• Tidak ada hasil yang ditemukan

LABORATORIUM PPh PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PAJAK YOSEP PURNOMO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LABORATORIUM PPh PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PAJAK YOSEP PURNOMO"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

LABORATORIUM PPh

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PAJAK

YOSEP PURNOMO

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TAHUN 2011

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas Rahmat dan Karunia Allah SWT yang dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan modul Laboratorium PPh. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh pegawai pada Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan yang telah membantu memberikan masukan atas modul ini.

Modul Laboratorium PPh ini diharapkan dapat memberikan gambaran perhitungan dan pendalaman materi untuk para mahasiswa/widyaiswara/pembaca yang membaca dan atau memanfaatkan modul ini, terutama untuk para mahasiswa mampu menerapkan ilmu dari modul ini. Penulis menyadari bahwa bahan ajar ini masih jauh dari sempurna disebabkan keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan modul Laboratorium PPh ini di masa yang akan datang.

Akhirnya, harapan kami semoga modul Laboratorium PPh ini dapat memberikan masukan dan kontribusi positif dalam rangka kegiatan belajar mengajar yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Amin.

Jakarta, 30 November 2011

(Yosep Purnomo)

(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... vii

A. Pengantar ... vii

B. Tujuan Instrusional Umum ... viii

C. Tujuan Instruksional Khusus ... viii

BAB 1 SUBYEK PAJAK ... 1

A. Subyek Pajak ... 1

B. Subyek Pajak Orang Pribadi ... 2

C. Bukan Subyek Pajak ... 4

D. Subyek Pajak Badan ... 5

E. Saat Timbul Dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subyektif ... 7

F. Kewajiban Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Bagi Orang Pribadi ... 8

G. Hubungan Istimewa Antar Subjek Pajak ... 9

BAB 2 OBJEK PAJAK ... 12

A. Pengertian Penghasilan ... 12

B. Objek Pph Orang Pribadi Tidak Dikenakan PPh Final ... 13

C. Obyek PPh Badan Yang Bersifat Tidak Final ... 14

D. Objek Pajak yang dikenakan PPh Final ... 16

E. Penghasilan yang bukan objek pajak ... 18

BAB 3 MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI ... 22

A. Penghasilan Netto ... 23

B. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ... 26

C. Penghasilan Kena Pajak (PKP) ... 28

D. Tarif Pajak ... 29

E. Kredit Pajak ... 30

F. Menghitung Pajak Penghasilan Kurang Bayar/Lebih Bayar... 32

BAB 4 MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DARI BEBERAPA JENIS PENGHASILAN ... 35

A. Penggabungan Penghasilan Dengan Istri Dan Anak ... 35

B. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu ... 46

BAB 5 BIAYA DAN PENGURANGAN ... 51

A. Biaya Yang Dapat Dikurangkan ... 51

B. Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan ... 53

C. Penyusutan ... 57

D. Amortisasi ... 69

E. Kompensasi Kerugian ... 71

(4)

B. Pengertian Rekonsiliasi ... 74

BAB 7 PENGHITUNGAN PPH TERUTANG ... 91

A. Penghitungan Harga Pokok Penjualan ... 92

B. Penghitungan biaya-biaya ... 94

C. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak ... 94

D. Penghitungan Pajak Penghasilan Akhir Tahun... 99

E. Pajak Penghasilan Lebih Bayar ... 99

F. Pajak Penghasilan Kurang Bayar ... 100

BAB 8 ANGSURAN PPh PASAL 25 ... 102

A. Penghitungan PPh Pasal 25 Dalam Hal-Hal Tertentu. ... 103

BAB 9 CONTOH PENGHITUNGAN ... 111

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Daftar Penghasilan Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final ... 17

Tabel 2.2. Objek Pajak Penghasilan atas usaha jasa konstruksi (PP No.51 tahun 2008) .... 18

Tabel 3.1. Penghitungan Penghasilan Pedagang Eceran ... 23

Tabel 3.2. Penghitungan Penghasilan Usaha Jasa ... 23

Tabel 3.3. Tabel Ketentuan PTKP ... 27

Tabel 3.4. Jawaban Contoh Soal ... 29

Tabel 3.5. Tarif Pajak Penghasilan ... 30

Tabel 3.6. Kredit PPh Dibayar Sendiri ... 31

Tabel 3.7. Tabel PPh Dipotong/Dipungut Pihak Lain ... 32

Tabel 4.1. Soal Kasus 1 ... 36

Tabel 4.2. Jawaban Kasus 8 ... 49

Tabel 5.1. Dasar Penyusutan ... 58

Tabel 5.2. Jenis Harta Berwujud Kelompok I ... 61

Tabel 5.3. Jenis Harta Berwujud Kelompok II ... 62

Tabel 5.4. Jenis Harta Berwujud Kelompok III ... 63

Tabel 5.5. Jenis Harta Berwujud Kelompok IV ... 64

Tabel 5.6. Tabel Amortisasi... 69

Tabel 6.1. Koreksi Positif dan Negatif ... 75

Tabel 6.2. Penyusutan Komersial dan Fiskal ... 80

Tabel 6.3. Biaya Pengurang ... 81

Tabel 7.1. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak ... 95

Tabel 7.2. Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri ... 95

Tabel 7.3. Tarif Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tahun 2009 ... 97

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Penghasilan menurut UU PPh ... 12

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kasus 1 PPh Orang Pribadi

Lampiran 2 Kasus 1 Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Lampiran 3 Kasus 1 PPh Badan

Lampiran 4 Kasus 1 Pengisian SPT Tahunan PPh Badan Lampiran 5 Kasus 2 PPh Badan

Lampiran 6 Kasus 2 Pengisian SPT Tahunan PPh Badan

(8)

PENDAHULUAN

A. Pengantar

Setiap orang pribadi dan badan melekat kewajiban subyektif sebagai subyek pajak.

Apabila kewajiban obyektif telah terpenuhi yaitu mempunyai penghasilan, maka harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah memiliki NPWP maka melekatlah hak dan kewajiban sebagai Wajib Pajak, salah satu kewajiban tersebut adalah menghitung Pajak, diantaranya adalah Pajak Penghasilan.

Sistem pemungutan pajak di Indonesia sebagian menggunakan sistem self assessment setiap wajib pajak dalam hal melakukan kegiatan usahanya diberi kesempatan atau wewenang untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melapor sendiri pajaknya. Hal ini melekat pada kewajiban untuk menghitung Pajak Penghasilan yang akan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan pada akhir tahun pajak baik untuk Orang Pribadi dan Badan.

Setiap penghitungan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh Wajib Pajak seharusnya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku yaitu Undang- undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Selain undang-undang tersebut juga perlu diperhatikan semua petunjuk pelaksanaan mengenai penghitungan Pajak Penghasilan baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan aturan lain di bawahnya.

Penghitungan atas Pajak Penghasilan khususnya untuk kewajiban self assessment dilakukan sepanjang satu tahun pajak, untuk itu semua proses kegiatan wajib pajak baik orang pribadi maupun badan dapat dilakukan penghitungan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku tersebut

Pemahaman mengenai cara menghitung Pajak Penghasilan secara menyeluruh

tentunya harus dapat dicapai oleh para mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

khususnya untuk spesialisasi Administrasi Perpajakan supaya dapat diselaraskan pada saat

nanti bertugas di Direktorat Jenderal Pajak sebagai petugas pajak yang melakukan

pelayanan sekaligus pengawasan terhadap penghitungan, pembayaran serta pelaporan

yang dilakukan oleh Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan khususnya untuk Pajak

Penghasilan.

(9)

Tujuan Instruksional Umum

Materi Pajak Penghasilan diperoleh mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara untuk beberapa semester dan laboratorium Pajak Penghasilan diperoleh mahasiswa setelah mendapatkan mata kuliah Pajak Penghasilan pada semester sebelumnya. Materi ini diberikan agar setiap mahasiswa nantinya setelah lulus dapat mengetahui dan memahami semua tentang pajak penghasilan termasuk penghitungan dan pelaporannya dalam Surat Pemberitahuan. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara akan ditempatkan pada Kementrian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Pemberian materi ini dapat membantu mempersiapkan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara agar menjadi petugas pajak yang terampil khususnya mengenai Pajak Penghasilan. Dengan demikian para mahasiswa setelah mendapat materi ini seharusnya:

1. Memahami pengertian Pajak Penghasilan

2. Memahami Subyek dan Non subyek, obyek dan Non obyek Pajak Penghasilan (PPh)

3. Mengetahui penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan badan yang sesuai dengan UU Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya termasuk sarana pembayaran/penyetoran, dan sarana pelaporan pajak penghasilan orang pribadi dan badan.

B. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari mata kuliah Laboratorium Pajak Penghasilan, para mahasiswa diharapkan mampu:

1. Mahasiswa dapat secara aktif dapat berperan untuk mengembangkan ilmu perpajakan khususnya Pajak Penghasilan.

2. Mahasiswa dapat melakukan analisa terhadap aturan yang telah berlaku mengenai penghitungan Pajak Penghasilan atas Orang Pribadi dan Badan

Mahasiswa dapat mengaplikasikan materi Pajak Penghasilan sesuai dengan tugas

yang diterimanya di Direktorat Jenderal Pajak untuk kemajuan bangsa dan negara

Indonesia.

(10)

BAB SUBYEK PAJAK

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subyektif, dimana dalam pengenaan pajaknya harus dilihat terlebih dahulu Subyeknya baru obyeknya yaitu penghasilannya dicari kemudian. Pemahaman ini penting karena menurut Undang- undang Pajak Penghasilan (UU PPh) tidak semua orang atau badan yang berada atau berkedudukan di Indonesia di kenakan pajak walaupun menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan Obyek Pajak.

A. Subyek Pajak

Pasal 1 UU PPh menyebutkan bahwa PPh dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sedangkan di Pasal 2 ayat 1, disebutkan bahwa yang menjadi subyek pajak adalah:

1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;

2. Badan; dan

3. Bentuk Usaha Tetap.

Subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.

1

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Subyek Pajak Orang Pribadi 2. Subyek Pajak Badan

3. Saat timbul dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif

4. Kewajiban memiliki No.mor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Orang Pribadi

5. Hubungan istimewa antar subjek pajak

(11)

B. Subyek Pajak Orang Pribadi

Dalam pasal 2 UU PPh, Subyek Pajak Orang Pribadi dibedakan menjadi dua bagian:

1. Subyek Pajak Dalam Negeri 2. Subyek Pajak Luar Negeri

Pembagian ini penting karena struktur tarif pajak dan kewajiban penyampaian SPT- nya berbeda.

1. Subyek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

Subyek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dibedakan menjadi dua yaitu Orang Pribadi dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak atas warisan tersebut.

a. Orang Pribadi.

Subyek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b. Warisan.

Pengertian subyek pajak untuk warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, yaitu:

1. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh Orang Pribadi sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri. Warisan yang belum terbagi ini dianggap sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri dalam pengertian UU PPh mengikuti status pewaris. Untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

2. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh Orang Pribadi sebagai Subyek Pajak Luar Negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia. Warisan ini tidak dianggap sebagai Subyek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada obyeknya sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya

warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai

(12)

Pengenaan pajak atas Wajib Pajak Dalam Negeri menganut asas domisili, artinya dari manapun penghasilan diterima/diperoleh akan dikenakan pajak sepanjang subyek pajak berdomisili di Indonesia. Asas ini dikenal dengan World Wide Income (Penghasilan dari seluruh penjuru dunia).

2. Subyek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri.

Subyek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri adalah Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia atau menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Apabila Orang Pribadi Luar Negeri memiliki usaha di Indonesia dengan nama pribadi yang berstatus BUT lebih dari 183 hari maka usaha tersebut akan dikenakan pajak seperti Wajib Pajak Dalam Negeri.

Suatu BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin- mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila orang pribadi dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Pengenaan Pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri berdasarkan asas sumber artinya apabila orang pribadi atau badan yang bukan termasuk Wajib Pajak Dalam Negeri menerima atau memperoleh penghasilan yang didapatkan dari bekerja atau penanaman modal akan dikenakan Pajak Penghasilan.

Batasan 183 hari adalah batasan waktu (time test) yang digunakan untuk

memutuskan status Wajib Pajak jika antara Indonesia dan Negara asal Wajib Pajak

Luar Negeri belum ada Tax Treaty. Bila antara Indonesia dan Negara asal sudah ada

Tax Treaty, maka batasan waktu yang digunakan didasarkan ketentuan dalam Tax

Treaty.

(13)

Dari sudut pemenuhan kewajiban perpajakan, perbedaan antara subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1. Perbedaan Subyek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri Kewajiban Perpajakan Subyek Pajak DN Subyek Pajak LN Negara sumber

penghasilan yang dikenakan pajak

Penghasilan dari Indonesia dan dari Luar Indonesia (World Wide Income)

Penghasilan yang berasal dari Indonesia saja (asas sumber)

Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Netto Penghasilan Bruto Tarif Pajak Tarif Umum PPh pasal 17 Tarif PPh pasal 26 atau

sesuai dengan Tax Treaty jika sudah terdapat Tax Treaty

Kewajiban Lapor SPT Wajib menyampaikan SPT Tahunan

Tidak Wajib

menyampaikan SPT

C. Bukan Subyek Pajak

Sesuai dengan Pasal 3 UU PPh, terdapat beberapa orang pribadi yang walaupun tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 1 tahun tetapi tidak dianggap sebagai subyek pajak sehingga tidak dikenakan pajak. Dengan demikian Orang Pribadi tersebut tidak perlu memenuhi kewajiban pajak subyektif karena bukan Subyek Pajak. Yang tidak termasuk subyek pajak dimaksud adalah:

a. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

Contoh: Para Duta besar, konsulat, atase beserta keluarganya.

b. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan WNI dan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

Contoh: Staf perwakilan UNESCO, UNICEF dan organisasi internasional lain

yang tercantum dalam KMK No. 574/KMK.04/2000 jo KMK No. 230/KMK.03/2001

jo. KMK-243/KMK.03/2003.

(14)

D. Subyek Pajak Badan 1. Pengertian Badan.

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), pengertian badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha.

Termasuk ke dalam pengertian badan diantaranya adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan usaha lainnya termasuk reksadana.

2. Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

1. tempat kedudukan manajemen;

2. cabang perusahaan;

3. kantor perwakilan;

4. gedung kantor;

5. pabrik;

6. bengkel;

7. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;

8. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

9. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

10. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

11. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak

bebas;

(15)

12. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Suatu BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin- mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila orang pribadi dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

3. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri dan Luar Negeri.

Dalam pasal 2 UU PPh, Subyek Pajak Badan dibedakan menjadi dua bagian:

a. Subyek Pajak Badan Dalam Negeri b. Subyek Pajak Badan Luar Negeri

Pembagian ini penting karena struktur tarif pajak dan kewajiban penyampaian SPT- nya berbeda.

Pengenaan pajak atas Wajib Pajak Dalam Negeri menganut asas domisili, artinya dari manapun penghasilan diterima/diperoleh akan dikenakan pajak sepanjang subyek pajak berdomisili di Indonesia. Asas ini dikenal dengan World Wide Income (Penghasilan dari seluruh penjuru dunia).

Pengenaan Pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri berdasarkan asas sumber artinya apabila orang pribadi atau badan yang bukan termasuk Wajib Pajak Dalam Negeri menerima atau memperoleh penghasilan yang didapatkan dari bekerja atau penanaman modal akan dikenakan Pajak Penghasilan.

Batasan 183 hari adalah batasan waktu (time test) yang digunakan untuk

memutuskan status Wajib Pajak jika antara Indonesia dan Negara asal Wajib Pajak

Luar Negeri belum ada Tax Treaty. Bila antara Indonesia dan Negara asal sudah ada

Tax Treaty, maka batasan waktu yang digunakan didasarkan ketentuan dalam Tax

(16)

4. Bukan Subjek Pajak.

Sesuai dengan Pasal 3 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PPh jo.KMK- 243/KMK.03/2003, yang tidak termasuk Subjek Pajak Badan adalah:

1. badan perwakilan negara asing;

2. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut

b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota

3. unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD

c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah, dan

d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

E. Saat Timbul dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subyektif

Kewajiban perpajakan timbul apabila terpenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat Subyektif adalah apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat sebagai subyek pajak. sesuai dengan pembagian Subyek pajak di atas dapat diuraikan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif:

Tabel 1.2. Syarat Subyektif dan Obyektif Subyek Pajak

Subyek Pajak Dalam Negeri Subyek Pajak Luar Negeri Warisan belum terbagi

Orang Pribadi Selain BUT

mulai:

- saat dilahirkan

- saat berada atau berniat tinggal di Indonesia

berakhir:

- saat meninggal

- meninggalkan Indonesia untuk selamanya.

mulai:

saat menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia

berakhir:

saat tidak lagi menerima /memperoleh penghasilan dari Indonesia

mulai:

saat timbulnya warisan

berakhir:

saat warisan selesai dibagikan

Badan BUT

mulai:

saat didirikan/

berkedudukan di Indonesia

berakhir:

saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

mulai:

saat melakukan

usaha/kegiatan melalui but di Indonesia

berakhir:

saat tdk lagi menjalankan usaha/kegiatan melalui but di Indonesia.

(17)

F. Kewajiban Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Bagi Orang Pribadi Setiap orang pribadi diwajibkan menjadi Wajib Pajak di Indonesia apabila bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang berada di Indonesia dalam satu tahun pajak dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia yang telah mempunyai penghasilan di atas PTKP, atau dengan kata lain setiap orang pribadi yang berstatus sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri yang telah mempunyai penghasilan, wajib memiliki NPWP.

Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.

160/PJ./2007 jo Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 44/PJ/2008 yang menyatakan, bahwa setiap badan usaha wajib memiliki NPWP, dan bagi orang pribadi yang telah memiliki penghasilan di atas PTKP, baik dari satu pemberi kerja karena pekerjaannya, maupun dari usaha dan lainnya, juga diwajibkan memiliki NPWP.

Kewajiban memiliki NPWP berlaku juga bagi orang asing yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang artinya telah berubah status menjadi Subyek Pajak Dalam Negeri. Setelah memiliki NPWP, Wajib Pajak Orang Pribadi mempunyai kewajiban untuk melaporkan segala kegiatan usahanya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT), baik SPT Masa maupun SPT Tahunan.

Untuk SPT masa PPh bagi Wajib Pajak orang pribadi meliputi SPT Masa PPh pasal 21, SPT Masa PPh pasal 22, SPT Masa PPh pasal 23, SPT Masa PPh pasal 25, SPT masa PPh pasal 25 ayat (7) dan SPT Masa PPh pasal 26. Kewajiban SPT Masa ini tergantung dari keadaan subyek pajak dan objek pajak yang dikenakan.

Sedangkan kewajiban SPT Tahunan, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan dan atau mempunyai pekerjaan bebas dengan menggunakan SPT Tahunan dengan bentuk formulir 1770, sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usahawan dengan menggunakan SPT Tahunan dengan bentuk formulir 1770S dan 1770SS.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.183/PMK.03/2007,

menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang tidak diwajibkan menyampaikan

SPT Masa hanyalah Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan

semata-mata dari satu pemberi kerja, namun orang pribadi tersebut masih

(18)

yang memiliki penghasilan hanya dari satu pemberi kerja, diwajibkan menyampaikan SPT Masa maupun SPT Tahunan

Sesuai dengan Pasal 28 UU KUP, Kewajiban penyelenggaraan pembukuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah untuk Wajib Pajak orang pribadi usahawan dan atau mempunyai pekerjaan bebas yang mempunyai peredaran usaha atau penerimaan bruto Rp600.000.000,00 atau lebih. Untuk yang mempunyai peredaran usaha atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, namun wajib menyelenggarakan pencatatan. Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang semata-mata mempunyai penghasilan dari pemberi kerja (sebagai pegawai), tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, namun tetap wajib menyelenggarakan pencatatan. Batasan omzet untuk pemakaian NPPN pada UU PPh yang terbaru adalah sesuai dengan Pasal 14 ayat 2 UU No. 36 tahun 2008 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

G. Hubungan Istimewa Antar Subjek Pajak

Pasal 18 ayat (4) UU PPh mendefinisikan hubungan istimewa antar subjek pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:

1. Kepemilikan atau Penyertaan Modal.

Hubungan istimewa karena kepemilikan terjadi apabila satu Wajib Pajak mempunyai penyertaan langsung maupun tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara satu Wajib Pajak dengan penyertaan 25% atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, dengan demikian hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang sahamnya dimiliki oleh satu Wajib Pajak tersebut mempunyai hubungan istimewa .

Contoh:

PT A mempunyai 50% kepemilikan saham PT B. PT B mempunyai

kepemilikan 50% saham PT C. maka PT A mempunyai hubungan istimewa

dengan PT B (langsung) dan dengan PT C (tidak langsung). PT A juga

(19)

memiliki 50% saham PT D. PT B dan PT D juga terdapat hubungan istimewa karena sahamnya dimilik oleh PT A.

2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung (contoh: adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi).

3. Terdapat Hubungan Keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Hal-hal dapat timbul akibat adanya hubungan istimewa:

a. Apabila 2 pihak yang mempunyai hubungan istimewa melakukan jual beli aktiva, untuk mencari laba pertukaran/pengalihan tersebut dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya.

Tujuannya adalah untuk menghindari jual beli dengan harga yang tidak wajar.

b. Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi dengan hubungan istimewa.

c. Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3a) UU PPh). Tujuannya untuk mengurangi praktek transfer pricing untuk perusahaan multinasional.

d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham

atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya

(pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh). Tujuannya untuk menghindari pengurangan

pajak dengan cara memperbesar pengeluaran bagi perusahaan.

(20)

RANGKUMAN

1. Subyek pajak adalah:

a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;

b. Badan; dan

c. Bentuk Usaha Tetap.

2. Subyek Pajak Orang Pribadi dan badan terdiri dari subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri.

3. Tidak termasuk sebagai subyek pajak badan a. Badan perwakilan negara asing;

b. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;

c. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria.

LATIHAN

1. Sebutkan apa yang dimaksud dengan Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri dan berikan contohnya!

2. Kapan Subyek Pajak Orang Pribadi berakhir kewajiban pajak subyektifnya?

3. Sebutkan instansi pemerintah apa saja yang tidak termasuk sebagai subyek pajak badan!

4. Dalam hal apa saja yang menyebabkan 2 pihak dianggap mempunyai hubungan istimewa?

1)

(21)

BAB OBJEK PAJAK

A. Pengertian Penghasilan

Menurut Pasal 4 UU PPh, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari mana pun asalnya yang dapat dipergunakan untuk menambah konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Gambar 2.1. Penghasilan menurut UU PPh

Pada dasarnya penghasilan yang diperoleh atau didapat oleh Wajib Pajak Orang Pribadi maupun badan yang bersifat tidak final dijabarkan dalam Pasal 4 ayat 1 UU PPh, namun dibawah ini di bedakan sebagai berikut:

No.n Objek PPh

Dikenakan PPh final (psl 4(2))

Tdk dikenakan PPh final (psl 4(1))

Objek Penghasilan PPh

2

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Pengertian Penghasilan

2. Objek PPh Orang Pribadi Tidak Dikenakan PPh Final 3. Obyek PPh Badan Yang Bersifat Tidak Final

4. Objek Pajak yang Dikenakan PPh Final

5. Penghasilan yang Bukan Objek Pajak

(22)

B. Objek PPh Orang Pribadi Tidak Dikenakan PPh Final 1. Penghasilan dari pekerjaan.

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang. Pengecualian ini diatur di dalam pasal 4 ayat 3 UU PPh termasuk memori penjelasannya.

b. Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. Hadiah diatur secara terpisah di dalam UU PPh, termasuk peraturan pelaksanaannya.

2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.

a. Laba usaha.

b. Premi Asuransi.

3. Penghasilan dari investasi.

a. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

2. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak- pihak yang bersangkutan.

b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

c. Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

d. Royalti.

e. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

4. Penghasilan lain-lain.

a. hadiah dari undian.

b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai

biaya.

(23)

c. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

d. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

e. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

f. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

g. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak yaitu dapat disimpulkan bahwa semua penghasilan adalah obyek pajak kecuali ditetapkan sebaliknya.

C. Obyek PPh Badan yang Bersifat Tidak Final

Obyek PPh Badan adalah penghasilan obyek pajak yang diterima atau diperoleh badan sebagaimana yang tercantum dalam PPh Pasal 4 ayat 1 undang- undang PPh yang secara ringkas dapat meliputi:

1. Hadiah kegiatan, dan penghargaan.

2. Laba usaha.

3. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

a. Keuntungan karena pengganti saham atau penyertaan modal yang tidak dijual di bursa efek.

b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu anggota.

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha.

d. Hibah, bantuan, sumbangan kepada keluarga, badan keagamaan, sosial, pengusaha kecil yang ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Keuntungan penjualan aktiva tanah dan bangunan yang usaha pokoknya tidak menjual tanah dan bangunan.

4. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayarkan dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan (restitusi), maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan obyek pajak.

5. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

6. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari

(24)

koperasi. Termasuk pengertian deviden yang lain dapat dilihat pada penjelasan UU PPh.

7. Royalti

a. Hak atas harta tak berwujud. Misal hak pengarang, paten, merek dagang, formula atau rahasia perusahaan.

b. Hak atas harta berwujud. Misal hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan yang mempunyai nilai intelektual. Contoh: alat untuk mengebor minyak.

c. Informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun belum dipatenkan. Misal pengalaman dibidang industri atau bidang usaha lainnya.

8. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

Pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak dan atau harta tak gerak. Misal sewa termasuk sopir, sewa termasuk peralatan dan listrik, dan lain-lain.

9. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah.

Sesuai PP 130 tahun 2000, pembebasan hutang untuk debitur kecil seperti Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera, Kredit Usaha tani, Kredit untuk perumahan sangat sederhana sampai dengan jumlah Rp 350.000.000, tetapi pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 menyatakan bahwa jumlah tersebut menjadi Rp100.000.000.

10. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

a. Dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.

b. Atas fluktuasi pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh WP secara taat asas.

c. Merupakan obyek pajak dan dilaporkan di SPT Tahunan.

11. Premi asuransi termasuk premi reasuransi.

12. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

13. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

14. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

(25)

15. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

16. Surplus Bank Indonesia.

D. Objek Pajak yang dikenakan PPh Final

Pajak Penghasilan Final adalah pajak penghasilan yang dipotong atau dibayar sendiri dari suatu penghasilan yang pada akhir tahun penghasilan tersebut tidak dihitung kembali dalam penghitungan pajak dan pajak yang dipotong atau dibayar tidak diperhitungkan sebagai pembayaran pajak di muka atau kredit pajak.

Wajib Pajak yang memiliki penghasilan final harus memisahkan pencatatan penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final dari penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh tidak final. Selain itu harus dipisahkan juga biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan yang dapat dikenakan PPh final. Biaya-biaya tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang pada akhir tahun di SPT Tahunan.

Contoh:

Tn. Sabar adalah WPOP pemilik gudang yang disewa oleh PT Adil. Pada saat pembayaran uang sewa PT Adil memotong PPh Final atas sewa bangunan sebesar 10%. Penghasilan sewa ruangan tersebut tidak lagi diperhitungkan dalam SPT Tahunan. Potongan pajak final atas sewa ruangan juga tidak lagi diperhitungkan sebagai kredit pajak. Atas penyewaan gudang tersebut telah dikeluarkan biaya-biaya sebesar Rp1.000.000,00.

Karena biaya tersebut digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang dipotong PPh Final maka biaya tersebut tidak boleh diperhitungkan lagi dalam SPT Tahunan. Perlakuan yang sama diterapkan juga untuk Wajib Pajak Badan yang memiliki objek pajak yang bersifat final.

Dengan demikian karakteristik penghasilan yang menjadi objek PPh final adalah:

1. Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan terutang lain yang Non final dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan;

2. Jumlah PPh final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat di kreditkan (Non prepaid taxes);

3. Biaya-biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

(26)

Tabel 2.1. Daftar Penghasilan Wajib Pajak yang Dikenakan PPh Final

No. Obyek Pajak Tarif Dasar Hukum

1 Penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak dari transaksi penjualan saham di bursa efek:

Semua transaksi penjualan saham;

Untuk transaksi penjualan saham pendiri;

0,1% x Ph Bruto (0,1% x PPh Bruto + 0,5% x nilai saham pada saat IPO)

PP No.41/1994 jo.PP No.14/1997

jo.282/KMK.04/1997 jo.SE- 06/Pj.04/1997

2 Penghasilan Wajib Pajak berupa hadiah undian

25% x Ph Bruto PP No.132/2000

3 Penghasilan bunga deposito yang diterima Wajib Pajak, termasuk simpanan pada bank DN yang memiliki cabang di LN

20% x Ph Bruto PP No.131 /2000 KMK 51 /KMK.04/2001

4 Penghasilan bunga deposito/

tabungan, jasa giro dan diskontoSBI

20% x Ph Bruto PP No.131/2000 jo KMK 51/KMK.04/2001 5 Penghasilan dari sewa tanah

dan/atau bangunan

10% x Ph Bruto PP.5/2002. Jo KMK 120/KMK.03/2001 6 Penghasilan yang diterima oleh dari

investor atas penyerahan bangunan dengan kontrak BOT

5% x Nilai tertinggi dari nilai pasar dan NJOP

248/KMK.04/1995

7 Penghasilan yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan

5% x Nilai tertinggi dari nilai pasar dan NJOP

PP No.48/1994 jo. PP No.

27/1996 jo. PP79/1999 jo KMK 392/ KMK.04/1996 jo.SE-04/PJ.33 /1996 Jo PP71/2008 8 Penghasilan yang diterima/diperoleh

berupa bunga atau diskonto obligasi yang dijual di bursa efek

- Diterima WP DN - Diterima WP LN

20% x Ph Bruto 20% x Ph Bruto

PP No.139/2000 558/KMK.04/2000 Jo PP No.6/2002

9 Penghasilan berupa selisih lebih karena revaluasi aktiva tetap

10% x selisih dari nilai appraisal dan NSBF

486/KMK.03/2002 jo 79/PMK.03/2008 10 Penghasilan yang diterima/diperoleh

WPOP DN sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan tertentu berupa

- Uang tebusan pensiun & THT yang dibayar sekaligus - Uang pesangon

Pesangon 0 -50 juta = TKP

>50 jt – 100 jt = 5%

>100jt – 500jt=15%

>500jt = 25%

Pensiun 0-50 juta = TKP

>50 juta = 5%

PP 149/2000 jo PP 68/2009

11 Penghasilan yang diterima oleh OP dengan status WP LN berupa imbalan atas pekerjaan, jasa atau pekerjaan

20% x Ph Bruto atau sesuai dengan tax treaty

Psal 26 UU PPh jo KEP 545/PJ./2000

12 Penghasilan yang diterima pejabat negara, PNS, TNI/ Polri dan pensiunan berupa honorarium dan imbalan lain yang dibebankan kepada keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali pegawai golongan II/d ke bawah

5% x Ph. Bruto untuk golongan III

15% x Ph Bruto untuk golongan IV

PP No.45/1994

jo.636/KMK.04/1994 KEP- 545/PJ/2000

PP No. 80/2010 jo 262/PMK.03/2010

13 Penghasilan WPOP berupa bunga simpanan anggota koperasi

10% x Ph Bruto s/d 240.000/bulan

Pasal 4 ayat (2) UU PPh;

PP No. 15/2009 14 Penghasilan dari penjualan harta di

Indonesia yang diterima WP LN selain BUT di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di LN

20% x Perkiraan Ph Bruto

Pasal 26 UU PPh

15 Penghasilan atas deviden yang diterima WP OP dalam negeri

Setinggi-tingginya 10% x Ph bruto

UU PPh Pasal 17 ayat (2c), PP No. 19/2009

(27)

Tabel 2.2. Objek Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi (PP No.51 Tahun 2008)

Keterangan Pelaksanaan Perencanaan Pengawasan

Usaha kecil 2% 4% 4%

Usaha

besar/menengah

3% 4% 4%

Non Kualifikasi 4% 6% 6%

Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan pertimbangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya.

E. Penghasilan yang Bukan Objek Pajak

Penghasilan yang tidak dikenakan PPh pada saat Wajib Pajak menerima penghasilan. Penerima penghasilan tidak dipotong PPh dan pemberi penghasilan tidak memotong PPh namun penerima penghasilan tetap melaporkan pada SPT Tahunannya.

Karakteristik ini sama dengan penghasilan yang dikenakan PPh final.

Pelaporannya harus dipisahkan dengan penghasilannya yang dikenakan PPh.

Demikian juga dengan biaya yang nyata-nyata dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan obyek PPh tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang pada akhir tahun di SPT Tahunan.

Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan pasal 4 ayat (3) UU PPh adalah:

a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil

zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau

sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang

diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk

atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima

sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

(28)

2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

b. Warisan;

c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan Norma penghitungan khusus (deemed profit);

e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer

yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,

(29)

firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha, tetapi pada UU Nomor 36 tahun 2008 telah dihapus dan telah dikenakan PPh final.

k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(30)

RANGKUMAN

1. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

2. Penghasilan dapat dibagi menjadi obyek pajak dan bukan obyek pajak.

Obyek pajak dapat dibagi menjadi dikenakan PPh bersifat tidak final dan PPh bersifat final.

3. Obyek pajak yang bersifat final dan obyek pajak bersifat tidak final tidak perlu dihitung kembali pada saat penghitungan PPh terutang pada akhir tahun tetapi tetap dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

LATIHAN

1. Sebutkan apa saja yang menjadi objek Pajak Penghasilan dari orang pribadi!

2. Sebutkan apa saja yang menjadi obyek Pajak Penghasilan yang bersifat final!

3. Sebutkan apa saja yang bukan merupakan Obyek Pajak Penghasilan!

(31)

BAB MENGHITUNG PAJAK

PENGHASILAN ORANG PRIBADI

Wajib Pajak Orang Pribadi melakukan perhitungan penghasilan yang merupakan obyek pajak non final dan apabila mempunyai penghasilan lebih dari satu, maka penghasilan tersebut harus digabung pada akhir tahun pajak untuk menghitung PPh terutang dalam SPT Tahunan. Wajib Pajak harus dapat menentukan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang bersifat final terlebih dahulu.

Atas semua jumlah penghasilan yang merupakan obyek pajak non final tersebut dapat disebut dengan penghasilan bruto. Penghasilan bruto dapat dikurangkan dari biaya-biaya yang merupakan sebagai pengurang atau langsung dikalikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Untuk menghitung Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan bersamaan dengan pembahasan penghitungan Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak Badan.

Dengan demikian untuk menghitung Pajak Penghasilan Orang Pribadi, ada beberapa pembahasan yang perlu diketahui, yaitu:

1. Penghasilan neto

2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 3. Penghasilan Kena Pajak

4. Tarif

5. Kredit Pajak

6. Menghitung Pajak Penghasilan Terutang

3

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Penghasilan Neto

2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 3. Penghasilan Kena Pajak

4. Tarif

5. Kredit Pajak

6. Menghitung Pajak Penghasilan Terutang

(32)

A. Penghasilan Neto

1. Wajib Pajak Orang Pribadi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan, maka mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan. Untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) sesuai dengan pasal 14 UU PPh. Untuk itu Wajib Pajak memberitahukan secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar dalam waktu tiga bulan pertama dari tahun yang menggunakan NPPN. Apabila tidak memberitahukan, maka dianggap menyelenggarakan pembukuan.

Besarnya persentase NPPN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Penetapannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-536/PJ./2000 yang menjelaskan bahwa norma tersebut diberlakukan secara regional dan terdapat lampiran sendiri yang membagi-bagi tiap jenis usaha atau Kelompok Lapangan Usaha (KLU) ke dalam kelompok norma tertentu.

Persentase wilayah dibuat dalam daftar sebagai berikut:

a. Wilayah 10 ibukota provinsi antara lain: Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makasar, Medan, Palembang, Pontianak dan Manado.

b. Diluar wilayah 10 ibukota provinsi lainnya, serta c. Wilayah kabupaten/kota lainnya/daerah lainnya.

Tabel untuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagai berikut:

Kelompok Lapangan Usaha: Pedagang eceran yaitu pedagang toko kelontong, toko serba ada, supermarket dan warung langsam.

Tabel 3.1. Penghitungan Penghasilan Pedagang Eceran

No. Uraian KLU Persentase

1 Wilayah 10 ibukota provinsi 62200 30%

2 Wilayah di luar 10 ibukota provinsi lainnya 62200 25%

3 Wilayah kabupaten/kota lainnya 62200 20%

Kelompok Lapangan Usaha: Usaha Jasa yaitu Jasa foto studio termasuk fotografi komersil.

Tabel 3.2. Penghitungan Penghasilan Usaha Jasa

No. Uraian KLU Persentase

1 Wilayah 10 ibukota propinsi 97910 38%

2 Wilayah di luar 10 ibukota propinsi lainnya 97910 37%

3 Wilayah kabupaten/kota lainnya 97910 35%

(33)

Untuk kelompok lapangan usaha lainnya dapat dilihat pada buku pedoman penghitungan PPh dengan menggunakan NPPN

Contoh penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto:

1. Tn. Ibad mempunyai usaha dengan membuka toko kelontong di Jakarta.

Peredaran bruto selama setahun adalah sebesar Rp 350.000.000. Jika melihat tabel 3.1 di atas, maka NPPN-nya adalah 30%. Dengan demikian penghasilan neto dari Tn. Ibad adalah sebesar Rp 105.000.000 (Rp 350.000.000 x 30%).

2. Apabila Tn. Ibad juga mempunyai studio foto dan mempunyai peredaran bruto selama setahun sebesar Rp 100.000.000, maka perhitungan penghasilan neto untuk kedua usahanya adalah sebagai berikut:

 Toko kelontong

350.000.000 x 30% Rp 105.000.000

 Foto Studio

100.000.000 x 38% Rp 38.000.000

Jumlah Penghasilan neto Rp 143.000.000

Penggunaan penghitungan penghasilan neto menggunakan norma relatif lebih mudah dibandingkan dengan pembukuan karena kesederhanaan dalam perhitungan serta pengadministrasiannya, karena Wajib Pajak tidak perlu menghitung biaya-biaya sehubungan dengan usaha. Namun dalam beberapa hal pembayaran pajaknya tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya karena tarif norma yang cukup tinggi dan Wajib Pajak akan selalu dianggap mempunyai laba atau penghasilan neto berapapun jumlah peredaran brutonya.

2. Wajib Pajak yang berstatus sebagai karyawan atau pegawai.

Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan, berhak

atas penghasilannya yaitu gaji berupa biaya jabatan atau biaya pensiun. Biaya

jabatan atau biaya pensiun ini diberikan kepada pegawai tetap di perusahaan,

sehingga jika Wajib Pajak bekerja di lebih dari satu pemberi kerja maka biaya

jabatan tersebut ditotal seluruhnya untuk dijadikan sebagai pengurang dari

penghasilan bruto berupa gaji, tunjangan, uang lembur, premi asuransi Jaminan

Pelayanan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian

(JKM), bonus dan lain-lain yang diterima pegawai tetap. Jika karyawan membayar

premi Jaminan Hari Tua (JHT) juga dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan

(34)

bruto baik untuk penghitungan PPh Pasal 21 maupun perhitungan PPh orang pribadi.

Besarnya biaya jabatan dan biaya pensiun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252 tahun 2008 adalah:

1. Biaya jabatan: 5% x penghasilan bruto atau maksimal Rp500.000,00 perbulan dan Rp6.000.000,00 pertahun, kemudian pilih yang terkecil berdasarkan masa kerja dengan ketentuan bahwa biaya jabatan melekat pada perusahaan tempat pegawai bekerja.

2. Biaya pensiun: 5% x penghasilan bruto atau maksimal Rp200.000,00 perbulan dan Rp2.400.000,00 pertahun.

Biaya jabatan untuk karyawan tetap yang masih aktif dan biaya pensiun untuk mantan karyawan yang dibayar secara bulanan.

Contoh penghitungan:

Tn. Azizan bekerja di PT Suka Ibadah. Penghasilan selama setahun adalah sebagai berikut:

 Gaji Rp 36.000.000

 Natura (beras dan gula) Rp 2.000.000

 Tunjangan Transport Rp 4.000.000

 Bonus Rp 5.000.000

 Uang Penggantian Rp 5.000.000 Jumlah Penghasilan bruto Rp 52.000.000

Untuk menghitung penghasilan neto, maka dikeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang bukan merupakan objek pajak yaitu natura. Dengan demikian perhitungan penghasilan netonya adalah sebagai berikut:

 Penghasilan bruto Rp 50.000.000

 Biaya jabatan Rp 2.500.000

 Penghasilan neto Rp 47.500.000

Jumlah penghasilan neto ini akan dilaporkan dalam SPT Tahunan Wajib

Pajak, apabila Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto dari usaha atau dari lainnya

yang merupakan objek pajak, maka seluruh penghasilan neto tersebut akan

digabung untuk menghitung jumlah PPh yang terutang.

(35)

B. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Sesuai dengan pasal 6 ayat 3 UU PPh, kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP. Besarnya PTKP beberapa kali mengalami perubahan. Modul ini membahas PTKP untuk perubahan terakhir.

1. Tahun Pajak 2005.

Untuk tahun pajak 2005 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.

564/KMK.03/2004 tanggal 29 November tahun 2004, besarnya PTKP adalah sebagai berikut:

1. Rp 12.000.000 untuk diri Wajib Pajak;

2. Rp 1.200.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang menikah;

3. Rp 12.000.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;

4. Rp 1.200.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (ayah, ibu dan anak kandung dan semenda (mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

2. Tahun Pajak 2006.

Untuk tahun pajak 2006 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.

137/PMK.03/2005, besarnya PTKP disesuaikan menjadi sebagai berikut:

1. Rp 13.200.000 untuk diri Wajib Pajak;

2. Rp 1.200.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang menikah;

3. Rp 13.200.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;

4. Rp 1.200.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (ayah, ibu dan anak kandung dan semenda (mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

3. Tahun Pajak 2009.

Untuk tahun pajak 2009 sesuai dengan UU No. 36 tahun 2008 disesuaikan menjadi sebagai berikut:

1. Rp15.840.000 untuk diri Wajib Pajak;

2 Rp1.320.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang menikah;

2. Rp15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung

dengan penghasilan suami;

(36)

4. Rp1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (ayah, ibu dan anak kandung dan semenda (mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Secara lengkap ketentuan PTKP tersebut dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini:

Tabel 3.3. Tabel Ketentuan PTKP

Status Penjelasan 2005 2006 2009

WP tidak menikah

TK/0 Tidak punya tanggungan 12.000.000 13.200.000 15.840.000 TK/1 Punya 1 tanggungan 13.200.000 14.400.000 17.160.000 TK/2 Punya 2 tanggungan 14.400.000 15.600.000 18.480.000 TK/3 Punya 3 tanggungan 15.600.000 16.800.000 19.800.000

WP nikah, Ph istri tidak digabung

K/0 Tidak punya tanggungan 13.200.000 14.400.000 17.160.000 K/1 Punya 1 tanggungan 14.400.000 15.600.000 18.480.000 K/2 Punya 2 tanggungan 15.600.000 16.800.000 19.800.000 K/3 Punya 3 tanggungan 16.800.000 18.000.000 21.120.000

WP nikah, Ph istri digabung

K/I/0 Tidak punya tanggungan 25.200.000 27.600.000 33.000.000 K/I/1 Punya 1 tanggungan 26.400.000 28.800.000 34.320.000 K/I/2 Punya 2 tanggungan 27.600.000 30.000.000 35.640.000 K/I/3 Punya 3 tanggungan 28.800.000 31.200.000 36.960.000

WP hidup berpisah

HB/0 Tidak punya tanggungan 12.000.000 13.200.000 15.840.000 HB/1 Punya 1 tanggungan 13.200.000 14.400.000 17.160.000 HB/2 Punya 2 tanggungan 14.400.000 15.600.000 18.480.000 HB/3 Punya 3 tanggungan 15.600.000 16.800.000 19.800.000

Tanggungan yang dimaksud adalah tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang.

4. Ketentuan PTKP.

1. Besarnya PTKP di atas ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim.

2. Untuk penghasilan istri digabung, tambahan seorang istri (hanya seorang istri) dilakukan dalam hal istri:

a. bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan

bebas yang tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas

suami, anak/anak angkat yang belum dewasa;

(37)

b. bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai pemotong pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas;

c. bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.

3. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak tidak memperoleh pengurangan PTKP.

4. PTKP bagi Wajib Pajak masing-masing suami istri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-masing Wajib Pajak diperlakukan seperti Wajib Pajak tidak kawin, sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang diperkenankan.

5. PTKP untuk Wajib Pajak yang melakukan pisah harta adalah sebesar PTKP penggabungan penghasilan dengan istri apabila istri berpenghasilan dan penghasilannya digabung dengan suami.

C. Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Secara sederhana Penghasilan Kena Pajak (PKP) dapat diketahui dengan cara mengurangi Penghasilan Neto dengan PTKP.

Contoh:

Tn. Ersa adalah Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan dari pekerjaan sebagai pegawai. Penghasilan bruto berupa gaji dan tunjangan selama tahun 2009 adalah sebesar Rp 90.000.000/tahun. Istri dari Tn. Ersa mempunyai usaha toko kelontong dengan peredaran usaha selama tahun 2009 adalah sebesar Rp 200.000.000/tahun. Tn. Ersa mempunyai 2 anak yang belum dewasa, disamping itu ibu mertua, keponakan serta adik iparnya juga tinggal bersamanya dan menjadi tanggungan sepenuhnya. Berapa PKP dari Tn.

Ersa apabila tidak menyelenggarakan pembukuan.

Jawab:

Daftar keluarga dari Tn. Ersa menunjukkan bahwa status keluarga adalah

K/I/3, status ini menunjukkan Tn. Ersa sudah menikah, istrinya mempunyai

penghasilan yang digabung dengan penghasilan Tn. Ersa, mempunyai 3

tanggungan yaitu 2 orang anak kandung dan Ibu mertua (maksimal

tanggungan sebanyak 3 orang saja). Maka perhitungan PKP-nya dapat dilihat

pada tabel 3.4 berikut ini:

Referensi

Dokumen terkait

pada atribut model yang menarik, dimana sikap wanita lebih baik dibandingkan dengan sikap pria terhadap handphone Sony Ericsson. mempunyai model

temperatur beton dan setting time beton pada perkerasan kaku yang menggunakan pemanfaatan air es dengan variasi suhu 5 o C, 10 o C, 15 o C, 20 o C dan 27 o C, sedangkan

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat risiko pajanan mikroplastik melalui konsumsi ikan kurisi dan ikan

Apabila Indonesia mengimplementasikan Pasal 83 bis terhadap pesawat haji, maka pesawat haji yang disewa untuk sementara waktu tersebut tidak perlu dideregistrasikan

Mengapa dalam penyusunan laporan keuangan, Badan Layanan Umum diwajibkan untuk menyusun dua laporan keuangan sekaligus dengan  berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan

pengembalian investasi atau lebih dikenal dengan nama return on investment (ROI) merupakan rasio yang menunjukkan hasil ( return ) atas jumlah aktiva yang digunakan

ANALISIS BEBAN KERJA PADA STASIUN SORTASI DENGAN MENGGUNAKAN METODE WORK SAMPLING.. DAN BIOMEKANIKA UNTUK MENENTUKAN JUMLAH OPERATOR

Profil penyebaran logam berat disekitar TPA Wukirsari Gunungkidul pada tanggal 11 September 2015 menunjukan penyebaran logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) memiliki