• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI. Menurut Creswell (2014), metode pengumpulan data yang akan digunakan untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI. Menurut Creswell (2014), metode pengumpulan data yang akan digunakan untuk"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

45

BAB III METODOLOGI

3.1. Metodologi Pengumpulan Data

Menurut Creswell (2014), metode pengumpulan data yang akan digunakan untuk penelitian bergantung pada topik yang diangkat. Berdasarkan jenisnya, terdapat 3 metode pengumpulan data yaitu kuantitatif, kualitatif, dan metode campuran.

Metode kualitatif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mendalami serta memahami sikap dari suatu komunitas sosial atau individu dalam menghadapi masalah sosial. Pada metode ini, peneliti akan menginterpretasi sendiri data yang terkumpul (hlm. 4).

Metode kuantitatif adalah pendekatan yang digunakan untuk menguji teori dengan cara mengukur hubungan-hubungan di antara variabel yang ada. Variabel- variabel ini dapat diukur dengan angka sehingga data dapat dianalisis melalui cara statistik (hlm. 4).

Gabungan dari kedua metode di atas disebut metode campuran atau mixed methods. Pada metode ini, dilakukan pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif sehingga terkumpul asumsi filosofis dan kerangka teori. (hlm. 4).

Dalam proses perancangan tugas akhir, penulis melakukan pengumpulan

data dengan metode kualitatif. Metode kualitatif yang dilakukan meliputi

wawancara dengan pendiri Pejaten Shelter, Susana Somali, focus group

discussion (FGD) dengan beberapa orang pecinta binatang yang aktif di

komunitas animal rescue, observasi non-partisipatif pada Pejaten Shelter dan

observasi eksisting yayasan-yayasan yang bergerak di bidang serupa.

(2)

46 3.1.1. Wawancara dengan Pendiri Pejaten Shelter

Dalam proses pengumpulan data, teknik wawancara yang digunakan penulis adalah wawancara terbuka atau tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur dilakukan dengan susunan pertanyaan yang berupa poin-poin penting yang belum sistematis. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban yang mendalam dari narasumber akan topik yang diinginkan (Sugiyono, 2015).

Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan dengan pendiri Pejaten Shelter, Susana Somali. Wawancara dilakukan di Pejaten Shelter pada tanggal 14 Maret 2020. Tujuan pelaksanaan wawancara adalah untuk mendapatkan insight seputar brand. Hasil wawancara didokumentasikan dalam bentuk foto dan rekaman suara.

Sebagai pemilik Pejaten Shelter, beliau sangat memperhatikan isu penelantaran hewan peliharaan. Menurutnya, hal itu bermula dari kurangnya pengetahuan pemilik akan peliharaannya. Beliau sangat menekankan pentingnya sterilisasi hewan agar mereka tidak beranak lebih.

Beliau ingin Pejaten Shelter dilihat sebagai tidak hanya sekadar tempat penampungan hewan, tetapi juga sebagai pusat edukasi seputar kesejahteraan hewan. Beliau ingin mengajarkan generasi muda akan pentingnya tanggung jawab atas hewan peliharaannya. Lewat Pejaten Shelter, beliau ingin menyampaikan pentingnya pengetahuan yang cukup akan peliharaan agar tidak ada lagi hewan yang terlantar.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan, target adopter hewan-hewan dan

donatur di Pejaten Shelter adalah wanita berusia produktif yang tinggal di Jakarta.

(3)

47 Menurut beliau, wanita cenderung lebih memiliki rasa empati terhadap binatang.

Usia produktif berarti orang itu memiliki pemasukan yang tetap, sehingga mempunyai dana yang cukup untuk mengurus hewan peliharaan. Dengan dana pribadi yang cukup, potensi terjadinya penelantaran hewan yang diadopsi berkurang. Kemudian, alasan pemilihan domisili Jakarta adalah karena kota lainnya kurang memiliki regulasi tentang kesejahteraan hewan dibanding Jakarta.

Seputar mispersepsi, beliau menjelaskan bahwa kesalahan persepsi yang terjadi pada Pejaten Shelter mengakibatkan orang-orang membuang hewan peliharaannya di Pejaten Shelter. Menurutnya, orang-orang menelantarkan hewan karena adanya budaya membuang yang tertanam di masyarakat.

Gambar 3.1. Dokumentasi Wawancara

3.1.1.1. Kesimpulan Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pemilik, ditemukan bahwa

terjadi mispersepsi seputar Pejaten Shelter. Orang-orang memperlakukan

lembaga sebagai tempat pembuangan hewan peliharaan mereka. Pejaten

Shelter ingin merubah image menjadi sebuah organisasi penyelamat

hewan yang mengedukasi masyarakat seputar kesejahteraan hewan. Lewat

(4)

48 organisasi, menyampaikan ke masyarakat akan tanggung jawab supaya jumlah hewan yang ditelantarkan berkurang. Untuk itu, target audience dari Pejaten Shelter adalah wanita dewasa yang telah memiliki penghasilan.

3.1.2. Wawancara dengan Volunteer Pejaten Shelter

Wawancara selanjutnya dilakukan dengan seorang volunteer Pejaten Shelter yaitu Cheyenne. Wawancara dilakukan lewat aplikasi WhatsApp pada tanggal 12 Oktober 2020. Tujuan pelaksanaan wawancara adalah untuk mendapatkan pemahaman seputar kegiatan serta metode edukasi Pejaten Shelter. Hasil wawancara didokumentasikan dalam bentuk tangkapan layar.

Cheyenne telah aktif menjadi volunteer di Pejaten Shelter sejak tahun 2012. Selama menjadi volunteer, kegiatannya adalah ikut membantu merawat hewan di shelter, memberi makan, membantu preparasi acara adoption day di luar shelter, serta mencarikan adopter untuk hewan-hewan yang ditampung.

Kegiatan Pejaten Shelter sampai saat ini adalah menyelamatkan hewan lewat laporan masyarakat, merawat dan menampung hewan-hewan tersebut sampai diadopsi, serta mengedukasi masyarakat tentang kasus penelantaran hewan. Selain itu, Pejaten Shelter juga mulai berkolaborasi dengan brand-brand lokal, memproduksi merchandise seperti kaus, tote bag, dan lain-lain yang hasilnya akan dianggap sebagai donasi untuk organisasi.

Pejaten Shelter ingin mengajari masyarakat tentang pentingnya

kepemilikan hewan yang bertanggung jawab demi mengurangi jumlah

penelantaran hewan. Untuk itu, nilai-nilai yang umumnya paling sering

(5)

49 disampaikan antara lain adalah “adopt don’t shop”, “neuter don’t breed”, “dogs are not food”, “stop buang hewan”, “stop penyiksaan hewan”, dan “donasi jika tidak bisa adopsi”. Sarana edukasi utama Pejaten Shelter adalah akun media sosial, karena akun media sosial Pejaten Shelter memiliki jumlah pengikut yang banyak (26.500 pengikut pada Instagram serta 18,287 pengikut pada Facebook).

Maka, media sosial dinilai sebagai platform yang efektif untuk menyampaikan ceritanya kepada masyarakat.

Pada akun media sosial, informasi yang paling sering dibahas adalah kasus-kasus kekerasan pada hewan terlantar. Menurut Cheyenne, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas marak dan nyatanya kasus kekerasan yang terjadi di kalangan umum. Unggahan-unggahan foto kasus kekerasan hewan tersebut menurutnya juga lumayan berkesan dan menarik empati masyarakat, karena mendapatkan engagement yang lebih banyak dari foto-foto lainnya.

Gambar 3.2. Dokumentasi Wawancara

(6)

50 3.1.2.1. Kesimpulan Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, ditemukan bahwa kegiatan organisasi adalah menyelamatkan hewan lewat laporan masyarakat, merawat dan menampung hewan-hewan tersebut sampai diadopsi, serta mengedukasi masyarakat tentang kasus penelantaran hewan. Edukasi dilakukan lewat unggahan-unggahan informatif di media sosial secara utama. Selain itu, diadakan juga acara-acara lainnya seperti adoption day.

Akun media sosial dipilih sebagai media utama karena jumlah pengikutnya yang banyak, sehingga informasi mencapai lebih banyak orang. Pada akun media sosial, topik yang paling sering dibahas adalah kasus-kasus kekerasan pada hewan terlantar yang diselamatkan organisasi. Menurut narasumber, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas marak dan nyatanya kasus kekerasan yang terjadi di kalangan umum.

3.1.3. Observasi Nonpartisipatif Pejaten Shelter

Menurut Sugiyono (2015), observasi nonpartisipatif adalah observasi yang dilakukan dengan peneliti yang berperan sebagai pengamat. Pada teknik observasi ini, peneliti tidak ikut beraktivitas bersama subjek penelitian.

Penulis melakukan observasi nonpartisipatif pada Pejaten Shelter di

tanggal 14 Maret 2020. Pejaten Shelter adalah tempat penampungan hewan milik

Susana Somali. Dalam pengelolaannya, beliau dibantu oleh beberapa karyawan

yang bertugas merawat hewan. Tugas karyawan-karyawan tersebut meliputi

memberi makan untuk hewan, memandikan hewan, dan menjaga hewan.

(7)

51 Di Pejaten Shelter, terdapat 1000 ekor anjing dan hewan-hewan lainnya seperti kucing, kambing, dan monyet. Anjing liar merupakan hewan yang paling banyak ditampung. Di tempat ini, para anjing bebas berkeliaraan. Hewan-hewan lainnya ditempatkan di tempat terpisah sesuai dengan jenisnya. Selain itu, banyak juga orang yang menitipkan anjing peliharaannya di sini. Menurut cerita para karyawan, tak jarang juga ditemui kasus di mana para hewan dititipkan dan tidak dijemput lagi oleh majikannya.

Pejaten Shelter terbuka untuk umum. Sebelum masuk, para pengunjung perlu mengisi buku tamu yang disediakan. Menurut para karyawan, banyak orang yang mengunjungi Pejaten Shelter untuk melihat-lihat anjing. Namun, jumlah adopsi binatang masih terbilang rendah.

Gambar 3.3. Dokumentasi Observasi

3.1.3.1. Kesimpulan Observasi

Pejaten Shelter menampung hewan-hewan terlantar seperti anjing, kucing,

kambing, dan monyet. Di sini, hewan yang paling banyak ditemui adalah

anjing. Dalam menjalankan kegiatannya, pemilik dibantu oleh beberapa

(8)

52 karyawan dan volunteer yang bertugas merawat, memberi makan, membersihkan, dan menjinakkan hewan-hewan tersebut. Banyak ditemui orang yang mengunjungi untuk melihat-lihat hewan dan juga orang yang menitipkan anjing peliharaannya di sini. Tak jarang juga ditemui kasus di mana para hewan yang dititipkan tidak dijemput lagi oleh majikannya.

Menurut para karyawan, jumlah adopsi binatang masih terbilang rendah.

3.1.4. Kuesioner

Kuesioner merupakan cara pengumpulan data dari jawaban responden atas sekumpulan pertanyaan tertutup (Sugiyono, 2015). Penulis menyebarkan kuesioner online Google Forms lewat media sosial kepada target audience.

Pertanyaan-pertanyaan kuesioner dirancang untuk mengetahui persepsi target terhadap brand. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia (2015), terdapat 1.034.552 perempuan usia 25-34 tahun yang tinggal di DKI Jakarta. Berikut adalah perhitungan besaran sampel responden menggunakan rumus Slovin dengan margin error sebesar 10%:

1. Rumus Slovin S = n : (1 + n(e)

2

)

S = 1.034.552 : (1+ 1.034.552 (0.10)

2

) S = 100 orang

Tabel 3.1. Hasil Kuesioner

Menurut Anda, logo dari lembaga apakah ini?

Pet shop 55,4%

Klinik hewan 10,4%

Acara kartun 5%

Pusat pelatihan hewan 3%

Shelter hewan 22,8%

Penitipan hewan 3%

(9)

53 Berdasarkan survei yang dilakukan, sebanyak 55,4% dari 101 responden melihat logo sebagai logo dari pet shop.

Tabel 3.2. Hasil Kuesioner

Apakah Anda pernah melihat logo tersebut?

Ya 94,1%

Tidak 5,9%

Sebanyak 94,1% responden mengaku tidak pernah melihat logo dari Pejaten Shelter sebelumnya. Sebaliknya, 5,9% responden belum pernah melihat logo Pejaten Shelter.

Tabel 3.3. Hasil Kuesioner

Menurut Anda, seperti apa kesan yang timbul setelah melihat logo tersebut? (boleh pilih lebih dari 1)

Aman 55,4%

Tua (kuno) 10,4%

Kekanakkan 5%

Tidak terpercaya 3%

Terpercaya 22,8%

Melindungi 3%

Kasih sayang 17,8%

Binatang 1%

Low quality Picture 1%

Biasa saja 1%

Pada pertanyaan ini, responden dapat menambahkan sendiri pilihan yang dirasa sesuai sebagai jawaban dari pertanyaan. Citra yang paling banyak ditangkap audience adalah kuno (58.4%), kekanakkan (38,6%), dan melindungi (34,7%).

Tabel 3.4. Hasil Kuesioner

Perasaan apa yang timbul setelah Anda melihat gambar-gambar tersebut?

Iba 36%

Bahagia 8%

Sedih 63%

Senang 6%

Kagum 15%

(10)

54

Ingin mengadopsi 22%

Ingin berdonasi 22,7%

Saat melihat unggahan-unggahan media sosial yang berisi kegiatan dari organisasi, kesan yang paling banyak didapatkan responden adalah sedih (63%) dan iba (36%).

3.1.4.1. Kesimpulan Kuesioner

Dari jawaban-jawaban responden di atas, dapat disimpulkan bahwa brand awareness masih rendah. Selain itu, identitas visual yang digunakan belum memenuhi visinya yang ingin dilihat sebagai pusat edukasi tentang kesejahteraan hewan domestik. Para responden menilai logo lebih melambangkan pet shop. Padahal, definisi pet shop sangat berbeda dengan shelter yang merawat hewan-hewan terlantar untuk kemudian diadopsi oleh masyarakat. Selain itu, ditemukan bahwa unggahan-unggahan kegiatan di media sosialnya menimbulkan perasaan seperti sedih dan iba.

3.1.5. Focus Group Discussion (FGD)

Focus group discussion sebagai diskusi interaktif oleh 6 sampai 8 orang partisipan yang dipimpin oleh seorang moderator. Partisipan dipilih berdasarkan kriteria tertentu untuk membahas suatu isu spesifik. Tujuan dari FGD adalah menciptakan suasana yang nyaman bagi para partisipan untuk berpendapat demi mengumpulkan insight yang cukup luas seputar topik yang dibahas (Hennink, 2014).

Penulis melakukan focus group discussion (FGD) secara daring lewat

Zoom pada 7 orang pecinta hewan dengan kriteria: berumur 25-34 tahun, tinggal

(11)

55 di DKI Jakarta, aktif dalam dan familiar dengan organisasi animal rescue dan animal shelter. FGD ditujukan untuk mengukur dan mendalami persepsi target terhadap identitas visual dan citra Pejaten Shelter yang ditangkap secara keseluruhan.

Berdasarkan hasil FGD, hanya 2 dari 7 orang responden yang pernah melihat logo dari Pejaten Shelter sebelumnya. Menurut mereka, logo lebih terlihat melambangkan pet shop dan juga kennel. Hal ini karena terdapat gambar anjing dan kucing yang terkesan kekanak-kanakan. Selain itu, kesan yang mereka dapatkan dari nama “Pejaten Shelter” adalah organisasi penyelamatan hewan, tempat penampungan, dan terminal angkutan umum. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa nama “Pejaten Shelter” kurang merepresentasikan brand sebagai pusat edukasi seputar kesejahteraan hewan.

Dari identitas visual serta unggahan-unggahan di media sosial, mereka menganggap yayasan kurang mencerminkan pusat edukasi karena lebih menonjolkan kasus-kasus penyelamatan hewan tertindas yang memberi kesan pilu dan miris. Menurut mereka, yayasan lain seperti Natha Satwa Nusantara lebih mendekati pusat edukasi karena terkesan informatif seputar hewan peliharaan dan kesejahteraan hewan.

Secara keseluruhan, mereka lebih menyukai organisasi seperti Natha

Satwa Nusantara dan Animal Defenders Indonesia karena kontennya yang dinilai

praktikal. Konten organisasi-organisasi tersebut lebih bersifat informatif dan

berisi tentang kiat-kiat penyelamatan hewan dan juga edukasi tentang cara

merawat binatang. Citra yang mereka dapatkan dari organisasi-organisasi tersebut

(12)

56 adalah organisasi penyelamat hewan yang mengedukasi dan bertanggung jawab.

Mereka juga mengatakan bahwa citra bersahabat, edukatif, dan transparan merupakan beberapa dari faktor yang dapat membuat mereka setia mengikuti suatu organisasi animal rescue.

Gambar 3.4. Dokumentasi Focus Group Discussion 3.1.5.1. Kesimpulan Focus Group Discussion

Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, ditemukan bahwa terjadi kesalahan persepsi pada identitas dan juga keseluruhan entitas. Sebagian besar responden tidak mengenali logo Pejaten Shelter dan mengidentifikasi logo sebagai lambang dari pet shop. Selain itu, terjadi kesalahan persepsi seputar entitas. Terjadi anggapan-anggapan seperti hoarder dan kesan negatif lainnya. Mereka menganggap yayasan kurang mencerminkan pusat edukasi karena lebih menonjolkan kasus-kasus penyelamatan hewan tertindas yang memberi kesan pilu dan miris.

Menurut para responden, unggahan yang lebih bersifat informatif seperti

cara merawat hewan peliharaan akan membantu untuk lebih

mencerminkan pusat edukasi.

(13)

57 3.1.6. Observasi Existing Shelter Hewan di Jakarta

Observasi existing dilakukan dengan analisis data sekunder yang tersedia.

Saworno (2006) menjelaskan data sekunder sebagai data yang tidak langsung berasal dari narasumber. Pencarian data sekunder dilakukan secara online. Penulis melakukan observasi pada yayasan-yayasan yang bergerak di bidang serupa untuk dijadikan bahan perbandingan dan juga mempelajari branding organisasi lainnya.

3.1.6.1. Jakarta Animal Aid Network

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) adalah organisasi pencinta hewan yang bergerak di bidang perlindungan hewan. JAAN didirikan oleh Femke den Haas, Karin Franken dan Natalie Stewart pada Januari 2008.

Organisasi ini terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu domestic dan wildlife. Pada bagian domestic, dilakukan usaha perlindungan bagi hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing. Usaha tersebut meliputi kampanye anti daging anjing, adopsi anjing dan kucing, dan kampanye sterilisasi kucing. Sementara pada bagian wildlife, dilakukan usaha perlindungan bagi para satwa liar di Indonesia (Jakarta Animal Aid Network, n/d).

Seperti Pejaten Shelter, JAAN juga merupakan organisasi nirlaba yang dana pengelolaannya berasal dari donasi orang-orang. JAAN terbilang lebih aktif dalam melakukan edukasi kepada masyarakat lewat kunjungan ke sekolah-sekolah, universitas, dan organisasi lainnya. JAAN memiliki misi untuk berjuang demi kesejahteraan hewan di Indonesia.

Mereka menekankan bahwa UU tentang kesejahteraan hewan di Indonesia

masih agak tertinggal (Jakarta Animal Aid Network, n/d). Sampai saat ini,

(14)

58 mereka telah bekerja sama dengan DKPKP Jakarta untuk membuat program microchip dan kartu identitas bagi para hewan peliharaan.

JAAN memiliki identitas visual berupa logo. Logo dipakai pada iklan event-event yang diikuti JAAN, gambar profil media sosial, kaos, serta merchandise lainnya. Belum ada supergrafis yang konsisten digunakan berulang kali. Brand color yang kerap dipakai adalah jingga, hitam, dan putih. Unggahan di media sosial biasanya berbentuk foto dan video keadaan hewan liar. Untuk mempromosikan kegiatannya, JAAN menggunakan website serta media sosial Instagram, Facebook, Twitter, dan Youtube. Komunikasi di semua platform tersebut menggunakan bahasa Inggris. JAAN juga menjual sejumlah merchandise seperti tote bag, kaos, dan buku cerita bergambar.

JAAN memiliki identitas visual yang konsisten terlihat di media- media promosi mereka. Selain itu, positioning organisasi terkesan jelas sebagai pejuang kesejahteraan hewan terpercaya. Tone of voice dari brand adalah profesional, ambisius, dan edukatif. Walau konten-konten yang diunggah juga seputar kasus kekerasan hewan, unggahan cenderung bersifat informatif dan tidak terkesan dramatik.

Tabel 3.5. SWOT Jakarta Animal Aid Network

Strength Membahas isu-isu kekerasan hewan domestik dan liar secara mendalam, memiliki network yang cukup luas di seluruh Indonesia.

Weakness Banyak menggunakan bahasa Inggris sehingga kemungkinan sulit dimengerti sebagian masyarakat.

Opportunity Banyaknya audience yang berminat mengikuti kampanye-kampanye dan kegiatan JAAN.

Threat Rendahnya minat masyarakat mengadopsi, seringnya terjadi kasus kekerasan, perdagangan daging anjing, dan penelantaran hewan.

(15)

59

Gambar 3.5. Logo Jakarta Animal Aid Network

(https://www.dogmeatfreeindonesia.org/images/BG/Team/JAAN-sq-400.jpg, n.d.)

3.1.6.2. Natha Satwa Nusantara

Natha Satwa Nusantara (NSN) adalah sebuah yayasan yang bergerak di perlindungan hewan terlantar. NSN memiliki tempat penampungan yang terletak di Depok. NSN yang diketuai oleh aktris Davina Veronica ini telah berdiri sejak 1 Juni 2011. Hal yang melatar-belakangi pendirian organisasi ini adalah banyaknya kasus penyiksaan anjing di Indonesia (Sadino, 2017). Seperti Pejaten Shelter, NSN bergerak dalam bidang penyelamatan dan edukasi kepada masyarakat tentang satwa.

Penyelamatan paling banyak dilakukan kepada hewan-hewan seperti anjing dan kucing. Lalu, edukasi dijalankan lewat kampanye di media sosial. Dalam segala kegiatannya, NSI menekankan pentingnya hidup harmonis dengan hewan.

Identitas visual yang dimiliki Natha Satwa Nusantara berupa

sebbuah logo yang terdiri dari logomark dan logotype. Supergrafis yang

digunakan untuk promosi antara lain adalah company colors berupa warna

(16)

60 jingga muda dan jingga tua, serta tiga garis yang terpusat di tengah.

Supergrafis digunakan pada media promosi seperti poster-poster seminar, unggahan media sosial, serta acara yang melibatkan NSN.

Media komunikasi yang dimiliki NSN adalah website, media sosial Instagram, Facebook, dan Youtube, di mana binatang-binatang yang siap untuk diadopsi dipromosikan.

Tone of voice dari brand adalah ramah dan informatif. Konten- konten Natha Satwa Nusantara bersifat informatif, relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, dan dibawakan secara kasual. Isi konten antara lain adalah tips-tips tentang merawat hewan peliharaan dan foto- foto hewan yang dapat diadopsi. Untuk copywriting, NSN menggunakan bahasa Indonesia yang nonformal dan kasual.

Tabel 3.6. SWOT Natha Satwa Nusantara

Strength Identitas visual yang konsisten, gaya promosi relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, memiliki jumlah audience yang banyak, memiliki opsi foster home selain adopsi, unggahan informatif seputar cara memelihara hewan, tone of voice ramah.

Weakness Merupakan nama baru dari organisasi Garda Satwa Indonesia.

Opportunity Masyarakat mulai tertarik dengan isu-isu penelantaran hewan karena media sosial.

Threat Rendahnya minat masyarakat mengadopsi, masih sering terjadi kasus kekerasan dan penelantaran hewan.

Gambar 3.6. Logo Natha Satwa Nusantara

(https://m.facebook.com/105205617529694/photos/a.105205664196356/239292894120965/?type

=3&source=54&ref=page_internal, 2020)

(17)

61 3.1.6.1. Kesimpulan Observasi Eksisting

Penulis melakukan observasi eksisting kepada Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Natha Satwa Nusantara (NSN) sebagai pesaing dari Pejaten Shelter. JAAN memiliki sistem identitas visual yang konsisten, terlihat dari visual konten-konten yang diproduksi. Positioning organisasi terkesan jelas sebagai pejuang kesejahteraan hewan terpercaya. Tone of voice dari brand adalah profesional, ambisius, dan edukatif. Konten yang dikeluarkan organisasi cenderung bersifat informatif.

Seperti JAAN, Natha Satwa Nusantara (NSN) juga terlihat memiliki sistem identitas visual berupa logo, supergrafis, dan brand color yang konsisten. Konten-konten Natha Satwa Nusantara bersifat informatif, relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Tone of voice keseluruhan dari brand lebih kasual dari JAAN.

Kemudian, ditemukan bahwa hal yang membedakan organisasi

dari kompetitor adalah fokus Pejaten Shelter pada edukasi untuk

mengurangi jumlah hewan terlantar. Pejaten Shelter juga menampung dan

merawat seluruh hewan yang diselamatkan tanpa terkecuali. Sementara

itu, persamaan ketiga organisasi adalah sama-sama menyelamatkan

hewan-hewan terlantar dari kekerasan.

(18)

62 3.1.7. Studi Referensi

Dalam proses perancangan, penulis melakukan studi referensi kepada kasus rebranding yang dinilai cocok untuk dijadikan acuan dalam merancang identitas visual baru. Untuk itu, contoh yang dipilih adalah organisasi penyelamat hewan asal Inggris, Battersea.

3.1.7.1. Rebranding Battersea

Battersea adalah sebuah organisasi penyelamat hewan yang terletak di Inggris. Sejak didirikannya di tahun 1890, Battersea telah berkembang menjadi lembaga yang sukses merumahkan 3 juta hewan di seluruh penjuru negeri. Sayangnya, cerita organisasi belum terkomunikasikan dengan baik karena strategi penyampaian dan penggunaan identitas yang kurang konsisten. Selain itu, timbul persepsi negatif di kalangan masyarakat akibat iklan-iklannya yang penuh dengan shock value, menggunakan bahasa dramatik.

Gambar 3.7. Logo Battersea Sebelumnya

(https://www.pngwing.com/en/free-png-movoh/download, n/d)

Di bawah bimbingan Pentagram, Battersea berpindah fokus dari

“rumah bagi seluruh anjing dan kucing” dan lebih menonjolkan komitmen

(19)

63 organisasi kepada hewan-hewan. Battersea juga mulai meninggalkan gaya komunikasi dramatis tersebut dan mulai berkomunikasi dengan gaya jujur dan terus terang. Sementara itu, tone of voice baru yang digunakan adalah gembira, ahli, dan professional (Pentagram, 2018).

Dari brand idea tersebut, Battersea mengembangkan elemen visual baru berupa ilustrasi watercolor dengan bentuk abstrak yang dibuat menyerupai 5 bentuk kepala anjing dan kucing. Bentuk-bentuk tersebut merupakan logo dynamic sekaligus supergrafis.

Gambar 3.8. Logo Baru Battersea

(https://www.pngwing.com/en/free-png-movoh/download, n/d)

Pemilihan teknik watercolor bertujuan untuk menyampaikan sisi

kemanusiaan Battersea dalam komitmennya menjalankan misi

penyelamatan. Sementara itu, pemilihan bentuk-bentuk abstrak di

Battersea melambangkan keberagaman jenis serta sifat hewan yang

ditampung di Battersea. Typeface Franklin Gotham yang dipilih sebagai

logotype memberikan kesan sebagai organisasi berwenang. Selain itu,

typeface berguna untuk menyeimbangkan kesan kehangatan dan

kemanusiaan dari ilustrasi watercolor.

(20)

64 3.2. Metodologi Perancangan

Menurut Wheeler (2018), terdapat lima tahapan dalam proses branding:

1. Conducting Research

Melakukan penelitian akan brand yang dituju. Penelitian awal meliputi memahami visi lewat wawancara dan mengukur persepsi publik terhadap brand lewat pengumpulan data.

2. Clarifying Strategy

Menganalisis data yang telah dikumpulkan untuk menentukan strategi perancangan yang sesuai. Pada tahap ini, penulis menentukan positioning serta menyusun brand brief, brand attributes, key messages, dan creative brief.

3. Designing Identity

Strategi yang telah disusun kemudian menjadi acuan untuk mendesain identitas.

Ide-ide dan referensi dikumpulkan sebagai acuan rancangan awal identitas yang meliputi logo, tipografi, dan elemen-elemen visual lainnya.

4. Creating Touchpoint

Pada tahap ini, dilakukan finalisasi desain brand identity, menentukan kesan dari

konten yang sesuai dengan strategi, serta perancangan aplikasi desain pada

berbagai media seperti poster dan media sosial.

(21)

65 5. Managing Assets

Implementasi dari desain visual yang telah dirancang untuk dirilis pada kalangan

umum serta menyusun graphic standard manual untuk brand.

Referensi

Dokumen terkait

Strength dari aplikasi ini adalah dapat berkomunikasi secara langsung dengan dokter-dokter terpercaya, weekness yang dimiliki aplikasi ini adalah kurang memanfaatkan

Pada proses perancangan tampilan aplikasi, penulis mulai membuat rancangan low fidelity dengan berfokus pada beberapa halaman fitur utama yang dapat memberikan gambaran

Mas Fajar selaku Admin Wana Pet and Care dan juga admin media sosial menyatakan bahwa belakangan ini pada masa pandemi, banyak para pemilik hewan yang menanyakan hal terkait

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan berkah, rahmat, hidayah serta innayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus di rumah sakit bhayangkara Palembang tahun 2014.. Palembang: Akademi Kebidanan

Sehingga kemudian, muncul premis bahwa dengan menggunakan media digital interaktif akan sangat membantu pemain pemula dalam mendalami olahraga baseball karena

66 Berdasarkan logo Kemeterian Austria ini juga yang sudah mempunyai sifat yang simple Kemeterian Austria juga memanfaatkan dengan baik dalam setiap pengaplikasian pada

Namun orang – orang juga sudah tau mengenai Taman Nasional Ujung Kulon dan ingin melihat badak jawa cula secara langung selain badaknya penulis juga memberikan foto empat wisata