• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLEH VICTORIA PASARI PUTRI B 121 12 161 PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 ANALISIS HUKUM PAJAK TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ATAS USAHA JASA KONSTRUKSI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "OLEH VICTORIA PASARI PUTRI B 121 12 161 PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 ANALISIS HUKUM PAJAK TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ATAS USAHA JASA KONSTRUKSI SKRIPSI"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS HUKUM PAJAK TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ATAS USAHA JASA KONSTRUKSI

OLEH

VICTORIA PASARI PUTRI B 121 12 161

PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

ANALISIS HUKUM PAJAK TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ATAS USAHA JASA KONSTRUKSI

SKRIPSI

Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Program Studi Hukum Administrasi Negara

disusun dan diajukan oleh

VICTORIA PASARI PUTRI B 121 12 161

kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

ANALISIS HUKUM PAJAK TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ATAS USAHA JASA KONSTRUKSI

disusun dan diajukan oleh

VICTORIA PASARI PUTRI B 121 12 161

Telah Dipertahankan Dihadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk Dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana

Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Dan Dinyatakan Diterima

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H.,M.H, NIP. 19521111 198103 1 005

Ruslan Hambali, S.H., M.H.

NIP. 19561110 198303 1 003

An. Dekan

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Pengembangan,

Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.

NIP. 19610607 198601 1 003

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa proposal skripsi dari mahasiswa : Nama : Victoria Pasari Putri

Nomor Pokok : B121 12 161

Prodi : Hukum Administrasi Negara

Judul : Analisis Hukum Pajak Terhadap Pajak Penghasilan Atas Usaha Jasa Konstruksi

Telah Diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Seminar Skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H.,M.H.

NIP. 19521111 198103 1 005

Ruslan Hambali, S.H., M.H._

NIP. 19561110 198303 1 003

(5)
(6)

ABSTRAK

VICTORIA PASARI PUTRI (B 121 12 161). Analisis Hukum Pajak Terhadap Pajak Penghasilan Atas Usaha Jasa Konstruksi dibimbing oleh Djafar Saidi dan Ruslan Hambali

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh dan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh terkait pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi dan penerapan pemotongan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh terkait pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi ?

Penelitian ini dilakukan di CV. Mandala Putra dan Kantor Pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi pajak Kabupaten Toraja utara.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan tetap memperhatikan buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan: 1). Pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh terkait pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi yaitu adanya syarat kualifikasi yang dimaksudkan berupa sertifikat badan usaha yang diterbitkan oleh lembaga pengembagan jasa konstruksi untuk pengenaan pajak yang bersifat final karena sertifikat dan tidak bersetifikat badan usaha dikenakan pajak tidak final 2). Dalam penerapan pajak Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 pada usaha jasa konstruksi dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara membuat ID billing terlebih dahulu, lalu membayarnya melalui Bank Persepsi yang telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan. Setelah itu Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23, lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online atau efiling gratis di Online Pajak. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan.

Kata Kunci : pajak, jasa konstruksi, pajak penghasilan

(7)

ABSTRACT

VICTORIA PASARI PUTRI (B 121 12 161). Tax Law Analysis on Income Tax on Construction Service Business is guided by Djafar Saidi and Ruslan Hambali

This study aims to analyze the implementation of the provisions of Article 4 paragraph (2) sub-paragraph d of the Income Tax Law and Article 23 paragraph (1) letter c number 2 of the Income Tax Law related to the withholding of income tax on construction services business and the application of Article 23 paragraph (1) Income Tax Law on withholding of income tax on construction services business?

This research was conducted at CV. Mandala Putra and the North Toraja Tax Office, Counseling and Tax Consultancy. The method used in this research is field research where the data collection is done by interview and still pay attention to the books and the applicable laws and regulations.

The data obtained are then analyzed qualitatively and presented descriptively.

The results of this study show: 1). Implementation of the provisions of Article 4 paragraph (2) sub-paragraph d and Article 23 paragraph (1) letter c number 2 of the Income Tax Law relating to the deduction of construction service business income tax is the existence of qualification requirements intended to be a certificate of business entity issued by the institution of construction service development for taxation which is final because certificates and non-certified business entities are subject to non-final tax 2). In the application of tax Article 23 paragraph (1) letter c number 2 on construction service business is done by the cutter by making billing ID first, then paying it through Bank Perception which has been approved by the Ministry of Finance. Payment due date is 10, month after month owed by income tax. After that Reporting done by the cutter by filling SPT Masa PPh Article 23, then can report it through the feature of online tax report or free efiling in Online Taxes. The maturity of reporting is the 20th, month after month owed by income tax.

Kata Kunci : Tax, Income Tax, Construction Service Business

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena hanya oleh Kasih Anugerah-Nya saja penyusun dapat menyelesaikan studi program studi Hukum Admistrasi Negara, Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan usaha, ketekunan, dan doa serta dorongan semangat dan bantuan dari semua pihak, baik secara materiil maupun moril sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua Bapak Pasari Lempang dan Ibu Ribka Lobo’ atas doa yang tidak pernah putus dan dukungan serta segala kebaikan mereka yang sampai kapanpun takkan pernah bisa untuk terbalaskan dalam penyelesaian tesis ini

Penelitian skripsi inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing, dosen-dosen serta berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini peneliti mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas Hasanuddin.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Junaedi Muhidong. M. Sc, selaku Wakil Rektor Bidang Akademik

3. Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.H. Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, keuangan dan sumber daya

(9)

4. Bapak Dr. Ir. Abdul Rasyid M.Si selaku Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Alumni

5. Bapak Prof. dr. Budu, Ph.D, SPM(K) selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan pengembangan Kerjasama

6. Ibu Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

8. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku wakil dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

9. Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku wakil dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

10. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., i, selaku Ketua Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

11. Bapak Prof Dr. M. Djafar Saidi, S.H., M.H., dan Bapak Ruslan Hambali, S.H., M.H selaku Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan bantuan dalam materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama penulisan tesis ini.

12. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H., Naswar,S.H., M.H., dan Ibu Eka Merdekawati. S.H., M.H., selaku penguji penulis yang telah memberikan banyak masukan-masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

(10)

13. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang dengan tulus ikhlas memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama perkuliahan berlangsung sehingga memberikan banyak manfaat bagi penulis baik untuk saat ini maupun dimasa mendatang.

14. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

15. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin khususnya Angkatan 2014 khususnya Teman-teman Program Studi Hukum Administrasi Negara, terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.

16. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak sempat disebutkan satu persatu.

Makassar, 29 Januari 2018

Victoria Pasari Putri

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Tinjauan Umum Tentang Pajak Penghasilan ... 8

1. Pengertian dan Dasar Hukum ... 8

2. Objek Pajak Penghasilan ... 9

3. Subjek Pajak Penghasilan ... 10

4. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan ... 12

5. Tarif Pajak Penghasilan ... 13

6. Pelunasan Pajak Penghasilan ... 15

B. Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi ... 21

1. Pengertian dan Dasar Hukum ... 21

2. Wajib Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi .... 26

3. Objek Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi .... 28

4. Tarif Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi ... 28

5. Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran ... 30

(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Tipe Penelitian ... 32

B. Pendekatan Penelitian ... 32

C. Bahan Hukum ... 33

D. Analisis Bahan Hukum ... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Pengaturan Ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 23 UU PPh terkait Pemotongan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi . 35 B. Penerapan Pemotongan Pasal 23 UU PPh terkait Pemotongan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi ... 47

BAB V PENUTUP ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan Pemerintah dan seluruh potensi masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit, kebutuhan untuk pembangunan sifatnya proporsional dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan berlangsung. Kebutuhan akan dana pembangunan dapat diperoleh melalui berbagai cara yang kesemuanya diharapkan dapat memperkuat sektor keuangan negara dalam hal ini adalah sektor pajak.

Sebelum amandemen UUD NRI 1945 ketentuan mengenai pajak diatur dalam Pasal 23 ayat (2) “Segala pajak untuk keperluan negara harus berdsarkan undang-undang”. Setelah amandemen UUD NRI 1945 ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil yang diatur dalam Pasal 23A “Pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.1 Dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan

1 Muhammad Djafar Saidi, 2011, Pembaruan Hukum Pajak- Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 13.

(14)

Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut KUP) disebutkan bahwa:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.2

Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi penyelengaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Sehingga Pemerintah menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu pewujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana dalam pembiayaan negara dalam pembangunan nasional guna tercapainya tujuan negara.

Apabila pajak telah diatur dengan undang-undang, berarti undang undang pajak harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dan tidak boleh dilanggar mengingat undang-undang pajak tersebut telah dianggap diketahui oleh wajib pajak selaku pembayar pajak maupun negara yang diwakili oleh pejabat pajak selaku penagih pajak. Undang-Undang Pajak pada hakikatnya adalah hukum pajak yang wajib dilaksanakan dan ditaati sebagai konsekuensi dari negara hukum Indonesia. Sekalipun harus dilaksanakan dan ditaati, Undang-Undang Pajak tidak boleh tidak harus

2Kementerian Keuangan RI, 2013, Susunan Dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Jakarta, hlm. 17. Defenisi pajak juga dikemukakan menrut ahli hukum perancis, termuat dalam buku karya Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la Science des Finances, “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah” dikutip dalam Adrian Sutedi. 2008. Hukum Pajak dan Retribusi Daerah. Bogor: Graha Indonesia.hlm. 55.

(15)

berintikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dengan demikian, terjelmalah pertautan antara kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dalam konstelasi undang-undang pajak.3

Penting dan strategisnya peran serta sektor perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), setidaknya beberapa tahun terakhir, sejak tahun 2009 sampai dengan 2013, kontribusi penerimaan pajak pada APBN lebih dari 70%.4 Menurut Judisseno,5 pajak merupakan salah satu bentuk iuran masyarakat. Sebagai salah satu unsur penerimaan negara, peran pajak sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pengeluaran pemerintahan.

Salah satu penerimaan pajak yang sangat potensial yang dipungut oleh pemerintah secara langsung adalah pajak penghasilan yang telah mengalami beberapa kali perubahandiatur dalam :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.6

2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

3 Muhammad Djafar Saidi. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 2

4http://anggaran.depkeu.go.id .

5Rimsky K. Judisseno, 2004, Perpajakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 2

6 Sebelumnya diatur dalam dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang- undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

(16)

Menurut Judisseno, secara umum semua orang memiliki potensi sebagai penerima penghasilan, entah masih anak-anak, bahkan bayi dan balita, remaja, dewasa dan orang-orang yang sudah tua, termasuk yang lanjut usia sekalipun.7 Dari struktur penerimaan sektor pajak diketahui bahwa jenis pajak penghasilan merupakan pajak yang diharapkan sebagai sumber pemasukan yang paling besar dibandingkan jenis pajak yang lain.

Hal ini disebabkan karena potensi objek pajak yang bisa dikenakan PPh lebih besar dibandingkan objek pajak untuk jenis pajak yang lainnya.

Industri Jasa Konstruksi8 di Indonesia mulai diatur secara komprehensif, pasca reformasi politik di Indonesia, melalui Undang Undang RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Selanjutnya, terbit Peraturan Pemerintah terkait tentang Jasa Konstruksi, yaitu, Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah RI Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi. Berkaitan dengan penghasilan yang diterima dari usaha jasa konstruksi adalah termasuk penghasilan yang dikategorikan sebagai objek pajak. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa:

7Rimsky. K. Judisseno, 2005, Pajak dan Strategi Bisnis; Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 85.

8 Pada umumnya, kegiatan yang termasuk dalam industri konstruksi meliputi perencanaan, desain, konstruksi, perbaikan dan pemeliharaan dan demolisi, sedangkan produk yang dihasilkannya meliputi: bangunan, bandar udara dan pelabuhan, elektrikal, komunikasi dan pekerjaan gas, reklamasi, saluran dan bendungan, jaringan pipa dan kanal serta jalan raya, jembatan, rel kereta api, waduk dan terowongan dikutip dalam Sudarto., 2011. Meningkatkan Kinerja Perusahaan Jasa Konstruksi di Indonesia. CSIS,

Jakarta. Hlm. 24

(17)

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.9

Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, jasa konstruksi disebutkan dalam dua pasal yang berbeda. Pertama, jasa konstruksi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d :

(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

Penerapan pajak penghasilan bersifat final dengan dasar pengenaan pajak dari penghasilan bruto atas penghasilan usaha jasa konstruksi dalam praktek nya mengalami kendala, hal ini dikarenakan perlakuan pajak ini dianggap tidak mencerminkan keadilan sebab tidak melihat keuntungan yang sebenarnya, bahkan tetap akan dikenakan pajak meskipun kondisi usaha sedang mengalami kerugian

Pengaturan mengenai pengenaan Pajak atas jasa usaha konstruksi juga diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh:

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

9Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

(18)

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d dan Pasal 23, keduanya mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan dari jasa usaha konstruksi.

Bedanya, PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d yang aturan pelaksanaannya ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 jo PP Nomor 40 Tahun 2009 bersifat final sementara PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 tidak final. Dalam praktek, banyak pemotong pajak mengalami kesulitan dalam membedakan jasa konstruksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d dan jasa konstruksi yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh khususnya bagi pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha jasa konstruksi. berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka peneliti bermaksud untuk menganalisis tentang penerapan peraturan perpajakan sektor perpajakan atas usaha jasa konstruksi dengan judul “Analisis Hukum Pajak Terhadap Pajak Penghasilan Atas Usaha Jasa Konstruksi”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan tentang pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi ?

2. Bagaimanakah penerapan pemotongan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh terkait pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan tentang pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi

(19)

2. Untuk mengkaji dan menganalisis penerapan pemotongan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh terkait pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu hukum khususnya studi tentang tentang pemungutan pajak penghasilan dalam usaha Jasa Konstruksi. Selain itu diharapkan menjadi referensi ilmiah dan sebagai bahan perbandingan atau acuan dalam pengembangan penelitian hukum selanjutnya, khususnya di bidang perpajakan.

b. Kegunaan Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak yang berkompeten khususnya bagi aparat pajak, para kontraktor dan semua pihak yang terlibat dalam proses kontrak bisinis jasa konstruksi. Selain itu diharapkan menjadi literasi hukum guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tentang mekanisme pungutan pajak penghasilan dan kewajiban pajak serta hukum terkait perpajakan.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pajak Penghasilan 1. Pengertian dan Dasar Hukum

Menurut Judisseno, pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan Negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya.10 Menurut Waluyo “pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak 11

Sejak reformasi perpajakan digulirkan pertama kalinya tahun 1983 hingga saat ini, telah beberapa paket undang-undang di bidang perpajakan dihasilkan, dan beberapa di antaranya telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir dengan Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008.12 Pengertian pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.13 Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana

10Rimsky K. Judisseno, Op. Cit., hlm. 82

11 Waluyo, 2010, Perpajakan Indonesia Buku 1 Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta.

Hlm 30.

12Suparnyo, 2012. Hukum Pajak Suatu Sketsa Asas, cet. 3, Pustaka Magister, Semarang, hlm. 12

13 Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU No. 17 Tahun 2000, LN No. 127 Tahun 2000, TLN. No. 3985, ps. 1

(21)

telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

2. Objek Pajak

Yang dapat dijadikan objek pajak sangat banyak macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Misalnya:

1. Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tidak bergerak, rumah tertentu (kebanyakan secara statis/tetap)

2. Perbuatan: melakukan penyeraban barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau gedung. mengadakan pertunjukkan atau keramaian, memperoleh penghasilan, berpergian ke luar negeri;

3. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugerah yang diperoleh karena secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia.

Pengertian penghasilan yang merupakan obyek dari Pajak Penghasilan menurut pasal 4 UU PPh dirumuskan ”setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.14

14 Op.cit., Ps 4 ayat (1)

(22)

Dari definisi penghasilan yang dirumuskan dalam pasal 4 UU PPh tersebut pengertian penghasilan adalah sangat luas sekali, artinya tidak mempermasalahkan dari mana penghasilan itu diterima atau diperoleh, apapun nama dan bentuk penghasilan sepanjang menambah kemampuan ekonomis tercakup dalam pengertian penghasilan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomi kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan 3. Penghasilan dari modal

4. Penghasilan lain-lain 3. Subyek Pajak Penghasilan

Berdasarkan uraian sebelumnya pajak penghasilan (PPh) adalah termasuk dalam jenis pajak pusat, pajak langsung dan pajak subyektif.

Sesuai pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dikatakan bahwa yang menjadi Subyek pajak adalah :

1. a. orang pribadi;

b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;

2. Badan;

3. Bentuk usaha tetap.15

15 Ibid., Ps 2 ayat (1).

(23)

Pengertian badan diberikan definisi tersendiri sesuai pasal 1 butir 3 UU KUP yaitu ”sekumpulan orang pribadi dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.16

Subyek pajak tersebut akan dikenakan pajak penghasilan bilamana terpenuhi syarat obyektif yaitu menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan obyek pajak penghasilan. Dengan demikian jika dikaitkan dengan subyek pajak badan dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara maka Badan Usaha Milik Negara tersebut akan dikenakan pajak penghasilan bilamana Badan Usaha Milik Negara tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan obyek pajak penghasilan.

Menurut Pasal 2 ayat (2) UU PPh subyek pajak dibedakan menjadi subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri.17 Yang dimaksud dengan subyek pajak dalam negeri adalah:

1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau

16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 28 Tahun 2007, Ps 1 angka 3.

17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU No. 17 Tahun 2000, op.cit., Ps 2 ayat (2)

(24)

orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;

3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.18

Sedangkan yang dimaksud dengan subyek pajak luar negeri adalah:

1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.19

4. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan

Dasar pengenaan pajak (tax base) adalah merupakan nilai atau jumlah yang dipakai sebagai dasar dalam menerapkan tarif pajak (tax

18 Ibid., Ps 2 ayat (3) 19 Ibid., Ps 2 ayat (4)

(25)

rates). Nilai mana yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak penghasilan sangat tergantung dari jenis PPh. Dalam hubungannya dengan PPh atas penghasilan dari suatu badan usaha sebagai wajib pajak dalam negeri, maka sebagai dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak yang tidak lain adalah laba usaha termasuk penghasilan lain dari luar usaha yang merupakan obyek PPh.

Berdasarkan UU PPh, apabila dibuatkan formula dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang pada akhir tahun pajak dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (PKP) atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

= Penghasilan yang merupakan obyek pajak ((Pasal 4 ayat (1) – Pasal 4 ayat (2) – Pasal 4 ayat (3)) – Biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak ((Pasal 6 ayat (1) + Pasal 6 ayat (2) – Pasal 9 ayat (1)).

5. Tarif Pajak Penghasilan

Secara teoritis dikenal berbagai macam tarif pajak yang dapat diterapkan, yaitu:

a. Tarif tetap

Tarif tetap adalah suatu tarif yang berupa suatu jumlah tertentu yang sifatnya tetap dan tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah dasar pengenaan pajak (tax base), obyek pajak maupun subyek pajak. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran bahwa keadilan akan ada apabila terhadap semua pihak diberikan secara sama. Jadi semua dikenakan dalam jumlah yang

(26)

b. Tarif proporsional (sebanding/sepadan)

Tarif proporsional adalah merupakan sebuah persentase tunggal yang dikenakan terhadap semua obyek pajak berapapun nilainya. Adanya tarif ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa untuk mencapai keadilan maka harus dikenakan beban yang sebanding dengan kemampuan mereka masingmasing. Jadi besar kecilnya beban pajak ditentukan oleh besar kecilnya obyek yang dikenai pajak (tax base) tetapi dikenakan pajak dengan tarif yang sama. Contoh tarif proporsional ini adalah tarif yang diterapkan terhadap PPN sebesar 10%. sama. Contoh tarif ini adalah tarif pajak yang diterapkan terhadap bea materai berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1985.

c. Tarif progresif (persentase meningkat)

Tarif progresif adalah tarif yang dikenakan dengan persentase yang meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah yang dikenai pajak atau tax base. Contoh tarif progresif ini adalah tarif yang diterapkan terhadap Pajak Penghasilan (PPh). Semakin tinggi penghasilan seseorang akan semakin dikenakan pajak yang lebih besar, sehingga akhirnya kesenjangan antara yang berpenghasilan besar (kaya) dengan mereka yang berpenghasilan kecil (miskin) semakin berkurang.

d. Tarif degresif (persentase menurun)

Tarif degresif ini adalah merupakan kebalikan dari tarif progresif, yaitu tarif yang dikenakan dengan persentase yang semakin

(27)

menurun seiring dengan meningkatnya jumlah yang dikenai pajak atau tax base. Tarif ini tidak diterapkan dalam UU perpajakan kita karena tidak mencerminkan keadilan dan dikuatirkan dapat memperlebar jurang antara sikaya dan simiskin. Tarif ini juga tidak selaras dengan salah fungsi pajak yaitu sebagai instrument untuk pemerataan penghasilan.20

6. Pelunasan Pajak Penghasilan 1) Pembayaran Pajak

Mekanisme pembayaran pajak :

a. Membayar sendiri pajak yang terhutang :

1. Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25)

Adalah pembayaran pajak penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan wajib pajak dalam melunasi pajak yang terhutang dalam satu tahun pajak. Wajib pajak diwajibkan unuk mengangsur pajak yang akan terhutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan.

2. Pembayaran PPh Pasal 29 setelah akhir tahun

Yaitu pelunasan pajak penghasilan yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak pada akhir tahun pajak apabila pajak terhutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari jumlah total pajak yang dibayar sendiri dalam pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak.

20 Y. Sri Pudyatmoko, 2002, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, h. 63-68.

(28)

3. Yang dmaksud point 2 diatas pajak yang dipotong itu adalah PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22 dan 23 serta PPh Pasal 26.

4. Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah

5. Pembayaran pajak-pajak lainnya.

2) Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo,21 dalam konteks mekanisme pemungutan pajak di Indonesia terdiri atas tiga sistem sebagai berikut:

a. Official Assessment System

adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya:

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

b) Wajib pajak bersifat pasif.

c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya:

21Mardiasmo, 2013, Perpajakan Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta, hlm. 7-8,

(29)

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.

b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c. With Holding System

Merupakan sistem pemungutan di mana pajak dipungut oleh pemungut pajak pada sumbernya, antara lain bendahara pemerintah, wajib pajak badan dan lain- lain yang telah ditetapkan berdasar peraturan perundang- undangan pajak yang berlaku.

Contoh : pajak penghasilan.22

Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, atau pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan / pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Adapun jenis pemotongan / pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN dan PPn BM.

Adapun definisi dari masing-masing pajak penghasilan tersebut adalah sebagai berikut :

1. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke 3 sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang dietrima oleh pegawai dipoton oleh persahaan dimana dia bekerja).

22Edy Supriyanto, 2014, Hukum Pajak Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta hlm. 5-6

(30)

2. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan kegiatan usaha di bidang- bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah).

3. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak dilakukan oleh pihak ke- 3 sehubungan dengan penghasilan tertentu : dividen, bunga, royalty, sewa dan jasa yang diterima oleh WP badan dalam negeri, dan BUT.

4. PPh Pasal 26 adalah pemotongan yang dilakukan oleh pihak ke -3 sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh WP luar negeri.

5. PPh final (Pasal 4 ayat 2)

Ada beberapa penghasilan yang dilakukan PPh Final. Yang dimaksud final disini adalah bahwa pajak yang dipotong, dipungt oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran dimuka) terhadap utang pajak pada akhir tahun dalam penghitungan pajak penghasilan pada SPT Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh final adalah : bunga deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan bangunan, hadiah dan bungan obligasi dsb.

6. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu yang menggunakan borma

(31)

penghitungan khusus, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.

Seperti halnya PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan tersebut merupakan angsuran pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme Pajak keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM). Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh DJP untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi adsministrasi berupa bungan 2%

dan kenaikan 100%

3) Penagihan Pajak

Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem Self Assessment yang dianut dalam undang-undang perpajakan tahun 1983. Sistem Self Assessment telah memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Akan tetapi dalam kenyataannya terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan. Tidak dilunasi utang pajaknya tentu saja menjadi beban administrasi tunggakan pajak.

(32)

Oleh karenanya, untuk mencairkan tunggakan pajak dimaksud dilakukan tindakan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dimulai dari Penerbitan Surat Teguran, Penyampaian Surat Paksa (SP), Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) sampai dengan eksekusi lelang yang bertujuan untuk menagih sebagian ataupun seluruh tunggakan yang belum dibayar. Atas dasar itu, maka diperlukan rangkaian kegiatan yang kontinyu dan tuntas dalam melaksanakan proses penagihan tersebut dengan penanganan administrasi yang tersusun rapi dan benar sehingga bisa memberikan data yang cepat dan akurat.23 Secara rinci, Penagihan Pajak dilakukan dengan cara:

a. Menegur atau memperingatkan,

b. Melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, c. Memberitahukan Surat Paksa,

d. Mengusulkan pencegahan, e. Melaksanakan penyitaan, f. Melaksanakan penyanderaan, g. Menjual barang yang telah disita.

Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah pada suat saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga, pada akhir masa, untuk Pajak

23 Djoko Mulyono. (2010). Hukum Pajak, Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis, Penerbit Andi Offset Yogyakarta. hlm.165

(33)

Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, atau pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.24

B. Pajak Penghasilan Atas Usaha Jasa Konstruksi 1. Pengertian dan Dasar Hukum

Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha dari jasa konstruksi. Sedangkan yang dimaksud dengan jenis usaha jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi dan pengawasan pekerjaan konstruksi.25 Lebih lanjut Kementerian Pekerjaan Umum menjelaskan ruang lingkup mengenai usaha jasa konstruksi sebagai berikut:

a. Jenis Usaha.

1) Perencanaan

2) Pengawasan (Pengembangan Jenis Usaha Umum dan Spesialis) 3) Pelaksanaan (Pengembangan Jenis Usaha Umum, Spesialis,

Berketrampilan Kerja)

24 Penjelasan Pasal 12 Ayat 1, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007

25(1) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

(34)

b. Bentuk Usaha 1) Perorangan 2) Badan Usaha c. Bidang Usaha

1) Bidang Usaha Perencanaan dan Pengawasan a) Arsitektur

b) Rekayasa c) Penataan ruang

d) Jasa konsultan lainnya 2) Bidang Usaha Jasa Pelaksana

1) Bangunan Gedung 2) Bangunan Sipil

3) Insalasi mekanikal dan elektrikal 4) Jasa Pelaksanaan lainnya.26

Terdapat tiga aspek mengenai usaha jasa konstruksi, yaitu:

a. Perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

b. Pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau

26Kementerian Pekerjaan Umum, Peratruran Terkait Jasa Konstruksi, Badan Pembinaan Konstruksi dan Pusat Pembinaan Usaha dan Kelembagaan, Jakarta, hlm. 6.

(35)

bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

c. Pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi.27

Pajak penghasilan (PPh) atas pelaksanaan jasa konstruksi adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha jasa konstruksi yang dapat berupa jasa perencanaan konstruksi, jasa pelaksanaan konstruksi maupun jasa pengawasan konstruksi. Dasar hukum pelaksanaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Dalam peraturan ini ditegaskan bahwa; atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat “final”.28

Adapun tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi dalam uraian Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, adalah sebagai berikut:

a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha

27Kementerian Pekerjaan Umum, op.cit, hlm. 7.

28Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

(36)

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.29

Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan, tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.30 Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final, dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.31

Sementara yang dimaksud Pajak Penghasilan yang bersifat “final”

adalah berdasarkan:

a. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak

29Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai e, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

30Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

31Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

(37)

b. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak”.32

Adapun besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan atau jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril Pajak Penghasilan dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.33

Namun dalam perkembangannya, PP Nomor 51 Tahun 2008 direvisi dengan PP Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Dasar pertimbangannya adalah untuk memberikan kemudahan dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan untuk menjaga iklim usaha sektor jasa konstruksi agar tetap kondusif.34

Dalam peraturan PP No.40 Tahun 2009 dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 10 PP No.51 Tahun 2008 diubah dan di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 10A, Pasal 10B, dan Pasal 10C,35 sebagaimana uraian berikut:

32Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

33Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi,

34Dasar Pertimbangan huruf a, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi,

35Pasal 1, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4881, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

(38)

a. Pasal 10A

Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

b. Pasal 10B

Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

c. Pasal 10C

Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.

2. Wajib Pajak

Wajib pajak yaitu orang yang dituju oleh peraturan untuk dikenakan pajak. PPh ini dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek PPh Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan

(39)

pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.36

a. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

b. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan

perencanaan dan pembangunan (design and build).

c. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.37

36Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

37Pasal 1 ayat (4) sampai (6) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

(40)

3. Objek Pajak

Objek PPh usaha jasa konstruksi adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha Jasa Konstruksi yang kemudian dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.38 Objek PPh ini dijelaskan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, yakni penghasilan yang bersumber antara lain dari:

a. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil

b. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha

d. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b e. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang

dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha f. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang

dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.39

4. Tarif Pajak

Terkait dengan Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi ketentuan tarif sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008

38Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

39Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai e, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

(41)

Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi diuraikan sebagai berikut:

a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.40

Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam Pasal 4 juga dijelaskan bahwa sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4)

40Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

(42)

Undang-Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

5. Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran

Berkaitan dengan tata cara pemotongan pajak, bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran uang muka dan termin. Sedangkan bila pengguna jasa adalah selain huruf a, disetor sendiri oleh penerima penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin.41

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, dijelaskan beberapa ketentuan mengenai tata cara pemotongan pajak sebagai berikut:

a. Pajak Penghasilan yang bersifat final

Pajak penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:

1) Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau

2) Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

3) Besarnya, Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah (a) Jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif. (b) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

41http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-jasa-konstruksi

(43)

ayat (1); atau (c) Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

4) Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.

Adapun tata cara pembayaran pajak diuraikan sebagai berikut:

a. Dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang melalui pemotongan, maka Pembayaran atau penyetoran pajak disetor ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir;

b. Dalam hal Pajak Penghasilan terutang harus disetor sendiri oleh yang penyedia jasa, maka wajib menyetor ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa masa pajak berakhir

c. Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan pemotongan dan atau penyetoran pajaknya melalui Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayan Pajak atau KP2KP, paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.

d. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.42

42http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-jasa-konstruksi

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif yang dilakukan untuk mencari masalah atau isu hukum dan permasalahan hukum yang ada. Hasil dari penelitian hukum ini adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya mengenai isu hukum yang diajukan.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah 1. pendekatan perundang-undangan (statute approach), diperlukan

guna mengkaji lebih lanjut mengenai landasan hukum dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani43 yaitu mengenai

“analisis hukum pajak terhadap pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi”

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi44.

43 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi Cetakan ke-9, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2014, h. 133

44 Ibid, h. 135

(45)

C. Bahan Hukum

Bahan-bahan penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum. Bahan hukum primer yang dimaksud dalam bentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.45

D. Analisis Bahan Hukum

Begitu isu hukum ditetapkan, perlu dilakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.46 Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dikelompokkan dan dikaji berdasarkan pendekatan yang digunakan. Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan

45 Ibid, h.181

46 Ibid, h. 237

(46)

perbandingan untuk memperoleh gambaran yang sistematis dan komprehensif dari bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh untuk menghasilkan preskripsi atau argumentasi hukum yang baru.

(47)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi

Pajak adalah suatu jenis pungutan yang dilakukan oleh Negara atas perintah undang-undang hal ini diperlukan untuk mempertahankan eksistensi suatu Negara. Hal ini sangat bisa dipahami karena tanpa dana yang memadai mustahil Negara akan dapat menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan pembangunan disegala bidang bahkan sangat mustahil suatu Negara dapat mempertahankan eksistensinya sebagai suatu Negara. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka sudah dikenal suatu pungutan yang disebut pajak dengan istilah yang bermacam-macam, seperti pada zaman kerajaan-kerajaan yang pernah ada di bumi nusantara dikenal suatu pungutan oleh raja-raja dengan istilah upeti. Dalam perkembangannya setelah bangsa Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda mulai dikenal pungutan pajak dengan istilah seperti pajak tanah, pajak hasil bumi, pajak perseroan, pajak penghasilan dan lain-lain.

Salah satu jenis pajak yang mendatangkan pendapatan besar bagi negara adalah jenis pajak pada pajak penghasilan, dimana pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum yang diperoleh dalam tahun pajak.

Sehingga sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang PPh bahwa penghasilan yang diperoleh sebuah perusahaan pun dikenakan

(48)

pajak penghasilan sehingga hal ini juga berlaku pada bidang usaha jasa konstruksi. Dalam UU No 36 Tahun 2008 dijelaskan bahwa usaha jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pelayanan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi. Sedangkan pekerjaan konstruksi adalah sebagian rangkaian kegiatan perencanaan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektronikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau fisik lainnya.

Sehingga dari perspektif ini usaha jasa konstruksi dalam hal memberikan jasa usahanya kepada subjek hukum lain mendapatkan feedback berupa penghasilan atas jasa yang diberikan oleh pelaku usaha jasa konstruksi, akibat dari adanya penghasilan oleh pelaku usaha jasa konstruksi tersebut melalui instrument hukum diwajibkan kepada subjek wajib pajak pada usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan UU PPh, hal ini harus dilakukan karena pajak penghasilan memiliki peranan yang sangat penting serta jasa konstruksi pada dasarnya merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional sehingga pendapatan wajib pajak pada usaha jasa konstruksi terbilang cukup besar sehingga dikenakan kepadanya pajak penghasilan.

Peraturan perpajakan mengenai usaha jasa konstruksi pun diatur khusus, dalam hal ini pengenaan pajak atas usaha jasa konstruksi berbeda

(49)

dengan wajib pajak badan pada umumnya. Sehingga pada usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan berdasarkan perintah Undang- undang pajak penghasilan. Pengenaan dan tarif pajak atas jasa penghasilan dari usaha tersebut diatur dalam undang-undang bahwa atas penghasilan wajib pajak dan bentuk usaha tetap dari usaha bidang konstruksi, dikenakan pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang pajak penghasilan No.36 Tahun 2008 semua usaha jasa konstruksi yang mengatur semua penyedia jasa konstruksi baik yang berkualifikasi maupun yang tidak memiliki kualifikasi yang telah diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 sehubungan imbalan dengan jasa konstruksi yang pajak penghasilannya tidak di hitung kembali di akhir tahun maka tarifnya sebesar 2% dari jumlah bruto.

Sedangkan untuk sifat pengenaannya diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d yang perlakuannya tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan peraturan pemerintah. Sehingga dari uraian diatas dapat diketahui didalam Undang- Undang Pajak penghasilan ada dua pasal yang mengatur terkait tentang pajak penghasilan pada usaha jasa konstruksi dimana sifat dasar dari kedua pasal tersebut sangat berbeda ada yang bersifat final dan ada juga yang bersifat tidak final

Pengenaan pada pajak penghasilan, yang bersifat final adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan.

Referensi

Dokumen terkait

Raja Grafindo, 2002), hlm.21.. dan dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, serta perangkat yang cocok untuk mencapai sebuah tujuan. Kelangsungan tindakan

Sebagai perusahaan HTI yang memiliki visi menjadi perusahaan yang terbaik dalam pengelolaan HTI, PT Bumi Persada Permai berkomitmen untuk melakukan kegiatan

Gambar 7 menggambarkan aktifitas yang dapat dilakukan oleh useruntuk memesan tiket.Setelah sistem menampilkan data jadwal keberangkatan, user dapat memesan tiket

cayaan diri peserta didik, permainan pesan berantai bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kefasihan berbahasa dan kepercayaan diri peserta didik; menyediakan

Perlakuan PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi Yang Tidak Memiliki Sertifikasi Usaha Dilihat Dari Sisi Kepastian Hukum Dalam Pemungutan Pajak ………

5.Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Short Message Service (SMS) adalah salah satu fasilitas dari teknologi GSM yang memungkinkan mengirim dan menerima pesan-pesan singkat berupa text dengan kapasitas

Penelitiannya yang Berjudul Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Bagi Hasil, dan Resiko Likuiditas Terhadap Deposito Mudharabah Pada Bank Muamalat Indonesia dengan