat yang secara gramatikal teratur rapi.

(18)

bentuk sosial yang berhubungan dengan sistem tanda dalam produksi teks yang selanjutnya memproduksi kembali atau mengubah rangkaian makna dan nilai yang memeperbaiki suatu budaya.

Dari berbagai pengertian yang telah dinyatakan oleh para ahli bahasa, wacana adalah teks dan konteks yang dimaknai secara bersama-sama. Hal ini seperti apa yang dinyatakan oleh Eriyanto. Teks dan konteks dapat menggambarkan suatu proses komunikasi. Dapat dikatakan bahwa suatu teks muncul karena adanya konteks situasi dan konteks kultural di dalamnya. Dengan demikian kepaduan suatu wacana dapat dikaji dari kedua unsur tersebut.

2. Analisis Wacana

Mohammad A. S. Hikam (dalam Eriyanto, 2001:4) membahas bahwa ada tiga perbedaan paradigma analisis wacana dalam pandangannya mengenai bahasa. Pertama, bahasa dilihat sebagai jembatan antara menusia dengan objek di luar dirinya. Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas sehingga orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.

(19)

kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga sering disebut sebagai pandangan kritis. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam bentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun startegi-strategi di dalamnya. Dalam pandangan ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana kategori ini disebut sebagai analisis kritis (Critikal Discourse Analysis/CDA).

(20)

Lebih lanjut Eriyanto mendeskripsikan bahwa ada beberapa konteks yang penting yang berpengaruh terhadap produksi wacana.

a. Partisipan wacana

Partisipan wacana adalah latar siapa yang memproduksi wacana. Produksi wacana yang dihasilkan oleh partisipan wacana dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, dan agama.

b. Seting sosial tertentu

Konteks yang memepengaruhi setting sosial tertentu terhadap produksi wacana adalah tempat, waktu, posisi pembicara (penutur) dan pendengar (mitra tutur), dan lingkungan fisik. Untuk mengkaji suatu wacana, faktor konteks situasi dan konteks kultural menjadi bagian yang kuat dalam melatar belakangi suatu teks. Suatu tuturan akan memiliki makna dalam suatu komunikasi apabila partisipan dalam tuturan dapat memahami konteks dari apa yang dituturkan. Seperti apa yang dinyatakan oleh Eriyanto bahwa bahasa memasukkan konteks, karena tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya (Eriyanto,2001:9).

(21)

Semantik adalah kerangka analisis wacana. Van Dijk (dalam Alex Sobur (2004:78) memberikan pengertian semantik sebagai makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks (makna yang eksplisit ataupun implisit). Semantik mendefinisikan bagian yang penting dari stuktur wacana dan menggiring kearah sisi tertentu dari suatu peristiwa.

Analisis wacana melihat bahasa dalam teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu komunikasi. Bukan hanya susunan struktur kalimat saja yang menjadi perhatian, namun makna dari suatu kalimat juga unsur yang penting dalam analisis wacana. Dalam analisis wacana, penafsiran makna tidak hanya dilakukan pada pernyataan yang nyata dalam teks, namun juga harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Konteks situasi yang melatarbelakangi terjadinya suatu bentuk komunikasi sangat terkait dalam proses analisis wacana.

3. Konteks Situasi

(22)

bahasa yang berperan, dan siapa yang terlibat juga dipertimbangkan (Halliday, Hasan, 1976:20).

Dalam studi wacana, aspek-aspek kebahasaan sering disebut dengan istilah aspek internal dan aspek situasi disebut aspek eksternal. Halliday dan Hasan (1970:20) juga menambahkan bahwa ketika membuat suatu penilaian terhadap suatu wacana, peneliti bahasa terikat untuk membuat observasi pada dua perhatian. Yang pertama adalah hubungan dalam bahasa, yaitu pola makna yang direalisasikan oleh tata bahasa dan kosa-kata. Kedua, hubungan antara bahasa dan fitur-fitur yang relevan dengan materi pembicara (penutur) dan pendengar (mitra tutur) serta lingkungan sosial dan ideologi penutur dan mitra tutur. Syafi’ie (dalam Alex Sobur, 2004:57) mendefinisikan konteks sosial (social context) adalah realisasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antar pembicara (penutur) dengan pendengar.

Hamid Hasan Lubis (1993:12) menyatakan bahwa jika terjadinya kalimat atau wacana mempertimbangkan faktor-faktor non-linguitik, maka penganalisisan haruslah mempertimbangkan hal-hal tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi, situasi, pembicara, pendengar, topik pembicaraan, dan yang lain yang semestinya dianalisis agar kesimpulan lahirlah saja, namun juga kesimpulan batiniah.

(23)

a. Prinsip penafsiran personal, yaitu berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana.

b. Prinsip penafsiran lokasional, yaitu berkenaan dengan tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana.

c. Prinsip penafsiran temporal, berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu.

d. Prinsip analogi, digunakan sebagai dasar baik oleh penutur maupun mitra tutur untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau keseluruhan) sebuah wacana.

Lebih lanjut menurut Sumarlam (2003:47), di samping pemahaman mengenai konteks, inferensi juga merupakan proses yang sangat penting dalam memahami wacana. Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Pemahaman tersebut dapat dilakukan berdasarkan konteks sosial dan budaya serta pengetahuan tentang dunia (knowledge of world).

Vand Dijk (1985:6) menyatakan bahwa wacana khususnya dalam media terdapat fitur-fitur konteks, yaitu dalam produksi dan resepsi sebagaimana dalam situasi dan budaya. Kebanyakan hasil karya media massa memasukkan dimensi sosial dalam proses komunikasi.

(24)

(problem of meaning). Dalam masalah makna, hal yang penting untuk diketahui adalah bagaimana seseorang memahami pesan. Dalam hal ini, informasi apa yang ada dalam suatu struktur pernyataan, ada sesuatu yang membuat orang lain dalam makna pernyataan tersebut.

Kedua, analisis wacana adalah masalah tindakan, atau mengetahui bagaimana mendapatkan sesuatu yang dilakukan melalui percakapan. Kita memiliki pilihan ketika kita ingin melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, atau menyapa. Di sinilah seseorang menentukan bagaimana seseorang menyatakan sesuatu.

Dalam mengkaji suatu wacana, pemahaman terhadap wacana tersebut perlu mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu hubungan dalam bahasa, yaitu pola makna yang direalisasikan oleh tata bahasa kosakata. Selain hubungan dalam bahasa, antara bahasa dan fitur-fitur yang relevan dengan materi pembicara (penutur) dan pendengar (mitra tutur) serta lingkungan soaial dan ideologi penutur dan mitra tutur untuk diperhatikan seperti apa yang dinyatakan oleh Halliday dan Hasan (1976:20).

(25)

wacana yang terikat peristiwa (urutan ekspresi linguistik yang membentuk keseluruhan yang padu (uniter) dari teks terstruktur.

Wacana dikatakan pula sebagai salah satu istilah umum dalam contoh pemakaian bahasa, yakni bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi (Richards, dkk, 1985: 45). Tata bahasa, dikatakannya mengacu pada kaidah-kaidah pemakaian bahasa, pada bentuk unit-unit gramatikal, seperti; frase, klausa, dan kalimat, sedangkan wacana mengacu pada unit-unit bahasa yang lebih besar, seperti paragraf-paragraf, percakapan-percakapan, dan wawancara-wawancara. Struktur wacana sebagai suatu organisasi tulisan harus ada dalam sebuah wacana tulis, seperti karangan yang menjadi penelitian ini.

4. Kohesi dalam Bahasa Indonesia

(26)

senada dikemukakan oleh Richard, Platt, dan weber (1985: 45) bahwa kohesi adalah hubungan gramatikal dan atau leksikal antarunsur dalam sebuah teks. Pendapat senada dikemukakan pula oleh Richards, Platt, dan Weber (1985: 45) bahwa kohesi adalah hubungan gramatikal dan atau leksikal antarunsur dalam sebuah teks. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Hasan Alwi dkk. (1993: 481), yang menegaskan bahwa kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren.

Pendapat–pendapat di atas memberikan gambaran yang makin jelas mengenai konsep koherensi dan kohesi. Koherensi berbeda dari kohesi; yang satu mengenai hubungan antarkalimat menurut nalar, yang lain, menyangkut hubungan pengungkapan hubungan itu secara verbal. Kohesi membuat karangan menjadi padu dan konsisten sehingga mudah dipahami oleh pembaca.

Halliday dan Hasan (1976: 5-6) mendeskripsikan secara lengakap jenis peranti kohesi yang terdapat dalam bahasa Inggris. Seacara garis besar peranti kohesi itu meliputi lima macam dan yang oleh penulisnya kemudian dikelompokkan menjadi empat kategori. Peranti kohesi itu adalah (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan (substitution) (3) penghilangan (ellipsis), (4) konjungsi (conjungtion), dan (5) kohesi leksikal (lexikal cohesion).

(27)

Uraian di dalam tulisan ini dibatasi pada hubungan formal sebab- sebagaimana juga ditandaskan Cook-yang di bicarakan berkenaan dengan teks. Hubungan formal antarkalimat dan antarklausa dikenal sebagai peranti kohesi (cohesion device). Lebih lanjut Cook menjabarkan peranti kohesi–dalam bahasa Inggris –

tersebut atas (1) bentuk verba (verb form), (2) kesejajaran atau paralelisme (paralelism), (3) ekspresi pengacuan (referring ekspresssions), yang dibedakan atas anafora dan katafora (4) repetisi dan rantai leksikal (repetition and lexal chains), ( 5) penyulihan (substitution), (6) penghilangan (elipsis), dan (7)

konjungsi (conjungtion).

Apabila dibandingkan secara cermat pendapat Cook di atas tampak banyak persamaannya dengan pendapat Halliday dan Hasan. Perbedaan lebih pada penggunaan istilah; misalnya, dalam hal penggunaan istilah hubungan formal dan hubungan kontekstul. Hubungan formal pengertiannya dapat disejajarkan dengan hubungan endoforis sebagaimana yang dikemukakan Halliday dan Hasan; sedangkan hubungan kontekstual dapat disejajarkan dengan hubungan eksoforis yang bersifat situasional. Perbedaan antar kedua pendapat di atas, tampak pada pengklasifikasian jenis peranti kohesi. Cook memasukkan bentuk verba dan kesejajaran sebagai bentuk peranti kohesi tersendiri.

(28)

kohesi, namun kohesi juga menyiratkan hubungan semantis yang mendasari wacana itu.

Hal ini berarti pula bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana baik dalam strata gramatikal maupun strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976:26). Kohesi adalah hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalam teks dan unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasi teks, pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik (Moeliono, 1989: 343) dalam Sumarlam dkk (2005: 173). Hubungan kohesif sering ditandai dengan pemarkah gramatikal (kohesi gramatikal) maupun pemarkah leksikal (kohesi leksikal). Historically the "tie that binds" the group has been cohesion, which has been defined as the close knittedness or attraction of members for the group

(Cartwright, 1968).

5. Kohesi Gramatikal

(29)

struktur lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana; sedangkan segi makna atau struktur batin wacana disebut aspek leksikal wacana.

Halliday dan Hasan (dalam Sumarlam, 2003: 23) merinci aspek gramatikal wacana meliputi: (1) pengacuan, (2) penyulihan, (3) pelesapan, (4) perangkaian. Dalam hal ini akan kami jelaskan mengenai aspek aspek gramatikal secara rinci sehingga makna kalimat tersebut menjadi jelas dan dapat dipahami.

a. Pengacuan

Pengacuan atau referensi adalah jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (atau suatu acauan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya, pengacuan dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.

(30)

mengikutinya, atau mengikuti anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Jenis kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu (1) pengacuan persona (saya, kami, kita, dia, -nya, mereka), (2) pengacuan demonstratif (waktu: kini, sekarang, yang

lalu, yang akan datang; tempat: sini, ini, itu, sana), dan (3) pengacuan komparatif

(seperti, tidak berbeda dengan, sama dengan).

b. Penyulihan

Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal.

(1) Substitusi nominal

Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang berkategori nomina, dalam hal ini bila terdapat satuan lingual yamg berkategori nomina yang dapat digantikan dengan satuan lingual lain yang juga berkategori sama, maka substitusi itu disebut substitusi nominal. Contoh kata derajat, tingkat diganti dengan pangkat, kata gelar diganti titel. Agar lebih jelas perhatikan contoh berikut.

(31)

Titel kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa melalui sastranya.

(b) Hanya saja, jangan sampai lupa: derajat yang sudah kita peroleh sekarang ini sedapat mungkin bawalah sebagai bekal untuk meraih tingkat yang lebih tinggi. Pilihlah sekolah yang murid-muridnya sudah menjadi berpangkat.

Pada contoh (a) satuan lingual nominal gelar yang telah disebut terdahulu telah digantikan oleh satuan lingual nomina pula yaitu kata titel yang disebutkan kemudian. Sementara itu, pada contoh (b) nomina derajat disubstitusikan dengan nomina tingkat lalu pada tuturan yang sama disubstitusikan lagi dengan nomina pangkat. Baik pada contoh (a) maupun (b) karena satuan lingual yang berkategori nomina itu digantikan dengan satuan lingual lain yang juga berkategori sama, maka substitusi itu disebut substitusi nominal.

(2) Substitusi verbal

(32)

(a) Wisnu mempunyai hobi mengarang cerita pendek. Dia berkarya sejak masih di bangku sekolah menengah pertama.

(b) Kita kadang berusaha dengan setengah hati, padahal jika kita mau berikhtiar dengan sungguh-sungguh tentu akan menjadi lebih baik hasilnya.

Pada contoh (1) tampak adanya penggantian satuan lingual berkategori verba mengarang dengan satuan lingual yang lain yang berkategori sama, yaitu berkarya.Demikian pula pada contoh tuturan (2) verba berusaha digantikan dengan verba berikhtiar. Dengan demilkian terjadi substitusi verbal pada kedua contoh tersebut.

(3) Substitusi frasal

Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Pada substitusi ini antara kalimat pertama dengan kalimat kedua dan ketiga disubstitusikan sehingga terjadi perbedaan antara kalimat satu, dua dan ketiga dengan kalimat yang sama. Untuk lebih jelas perhatikan contoh berikut.

(1) Aku tidak meneruskan pertanyaanku. Ayahku juga tidak berbicara. Dua orang sama-sama diam.

(33)

Tampak pada contoh (1) kata aku pada kalimat pertama dan ayahku pada kalimat kedua disubstitusi dengan frasa dua orang pada kalimat ketiga, sedangkan pada contoh (2) frasa hari Minggu pada kalimat kedua disubstitusikan dengan hari libur pada kalimat yang sama.

(4) Substitusi klausal

Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausal atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. Pada kalimat ini yang satu berfungsi sebagai klausa atau kalimat tersebut disubstitusikan oleh satuan lingual yang lain, sehingga antara klausa dan tuturan dalam masing-masing kalimat jelas, dan dapat dicermati dalam contoh-contoh kohesi gramatikal. Contoh subtstitusi klausal dalam kalimat adalah sebagai berikut.

S: ’’Jika perubahan yang dialami oleh Rudi tidak bisa diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya; mungkin hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa orang-orang itu banyak yang sukses seperti Rudi’’.

T: ’’Tampaknya memang begitu.’’

(34)

Dari contoh-contoh kohesi gramatikal melalui penyulihan atau substitusi, baik substitusi nominal, verbal, frasal, maupun klausal, maka substitusi tersebut selain mendukung kepaduan wacana juga mempunyai fungsi lain yang sangat penting. Dalam hal ini, penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana itujuga berfungsi untuk (1) menghadirkan varasi bentuk, (2) menciptakan dinamisasi narasi,(3) menghilangkan kemonotonan, dan (4) memperoleh unsur pembeda.)

Another kind of formal link between sentences is the substitution of words like do or so for a word or group of words which have appeared in an earlier sentence. it would be very long-winded if we had always to answer a question like do you like mangoes? with a sentence like Yes I like mangoes. It is much quicker, and it mean the same, if we say Yes I do or Yes I think so. Unfortunately, much traditional language teaching, in zeal for practising verb tenses and using new vocabulary, has concentrated exclusively on longer forms (Answer with a full sentence please!) and deprived students of briefer, more authentic option (Cook 1989:20).

(35)

c. Pelesapan (elipsis)

Pelesapan (elipsis) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Fungsi pelesapan dalam wacana ini ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (efektif kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan. Cook (1989: 20) juga menjelaskan mengenai pelesapan atau elipsis sebagai berikut.

Sometimes we do not even need to provide a substitute for a words or phrase which has already been said. We can simply omit it, and know that the missing part can be reconstructed quite succesfully. Instead of answering would you like a glass of beer? with yes I would like a glass of beer we can just say Yes I would knowing that like a glass of beer will be understood. Or if someone says What are you doing? we can just answer Eating a mango instead of I am eating a mango because we know that I am is understood and does not have to be said. Omitting part of sentences on the assumtion that an earlier sentence or the context will make the meaning clear is known as ellipsis (Cook 1989: 20).

d. Perangkaian (konjungsi)

(36)

klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik. Perangkain dapat berupa satuan lingual satuan lingual dan, atau, tetapi, namun, sebab, karena, meskipun, jika, dll. Konjungsi berbeda dengan pengacuan,

substitusi, dan elipsis dalam hal bukan suatu upaya untuk mengingatkan pembaca akan adanya wujud, tindakan, keadaan, dan lain sebagainya yang disebutkan lebih dahulu. Dengan kata lain, konjungsi bukanlah hal yang dimaksudkan oleh para linguis sebagai hubungan anaforis, Namun, konjungsi di-masukkan ke dalam kohesi karena konjungsi memarkahi hubungan yang hanya dapat dimengerti sepenuhnya melalui pengacuan ke bagian lain teks. Halliday dan Hasan menunjukkan empat jenis hubungan yang dimarkahi oleh konjungsi, yakni konjungsi temporal, kausal, aditif, dan adversatif.

Yet another type of formal relation between sentences -and perhaps the most apparent -is provided by those word and phrases which explicitly draw attention to the type of relationship which exists between one sentences or clause and another. These are conjunctions. These are conjunctions. These words may simply add more information to what has already been said (and, furthermore, add to that) or elaborate or exemplify it (for instance, thus, in other words). they may contrast new information with old information, or put another side to the argument (or, on the other hand, however, conversely) (Cook 1989: 21).

(37)

telah dikatakan dalam merinci atau menerangkan dengan contoh itu (sebagai contoh, seperti itu, dengan kata lain). mereka boleh membandingkan informasi baru dengan informasi lama atau menaruh sisi lain kepada argumentasi ( atau, pada sisi lain, bagaimanapun, dan sebaliknya) Cook 1989: 21).

Penelitian dalam persepsi konjungsi kohesif mungkin lebih banyak daripada dalam bidang lain. Ini disebabkan oleh fakta bahwa para ahli psikologi perkembangan selalu tertarik pada perkembangan persepsi tentang hubungan logis dan sebagian lagi karena para ahli pendidikan percaya bahwa kata-kata penghubung merupakan bagian penting dalam struktur teks ilmiah.

Greer (dalam Nunan1992: 22) menunjukkan bahwa suatu aspek penting pertumbuhan penalaran adalah perkembangan pemahaman tentang kata-kata penghubung yang logis dan bahwa pemerolehan pengertian lebih merupakan kemampuan yang berkembang dan bersinambung dari-pada suatu proses semua-atau-tidak sama sekali.

Gardner (dalam Nunan 1992: 22) menunjukkan bahwa persepsi kata-kata penghubung terikat konteks dan merupakan faktor penting dalam membaca sains pada tingkat sekolah menengah. Stoodt (dalam Nunan 1992: 22) menemukan sutu korelasi yang dinyatakan oleh konjungsi dan pemahaman bacaan. Ada juga perbedaan yang cukup besar dalam kesukaran pada berbagai jenis konjungsi.

(38)
(39)

e. Pronomina

Sebagai alat yang berfungsi menciptakan kepaduan wacana, pronomina banyak digunakan dalam wacana bahasa Indonesia. Pronomina atau kata ganti terdiri dari kata ganti diri, kata gant penunjuk, dan lain-lain. Kata ganti diri dalam bahasa Indonesia adalah: a) saya, aku, kita, kami. b) engkau, kamu, kau, kalian, Anda. c) dia, mereka. Penggunaan kata ganti diri di atas dapat kita lihat dan baca pada contoh berikut ini.

Salsa, Bila, dan Clara sedang duduk-duduk di beranda depan rumah Pak Karjo. Mereka sedang asyik berincang-bincang. Sebenarnya mereka sedang menanti saya dan Hendra. Untuk belajar bersama-sama. Saya tiba dan menyapa mereka dengan ucapan selamat sore. Hendra belum juga tiba. Mungkin dia terlambat datang karena mobinya mogok. Sebentar kemudian dia pun tiba. ’’Maaf, saya terlambat, tadi kendaraan padat benar di jalan. Mungkin kalian sudah jengkel menanti saya. Sasa menjawab dengan tersenyum: ’’Tidak apa-apa, kami memaafkan kamu, Hendra! Teman-teman mari kita mulai membicarakan dan mengerjakan pekerjaan rumah kita: pelajaran bahasa Indonesia.’’ Kami asyik berdiskusi, dan semua tugas dapat kami selesaikan dengan baik.

6. Kohesi Leksikal

(40)

menghasilkan wacana yang padu pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antarasatuan lingual . Muller, Natascha (2005: 6) as the result of a fused lexical or grammatical system...language(s).

Halliday dan Hasan (1976: 4) menyatakan bahwa pengertian kohesif atau sisipan adalah konsekuensi dari pembicara dwi bahasa upaya untuk menciptakan koherensi antara ucapan-ucapan dalam bahasa yang berbeda. Dengan mengulangi satu pokok leksikal dari ucapan sebelumnya bahkan jika bahasa interaksi telah berubah, seorang pembicara membentuk kohesi leksikal antara kedua ucapan-ucapan. Menafsirkan penyisipan sebagai akibat dari kohesi leksikal berfungsi untuk menjelaskan beberapa karakteristik linguistik lintas dari penyisipan, yaitu dominasi kata benda (seperti kohesi leksikal dibatasi pada dasarnya item kelas terbuka), dan asimetri antara bahasa (sebagai pilihan leksikal dipengaruhi oleh konteks di mana pokok leksikal digunakan dan pilihan bahasa dibatasi dalam beberapa konteks). Lebih jauh lagi, analisis menghilangkan kebutuhan untuk membedakan antara kata-kata pinjaman, kesempatan ini pinjaman, atau codeswitches item tunggal, sebagai pokok leksikal tidak lagi didefinisikan dalam hubungan dengan leksikon bahasa dalam konteks yang terjadi, melainkan oleh dari kohesif di mana ia berpartisipasi.

(41)

membuat kohesif suatu wacana dipengaruhi oleh konteks yang berbeda-beda. Seorang penutur harus memperhatikan konteks ini dalam memilih kata yang tepat untuk menunjang kohesinya. Penelitian Morgan (2000: 280) juga menyatakan bahwa seorang anak yang dwi bahasa akan menggunakan kohesi sesuai konteksnya. Mereka akan memilih kata-kata yang tepat untuk mendukung komunikasinya. Dalam penelitian yang lain, Knouse (2006: 1) menyatakan bahwa wacana yang kohesif dapat mempermudah komunikasi dalam sebuah kelompok tertentu.

(42)

ada hubungannya sama sekali. Akan tetapi dalam teks berikut keduanya ada hubungan:

My neighbour has just let one of his trees fall into my garden. And the scoundrel refuses to pay for the damage which was caused.(Tetangga saya baru saja membiarkan salah satu pohonnya rebah ke dalam pekarangan saya. Dan si kurang ajar itu tidak mau membayar ganti rugi untuk kerusakan yang terjadi.)

Dengan adanya begitu banyak hubungan kohesi leksikal yang terikat teks itu tidaklah mungkin untuk menyusun suatu daftar istilah lengkap yang dapat diacu dalam bahasa Inggris. Paling-paling, daftar demikian hanya dapat memberikan sebagian analisis kohesi leksikal dalam bahasa Inggris.

Meskipun (atau bahkan karena) sifatnya yang problemantis itu, maka kohesi leksikal pada umumnya adalah tipe kohesi yang paling menarik. Pengetahuan dasar pembaca memainkan peranan yang lebih jelas dalam persepsinya tentang hubungan leksikal yang amatbanyak daripada tentang tipe kohesi lain. Pola kolokasi misalnya, hanya akan tampak kohesif pada seseorang yang memiliki jaringan semantik yang dibutuhkan oleh pokok yang dihadapi. Alasan inilah yang menyebabkan kohesi leksikal mungkin amat mengecewakan bagi linguais, tetapi amat menarik bagi pengajar bahasa.

(43)

masalah ini sebagai berikut: suatu masalah yang timbul dalam analisis hubungan ini dalam teks harus menentukan berapa step (langkah) dalam suatu taksonomi suatu unsur dapat terpisah dan masih ikut membentuk kohesi. Misalnya rose ‘mawar’ dan flower ‘bunga’ secara intuitif tampak berkolokasi lebih erat daripada rose ‘mawar’ dan plant ‘tumbuhan’; dan meskipun orang dapat dapat menerima mosquito ‘nyamuk dan insect ‘serangga’ orang akan meragukan kolokasi antar mosquito ‘nyamuk dan animal ‘binatang’. Apakah unsur-unsur akhir terlalu jauh jaraknya dalam taksonomi untuk dihubungkan? Masalah ini lebih berat pada taksonomi bagain /penuh seperti halnya door-knob ‘tombol pintu’ dan door ‘pintu’ adalah kohesif tetapi door-knop ‘tombol pintu’ house ‘rumah’ tampak berhubungan secara samar-samar (halm.8) .

(44)

Hasan juga menyinggung adanya bentuk kohesi leksikal yang lain yaitu lawan kata dan hiponimi.

Verhaar (2004:394) menyatakan bahwa unsur-unsur leksikal dalam bahasa dapat dibandingkan menurut hubungan semantik di antaranya. Menurut verhaar, hubungan semantik itu dapat berupa sinonim, antonim, homonim, dan hiponim. Kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantik. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2003:35). Sumarlam memebedakan kohesi leksikal dalam wacana menjadi enam macam, yaitu repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), antonimi (lawan kata), dan ekuivalensi (kesepadanan).

a. Repetisi (pengulangan)

(45)

b. Sinonimi (padan kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 1990: 85) dalam Sumarlam dkk (2004: 10). Dalam istilah bahasa Indonesia sinonimi mempunyai pengertian persamaan atau arti kata.

Sinonimi (synonym) adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk yang lain: kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kailimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanya kata-kata saja (Kridalaksana dalam Sarwidji dan Saliman, 2000: 90). Istilah sinonimi yang sering kita jumpai adalah bentuk- bentuk kata yang memiliki makna kurang lebih sama, dengan makna sebelumnya sehingga kita dengan mudah dapat mengartikan kata-kata tersebut dengan bahasa yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

(46)

Menurut tafsiran yang sempit, dua unsur merupakan sinonim-sinonim jika mempunyai arti yang sama seperti dijelaskan oleh Ullmann (dalam Lyon, 1995: 439) bahwa kata-kata yang dapat dideskripsikan sebagai sinonimi-sinonimi hanya yang dapat saling menggantikan dalam sembarang konteks tanpa perubahan sedikit pun, baik arti kognitif ataupun emotif. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan umum bahwa kata-kata tidak pernah merupakan sinonimi dalam suatu konteks apabila tidak terdapat arti yang sama dalam semua konteks.

Hubungan antara dua kata yang bersinonim bersifat dua arah, kata bunga bersinonimi dengan kata kembang maka kata kembang juga bersinonimi dengan kata bunga, tetapi dua kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak sama 100%, hanya kurang lebih saja ( Agusta dan Ulman dalam Chaer, 1995: 85). Dari pengertian kembang dan bunga pada kalimat tersebut mempunyai arti yang sama, kedua hal tersebut sering kita gunakan dan kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Sering ditemukan bahwa sinonim adalah dua buah kata yang sama maknanya. Namun peninjauan terhadap sinonim tidak saja mengenai makna tetapi juga masalah penggunaanya. Dua bentuk bahasa (termasuk kata) yang bersinonim tidak selalu dapat dipakai untuk mengganti yang satu dengan yang lainnya. Pada suatu tempat kata bunga mungkin dapat ditukar dengan kata kembang, tetapi di tempat lain tidak dapat.

(47)

makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sinonimi tidak ada unsur pembeda, namun seperti yang sudah dipaparkan diatas sinonimi adalah kata yang mempunyai arti yang sama atau lebih kurang sama.

c. Antonimi

Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroperasi dengan satuan lingual yang lain. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk.

d. Kolokasi

Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan.Bagi yang mengenal kolokasi adalah melihat artian kolikasi dari dua sudut, yaitu sudut sintaksis dan sudut semantik. Kedua hal ini dapat dijadikan pijakan dalam mengartikan kolokasi yaitu dengan melihat secara sintaksis ataupun secara semantik. Untuk lebih jelas perhatikan contoh berikut.

1. Dari Sudut Sintaksis

(a) Dalam Harun Aminurrashid (2001:19) sebagai berikut:

(48)

yang ke-XIV baharulah Kerajaan Brunei itu dipindahkan ke tempat yang ada sekarang.

(b) Dalam Tarigan, H.G.(1995: 138) sebagai berikut:

Di perkarangan itu, ditanam keperluan dapur sehari-hari; umpamanya: bayam, tomato, cili, ubi kayu, kacang panjang, lobak, kubis dan lain-lain. Di perkarangan itu, ditanam bahan ubat-ubatan tradisional; misalnya: misai kucing, lengkuas, halia, kunyit dan sebagainya… dijual ke pasar: sebagai contoh: bayam, cili, halia, kunyit dan sirih.

2. Dari Sudut Semantik

Contoh dalam Tarigan, H.G. (1995: 136) sebagai berikut:

Kerajaan berusaha bersungguh-sungguh meningkatkan perhubungan di tanah air kita, iaitu perhubungan darat, laut dan udara. Dalam bidang perhubungan darat telah digalakkan pemanfaatan kereta api dan kenderaan bermotor. Kenderaan ini meliputi kereta, motosikal dan lain-lain.

e. Hiponimi

(49)

Menurut Krialaksana (dalam Sarwiji Suwandi dan Saliman 2000: 103), hiponimi (hyponymy) adlah hubungan dalam semantik antar makna spesifik dan makna generik atau antara anggota taksonomi dan nama taksonomi. Apabila dilihat secara etimologis, istilah hiponimi berasal dari Yunani kuno, anoma, yang berarti ’nama’ dan hypo yang berarti ’di bawah’.Bertumpu pada kata tersebut, secara harfiah hiponimi dapat diartikan nama yang termasukdi bawah nama lain.

Secara semantik Verhaar (dalam Chaer, 1995: 98) menyatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.Menurut Keraf (2004: 38) hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas-bawah, atau dalam suatu makna terkadang sejumlah komponen yang lain.Konsep

hiponimi dalam bahasa Indonesia dapat mengacu pada kata benda dan kata sifat (adjektif). Konsep hiponimi mengandaikan adanya kelas atas dan kelas bawah, adanya makna sebuah kata yang berbeda di bawah makna kata lainnya. Leksem-leksem yang berada di tingkat bawah (makna spesifik) disebut dengan hiponim atau subordinat, sedangkan leksem yang berada di tingkat atas (makna generik) disebut dengan hipernim atau superordinat.

(50)

Makna yang tercakup dalam kata bunga. Dapat dikatakan mawar adalah bunga; tetapi bunga bukan hanya mawar, bisa juga melati, dahlia, kenanga, kamboja, sakura, dan anggrek.

Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua kata yang berhiponim, bersifat searah (Abdul Chaer, 1995: 99). Leksem mawar berhiponim dengan bunga, maka leksem bunga berhipernim dengan mawar (leksem bunga terletak diatas). Dengan kata lain, mawar adalah hiponim dari bunga, sedangkan bunga adalah hipernim dari mawar (atau jenis bunga lainnya).

f. Ekuivalensi

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paragraf. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata membeli,dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang

sama yaitu beli. Demikian pula belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pelajaran yang dibentuk dari bentuk asal ajar juga merupakan hubungan ekuivalensi. Agar lebih jelas perhatikan contoh berikut.

(51)

(2) Siska gemar membaca buku. Baik buku pelajaran maupun buku bacaan. Dia mempunyai banyak buku dan hampir semuanya sudah dibaca. Siska bercita-cita

7. Linieritas dalam Karangan

(52)

Analisis struktur tematis pada alur susunan kalimat dalam sebuah karangan hanya ditentukan dua sifat, yakni susunan kalimat yang bersifat linier dan susunan kalimat yang tidak bersifat tidak linier. Adapun susunan tema – rema yang diungkapkan oleh Zuhud (1991: 182) menghasilkan tiga macam progresi, yakni linier, paralel, dan campuran. Progresi linier, jika tema mengacu ke unsur rima sebelumnya. Sedangkan, progresi campuran, jika dalam wacana terdapat progresi linier dan progresi paralel. Ketiga macam progresi itu dapat dijadikan pijakan untuk menentukan linieritas susunan kalimat dalam sebuah karangan.

8. Prosa Fiksi

Menurut Herman J. Waluyo (2006:2) Karya sastra berbentuk prosa fiksi berupa uraian atau karya yang terurai, bercerita, dipaparkan secara langsung (orate provorsa). Ada kata “fiksi” disini karena apa yang diceritakan itu merupakan buah imajinasi yang secara mudahnya dikatakan fiktif atau tidak nyata. Meskipun fiktif namun ada kaitannya dengan kenyataan, yaitu kenyataan yang diolah di dalam pikiran pengarang. Maka dunia yang ditampilkan dalam prosa fiksi disebut “dunia sekunder” yaitu dunia rekaan yang direka-reka oleh pengarang.

(53)

untuk dihubungkan dengan tugas-tugas penulisan kreatif yang dapat dikerjakan oleh para siswa.

B. Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yamg relevan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah Kualitas Tugas Akhir Mahasiswa yang dilaporkan pada tahun 1999 oleh Mardianti Busono dari Universitas Negeri Yogyakarta yang berupa skripsi. Hasil laporan ini dimuat dalam Jurnal Kependidikan, No. 2, Tahun XX1X diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta.

Kesimpulan hasil laporan penelitian tersebut adalah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta dalam pembentukan paragraf masih belum baik dan dalam pergantian paragrafnya juga masaih belum runtut. Hasil penelitian ini juga menemukan penggunaan kata sambung yang masih dipakai pada permulaan atau awal kalimat. Secara garis besar penelitian penelitian yang dilakukan oleh Mardiati Busono dengan penelitian ini memiliki topik yang sama. Namun, ada sedikit perbedaan tentang pengkajiannya, yakni dalam penelitian ini difokuskan pada aspek koherenitas dan linieritas wacananya.

Hasil penelitia yang lain adalah Kesalahan-Kesalahan Umum Penyusunan Kalimat Bahasa Indonesia dalam Karangan Mahasiswa Universitas

Diponegoro yang dilaporkan pada tahun 1999. Peneliti adalah Tina Hartrina dari

(54)

Hasilnya dapat disimpulkan bahwa bahwa penyusunan kalimat bahasa Indonesia mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang masih banyak kesalahan. Adapun yang paling tinggi penulisannya adalah ketidaklengkapan penuliasan kalimat.

Penelitian sugono dalam Sarwiji Suwandi(1995) yang naskah aslinya berupa disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra di Universitas Indonesia, yang dipertahankan pada 23 Februari 1991 merupakan salah satu peranti kohesi dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian itu, dia memusatkan perhatian pada kohesi yang mengacu pada pada subyek, dan kohesi itu diwujudkan dalam pelesapan-ditandai dengan sifat (zero). Diwujudkan dengan pelesapan subjek tersebut tidak terlepas-seperti ditegaskan penulisannya-dari ihwal pemakaian pronomina, penyulihan, pengulangan, ataupun konjungsi. Penelitian itu menelaah ketakhadiran subjek klausa (atau kalimat) sebagai alat kohesi yang mempertautkan klausa (atau kalimat) itu dengan konteks yang mendahuluinya atau mengiringinya. Kohesi, menurutnya, adalah perpautan antarkalimat dalam wacana dan perpautan antarklausa dalam kalimat. Dengan mengacu pada pendapat Halliday dan Hasan, dikemukakannya bahwa kohesi itu diwujudkan, antara lain, melalui (1) pelesapan (deletion), (2) pemakaian pronomina , (3) penyulihan, (4) penyebutan ulang, dan (5) pemakaian konjungsi.

(55)

menganalisis wacana pada buku pelajaran, sedangkan analisis wacana yang dibahas dalam penelitian ini adalah prosa fiksi dan nonfik

C. Kerangka Berpikir 1. Kohesi dalam wacana

Kohesi sangat penting dalam suatu wacana hal ini karena kohesi bersifat semantis, konsep tersebut mengacu pada hubungan makna yang terdapat di dalam teks dan yang menentukannya sebagai teks. Kohesi sangat berbeda dengan struktur informasi dalam suatu teks. Kohesi bersifat potensial untuk menghubungkan suatu elemen dengan elemen lainnya dalam suatu teks

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan itu kohesi adalah 'organisasi sintaktik. Organisasi sintaktik ini adalah merupakan wadah ayat-ayat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini bermaksud bahwa kohesi adalah hubungan di antara ayat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun dari segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan kohesi yang baik, seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik.

2. Linieritas dalam karangan

(56)

karena itu, dalam penelitian ini akan dibatasi sejauh mana keteraturan urutan bagian-bagian yang utuh dan terpadu dalam sebuah wacana dapat diartikan linier.

(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini tidak bergantung pada tempat karena data yang dianalisis berupa dokumen yang cukup dapat dianalisis di mana pun (rumah, sekolah, perpustakaan).

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu bulan Juni 2009 sampai dengan Januari 2010. Adapun urutan waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ini akan disajikan dalam tabel berikut.

No Kegiatan

Bulan

Juni Juli Agustus September

1. Persiapan survei awal sampai penyusunan proposal

X X X x

2. Seleksi informan,

penyiapan instrumen dan alat/media

(58)

3. Pengumpulan data x X X X x X

4. Analisis data

X x x X

5. Penyusunan lapor

x x x X

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

(59)

mendeskripsikan atau menjelaskan secara kualitatif gambaran dari suatu keadaan, dalam hal ini kohesi dan linieritas wacana dalam karangan fiksi siswa MAN Tempursari, Mantingan, Ngawi.

C. Sumber Data

Sumber data penelitian ini dikumpulkan dengan cara lokasional (Sudaryanto, 1993: 33—34), yaitu tempat asalnya data yang merupakan si pencipta bahasa atau penutur sebagai informan atau narasumber. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tulis, yaitu berupa karangan fiksi siswa MAN Tempursari, Mantingan, Ngawi.

D. Teknik Penentuan Subjek

Teknik penentuan subjek penelitian yang akan digunakan bukan teknik statistik, tetapi lebih bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasar pada konsep teoretik yang digunakan, keinginan pribadi, dan karakteristik empiris (Sutopo, 2002). Oleh sebab itu, penentuan subjek yang akan digunakan lebih bersifat purposive.

(60)

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan dokumen. Data dalam kajian ini diambil dari data tulis, yaitu berupa tulisan siswa kelas X MAN Tempursari. Analisis dokumen dilakukan dengan membaca karangan fiksi siswa kelas X.

F. Validitas Data

Validitas data merupakan kebenaran dari proses penelitian. Dalam penelitian ini setelah didapatkan data melalui teknik di atas, selanjutnya akan dilakukan triangulasi data untuk menjaga validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian. Menurut Sutopo (2002) triangulasi data, yaitu mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda. Dalam hal ini berbagai teori mengenai kompetensi menulis. Dengan demikian, kebenaran data yang satu akan diuji oleh data yang diperoleh dari sumber data yang lainnya. Adapun dalam penelitian ini data yang diperoleh dari hasil karangan fiksi siswa diuji dengan teori menulis yang telah dijabarkan dalam kriteria penilaian kompetensi menulis siswa.

G. Teknik Analisis Data

(61)
(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini akan dideskripsikan dan dijelaskan hasil penelitian dan pembahasannya secara jelas sesuai dengan rumusan masalah penelitian, yaitu mengenai jenis peranti kohesi yang terdapat dalam karangan fiksi dan tingkat linieritas karangan fiksi siswa MAN Tempursari. Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian akan dipaparkan dan dideskripsikan sebagai berikut.

A. Hasil Penelitian 1. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah struktur lahir wacana atau wacana dalam segi bentuk. Halliday dan Hasan membagi kohesi menjadi dua jenis yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Dalam analisis wacana, segi bentuk atau struktur lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana; sedangkan segi makna atau struktur batin wacana disebut aspek leksikal wacana. Berikut adalah contoh-contoh aspek gramatikal wacana Kekasihku Sahabatku, Pacar Malam Minggu , dan Pertemuan yang Singkat.

a. Pengacuan (Referensi)

(63)

pengacuan komparatif. Berikut adalah contoh-contoh pengacuan pengacua tersebut

(1) Pengacuan persona

Pengacuan persona direlisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua persona (II), dan (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, dan III tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas), dan ada pula yang terikat, ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan). Dengan demikian satuan lingual aku, kamu,dan dia, misalnya masing-masing merupakan pronomina persona I, II, dan III tunggal bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah-ku (misalnya pada kata kutulis), kau- (pada kautulis), dan di-(pada ditulis) masing-masing adalah bentuk terikat lekat kiri;

atau –ku (misalnya pada istriku), -mu (pada istrimu), dan –nya (pada istrinya) yang masing-masing merupakanbentuk terikat lekat kanan.

Pengacuan pronomina persona yang ditemukan pada cerpen Kekasihku Saudaraku, Pacar Malam Minggu, dan Pertemuan Singkat yang berupa kata aku, saya, terikat lekat kiri- ku ,yang merupakan pronomina persona I tunggal,

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir
Tabel 2. Pengacuan Persona Cerpen  Kekasihku Saudaraku
Tabel 4. Pengacuan Persona Cerpen Pertemuan Singkat.
Tabel 5.  Adapun bentuk persona yang ditemukan Hasil dari Ketiga
+6

Referensi

Dokumen terkait

Ipal biofilter elah dilengkapi dengan air blower yang mampu memecahkan partikel sabun dan senyawa kimia yang lainnya sehingga hasil air limbah buangan (effluent) menjadi

29 Januari 2020 10.00 Rapat Pendapat Dengar Umum Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta

Analisis Univariat dalam penelitian ini dengan melihat persentase dari penggunaan ovitrap pada jenis tutup datar dan jenis tutup lengkung yang dilihat dari jumlah jentik nyamuk

Berdasarkan tabel diatas Uji F menunjukkan hasil signifikansi sebesar 0.000000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, yang berarti

Dikarenakan ada data yang tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji korelasi statistik non parameterik yaitu Korelasi Spearman untuk mengetahui apakah

5ada penentuan metode ini& yang ditentukan bukanlah kuprooksida yang mengendap tapi kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi ( titrasi blanko)

Setelah dilakukan tindakan dengan menggunakan pendekatan scientific pada pembelajaran tematik keanekaragaman hewan dan tumbuhan kelas IV SDN 1 Reco Kertek Wonosobo