• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di Provinsi Bali didukung oleh tiga sektor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di Provinsi Bali didukung oleh tiga sektor"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi di Provinsi Bali didukung oleh tiga sektor utama yaitu pertanian, pariwisata, dan industri kecil. Bali merupakan salah satu pusat pariwisata di Indonesia. Sektor pariwisata sampai saat ini masih menjadi tumpuan kegiatan ekonomi masyarakat di Bali. Perkembangan yang pesat pada sektor ini juga mempengaruhi sektor lainya. Terutama pada sektor pertanian yang menyediakan kebutuhan bahan baku pada sektor pariwisata.

Sektor pertanian pada umumnya masih menjadi kegiatan ekonomi utama masyarakat pedesaan di Bali. Oleh karena itu pemerintah berupaya mengembangkan pertanian menjadi usaha dengan wawasan agribisnis yaitu pertanian yang modern dan efisien (Saptana, dkk, 2004). Kedepan sektor pertanian diharapkan mampu memajukan masyarakat ekonomi agraris pedesaan menjadi masyarakat berbasis ekonomi industrial. Pembangunan ekonomi pedesaan sangat terkait dengan kelembagaan tradisonal yang mendukungnya. Salah satu kelembagaan tradisonal yang berperan pada sektor pertanian di Bali adalah kelembagaan ekonomi.

Kelembagaan ekonomi yang berkaitan langsung dengan ekonomi masyarakat pedesaan adalah subak dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang mana keduanya merupakan kelembagaan tradisonal di Bali. Masyarakat Bali dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan sistem perekonomian selalu terkait dengan aspek sosial dan budaya. (Elizabeth dan

(2)

Anugrah, 2009). Oleh karena itu dalam aktivitasnya, subak dan LPD dilandasi nilai-nilai budaya Bali. Subak merupakan gambaran perilaku ekonomi komunitas petani di Bali, yang berperan mengelola pengairan bagi pertanian sawah. LPD merupakan lembaga keuangan komunitas yang kegiatan operasionalnya berpijak pada awig-awig desa adat atau desa pakraman.

Sistem agribisnis di Bali dituntut memiliki daya saing tinggi dalam era ekonomi modern. Maka dibutuhkan dukungan dari kelembagaan ekonomi pedesaan seperti LPD. LPD sebagai lembaga intermediary pedesaan di Bali berperan dalam pembangunan ekonomi pedesaan seperti yang tertuang dalam peraturan daerah Provinsi Bali No.8 tahun 2002. Dalam perda tersebut disebutkan bahwa sebagian keuntungan LPD sebesar 20% digunakan untuk pembanguanan desa pakraman dan dana sosial sebesar 5%. Pada perkembangannya jumlah LPD semenjak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 sebanyak 1405 LPD yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota di Bali.

Lembaga perkreditan desa sebagai lembaga penunjang di bidang agribisnis di pedesaan juga menghadapi tingkat persaingan yang tinggi. Tingginya tingkat persaingan antarlembaga keuangan di Bali, termasuk yang beroperasi di pedesaan, mengharuskan lembaga perkreditan desa meningkatkan daya saingnya agar dapat tumbuh dan bersinergi dengan lembaga keuangan lainnya (Ramantha, 2006). Oleh karena itu LPD tidak hanya perlu untuk menciptakan keunggulan kompetitif dalam menghadapi

(3)

persaingan, tetapi juga untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan keunggulan kompetitif yang dibuat

Terdapat dua model yang saling melengkapi dalam penciptaan keunggulan kompetitif, yang keduanya didasarkan pada teori ekonomi (Conner, 1991). Model pertama adalah model berbasis pasar berfokus pada biaya dan diferensiasi yang berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang tidak efisien atau yang tidak menawarkan produk kepada konsumen yang bersedia membayar harga premium. Teori keunggulan ini terutama didorong oleh faktor eksternal (peluang, ancaman, dan persaingan industri) dan, seperti halnya Porter (1993) menyatakan bahwa mempertahankan keunggulan berarti menyajikan pesaing dengan ``target yang bergerak''.

Model kedua berpusat pada sumber daya perusahaan dan didorong oleh faktor-faktor yang bersifat internal bagi perusahaan. Sumber daya istimewa yang memberikan keunggulan operasional atau membantu menciptakan posisi pasar yang superior memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan pengembalian yang superior. Dalam model teori berbasis sumber daya ini disebutkan bahwa, keberlanjutan keuntungan bergantung pada pesaing yang tidak mampu meniru sumber daya perusahaan.

Budaya organisasi juga merupakan sumber daya intangible yang dapat digunakan untuk mendukung strategi diferensiatif. Hal ini sangat menarik karena saat ini budaya organisasi hadir dengan paradigma barunya. Menurut Susanto (2000), budaya organisasi memiliki fungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pengembangan usaha, pengembangan sumber daya manusia,

(4)

dan sebagai andalan daya saing. Lingkungan budaya tentunya merupakan lingkungan internal dalam bisnis. Budaya organisasi dapat dianggap sebagai suatu aset yang tidak dapat dibeli dengan uang dan hal ini adalah faktor yang dapat membangun atau menghancurkan bisnis (Ramadan, 2010). Seperangkat nilai yang ada dalam perusahaan membantu mengarahkan tujuan perusahaan. Budaya organisasi mengarahkan organisasi atau perusahaan serta anggota organisasi dalam melakukan sesuatu yang terbentuk kedalam peraturan formal dan struktur organisasi.

Perusahaan perlu menyadari bahwa budaya organisasi penting dalam penciptaan keunggulan kompetitif LPD. Kondisi harmoni dan kebersamaan dalam kegiatan bisnis akan tercipta apabila lingkungan eksternal bisnis dapat dikendalikan lingkungan internalnya, pada kondisi inilah suatu kegiatan bisnis akan berlanjut. (Windia dan Dewi, 2011). Kajian-kajian terhadap keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) berhasil mengungkap bahwa budaya organisasi adalah salah satu sumber daya yang penting dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan bagi perusahaan (Bharadwaj, 1993; Ramadan, 2010; Madu, 2012; Mishra dan Gupta, 2010, Purwanto, 2006). Budaya organisasi menjadi tema yang penting dalam literature bisnis dan manajemen karena secara konsisten telah menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki efek potensial pada hasil yang ditunjukkan oleh individual maupun organisasi. Ritchie (2000) mencatat bahwa budaya organisasi telah membawa dampak bagi produktivitas, kinerja, komitmen, dan perilaku etis.

(5)

Salah satu kebudayaan Bali yaitu konsep Tri Hita Karana (THK) dalam kaitan penerapanya pada kegiatan bisnis yang harmoni dan kebersamaan demi keberlanjutan suatu bisnis atau perusahaan. Nilai-nilai THK dapat ditemukan pada kelembagaan ekonomi pedesaan seperti subak dan lembaga perkreditan desa di Bali. LPD yang beroperasi di Bali tentunya juga menerapkan nilai-nilai THK dalam budaya organisasinya. Beberapa peneliti mengkaji penerapan nilai-nilai THK dalam suatu organisasi maupun perusahaan dalam hal ini pengaruhnya dalam kegiatan bisnis (Windia, dkk, 2005; Dewi dan Ustriyana, 2007; Riana, 2011; Dalem; 2007, Ashrama; 2005). Budaya organisasi LPD yang dilandaskan nilai-nilai THK dapat menjadi sumber daya yang unik dalam penciptaan keunggulan kompetitif berkelanjutan.

Beberapa penelitian mengkaji pencapaian keunggulan bersaing berkelanjutan melalui budaya organisasi dan strategi diferensiasi sebagai strategi bisnis (Purwanto, 2006 dan Ramadan, 2010). Budaya organisasi berperan sebagai sumber daya kunci untuk menciptakan keungulan bersaing berkelanjutan. Oleh karena itu penting adanya operasionalisasi dan manifestasi nilai-nilai budaya LPD sebagai perusahaan kedalam kegiatan operasi. Kegiatan operasi perusahaan adalah sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang diamati, strategi, dan struktur (Hatch, 1993). Peran operasi dalam pandangan berbasis sumber daya dapat membantu perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang lebih berkelanjutan melalui perlindungan sumber daya (Gagnon, 1999).

(6)

Sebagai salah satu komponen lingkungan internal yaitu strategi operasi berperan penting dalam membentuk keunggulan kompetitif. Slack dan Lewis (2002) menjelaskan bahwa usaha strategi operasi dilakukan dengan mempertemukan permintaan pelanggan dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Strategi yang diterapkan pada perusahaan jasa sudah tentu berbeda dengan strategi yang diterapkan pada perusahaan barang. Kualitas pelayanan pada perusahaan jasa ditentukan secara subjektif dan langsung oleh konsumen yang terlibat dalam proses serta kapasitas yang harus sesuai dengan permintaan. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa adanya sudut pandang yang berbeda dari pengguna jasa 'market' dan dari penyedia jasa 'resource', sehingga menghasilkan pendekatan yang berbeda pula (Slack dan Lewis, 2002).

Sebuah strategi operasi yang tepat adalah penting untuk sebuah organisasi tidak hanya karena hal ini akan menentukan sejauh mana strategi bisnis dapat diimplementasikan, tetapi juga sebagai operasionalnya dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif (Chase dkk, 2006). Organisasi LPD sarat dengan nilai-nilai budaya yang mendukung gaya operasi yang etis. Gaya operasi LPD dilandasi oleh produk regulasi desa pakraman/adat, yaitu awig-awig dan perarem desa (Suartana, 2009). Budaya organisasi berbasis THK dan strategi operasi LPD ini merupakan sumber daya unik yang dapat dijadikan sumber keunggulan bersaing berkelanjutan.

Dalam konsep global village berdasarkan pemikiran Ohmae dan Drucker (dalam Utama, 2003) menyatakan bahwa mekanisme perdagangan

(7)

dunia saat ini digambarkan sebagai sebuah pasar di sebuah desa. Pemikiran ini memiliki makna bahwa perkembangan teknologi dan informasi menghilangkan batas wilayah yang menciptakan pasar yang semakin sempit. Hal ini mengindikasikan adanya tingkat persaingan yang tidak terbatas di semua bidang usaha. Termasuk bidang usaha pada lembaga keuangan.

LPD Kabupaten Buleleng yang beroperasi di tingkat pedesaan tidak menutup kemungkinan menghadapi persaingan dengan lembaga keuangan lainya baik di pedesaan maupun perkotaan. Banyak lembaga keuangan yang juga beroperasi di pedesaan, atau cakupan wilayah usahanya mencapai daerah pedesaan. Lembaga keuangan yang beroperasi di Kabuapeten Buleleng terdapat sembilan bank pemerintah, tiga BPR, 181 koperasi dan pegadaian. Tentunya beberapa lembaga keuangan ini dalam melakukan kegiatan operasionalnya, telah menerapkan teknologi informasi untuk memberikan pelayanan. Penggunaan sumber daya teknologi dan informasi pada lembaga keuangan seperti perbankan modern mampu meningkatkan kinerja serta meningkatkan daya saingnya.

LPD Kabupaten Buleleng sebagai lembaga keuangan komunitas pedesaan mengalami pertumbuhan yang baik semenjak didirikan. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti pada Tabel 1.1.

(8)

Tabel. 1.1

Perkembangan Kinerja LPD Kabupaten Buleleng Wilayah Timur Periode 2009-2012 Indikator 2009 2010 2011 2012 Asset Total Rp 235,625,688 Rp 284,187,576 Rp 363,904,374 Rp 474,568,324 Simpanan Rp 196,642,047 Rp 235,152,123 Rp 304,406,797 Rp 403,416,286 Modal Rp 36,509,504 Rp 44,201,678 Rp 54,240,595 Rp 67,359,874 Laba Rp 10,553,300 Rp 13,360,522 Rp 15,380,642 Rp 19,087,154 Sumber : Laporan tahunan PLPDK Buleleng Wilayah Timur

Berdasarkan data pada Tabel 1.1 dapat dijelaskan bahwa rata-rata perkembangan periode tahun 2009-2012 keempat indikator mencapai 25%. Kinerja LPD ini menunjukan bahwa lembaga keuangan ini masih mampu bertahan bahkan tumbuh, padahal pada saat ini perekonomian dunia masih mengalami krisis. Hal ini juga menunjukan bahwa LPD Kabupaten Buleleng memiliki daya saing terhadap lembaga keuangan lainya.

Kinerja LPD yang pesat sangat penting dalam pembangunan desa dapat terus berlanjut dan berkembang dengan memberikan manfaat yang menyeluruh baik pada aspek ekonomi, sosial maupun budaya. LPD Kabupaten Buleleng yang secara keseluruhan belum menerapkan teknologi informasi, perlu meningkatkan sumber daya lainya seperti budaya organisasi dan strategi operasi. Oleh karena itu keberadaan LPD perlu dijaga agar tetap berlandaskan pada kearifan lokal di Bali, yaitu Tri Hita Karana.

Budaya organisasi LPD Kabupaten Buleleng yang berlandaskan nilai-nilai Tri Hita Karana, adalah merupakan sumber daya unik yang perlu dipertahankan. Oleh karena itu, peran ini ada pada strategi operasi LPD, dimana sebagai manifestasi dari nilai-nilai dalam budaya organisasi LPD

(9)

dalam menciptakan keunggulan bersaing berkelanjutan. Hal ini merupakan kunci keberhasilan LPD Kabupaten Buleleng agar tetap bertahan dalam persaingan dan eksistensinya sebagai pondasi perekonomian pedesaan di Bali terus berlanjut. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan penelitian hubungan budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan keunggulan bersaing berkelanjutan LPD di Kabupaten Buleleng melalui strategi operasi sebagai strategi fungsional perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

LPD Kabupaten Buleleng sebagai lembaga keuangan yang beroperasi pada lingkungan lokal tentunya diharapkan dapat menjaga keberlangsungan usahanya ditengah persaingan diantara lembaga keuangan lainya yang juga memiliki lingkungan operasional di tingkat pedesaan. Oleh karena itu perlu dikaji beberapa permasalahan penelitiaan sebagai berikut.

1. Bagaimana penerapan budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan strategi operasi dapat menciptakan keunggulan bersaing berkelanjutan LPD Kabupaten Buleleng

2. Apakah budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana berpengaruh terhadap strategi operasi LPD Kabupaten Buleleng.

3. Apakah budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan strategi operasi berpengaruh terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan LPD Kabupaten Buleleng.

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui penerapan budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan strategi operasi dalam menciptakan keunggulan bersaing berkelanjutan LPD Kabupaten Buleleng.

2. Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana terhadap strategi operasi LPD Kabupaten Buleleng.

3. Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan strategi operasi terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan LPD Kabupaten Buleleng.

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu manajemen operasi khususnya bidang strategi operasi. Juga dapat dijadikan bahan perbandingan bagi penelitian terdahulu dan referensi bagi penelitian selanjutnya

2. Penelitian ini berusaha membantu menggali karakteristik keunggulan bersaing LPD melalui perspektif internal perusahaan yaitu budaya organisasi dan strategi operasi.

(11)

11

2.1 Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

Menurut Pergub No.11 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perda No.8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Pasal 1 (5) menyatakan LPD merupakan lembaga keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan dan untuk krama desa pakraman. Kegiatan usaha LPD adalah menghimpun dana dari krama desa (masyarakat desa) dalam bentuk tabungan dan depsito, kemudian menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat desa.

Selanjutnya dijelaskan tujuan didirikan Lembaga Perkreditan Desa adalah sebagai berikut.

1).Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif. 2).Memberantas praktek ijon, gadai gelap, dan lain-lain di pedesaan. 3).Menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga

desa dan tenaga kerja di pedesaan.

4).Meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lints pembayaran dan peredaran uang.

Undang-undang No. 1 tahun 2013, pasal 39 ayat 3 menegaskan kedudukan LPD sebagai lembaga adat yang diatur berdasarkan hukum adat. LPD juga bukan lembaga keuangan mikro melainkan lembaga keuangan komunitas pedesaan.

(12)

2.2 Keunggulan Bersaing Berkelanjutan

Model keunggulan bersaing berbasis pada sumber daya perusahaan, didasarkan pada faktor-faktor yang bersifat internal bagi perusahaan sebagai sumber keunggulan bersaing berkelanjutan. Sumber daya istimewa yang memberikan keunggulan operasional atau membantu menciptakan posisi pasar yang superior memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan superior. Dalam hal ini teori model berbasis sumber daya, keberlanjutan keuntungan bergantung pada pesaing yang tidak mampu untuk meniru sumber daya yang dimiliki.

Tiga tipe dasar dari sumber daya modal memberikan perusahaan keunggulan kompetitif yaitu: sumber daya fisik, sumber daya manusia dan sumber daya organisasi. Sumber daya fisik meliputi pabrik perusahaan, peralatan dan keuangan. Sumber daya manusia termasuk kekayaan intelektual, pengetahuan tentang proses bisnis dan pengetahuan implisit, keterampilan, penilaian, dan kecerdasan karyawan perusahaan. Sumber daya organisasi termasuk struktur perusahaan, perencanaan, pengendalian, dan koordinasi (Barney & Wright, 1998).

Keunggulan kompetitif adalah istilah yang diberikan untuk sumber kemampuan perusahaan untuk memenangkan bisnis dan mengalahkan pesaing pada waktu yang tepat. Mempertahankan keunggulan kompetitif adalah target yang terus bergerak dan sumber keunggulan kompetitif akan bergeser dari waktu ke waktu (Stalk, 1992). Pesaing secara cepat dapat menyalin setiap perubahan posisi pasar atau strategi. Oleh karena itu

(13)

perusahaan harus fleksibel dalam rangka untuk merespon dengan cepat persaingan dan perubahan pasar (Porter, 1993). Stevenson (2009) mendefinisikan keunggulan kompetitif sebagai efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber daya organisasi untuk memenuhi permintaan pelanggan bila dibandingkan dengan pesaing.

Barney (1991) mendefinisikan keunggulan kompetitif sebagai kemampuan untuk menciptakan nilai ekonomi lebih dari pesaing. Lebih lanjut dijelaskan dalam membedakan antara dua jenis keunggulan kompetitif yaitu, keunggulan kompetitif sementara dan berkelanjutan. Keunggulan kompetitif biasanya menghasilkan keuntungan yang tinggi, tetapi keuntungan ini menarik persaingan, dan persaingan membatasi durasi keunggulan kompetitif dalam banyak kasus. Oleh karena itu keuntungan yang paling kompetitif bersifat sementara. Di sisi lain, beberapa keuntungan kompetitif yang berkelanjutan jika pesaing tidak dapat meniru sumber keunggulan (Barney, 1991).

Oleh karena itu, keunggulan kompetitif harus berada dalam rantai nilai perusahaan. Rantai nilai terdiri dari kegiatan usaha utama dan kegiatan usaha pendukung, Kegiatan usaha utama meliputi: logistik masuk, operasi, logistik keluar, pemasaran dan penjualan serta layanan purna jual. Pendukung kegiatan ekonomi meliputi: infrastruktur perusahaan, manajemen sumber daya manusia, pengembangan teknologi dan pengadaan. Rantai nilai yang tertanam dalam sistem nilai perusahaan yang meliputi: pemasok, pembeli, dan saluran distribusi. Keunggulan kompetitif juga

(14)

tergantung pada seberapa baik sebuah perusahaan mengkoordinasikan seluruh sistem nilai. Kegiatan di dalam rantai nilai yang saling terkait dan hubungan ini menciptakan ketergantungan antara perusahaan dan lingkungan eksternal .

Menurut Barney (1991), suatu perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif ketika menerapkan strategi penciptaan nilai yang pesaing potensial saat ini atau tidak menerapkan pada waktu yang sama. Begitu juga ketika perusahaan-perusahaan lainnya tidak dapat menduplikasi manfaat dari strategi ini. Sehingga untuk mengubah sumber daya potensial menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, hal itu harus berisi empat atribut berikut: Pertama, harus berharga (Value), dalam arti bahwa ia mengeksploitasi peluang juga menetralisir ancaman dalam lingkungan perusahaan. Kedua, harus unik atau jarang (rareness) di antara perusahaan saat ini dan pesaing potensial. Ketiga, harus tidak dapat ditiru atau dapat ditiru secara tidak sempurna (imperfectly imitable). Keempat, non-substitutability yaitu tidak ada pengganti strategis yang setara untuk sumber daya ini dan sangat berharga tapi tidak langka (Barney, 1991) .

Sedangkan Barney berfokus pada sumber daya internal sebagai kunci keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, Hamel dan Prahalad (1989) fokus pada kompetensi inti dan berpendapat bahwa sebuah perusahaan memiliki keunggulan kompetitif berkelanjutan dapat ditemukan dalam kompetensi inti. Agar kompetensi menjadi kompetensi inti, tiga kriteria yang harus dipenuhi yaitu: kompetensi harus 1) menyediakan akses

(15)

ke lebih dari satu pasar, 2) memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produk akhir/produk dan 3) sulit untuk pesaing meniru (Hamel & Prahalad , 1989). Dengan demikian, jika sebuah perusahaan memiliki kompetensi inti dan mengerti bagaimana untuk mengambil keuntungan dari itu, dapat menyebabkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

2.3 Budaya Organisasi berbasis Tri Hita Karana

Budaya organisasi adalah asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan sikap bersama yang dianut organisasi yang dijadikan acuan dalam memahami lingkungan internal dan ekternal demi tercapainya tujuan organisasi. (Bharadwaj, 1993; Schein, 2004; Moeljono, 2003). Budaya organisasi berfungsi sebagai perekat, pemersatu, identitas, citra, motivator bagi seluruh staff dan orang-orang yg ada di dalamnya. Selanjutnya, sistem nilai tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya, dan dapat dijadikan acuan prilaku manusia dalam organisasi yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau hasil/target kinerja yang ditetapkan. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam sumber daya manusia, sistem dan teknologi, strategi perusahaan dan logistik, pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi.

Dalam mendefinisikan budaya suatu oragnisasi atau perusahaan secara actual, Schein (2004) membagi kedalam 3 tingkatan (level) yaitu aspek kebendaan (artifaks), nilai-nilai yang dianut (espoused values) dan asumsi-asumsi dasar (lihat Gambar 2.1). Pada tingkat aspek kebendaan, budaya

(16)

organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat.

Gambar 2.1

Tingkatan Budaya Organisasional

Sumber: Schein (2004). Organization Culture and Leadership 3nd Edition

Pada tingkat berikutnya, nilai-nilai yang dianut, organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan berperilaku. Pada tingkat asumsi-asumsi dasar berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted), mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara yang tepat.

Sagiv dan Schwartz (2007) menekankan terdapat hubungan yang erat dan interaksi antara budaya masyarakat (yaitu, lingkungan eksternal, lembaga) dan budaya organisasi (yaitu, lingkungan internal, penganturan diri, referensi diri, dan identitas). lingkungan eksternal sebagai faktor yang berpengaruh melalui proses evaluasi terhadap budaya organisasi dan lingkungan internal seluruh organisasi pada umumnya (Fink, 2010).

Filosofi Tri Hita Karana sebagai nilai kultur masyarakat Bali terdiri dari tiga kata yaitu, tri artinya tiga, hita artinya kebahagiaan, dan karana

Aspek Kebendaan

Nilai-Nilai yang dianut

(17)

artinya penyebab. Jadi Tri Hita Karana dapat diartikan sebagai tiga penyebab kebahagiaan. Ketiga penyebab kebahagiaan tersebut diantaranya parhyangan yang artinya hubungan yang harmonis antara manuia dan Tuhan, pawongan yang artinya hubungan yang harmonis antara manusia dan sesamanya, palemahan yang artinya hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya. Ungkapan secara umum Tri Hita Karana dapat dimaknai sebagai konsep harmoni dan kebersamaan (Windia dan Dewi, 2011).

Implementasi konsep Tri Hita Karana telah diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bali yaitu pada organisasi social subak dan desa adat, maupun pada kegiatan bisnis hotel-hotel di Bali (Windia, dkk, 2005; Dewi dan Ustriyana, 2007; Riana, 2011; Dalem; 2007, Ashrama; 2005). Penelitian-penelitian tersebut mengkaji penerapan konsep Tri Hita Karana sebagai bentuk hubungan antara sistem kebudayaan dan sistem teknologi, maka kedua hubungan tersebut dapat digambarkan dalam matriks (Windia dan Dewi, 2011) seperti pada Gambar 2.2.

Pada Gambar 2.2 matriks sel-sel diisi dengan elemen-elemen penjabaran dimensi parhyanan, pawongan, dan palemahan. Beberapa sel seperti hubugan subsistem software dan pola pikir, subsistem hardwere dan artefak, dan subsistem humanware dan subsistem social tidak memiliki elemen penjabaran karena maknanya sama.

(18)

Sistem Kebudayaan Sistem Teknologi Subsistem Pola Pikir Susbsistem Sosial Susbsitem Artefak/ Kebendaan Subsistem Software (Pola

Pikir) Subsistem Hardware (Artefak) Subsistem Humanware (Sosial) Subsistem Organoware Susbsistem Infoware Gambar. 2.2

Matriks Hubungan Sistem Teknologi dan Sistem Kebudayaan

Filosofi THK pada dasarnya merupakan filosofi universal yang pada hakikatnya ada dan dianut oleh masyarakat lain meskipun tidak beragama Hindu. Hal ini hanya bisa diterapkan secara sadar dan nyata oleh masyarakat Bali. Filosofi tersebut juga sangat relevan dengan aktivitas usaha/ bisnis (Dwirandra, 2011). Dalam LPD, parhayangan dapat diimplemetasikan dalam seberapa besar kontribusi LPD pada kegiatan ritual keagamaan, renovasi pura, kesejahteraan pemangku, bantuan untuk masyarakat yang kurang mampu dalam melaksanakan ritual keagamaan. Dalam konteks bisnis berupa hubungan antar karyawan dan hubungan lembaga dengan masyarakat. Implementasi pawongan pada LPD adalah berapa persen karyawan LPD berasal dari masayarakat tempat LPD berdiri, keikutsertaan LPD pada program penanggulangan kemiskinan, dan lain-lain. Secara umum filosofi THK, palemahan merupakan dimensi yang berhubungan dengan aspek fisik dari lingkungan di sekitar kita atau perusahaan. Di Bali

(19)

palemahan berhubungan dengan tata letak perusahaan dan bangunan yang hendaknya disesuaikan dengan keyakinan agama dan kultur tempat perusahaan berada.

Untuk lebih memahami konsep filosofi Tri Hita Karana sebagai budaya organisasi yang diimplementasikan lembaga perkreditan desa maka dalam penelitian ini mencoba menghubungkan model yang dikembangkan Schein tentang tiga tingkatan budaya organisasi dan dimensi konsep Tri Hita Karana di Bali seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Budaya Organisasi LPD berbasis Tri Hita Karana

Elemen Dasar Basic Underlying Assumsption

Espoused Values Artifaks Parhyangan Nilai-nilai yang sudah

ada di LPD dilandasi pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Tujuan dan strategi LPD dilandasi pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Kegiatan operasi dan produksi LPD didasarkan pada keyakian terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Pawongan Harmonisasi hubungan antar karyawan dan pengurus melalui nilai-nilai dan keyakinan yang sudah ada di LPD Harmonisasi hubungan antar karyawan dan pengurus melalui tuntunan strategi dan tujuan LPD Adanya struktur organisasi yang jelas untuk mendukung kegiatan operasi LPD

Palemahan Adanya bangunan suci sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Strategi dan tujuan LPD diarahkan untuk melestarikan lingkungan Kegiatan operasi LPD menerapkan konsep kelestarian lingkungan setempat Sumber : Schein, 2004 ; Windia dan Dewi, 2001

2.4 Strategi Operasi

Kajian proses strategi operasi telah banyak dibahas dalam beberapa literature manajemen operasi. Proses strategi operasi disebut sesuai dengan

(20)

bagaimana keputusan strategis dibuat dalam pengaturan organisasi (Ho, 1996). Definisi strategi selalu menyebutkan peningkatan posisi kompetitif perusahaan di pasar melalui pembangunan sumber daya atau positioning (Swink dan Way, 1995). Sebagian besar penelitian difokuskan terutama pada sejumlah daerah keputusan dan tujuan dari manufaktur dalam hal kriteria kinerja.

Krawjesky dan Ritzman (2002) mendifinisikan strategi operasi sebagai dimensi yang harus dimiliki oleh sistem produksi suatu perusahaan untuk mendukung permintaan pasar agar perusahaan tersebut mampu bersaing. Sedangkan Flaherty (1996) mendifinisikan strategi operasi sebagai papan rencana perusahaan atau unit bisnis untuk mengembangkan, memperkenalkan, dan menghasilkan produk agar memuaskan kebutuhan pelanggan lebih baik dari pesaing. Kedua difinisi tersebut memuat adanya orientasi pada pelanggan dan senjata bersaing. Sistem produksi adalah proses yang dipakai dalam mengubah masukan (input) sumberdaya untuk menciptakan barang dan jasa yang bermanfaat (Heizer dan Render, 2009).

Beberapa studi telah menganalisis diferensiasi dan interaksi antara dimensi yang berbeda untuk mengkonfigurasi strategi operasi layanan. Secara tradisional, berbagai literatur manajemen operasi telah membahas strategi operasi jasa untuk pengembangan sistem pelayanan agar sesuai harapan pelanggan dengan persepsi pelanggan (Ariani, 2009). Model dan kerangka kerja telah diusulkan untuk menjelaskan proses ini melalui klasifikasi layanan dan skema yang berbeda (Johnston, 2005). Beberapa

(21)

upaya menarik untuk memperluas strategi operasi, terutama mengandalkan pada teori klasifikasi strategi generik Porter (1993), yang didorong oleh kepentingan pasar, seperti kepemimpinan biaya, produk diferensiasi, atau segmentasi pasar. Misalnya. Ward et al. (1996) telah mempelajari berbagai konfigurasi operasi dan strategi generik. Hasil studi tersebut adalah langkah pertama, yang menyatakan bahwa operasi bisa menjadi bagian penting dalam konfigurasi yang lebih luas dalam strategi bisnis dan konteks industri.

Istilah strategi selalu terkait dengan posisi bersaing di pasar melalui pembangunan atau memposisikan sumber daya (Ariani, 2009) Pada perkembangannya, disiplin manajemen strategis telah pindah pandangan kompetisi baru dari "berbasis pasar" ke "berbasis sumber daya". Pandangan lama melihat operasi sebagai sistem sempurna disesuaikan difokuskan untuk berhasil mengikuti aturan pasar, sedangkan yang kedua menunjukkan bahwa lebih menguntungkan untuk fokus pada pengembangan, melindungi, dan meningkatkan sumber daya unik dan keunggulan operasional perusahaan dalam rangka untuk mengubah aturan persaingan. Perubahan paradigma ini dimulai dengan bukti bahwa kinerja tinggi dijelaskan terutama oleh kekuatan sumber daya perusahaan, dan bukan oleh kekuatan posisi pasar (Wernerfelt, 1984).

Pandangan resource based telah menjadi lebih penting, karena Hamel dan Prahalad (1989) tegas menekankan hubungan antara kompetensi inti dan daya saing. Pertama, pandangan berbasis sumber daya dapat membantu operasi mencapai hingga pimpinan strategi, memastikan sumber

(22)

daya suatu perusahaan, kemampuan, dan kompetensi yang baik digunakan sebagai senjata kompetitif. Kedua, pandangan berbasis sumber daya menawarkan sejumlah pelajaran dalam pengelolaan kemampuan dalam kondisi hiper-kompetitif, memberikan aturan yang jelas untuk mengembangkan, melindungi, dan memanfaatkan sumber daya secara dinamis. Akhirnya, untuk mengatasi kegagalan utama dalam pelaksanaan praktik kelas dunia, pandangan berbasis sumber daya dapat membantu strategi operasi untuk lebih mengintegrasikan sumber keuntungan strategis dalam portofolio koheren kemampuan opsional.

Dalam konteks ini, Aranda (2003) mengusulkan sebuah model yang didasarkan pada tiga strategi operasi layanan dasar, diidentifikasi sesuai dengan fokus dari kegiatan perusahaan. Strategi operasi dasar ini pada industri jasa adalah orientasi proses, orientasi layanan atau strategi operasi berorientasi pelanggan (Berry dan Parasuraman, 1997; Haynes dan Du Vall, 1992; Johnston, 1994; 2005). Kemudian diidentifikasi sembilan keputusan struktural dan infrastruktur yang mengarah pada strategi operasi layanan yang ditentukan. Sembilan keputusan ini adalah jenis tata letak operasi, orientasi PUSH/PULL proses pelayanan, tingkat standarisasi proses, penawaran sejumlah layanan yang berbeda, penggunaan teknologi informasi (pengurangan biaya versus peningkatan pelayanan ), hubungan kegiatan back dan front office, spesialisasi sumber daya manusia, tingkat partisipasi pelanggan, dan desain layanan baru (Aranda, 2003).

(23)

Jenis tata letak operasi secara langsung mempengaruhi cara operasi dikonfigurasi dalam proses pemberian layanan. Sebuah tata letak proses cenderung untuk mengatur pelayanan sebagai kegiatan proses berurutan. Di sisi berlawanan, tata letak produk tidak berarti sebuah tugas berurutan. Hal ini mengarah pada pengembangan tugas dengan urutan yang tidak ditetapkan sebelumnya. Layout campuran di mana sebagian dari proses pengiriman layanan ditetapkan berurutan, sementara bagian lain juga dipertimbangkan untuk dikembangkan sesuai dengan karakteristik spesifik layanan.

Orientasi push/pull dari proses menentukan filosofi produksi penyampaian layanan atau jasa. Perusahaan jasa berorientasi pull pada awalnya mempertimbangkan kebutuhan pelanggan ketika mengembangkan kegiatan pelayanan. Kegiatan tidak berakhir sampai perusahaan jasa telah memenuhi harapan pelanggan terpenuhi. Perusahaan berorientasi layanan push melakukan investasi penting dalam kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan. Permintaan dipupuk melalui upaya pemasaran yang kuat. Sekali lagi, campuran konfigurasi push / pull perlu dipertimbangkan.

Tingkat standarisasi pelayanan disebut sebagai sejauh mana tugas prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, juga mempengaruhi pemberdayaan karyawan. Standarisasi bermaksud untuk meminimalkan variabilitas dalam proses pelayanan, sehingga prosedur pengembangan setiap tugas dapat dibatasi.

(24)

Jumlah layanan yang berbeda menawarkan langkah-langkah tingkat diversifikasi perusahaan sesuai dengan produk/jasa akhir yang disampaikan. Dimensi ini menunjukkan bagaimana perusahaan berorientasi terhadap banyak atau sedikit segmen pelanggan. Hal ini juga menganggap bagaimana terkait produk/jasa akhir, sehingga perusahaan menawarkan dua jalur produk/jasa dengan beberapa kesamaan di antara mereka dianggap untuk mempertahankan tingkat yang lebih tinggi dari amplitudo produk/jasa dari sebuah perusahaan yang menawarkan banyak jalur produk/jasa terkait.

Penggunaan teknologi informasi (TI) dianggap sesuai dengan dua parameter. Di satu sisi, TI dapat digunakan untuk mengurangi biaya melalui, misalnya, substitusi tenaga kerja oleh teknologii sisi lain, investasi TI dapat dibuat untuk peningkatan pelayanan akhir, misalnya, melalui teknologi simulasi untuk memverifikasi kualitas layanan dan kehandalan.

Hubungan antara kegiatan front dan back office mengacu pada lokasi fisik serta pertukaran informasi tenaga kerja. Hubungan tersebut secara langsung mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap layanan pengiriman. Ketika kedua kegiatan secara fisik terpisah, upaya pelanggan untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan back office yang lebih tinggi dan akan dipandu oleh mekanisme pertukaran informasi antara kedua kegiatan front dan back office. Pandangan berbeda menyebutkan bahwa kedekatan fisik dari kedua kegiatan meningkatkan efektivitas informasi dan keandalan untuk pelanggan.

(25)

Tingkat spesialisasi tenaga kerja bermaksud untuk menentukan fleksibilitas personil ketika mencapai kegiatan yang beragam dan berbeda. Oleh karena itu, staf dapat dipersiapkan baik untuk melakukan satu atau beberapa tugas tertentu, atau yang lain, untuk melaksanakan setiap kegiatan total atau sebagian. Tenaga kerja yang lebih fleksibel merespon lebih cepat dan efisien terhadap perubahan lingkungan, dibanding personil yang sangat khusus dan cenderung lebih kaku. Fakta ini sangat relevan bagi perusahaan jasa yang memiliki TI dengan tingkat keusangan yang tinggi sebagai dasar aktivitas mereka.

Tingkat kontak dan partisipasi pelanggan berkaitan dengan tingkat interaksi antara proses pengiriman dan layanan pelanggan. Interaksi tersebut dapat dimanfaatkan baik untuk mentransfer beberapa kegiatan kepada pelanggan untuk mengurangi biaya proses atau untuk menyesuaikan pelayanan. Dalam kasus pertama, pelanggan bertindak sebagai staf dengan mengembangkan tugas dari proses pelayanan. Dalam kasus kedua, pertukaran informasi pelanggan dengan kegiatan pelayanan, yang akan dikembangkan di perusahaan.

Akhirnya, intensitas desain dan pengembangan layanan baru mengacu pada apakah perusahaan akan atau tidak menetapkan prosedur pelayanan baru melalui organisasi tugas baru dan investasi dalam sumber daya tertentu. Oleh karena itu, adalah mungkin untuk mengetahui, melalui dimensi ini, niat perusahaan untuk berinovasi dalam proses dan layanan baru. Selanjutnya Aranda (2003) menyebutkan pengaruh dari

(26)

masing-masing dimensi strategi pelayanan ini pada karaktristik tiga strategi operasi dasar yaitu orientasi proses, orientasi pelanggan dan orientasi layanan.

2.5 Hubungan Budaya Organisasi Berbasis Tri Hita Karana dan Strategi Operasi

Sistem struktur yang mencerminkan perwujudan nilai-nilai dan keyakinan sebagai norma, aturan, dan peraturan, juga membangun kerangka acuan untuk proses dan pola perilaku organisasi, dan berdiri sejalan dengan strategi yang telah ditetapkan. Kegiatan organisasi dan operasi yaitu, pola perilaku, sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang diamati, strategi, dan struktur (Hatch, 1993).

Schein (2004) mendalilkan bahwa budaya organisasi (asumsi dasar) secara langsung terkait dengan nilai-nilai yang dianut, yaitu strategi dalam model yang diusulkan. Sebagai budaya sering didefinisikan sebagai seperangkat prinsip, kita dapat menggambarkan hal ini dengan menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses operasionalisasi. Akibatnya, strategi yang diberlakukan melalui struktur dan operasi dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya yaitu, asumsi yang mendasari, yang diselenggarakan dalam sebuah organisasi. Hal ini menyebabkan kesimpulan berikut: pertama operasionalisasi harus berdiri sejalan dengan nilai-nilai perusahaan. Kedua semua domain-strategi, struktur dan operasi secara tidak langsung dipengaruhi oleh budaya. Ketiga nilai-nilai organisasi merupakan shared "etika" untuk melakukan bisnis (Dauber, 2012). Mengingat urutan hirarkis yang ditetapkan oleh Schein (2004),

(27)

tampak seolah-olah dampak budaya organisasi terhadap operasi terungkap melalui strategi (nilai-nilai yang dianut), mendukung gagasan "membimbing" atau moderator pengaruh pada organisasi selama operasionalisasi.

Sebagai kesimpulan, dapat didefinisikan model konfigurasi budaya organisasi yang mencerminkan proses internal dari sebuah organisasi, menghubungkan budaya organisasi, strategi, struktur, dan operasi sistematis satu sama lain. Perlu juga diasumsikan bahwa strategi sukses dan efisien harus mencerminkan peluang pasar (Porter, 1993) atau sumber daya internal yang unik dari sebuah organisasi, yang memungkinkan untuk keunggulan kompetitif (Barney, 1991). Akibatnya, penyesuaian dalam strategi yang lebih mungkin diprakarsai oleh perubahan yang tidak menguntungkan dalam kinerja organisasi daripada keinginan murni untuk perubahan.

2.6 Hubungan Budaya Organisasi Berbasis Tri Hita Karana dan Keunggulan Bersaing Keberlanjutan

Setiap perusahaan tentunya menginginkan kegiatan bisnis dan keberadaanya dalam jangka waktu yang lama (long-term period), keunggulan bersaing yang dimiliki perusahaan juga harus berkelanjutan (sustainable). Pada umumnya keunggulan bersaing berkelanjutan merupakan strategi perusahaan untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu kinerja yang menghasilkan keuntungan (profit) tinggi. Sehingga

(28)

keunggulan bersaing berkelanjutan bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir LPD, yaitu kinerja tinggi.

Berdasarkan pada perspektif sumber daya (resource based view) bahwa sumber daya dan kapabilitas perusahaan merupakan perpaduan yang spesifik (Barney, 1991). Pendapat yang sama menyatakan bahwa keunggulan bersaing berkelanjutan adalah merupakan bentuk-bentuk strategi perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Day & Wensley, 1988). Sumber daya perusahaan memiliki potensi keunggulan bersaing jika memliki empat atribut, yaitu ; kelangkaan, nilai, tidak dapat ditiru, tidak dapat diganti.

Peran penting dari Budaya organisasi sebagai faktor keunggulan kompetitif suatu perusahaan berasal dari keunikan budaya yang membuatnya tak ada bandingannya dan langka serta dari karakteristik dinamis yang menjamin keberlanjutan perusahaan (Schein, 2004; Zheng, dkk, 2010). Lebih dari itu, hal ini telah menunjukkan bahwa kemampuan organisasi berasal dari budaya yang memiliki kompleksitas sosial yang berharga dan langka sehingga menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Barney, 1991; Hall, 1993; Peteraf, 1993).

LPD harus membangun budaya organisasi di mana semua individu didorong untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan peluang-peluang bisnis yang ada. Selain itu, jenis budaya organisasi akan mempertemukan karyawan dan pelanggan dalam harmoni dan berbuah kemitraan. Hal itu juga menunjukkan bahwa tanpa budaya seperti itu, LPD diantara

(29)

organisasi lain, akan tertinggal di pasar global (Ramachandran, 2006). filosofi Tri Hita Karana merupakan nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi LPD. Gorda (dalam Windia dan Dewi, 2011) menyebutkan bahwa Tri Hita Karana sebagai sumber daya bagi LPD di dalam upaya meningktkan keefektfannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkat produktivitas suatu bisnis merupakan sinergi dari produktivitas sumber daya ilahi (parhyangan), sumber daya manusia (pawongan), dan sumber daya kapital (palemahan).

Banyak penelitian yang mengkaji bahwa budaya organisasi sebagai sumber daya dalam menciptakan keunggulan bersaing berkelanjutan (sustainable competitive advantage) (Bharadwaj, 1993; Nel, 2009; Lopez. et.al., 2006; Ramadan, 2010; Sadri and Lees, 2001; Mishra dan Gupta, 2010; Li Qun, 2007). Budaya organisasi juga dapat mengubah proses organisasi yang berhubungan dengan pemecahan masalah, hubungan sosial, dan variabel yang terkait dengan banyak pekerjaan lainnya. Selain itu, konsekuensi ekonomi banyak dapat diperoleh karena budaya organisasi yang unik, langka, dan tak ada bandingannya.

2.7 Hubungan Strategi Operasi dan Keunggulan Bersaing Berkelanjutan

Dalam buku Operation Strategy, Slack dan Lewis (2002) menjelaskan bahwa adanya sudut pandang yang berbeda dari pengguna jasa 'market' dan dari penyedia jasa 'resource', sehingga menghasilkan pendekatan yang berbeda pula. Dalam membangun daya saing perusahaan perlu diperhatikan bahwa keunggulan bagi perusahaan belum tentu

(30)

menjadi keunggulan bagi pengguna jasa. Strategi operasi ditujukkan untuk mencapai suatu keunggulan apabila dapat memanfaatkan peluang didalam suatu lingkungan dan mengoptimalkan bidang kekuatannya.

Sejalan dengan hal itu, Slack dan Lewis (2002) menjabarkan bahwa usaha strategi operasi dilakukan dengan mempertemukan permintaan pelanggan dengan kemampuan sumber daya alam yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Dalam hal ini strategi operasi berperan untuk merekonsiliasikan apa yang menjadi permintaan pelanggan dengan kemampuan sumber daya perusahaan. Perusahaan tentunya perlu memiliki strategi dalam merekonsiliasikan gap tersebut.

Strategi operasi dapat menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan bisnis dan mendapatkan keunggulan kompetitif dalam setidaknya dua cara. Pertama, hal itu dapat menjadi pusat pelaksanaan strategi bisnis yang sudah dirancang seperti, personil operasi mungkin atau tidak mungkin telah membantu merumuskan. Dalam pendekatan ini, peran penting operasi memberikan “fit strategis” dalam memfokuskan upaya dan sumber daya, sehingga strategi operasi memberi dukungan dan konsisten dengan strategi bisnis yang sudah dirancang (Hayes dan Pisano, 1996; Miller dan Roth, 1994).

Kedua, strategi operasi dapat digunakan dalam pendekatan yang lebih proaktif. Oleh karena itu kemampuan operasional akan dipandang sebagai bagian dari kemampuan inti/kompetensi (Hamel dan Prahalad, 1989), yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk menciptakan

(31)

peluang baru dan untuk menargetkan daerah-daerah baru. Dalam pendekatan ini, kontribusi operasi akan menjadi pusat tahap perencanaan strategi bisnis dan tidak terbatas pada pelaksanaan strategi yang sudah dirancang. Sumber daya ini, dalam pendekatan strategi berbasis kompentensi telah menjadi fitur penting dalam literatur tentang strategi (Hamel dan Prahalad, 1989, 1990; Stalk dkk, 1992; Collis dan Montgomery, 2008). Hal ini sesuai dengan pendapat Hayes dan Pisano (1996) bahwa peran operasi merupakan pusat dalam menciptakan strategi untuk mendapatkan keuntungan kompetitif.

Dalam penyusunan strategi operasi, perusahaan perlu memprioritaskan kebutuhan pengguna jasa dan tujuan dari kinerjanya, selain itu juga harus disesuaikan dengan strategi perusahaan, strategi bisnis dan strategi fungsional. Prioritas ini berguna untuk meningkatkan daya saing perusahaan dalam mempertahankan kepuasan pengguna jasanya. Slack dan Lewis (2002) berpendapat bahwa dengan menentukan prioritas (performance objective) berarti bahwa perusahaan berusaha mengedepankan faktor-faktor kompetitifnya dalam memenangkan persaingan. Strategi yang ditetapkan oleh perusahaan jasa tentunya berbeda dengan strategi yang ditetapkan pada perusahaan barang. Pelayanan jasa kualitas ditentukan secara subjektif, secara langsung pengguna jasa terlibat dalam proses serta kapasitas yang harus sesuai dengan permintaan.

(32)

32

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan teori berbasis sumber daya (resource based theory), Barney (1991) menyebutkan bahwa perusahaan seperti halnya lembaga perkreditan desa dikatakan dapat memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan. Hal itu terjadi jika LPD mampu menciptakan nilai yang pada saat tersebut tidak sedang dilakukan baik oleh kompetitor maupun calon kompetitor dan perusahaan-perusahaan lain tidak mampu meniru kelebihan strategi ini. Sumber daya LPD memiliki potensi keunggulan bersaing jika memliki empat atribut, yaitu: kelangkaan, nilai, tidak dapat ditiru, dan tidak dapat diganti.

Day & Wensley (1988) menyatakan bahwa keunggulan bersaing berkelanjutan merupakan bentuk-bentuk strategi untuk membantu LPD dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pendapat tersebut didukung oleh Ferdinand (2011) yang menyatakan bahwa pada pasar yang bersaing, kemampuan LPD menghasilkan kinerja, terutama kinerja keuangan, sangat bergantung pada derajat keunggulan kompetitifnya. Untuk melanggengkan keberadaannya, keunggulan bersaing LPD tersebut juga harus berkelanjutan (sustainable) karena pada dasarnya perusahaan ingin melanggengkan keberadaannya.

(33)

Keunggulan bersaing berkelanjutan merupakan strategi perusahaan untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu kinerja yang menghasilkan keuntungan (profit) tinggi. Artinya, keunggulan bersaing berkelanjutan bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir LPD, yaitu kinerja tinggi. Berdasarkan pada seluruh pendapat di atas, maka keunggulan bersaing berkelanjutan didefinisikan sebagai keunggulan yang dicapai secara terus menerus dengan mengimplementasikan strategi pencapaian nilai-nilai unik. Nilai-nilai ini tidak sedang diimplementasikan baik oleh pesaing maupun calon pesaing karena ketidakmampuan mereka dalam meniru strategi tesebut.

Sedangkan untuk melanggengkan keunggulan bersaing tersebut, LPD seharusnya memiliki sumber daya dan kapabilitas yang khas (company specific). Budaya Organisasi merupakan sumber daya LPD untuk menciptakan keunggulan kompetitif (Barney, 1991). Peran penting ini berasal dari keunikan budaya yang tidak dapat dibandingkan dan karateristik dinamis yang menjamin keberlangsungan LPD (Schein, 2004; Zheng,dkk, 2010).

Budaya Tri Hita Karana sebagai esensi kebudayaan masyarakat Bali, juga merupakan budaya yang diimplementasikan kedalam budaya organisasi lembaga perkreditan desa di Bali. Filosofi ini mendasari pemikiran bahwa kegiatan bisnis adalah sebuah persembahan yang tidak luput dari kontrol Tuhan (Ashrama, 2005; Windia dan Dewi, 2011). Oleh karena itu budaya organisasi yang berlandaskan Tri Hita Karana ini harus dapat dipertahankan

(34)

karena merupakan sumber daya bagi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Strategi yang diberlakukan melalui struktur dan operasi dipengaruhi budaya organisasi sebagai manifestasi nilai-nilai perusahaan (Dauber, 2002). Strategi operasi berbasis kompetensi merupakan kapabalitas organisasi, yang menjadi pusat tahapan perencanaan strategi bisnis LPD untuk menciptakan keunggulan kompetitif (Slack dan Lewis, 2002; Hamel dan Prahalad, 1990; Gagnon, 1999). Strategi operasi berperan merekonsiliasikan permintaan pasar dan kemampuan sumber daya LPD. Sehingga strategi operasi mampu memberi dukungan dan konsisten terhadap strategi bisnis LPD (Hamel dan Prahalad, 1989, 1990; Stalk dkk, 1992; Collis dan Montgomery, 2008).

3.2 Konsep

Secara jelas dapat digambarkan hubungan antara budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana, strategi operasi dan keunggulan bersaing berkelanjutan LPD, seperti terlihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 menunjukkan hubungan pengaruh budaya organisasi terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan pada LPD di Kabupaten Buleleng, dimana strategi operasi sebagai variabel mediasi. Budaya organisasi terdiri dari tiga indikator diantaranya yaitu nila-nilai yang sudah ada berbasis parhyangan, Filosofi, tujuan dan strategi berdasarkan parhyangan, kegiatan operasi berdasarkan parhyangan, nila-nilai yang sudah ada berbasis pawongan, Filosofi, tujuan dan strategi berdasarkan pawongan, kegiatan operasi berdasarkan pawongan, nila-nilai yang sudah ada berbasis

(35)

palemahan, Filosofi, tujuan dan strategi berdasarkan palemahan, dan kegiatan operasi berdasarkan palemahan.

Gambar 3.1

Kerangka Pemikiran Budaya Organisasi berbaisis Tri Hita Karana, Strategi Operasi dan Keunggulan Bersaing Berkelanjutan

Keterangan :

BO1 : Budaya organisasi berbasis parhyangan sebagai asumsi dasar BO2 : Budaya organisasi berbasis parhyangan sebagai nilai yang dianut BO3 : Budaya organisasi berbasis parhyangan sebagai artefak

BO4 : Budaya organisasi berbasis pawongan sebagai asumsi dasar BO5 : Budaya organisasi berbasis pawongan sebagai nilai yang dianut BO6 : Budaya organisasi berbasis pawongan sebagai artefak

BO7 : Budaya organisasi berbasis palemahan sebagai asumsi dasar BO8 : Budaya organisasi berbasis palemahan sebagai nilai yang dianut BO9 : Budaya organisasi berbasis palemahan sebagai artefak

SO1 : Layout Operasi

SO2 : Orientasi PUSH/PULL proses pelayanan SO3 : Tingkat standarisasi proses

SO4 : Penawaran Layanan

Strategi Operasi SO9 1 SO8 SO7 SO6 SO5 SO4 SO3 SO2 SO1 Budaya Organisasi

BO1 BO2 BO3

Keunggulan Bersaing Berkelanjutan KBB1 KBB2 KBB3 KBB4

(36)

SO5 : Penggunaan teknologi informasi

SO6 : Hubungan kegiatan back dan front office SO7 : Spesialisasi sumber daya manusia

SO8 : Tingkat partisipasi nasabah SO9 : Desain layanan baru

KBB1 : Sumber daya yang bernilai bagi nasabah KBB2 : Sumber daya yang unik atau jarang ada KBB3 : Sumber daya yang tidak dapat ditiru pesaing KBB7 : Sumber daya tidak tergantikan

Strategi operasi terdiri dari sembilan indikator yaitu Jenis tata letak operasi, orientasi push/pull proses pelayanan, tingkat standarisasi proses, penawaran sejumlah layanan yang berbeda, penggunaan teknologi informasi, Hubungan kegiatan back dan front office, spesialisasi sumber daya manusia, tingkat partisipasi pelanggan, desain layanan baru. Keunggulan bersaing berkelanjutan dibentuk dari empat indikator yaitu sumber daya yang bernilai bagi konsumen, sumber daya tidak dapat ditiru, sumber daya jarang ada, sumber daya tidak tergantikan.

3.3 Hipotesis

Berdasarkan kajian teoritis, penelitian sebelumnya dan tujuan penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana berpengaruh terhadap strategi operasi LPD di Kabupaten Buleleng.

(37)

2. Budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana berpengaruh terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan di Kabupaten Buleleng.

3. Strategi operasi berpengaruh terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan di Kabupaten Buleleng

(38)

38

Penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan model hubungan linier prediktif antara variabel budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana, strategi operasi dan keunggulan bersaing berkelanjutan LPD Kabupaten Buleleng. Dalam penelitian ini juga berusaha menggambarkan mengenai variabel penelitian berdasarkan persepsi dari responden yaitu masing-masing ketua LPD di Kabupaten Buleleng. Deskripsi itu diantaranya yaitu, gambaran mengenai keunggulan bersaing berkelanjutan yang dimiliki LPD di Kabupaten Buleleng. Kedua, gambaran mengenai penerapan budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana LPD di Kabupaten Buleleng. Ketiga, deskripsi mengenai strategi operasi yang diterapkan pada LPD di Kabupaten Buleleng. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei. Penelitian survei dalam penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Objek penelitian ini adalah lembaga perkreditan desa (LPD), dengan pemilihan cakupan wilayahnya adalah LPD se-Kabupaten Buleleng. Secara keseluruhan jumlah LPD di Kabupaten Buleleng adalah

(39)

166 LPD yang tersebar di sembilan kecamatan. Berikut disajikan jumlah LPD untuk masing-masing kecamatan pada Tabel 4.1.

Tabel. 4.1

Daftar LPD di Kabupaten Buleleng

NO KECAMATAN JUMLAH LPD 1 Banjar 11 2 Sukasada 13 3 Sawan 14 4 Kubutambahan 15 5 Tejakula 13 6 Seririt 21 7 Busungbiu 9 8 Gerogak 13 9 Buleleng 17 Total 126

Sumber : Laporan Tahunan LPLPD Kabupaten Buleleng

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa Kecamatan Seririt memiliki jumlah LPD tertinggi yaitu 21 LPD dan jumlah terendah yaitu Kecamatan Busungbiu sebanyak sembilan LPD.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama tiga bulan dari bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2014.

4.3 Identifikasi Variabel

Berdasarkan pada rumusan masalah dan hipotesis penelitian secara garis besar terdapat dua konstruk yaitu, konstruk eksogen dan endogen. Konstruk eksogen dalam penelitian ini adalah budaya organisasi yang diukur

(40)

dengan tiga indikator melalui sembilan pertanyaan. Instrumen ini diadopsi dari Windia dan Dewi (2011) dan Riana (2010). Sedangkan konstruk endogen adalah strategi operasi diukur dengan sembilan indikator, diadopsi dari penelitian Aranda (2003). Keunggulan bersaing berkelanjutan diukur dengan 4 indikator, yang mana diadopsi dari konsep Barney (1991). Berikut dijabarkan secara rinci variabel, dimensi dan indikator penelitian ini pada Tabel 4.2:

Tabel 4.2

Identifikasi Variabel Penelitian

KONSTRUK VARIABEL INDIKATOR Item Pertanyaan SIMBOL

Eksogen Budaya organisasi berbasis Tri Hita

Karana

Parhyangan Nilai-nilai yang sudah ada di LPD dilandasi pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

BO1

Filosofi, tujuan dan strategi LPD dilandasi pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

BO2

Kegiatan operasi LPD didasarkan pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

BO3

Pawongan Harmonisasi hubungan antar pengurus dan karyawan dilandaskan pada nilai-nilai dan keyakinan yang sudah ada di LPD

BO4

Harmonisasi hubungan antar karyawan dan karyawan dengan pengurus melalui tuntunan strategi dan tujuan LPD

BO5

Adanya struktur organisasi yang jelas untuk mendukung kegiatan operasi LPD

BO6

Palemahan Adanya bangunan suci sebagai wujud rasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa

BO7

Strategi dan tujuan LPD diarahkan untuk melestarikan lingkungan

BO8

Dalam kegiatan operasi, LPD senantiasa memperhatikan kelestarian lingkungan setempat

BO9

Endogen Strategi operasi Layout operasi

Pelaksanaan kegiatan pelayanan telah ditetapkan sebelumnya yang mana dikerjakan secara berurutan dengan tata letak fasilitas pelayanan yang tetap.

SO1

(41)

KONSTRUK VARIABEL INDIKATOR Item Pertanyaan SIMBOL

PUSH/PULL proses pelayanan

penting daripada optimasi output (Pertumbuhan aset dan laba). Tingkat

standarisasi proses

Terdapat rancangan sistem penyampaian layanan untuk memberikan alternatif cara dalam melakukan setiap tugas.

SO3

Penawaran layanan

LPD selalu menawarkan berbagai bentuk layanan yang berbeda

SO4

Penggunaan teknologi informasi

Keputusan tentang adopsi teknologi informasi dilakukan atas dasar perbaikan tugas dan kinerja dari sudut pandang karyawan. SO5 Hubungan kegiatan back dan front office

Kegiatan front office (pelayanan bagian depan) secara fisik terpisah dan dibedakan dari kegiatan back office (pelayanan bagian dalam).

SO6

Spesialisasi sumber daya manusia

Karyawan mampu melakukan berbagai jenis tugas yang berbeda.

SO7

Tingkat partisipasi pelanggan

Pelanggan melakukan sendiri beberapa bagian dari kegiatan pelayanan dalam rangka untuk mengurangi biaya.

SO8

Desain layanan baru

Prosedur baru untuk pelayanan terus dikembangkan. SO9 Keunggulan bersaing berkelanjutan Sumber daya yang bernilai bagi nasabah

Penerapan budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan strategi operasi LPD mampu menciptakan nilai tambah kepada nasabah dari layanan yang diberikan.

KBB1

Sumber daya yang unik atau jarang ada

Budaya organisasi berbasis Tri

Hita Karana dan strategi operasi

LPD merupakan sumber daya yang unik yang tidak ditemui pada lembaga keuangan lainya.

KBB2

Sumber daya yang tidak dapat ditiru pesaing

Hubungan Budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana dan strategi operasi LPD sebagai manifestasinya, adalah sumber daya yang tidak dapat ditiru lembaga keuangan lainya.

KBB3

Sumber daya tidak

tergantikan

Ketiga keunggulan tersebut diatas, dimiliki budaya organisasi berbasis Tri Hita

Karana dan strategi operasi

sebagai sumber daya LPD yang tidak tergantikan

(42)

4.4 Definisi Operasional

Berdasarkan pada telaah pustaka dan kajian teoritis terhadap konstruk yang dibangun, maka berikut dapat didefinisikan secara operasional variabel penelitian sebagai berikut.

1. Budaya Organisasi berbasis Tri Hita Karana

Budaya organisasi adalah asumsi dasar, perilaku, sikap bersama dan nilai-nilai yang berlandasarkan filosofi Tri Hita Karana, yang dianut dan dijadikan oleh LPD sebagai acuan anggota organisasi untuk memahami lingkungan lembaga perkreditan desa Kabupaten Buleleng dalam pencapaian tujuannya.

2. Strategi Operasi

Pengembangan sistem penyampaian pelayanan LPD dengan memanfaatkan sumber daya LPD untuk menyesuaikan antara harapan dengan persepsi nasabah.

3. Keunggulan bersaing berkelanjutan

Keunggulan yang dicapai secara terus menerus dengan mengimplementasikan strategi pencapaian nilai-nilai unik yang tidak sedang diimplementasikan baik oleh pesaing maupun calon pesaing karena ketidakmampuan mereka dalam meniru strategi tesebut.

4.5 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah lembaga perkreditan desa (LPD) se-Kabupaten Buleleng. Jumlah LPD di Kabupaten Buleleng adalah

(43)

sebanyak 160 LPD yang tersebar di sembilan kecamatan. Dalam peneltian ini yang menjadi populasi adalah 126 LPD yang aktif, sedangkan sisanya 40 LPD tidak disertakan. Hal ini karena 40 LPD tersebut tidak aktif yang diantaranya dalam status macet atau tidak melapor. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak lima LPD dari masing-masing kecamatan. Sehingga jumlah total LPD yang dijadikan sampel adalah 45 (empat puluh lima) LPD. Penentuan sampel menggunakan teknik simpel random sampling, dimana yang menjadi responden adalah pengurus LPD yaitu, Ketua LPD. Maka jumlah keseluruhan responden adalah 45 orang ketua LPD.

4.6 Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Data Kuantitatif

Yaitu data yang dikumpulkan dari laporan dalam bentuk angka-angka atau yang dapat dihitung seperti jumlah karyawan dan jawaban kuisioner.

b. Data Kualitatif

Yaitu data yang tidak berupa angka-angka dan tidak dapat dihitung melainkan bersifat keterangan yang diperoleh dari pimpinan maupun karyawan perusahaan seperti sejarah berdirinya perusahaan, struktur

(44)

organisasi, bidang usaha, serta penjelasan masing-masing bagian dalam organisasi, serta jawaban kuisioner dari responden.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Data Primer

Adalah data yang diperoleh berkaitan dengan penelitian yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri seperti jawaban kuisioner yang diberikan kepada responden sesuai dengan variabel yang diteliti. b. Data sekunder

Adalah data yang diperoleh peneliti yang tidak dikumpulkan sendiri oleh peneliti melainkan pihak lain seperti, sejarah berdirinya perusahaan, struktur organisasi, jumlah asset, dan lain-lain.

4.7 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Teknik kuesioner yang digunakan adalah teknik kuesioner pilihan yaitu setiap pertanyaan telah tersedia pilihan jawaban yang paling tepat menurut responden dengan menggunakan skala interval Agree-Disagree Scale untuk keperluan analisis data secara kuantitatif. Skala interval ini memberikan hanya dua kategori ekstrim yang menghasilkan jawaban setuju-tidak setuju dalam berbagai rentang nilai, maka jawaban-jawaban dari responden diberikan range nilai dari 1 sampai 10 (Ferdinand, 2006).

(45)

Kuesioner ini juga dilengkapi dengan pertanyaan terbuka untuk mencari jawaban secara mendalam terhadap indikator variabel, yaitu mengenai deskripsi proses social manajemen Konstruk eksogen yang dikenal juga sebagai variabel independen atau variabel terukur. Sedangkan konstruk endogen atau variabel dependen adalah beberapa faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk.

4.8 Teknik Analisis Data

a. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis indeks dan deskripsi kualitatif jawaban responden atas variabel penelitian. Metode angka indeks digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai derajad persepsi responden atas variabel penelitian yaitu budaya organisasi berbasis Tri Hita Karana, strategi operasi dan keunggulan bersaing berkelanjutan yang dimiliki LPD di Kabupaten Buleleng (Ferdinand, 2011). Analisis indeks dilakukan dengan mencari nilai indeks yang kemudian diinterpretasikan kedalam tiga kriteria. Maka untuk perhitungan nilai indeks menggunakan rumus (Ferdinand, 2011) sebagai berikut.

Nilai Indeks = (F1x1)+(F2x2)+(F3x3)+(F4x4)+(F5x5) +(F6x6)+(F7x7)+(F8x8)+(F9x9)+(F10x10)/10 Keterangan.

F1 adalah frekuensi responden yang menjawab 1 dan seterusnya F10 untuk yang menjawab 10 dari skor yang digunakan dalam kuesioner

(46)

Penjelasan secara kualitatif yang diperoleh melalui data pertanyaan terbuka kuesioner, untuk melakukan deskripsi yang luas dan hidup. Data ini juga digunakan untuk mendeskripsikan kesimpulan atas setiap penerimaan atau penolakan hipotesis (Ferdinand, 2011).

b. Analisis SEM GeSCA

Metode analisis data menggunakan model persamaan structural (SEM) berbasis General Structured Component Analysis (GeSCA). Analisis SEM GeSCA merupakan bagian dari component based SEM dan dilengkapi dengan ukuran model fit secara keseluruhan. SEM GeSCA merupakan metode pengukuran model prediktif yaitu menguji pengaruh antara variabel eksogen terhadap variabel endogen (Ghozali, 2010). Aplikasi SEM GeSCA ini dapat diakses secara online melalui alamat www.sem-gesca.org. Keseluruhan tahapan yang dilalui pada analisis data sebagai berikut.

a. GeSCA memberikan ukuran model fit yang disebut FIT, AFIT, GFI dan SRMR. Berikut penjelasan masing ukuran overall model fit. 1) FIT, merupakan suatu ukuran yang menjelaskan variance dari data; 2) AFIT, Adjusted FIT (AFIT) yang telah memasukkan kompleksitas model derajat bebas (degree of freedom) untuk null model dan merupakan derajat bebas model yang diuji dan parameter bebas; 3) GFI, unweighted least square. GFI yang dapat diterima sebagai

nilai yang layak belum ada standarnya, tetapi banyak peneliti menganjurkan nilai diatas 90% sebagai ukuran good fit;

(47)

4) SRMR, standardized root mean square residual. Semakin kecil atau mendekati 0 (perfect fit) hasil SRMR tentu semakin baik.

b. Data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner dilakukan uji validitas dan reliabilitas, antara lain: Convergent Validity dan Composite Reliability yaitu Cronbach Alpha dan average variance extracted (AVE). serta analisis terhadap hubungan antar variabel. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel. 4.3

Ukuran Validitas dan Reabilitas

Ukuran Validitas Kriteria Nilai atau score

Convergent Validity 0,7 atau 0,5-0,6 masih diperbolehkan

Ukuran Reabilitas Kriteria Nilai atau score

Cronbach Alpha 0,7

AVE 0,5

Sumber : Ghozali, 2010

c. Koefisien jalur (path coefficients) adalah koefisien regresi yang menunjukan besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat (Ghozali, 2010). Evaluasi model struktural (inner model) melalui signifikansi koefisien jalur pengaruh antar variabel laten. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan parameter uji critical ratio (CR) yang sama dengan z-statistik atau t-statistik, yang menguji signifikansi koefisien jalur. Penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau α=0,05 dengan nilai t tabel sebesar 1,65 untuk

(48)

satu sisi (one taild). Tingkat kepercayaan 90% dengan nilai t-tabel 1,28. Uji signifikansi selanjutnya digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan Prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan kucing lokal di denpasar sebesar 31,3 %, pada kucing

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnnya dan dari penelitian yang telah dilakukan mengenai peranan BMT dalam pemberdayaan ekonomi bagi perempuan

Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan, panjang serat merupakan sifat yang sangat menentukan kekuatan kertas dan sangat mempengaruhi kekuatan sobek serta

Salah satunya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan, juga harus menerapkan UU tersebut dengan kode etik yang dimilikinya.Dalam penelitian ini membahas tentang strategi

Wiraswasta Gemilang Indonesia Halaman 1 / 15 Tanggal Terbit: 01/2017 Rev:0 LEMBAR DATA KESELAMATAN.. 1.1

santun dapat menjelaskan tentang konsep besaran dan satuan. 3) Hasil unjuk kerja tugas individu atau tugas kelompok. 3 & 4 1) Menunjukkan perilaku ilmiah: rasa ingin

Berikut adalah Jenis Dials dan Hands yang dapat dijadikan referensi untuk diimplementasikan dalam Jam Besar Luar Ruangan.. Solusi Jam Besar –

Profil TDC (Toys Design Center) 2 Dalam perkembangannya mainan yang kita produksi tidak hanya mainan mekanikal edukatif saja tetapi juga mainan mekanikal yang menarik sebagai