• Tidak ada hasil yang ditemukan

dapat memberi informasi yang nyata kepada para pelaku kebijakan yang berwenang dalam upaya perlindungan kesehatan dan gizi anak sekolah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dapat memberi informasi yang nyata kepada para pelaku kebijakan yang berwenang dalam upaya perlindungan kesehatan dan gizi anak sekolah."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

dapat memberi informasi yang nyata kepada para pelaku kebijakan yang berwenang dalam upaya perlindungan kesehatan dan gizi anak sekolah.

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Usia Sekolah

Sekolah merupakan institusi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolahan sekolah yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Sedangkan Departemen Pendidikan hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Lingkungan sekolah memiliki peranan penting dalam pendidikan. Lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk perilaku anak sekolah (Notoatmodjo 2003).

Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12 tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak.

Walaupun pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hubungan dengan orang lain (Harris & Liebert 1991).

Anak usia sekolah merupakan anak yang sudah memasuki sekolah dasar hingga dua belas tahun. Masa ini di tandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Sedangkan para ahli psikologi menyebut masa ini dengan sebutan usia berkelompok, usia penyesuain diri, usia kreaktif dan usia bermain (Hurlock 1980).

Hasil analisis data Riskesdas (2007) menunjukkan secara nasional masih rendahnya kualitas kesehatan dan perilaku tidak sehat pada anak sekolah dasar (6-14 tahun). Rata-rata status gizi kurus (IMT< 2SD) pada anak usia sekolah (6-14 tahun) adalah 13,3% laki-laki dan 10,9% perempuan. Prevalensi anemia untuk anak-anak (5-14 tahun) sebesar 9,4%, selain itu anak sekolah beresiko terhadap penyakit tidak menular, yaitu ditunjukkan kurangnya konsumsi sayur dan buah 93,6% dan sudah biasa merokok 2.0% (Depkes 2008).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja PJAS diluar sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan pangan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan

(2)

makan siang di rumah serta cemilan dan minuman yang sehat, aman dan bergizi. Keberadaan kantin sekolah memberikan peranan penting karena mampu menyediakan ± ¼ konsumsi makanan keluarga karena keberadan peserta didik di sekolah yang cukup lama. Kantin sekolah sehat yang memenuhi standar kesehatan telah ditetapkan sebagai salah satu indikator sekolah sehat (Nuraida, et al. 2009).

Pangan Jajanan

Pangan jajanan adalah makanan/minuman yang dipersiapkan dengan teknologi yang sangat sederhana, dimana seringkali faktor hiegine atau kebersihan kurang diperhatikan, baik kebersihan bahan yang digunakan, peralatan yang dipakai maupun kebersihan lingkungannya. Selain itu, karena tingkat pendidikan pedagang yang relatif rendah dan ketidaktahuannya, mengakibatkan mereka seringkali menggunakan bahan-bahan tambahan makanan seperti pemanis, pewarna, pengawet, dan lain-lain, yang sebenarnya

tidak diijinkan untuk bahan-bahan tersebut dapat lebih murah (Fardiaz & Fardiaz 1994). Pangan jajanan menurut FAO didefinisikan sebagai

makanan dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsng dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (Februhartanty & Iswarawanti, 2004).

Jenis Pangan Jajanan

Pangan jajanan menurut Nuraida et al (2009) dapat dikelompokkan sebagai makanan sepinggan, makanan camilan, minuman dan buah

Makanan sepinggan merupakan kelompok makanan utama yang dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di kantin. Contoh makanan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain.

Makanan adalah makanan yang dikonsumsi di antara dua waktu makan. Makanan camilan terdiri dari:

1. Makanan camilan basah seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles dan lain-lain. Makanan camilan dalam kemasan seperti teh, minuman sari buah, minuman berkarbonasi dan lain-lain serta minuman yang disiapkan di rumah terlebih dahulu.

2. Makanan camilan kering, seperti produk ekstruksi (brondong), keripik, biskuit, kue kering dan lain-lain.

(3)

Kelompok minuman yang biasa dijual di kantin sekolah melliputi: 1. Air putih, baik dalam kemasan atau disiapkan sendiri

2. Minuman ringan meliputi minuman dalam kemasan seperti teh, minuman sari buah dan lain-lain.

3. minuman campur seperti es buah, es campur, es cendol, dan lain-lain. Buah merupakan salah satu jenis makanan sumber vitamin dan mineral yang penting untuk anak sekolah. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi setiap hari dalam bentuk:

1. Utuh, misalnya pisang, jambu, jeruk, dan lain-lain.

2. Kupas atau potong misalnya pepaya, nanas, mangga, dan lain-lain. Pangan jajanan yang paling banyak dijual di lingkungan sekolah adalah sekelompok makanan ringan (54.1%), dibanding dua kelompok minuman (26.0%) dan makanan utama (2.0%). Dari keseluruhan kelompok pangan jajanan dijual, lebih dari separuh (55.8%) PJAS dalam bentuk pangan siap saji, selanjutnya 36.0%. (Andarwulan et al, 2009).

Winarno (1991) menyatakan jenis pangan jajanan yang dijual oleh pedagang kecil lebih besar peluangnya terhadap kontaminan dan bahaya kesehatan dbanding yang berasal dari pedagang besar dengan peralatan yang memadai. Anak-anak sekolah umumnya setiap hari menghabiskan ¼ waktunya di sekolah. Sebuah penelitian di Jakarta menemukan bahwa uang jajan anak sekolah rata-rata sekarang berkisar antara Rp 2000 – Rp 4000 per hari. Bahkan ada yang mencapai Rp.7000. Lebih jauh lagi, hanya sekitar 5% anak-anak tersebut membawa bekal dari rumah. Karenanya mereka lebih terpapar pada pangan jajanan kaki lima dan mempunyai kemampuan untuk membeli makanan tersebut. Menariknya, pangan jajanan kaki lima menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29% dan zat besi 52%. Karena itu dapat dipahami peran penting pangan jajanan kaki lima pada pertumbuhan dan prestasi belajar anak sekolah. Namun demikian, keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih dipertanyakan (Februhartanty & Iswarawanti, 2004).

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam menjaga kesehatan tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta kecerdasan masyarakat. Oleh karena itu, pangan yang dikonsumsi harus dapat memenuhi kebutuhan manusia baik dari segi jumlah,

(4)

jenis maupun mutu, sehingga tidak akan menimbulkan penyakit bagi yang mengkonsumsinya.

Keamanan pangan didefiniskan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang- undang RI no.7 tentang Pangan Tahun 1996). Makanan yang sehat, aman dan bergizi adalah makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan seorang anak untuk hidup sehat dan produktif. Makanan tersebut harus bersih, tidak kadarluasa, dan tidak mengandung bahan kimia maupun mikroba berbahaya bagi kesehatan. Gizi yang baik dan cukup akan membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, dan akan meningkatkan kemampuan kecerdasan seorang anak. Sebaliknya, jika anak kurang gizi maka pertumbuhan dan perkembangan akan terhambat.

Program pembinaan kesehatan dan keamanan pangan jajanan anak sekolah selama ini bertumpu pada kegiatan usaha kesehatan sekolah (UKS). Kegiatan yang pernah dilakukan adalah pengembangan model pendidikan gizi dan kesehatan yang terintegrasi dengan kurikulum oleh Syarief dkk (1997). Namun pengembangan model tersebut belum ditindaklanjuti dengan strategi implementasi dan penyediaan pendukungnya di sekolah, seperti belum dilakukan uji-coba teknik pembelajaran, pelatihan guru, penyediaan modul pelajaran, model dan peraga untuk pengajaran. Karena implementasi program gizi dan kesehatan tersebut belum optimal, sehingga status gizi, kesehatan serta perilaku konsumsi jajanan pada anak sekolah masih sangat memprihatinkan seperti yang ditunjukkan dari publikasi Riskesdas di atas (Depkes 2008). Bahaya keamanan pangan terdiri dari :

1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti Salmonella, E. Coli, virus, parasit dan kapang penghsil mikotoksin.

2. Bahaya Kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logamdan polutan lingkungan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/ toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya.

3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka misalnya pecahan gelas, kawat stepler, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.

(5)

Badan POM RI mengidentifikasi beberapa faktor yang diduga turut mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan PJAS antara lain: pada saat ini program nasional pengawasan jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas (kantin sekolah tidak memadai, fasilitas sekeliling sekolah tidak memadai, sanitasi), dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komonikasi risiko, anak sekolah jajan sembarangan, orang tua tidak menyediakan bekal, pedagang menjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan PJAS tidak aman) (Andarwulan, et al. 2009).

Masalah keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks yang merupakan dampak dari hasil interaksi mikrobiologik, toksisitas kimiawi, dan status gizi yang berkaitan satu sama lain. Ditinjau dari mata rantai timbulnya masalah keamanan pangan, pada dasarnya masalah keamanan pangan dapat timbul di: (1) tingkat produksi, (2) tingkat pengolahan, dan (3) tingkat distribusi termasuk penyajian untuk konsumsi (Wirakartakusumah, et al. 1994).

Bahan Tambahan Pangan

Salah satu masalah pangan yang masih memerlukan pemecahan adalah penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) untuk berbagai keperluan baik industri pengelolahan pangan, maupun dalam pembuatan berbagai pangan yang dihasilkan industri kecil dan rumah tangga. Menurut peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998 tentang bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Cahyadi 2008).

Bahan tambahan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut (Badan POM, 2003). Dari hasil pengawasan pangan jajanan anak sekolah tahun 2005 yang dilakukan oleh 18 Balai Besar/Balai POM, yaitu Balai Besar POM Mataram, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Jayapura, Makassar, Manado, Surabaya, Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Bandar Lampung, Semarang, Palu, Palangkaraya, Kendari, Kupang, dan Bengkulu, dengan cakupan pengambilan sampel pangan jajanan anak sekolah seluruhnya 861 sampel dimana di setiap propinsi jumlahnya bervariasi, antara 9 sampel (Kupang) sampai 144 sampel (Kendari), diperoleh data sebagai berikut : dari 861 sampel yang diperiksa/diuji, yang memenuhi syarat sebanyak 517 sampel (60.04%), dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 344 sampel (39.96%), terdiri dari Benzoat 10 sampel, Siklamat 93 sampel , Sakarin 29 sampel,

(6)

Rhodamin B 85 sampel, Amaranth 3 sampel, Methanyl yellow 2 sampel , Boraks 34 sampel , Formalin 7 sampel , ALT 60 sampel, MPN Coliform 48 sampel, Kapang/kamir 32 sampel, E.coli 32 sampel, Salmonella thypii 12 sampel, Staphylococcus aureus 12 sampel, dan Vibrio cholerae 2 sampel (Februhartanty & Iswarawanti, 2004).

BTP dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing dan mual, karenanya Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM

dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes No. 722/Menkes/Per/IX/1998 (gizi net, 2004).

Penggolongan bahan tambahan berdasarkan pengunaanya:

1. Bahan tambahan untuk makanan, adalah bahan tambahan yang dapat digunakan dalam pengelolahan makanan sampai jumlah tertentu tanpa menimbulkan akibat yang merugikan orang yang mengkonsumsiya.

2. Bahan tambahan bukan untuk makanan

Bahan tambahan yang dibuat dan digunakan untuk keperluan industri, dan bukan untuk makanan.

Fungsi bahan tambahan pangan

 Memperoleh bentuk, rupa, konsistensi, dan rasa yang menarik.

 Tidak untuk tujuan menutupi mutu yang rendah atau untuk pemalsuan/ penipuan.

Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam pangan jajanan: 1. Pewarna

Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak bewarna agar kelihatan lebih menarik.

2. Pemanis

Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak

(7)

mempunyai nilai gizi (winarno, 1994). Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan pada penderita diabetes melitus atau makanan diit agar badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami.

3. Pengawet

Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan menghambat fermentasi, pengasam atau pengurai lain terhadap makanan yang disebabkan oleh organisme (Winarno, 1994), umumnya dikenal dipasaran dengan sebutan anti basi.

4. Penyedap rasa Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu (1) Penyedap alami terdiri; a). dari bumbu alami, herba, dan daun, b). Minyak esensial dan turunannya, c). Oleoresin, d). Isolat penyedap, e). Penyedap dari sari buah, f). Ekstra tanaman atau hewan. (2) Penyedap sintesis

5. Bahan Pengemas, Selain bahan-bahan tambahan makanan yang telah disebutkan, bahan pengemas juga dapat mencemari makanan, sebab jenis pengemas umumnya digunakan pada makanan jajanan adalah plastik. Selain kemasan plastik, kemasan kertas juga dapat mencemari makanan (Fardiaz & Fardiaz, 1994).

Akses terhadap Informasi

Informasi dapat diakses oleh siapapun melalui media massa atau lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lainnya. Media massa yang dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang antara lain televisi, radio, majalah dan koran, buku, dan sebagainya.

Menurut Hurluck (1999) pada masa dewasa awal, seseorang cenderung menyukai membaca surat kabar ataupun majalah. Selain itu, radio merupakan media yang mereka senangi dalam rangka mencari hiburan maupun mendengarkan berita.

Media massa dapat memicu respon yang berdampak pada tindakan nyata seseorang. Namun pengaruh dari media massa sulit diidentifikasi karena banyak faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kehidupan dan tidak

(8)

dapat dipisahkan. Media massa saja tidak dapat membuat perubahan perilaku yang bertahan dalam jangka panjang pada seseorang (Ewles & Simnet 1994).

Diskusi tatap muka penting dilakukan karena lebih efektif untuk membuat perubahan perilaku pada seseorang. Diskusi tatap muka yag dapat dilakukan adalah konsultasi atau diskusi dengan tenaga medis dan paramedis, kader, dan lainnya (Ewles & Simnet 1994).

Perilaku Gizi dan Keamanan Pangan

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi dari seseorang, baik yang berupa tanggapan, atau gerakan fisik, maupun tanggapan verbal berdasarkan acuan-acuan subyektifnya (Taryoto, 1991). Menurut Skiner (1983) diacu dalam (Notoatmodjo 2003) perilaku merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Namun, respon yang diberikan sangat tergantung dengan karakteristik individu masing-masing. Oleh karena itu, walaupun stimulus yang diberikan sama tetapi respon yang timbul pada setiap orang berbeda. Faktor yang membedakannya adalah respon yang timbul pada setiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon itu disebut determinan perilaku, diantaranya:

1. Determinan atau faktor internal meliputi karakteristik individu yang bersifat genetik, seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor esternal meliputi lingkungan baik fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya (Notoatmodjo 2003).

Perilaku terbagi dalam 3 dominan yaitu kognitif, efektif , dan psikomotor. Ketiga domain ini dapat dinilai dari pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan peraktek (practice) (Notoatmodjo 2003). Oleh karena itu, perilaku meliputi pengetahuan, sikap, dan praktek seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan. Perilaku penjaja adalah seluruh kegiatan atau aktivitas penjaja yang terlihat maupun tidak terlihat dalam penanganan pangan jajanan.

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau

(9)

kurang informasi tentang gizi yang memadai (Gizi dan kesehatan masyarakat, 2008).

Definisi pengetahuan secara luas yaitu hasil penginderaan seseorang melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba terhadap suatu objek tertentu. Selain itu pengetahuan, dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama dibanding tidak disadari dengan pengetahuan (Notoatmodjo 2003).

Terbentuknya perilaku (tindakan) seseorang dimulai dari arah kognitif dalam arti subjek mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut selanjutnya menimbulkan respon dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahuinya. Akhirnya rangsangan menimbulkan respon lebih jauh berupa tindakan atau praktek sehubungan dengan stimulus tersebut (Notoatmodjo, 1993).

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan diantaranya, yaitu:

1. Tahu (know)

Tingkatan tahu (know) ini merupakan tingkatan dari pengetahuan yang terendah. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang telah dipelajari termasuk ke dalam tingkat ini. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami merupakan kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu objek serta dapat menginterpensikannya dengan benar. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menjelaskan, menyebutkan contoh, meramalkan, menyimpulkan, dan sebagainya.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi merupakan kemampuan seseorang untuk menerapkan materi yang pernah dipelajarinya, seperti penggunaan rumus, metode, prinsip, dan sebagainya.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan suatu materi ke dalam komponen-komponen secara berkaitan dan terstruktur. Tingkat

(10)

pengetahuan ini dapat diukur melalui seperti menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis mengarah kepada kemampuan seseorang dalam membentuk formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan seseorang melakukan penilaian terhadap suatu objek yang didasari dengan kriteria-kriteria tertentu.

Hasil penelitian Fatima dan Yuliati tahun 2002 tentang pengetahuan, sikap dan tindakan penjamah makanan terhadap aspek keamanan pangan di usaha katering menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan keamanan pangan penjamah umumnya (88.2%) berada dalam kategori baik. Tingkat pengetahuan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang dalam memilih makanan yang akan mempengaruhi status gizinya.

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan perlu dimiliki oleh semua orang. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peran makanan dan zat gizi, serta sumber-sumber zat gizi pada makanan (Notoatmodjo 1993).

Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, sebab lain yang penting dari gangguan gizi karena kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo,1996).

Sedangkan pengetahuan keamanan pangan merupakan pengetahuan tentang jenis-jenis BTP, penggunaanya dan bahaya yang akan ditimbulkan jika digunakan dalam jumlah yang tidak dianjurkan serta pengetahuan tentang jenis-jenis BTP yang tidak dijinkan digunakan dalam pengelolahan makanan/ minuman.

Hasil surveilan Seafast Center-IPB, Sucofindo dan Badan POM RI tahun 2008 dengan sampel panjaja PJAS di SD menunjukkan bahwa pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS di daerah kabupaten tidak jauh berbeda dengan penjaja PJAS di daerah kota dan pengetahuan gizi dan keamanan pangan penaja PJAS di luar Jawa lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan

(11)

penjaja PJAS di Jawa. Pengetahuan gizi dapat diukur dengan cara wawancara atau angket yang mencakup materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo 1993).

Sikap Gizi dan Keamanan Pangan

Sikap adalah perasaan, keyakinan, dan kecendrungan untuk bertindak/ berperilaku terhadap orang lain, kelompok lain, suatu pemikiran, ataupun suatu objek tertentu. Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sikap sangat menentukan bagaimana perilaku (behavior) manusia terhadap sesamanya dalam lingkungan kehidupan manusia. Sikap juga sangat mempengaruhi tanggapan manusia terhadap masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi, baik yang berhubungan dengan intervensi pemerintah, maupun yang berkaitan dengan tata kehidupan manusia di dalam lingkungan tempat tinggalnya (Taryoto, 1991).

Sikap gizi merupakan perasaan, keyakinan, dan kecendrungan untuk bertindak dalam pengolahan pangan jajanan yang memperhatikan kandungan gizi, serta keamananan pangan agar menghasilkan pangan jajanan yang aman.

Sikap seseorang sangat menentukan bagaimana tindakan orang tersebut. Terdapat suatu spekulasi bahwa sikap seseorang terhadap suatu hal dapat diketahui, maka dapat diduga bentuk tindakan apa yang akan dilakukan oleh seseorang itu. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa ternyata tindakan yang dilaksanakan tidak sejalan dengan sikap yang telah diambilnya (Taryoto, 1991). Terdapat tiga jenis ketidaksesuaian antara sikap seseorang dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya yaitu: (1) ketidaksesuaian antara sikap

seseorang dengan informasi mengenai kenyataan yang terjadi, (2) ketidaksesuaian antara sikap seseorang dengan sikap panutannya, dan

(3) ketidaksesuaiannya antara sikap seseorang dengan tindakan seseorang itu sendiri ( Taryoto, 1991).

Faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku adalah kebiasaan (habits), norma sosial (social norms), dan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan diambil. Kebiasaan menunjuk pada tindakan yang secara otomatis dilakukan seseorang pada suatu keadaan tertentu, tanpa atau dengan dasar pemikiran yang sangat terbatas. Norma sosial menunjuk pada adanya harapan-harapan mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, yang secara umum maupun secara khusus ada pada kelompok dimana seseorang itu berada. Apabila norma sosial lebih kuat pengaruhnya,

(12)

maka individu akan bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh norma sosial daripada menurut pada kehendak sikapnya. Sedangkan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan menunjuk pada adanya sanksi atau penghargaan atau suatu perilaku yang dilakukan (Taryoto, 1991).

Praktek Gizi dan Keamanan Pangan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior)

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata. Praktek tejadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya mengadaakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang sudah diketahuinya (Notoatmodjo 2003).

Hasil monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) nasional tahun 2008 diantara sekolah yang disurvei sebagian besar (>70.0%) panjaja PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang baik, dan hanya sebagian kecil (<35%) penjaja PJAS yang mengaku menambahkan BTP kedalam produk minuman yang dijual. Sementara itu, jumlah penjaja PJAS di SD swasta yang mengaku menambahkan BTP pada produk minuman lebih banyak dibandingkan panjaja PJAS di SD Negri (Andarwulan, et al, 2009). Hasil penelitian Fatima, Laksmi dan Yuliati tahun 2002 tentang pengetahuan, sikap dan tindakan penjamah makanan terhadap aspek keamanan pangan di usaha katering menunjukan bahwa sikap keamanan pangan penjamah umumnya (71.2%) dalam kategori baik dan untuk tindakan keamanan pangan penjamah, sebagian besar penjamah (63.2%) berada dalam kategori sedang.

Praktek penjaja dalam penggunaan air cucian yang berulangkali, penggunaan peralatan yang kurang bersih, kontaminasi, penggunaan bahan tambahan non pangan, bahkan penggunaan air mentah untuk komponen makanan siap makan merupakan hal yang biasa bagi sebagian besar penjual makanan jajanan (Fardiaz & Fardiaz, 1994).

Referensi

Dokumen terkait

Data lain juga menunjukkan, responden yang mengikuti FKK memiliki kesadaran lebih tinggi akan pentingnya baik evange- lisasi ke dalam maupun keluar (20%) dibandingkan dengan

Ibu di posyandu “Melati” juga sudah mengetahui porsi makan sesuai dengan kriteria gizi seimbang yang terdiri dari makanan pokok, lauk, sayur, buah, dan susu; menerapkan pola

P301 + P312 - JIKA TERTELAN: Hubungi PUSAT INFORMASI RACUN atau dokter jika merasa tidak enak badan P312 - Hubungi PUSAT INFORMASI RACUN atau dokter jika merasa tidak enak badan..

Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mampu membuat karya tulis ilmiah secara komprehensif. Ruang lingkup mata kuliah

Efek yang ditimbulkan akibat tidak sarapan tersebut sering kali tidak muncul segera setelah konsumsi. Efek tersebut berakumulasi di dalam tubuh anak, yang baru

Beberapa modal yang digunakan sebagai sumber kekuatan oleh masyarakat korban lumpur lapindo antara lain sebagai berikut, pertama orientasi modal sosial, yaitu kondisi

Soekamto (Abdullah, 2006:182) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial. Menurutnya perubahan sosial antara lain disebabkan oleh; 1)

gratis setiap 6 bulan sekali. Namun BARC belum mempunyai event sosial untuk pemeliharaan anjing dengan baik. Berangkat dari permasalahan diatas perlu dilakukan sebuah usaha