• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bencana

Bencana alam terjadi hampir sepanjang tahun di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Undang – Undang Nomor 24 tahun 2007 menyatakan bahwa bencana merupakan suatu peristiwa baik yang dihasilkan oleh alam, manusia, atau non alam, yang mampu dan dapat memberikan ancaman maupun gangguan terhadap makhluk yang ada di sekitarnya, seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan organisme lainnya [9]. Gangguan maupun ancaman yang diberikan dapat berupa merusak kondisi lingkungan, rusaknya sumber makanan, hilangnya tempat tinggal, hilangnya harta benda, gangguan terhadap psikologis, bahkan hilangnya suatu nyawa makhluk hidup atau dalam jumlah yang sangat banyak, dan lainnya. Bencana pada Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan [10]. United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) menyatakan bahwa bencana adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, terjadi tiba – tiba atau perlahan – lahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda, dan kerusakan lingkungan. Dapat kita simpulkan dari beberapa pengertian di atas bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak terduga maupun sudah terduga yang dapat merugikan manusia di sekitarnya serta benda – benda yang berada di sekitarnya [11]. Siklus penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga periode [6], yaitu :

a. Prabencana, terjadi saat sebelm bencana, pencegahan lebih difokuskan dengan kesiapsiagaan level medium.

b. Bencana, terjadi saat bencana atau masa krisis, tanggap darurat menjadi kegiatan terpenting.

c. Pascabencana, terjadi setelah bencana, pemulihan dan rekonstruksi menjadi proses terpenting.

(2)

2.2. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dan lahan terjadi akibat ulah manusia ataupun faktor alam. Kebakaran hutan dan lahan mengancam sebagian besar hutan dunia, komunitas, dan pabrik industri, yang memicu kecelakaan teknologi [12]. Penyebab Kebakaran Hutan yang terbanyak ialah dikarenakan tindakan dan kelalaian manusia. Menurut Kamus Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Kebakaran Hutan (Wild Fire Free Burning, Forest Fire) didefenisikan sebagai kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan kerugian, kebakaran terjadi karena faktor-faktor yaitu, faktor alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama) dan faktor manusia (misalnya karena kesalahan manusia membuat api di tengah-tengah hutan pada saat musim kemarau atau di hutan-hutan yang mudah terbakar) [13]. Syaufina menyatakan bahwa kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non-hutan [5]. Kebakaran di Indonesia sering bahkan hampir selalu membakar areal hutan dan non-hutan dalam waktu yang bersamaan akibat penjalaran dari area hutan ke area non-hutan begitupun sebaliknya.

2.3. Kawasan Hutan

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap [14]. Indonesia adalah sebuah negara besar, yang mengalokasikan 120,6 juta hektar atau sekitar 63 persen dari luas daratannya sebagai kawasan hutan, sedangkan kawasan daratan sisanya berupa areal bukan kawasan hutan yang dikenal sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Kawasan hutan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) fungsi, yaitu: Hutan Produksi (HP) meliputi areal seluas 68,8 juta hektar atau 57 persen dari kawasan hutan, Hutan Konservasi (HK) meliputi areal seluas 22,1 juta hektar atau 18 persen dari kawasan hutan (dengan tambahan 5,3 juta hektar dari kawasan konservasi perairan), dan Hutan Lindung (HL) yang memiliki fungsi perlindungan daerah aliran sungai (DAS) dan meliputi areal seluas 29,7 juta hektar atau 25 persen [15]. Provinsi Riau memiliki 13 jenis kawasan hutan yang tersebar di Provinsi Riau yang memiliki

(3)

penjelasan sesuai dengan Buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status Dan Fungsi Kawasan Hutan yang terdiri dari :

a. Areal Penggunaan Lain (APL) adalah areal bukan kawasan hutan.

b. Cagar Alam (CA) adalah suatu kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

c. Hutan Lindung (HL) adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

d. Hutan Produksi (HP) adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

e. Hutan Produksi Konservasi (HPK) adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kehutanan.

f. Hutan Produksi Tetap (HPT) adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai dibawah 125, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru. g. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan hutan dengan ciri khas

tertentu baik di daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati alam dan ekosistemnya.

h. Suaka Margasatwa (SM) adalah kawasan hutan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. i. Sungai adalah aliran air yang besar berbentuk memanjang dan mengalir

(4)

j. Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

k. Taman Nasional (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

l. Tubuh Air adalah kumpulan air yang besarnya bergantung pada relief permukaan bumi, curah hujan, batuan, dan sebagainya.

m. Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

2.4. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana merupakan peraturan dipergunakan sebagai acuan bagi kementerian atau Lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat di Indonesia dalam melaksanakan program penanggulangan bencana di Indonesia. Standarisasi ini diharapkan dapat mewujudkan keselarasan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten atau kota. Pengkajian risiko yang terdapat di dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 meliputi pengkajian tingkat ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana [16].

2.5. Ancaman Bencana Kebakaran Hutan (Perka BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 menyatakan bahwa Ancaman (Hazard) adalah suatu fenomena atau peristiwa yang dapat menimbulkan bencana pada daerah tertentu [16]. Dalam penilaian tingkatan ancaman ada beberapa komponen indeks ancaman yang dihitung. Hasil dari nilai indeks ancaman tersebut

(5)

berupa peta ancaman. Peta ancaman adalah gambaran atau representasi suatu wilayah yang memiliki suatu ancaman tertentu. Dalam penyusunan peta ancaman, komponen-komponen utama ini dipetakan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi berupa pembobotan dan skor. Persamaan yang digunakan dalam menemukan potensi ancaman kebakaran hutan ditunjukkan pada persamaan berikut.

Ancaman Kebakaran Hutan

= (Tutupan Lahan×40%) + (Curah Hujan×30%) + (Jenis Tanah×30%) ... (2.1)

Pemetaan baru dapat dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada tiap komponen diperoleh dari sumber data yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 tingkat ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pada penyusunan peta ancaman kebakaran hutan menggunakan 3 parameter utama, yaitu tutupan lahan, iklim atau curah hujan, dan jenis tanah yang diklasifikasi sesuai Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Parameter Penentuan Tingkat Ancaman Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Parameter Tingkat Parameter Bobot

Rendah Sedang Tinggi

Tutupan Lahan Hutan Lahan

Perkebunan Padang Rumput Kering dan Belukar, Lahan Pertanian 40% Curah Hujan 3.333 – 5.000 mm/tahun 1.667 – 3.333 mm/tahun 0 – 1.667 mm/tahun 30% Jenis Tanah Non Organik / Non Gambut / Mineral - Organik / Gambut 30%

(Sumber: Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

2.5.1. Tutupan Lahan

Penutup lahan merupakan salah satu data informasi strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang selalu mengalami perubahan dinamis yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti konversi lahan, pembukaan lahan perkebunan, pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan

(6)

perubahan fungsi kawasan hutan [17]. Peta penutupan lahan merupakan salah satu data yang dihasilkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diproduksi sejak tahun 2000 melalui penafsiran citra satelit resolusi sedang. Penutupan lahan memiliki 23 kelas penutupan lahan dengan 7 jenis penutupan hutan dan 16 jenis penutupan bukan lahan. Provinsi Riau memiliki 21 jenis tutupan lahan yang dideskripsikan sebagai berikut :

a. Hutan Lahan Kering Primer, hutan alam atau hutan yang tumbuh dan berkembang secara alami, stabil dan belum pernah mengalami gangguan eksploitasi oleh manusia, yang lantai hutannya tidak pernah terendam air baik secara periodik atau sepanjang tahun.

b. Hutan Lahan Kering Sekunder, hutan yang tumbuh secara alami sesudah terjadinya kerusakan/perubahan pada tumbuhan hutan yang pertama. Hutan yang telah mengalami gangguan eksplotasi oleh manusia, biasanya ditandai dengan adanya jaringan jalan ataupun jaringan sistem eksploitasi lainnya. Kenampakan berhutan bekas tebas bakar yang ditinggalkan, bekas kebakaran atau yang tumbuh kembali dari bekas tanah terdegradasi juga dimasukkan dalam kelas ini.

c. Hutan Rawa Primer, hutan yang lantai hutannya secara periodik atau sepanjang tahun terendam air (di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut) yang belum menampakkan bekas penebangan. d. Hutan Rawa Sekunder, hutan yang lantai hutannya secara periodik atau

sepanjang tahun terendam air (di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut) yang telah menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar dan sudah mengalami suksesi.

e. Hutan Mangrove Primer, hutan yang tumbuh di daerah pantai atau sekitar muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai, yang belum menampakkan bekas penebangan). Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman.

(7)

f. Hutan Mangrove Sekunder, Hutan yang tumbuh di daerah pantai atau sekitar muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai), yang telah memperlihatkan bekas penebangan dengan pola alur, bercak, dan genangan atau bekas terbakar.

g. Semak Belukar, hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi) namun belum / tidak optimal, atau lahan kering dengan liputan pohon jarang (alami) atau lahan kering dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kenampakan ini biasanya tidak menunjukkan lagi adanya bekas / bercak tebangan.

h. Hutan Tanaman, hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi (sudah ditanami), termasuk hutan tanaman untuk reboisasi dan hutan tanaman industri. i. Perkebunan, adalah lahan bertumbuhan pohonpohonan yang dibebani

hak milik atau hak lainnya dengan penutupan tajuk didominasi pohon buah atau industry.

j. Semak Belukar Rawa, hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi) namun belum / tidak optimal, atau bekas hutan rawa / mangrove dengan liputan pohon jarang (alami), atau bekas hutan rawa / mangrove dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kenampakan ini biasanya tidak menunjukkan lagi adanya bekas / bercak tebangan

k. Pertanian Lahan Keirng, aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan dan ladang.

l. Pertanian Lahan Kering Campur Semak, aktivitas pertanian lahan kering dan kebun yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst.

m. Sawah, hamparan lahan untuk aktivitas pertanian yang dicirikan oleh pola pematang (di jawa), biasanya di luar jawa tidak menggunakan pola pematang. Kelas ini juga memasukkan sawah musiman, sawah tadah hujan, dan sawah irigasi. Khusus untuk sawah musiman di daerah rawa

(8)

disebut sawah sonor, yaitu penanaman padi pada areal rawa yang sedang kering dengan melakukan pembakaran pada awal musim kemarau kemudian menanam pada musim kemarau (dengan penaburan benih) dan memanen padi sebelum lokasi tersebut terbenam air kembali.

n. Tambak, lahan untuk aktivitas perikanan darat (ikan / udang) atau penggaraman yang dicirikan dengan pola pematang (umumnya), serta biasanya tergenang dan berada di sekitar pantai.

o. Permukiman / Lahan Terbangun, lahan yang digunakan untuk permukiman, baik perkotaan, pedesaan, industri, fasilitas umum dll, dengan memperlihatkan bentuk-bentuk yang jelas.

p. Transmigrasi, lahan yang digunakan untuk areal permukiman perdesaan (transmigrasi) beserta pekarangan di sekitarnya. Sedangkan areal transmigrasi yang telah berkembang, polanya menjadi kurang teratur dan susah dipisahkan lagi antara kebun, pertanian dan pemukimannya, dikelaskan menjadi kelas transmigrasi.

q. Lahan Terbuka, lahan tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas kebakaran. Kenampakan lahan terbuka untuk pertambangan dikelaskan pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas pembersihan lahan land clearing dimasukkan kelas lahan terbuka. Lahan terbuka dalam kerangka rotasi tanam sawah / tambak tetap dikelaskan sawah / tambak.

r. Pertambangan, lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas pertambangan terbuka-open pit (spt.: batubara, timah, tembaga dll.), serta lahan pertambangan tertutup skala besar yang dapat diidentifikasikan dari citra berdasar asosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan limbah penambangan). Lahan pertambangan tertutup skala kecil atau yang tidak teridentifikasi dikelaskan menurut kenampakan permukaannya.

(9)

s. Tubuh Air, adalah perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, dll. Kenampakan tambak, sawah dan rawa-rawa telah digolongkan tersendiri.

t. Rawa, lahan rawa yang sudah tidak berhutan (tidak ada vegetasi pohon).

u. Bandara / Pelabuhan, Bandara dan pelabuhan yang berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi tersendiri

2.5.2. Curah Hujan

Curah hujan adalah endapan atau deposit air dalam bentuk cair maupun padat yang berasal dari atmosfer. Karakteristik hujan suatu daerah perlu diketahui untuk menentukan ketersediaan air serta kemungkinan terjadinya permasalahan dan bencana yang berkaitan dengan sumber daya air [18]. Di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan mili meter (mm). Curah hujan dalam 1 mm memiliki arti dalam luasan 1 meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.

2.5.3. Jenis Tanah

Klasifikasi tanah adalah cara mengumpulkan dan mengelompokkan tanah berdasarkan kesamaan dan kemiripan sifat dan ciri morfologi, fisika dan kimia, serta mineralogi, kemudian diberi nama agar mudah dikenal, diingat, dipahami dan digunakan serta dapat dibedakan satu dengan lainnya [19]. Tanah yang diklasifikasikan adalah benda alami yang terdiri dari padatan (bahan mineral dan bahan organik), cairan dan gas, yang terbentuk di permukaan bumi dari hasil pelapukan bahan induk oleh interaksi faktor iklim, relief, organisme dan waktu, berlapis-lapis dan mampu mendukung pertumbuhan tanaman, sedalam 2 m atau sampai batas aktifitas biologi tanah [20]. Jenis tanah di Provinsi Riau sendiri terdiri dari 5 jenis tanah yang memiliki deskripsi sebagai berikut:

a. Organosol, tanah lain yang berada pada batuan kukuh sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah, tanah dari bahan organik, ketebalan >50 cm, kadar C organic >12%.

(10)

b. Aluvial, tanah lain yang tidak mempunyai horison penciri, tidak bertekstur kasar dari bahan albik atau horison apapun (kecuali jika tertimbun > 50 cm bahan baru) selain horison A okrik, horison H histik serta mempunyai tekstur kasar (pasir pasir berlempung) pada kedalaman antara 25-100 cm dari permukaan tanah mineral.

c. Latosol, tanah lain yang mempunyai kandungan liat tinggi (> 60%), remah sampai gumpal, gembur dan warna homogen pada penampang tanah dalam dengan batas horizon baur, KB 50% atau lebih (NH4OAc), tidak mempunyai horison penciri (kecuali jika tertimbun > 50 cm bahan baru) selain horison A molik dan horison B kambik, tidak memperlihatkan gejala plintit di dalam kedalaman 125 cm dari permukaan, dan tidak memiliki sifat vertik.

d. Podsolik Merah Kuning, tanah lain yang mempunyai horison B argilik, atau kandik, mempunyai KB > 50% (NH4OAc) dan tidak mempunyai horison albik yang berbatasan langsung dengan horison argilik atau fragipan.

e. Brown Forest Soil (Umbrisol), Tanah lain yang mempunyai horison A molik dan di bawahnya langsung batukapur berkadar CaCO3>40% (Jika horison A mengandung pecahan CaCO3 halus banyak, warna horison A molik dapat menyimpang).

2.6. Kerentanan Bencana Kebakaran Hutan (Perka BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 menyatakan bahwa Kerentanan (Vulnerability) merupakan suatu kondisi individu atau kelompok yang mengarah atau menyebabkan ketidakmapuan dalam mengantisipasi ancaman bencana [16]. Peta kerentanan adalah gambaran atau representasi suatu wilayah yang menyatakan kondisi wilayah tersebut memiliki suatu kerentanan tertentu yang dapat mengakibatkan risiko bencana. Peta kerantanan diperoleh dari dua indeks, yaitu indeks kerugian dan indeks penduduk terpapar. Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di daerah yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan

(11)

indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana. Indikator kerentanan sosial yang digunakan adalah kepadatan penduduk. Indeks kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk. Penentuan indeks kerugian dihitung dari komponen kerentanan ekonomi, kerentanan fisik, dan kerentanan lingkungan. Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator pada jenis ancaman bencana. Persamaan untuk bencana kebakaran hutan ditunjukkan pada persamaan berikut.

Kerentanan Kebakaran Hutan

= (KS×30%) + (KF×10%) + (KL×40%) + (KE×20%) …………..….. (2. 2) dimana : KS : Kerentanan Sosial

KF : Kerentanan Fisik

KL : Kerentanan Lingkungan KE : Kerentanan Ekonomi

Penentuan kerentanan social bencana kebakaran hutan dan lahan dihitung berdasarkan parameter kepadatan penduduk (60%), rasio jenis kelamin (10%), rasio kemiskinan (10%), rasio orang cacat (10%), dan rasio kelompok umur (10%). Parameter tingkat kerentanan sosial bencana kebakaran hutan dan lahan disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Parameter Penentuan Kerentanan Sosial Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Parameter

Tingkat

Bobot

Rendah Sedang Tinggi

Kepadatan Penduduk < 50 jiwa/km² 50 – 100 jiwa/km² > 100 jiwa/km² 60% Kelompok Rentan < 20% 20 – 40% > 40% 40%

(Sumber: Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Penentuan kerentanan fisik bencana kebakaran hutan dan lahan dihitung berdasarkan kepadatan rumah, ketersediaan fasilitas umum, dan ketersediaan fasilitas kritis. Kepadatan rumah diperoleh dengan membagi atas area terbangun atau luas desa dan dibagi berdasarkan wilayah (dalam hektar) dan dikalikan dengan harga satuan dari masing-masing parameter. Parameter tingkat kerentanan fisik bencana kebakaran hutan dan lahan disajikan pada Tabel 2.3 berikut ini.

(12)

Tabel 2.3. Parameter Penentuan Kerentanan Fisik Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Parameter

Tingkat

Bobot

Rendah Sedang Tinggi

Rumah < 400 juta 400 – 800 juta > 800 juta 40% Fasilitas Umum < 500 juta 500 juta – 1 M > 1 M 30% Fasilitas Kritis < 500 juta 500 juta – 1 M > 1 M 30%

(Sumber: Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Penentuan kerentanan lingkungan bencana kebakaran hutan dan lahan dihitung berdasarkan tutupan lahan yaitu hutan lindung, hutan alam, hutan bakau atau hutan mangrove, rawa, dan semak belukar. Parameter tingkat kerentanan lingkungan bencana kebakaran hutan dan lahan disajikan pada Tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4. Parameter Penentuan Kerentanan Lingkungan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Parameter

Tingkat

Bobot

Rendah Sedang Tinggi

Hutan Lindung < 20 Ha 20 – 50 Ha > 50 Ha 40%

Hutan Alam < 25 Ha 25 – 75 Ha > 75 Ha 40%

Hutan Bakau / Mangrove < 10 Ha 10 – 30 Ha > 30 Ha 10% Semak Belukar < 10 Ha 10 – 30 Ha > 30 Ha 10%

(Sumber: Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Penentuan kerentanan ekonomi bencana kebakaran hutan dihitung berdasarkan parameter lahan produktif dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) [16]. Luas lahan produktif diperoleh dari peta guna lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi ke dalam rupiah, sedangkan PDRB diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka. Parameter tingkat kerentanan ekonomi bencana kebakaran hutan dan lahan disajikan pada Tabel 2.5 berikut ini.

Tabel 2.5. Parameter Penentuan Kerentanan Ekonomi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Parameter Bobot Tingkat Parameter

Rendah Sedang Tinggi

Lahan Produktif 60% < 50 juta 50 – 200 juta > 200 juta

PDRB 40% < 100 juta 100 - 300 juta > 300 juta

(13)

2.7. Kapasitas (Perka BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 menyatakan bahwa Kapasitas (Capacity) merupakan potensi sumber daya yang dimiliki komunitas masyarakat untuk mengantisipasi atau mengurangi dampak risiko bencana [16]. Upaya pengurangan risiko bencana salah satunya dapat didukung oleh peningkatan kapasitas daerah dalam menghadapi bencana. Penilaian kapasitas untuk tingkat provinsi dilihat dari kapasitas masing-masing daerah. Kapasitas daerah tersebut berlaku sama untuk seluruh bencana. Hal ini disebabkan karena difokuskan kepada institusi pemerintah di daerah kajian sehingga indeks kapasitas dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Penilaian kapasitas daerah mengacu kepada Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012. Berdasarkan aturan tersebut diketahui proses pengkajian terhadap indeks kapasitas Provinsi. Pengkajian kapasitas Provinsi mengacu kepada prioritas program pengurangan risiko bencana. Parameter diidentifikasi untuk mendapatkan tingkat parameter dan dinilai berdasarkan masing-masing tingkat menggunakan metode skoring. Berikut hubungan tingkat ketahanan daerah dengan parameter Kapasitas berdasarkan Peraturan Kepala BNPB 02 Tahun 2012 disajikan pada Tabel 2.6 berikut ini.

Tabel 2.6. Parameter Pentuan Kapasitas Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Parameter Bobot Tingkat Parameter

Rendah Sedang Tinggi

Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan Bencana 100% Tingkat Ketahanan 1 dan Tingkat Ketahanan 2 ( < 0,33) Tingkat Ketahanan 3 (0,33 – 0,66) Tingkat Ketahanan 4 dan Tingkat Ketahanan 5 ( > 0,66) Peringatan Dini dan

Kajian Risiko Bencana

Penddikan Kebencanaan Pengurangan Faktor Risiko Dasar Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini

(14)

2.8. Risiko Bencana Kebakaran Hutan (Perka BNPB Nomor 02 Tahun 2012)

Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 menyatakan risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa waktu kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat [21]. Peta risiko bencana adalah peta tematik yang menggambarkan tingkat risiko bencana pada suatu daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana. Aditya (2010) dalam bukunya mengatakan bahwa analisis risiko pada pembuatan peta risko melibatkan tiga komponen yaitu ancaman, kerentanan, dan kapasitas [7]. Hubungan antara ketiga komponen tersebut dinyatakan dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 dalam persamaan (2.3) berikut :

R = H × V

C ……… (2.3)

dimana R : Risiko (Risk) H : Ancaman (Hazard)

V : Kerentanan (Vulnerability) C : Kapasitas (Capacity)

Semakin tinggi ancaman di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masyarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan [7]. Khambali menyatakan bahwa peta risiko (Risk Mapping) merupakan gambaran suatu masyarakat atau suatu wilayah geografis yang mengidentifikasi tempat dan bangunan yang mungkin terkena dampak suatu bencana [6]. Keuntungannya adalah teknik ini dapat membantu menentukan bencana – bencana yang umum terjadi, menyusun kriteria untuk pengambilan keputusan, menyediakan data kejadian bencana yang terjadi, dan lainnya.

(15)

2.9. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Georafis atau Geographic Information System (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem informasi khusus yang memiliki database berupa observasi bentuk, kejadian atau aktivitas secara spasial yang digambarkan dalam bentuk titik (point), garis (polylinei), dan luasan (polygon) [22]. Sistem ini menangkap, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainya yang membuatnya menjadi berguna berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi [23]. Penelitian ini melakukan beberapa analisis spasial terhadap data yang digunakan untuk mendeteksi adanya pola khusus pada fenomena spasial dan mengonfirmasi hipotesis penelitian ini. Fungsi analisis spasial menurut Nurpillihan [24] yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari :

a. Klasifikasi, fungsi ini untuk mengklasifikasikan suatu data spasial menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriterian tertentu. Pada penelitian ini klasifikasi digunakan untuk mengklasifikasi data – data yang digunakan, yakni curah hujan, tutupan lahan, jenis tanah, tingkat ancaman, tingkat kerentanan, tingkat kapasitas, tingkat risiko, dan kawasan hutan.

b. Tumpang susun (overlay), fungsi ini menghasilkan data spasial baru hasil dari penggabungan atau tumpang susun minimal dua data spasial yang menjadi masukannya. Pada penelitian ini menggunakan fungsi Union dan Intersect sebagai fitur overlay. Union memiliki prinsip menggabungkan semua area data dan Intersect memiliki prinsip perpotongan hanya pada area yang sama. c. Interpolasi, adalah suatu fungsi matematika yang menduga nilai pada lokasi –

lokasi yang datanya belum tersedia [25]. Interpolasi spasial mengansumsikan bahwa atribut data saling berhubungan secara spasial dan bersifat kontinyu di dalam ruang (space). Logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai titik

(16)

obervasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama atau mendekati dengan nilai titik yang lebih jauh [26]. Penelitian ini menggunakan interpolasi pada data curah hujan menggunakan IDW (Inverse Distance Weighted). Metode IDW mengansumsikan bahwa semakin jauh titik terhadap suatu titik yang tidak diketahui nilainya, maka semakin besar pengaruhnya. Oleh karena itu IDW menggunakan nilai yang terukur pada titik-titik di suatu lokasi untuk memperkirakan nilai titik yang belum diketahui pada lokasi tersebut.

d. Konversi, adalah suatu fungsi yang mengubah suatu bentuk data menjadi bentuk lainnya. Pada penelitian ini digunakan fungsi pengubah data berbentuk raster menjadi data berbentuk vector menggunakan fitur raster to polygon. e. Skoring dan Pembobotan, adalah teknik pengambilan keputusan pada suatu

proses yang melibatkan berbagai parameter secara bersamaan dengan memberi bobot pada masing-masing parameter tertentu dengan menimbang pengaruh parameter dengan parameter lainnya. Pada penelitian ini bobot tiap parameter sudah ditentukan pada Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012.

2.10. Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) merupakan indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di sekitarnya [27]. Satelit yang dikenal mendeteksi titik panas adalah Satelit NOAA dan Terra/Aqua MODIS. Titik panas biasanya digunakan sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah, sehingga jumlah titik panas berbanding lurus dengan jumlah kejadian kebakaran. Data titik panas yang digunakan bersumber dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan dianalisis oleh SiPongi, Sipongi merupakan sistem yang dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memonitor kebakaran hutan dan lahan [2]. Selang kepercayaan menunjukkan tingkat kepercayaan bahwa titik panas yang dipantau dari data satelit penginderaan jauh benar terjadi kebakaran dengan yang sebenarnya di lapangan [28]. SiPongi menggunakan data titik panas dengan selang kepercayaan ≥ 80% karena sebagai sistem monitoring kebakaran hutan dan lahan berfokus untuk mendeteksi indikasi

(17)

kebakaran hutan dan lahan di lapangan dengan tingkat kemungkinan tertinggi agar efektif menyesuaikan dengan keterbatasan sumber daya manusia di lapangan

Gambar

Tabel 2.1. Parameter Penentuan Tingkat Ancaman Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Tabel 2.2. Parameter Penentuan Kerentanan Sosial Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Tabel 2.3. Parameter Penentuan Kerentanan Fisik Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Tabel 2.6. Parameter Pentuan Kapasitas Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Referensi

Dokumen terkait

tinggi,penyakit paru dan batuk-batuk yang lama,konstipasi yang lama,kencing manis maupun penyakit jantung,dan riwayat operasi sebelumnya.. Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melepasliarkan 1.000 ekor ikan Capungan Banggai atau yang biasa dikenal sebagai Banggai Cardinal Fish (BCF) dan 25 ekor

Teknologi Tepat Guna adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dan dapat dimanfaatkan oleh

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan berbagai tingkat asam sulfat (H 2 SO 4 ) pada proses pikel berpengaruh (P&lt;0,05) terhadap nilai keasaman (pH), dan kadar krom (Cr 2

menolak peluru dengan peraturan yang dimodifikasi Tes tertulis Tes observasi Tes praktik (Kinerja) Tes tertulis Tes observasi ganda/uraia n singkat Lembar observasi Tes Contoh

Distribusi Frekuensi Ketersediaan Air Bersih Menurut Penggunaan Jamban Di RW 02 Desa Gempolklutuk, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2015 Distribusi F rekuensiJarak R umah

Pola agroforestry merupakan kegiatan yang mengkombinasikan produksi tanaman semusim (tanaman pangan, obat-obatan, pakan, dll) dengan tanaman kehutanan (dapat