• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pardomuan Munthe Sekolah Tinggi Teologi Abdi Sabda Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pardomuan Munthe Sekolah Tinggi Teologi Abdi Sabda Medan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

LITURGI TAK BERNYAWA ;

Tinjauan dogmatis terhadap daya tarik, kondisi dan suasana peribadatan Gereja-gereja pembina Sekolah Tinggi Teologi Abdi Sabda Medan

Pardomuan Munthe

Sekolah Tinggi Teologi Abdi Sabda Medan munthepardomuan@sttabdisabda.ac.id

ABSTRAK

Liturgi tak bernyawa adalah yang tak berdaya menimbulkan efek perjumpaan. Dalam liturgi terjadi perjumpaan dengan Allah, di dalamnya ada percakapan, yaitu firman Tuhan, akibatnya timbullah efek dalam diri jemaat, yaitu rasa syukur, sukacita, dll. Jika secara empiris suatu Liturgi tidak lagi berdaya memberikan efek, maka diindikasikan Liturgi itu tak bernyawa. Penelitian ini bermanfaat untuk menyajikan fakta-fakta empiris jemaat terhadap suasana/kondisi dan kualitas peribadahan gereja-gereja pembina STT Abdi Sabda, Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Dengan tujuan agar semua Pimpinan/pendeta/pengurus Gereja mulai tingkat jemaat sampai sinode sebagai pihak penyelenggara Liturgi/peribadatan dapat melihat kondisi ini dan melihat bagian-bagian mana yang dapat merusak, mengganggu dan membuyarkan “suasana” peribadatan, yang menimbulkan efek liturgi menjadi mati atau “tak bernyawa”. Metode penelitian yang dilakukan adalah gabungan kwantitatif dan kwalitatif, yakni dengan menjalankan angket yang memuat pertanyaan-pertanyaan pilihan dan isian. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak tahun 2014, 2017 dan terakhir 2021. Hasil penelitian. Setelah meneliti di sebanyak 28 gereja dengan jumlah sampel sebanyak 857, ditemukan kwalitas positif dengan tingkat persentase di atas 60% dan kwalitas negatif dengan tingkat persentase di bawah 40%

dari 4 variabel yang diteliti, yaitu: Musik & Pemandu Lagu, Liturgis, Kotbah, Kondisi dan Suasana Rumah Ibadat. Juga ditemukan dari angket kwalitas bahwa alat musik yang paling banyak dipergukan di gereja adalah Organ dan Keyboard; selanjutnya Faktor penyebab terbesar ibadah di gereja kurang hikmat adalah faktor kebisingan/keributan yang ditimbulkan oleh anak-anak, kenderaan, notifikasi HP, dll. Dengan temuan ini diharapkan pengurus/pelayan gereja mengetahui fungsi dan tujuan Liturgi secara dogmatis dan praktis.

Sehingga dapat menata, mengelola dan menyelenggarakannya sesuai dengan nyawa liturgi itu sendiri.

Kata-kata kunci: Liturgi tak bernyawa, musik; liturgis; kotbah; rumah ibadat; daya tarik beribadat.

ABSTRACT

A lifeless liturgy is one that is powerless to cause an encounter effect. In the liturgy there is an encounter with God, in which there is a conversation, namely the word of God, as a result there will be effects in the congregation, namely gratitude, joy, etc. If empirically a liturgy is no longer able to give effect, it is indicated that the liturgy is lifeless. This research is useful to present empirical facts of the congregation on the atmosphere/condition and quality of worship of the churches that built STT Abdi Sabda, Medan, North Sumatra, Indonesia. With the aim that all Church leaders/pastors/managers from the congregational level to the synod as the organizers of the Liturgy/worship can see this condition and see which parts can damage, disrupt and disrupt the "atmosphere" of worship, which causes the liturgical effect to be dead or

"lifeless". The research method used is a combination of quantitative and qualitative, namely by running a questionnaire containing selected and filled questions. This research has been carried out since 2014, 2017 and finally 2021. Research results. After examining 28 churches with a sample of 857, found positive quality with a percentage level above 60% and negative quality with a percentage level below 40% of the 4 variables studied, namely: Music & Song Guide, Liturgy, Preaching, Conditions and the Atmosphere of the House of Worship. It was also found from the quality questionnaire that the most used musical instruments in the church were the Organ and Keyboard; Furthermore, the biggest factor causing worship in the church to lack wisdom is the noise factor caused by children, vehicles, cellphone notifications, etc. With this finding, it is hoped that church administrators/servants will know the function and purpose of the Liturgy in

(2)

2 a dogmatic and practical way. So that it can organize, manage and organize it in accordance with the life of the liturgy itself.

Keywords: Lifeless liturgy, music; liturgical; sermon; synagogue; attraction to worship.

I. Pendahuluan

Istilah Liturgi tak bernyawa mula-mula timbul dari percakapan dengan rekan-rekan dosen dalam suatu acara ibadah syukuran tahun 2020 yang lalu. Semua mengakui dan merasakan bahwa telah terjadi degradasi rasa dan khikmah peribadatan di gereja kita. Meskipun akhir-akhir ini ada upaya-upaya dari faktor modernisasi tekhnologi untuk memulihkan rasa dan khikmah itu, misalnya menggunakan proyektor. Tetapi tidak menolong, justru semakin mengentalkan sifat textual ibadah dan menggeser sifat batiniah/penghayatannya. Dalam percakapan itu dicoba untuk menemukan apa kata yang tepat untuk menggambarkan nuansa ibadah gereja kita sekarang. Dari situlah timbul sebuah inspirasi, maka saya memilih satu istilah dan dijadikan menjadi judul penelitian ini: Liturgi tak bernyawa.

Sesuatu yang bernyawa, tentulah ia hidup, memiliki daya dan pengaruh. Jika diindikasikan suatu Liturgi tak bernyawa, berarti Liturgi itu tidak lagi berdaya memberikan pengaruh atau dorongan, tidak lagi memberikan rasa atau keindahan dalam suatu sisi kehidupan kita, terutama kehidupan yang bersifat batiniah atau rohani. Saya rasa tidak begitu penting lagi di sini dideskripsikan arti literer dari liturgi. Kita sama sekali tidak kekurangan kosa kata tentang itu.

Yang menjadi fokus saya dalam penelitian ini bukan menuturkan pengetahuan dan pandangan teologis mengenai apa arti liturgi, apa dasarnya, fungsinya, tujuannya dan tekhniknya, meskipun itu berguna. Tetapi soal pengalaman batiniah, fokus saya adalah, bisakah dalam satu jam ibadah minggu, saya merasakan liturgi yang meresapi batiniah saya, membungkam otak dan menaungi perasaan emosional serta seperti aliran darah mengaliri seluruh tubuh saya? Bisakah liturgi itu tidak mengajak saya berdebat, berpikir kritis dan menganalisa, tetapi mengangkat jiwa saya bersyukur kepada Tuhan? Bisakah liturgi itu membuat saya berhenti berpikir, berceloteh dan bertutur, tetapi menenangkan batin saya untuk bersandar pada Tuhan saja? Hai liturgi…! Bantulah saya bertemu, menghadap, bertelut di bawah kaki-Nya, mohon ampun, menyembah, memuji dan bersyukur kepada-Nya. Itulah tanda bagi liturgi yang bernyawa, sesuai arti teologisnya, bahwa liturgi adalah peristiwa perjumpaan (lawatan) Allah dengan manusia.

Ada tiga istilah “kebaktian” yang sering digunakan untuk menyebut satu kegiatan yang sama, namun sebenarnya memiliki arti yang berbeda, yaitu: ibadah, kebaktian dan liturgi. Ibadah adalah penyembahan. Penyembahan mencakup dua pengertian, yaitu di dalam dan di luar kebaktian. Penyembahan di dalam kebaktian dilaksanakan di dalam perkumpulan atau pertemuan- pertemuan warga jemaat, sedangkan penyembahan di luar kebaktian dilaksanakan dalam prilaku hidup sehari-hari (Roma 12:1-2). Penyembahan di dalam kebaktian bersifat komunal dan seremonial, sedangkan penyembahan di luar kebaktian bersifat moral dan spiritual, atau sering disebut sebagai karakteristik, kepribadian (personality). Kebaktian adalah berkumpulnya orang- orang percaya atau warga jemaat di suatu tempat yang telah ditentukan untuk melaksanakan suatu peribadatan. Ketika jemaat berkumpul guna melaksanakan kebaktian, maka tentu saja ada kegiatan seremonial yang dilaksanakan mulai dari pembukaan sampai penutup. Kegiatan seremonial itu sering disebut sebagai tata kebaktian atau tata ibadah, tetapi istilah yang paling tepat adalah Liturgi.

Sebelum menjadi istilah teologi, kata Liturgi asalnya adalah kata Yunani: λειτουργία, leitourgia, artinya: pelayanan, tugas jabatan. Kata λειτουργία adalah penggabungan dari dua kata:

λαός, laos, yang artinya: umat, rakyat, bangsa, orang banyak; dan ἔργον, ergon, yang artinya:

(3)

3 pekerjaan, perbuatan, berkarya, dan tugas. Kata λειτουργία sudah dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan pengertian “pekerjaan yang dibaktikan bagi kepentingan umat, rakyat, bangsa atau orang banyak”. Semula kata ini digunakan di lapangan politik atau pemerintahan, dikenakan kepada petugas, aparatur atau pejabat yang dihunjuk oleh Kaisar/Raja untuk melakukan pekerjaan (kehendak/ keinginan) Kaisar/Raja kepada rakyatnya. Dengan asumsi lain, pekerjaan/pelayanan untuk rakyat itulah yang memidiasi/menjumpakan/ menyatukan/mempertemukan rakyat dengan rajanya. Kata ini kemudian diambil menjadi istilah teologi. Dalam istilah teologi, pekerjaan itu dimaknai sebagai pelayanan Kristus bagi dunia (orang banyak). Dalam hubungannya dengan peribadahan, maka arti Liturgi adalah perayaan iman gereja akan misteri penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Dalam hal ini, keberlangsungan Liturgi dipandang sebagai peristiwa perjumpaan (sapaan, komunikasi) antara Allah dan umat beriman. Sampai di sini perlu ditegaskan bahwa Liturgi adalah perayaan perjumpaan antara Allah dan umat beriman. Jadi sentral atau penekanannya adalah peristiwa perjumpaan. Dalam pengertian ini dapat kita lihat bahwa sifat Liturgi pertama-tama bukan dari bawah ke atas, melainkan dari atas ke bawah. Artinya, Liturgi adalah tindakan atau pekerjaan Allah atas dan bagi manusia. Liturgi adalah perayaan terhadap pekerjaan Allah yang menyalamatkan manusia dalam Yesus Kristus. Dalam perayaan iman ini, dinamika perayaan dimulai dari Allah. Allah yang mencari, mengundang, bertemu, dan menyampaikan firman-Nya kepada jemaat (Munthe. P., 2020, hl 153-154). Sebaliknya dalam peristiwa perjumpaan ini, manusia beriman datang, memanggil, menghadap, menemui, menyongsong dan menyambut. Jadi gerakan terjadi pada kedua pihak yang berjumpa.

Jadi hal mendasar yang harus diketahui soal arti Liturgi dari aspek teologi adalah, bahwa Liturgi adalah terjadinya atau terselenggaranya perjumpaan/pertemuan 2 pihak, yaitu pihak Allah dengan pihak manusia. Tentu dalam perjumpaan itu ada isi/materi percakapan, dan materi percakapan itulah yang disebut dengan unsur-unsur liturgi, mulai dari votum sampai berkat. Secara alkitabiah dapat dicontohkan seperti pertemuan malaikat Gabriel dengan Maria. Liturgi adalah terselenggaranya perjumpaan itu. Isi perjumpaannya adalah pemberitahuan bahwa Maria dipilih oleh Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus, yang kemudian disambut Maria dengan

“Amin, jadilah padaku seperti yang engkau katakan”. Demikianlah gambaran teologi penyelenggaraan ibadat atau liturgi. Jadi ada 2 hal yang harus ditonjolkan secara teologis dalam ibadat, yaitu: (1) terselenggaranya pertemuan/ perjumpaan itu; (2) diterima/diaminkannya materi/isi/konten pertemuan itu. Apabila ada salah satu dari yang dua ini tidak dapat/terjadi, maka sia-sialah perjumpaan itu. Tetapi, jika keduanya dapat/ terjadi, maka timbullah efek bagi yang bersangkutan, yaitu merasakan sukacita dan syukur. Terasa dibaharui betul sehingga hidup terasa seperti baru, nikmat dan gairah. Pengalaman itu yang menuntun orang untuk menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Perhatikan berikut ini dua contoh tersaji dalam Injil Yohanes.

Diceritakan oleh Yohanes beberapa kisah pertemuan (liturgi), yang berefek membuahkan pertemuan di tempat dan bagi yang lain. Setelah Filipus bertemu dengan Yesus, ia begitu bersuka- cita akibat pertemuan itu. Ia bersegera menemui Natanael, sahabatnya dan mengajaknya pula untuk bertemu dengan Yesus. Natanael adalah seorang yang sudah lama menantikan kedatangan Mesias.

Awalnya Natanael menolak karena ia meragukan Yesus, sebab menurut pengetahuannya Mesias berasal dari Betlehem, bukan dari Nazaret. Filipus memaksanya. Sebagai teman ia menurut.

Setelah Natanael berjumpa dengan Yesus, Natanael tersentak kagum karena ternyata Yesus mengenalnya, bahkan pengenalannya amat dalam. Yesus tahu betul siapa Natanael, yang memiliki pengalaman spesial di bawah pohon Ara. Hal yang sama juga dialami oleh perempuan Samaria yang berjumpa dengan Yesus. Betapa bersuka-cita ia akibat pertemuan itu, rohnya menyala-nyala,

(4)

4 sehingga ia bertutur ke setiap orang yang ditemuinya bahwa ia telah melihat, berjumpa dan berkata-kata dengan Kristus. Tutur katanya itu membuat orang tertarik dan bertanya, “dimanakah Dia?” Lalu perempuan Samaria itu membawa mereka dan bertemu dengan Yesus. Karena hari sudah petang, maka mereka meminta Yesus bersedia tinggal sekejab bersama mereka di Samaria, dan 2 hari lamanya Yesus bersama dengan mereka. Akibat dari perjumpaan itu, sekarang orang- orang Samaria berkata kepada perempuan itu, “dan kami juga telah melihat, berjumpa dan berbicara dengan Dia. Dialah Kristus (Yoh. 1 dan 4). Dari 2 peristiwa ini, intisari yang mau diambil adalah logika liturgi tadi, (1) terjadi perjumpaan/pertemuan; (2) ada isi/materi pertemuan;

(3) ada efeknya, yaitu rasa syukur, bersorak dan sukacita. Jadi dalam kata liturgi, termaktub/tercakup pertemuannya, firman-Nya dan efeknya.

Contoh-contoh liturgi/perjumpaan tadi, bagi kita saat ini memiliki nilai/kualitas kewahyuan, sama seperti perjumpaan dan percakapan antara Allah dengan Nuh di Nod dan Ararat, atau seperti perjumpaan Allah dengan Abraham di Haran, More dan Mamre, bahwa perjumpaan dan percakapan itu lebih bersifat peristiwa iman ketimbang peristiwa historis. Apa bedanya?

Peristiwa iman itu bersifat wahyu, efeknya memancar, mengalir, menular dan menjalar; sedangkan peristiwa historis itu bersifat fakta kasuistik, hanya sekali itu saja. Sebagai peristiwa iman, maka peristiwa itu selalu dapat diimplementasikan dan dikontekstualisasikan; sedangkan peristiwa historis hanya dapat dikenang saja. Dalam peristiwa historis, kita tidak akan menemukan titik temu atau perjumpaan dengan peristiwa-peristiwa tadi, tetapi dalam peristiwa iman, kepercayaan Nuh dan Abraham tadi dapat memancar, mengalir, dirayakan, atau istilah lebih populer: “diwariskan“

kepada generasi demi generasi, dahulu, sekarang dan akan, melalui liturgi. Jadi liturgi dalam hal ini bukan hanya memiliki makna primer seperti yang di atas tadi, selanjutnya juga memiliki makna sekunder sebagai sakramentalia. Maksud-nya, secara historis peristiwa itu sudah masa lalu, tetapi secara imani makna spiritualitasnya selalu mengalir, memancar, menyebar dari generasi ke generasi, sehingga jumlah orang percaya bertambah banyak. Liturgi dalam pengertian sekunder inilah yang terus-menerus diselenggarakan oleh Gereja (orang-orang percaya) –tentu berharap melaluinya menemukan makna primer tadi- dalam peribadatan. Dalam peribadatan yang diselenggarakan gereja itu, jemaat mengimaninya sebagai peristiwa perjumpaan dengan Allah melalui liturgi.

Filosofi Liturgi adalah Allah di dalam Yesus Kristus datang/melawat/bertindak untuk orang banyak, dan anugerah itu dirayakan orang-orang percaya dalam suatu pertemuan ibadah. Jadi yang menjadi subjek atau pelaku utama dalam Liturgi adalah Kristus. Dalam hal ini tindakan Kristus dilakukan melalui Gereja, atau dengan perkataan lain, alat Kristus untuk melakukan Liturgi adalah Gereja. Jadi Liturgi adalah pekerjaan Gereja atas nama Kristus. Gereja menjadi alat Kristus untuk merayakan/menyelenggarakan pertemuan/perjumpaan. Ibadah kita dibuka dengan menyerukan formula Votum (pembukaan ibadah), “Di dalam Nama Allah, Bapa dan Nama Anak- Nya Yesus Kristus dan Nama Roh Kudus”. Votum, dari bahasa Latin, artinya “menghadirkan atau menyatakan hadir”. Ini adalah tindakan Gereja untuk mengkonstatir atau menyatakan bahwa Allah Trinitas telah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Votum Kehadiran itu kemudian direspons menyanyikan haleluya, selanjutnya jemaat berdoa dan memohon pengampunan dosa. Suasana yang dilukiskan dari makna liturgi itu adalah aspek perjumpaan/ pertemuan itu beserta komunikasi iman yang berlangsung sepanjang liturgi. Maka jika ditanyakan, apakah isi atau materi percakapan dalam perjumpaan itu? Jawabnya adalah unsur-unsur liturgi yang telah dikemas dalam satu

“tatanan liturgi”, misalnya: votum, epistel, pengakuan, kotbah/evangelium, bernyanyi dan berdoa.

Tatanan unsur-unsur dari pembuka sampai penutup itulah disebut dengan Liturgi.

(5)

5 Sekarang kita tiba membayangkan begini, jika suatu pertemuan/perjumpaan berlangsung, cukupkah yang dibutuhkan hanya oknum/orang yang bertemu beserta dengan agenda/materi pertemuan? Tentu tidak. Sangat dibutuhkan juga “tempat pertemuan” beserta dengan segala alat- alat perlengkapan guna terselenggaranya pertemuan itu. Dengan pengertian ini berarti bukan hanya petugas dan materi liturginya disebut Liturgi, juga termasuk tempat dan penyelenggaraannya.

Semuanya saya sebut dengan 2 ungkapan: alat-alat kelengkapan dan alat-alat perlengkapan. Alat- alat kelengkapan adalah orangnya atau petugas-petugasnya, yang terdiri dari petugas utama dan petugas pendamping. Petugas utama adalah: kotbah, Liturgist /paragenda dan kolektan. Petugas pendamping adalah: pemusik, pemandu nyanyi, seksi tamu, operator, dll. Alat-alat perlengkapan adalah sarana dan prasarana, yang terdiri dari gedung yang meliputi arsitektur, dekorasi atau tata rias altar, alat musik, sound, listrik, tempat duduk, pendingin, dll. Alat-alat perlengkapan juga mencakup peralatan dan bahan-bahan yang digunakan, misalnya: tempat kolekte, buku liturgi, buku nyanyian, lembar tertib acara, material sakramen, lilin, pohon natal, kain altar, dll. Kedua jenis alat-alat tadi, yakni semua petugas liturgi (kelengkapan), termasuk kotbah dan pengkotbahnya, dan juga semua sarana-prasarana, alat-alat dan bahan (perlengkapan), secara keseluruhan atau secara holistis disebut Liturgi. Jadi Liturgi adalah suatu rangkaian peristiwa, yang diselenggarakan dalam rangka merayakan perjumpaan dengan Trinitas. Perhatikan, penekanan di sini adalah satu rangkaian peristiwa, bukan sepenggal atau sebagian.

Nah, sekarang kita tiba pada 2 kutub positif dan negatif. Kutub positif bahwa Liturgi menghasilkan 3 aspek, yaitu: (1) terjadi perjumpaan/pertemuan; (2) ada isi/materi pertemuan; (3) ada efek pertemuan, yaitu rasa syukur, bersorak dan sukacita. Kutub negatif yakni di awal percakapan telah dituturkan, bahwa ada ungkapan keprihatinan terhadap kondisi liturgi gereja- gereja saat ini sebagai Liturgi tak bernyawa. Jika diindikasikan suatu Liturgi tak bernyawa, berarti Liturgi itu tidak lagi berdaya memberikan efek, pengaruh atau dorongan, tidak berdaya memberikan rasa keindahan atau warna dalam sisi kehidupan, terutama sisi-sisi yang bersifat batiniah atau rohaniah. Jadi sekarang kita sedang diperhadapkan dengan polemik-polemik umum di gereja kita, begini. Jemaat tetap mengakui dan mengimani aspek perjumpaan dengan Tuhan melalui peribadatan itu, tetapi: (1) jemaat ingin menikmati suasana damai dari peribadatan itu, tapi suasana yang ditemuinya dalam peribadahan itu tidak sesuai dengan keinginan/ daya tariknya; (2) jemaat tertarik ke gereja karena kotbahnya, tapi ternyata suasana peribadahan yang ditemuinya bising/ tidak hikmat; (3) jemaat menemukan suasana damai dalam suasana peribadahannya, tetapi ia tidak memperoleh jawaban dari kotbah; (4) jemaat menemukan pengkhotbah idolanya dalam ibadah itu, tetapi dia tidak menemukan suasana peribadahan yang damai; (5) Jemaat mengakui, membutuhkan dan merindukan peribadahan, tetapi secara faktual tidak menemukan/mengalami efeknya. Nah, sesungguhnya ideal dari suatu liturgi (pertemuan) atau penyelenggaraan peribadahan, secara holistis liturgi (pertemuan) itu, mulai panggilan beribadah (nyanyian pertama) sampai nyanyian pengutusan (doxology: amin 3x), memberikan efek/pengaruh bagi jiwa dan roh jemaat (semua yang ikut terlibat dalam pertemuan itu). Karena secara mysterion sesungguhnya liturgi itu semacam daya/kekuatan yang memancarkan efek/pengaruh. Sehingga selama berlangsungnya liturgi (pertemuan) itu, jemaat bisa menikmati hidupnya dari aspek batiniah rohaniah. Dari sisi kenikmatan ini, jemaat bisa mengalami kepuasan, atau istilah Paulus:

“bermegah” dalam Tuhan (Rm 5; 2 Kor. 10).

Yang mendorong terselenggaranya penelitian ini adalah pengakuan dan perasaan pendeta bahwa telah terjadi degradasi rasa dan khikmah peribadatan di gereja-gereja kita. Kebenaran pendapat inilah yang perlu diuji. Manfaatnya: menyajikan fakta-fakta empiris jemaat terhadap

(6)

6 unsur-unsur vital peribadahan/liturgi, dengan tujuan utama: Pimpinan Gereja sebagai penyelenggara Liturgi/peribadatan dapat melihat secara jelas bagian-bagian mana yang dapat merusak, mengganggu, mencederai, melemahkan dan membuyarkan “suasana” peribadatan, sehingga efek/pengaruh liturgi itu menjadi mati/nihil/hampa, alias “tak bernyawa”.

II. Metode Penelitian

Keinginan meneliti kondisi/suasana peribadahan di gereja-gereja pembina STT Abdi Sabda ini telah ada sejak tahun 2012 yang lalu. Untuk itu dilakukan penelitian secara bertahap.

Tahap Pertama, bekerjasama dengan mahasiswa stambuk 2011 yang mengontrak mata kuliah Homiletika II, dilakukan penelitian kwantitatif dengan metode angket, dilaksanakan pada libur paskah 14-21 April tahun 2014. Angket yang dibagikan 5 variabel, mencakup: musik dan pemandu lagu, liturgis, kotbah, kondisi dan suasana rumah ibadah, serta faktor penyebab ibadah di gereja kurang hikmah. Tahap kedua, bekerjasama dengan mahasiswa stambuk 2014 yang mengontrak mata kuliah Homiletika II, dilakukan penelitian kwantitatif dengan metode angket, dilaksanakan pada libur paskah 9-16 April tahun 2017. Angket yang dibagikan 1 variabel, yaitu: daya tarik suatu gereja sehingga jemaat datang beribadah ke tempat itu. Tahap Ketiga, bekerjasama dengan mahasiswa stambuk 2017 yang mengontrak mata kuliah Colleqium Pastorale (CP) semester genap Ta. 2020-2021, 25 Januari – 16 Juli 2021. Angket tahap pertama tadi dibagikan kembali dengan metode Google Form ke 11 jemaat tempat CP mahasiswa yang berada di wilayah Tapanuli Utara dan Sibolga Sumatera Utara. Dari tiga tahap bisa disimpulkan bahwa penelitian berlangsung sejak tahun 2014 dan hasilnya dilaporkan tahun 2021, selama 7 tahun.

Penelitian tahap pertama dilaksanakan di 44 gereja, ditambah 1 google form pada tahap ketiga (dihitung sebagai 1 gereja), jadi berjumlah 45 gereja. Dari 45 gereja, jumlah sampel sebanyak 1.437 dari populasi sebanyak 12.299. Berhubung demografi gereja menyebar di 17 kabupaten/kota di 3 provinsi, maka temuan penelitian difokuskan pada kabupaten/kota yang jumlah gerejanya lebih 5. Berdasar kriteria itu, ada 3 kabupaten/kota yang memenuhi, yaitu: Simalungun (12 gereja), Karo (9 gereja) dan HumbangHas/Taput (7 gereja). Semuanya berjumlah 28 gereja, dengan jumlah sampel/ populasi: 389/3.849 + 290/2.451 + 178/1.996 = 857/8.296. Selanjutnya Penelitian tahap kedua dilaksanakan di 90 gereja, tetapi dari 90, hanya 25 gereja yang ditetapkan secara acak menjadi sampel, yang tersebar di 10 Kabupaten/ Kota-madya, yakni: masing-masing 1 gereja dari Asahan, Taput, Tapteng, Tobasa, Pematangsiantar, Medan; 3 gereja dari Riau, 4 dari Karo, 5 dari Simalungun dan 7 dari Deli Serdang. Dari 25 gereja, terdiri dari: 3 GKPI, 4 GKPS, 8 HKI, dan 10 GBKP. Di tiap-tiap gereja dibagikan sampel sebanyak 40, tetapi dari 40 hanya diambil random masing-masing 10 sampel, sehingga jumlah semua sampel sebanyak 250. Sebagaimana telah disebutkan di atas, dari Penelitian tahap pertama diteliti kondisi dan suasana peribadatan;

sedangkan dari Penelitian tahap kedua diteliti daya tarik Gereja tersebut sehingga jemaat memilih beribadah di tempat itu.

III. Hasil dan Temuan penelitian

Dari pengolahan data, dapat disimpulkan empat temuan berikut.

(1) Daya tarik suatu Gereja sehingga jemaat beribadah di gereja itu. Pertanyaan di penelitian tahap 2 adalah, “apakah daya tarik Gereja ini sehingga anda beribadah di tempat ini?”

Hasil penelitian menun-jukkan bahwa jemaat tertarik memilih satu gereja sebagai tempat ibadah, pertama adalah karena suasana peribadahannya dinilai tertib, sopan, teratur, tenang dan tenteram. Suasana ini mengasosiasikan pikiran jemaat bahwa di situ ia akan menemukan rasa

(7)

7 tenang, damai, nyaman, dimana ia bisa mengistirahatkan atau berhenti dari segala corat marut pikiran, persoalan, persaingan, perbantahan, pergumulan, dll. Pilihan yang kedua adalah karena kotbah. Orang yang datang beribadah menginginkan kotbah yang menarik dan Alkitabiah, karena kotbah dipandang sebagai pemberitaan firman Allah, yang memberinya solusi, pengajaran, kekuatan dan penghi-buran. Dan yang ketiga adalah karena masalah identitas suku, bahasa, keluarga, pertemanan dan keramah-tamahan. Bagian ketiga ini termasuk unsur kuat yang mengental dan mengikat berlangsungnya suatu persekutuan, sehingga kekuatannya bisa mengabaikan unsur pertama dan kedua tadi.

(2) Hubungan daya tarik gereja dengan temuan penelitian variabel E tentang factor penyebab ibadah di gereja kurang hikmat. Pertanyaan di variabel E adalah, “apa factor-faktor yang menyebabkan ibadah di gereja ini kurang hikmah?” Hasil Penelitian menunjukkan bahwa 3 faktor penyebab ibadah di gereja kurang hikmah, yaitu: karena keributan/kegaduhan/kebisingan yang ditimbulkan oleh Anak-anak, kenderaan (terutama truk dan motor knalpot racing) yang lalu lalang dan Musik/sound yang storing, pecah, kedap, dll. Dan 3 faktor selanjutnya adalah: jemaat yang ngomong-ngomong, bunyi notifikasi HP/Game dan Kotbah yang tidak diminati jemaat.

Jika dikoneksikan poin 1 (alinea 1) dengan 2 (alinea 2), maka dari Penelitian khusus variabel E ini terjawab 2 sisi pandang. Pertama, sisi negatif. Jika yang diharapkan/dirindukan jemaat adalah suasana peribadahan, hasilnya cenderung mengecewakan. Efeknya, mungkin jemaat harus mengimba-nginya dengan menambah durasi waktu ibadah di tempat lain. Demikian juga dengan kotbah. Memang tingkat kritik/kekecewaan terhadap kotbah jauh lebih rendah. Tetapi jika yang diharapkan/dirindukan jemaat dari ibadah adalah kotbahnya, maka hasilnya tidaklah memuaskan. Kedua, sisi positif. Jika yang diharapkan/dirindukan jemaat adalah suasana kekeluargaan dalam arti keterikatan suku, bahasa, kultur budaya dan tata kerama, di sinilah tempatnya. Tempat di mana adat dan agama dapat berpadu menjadi satu ciri khas kristiani orang Batak.

(3) Suasana peribadahan di Gereja-gereja pembina STT Abdi Sabda. Pertanyaan terbagi 4 variabel, yaitu: musik/pemandu lagu, liturgis, kotbah dan kondisi/suasana rumah ibadah;

dan masing-masing variabel terdiri dari 10-12 pertanyaan. Hasil Penelitian khusus di variabel A (MUSIK & PEMANDU LAGU) menunjukkan, bahwa ibadah minggu di gereja sudah menggunakan music dan pemandu lagu. Tetapi ditemukan ada paduan musik dan pemandu lagu yang tidak ada kesiapan atau persiapan sehingga menghasilkan paduan yang tidak harmonis, ton/nada dasar lagu yang tidak sesuai dengan petunjuk lagu. Masih banyak jemaat yang tidak menemukan rasa keindahan dari pelayanan tim musik, bahkan dalam variabel E ditemukan bahwa, masih ada tim musik mengakibatkan tidak hikmat. Temuan itu diperkuat dalam variabel A ini, bahwa tingkat kekesalan/kekecewaan terhadap iringan music/pemusik dan pemandu cukup tinggi, yaitu: 19%-26%. Padahal dalam ibadah, peranan mereka begitu penting untuk menghadirkan nilai dan rasa keindahan.

Hasil Penelitian khusus variabel B (LITURGIS) menunjukkan, bahwa semua ibadah minggu dipimpin seorang Liturgis/paragenda. Secara umum Liturgis mengenakan jubah dan menerapkan warna liturgi/altar. Tetapi ditemukan masih banyak Liturgis yang tidak maksimal memberikan dirinya melayani, yang berakibat Liturgis tidak dapat membangun nuansa hikmat dalam peribadahan itu. Ditambah pula masih ada gereja yang sama sekali tidak perduli terhadap dekorasi dan tata rias altar, sehingga dekorasi dan tata rias juga sama sekali tidak mencerminkan suasana dan nuansa hikmat dalam peribadahan. Dari situ terbukti bahwa ternyata masih banyak

(8)

8 jemaat yang merasa geram/kecewa/kesal atau merasa kuatir/cemas terhadap kepemimpinan Liturgis.

Hasil Penelitian khusus variabel C (KOTBAH) menunjukkan, bahwa tidak selalu yang berkhotbah itu adalah pendeta/lulusan sekolah teologia. 42% pengkhotbah di gereja-gereja desa dan kecamatan adalah para penatua. Dinilai dari kesiapan dan persiapan Pengkotbah, masih banyak Pengkotbah yang belum dapat membantu/menolong jemaat guna menambah/

menguatkan/memantap-kan keyakinannya kepada kasih dan pemeliharaan Tuhan. Terbukti dari penampi-lannya yang kurang meyakinkan dan tidak dapat meyakinkan jemaatnya. Efeknya dapat dilihat dari hasil penelitian, bahwa masih ada jemaat yang merasa kecewa, kesal, marah dalam hatinya.

Hasil Penelitian khusus variabel D (KONDISI DAN SUASANA RUMAH IBADAH), mencakup sound, arsitektur dan penataan ruangan. Hasil menunjukkan bahwa semua peribada-han dilaksanakan dalam gedung gereja dan rata-rata sudah menggunakan alat pengeras suara/sound system/mic. Tetapi masih banyak menyelenggarakan ibadah dalam gedung gereja yang belum representatif dari aspek kondisi, cuaca dan suasana, misalnya dalam gedung gereja dengan hawa panas, tingkat keamanan parkir diragukan, masih terdengar suara-suara berisik, ribut, bising, dll.

Demikian juga dari aspek interior, dekorasi, tata rias gereja di dalam dan di luar yang kurang diperdulikan, sehingga mengakibatkan jemaat ketika memasuki gereja, sama sekali tidak lagi merasa sedang memasuki rumah Tuhan. Ini tentu berakibat ke perasaan, bahwa jemaat kurang merasakan suasana hati yang nyaman dan damai duduk dalam gereja, bahkan merasakan bahwa berdoa di rumah lebih baik dari pada di gereja.

(4) Hubungan daya tarik gereja dengan Temuan-temuan khusus mengenai suasana peribadahan. Jika dikoneksikan poin 1 (alinea 1) dengan 3 (alinea 3), maka beberapa menjadi temuan dan catatan adalah, (1) Ada 4 variabel yang menentukan terbentuknya suasana peribadahan, yaitu: Musik/Lagu, Liturgis, Kotbah dan Kondisi/Suasana Rumah Ibadah; (2) Ada 2 variabel yang mempengaruhi kesiapan jemaat menerima kotbah dengan baik, yaitu: suasana peribadahan dan kotbah/Pengkotbah itu sendiri. Jadi sulit memisahkan kedua unsur ini, antara suasana peribadahan dengan kotbah. Rasanya mustahillah jemaat bisa mendapatkan kotbah yang memberikan fungsi dan manfaat seperti disebut di atas jika suasana peribadahannya tidak adem, tidak nyaman dan damai, bukan? Jadi sesungguhnya ibadah (baca: liturgi) itu adalah satu rangkaian peristiwa, bukan sepenggal-sepenggal. Satu liturgi adalah satu rangkaian peristiwa iman, itu sebabnya nuansa kotbah juga sangat ditentukan oleh suasana peribadahan.

IV. Pembahasan,

(1) Tinjauan Dogmatis terhadap daya tarik suatu Gereja.

Dalam temuan sudah dijabarkan bahwa kerinduan jemaat beribadat ke salah satu gereja, keinginan tertinggi adalah karena merindukan suasana peribadatan. Dibagian awal ini, hal dogmatis pertama yang perlu dikaji adalah suasana peribadatan itu sendiri. Benarkah suasana peribadatan itu sumbernya terdapat pada kelengkapan liturgi secara lahiriah (kelengkapan SDM dan perlengkapan- nya)? Tentu saja belum, tetapi kelengkapan lahiriah sangatlah menentukan, bahkan termasuk dominan. Setelah kelengkapan lahiriah, penentu selanjutnya adalah kesiapan batiniah. Kesiapan batiniahlah yang memberikan kualitas terhadap kelengkapan lahiriah. Kedua aspek ini: lahiriah dan batiniah, itulah yang menghasilkan kualitas suasana peribadatan. Saya tidak panjang lebar membahas kedua aspek ini di sini, karena telah ada saya tulis dalam buku saya berjudul Gempa Rohani, mengenai gereja sebagai penyelenggara peribadatan pada halaman 116-134. Sati intisari

(9)

9 pendek dari buku ini, bahwa Bait Suci/Gereja/tempat liturgi atau peribadatan (sarana pertemuan), mengandung dua makna (lahiriah dan batiniah) yaitu gedung dan hati. Keduanya terkoneksi secara padu. Bahwa berdasarkan perintah Dasa Titah Hukum IV (Tempat Perhentian Sementara), pengharapan dan perjalanan menuju Tempat Perhentian Abadi tetap dinyalakan, ditunjukkan dan dituntun. Kesadaran akan perjalanan singkat dari hidup yang sementara di bumi memiliki manfaat besar bagi hidup yang kekal di sorga. Dan untuk merawat/memelihara/ menyalakan api pengharapan serta memberi kekuatan mengamalkan-nya, dibutuhkan peribadatan, sesuai perintah Sabat tadi. Namun pelaksanaan perintah peribadatan ini harus menganut dan menerapkan nilai standar dari Tuhan, dan nilai standar itu adalah Hati. Dengan hati tulus atau sering kita sebut dengan sepenuhnya menyerahkan hati atau dengan sebulat hati beribadat kepada Tuhan.

Bagaimana caranya? Di situlah bahasa manajemen kehidupan menyebutkan kesiapan dan persiapan diri. Kesiapan dan persiapan diri itulah implementasi dari kesiapan dan kesungguhan hati untuk beribadat kepada Tuhan, baik sebagai pelayan maupun sebagai jemaat. Dan kualitas suasana peribadatan merupakan buah dari kesiapan dan kesungguhan hati.

(2) Tinjauan Dogmatis terhadap Factor penyebab ibadah di gereja kurang hikmat.

Dari temuan-temuan perihal masalah ini, cukuplah dua factor yang dipercakapkan di sini, yaitu: keributan/kebisingan yang ditimbulkan oleh Anak-anak dan yang ditimbulkan oleh kenderaan (terutama truk dan motor knalpot racing) yang lalu lalang. Dari 2 faktor ini, secara substantif akar masalahnya adalah jemaat (ibu) yang membawa anaknya turut ke gereja dan pengurus jemaat (panitia/tim) yang membangun fisik gereja yang berlokasi di tepi jalan raya.

Secara dogmatis akar masalahnya bukan pada “membawa” (anak) atau “penempatan lokasi” (gedung gereja), meskipun sering kali orang mengalaskan ayat-ayat Alkitab untuk anak- anak, "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga" (Mat. 19:14); dan untuk lokasi gedung gereja, “Jadi naiklah ke gunung, bawalah kayu dan bangunlah Rumah itu; maka Aku akan berkenan kepadanya dan akan menyatakan kemuliaan-Ku di situ, firman TUHAN” (Hagai 1:8).

Dari alas ini lalu kita keukuh dan kaku mengatakan bahwa “tidak ada larangan orangtua membawa anak-anak ke dalam ibadah” dan “mendirikan gedung gereja tidak bisa di pinggir jalan raya”, sama sekali tidak begitu. Dari karakter kata juga kita tidak temukan pengertian kaku yang seperti itu,

“sebab untuk anak tidak disebutkan membawa, tetapi membiarkan anak-anak itu datang, yang berarti inisiatif atau tindakan sadar si anak”. Juga demikian “bahwa mengenai gedung gereja, perintah-Nya bukan gunung, melainkan bangunlah Rumah itu . Tempatnya di mana? Tidak ada ketentuan mesti di gunung, sebab pada akhirnya kepada perempuan Samaria Yesus mengatakan,

"Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. … Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran;

sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian” (Yoh. 4:21,23). Jadi sekali lagi bukan terletak pada soal “membawa” (anak) dan “penempatan lokasi” (gedung gereja), melainkan soal batu sandungan.

Apa itu batu sandungan? 23 kali kata itu tercatat dalam Alkitab terjemahan LAI, jika dikelompokkan mengandung arti,

1) batu sandungan adalah menjadi penghalang, penghambat, penghadang dan sumber petaka (lih.

Im. 19:14; Mzm. 119:165; Yes. 8:14; 57:14; Yer. 6:21; Yeh. 3:20; 7:19; Mat. 16:23; Gal.

5:11; I Ptr. 2:7).

(10)

10 2) batu sandungan adalah sesuatu yang merusak, menodai, menghambat dan mencederai hubungan inti/utama. Contoh, pemujaan berhala telah merusak/menodai hubungan Istael dengan Tuhan, yang yang menjatuhkannya ke dalam kesalahan fatal (lih. Yeh. 14:3-4,7; 18:30;

44:12).

3) batu sandungan adalah suatu ganjalan, tamparan (berupa sentilan) yang diletakkan pada seseorang/sesuatu dengan tujuan supaya mengalami perubahan (lih. Mat. 15:12; Roma 9:32- 33; I Kor. 1:23; );

4) batu sandungan adalah menjadi percontohan/tiruan yang bisa menjadi alat untuk menghasut/memperalat orang lain untuk tujuan kepentingan sendiri/kelompok sekaligus untuk menjatuhkan/menghancurkan orang/kelompok lain (Mat. 17:27; Roma 14:21;

5) batu sandungan adalah sesuatu yang bisa membuat orang jatuh, tersandung, tergelincir, terantuk, terluka (I Kor.8:9, 13)

Kelima arti kata itu bertendensi untuk merugikan dan menimbulkan celaka bagi orang lain karena telah menghalangi, menghambat, menghadang dan menyediakan jerat bagi kakinya, sehingga dapat mengakibatkan orang lain jatuh, tersandung dan celaka. Itu sebabnya rasul Paulus katakan berulang-ulang dalam I Korintus 8, “jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain (ay 9,13).

Karena “Jika engkau secara demikian berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau pada hakekatnya berdosa terhadap Kristus” (8:12). Tidak ada sesuatu yang baik diperoleh dari batu sandungan selain daripada berdosa.

Jika ditanya, bisakah aku menjadi batu sandungan karena membiarkan anakku menangis, menjerit, ribut dalam peribadatan? Jelas bisa dong! Bisakah gedung gereja menjadi batu sandungan (dalam hal ini pengurus bertanggungjawab) karena timbulnya suara-suara kebisingan dan keributan sehingga mengganggu kehikmatan peribadatan? Jelas bisa dong! Karena itu penting sekali saran berikut ini.

Pertama, untuk orangtua dan gereja. Gereja telah/harus menyediakan jam ibadah khusus untuk anak-anak sekolah minggu, sehingga anak-anak tidak dibawa lagi pada jam ibadah umum.

Saat orangtua ibadah, anak-anak dititipkan kepada pengasuh sementara. Bagaimana jika jam ibadah anak-anak itu tidak ada? Gereja harus mengatasinya dengan membuka ibadah sekolah minggu pada jam yang sama dengan ibadah umum, dengan mengambil tempat yang berbeda tapi berdekatan dengan lokasi gereja. Solusi lain adalah, gereja membuat ruang isolasi dalam gedung ibadah itu khusus kepada orangtua yang menggendong/membawa bayinya. Ruang isolasi itu seperti ruang isolasi pemusik band, ruang yang kedap suara sehingga tidak mengganggu orang lain. Atau solusi khusus kepada orangtua supaya mengambil posisi duduk di bagian belakang, sebagai antisipasi apabila bayi/anaknya menangis, segera membawanya ke luar. Itulah solusi praktis. Tentu ini belum pasti cocok/pas. Maka yang utama sebenarnya adalah kesiapan dan persiapan ibadah dan tekad tidak menjadi batu sandungan. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Kedua, untuk pengurus gereja prihal lokasi bangunan. Solusi tersulit adalah memperluas lokasi, sehingga bangunan gereja dapat dimundurkan/digeser agar ada jarak minimal 20 meter dari tepi jalan besar, dan jarak itu ditumbuhi dengan pohon atau tanaman yang membantu mengkedap suara. Itu solusi tersulit karena butuh waktu dan dana besar. Atau menata ulang kembali jam-jam masuk kebaktian. Solusi lain adalah memasang anti kedap suara. Itulah solusi praktis. Dan tentang ini juga saya sampaikan bahwa ini belum tentu cocok/pas. Maka yang utama sebenarnya adalah kesiapan dan persiapan, penataan dan pengelolaan ibadah dengan tekad tidak menjadi batu sandungan. Sebagai-mana dituliskan dalam buku Gempa Rohani, bahwa syarat ibadah yang benar pertama-tama bukan tempat dan lokasinya, melainkan: (1) “Sebab di mana dua

(11)

11 atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku (Yesus), di situ Aku ada di tengah-tengah mereka"

(Mat. 18:20). Artinya Nama Yesus diimani, diajarkan, ditingikan dan dijunjung; (2) “…saatnya sudah tiba bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran”

(Yoh.4:23). Artinya, meskipun secara fisik lokasinya tidak mendukung, semogalah Roh Kudus mendukung, Dia bekerja menggerakkan, mendorong dan mencerahi para pelayan dengan pelayanannya dan mencerahi para jemaat dengan kehadirannya (Munthe, 2020, hl 123).

(3) Tinjauan Dogmatis terhadap suasana peribadahan.

Paling tidak ada 4 bagian yang harus dibicarakan di sini mengikuti jumlah variabel yang sudah diteliti, yaitu: Musik/Pemandu lagu, Liturgi, Kotbah dan Kondisi/suasana Rumah Ibadat.

Berikut ini akan disajikan tinjauan yang bersifat menyeluruh terhadap keempat variabel tersebut.

1) variabel A: Musik & Pemandu Lagu

Musik, dalam bahasa Yunani συµφωνία, sumphonia, artinya simponi atau harmoni kesatuan suara, meliputi nada dan suara dari berbagai alat. Dalam mitos Yunani kuno, musik dipandang memiliki kekuasaan ajaib yang dapat menyempurnakan tubuh serta jiwa manusia dan mampu membuat mujizat dalam dunia alamiah (McNeill, Rhoderick J., 1998, hl 2). Musik itu meliputi sentuhan artistik (kesenian), estetika (keindahan) dan etika (kebaikan). Dan semuanya itu akan menyentuh jiwa, baik dalam hal cipta rasa maupun karsanya (Mike & Hibert, Viv, 2010, hl 2).

Karenanya musik menjadi ekspresi jiwa, emosi dan ide. Sebagai ekspresi, maka musik adalah bagian hidup manusia. Melaluinya manusia dapat mengekspresikan sekaligus dapat membuat manusia bergembira, bersedih, tersanjung dan sebagainya. Karena itu musik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik musik itu dihayati sebagai hiburan ataupun perasaan hati, namun yang jelas bahwa musik mempengaruhi kehidupan manusia. Tanpa musik kehidupan manusia tidak lengkap.

Dalam sejarah manusia, keturunan Adam generasi yang ketujuh, yaitu Yubal, sudah diberikan gelar sebagai bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling (Kej. 4:21). Ini menandakan bahwa sejarah musik bermula sejak manusia ada, dan Yuballah manusia pertama yang diberi gelar sebagai bapa atau ahli musik. Dalam sejarah peribadatan Israel, musik pertama kali dimainkan oleh Miryam, tepat setelah Israel menyeberangi laut Tebarau, yang kemudian disusul Musa dengan menggubah lagu pujian untuk Tuhan. Salah satu alasan mengapa ucapan syukur mereka ungkapkan dengan musik adalah bahwa musik merupakan medium yang lebih ekspresif ketimbang ucapan biasa. Musik memungkinkan mereka untuk mengekspresikan intensitas perasaan melalui kepelbagaian dalam tempo/kecepatan, pola titik nada, dinamika/keras lembut, melodi dan ritme. Musik dapat menyampaikan intensitas lebih besar dalam perasaan ketimbang kalau diekspresikan tanpa disertai musik atau dengan untaian kata-kata saja (White, James F., 2009, hl 102-103). Tetapi barulah pada zaman Daud musik menjadi bagian yang sentral dalam ibadat. Daud membentuk 24 kelompok paduan suara dan musik, tiap kelompok terdiri dari 12 penyanyi disamping pemusik, lalu mereka diundi/dijadwal melakukan ibadat, mempersembah-kan syukur kepada Tuhan di rumah Allah pada waktu pagi dan petang setiap hari dan pada hari-hari tertentu yang sudah ditetapkan (I Taw. 23:30; 25:7-8). Perhatikan bagian ini, paduan musik dan penyanyi bukan diperdengarkan bagi jemaat, melainkan bagi Tuhan yang mereka yakini berada berdiam dalam rumah Allah itu. Tradisi musik dalam peribadatan inilah yang kemudian dirujuk oleh Gereja, yang sudah tentu memiliki arti yang lebih luas. Sebab Gereja itu sendiri adalah alat Roh Kudus untuk mempersaksikan/mewartakan Injil, maka dengan sendirinya musik gereja itu bukan saja

(12)

12 sebagai media penyembahan kepada Allah, tetapi juga media pewartaan/ mempersaksikan Injil Tuhan.

Maka tak diragukan lagi bahwa sejak awal mula gereja, musik sudah menjadi bagian dari ibadat Kristen, melanjutkan ibadat Israel di rumah Allah. Di beberapa denominasi gereja, mereka mengaku bahwa musik dipandang sebagai urat nadi ibadah. Alat musik yang digunakan tidak hanya organ, tetapi telah menggunakan paduan dari berbagai alat musik, sehingga ibadatnya digandrungi atau dihadiri oleh berbagai kawula. Dalam sisi ini, -sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai media penyembahan dan media kesaksian- musik lebih ditekankan sebagai media pewartaan/ kesaksi-an, sehingga menekankan minat, daya tarik, penyaluran bakat dan mengandung unsur entertain/meng-hibur sekaligus sebagai curahan emosional jiwa dan pikiran. Tetapi dalam denominasi kita, yang lebih ditekankan adalah musik sebagai media penyembahan Allah. Itu sebabnya segala bentuk dan posisi penyembahan secara fisikal diimplementasikan ke dalam nyanyian penyembahan. Perhatikan juga gaya nyanyian jemaat dan Paduan Suara gereja kita, semua menghadap ke altar, yang secara mysteri diyakini bahwa Allah datang/hadir di altar. Meski ada di tiap-tiap denominasi penekanan medium dari musik gereja, namun semua gereja mengakui kedua medium itu sebagai bahasa atau pesan yang terkandung dari Alkitab, yang sebagai kanon gereja, wajib menjadi landasan dan panduan gereja dalam menyeleng-garakan peribadatan. Di sinilah landasan dogmatis kita untuk memandang musik gereja (dalam arti paduan musik dan paduan suara sebagaimana dituturkan dalam 1 Taw. 25 tadi).

Temuan utama dalam penelitian ini adalah ketidakpaduan musik dan pemandu lagu menunjukkan tidak ada kesiapan/persiapan sehingga menghasilkan paduan yang tidak harmonis, sehingga jemaat tidak menemukan rasa keindahan dari pelayanan musik. Di sinilah persoalannya.

Telah dijelaskan di awal bahwa Pemusik dan Pemandu lagu adalah petugas liturgi, dan Liturgis bertugas memandu guna memidiasi pertemuan antara Allah dan manusia dalam peribadatan. Itu artinya pelayanan musik berfungsi untuk memediasi pertemuan itu. Allah yang kita kenal adalah Allah yang indah, agung dan mulia. Dari aspek liturgis kita meyakini bahwa mendekati dan menemui Allah dalam ibadah mestinya dari aspek sifat Allah yang indah, agung dan mulia itu, yakni dengan rasa/nuansa Allah itu, yaitu dengan indah, agung dan mulia. Dan rasa itu hanya dapat diungkapkan melalui musik Gereja. Maka untuk itu, penata ibadat gereja di bidang pelayanan musik harus belajar dari Kitab I Tawarikh tadi.

Ini perlu diketahui, bahwa belajar musik itu sama dengan mengembangkan otak kanan.

Secara umum sudah diketahui bahwa otak otak kanan lebih digunakan untuk berpikir kreatif.

Orang yang dominan menggunakan otak kanan digambarkan lebih mahir dalam hal-hal, seperti:

Seni, musik, visual, pemikiran berdasarkan intuisi, imajinasi, dan lain-lain yang berkaitan dengan kreativitas. Jadi sebagai pelayan musik, aspek kreatifitasnya harus menyentuh liturgi itu secara substantif, yakni pertemuan Allah dengan jemaat. Dan sekali lagi bertemu dengan Allah mestinya harus dengan rasa indah, agung dan mulia. Dari sini harus dipahami bahwa kesadaran intuitif dan imajinasi pelayan musik harus tinggi. Mengapa? karena fungsi musik itu adalah meningkatkan kesadaran. Musik dapat mengangkat atau membongkar lapisan intuitif bawah menjadi meningkat, sehingga intuitifnya semakin tajam, dan kreatifitasnya bekerja. Ini hal mendasar harus diketahui, bahwa musik itu integral liturgi, dan pemusik itu juga integral petugas liturgi.

Tentu saya tidak akan berbicara panjang lebar mengenai profil musik. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menata dan memadu musik dengan lagu dalam ibadah sehingga memiliki efektifitas yang baik. Ketika musik berkorelasi dengan ibadah maka akan mempengaruhi psikologi dan pengalaman ibadah jemaat. Di atas telah disebutkan bahwa secara rohaniah tempat

(13)

13 ibadah sesungguhnya adalah Hati. Semua yang terlibat dalam peristiwa liturgi (pertemuan dengan Allah) harus memberikan hatinya, bukan sekedar tetapi sebulat hatinya. Kesadaran panggilan itu yang harus dimiliki oleh Pelayan musik dan lagu. Sebab peranannya begitu penting sekali untuk memidiasi pertemuan jemaat dengan Tuhannya dalam nuansa seni, keindahan rasa, agung dan mulia. Rasul Paulus mengatakan, “Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati”

(Efesus 5:19b). Dan “…sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu” (Kol. 3:16b). Betapa mulianya Pelayan musik dan lagu jika dari paduannya mereka bisa membawa dan mengawal jemaat bernyanyi untuk Tuhan.

Sebab di samping memuji dan mengucap syukur, ternyata nyanyian juga adalah mengungkapkan isi hati yang tidak tercetuskan dengan kata-kata. Dengan demikian, sesungguhnya Pelayan musik dan lagu adalah hamba Allah, pelayan Allah yang fungsinya tidak lebih rendah dari Liturgis dan Pengkotbah, tetapi sebagai satu padanan dan paduan pelayan dan pelayanan bagi Tuhan dan sesamanya.

2) variabel B: Liturgis

Temuan utama dalam penelitian ini adalah masih banyak Liturgis yang tidak maksimal memberikan dirinya melayani, yang akibatnya tidak dapat membangun nuansa hikmat peribadahan itu. Ditambah pula masih ada gereja yang sama sekali tidak perduli terhadap dekorasi dan tata rias altar, sehingga dekorasi dan tata rias juga sama sekali tidak mencerminkan suasana dan nuansa hikmat peribadahan. Hal mendasar ini, yakni perihal vitalisasi Liturgis dan Altar, seharusnya wajib diketahui. Pertama, Liturgi adalah perayaan pertemuan kita dengan Allah dan sesama, dan untuk momen mysterion ini dibutuhkan seorang Liturgis sebagai master of ceremony. Jadi jika Liturgis tidak tampil dengan persiapan diri yang baik, maka Liturgis bisa jatuh menjadi batu sandungan bagi jemaat. Tentu tindakan itu juga berefek bagi hubungan jemaat dengan Tuhannya, bukan?

Terutama apabila Liturgis salah membaca, seharusnya menyampaikan berkat ternyata kutuk yang disampaikan, seharusnya pengakuan dosa ternyata hukum Taurat yang disampaikan, dll.; Kedua, ternyata masih banyak gereja yang tidak perduli dengan dekorasi altar. Kain penutup mimbar tidak pernah diganti, bunga yang digunakan adalah bunga mati (tidak dicuci, tidak diganti-ganti), tidak perduli dengan tata rias altar gereja, seolah-olah gereja tabu untuk dihias. Bukankah jemaat meyakini gereja sebagai rumah Tuhan? mengapa rumah kita dihias tetapi rumah Tuhan dibiarkan terbengkalai? (Band. teguran Tuhan sebagaimana disampaikan nabi dalam Hagai 1:9).

Itulah persoalan utama di sini, bahwa Liturgis dan gedung sebagai alat gereja menyelengga-rakan peristiwa perjumpaan, tidak memiliki kesiapan/persiapan untuk itu. Amsal katakan, “Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat” (29:18). Atau lebih keras lagi, Matius 15:14b, “Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang."

Maksudnya, Liturgis sebagai master of ceremony sesungguhnya bertanggung-jawab dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu kepada Tuhan. Sebab dari struktur ini kelihatan bahwa berhasil tidaknya perjumpaan itu lebih besar bergantung kepada liturgis dan paduannya dengan petugas lainnya. Dalam artian ini, dia berfungsi sebagai pintu gerbang seperti yang dikiaskan dalam Mzm 24:7-10. Dialah yang mengangkat pintu gerbang itu supaya masuk Raja Kemuliaan, TUHAN semesta alam, Dialah Raja Kemuliaan”. Untuk menutup bagian ini saya ingin suatu kandungan yang terdalam dari liturgi atau peribadatan kita ini. Kita semua tahu bahwa belajar hal-hal dasar mengenai teologia kita adalah agama israel kuna. Setelah mereka keluar dari Mesir, berhasil menyeberangi laut Teberau, maka tibalah mereka di padang gurun Sin, di mana terdapat gunung Sinai. Tuhan memerintahkan mereka untuk berhenti dan berdiam di sana hampir 2 tahun

(14)

14 lamanya. Di sanalah mereka diajar/dididik mengenai pola hidup umat Allah. Mereka masing- masing mendirikan kemah , tempat kediaman mereka. Tapi dari semua kemah, Allah memerintahkan Musa untuk mendirikan 1 kemah yang disebut Kemah Pertemuan (itulah yang kemudian diambil menjadi prototype pembangunan Bait Allah pada zaman raja Salomo). Kamu tahu? Ada 140 x Kemah Pertemuan itu disebutkan dalam kitab PL, dan dari 140 itu, lebih 120x disebut di 5 kitab Musa. Di Kemah Pertemuan itulah Allah menyatakan kemuliaan-Nya, di situlah Allah bertemu dan berbicara dengan Musa, manakala Musa membutuhkan Allah di masa-masa emergensi. Di situlah Allah melakukan eksekusi hukuman mati, pentahbisan imam, termasuk suksesi kepemimpinan dari Musa kepada Yosua. Kemah Pertemuan itu benar-benar seperti namanya, Kemah Pertemuan antara Allah dengan umat-Nya melalui hamba-Nya Musa. Pengertian dan fungsi Kemah Pertemuan itulah yang terkandung dalam Liturgi (dalam arti holistik), bahwa yang menjadi Kemah Pertemuan di masa gereja adalah Liturgi. Dan dalam Liturgi ini yang menjadi hamba-hamba-Nya untuk memimpin pertemuan itu adalah para petugas Liturgi. Saya kira kesadaran ini yang harus kita miliki, sehingga kita semua sungguh-sungguh menyadari dan mengaminkan Liturgi itu sebagai Kemah Pertemuan.

3) variabel C: Kotbah

Kesadaran pertama yang harus dimiliki pengkhotbah adalah Ibrani 1:1-2. Di sana tertulis “Yesus Kristuslah satu-satunya yang ditetapkan Allah sebagai pengantara-Nya untuk berbicara dengan kita”. Tetapi berhubung karena Yesus Kristus telah naik ke sorga, dan dengan Roh Kudus Dia memberikan kuasa kepada Gereja untuk bersaksi atau berbicara atas, dalam dan untuk Nama-Nya, maka dengan perantaraan Gereja menetapkan kita untuk berkhotbah. Jadi kesadaran pertama yang harus kita miliki adalah, seandainya Yesus Kristus ada di sini, maka Dialah yang akan berkhotbah. Tetapi berhubung karena Dia tidak di sini lagi, maka kita harus berkhotbah atas dan untuk Nama-Nya. Jadi sesungguhnya mimbar kotbah itu adalah wilayah Yesus Kristus, bukan wilayah manusia. Dari sana harus keluar perkataan-perkataan dan pengajaran-pengajaran Kristus, bukan pengajaran manusia.

Dalam PL, kata yang digunakan untuk mendefinisikan makna khotbah adalah Qohelet (pengkhotbah), basar (memberikan kabar baik), qara (memanggil, menyatakan), dan qiri`a (berkhotbah). Dalam PB adalah euangelizo, memberitakan kabar baik (Tambunan. Lukman, 2011, hl 1). Tidak terdapat suatu kata perintah dalam PB mengatakan berkotbahlah. Tetapi dari Yohanes 15:26-27 menginspirasikan bahwa sebelum Yesus pergi, Dia berpesan bahwa setelah kepergian- Nya Ia akan mengutus Roh Kudus, dan Dialah yang akan bersaksi tentang Yesus Kristus. Di sini jelas bahwa yang dipercayakan/ditetapkan-Nya menjadi saksi Kristus adalah Roh Kudus, bukan manusia. Tetapi karena Roh Kudus tidak memiliki wujud, maka Dia membutuhkan alat, yaitu alat- Nya untuk mempersaksikan/mengkhotbahkan/mewartakan/ menceritakan Yesus Kristus. Siapakah mereka? Di situ Yesus katakan kepada muridnya, “dan kamu juga akan bersaksi, karena kamu sejak semula bersama-sama dengan Aku”. Kata “sejak semula bersama-sama dengan Aku” jelas menghunjuk kepada para Rasul, murid-murid Yesus yang sudah dididik selama 3 tahun, siang dan malam. Kata itu juga seterusnya menghunjuk kepada “gereja”, yakni orang-orang yang sudah ditebus/dipanggil dari kegelapan dan sudah dididik/belajar di dalam terang, supaya mereka bisa hidup di dalam terang, dan bisa menjadi saksi Kristus dalam hidupnya. Tetapi “orang-orang tertentu” yang dipersiapkan berkhotbah, tidak boleh bertindak langsung. Sebab Yesus katakan,

“jika Roh Kudus turun atas kamu, maka kamu akan menerima kuasa, dan kamu menjadi saksi-Ku mulai dari …”. Urutan peristiwa iman itu tentu saja mengundang pertanyaan, mengapa harus

(15)

15 bergantung pada Roh Kudus? Jawabannya sederhana, karena berkhotbah adalah menjadi alat Roh Kudus. Dan tugas Roh Kudus adalah mengajarkan dan mengingatkan segala perkataan Kristus.

Dan Kristus adalah ungkapan kasih atau ungkapan hati Allah. Jadi berkhotbah adalah mengungkapkan isi hati Allah yang direpresentasikan di dalam Nama Tuhan Yesus. Itu makna dasar yang harus diketahui tentang kotbah. Kotbah adalah menceritakan/menuturkan/mengabarkan isi hati Tuhan.

Kesadaran kedua yang harus dimiliki adalah dasar Khotbah, yaitu penyataan Allah di dalam Yesus Kristus untuk mewujudkan cinta kasih Allah. Dari mana atau dimanakah ditemukan dokumen mengenai itu? Jawabnya adalah Alkitab. Alkitab lah satu-satunya yang sudah ditetapkan menjadi Kanon (tolak ukur) semua pengajaran, pemberitaan, kesaksian dan pewartaan Gereja. Dan sesuangguhnya yang mula-mula mengkanonisasikan Alkitab itu bukanlah Gereja, melainkan Allah sendiri kepada Musa dan Yosua, dan selanjutnya Yesus kepada murid-murid-Nya dan orang-orang Saduki, ketika Dia katakan, “engkau sesat karena tidak mengerti kuasa Allah dan Kitab Suci”. Jadi segala pengajaran yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, Yesus sendiri mengatakan itu “sesat”. Jadi Alkitab itulah isi ungkapan hati Allah. Menceritakan/mengkhotbahkan Alkitab adalah mengungkapkan isi hati Tuhan.

Kesadaran ketiga yang harus dimiliki pengkhotbah adalah apa tujuan Yesus berbicara kepada manusia. Tadi sudah disebut bahwa mimbar adalah wilyah Tuhan untuk berbicara kepada manusia. Jika yang berbicara itu adalah Tuhan dengan perantaraan Pengkotbah, maka apakah yang disampaikan oleh Tuhan? Jika kita cek beberapa kali Yesus berbicara, tujuannya adalah Bapa-Nya, yakni supaya Bapa-Nya dikenal, dimuliakan dan disembah. Yesus mau supaya kita semua menjadi anak-anak Allah, dan Allah itu benar-benar menjadi Bapa bagi hidup kita. Sebagai Anak, kita harus turut, tunduk, patuh dan hormat kepada-Nya. Dan sebagai Bapa, Dia akan memelihara, mengawal dan memimpin jalan kita, supaya kita bisa hidup dalam naungan cinta kasih-Nya.

Jadi intinya bahwa Khotbah haruslah mengacu pada hal-hal yang secara alkitabiah dan teologis yang meyakinkan (Mcmickle, Marvin A., 2017, hl 14). Khotbah adalah pewartaan Firman atau isi hati Allah yang didasarkan pada Alkitab. Tujuannya supaya Allah/Firman-Nya dikenal, dikehendaki, diketahui, dimengerti, dipahami, diterima dan dilakukan (Gintings, E. P., 2013, hl 98).

Temuan utama dalam penelitian ini adalah masih banyak Pengkotbah yang belum dapat membantu/menolong jemaat guna menguatkan/memantapkan keyakinannya kepada kasih dan pemeliharaan Tuhan. Terbukti dari penampilannya yang kurang meyakinkan dan tidak dapat meyakinkan jemaatnya. Setelah diteliti lebih jauh, ternyata sumber masalahnya adalah: (1) materi/isi khotbahnya tidak menambah/ mempertajam/memperdalam pengertian/pemahahaman jemaat akan Firman Tuhan; (2) kotbah tidak mengandung penghiburan/penguatan; (3) kotbah tidak membuat jemaat memahami makna teks kotbah; (4) kotbah tidak membongkar/

menguakkan/menunjukkan dosa-dosa, pelanggaran dan kesalahan jemaat; (5) kotbah tidak menggerakkan/menginsafkan jemaat untuk datang mengaku dan menyesali dosa di hadapan Tuhan;

(6) kotbah tidak menunjukkan/ membe-rikan/ menginspirasi jemaat menemukan solusi/ jawaban dari masalah/pergumulan hidup yang sedang dihadapinya. Ke-enam manfaat dan pengaruh kotbah ini yang dicari/dirindukan jemaat dari kotbah.

Ini persoalan menarik. Jika Pengkhotbah tidak membawa jemaat kepada Alkitab, dan tidak menjadikan Alkitab sebagai isi pesan dari percakapan/perkataan Allah, maka bagaimana mungkin khotbah itu menyatakan kesalahan dan menginsafkan jemaat akan dosa-dosanya? Dan jika tidak terjadi penginsafan, bagaimana mungkin orang datang mengaku dosa, memohon pengampunan dan

(16)

16 menyerahkan hidupnya kepada Tuhan? Jika tidak terjadi pengampunan dosa, bagaimana mungkin orang diselamatkan? Bukankah penjahat yang disalibkan di sebelah kanan Yesus insaf dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan Yesus? Lalu kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Lukas 23:43). Apa artinya? Firdaus adalah nama taman Eden, tempat dimana Allah menempatkan orang-orang yang tidak berdosa berdiam di dalamnya. Ketika Yesus katakan kepadanya “sesungguhnya hari ini juga …engkau akan ada di dalam Firdaus” itu artinya hari itu juga terjadi pengampunan dosa. Dan oleh pengampunan itu, terjadilah pula keselamatan. Dan oleh keselamatan itulah maka kita hidup dipanggil/diutus untuk hidup bersyukur. Kita selalu yakin bahwa solusi pertama yang paling jitu dalam menghadapi pergumu-lan hidup adalah bersyukur.

Dengan kemampuan bersyukur, maka kita dapat menguasai hidup supaya tidak jatuh ke dalam berbagai-bagai godaan dan hawa nafsu.

4) variabel D: Kondisi Dan Suasana Rumah Ibadah

Di atas sudah diterangkan tentang Kemah Pertemuan yang mula-mula diperintahkan Allah kepada Musa ketika mereka telah berada di padang gurun Sin. Kemah Pertemuan itu tetap harus ada di tempat mana saja mereka ditetapkan untuk berdiam. Kita melihat catatan perjalanan Israel yang dituliskan Musa dalam Bilangan 33, tempat-tempat persinggahan Israel selama di padang gurun. Bahwa setiap kali mereka diperintahkan untuk singgah dan berdiam di tempat itu, Musa bersama Imam dan orang Lewi wajib mendirikan Kemah Pertemuan itu. Dari situ dapat diketahui bahwa Kemah Pertemuan itu benar-benar menjadi jantung relasi, pusat kehidupan spiritualitas jemaah itu. Jika Allah sungguh-sungguh pandu jalan, pandu hidup dan pandu relasi, maka Kemah Pertemuan itulah alat komunikasi antara sorga dan bumi.

Dari Kemah Pertemuan inilah sesungguhnya terbangun teologi mereka mengenai pentingnya Rumah atau Bait Allah, sampai-sampai mereka merasa bahwa Bait Allah itulah jati diri mereka sebagai suatu kaum yang disebut umat Allah. Jadi yang mendasari pemahaman mereka terhadap pentingnya Bait Allah dalam hidup keagamaan mereka adalah Kemah Pertemuan. Dan bangsa-bangsa lain juga mengetahui bahwa jantung kehidupan Israel ada di situ. Maka mereka berpikir (terutama Babel dan Romawi), bahwa Israel tidak benar-benar hancur jika Bait Allahnya masih berdiri. Kehancuran Bait Allah, itulah kehancuran Israel. Sebab dengan hancurnya Bait Allah, maka Kemah Pertemuan itu tidak ada lagi.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa landasan teologis bagi pendirian Gereja juga terinspirasi dari Kemah Pertemuan. Bahwa harus ada suatu tempat di mana Pertemuan ibadat itu bisa diselenggarakan. Awal perdana kelahiran Gereja dimulai dari rumah, ketika sekitar 120 orang percaya, yakni murid-murid Yesus bersama Maria, ibu Yesus, dengan saudara-saudara Yesus (Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon; lih. Mrk 6:3), dan 120 orang ‘saudara-saudara’ (orang percaya) yang datang berkumpul ke sebuah rumah, tempat mereka menumpang di Yerusalem, sebagaimana dipesankan Yesus kepada murid-murid ketika hari kenaikan-Nya, bahwa mereka harus menanti kedatangan Roh Kudus. Dan tepat 10 sehari setelah kenaikan-Nya atau 50 hari setelah kebangkitan-Nya, ketika mereka sedang berkumpul itu, tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah itu, dan mereka dipenuhi oleh Roh Kudus. Begitulah diceritakan dalam Kisah Para Rasul 1:12-15; 2:1-4. Hari Pentakosta ini disebut sebagai hari lahirnya Gereja, sebab ketika itulah orang-orang percaya diberi kuasa untuk menyaksikan, memberitakan atau mewartakan Injil Kristus kepada semua bangsa. Maka sejak hari itu, orang-orang percaya melakukan pekabaran Injil.

(17)

17 Orang-orang yang percaya oleh pemberitaan Injil itu, selalu berkumpul atau mengadakan pertemuan di suatu tempat. Paulus menyebut perkumpulan itu sebagai “pertemuan jemaat” (lih. I Kor. 11 dan 14) atau “pertemuan ibadah” (Ibr. 10:25). Mula-mula mereka memanfaatkan Bait Allah, dan berlanjut ke rumah-rumah jemaat secara bergilir (Kis 2:46). Dalam Kisah Para Rasul 4 dan 5 diriwayatkan bahwa rasul-rasul selalu memanfaatkan lingkungan Bait Allah menjadi tempat pertemuan, karena orang-orang Yahudi berkumpul di situ, dan kesempatan itu digunakan untuk mengajarkan Nama Yesus. Berkali-kali pula imam-imam dan pengawal Bait Allah melarang kegiatan mereka, bahkan ada 2 kali diadakan Sidang Majelis Agama dan memutuskan “melarang mereka mengajar dalam nama Yesus” (4:18; 5:40), tetapi para rasul tidak menghiraukannya. Di kemudian hari inilah menjadi alasan dimulainya penganiayaan terhadap orang Kristen. Jadi metode penginjilan yang mereka lakukan, khusus untuk orang Yahudi adalah datang ke pertemuan Yahudi di Bait Allah, lalu di situ mereka berbicara mewartakan Nama Yesus. Selanjutnya mereka mengadakan pertemuan jemaat di rumah atau di suatu tempat. Di situlah mereka mengadakan ibadah Kristen (Bnd. Kis. 2:46; 5:42; 18:4,7-8; 19:19). Kita bisa melakukan perhatian khusus ke Kis. 2:42,46 mengenai materi pertemuan antara di Bait Allah dengan di Rumah. Di Bait Allah mereka mengajar, tetapi ‘sakramen’ dilakukan di rumah. Maka dari alasan-alasan itu kita tidak ragu untuk mengatakan bahwa kelahiran Gereja dimulai dari rumah (Munthe. P., 2020, hl 116-118).

Seiring pertumbuhan dan perkembangan jemaat, akhirnya persekutuan Kristen mulai mendirikan gedung pertemuan yang disebut Gereja. Kita bisa lihat itu dari beberapa surat kiriman Paulus, misalnya surat kiriman ke jemaat: Roma, Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, Tesalonika, dll, yang kita tahu bahwa warga atau anggota jemaatnya lebih banyak non-Yahudi dari orang Yahudi.

Temuan utama dalam penelitian ini adalah masih banyak menyelenggarakan ibadah dalam gedung gereja yang belum representatif dari aspek kondisi, cuaca dan suasana. Misalnya hawa dalam gedung gereja panas, keamanan parkir diragukan, selalu terdengar suara-suara berisik, ribut, bising, dll. Demikian juga dari aspek interior, dekorasi, tata rias gereja di dalam dan di luar yang kurang diperdulikan, sehingga mengakibatkan ketika jemaat memasuki gereja, dia tidak merasa sedang memasuki rumah Tuhan. Ini tentu berakibat ke perasaan, bahwa jemaat kurang merasakan suasana hati yang nyaman dan damai duduk dalam gereja, bahkan merasakan bahwa berdoa di rumah lebih baik dari pada di gereja. Setelah diteliti lebih jauh, ternyata sumber masalahnya adalah: (1) Alat pengeras suara/sound system/mic tidak membantu lebih khusuk/hikmat beribadah;

di beberapa tempat justru menjadi batu sandungan (lihat temuan di variabel E); kondisi dan suasana gedung gereja tidak membantu untuk lebih khusuk/hikmat beribadah; (3) suasana gedung, dekorasi dan peralatan-peralatan yang ada di dalamnya tidak membantu untuk lebih khusuk/hikmat beribadah. Berdasarkan ini diduga bahwa masih banyak gedung gereja tidak representatif, yang terkesan asal ada dan asal jadi, dibangun tanpa kajian, tanpa perencanaan dan tanpa visi. Demikian juga interior dan peralatan-peralatan gereja. Tidak ada kajian-kajian untuk pertimbangan aspek seni/keindahan dan estetika, karena ternyata sarana prasarana, kondisi, posisi dan suasana gedung gereja memiliki andil besar mempengaruhi rasa batin dan pengalaman spiritual jemaat saat beribadah.

Perhatikan, masalahnya begitu komplex sekali, bukan hanya dari aspek luarnya, yaitu: soal letak atau posisi gedungnya, pekarangan, lingkungan, wajah, kebersihan, keindahan dan arsitekturnya, tapi juga terutama dari aspek dalamnya, yaitu: tatanan ruang, dekorasi, tata rias, hiasan-hiasan, alat-alat perlengkapan, audio, suhu udara, dll. Tapi dari semua segi-segi kekuarangan aspek keberadaan rumah ibadat ini, masalah yang paling substansial adalah jika rumah ibadat itu sendiri menjadi batu sandungan bagi jemaat untuk bertemu/berjumpa dengan

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan indikator kinerja bertujuan untuk menjaga konsistensi dan kesinambungan antara tujuan, sasaran dengan rencana strategis organisasi dan juga untuk

Dalam memberikan pelayanan khususnya bidang Kesehatan Rumah Sakit adalah salah satu sarana kesehatan untuk melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai leukosit total, MPV dan hitung trombosit pada pasien stroke iskemik dengan stroke hemoragik.. Kata Kunci:

Variable LEARNABILITY berjumlah 64 orang atau 61% yang memilih sangat setuju, 22 orang atau 28% yang memilih setuju, dan 9 orang atau 11% yang memilih cukup

Langkah – langkah yang telah dilakukan dalam penerapan strategi Bauran Pemasaran untuk meningkatkan mutu sekolah di SMP Muhammadiyah Sinar Fajar Cawas dan SMP Islam

Populasi dalam Penelitian ini adalah semua Pihak/Instansi yang terkait dengan proses Penyelesaian Kredit Macet pada Bank Jateng Cabang Pati. Agar Penelitian ini

Berdasarkan pada arti pentingnya inventarisasi dan legalisasi aset/barang milik daerah bagi kebijakan pengelolaan aset/barang milik selanjutnya, maka perlu dilakukan

Melalui pintu ini air di pipa bisa ditahan pada saat tanaman membutuhkan sehingga pungsi pipa sebagai retensi air, dan pada musim kemarau pada saat air tidak bisa masuk