• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Krisis Ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan memuncak pada tahun 1997 menyebabkan pemerintah pusat mendelegasikan sebagian dari kekuasaannya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah agar pemerintah daerah dapat melakukan pembangunan dan pelayanan secara mandiri. Dengan diberikannya wewenang yang luas, pemerintah daerah mendapatkan kesempatan untuk terus berinovasi dalam mengelola anggaran dan keuangan daerahnya (Aulia dan Rahmawaty, 2020).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenal dengan istilah desentralisasi.

Menurut Maulidya (2021) Tujuan utama dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan perekonomian daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah, keputusan untuk mengadakan pelayanan

(2)

publik dan penyelenggaraan pemerintahan dapat diambil dengan cepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya. Pemerintah daerah diminta untuk produktif dan imajinatif dalam mengembangkan kemampuan daerah untuk kemampuan kinerja daerahnya, baik kinerja keuangan maupun kinerja non keuangannya (Mustikarini dan Fitriasari, 2012).

Salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang diatur dengan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengawasi dan mengatur kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, transparan, dan akuntabel (Mardiasmo, 2009:18).

Sularso dan Restianto (2011) mengemukakan bahwa kemajuan yang didapatkan oleh suatu daerah adalah hasil dari keberhasilan daerah tersebut dalam mengelola keuangan daerahnya. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan dapat tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang kemudian akan dibuat laporan pertanggungjawaban keuangannya sebagai bahan penilaian kinerja pemerintah dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Aziz (2006) mengatakan bahwa Laporan APBD setiap daerah bisa dijadikan tolok ukur dalam proses pembangunan daerah. Adanya tuntutan pertanggungjawaban kinerja keuangan kepada masyarakat mengharuskan pemerintah daerah untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai kinerjanya. Laporan tersebut dapat digunakan sebagai bahan penilaian agar masyarakat dapat memberikan penilaian mengenai kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan daerahnya, apakah pengalokasian

(3)

pendapatan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau belum. Prianka (2015) mengatakan bahwa pada dasarnya APBD menggambarkan kinerja pemerintah daerah, semakin baik pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap APBD, maka seharusnya kinerja yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin baik. Dengan ini, sangat penting untuk setiap daerah melakukan pengukuran kinerjanya. Pengukuran kinerja pemerintah dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah, pengalokasian sumber daya, pembuatan keputusan yang tepat, serta untuk memfasilitasi terwujudnya akuntabilitas publik (Natoen dkk, 2019).

Implementasi dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Hal tersebut menjadi suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti. Otonomi daerah menyebabkan permasalahan yang berkaitan dengan pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seperti ketidaksiapan pemerintah kabupaten/kota memenuhi harapan pemerintah pusat untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya dengan pendapatan asli daerah. Permasalahan dalam keuangan menjadi sangat penting karena dapat menghambat pembangunan dalam pemerintah daerah. Dalam melakukan pembangunan daerah, pemerintah daerah tidak hanya menggunakan dana dari pendapatan asli daerahnya. Disamping itu, pemerintah daerah mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat. Dengan adanya dana transfer tersebut, pemerintah pusat mengharapkan agar semakin meningkatnya pertumbuhan di daerah.

Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus masalah keuangannya sendiri tidak selamanya berjalan baik.

(4)

Dalam pelaksanaannya pun muncul masalah-masalah yang terjadi terkait kinerja keuangan di pemerintah daerah. Salah satu fenomena yang terjadi dalam kinerja keuangan daerah di Indonesia adalah pemerintah daerah cenderung mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan daerahnya.

Kondisi ini akan mengakibatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer dari pemerintah pusat. Semakin tinggi dana transfer yang diterima dari pusat, maka semakin tinggi pula tingkat ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat. Ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap pemerintah pusat berdampak kurang baik terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah karena pemerintah daerah dianggap belum mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan menggunakan pendapatan asli daerah. Selain itu, pemerintah daerah belum mampu memanfaatkan sumber daya dan potensi yang ada di daerahnya sebagai sumber untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pendanaan pembangunan daerah masih bergantung pada alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari pemerintah pusat, sedangkan pendapatan asli daerah porsinya lebih kecil. Untuk rinciannya yaitu TKDD sebesar 65%, pendapatan asli daerah sebesar 23%, dan 8,4% berasal dari pendapatan lainnya (kemenkeu.go.id, 22 Maret 2021). Hal tersebut menunjukan masih tingginya tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

Ketergantungan Keuangan terhadap pusat yang terjadi di Provinsi Jawa Barat justru lebih parah terjadi pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

(5)

Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat Gambar 1. 1

Realisasi Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2015 (Milyar Rupiah)

Kontribusi pendapatan asli daerah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat berkisar antara 16,42% sampai dengan 21,46% pada tahun 2012-2015, sedangkan kontribusi dana perimbangan berkisar antara 49,95% sampai dengan 63,52%, sisanya persentase pendapatan yang bersumber dari lain-lain pendapatan yang sah. Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan dana transfer (dana perimbangan) hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat relatif besar mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Hal ini menunjukan kecilnya kontribusi pendapatan asli daerah pada pembiayaan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat.

Salah satu penyebab ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat yaitu karena terjadi perbedaan pemahaman dalam fungsinya. Pemerintah pusat

0 10 20 30 40 50 60 70 80

2012 2013 2014 2015

48.17

55.85

65.59

73.18

7.91 10.2 14.07 16.05

30.6 32.77 35.34 36.56

Pendapatan Daerah Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan

(6)

memberikan dana transfer untuk pemerataan keuangan daerah. Sedangkan pemerintah daerah menganggap dana transfer tersebut sebagai pemberian dana untuk mencukupi segala kebutuhan daerahnya. Tingkat ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat tercermin dari besarnya perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah. Tingkat ketergantungan keuangan daerah dapat diturunkan dengan penggunaan pendapatan asli daerah untuk membiayai pembangunan (Nugroho, 2012). Pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah menjadi sumber keuangan terbesar agar dapat meminimalkan ketergantungan keuangan pada pemerintah pusat. Pada realitanya, meskipun pendapatan asli daerah kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2012-2015 cenderung naik dari tahun ke tahun, persentase laju pertumbuhannya masih berfluktuasi.

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data Diolah) Gambar 1. 2

Laju Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2015 (Dalam Persen)

36

29

38

15

2012 2013 2014 2015

Laju Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah

(7)

Laju pertumbuhan pendapatan asli daerah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 adalah sebesar 36% dari tahun 2011, kemudian mengalami penurunan menjadi 29% pada tahun 2013, laju pertumbuhan pendapatan asli daerah mengalami kenaikan kembali pada tahun 2014 yaitu menjadi 38%, selanjutnya mengalami penurunan yang agak drastis hingga laju pertumbuhannya menjadi 15% pada tahun 2015.

Fluktuasi pertumbuhan pendapatan asli daerah kabupaten/kota di Jawa Barat masih terbilang cukup tinggi. Fenomena ini menjadi tugas untuk pemerintah daerah selaku pihak yang berperan dalam mengelola keuangan daerah agar mampu meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan sumber-sumber keuangan daerah agar bisa menambah pendapatan asli daerah dan dapat meminimalkan terjadinya penurunan pertumbuhan pendapatan setiap tahunnya. Menurut Antari dan Sedana (2018), pertumbuhan pendapatan daerah yang mengalami kenaikan setiap tahun menyebabkan pemerintah daerah mampu memenuhi segala kebutuhan daerahnya dan dapat memberikan indikasi bahwa kinerja keuangan daerah tersebut baik.

Selain potensi keuangan yang dimiliki, pemerintah daerah daerah juga memiliki potensi non keuangan yang dapat mendukung kinerja keuangan pemerintah daerah. Diantaranya yaitu ukuran pemerintah daerah dan kompleksitas pemerintah daerah.

Ukuran pemerintah daerah menunjukan besar kecilnya suatu pemerintah daerah. Ukuran pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kinerja keuangan daerah. Semakin besar ukuran pemerintah daerah, akan memudahkan

(8)

kegiatan operasional dan melancarkan pelayanan publik (Kusumawardani, 2012).

Ukuran Pemerintah daerah dapat diukur dengan besarnya total aset yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Ukuran pemerintah yang besar dapat memberikan kesempatan yang besar pula kepada pemerintah daerah untuk mengeksplorasi potensi daerahnya sebagai sumber pendapatan asli daerah tersebut.

Besarnya ukuran pemerintah daerah seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pengadaan aset. aset yang ada di daerah sangat erat kaitannya dengan belanja daerah, khususnya dengan belanja modal yang berhubungan dengan pengadaan infrastruktur. Siregar (2015:167) mengatakan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran untuk pengadaan aset tetap. Aset tetap seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,jalan, irigasi, dan aset tetap lainnya selain berguna dalam memenuhi kebutuhan dalam pengadaan fasilitas, aset tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan asli daerah. Tetapi, pada realitanya masih ada beberapa daerah yang memiliki persentase belanja modal yang kecil.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti rata-rata belanja modal pemerintah daerah yang hanya mencapai 19%. Dari anggaran belanja daerah sebesar Rp 1.153 triliun, sekitar 36% atau Rp 410,6 triliun dialokasikan untuk belanja pegawai. Belanja barang dan jasa sebesar 23% atau Rp 270,6 triliun dan belanja modal hanya sebesar 19% dari total belanja daerah. Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani mengatakan bahwa gaji di daerah terlalu besar. Sri Mulyani juga menekankan minimal 25% dana transfer umum dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil digunakan untuk belanja infrastruktur (katadata.co.id, 11 Desember 2018). Hal ini menunjukan pembangunan infrastruktur publik dan

(9)

pemanfaatan aset daerah belum maksimal. Menurut Lathifa dan Haryanto (2019), faktor permasalahan tersebut terjadi karena pemerintah daerah kurang memperhatikan penggalian potensi-potensi pendapatan asli daerah.

Fenomena ini juga terjadi pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat. Sebagian besar anggaran dihabiskan untuk belanja pegawai, sehingga untuk membiayai kebutuhan penting lainnya pemerintah daerah bergantung pada transfer dari pusat (Fiorentina 2021). Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pada penyusunan anggaran daerahnya. Kontribusi belanja pegawai dan belanja modal pada total belanja daerah kabupaten/kota di Jawa Barat dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan dan Keuangan (Data Diolah) Gambar 1. 3

Kontribusi Belanja Pegawai dan Belanja Modal pada Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2015

2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5

55.48 52.32 52.09

46.67 20.65

21.26 20.14

21.94 Belanja Pegawai Belanja Modal

(10)

Belanja modal pada pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat masih terbilang kecil. Hal ini dibuktikan dengan persentasenya pada tahun 2012-2015.

Persentasenya adalah 20,65% pada tahun 2012, 21,26% pada tahun 2013, 20,14%

pada tahun 2014, dan mencapai 21,94% pada tahun 2015. Sedangkan untuk persentase belanja pegawainya pernah mencapai setengahnya dari total belanja daerah, yaitu mencapai 55,48% pada tahun 2012. Persentase belanja modal provinsi Jawa Barat masih mengalami fluktuasi meskipun dalam jumlah yang kecil. Tetapi, hal ini tetap harus menjadi perhatian pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pada penyusunan anggaran daerahnya.

Bertambahnya belanja modal, akan mengakibatkan bertambahnya aset daerahnya. Pengelolaan dan pemanfaatan aset daerah yang optimal akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah sebagai sumber pembiayaan daerah.

Faktor selanjutnya yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan adalah kompleksitas pemerintah daerah. Kompleksitas pemerintah daerah merupakan kondisi dimana terdapat faktor-faktor dengan karakteristik berbeda-beda yang dapat mempengaruhi pemerintah daerah (Khasanah dan Rahardjo, 2014). Pratama, dkk (2015) mendefinisikan kompleksitas pemerintah daerah dengan jumlah penduduk. Peranan Penduduk dalam perekonomian sangat nyata, jika suatu daerah mempunyai jumlah penduduk yang banyak maka pelayanan yang diberikan kepada publik akan menjadi semakin baik (Rahayu, 2014). Semakin banyak jumlah penduduk maka pemerintah daerah semakin dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan dan fasilitas yang memadai untuk penduduk yang ada. Dengan begitu,

(11)

pemerintah daerah harus bisa mengelola keuangan dan menjaga kinerja keuangannya tetap baik agar mampu membiayai kebutuhan tersebut. Selain itu, Penduduk juga dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Population Reference Bureau (PRB) (2011) dalam penelitian Asmuruf dkk (2015), Penduduk merupakan sumber daya utama yang berpengaruh besar terhadap pembangunan suatu wilayah.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai Pengaruh Tingkat Ketergantungan Keuangan Daerah, Ukuran Pemerintah Daerah, dan Kompleksitas Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Survei pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2016-2020).

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Tingkat Ketergantungan Keuangan Daerah, Ukuran Pemerintah Daerah, Kompleksitas Pemerintah Daerah, dan Kinerja Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat pada Tahun 2016-2020?

2. Bagaimana pengaruh Tingkat Ketergantungan Keuangan Daerah, Ukuran Pemerintah Daerah, dan Kompleksitas Pemerintah Daerah pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat pada Tahun 2016-2020 baik secara bersama-sama maupun secara parsial?

(12)

1.3 Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang sudah dijelaskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Tingkat Ketergantungan Keuangan Daerah, Ukuran Pemerintah Daerah, Kompleksitas Pemerintah Daerah, dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat pada Tahun 2016-2020;

2. Untuk mengetahui pengaruh Tingkat ketergantungan Keuangan Daerah, Ukuran Pemerintah Daerah, dan Kompleksitas Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat pada Tahun 2016-2020 baik secara parsial maupun bersama-sama.

1.4 Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini penulis harapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Penulis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, pemahaman, wawasan, serta pengalaman penulis mengenai topik ataupun judul peneliti yang diangkat. Penulis juga berharap agar ilmu yang didapat akan bermanfaat baik dalam segi teoritis maupun dalam kehidupan sehari-hari.

2. Bagi Pemerintah Daerah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah

(13)

sehingga menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam memutuskan suatu kebijakan khususnya dalam keuangan daerah.

3. Bagi Pihak lain

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pembaca, serta dapat memberikan masukan dalam mengembangkan penelitian yang serupa. Salah satunya bagi Fakultas Ekonomi dan bisnis, diharapkan menjadi bahan bacaan, referensi, masukan, dan perbandingan yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat.

Adapun data keuangannya dapat diakses melalui website resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Badan Pusat Statistik.

1.5.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September 2021 sampai dengan Bulan Oktober 2022. Rincian jadwal penelitian disajikan dalam matriks pada lampiran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil clustering kedua untuk kelas Teknik Informatika-B dari output weka 3.6 menunjukkan sebanyak 12 (24%) nilai UTS termasuk dalam cluster nilai rendah, sebanyak 24

1) Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei. Pengambilan sampel ikan dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Sebagai data pendukung dilakukan pengamatan langsung

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Allows readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the

33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk mendapatkan sumber daya

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik

Pada bagian ketiga penulis akan menjabarkan mengenai Perkembangan pendidikan sebelum dan setelah resminya Kabupaten Sleman melaksanakan Otonomi Daerah secara penuh

Perubahan Dari OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti yang menepatkan bahwa Badan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan

Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 menyatakan risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu