• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 26. RELATIVITAS EINSTEIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 26. RELATIVITAS EINSTEIN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...1

BAB 26. RELATIVITAS EINSTEIN...2

26.1 Gerak Relatif di Fisika Klasik ...2

26.2 Kecepatan Cahaya dan Postulat Einstein...2

26.3 Delatasi Waktu dan Panjang...5

26.4 Quis 26...11

(2)

BAB 26. RELATIVITAS EINSTEIN

26.1 Gerak Relatif di Fisika Klasik

Gerak relatif secara klasik dikembangkan oleh Galileo dan dinamakan transformasi Galilean, yaitu :

' '

' ' '

x x vt

y y

z z

t t

= +

=

=

=

Persamaan menunjukkan koordinat kejadian di dalam kerangka acuan S ketika koordinat- koordinat dalam kerangka acuan S’ diketahui. Transformasi Galilean hanya berlaku jika kecepatan- kecepatan yang digunakan tidak bersifat relativistik, yaitu jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya, c.

26.2 Kecepatan Cahaya dan Postulat Einstein

Hukum-hukum gerak Newton hanya berlaku di dalam kerangka acuan lembam (inersia). Setiap kerangka yang bergerak dengan kecepatan tetap terhadap sebuah kerangka lembam, maka ia sendiri akan merupakan sebuah kerangka lembam. Berlaku asas bahwa hukum-hukum mekanika di dalam setiap kerangka acuan lembam adalah sama.

Einstein pada tahun 1905 mengemukakan bahwa asas tersebut akan berlaku untuk semua hukum-hukum fisika dasar. Hal ini kemudian dikenal sebagai asas relativitas Einstein. Asas ini menyatakan bahwa hukum-hukum fisika di dalam setiap kerangka acuan lembam adalah sama.

Kecepatan cahaya memainkan peranan khusus di dalam teori relativitas. Cahaya bergerak di dalam ruang hampa dengan kecepatan c yang tidak bergantung kepada gerak sumbernya. Nilai angka c telah diketahui sebesar:c= 2,99792 x 108 m.s-1

Semula cahaya dianggap merambat melalui suatu medium yang dinamakan ether. Selama akhir abad ke sembilan belas dan awal abad kedua puluh, usaha –usaha intensif dilakukan untuk mencari kebenaran ether. Percobaan Michelson-Morley merupakan suatu usaha untuk menyelidiki gerak reltif bumi terhadap ether. Percobaan ini dan semua percobaan yang serupa secara konsisten memperoleh hasil yang negative dan diyakini bahwa tidak ada ether. Berdasarka hasil pemikiran

(3)

tersebut, bila kecepatan cahaya diukur oleh dua orang pengamat, yang satu diam terhadap sumber dan yang satu lagi bergerak menjauhi sumber, maka keduanya berada dalam kerangka acuan lembam dan menurut asa relativitas Einstein hukum-hukum fisika khususnya kecepatan cahaya haruslah sama untuk kedua pengamat tersebut.

Sebagai contoh, bila suatu sumber cahaya diletakkan di dalam sebuah kapal angkasa yang sedang bergerak terhadap bumi. Seorang pengamat yang turut serta dengan kapal angkasa itu mengukur kecepatan cahaya adalah sebesar c. Seorang pengamat yang berada di bumi juga akan mendapatkan besarnya kecepatan cahaya sebesar c.

Jadi kecepatan cahaya (di ruang hampa) tidak bergantung kepada gerak sumber dan akan sama untuk semua kerangka acuan lembam. Untuk memeriksa akibat-akibat pernyataan tersebut, kita pandang hubungan Newtonian antara dua kerangka lembam, yang diberi label S dan S’ pada gambar 9.1. Kita buat sumbu-x dari dua kerangka itu terletak di sepanjang garis yang sama, tetapai pusat O’

dan S’ bergerak relatif terhadap pusat O dan S dengan kecepatan tetap u disepanjang sumbu-x bersama. Jika dua titik pusat itu pada t=0 berhimpitan, maka setelah menempuh waktu t’ jarak pisah antara kedua titik pusat itu adalah ut.

Gambar 9.1 Kedudukan titik P dapat diterangkan oleh koordinat x dan y di dalam kerangka acuan S, atau oleh x’

dan y’ di dalam kerangka acuan S’. S’ bergerak relative terhadap S dengan kecepatan tetap u di sepanjang sumbu bersama x – x’.

Sebuah titik P dapat dinyatakan oleh koordinat (x,y,z) di dalam kerangka S atau oleh koordinat (x’,y’,z’) di dalam S’. Gambar 9.1 menunjukkan bahwa koordinat-koordinat tersebut dihubungkan oleh:

x=x’+ut, y=y’, z=z’ (9.1)

Persamaan-persamaan ini dinamakan transformasi koordinat Galilean. Jika titik P bergerak sepanjang arah-x, kecepatannya v relative terhadap S diberikan oleh v = ∆x/∆t, dan kecepatannya v’

(4)

terhadap s’ adalah v’ = ∆x’/∆t. Secara intuitif jelaslah bahwa kecepatan-kecepatan tersebut dihubungkan oleh:

v = v’ + u. (9.2)

Hubungan ini juga dapat diperoleh berdasarkan persamaan (9.1). Umpamakan partikel itu berada di sebuah titik yang dilukiskan oleh koordinat x1 atau x’1 pada saat t1 dan akan berada di x2

atau x’2 pada saat t2. Maka ∆t = t2 – t1, dan berdasarkan persamaan (9.1),

∆x = x2 – x1 = (x’2 – x’1) + u (t2-t1) = ∆x’ + u ∆t Bila kedua ruas dibagi dengan ∆t maka:

t u x t

x +

Δ

= Δ Δ

Δ '

Jika ∆t →0, maka v = v’ + u

Hasil ini sesuai dengan persamaan (9.2).

Bila kita gunakan kecepatan cahaya c, maka dari persamaan (9.2) kita peroleh c = c’ + u. Hal ini bertentangan dengan asas relativitas Einstein yang menyatakan bahwa c = c’.

Bila dilakukan modifikasi dengan menambahkan persamaan keempat t = t’ pada persamaan (9.1) maka hasil yang sama dengan persamaan (9.2) yang diperoleh. Kesulitan ini terletak pada konsep persamaan waktu (simultanitas).

Contoh Soal

Seorang penumpang (A) di atas kereta yang sedang bergerak dengan kecepatan 40 m/s melewati seseorang (B) yang sedang berdiri di stasiun pada saat t = t’ = 0. Selang 30 detik sesudah kereta melewati B, B melihat seekor burung yang terbang searah dengan kereta, burung tersebut berjarak 800 m dengan ketinggian 5 m dari B. Tentukan koordinat burung bila dilihat oleh A!

Penyelesaian:

B diam dan memiliki koordinat (x,y,z,t) = (800 m, 0, 5 m, 30 s)

A bergerak dengan kecepatan v = 40 m/s memiliki koordinat (x’,y’,z’,t,) dimana: x’ = x – vt = 800 – (40) (30) = 680 m

y’ = y = 0 z’ = z = 5 m

(5)

t’ = t = 30 s

Jadi koordinat yang diamati A adalah (680 m, 0 , 5 m, 30 s)

26.3 Delatasi Waktu dan Panjang

Pengukuran waktu dan selang waktu akan melibatkan konsep persamaan waktu. Apabila seseorang mengatakan dia bangun tidur pukul tujuh, maksudnya bahwa dua kejadian, bangunnya dan tibanya jarum jamnya pada angka tujuh, terjadi dengan cara serentak. Masalah dasar pada pengukuran selang waktu ialah bahwa, pada umumnya dua kejadian yang timbul serentakdi dalam salah satu kerangka acuan tidak terjadi serentak di dalam kerangka acuan yang kedua yang sedang bergerak relative terhadap kerangka acuan pertama, walaupun kedua-duanya adalah kerangka lembam.

Kejadian ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: pandang serangkaian kereta api panjang yang bergerak dengan kecepatan serbasama (uniform), seperti diperlihatkan dalam gambar 9.2.

Dua kilat cahaya menyala di atas kereta api itu, satu di tiap ujungnya. Masing-masing kilat meninggalkan satu tanda di atas kereta api dan satu di atas tanah pada saat yang bersamaan. Titik- titik di atas tanah diberi label label A dan B , sedangkan titik-titik di atas kereta api yang bersangkutan diberi label A’ dan B’. Kedua pengamat menggunakan sinyal cahaya dari kilat cahaya itu untuk mengamati kejadian-kejadian tersebut.

Gambar 9.2 (a) Terhadap pengamat yang diam di titik O, dua kilat cahaya kelihatan menyala serentak.

(b) Pengamat yang sedang bergerak di titik O’ mula-mula melihat cahaya datang dari depan kereta api dan mengira bahwa kilat di sebelah depan itulah yang mula-mula menyala.

(6)

(c) Dua pulsa cahaya tiba di O dengan cara serentak

Umpamakan dua sinyal cahaya mencapai pengamat di O dengan serentak, dia mengambil kesimpulan bahwa dua peristiwa itu terjadi di A dan B dengan cara serentak. Tetapi pengamat di O’

bergerak mengikuti kereta api, dan pulsa cahaya dari B’ sampai kepadanya sebelum datangnya pulsa cahaya yang dating dari A’; dia mengambil kesimpulan bahwa peristiwa di sebelah depan kereta api itu terjadi lebih dahulu daripada di bagian belakang. Berarti dua peristiwa itu terjadi serentak kepada seorang pengamat, tetapi tidak untuk pengamat yang lain. Apakah dua peristiwa dititik ruang yang berlainan adalah serentak maupun tidak, bergantung kepada keadaan gerak pengamatnya. Akibatnya ialah bahwa selang waktu antara dua kejadian di titik ruang yang berlainan pada umumnya untuk dua pengamat yang sedang dalam bergerak relatif adalah tidak sama.

Menurut asas relativitas baik O maupun O’ sama-sama benar. Jadi masing-masing pengamat di dalam kerangka acuannya sendiri – sendiri adalah benar, akan tetapi bukan suatu konsep mutlak.

Dua kejadian baik serentak maupun tidak bergantung kepada kerangka acuan, dan selang waktu antara dua kejadian bergantung juga kepada kerangka acuan.

Untuk menurunkan hubungan kuantitatif antara selang-selang waktu di dalam berbagai system koordinat, marilah kita tinjau ilustrasi berikut ini. Sebuah kerangka acuan S’ bergerak dengan kecepatan u relatif terhadap sebuah kerangka S. Seorang pengamat di S’ mengarahkan sebuah sumber cahaya ke sebuah cermin yang jaraknya d, seperti terlihat pada gambar 9.3, dan mengukur selang selang waktu ∆t’ untuk cahaya melakukan “perjalanan pulang-pergi” kepada cermin. Karena jarak total adalah 2d maka selang waktu menjadi,

c t 2d

'=

Δ (9.3)

(7)

Gambar 9.3 (a) Pulsa cahaya yang dipancarkan dari sumber di O’ dan dipantulkan kembali di sepanjang garis yang sama, seperti diamati di dalam S’. (b) Lintasan pulsa cahaya yang sama, seperti diamati dalam S.

Kedudukan O’ pada saat berangkat dan kembali nya pulsa diperlihatkan. Laju pulsa di dalam S sama seperti di dalam S’, tetapi lintasan di dalam S lebih panjang.

Jika diukur di dalam kerangka acuan S, waktu untuk perjalanan pulang-pergi ialah selang waktu

∆t yang berbeda. Selama waktu ini, sumber bergerak relative terhadap S menempuh jarak u∆t, dan jarak perjalanan pulang-pergi total sama dengan 2l, dimana

2 2

2

+⎛ Δ

= u t

d l

Kecepatan cahaya untuk kedua pengamat adalah sama, sehingga hubungan di dalam S menjadi:

2 2

2 2

2

+⎛ Δ

=

=

Δ u t

c d c

t l (9.4)

bila harga d dari persamaan (9.3) kita substitusikan akan diperoleh:

2 2

2 2

'

2

+⎛ Δ

= ⎛ Δ

Δ c t u t

t c

Bila persamaan ini dikuadratkan akan diperoleh,

2 2/ 1

' c u t t

= Δ

Δ (9.5)

Jadi jika suatu selang waktu ∆t’ memisahkan dua kejadian yang terjadi di titik ruang yang sama dalam sebuah kerangka acuan S’ (berangkat dan tibanya sinyal di O’), maka selang waktu ∆t antara dua kejadian tersebut jika diamati di dalam S akan lebih besar daripada ∆t’. Berarti apabila kecepatan sebuah lonceng cahaya yang diam di S’ diukur oleh pengamat di S, maka kecepatan yang diukur di dalam S lebih rendah daripada kecepatan yang diamati di dalam S’. Efek ini disebut dilatasi waktu (terlambatnya waktu).

Efek dilatasi waktu tidak teramati dalam kehidupan sehari-hari, karena kecepatan gerak angkutan yang ada jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya. Selang waktu antara dua peristiwa yang terjadi di titik yang sama di dalam sebuah kerangka acuan yang diketahui merupakan suatu besaran yang lebih mendasar lagi daripada selang waktu antara kejadian-kejadian di berbagai titik. Istilah waktu proper (proper time) diperlukan untuk menunjukkan suatu selang antara dua peristiwa yang

(8)

terjadi di titik ruang yang sama. Jadi persamaan (9.3) dapat digunakan apabila ∆t’ merupakan waktu proper di dalam S’.

Contoh Soal:

Tentukan kecepatan gerak sebuah roket bila seorang pengamat di dalam roket memiliki kecepatan pertambahan umurnya separuh dari pertambahan umur dari pengamat di bumi! ( Semua peristiwa ini diamati dari pengamat di dalam roket)

Penyelesaian:

Karena peristiwa ini diamati di dalam roket, maka waktu proper adalah waktu yang diamati oleh pengamat di bumi:

( ) 2 2

/ 1

) (

c v

t bumi t roket

= Δ Δ

( )( )Δ = 1 2 / 2 =1/2

Δ v c

t t

bumi

roket 1 2 1/4

2 =

c v

v = 0,866 c.

Jarak antara dua titik bergantung kepada kerangka acuan. Untuk mengukur jarak pada dasarnya kita harus melihat kedudukan dua titik dengan cara serentak, misalnya saja dua ujung sebuah mistar. Akan tetapi apa yang serentak di dalam sebuah kerangka acuan belum tentu serentak dalam kerangka acuan lainnya.

Untuk mengembangkan penurunan hubungan antara beberapa panjang di dalam berbagai system koordinat kita lihat ilustrasi berikut ini. Kita lekatkan sebuah sumber pulsa cahaya pada salah satu ujung sebuah mistar dan pada ujung satunya kita lekatkan sebuah cermin, seperti pada gambar 9.4.

(9)

Gambar 9.4 (a) Sebuah pulsa cahaya dipancarkan dari sebuah sumber pada salah satu ujung sebuah mistar, dipantulkan dari sebuah cermin pada ujung yang berlawanan, dan kembali lagi ke kedudukan sumber. (b) Gerak pulsa cahaya seperti terlihat oleh seorang pengamat di dalam kerangka acuan S. Jarak yang dijalani dari sumber

ke cermin lebih besar daripada panjang l yang diukur di dalam S’, dengan besar uΔt1, seperti diperlihatkan.

Letakkan sebuah mistar diam di dalam S’ dan panjangnya di dalam kerangka acuan ini adalah l’. Maka waktu ∆t’ yang diperlukan untuk suatu pulsa cahaya melakukan perjalanan pulang pergi dari sumber ke cermin dan kembali lagi ditentukan oleh

c t 2l'

'=

Δ (9.6)

Ini adalah selang wktu proper, karena berangkat dan kembali terjadi di titik yang sama di dalam S’.

Di dalam S mistar itu dipindahkan selama waktu perjalanan pulsa cahaya tersebut. Andaikan panjang mistar itu di dalam S adalah l, dan andaikan waktu perjalanan dari sumber ke cermin, adalah

∆t1. Selama selang tersebut cermin bergerak sejarak u∆t, dan panjang lintasan total d dari sumber ke cermin adalah

t1

u l

d = + Δ (9.7)

karena pulsa merambat dengan kecepatan c, maka

t1

c

d = Δ (9.8)

dengan menggabungkan persamaan (9.7) dan (9.8) akan diperoleh,

1

1 l u t

t

cΔ = + Δ

atau

u c t l

=

Δ1 (9.9)

dengan cara yang sama dapat diperoleh bahwa waktu ∆t2 untuk perjalanan balik dari cermin ke sumber ialah

u c t l

= +

Δ 2 (9.10)

Waktu total ∆t = ∆t1 +∆t2 untuk perjalanan pulang pergi, jika diukur di dalam S ialah

) / 1 (

2

2

2 c

u c

l u

c l u c t l

= + +

=

Δ (9.11)

karena ∆tadalah waktu proper di dalam S’ dan maka persamaan (9.6) menjadi

(10)

c l c

t u 2 '

1 2

2 =

Δ (9.12)

dengan menggabungkan persamaan (9.11) dan (9.12) akan diperoleh

2 2

1

' c

l u

l= (9.13)

Jadi panjang yang diukur di dalam S, dimana mistar itu sedang bergerak, adalah lebih pendek daripada S’, dimana mistar dalam keadaan diam.

Suatu panjang yang diukur di dalam kerangka benda yang sedang diam disebut panjang proper. Dalam ilustrasi di atas, l’ adalah panjang proper di dalam S’ dan panjang yang diukur di dalam setiap kerangka akan lebih kecil daipada l’. Efek ini dinamakan pengerutan panjang (kontraksi panjang).

Contoh Soal:

Sebuah kubus mempunyai volume proper sebesar 27 x 103 cm3. carilah volumenya bila dipandang oleh pengamat O’ yang bergerak dengan kecepatan 0,9 c relative terhadap kubus. Arah gerakan ini sejajar salah satu rusuk kubus.

Penyelesaian:

Ambillah arah gerakan sebagai sumbu x. Bila kita memandang dari O’, maka kubus akan bergerak relative terhadap O’ dalam arah sejajar sumbu x (positif atau negative). Dalam kerangka acuan O’ ini panjang rusuk kubus yang searah gerakan mengalami kontraksi, sehingga panjangnya:

cm cm

c v l

l'x= x 1 2/ 2 =30 1(0.9)2 =13.2

Panjang rusuk yang lainnya (tegak lurus arah gerak) tidak mengalami perubahan:

l’y = ly = 30 cm l’z = lz = 30 cm

Sehingga volume kubus menjadi:

V’ = l’x l’y l’z

= (13.2 cm) (30 cm) (30 cm) = 11.88 x 103 cm3

(11)

26.4 Quis 26

1. Sebuah kereta api bergerak dengan kecepatan 75 mil/jam melewati sebuah stasiun pada pukul 1100. Selang 30 detik kemudian petir menyambar rel kereta api, 2 mil dari stasiun dalam arah yang dituju oleh kereta api tadi. Hitung koordinat-koordinat petir bila dilihat oleh pengamat A (diam di stasiun) dan B (di dalam kereta api):menggunakan transformasi Galilean dan menggunakan transformasi Lorentz

2. Berapa kecepatan seorang pengamat relatif terhadap bumi bila si Pengamat melihat bumi sebagai ellips dengan sumbu panjang 8 kali sumbu pendek?

3. Pengamat O dan O’ saling mendekati satu sama lainnya dengan kecepatan relatif 0,8 c.

Jika O mengukur bahwa jarak mula-mula O dan O’ adalah 30 m, maka bila dipandang dari kerangka acuan O’, berapa waktu yang dibutuhkan oleh arloji O dan O’ pada saat keduannya berpapasan?

4. Seorang pilot dalam sebuah roket bergerak dalam laju 0,7 c melewati bumi dan mengatur jamnya sehingga bertepatan dengan jam 12.30 malam. Pada jam 13.00 malam menurut jam pilot, roket melewati sebuah stasiun ruang angkasa yang tidak bergerak relatif terhadap bumi. :

5. Pukul berapa yang ditunjjukan oleh jam di stasiun pada saat roket melewatinya?

6. Berapa jarak dari bumu ke stasiun bila diukur oleh pilot?

7. Bila pada saat melewati stasiun si pilot melaporkan ke bumi dengan menggunakan radio, kapan pengamat di bumi akan menerima sinyal radio dari roket?

8. Sebuah elektron bergerak dengan laju 0,5 c relatif terhadap laboratorium. Pengamat A duduk diam didalam laboratorium sedangkan pengamat B bergerak dengan laju 0,85c relatif terhadap laboratorium dalam arah gerakan elektron. Tentukan energi elektron bila dipandang oleh A maupun B!

Gambar

Gambar 9.1 Kedudukan titik P dapat diterangkan oleh koordinat x dan y di dalam kerangka acuan S, atau oleh x’
Gambar 9.2 (a) Terhadap pengamat yang diam di titik O, dua kilat cahaya kelihatan menyala  serentak

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah benda dalam keadaan diam panjangnya X 0 , ke- mudian digerakkan dengan kecepatan V (mendekati ke- cepatan cahaya), maka panjang benda menurut pengamat diam yang berada

cahaya) yang t6ramati oleh pengamat yang berada pada dua kerangka acuan yang berbeda yang saling bergerak relatif satu sama lain tergantung pada kecepatan relatif

Sebuah roket waktu diam di bumi mempunyai panjang 100 m, roket tersebut bergerak dengan kecepatan 0,8 c (c = kecepatan cahaya dalam vakum)a. Menurut orang di bumi panjang roket

Yang dimaksud dengan kerangka inersial adalah kerangka yang berfungsi sebagai acuan yang tidak dapat dipercepat, yang berupa kerangka diam atau kerangka bergerak beraturan

8 Teori relativitas khusus berbicara tentang hukum fisika berlaku sama untuk semua pengamat selama mereka bergerak dengan kecepatan konstan pada arah yang

Gagasan Einstein yang disebut Asas Relativitas adalah bahwa semua pengamat yang tak mengalami percepatan haruslah diperlakukan sama dalam semua hal, meskipun mereka bergerak

Radiasi yang berasal dari sumber yang bergerak secara relativistik akan menga- lami beaming yang searah dengan vektor kecepatan sumber menurut pengamat diam. Efek beaming

Postulat ini muncul karena jika hukum fisika berbeda untuk pengamat yang berbeda ketika dalam keadaan gerak relatif, maka dapat ditentukan yang mana dalam keadaan “diam”