• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Arista Mega Utami, 2016

Realisasi Hedging Tersangka Tindak Pidana Korupsi dalam Penyiaran Berita di Media Online

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang merupakan pendahuluan dari skripsi. Adapun paparan yang dimaksud adalah (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah penelitian, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) struktur organisasi skripsi. Kelima hal tersebut dipaparkan secara berurutan di bawah ini.

A. Latar Belakang Penelitian

Korupsi adalah tindak kejahatan ekonomi yang berdampak negatif terhadap berbagai aspek kehidupan, seperti melemahkan sendi-sendi kebangsaan, menghancurkan pilar-pilar hukum, etika, dan norma sosial serta merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) (Pradiptyo, 2015, hlm. 5). Dalam kata pengantar UNCAC, Kofi A. Annan, mantan Sekjen PBB, menggambarkan kronisnya dampak korupsi terhadap sendi-sendi berbangsa dan bernegara dengan terjemahan bebas sebagai berikut.

Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi kriminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang (PBB, 2004).

Begitu besar biaya sosial yang ditimbulkan oleh korupsi karena korupsi melemahkan sendi-sendi negara, pemerintahan, dan juga kemasyararakatan. Biaya sosial korupsi tersebut tidak saja membebani generasi saat ini, tetapi juga akan menjadi beban bagi beberapa generasi ke depan. Korupsi menjadi faktor penghalang masyarakat di suatu negara untuk mencapai tujuan nasional mereka, dan hal ini tidak terkecuali juga berlaku bagi masyarakat Indonesia. Kiranya, jangan pernah bermimpi mencapai tujuan nasional, seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat, jika korupsi masih marak di negeri ini. Bagi para pemimpin negara, jangan pernah berharap bahwa misi dan visi yang mereka usung saat Pemilu akan tercapai jika korupsi masih jamak untuk dilakukan. Begitu besarnya biaya sosial korupsi, sehingga tidak mengherankan

(2)

jika korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berdampak simultan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia, penanganan korupsi tidak hanya dilakukan oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan, akan tetapi juga dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberikan amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger

mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya

pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Adapun tugas KPK adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Selain menjadi pesakitan atas tindakan yang telah dilakukan, seseorang atau sekelompok orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK juga akan menjadi buruan media atau media darling

.

Istilah

media darling merujuk pada seseorang yang mendapatkan perhatian lebih dari

media karena tokoh atau tindakan yang dilakukan oleh tokoh tersebut menarik, menguntungkan, atau bahkan merugikan bagi masyarakat.

Tindak pidana korupsi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pemberitaan berbagai media. Tidak jarang pula, korupsi selalu menjadi berita utama. Media mempunyai dalih kuat untuk memberitakan korupsi karena objek utamanya merupakan tokoh penting, seperti tokoh politik, pejabat negara, baik pejabat di lingkungan pemerintahan pusat, maupun pemerintahan daerah. Berkaitan dengan pemberitaan media mengenai tindak pidana korupsi, salah satu aspek dari syarat

(3)

berita berupa prominence. Oleh sebab itu, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di Indonesia selalu menjadi daya tarik utama bagi media, terlebih jika orang yang melakukan tindak pidana korupsi merupakan tokoh yang memiliki jabatan dan kekuasaan serta pengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia.

Perburuan media terhadap sumber berita yang dalam hal ini tersangka tindak pidana korupsi menjadi sangat penting untuk dirasakan guna memenuhi keingintahuan masyarakat. Selain itu, perburuan media merupakan ancaman terhadap kutub wajah bagi tersangka tindak pidana korupsi. Tersangka tindak pidana korupsi akan merasa dirugikan oleh berbagai pemberitaan media yang akan memberikan label negatif untuk dirinya, sehingga tidak jarang tersangka tindak pidana korupsi merealisasikan hedging yang diwujudkan dalam penggunaan bahasa (tindak verbal) berupa penyangkalan terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh reporter berita dari berbagai media.

Weinreich (1966, hlm. 163) adalah orang pertama yang menulis mengenai

hedging dalam literatur penelitian linguistik ketika dia berbicara tentang

“metalinguistic operators”. Dalam pandangannya, hedging didefinisikan sebagai berikut.

For every language “metalinguistic operators” such as (in) English true, real, so-called, strictly speaking, and the most power powerful extrapolator of all, like, function as instruction for the loose or strict interpretation of designate.

Lakof (1972) merupakan orang pertama yang memiliki pengaruh besar dalam memopulerkan konsep hedging melalui tulisan-tulisannya. Lakof melanjutkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Zadeh (1965) dan Rosch (1973). Sebelumnya, Zadeh (1965) pernah melakukan penelitian mengenai

hedging dengan menentukan hedging sebagai ungkapan samar.

Menurut Lakof (1972, hlm. 195), kata-kata seperti rather, sort of membuat suatu kalimat menjadi samar. Lakof juga berpendapat bahwa hedging melemahkan partisipan dalam tuturan, terutama dalam tindak tutur ekspresif.

Dalam penelitian ini, realisasi hedging tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online cenderung digunakan untuk menyamarkan maksud tuturan, mengurangi penekanan, dan memberikan penekanan serta

(4)

menyiratkan makna dari tuturan yang disampaikan mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Selain itu, realisasi hedging merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh tersangka tindak pidana korupsi untuk menyelamatkan wajah yang diwujudkan dalam penggunaan bahasa (tindak verbal). Hedging juga dapat mengindikasikan sebuah upaya bagi tersangka tindak pidana korupsi untuk melindungi kutub wajah negatif dan positif dari kemungkinan dipermalukan dengan berbagai pertanyaan yang diajukan oleh reporter berita mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Brown dan Levinson (dalam Nadar, 2009, hlm. 32) mendefinisikan face (muka) sebagai berikut.

Muka, citra diri yang bersifat umum yang ingin dimiliki oleh setiap warga masyarakat, meliputi dua aspek yang saling berkaitan, (a) muka negatif, yang merupakan keinginan setiap orang untuk wilayah, hak seseorang, hak untuk bebas dari gangguan, yaitu kebebasan bertindak dan kebebasan dari kewajiban melakukan sesuatu, dan (b) muka positif, yakni citra diri atau kepribadian positif yang konsisten yang dimiliki oleh warga yang berinteraksi (termasuk di dalamnya keinginan agar citra positif ini diakui dan dihargai).

Dengan demkikian, ada dua tipe muka, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain, sedangkan muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain.

Teori Brown dan Levinson (1987, hlm. 59) berdasarkan pada keberadaan penutur (speakers) dan mitra tutur (addressees). Keberadaan penutur dan mitra tutur adalah penyebab Brown dan Levinson menyebut „face‟. Istilah „face‟ dapat diterjemahkan sebagai sebuah public self-image. Pada awalnya, konsep muka diperkenalkan oleh Goffman (1967) dan berasal dari istilah tradisional bahasa Inggris yang digunakan untuk memberikan contoh pada idiom „kehilangan muka‟ atau „losing face‟ (Brown dan Levinson, 1987, hlm. 61).

Kerja sama dibutuhkan dalam situasi yang berpotensi dapat membuat penutur merasa tidak nyaman. Situasi tersebut mengandung tindak tutur yang “by

their nature run contrary to the face wants of the addressee and/or of the speaker”

(5)

Threatening Acts‟ atau disingkat FTA (Brown dan Levinson, 1987, hlm. 60). Face Threatening Acts (FTA) berupa tindak tutur, seperti mengeluh, mengkritik,

menentang, dan menghina atau mungkin mengejutkan, meminta maaf, mengundang, menasihati serta memuji. Setidaknya ada dua kategori Face

Threatening Acts (FTA) berdasarkan dua kriteria, yaitu tindakan yang mengancam

muka negatif mitra tutur dan tindakan yang mengancam muka positif mitra tutur. Di Indonesia, penelitian mengenai hedging pernah dilakukan oleh Wibowo (2011), yang melakukan penelitian mengenai penggunaan hedge dalam editorial surat kabar. Hasil analisis menunjukkan bahwa hedge digunakan untuk menyamarkan jumlah; menyamarkan pelaku; menyembunyikan pelaku; menyatakan kemungkinan; mengurangi ketepatan; melibatkan pembaca; dan memberikan penekanan dan menyiratkan makna. Berdasarkan analisis bentuk kebahasaaan, hedge diwujudkan dalam kata bilangan; frasa nomina; pronomina; verba aktif; verba pasif, dan frasa verbal pasif; adjektiva dan frasa adjektival; modalitas epistemik; adverbia dan frasa adverbia; klausa; klausa keterangan syarat dan pengandaian; dan tanda petikan. Berdasarkan penggabungan antara bentuk, makna dan perspektif pihak stakeholder, tema hedge ialah strategi berlindung dan mengelakkan diri; ketidakpastian isi pesan; kode etik jurnalistik dan peraturan hukum; dan kesantunan. Secara pragmatik, hedge juga berkaitan dengan kesantunan, yaitu penyampaian pesan secara tidak langsung dan tidak memaksakan pendapat pengarang kepada pembaca.

Selain itu, penelitian terdahulu mengenai penelitian di dalam domain

hedging dan Face Threatening Acts (FTA) pernah dilakukan oleh Ginsburg, dkk.,

(2015), yang melakukan penelitian mengenai hedging untuk menyelamatkan muka dengan objek penelitian, yaitu penulisan komentar pada laporan evaluasi dalam pelatihan yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Kedokteran, Universitas Toronto. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hampir semua hedging dalam penulisan komentar pada laporan evaluasi digunakan untuk memberikan penilaian rendah. Selain itu, hedging juga sangat umum digunakan untuk memberikan penilaian tinggi dalam penulisan komentar pada laporan evaluasi.

(6)

Penemuan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ginsburg, dkk., (2015, hlm. 184) juga mendukung pendapat bahwa penulisan komentar pada laporan evaluasi merupakan sebuah tindakan yang mengancam muka atau Face

Threatening Acts (FTA), tetapi tidak hanya untuk penerima−penggunaan hedging

yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk „shield‟ menunjukkan bahwa penulis komentar pada laporan evaluasi dalam pelatihan juga berusaha untuk melindungi wajah mereka. Dalam penelitian tersebut, Ginsburg, dkk., (2015, hlm. 184) mempertimbangakan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penulis (dalam hal ini kelompok mahasiswa) menyelamatkan muka dalam menulis komentar pada laporan evaluasi. Brown dan Levinson (1987, hlm. 76) mengembangkan sebuah formula untuk menghitung kepentingan dari sebuah tindakan yang mengancam muka atau Face Threatening Acts (FTA): Weightiness = D + P + R, D adalah social distance antara penutur dan mitra tutur (sebuah hubungan simetris), P adalah sebuah pengukur dari kekuatan mitra tutur yang melebihi penutur (hubungan tidak simetris dalam Brown dan Levinson, 1987, hlm. 76), dan R adalah „rank‟ atau tingkat kerugian dari tindakan dalam sebuah konteks atau budaya tertentu. Formula tersebut menunjukkan bahwa selama pelaksana laporan evaluasi atau speaker berada di posisi tertinggi, maka kelompok mahasiswa atau hearer tidak memiliki kekuatan lebih, sehingga kepentingan dari FTA rendah. Dalam sistem laporan evaluasi, kelompok mahasiswa juga memiliki kekuatan penting karena penilaian mereka terhadap pengajar mereka akan membawa konsekuensi yang signifikan.

Penelitian terdahulu mengenai penelitian di dalam domain hedging dan

Face Threatening Acts (FTA) juga pernah dilakukan oleh Teng (2015). Dalam

penelitian tersebut, Teng (2015) menganalisis fungsi hedging dalam pidato pengukuhan Presiden Amerika pada abad ke-20 yang berkaitan dengan Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesantunan. Teng (2015, hlm. 1688) menyatakan bahwa

hedging merupakan unsur penting dari fuzziness (ungkapan samar) dan permainan

peran penting dalam komunikasi manusia. Penutur sering menggunakan hedging sebagai sebuah startegi yang efektif untuk meningkatkan perasaan dan efek komunikasi. Dalam pidato pengukuhan Presiden Amerika, penggunaan hedging memberikan banyak kehalusan, kesantunan, dan keluwesan dari ungkapan

(7)

linguistik, sehingga maksud dan tujuan dari tuturan seorang politisi dapat terpenuhi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Teng (2015, hlm. 1693) menemukan bahwa hedging adalah sebuah cara yang efektif untuk digunakan oleh Presiden dalam mewujudkan maksud dan tujuan dari tuturannya. Kata-kata dan struktur-struktur impersonal merupakan hedging yang paling sering digunakan, terutama kelompok kata kerja bantu “may” yang hampir digunakan oleh setiap presiden. Temuan lainnya dalam penelitian tersebut adalah penggunaan hedging dalam pidato pengukuhan Presiden Amerika tidak sewenang-wenang, tetapi mengikuti prinsip komunikasi tertentu, seperti Prinsip Kerja Sama, Prinsip Kesantunan, dan Teori Face Threatening Act (FTA). Setelah memperlihatkan sebuah perbedaan analisis, Teng (2015, hlm. 1693) menemukan bahwa presiden cenderung menggunakan lebih sedikit hedging dalam pidato pengukuhan. Sebagai contoh, Presiden Amerika pada abad ke-20 menggunakan hampir delapan dari sepuluh

hedging terutama dalam isu internasional.

Berdasarkan uraian penelitian terdahulu mengenai penelitian di dalam domain hedging dan Face Threatening Acts (FTA) yang pernah dilakukan sebelumnya, penulis melihat fenomena realisasi hedging yang penting dan menarik, yaitu realisasi hedging tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online. Realisasi hedging digunakan oleh penutur dan mitra tutur untuk menyamarkan tuturan dalam mempertimbangkan tingkat kesantunan dari berbagai ancaman yang dapat merugikan kutub wajah negatif dan positif.

Terkait dengan peran media dalam memotret perilaku koruptor, media memliki peran sebagai sarana bagi tersangka tindak pidana korupsi untuk mengeluarkan berbagai pernyataan dalam bentuk penyangkalan, pembelaan diri, dan pencitraan diri. Pada komunikasi normal, seseorang yang diduga bersalah dalam suatu tindak pidana akan mengeluarkan berbagai pernyataan menentang terkait dengan hal-hal yang dituduhkan dan dianggap merugikan dirinya.

Dalam pandangan penulis, persoalan-persoalan tersebut merupakan wujud persoalan derivatif yang berada dalam domain komunikasi yang dibedakan melalui pisau analisis linguistik. Dalam konteks proses wawancara dengan media saja, misalnya, sekurang-kurangnya ada tiga masalah besar yang terkait dengan

(8)

kebahasaan (linguistik) pada tuturan tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online.

Pertama, seseorang atau sekelompok orang yang telah ditetapkan sebagai

tersangka tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadi buruan wartawan atau reporter berita dari berbagai media. Maka tidak jarang, orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi akan memberikan pernyataan, baik berupa penyangkalan, maupun pembelaan diri mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Kedua, tuturan tersangka tindak pidana korupsi dalam proses wawancara

dengan reporter berita mengindikasikan adanya realisasi hedging. Dalam penelitian ini, realisasi hedging tersangka tindak pidana korupsi merupakan ungkapan samar untuk menyelamatkan wajah yang diwujudkan melalui penggunaan bahasa (tindak verbal) ketika diwawancarai oleh reporter berita.

Ketiga, tersangka tindak pidana korupsi akan mendapatkan berbagai

pertanyaan terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang diajukan oleh reporter berita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mengancam kutub wajah negatif dan positif tersangka tindak pidana korupsi sebagai pesakitan atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan, sehingga tersangka tindak pidana korupsi akan menggunakan strategi-strategi dalam tuturan untuk melindungi martabatnya dari ancaman dipermalukan dengan berbagai pertanyaan yang diajukan oleh reporter berita.

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan, persoalan kebahasaan pada tuturan tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online sangat terlihat dengan jelas. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian terkait dengan realisasi hedging tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online sebagai upaya untuk mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia melalui proses jurnalistik yang beretika. Akan tetapi, reporter berita juga diharapkan dapat menghargai asas praduga tak bersalah terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Di dalam penyiaran berita mengenai tindak pidana korupsi, media juga memberikan

(9)

pendapat mereka berkenaan dengan informasi yang disajikan. Hal demikian sering terjadi penghakiman terhadap permasalahan yang disajikan (trial by the press). Di pihak lain, disepakati bahwa seseorang hanya dapat dinyatakan bersalah setelah diperikasa dan diadili oleh hakim di pengadilan.

B. Rumusan Masalah Penelitian

1. Batasan Masalah

Cakupan masalah pada identifikasi masalah penelitian masih terlalu luas untuk diteliti dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut.

a. Penelitian ini akan ditekankan pada realisasi hedging yang dilakukan secara verbal oleh tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media

online.

b. Sumber data digali dari narasumber yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam penyiaran berita yang diunduh di media online, yaitu youtube.com.

c. Penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan jenis tuturan yang dominan sebagai hedging, fungsi hedging, dan strategi yang digunakan tersangka tindak pidana korupsi ketika melindungi martabatnya dari tindakan yang mengancam muka.

2. Pertanyaan Penelitian

Secara umum, masalah utama penelitian ini menelusuri dan memperlihatkan bukti-bukti linguistik dalam realisasi hedging tersangka tindak pidana korupsi ketika melindungi martabatnya dari tindakan yang mengancam muka dalam penyiaran berita di media online. Dalam praktik penelitian, untuk mengungkap masalah penggunaan bahasa di dalam pernyataan tersangka tindak pidana korupsi, penulis merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.

a. Bagaimana jenis tuturan tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online?

(10)

b. Bagaimana fungsi hedging tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online?

c. Bagaimana strategi yang digunakan oleh tersangka tindak pidana korupsi ketika melindungi martabatnya dari tindakan yang mengancam muka?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi realisasi hedging tersangka tindak pidana korupsi ketika melindungi martabatnya dari tindakan yang mengancam muka dalam penyiaran berita di media online. Untuk mencapai tujuan utama penelitian ini, secara operasional penelitian ini bertujuan seperti berikut. a. Mendeskripsikan dan menjelaskan jenis tuturan tersangka tindak pidana

korupsi dalam penyiaran berita di media online.

b. Mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi hedging tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online.

c. Mendeskripsikan dan menjelaskan strategi yang digunakan oleh tersangka tindak pidana korupsi ketika melindungi martabatnya dari tindakan yang mengancam muka.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis, maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut penulis paparkan sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

a. Sumbangsih bagi perkembangan kajian pragmatik terapan dalam ranah komunikasi.

b. Sumbangsih bagi bidang ilmu praktik jurnalistik dan komunikasi, khususnya yang mengkaji tindak pidana korupsi dan komunikasi tersangka tindak pidana korupsi di media.

(11)

c. Referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan mengkaji bahasa yang digunakan oleh tersangka tindak pidana korupsi di dalam konteks peristiwa tuturan yang lain.

2. Manfaat Praktis

Selain manfaat teoretis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bersifat praktis. Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Memberikan masukan bagi trisula penanggulangan korupsi di Indonesia (Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk dapat berbicara melalui perspektif pembicaraan terkait dengan tindak pidana korupsi.

b. Memberikan masukan bagi reporter berita di media televisi untuk dapat menghargai asas praduga tak bersalah terkait dengan penetapan seseorang atau sekelompok orang menjadi tersangka tindak pidana korupsi.

c. Memberikan masukan bagi masyarakat untuk dapat lebih bijak dalam menilai sebuah pemberitaan media terkait dengan tindak pidana korupsi dan tidak menerima pemberitaan tersebut secara mentah.

E. Struktur Organisasi Skripsi

Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam bentuk skripsi, sehingga tata tulisnya harus mengikuti sistematik penulisan yang standar. Adapun sistematik penulisan yang digunakan dalam laporan ini adalah sebagai berikut.

Bab Pertama memaparkan latar belakang munculnya penelitian, rumusan masalah penelitian yang terdiri dari batasan masalah penelitian dan pertanyaan-pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, baik manfaat teoretis, maupun manfaat praktis serta struktur organisasi skripsi.

Bab Kedua memaparkan tinjauan pustaka terkait dengan penelitian di dalam domain hedging dan Face Threatening Acts (FTA). Bab Kedua juga memaparkan landasan teoretis terkait dengan penggunaan bahasa, tindak tutur,

(12)

teoretis tersebut digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini yang mencakup pisau analisis untuk membedah permasalahan yang ada.

Bab Ketiga memaparkan desain penelitian, data dan sumber data, definisi operasional, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bab Keempat memaparkan deskripsi jenis tuturan tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online, fungsi hedging tersangka tindak pidana korupsi dalam penyiaran berita di media online, dan strategi yang digunakan oleh tersangka tindak pidana korupsi ketika melindungi martabatnya dari tindakan yang mengancam muka.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini selalu diadakan evaluasi tentang tatanan zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sebab dikhawatirkan kegiatan perumputan yang dilakukan masyarakat

Bila konselor kurang memiliki kesadaran mengenai beragam budaya yang ada di Indonesia, maka akan mengakibatkan suatu hambatan dalam berkomunikasi dengan konseli, hal ini

Pada umumnya manusia sekarang ini, sudah memiliki ketergantungan pada suatu sistem informasi yang sudah terintegrasi dengan baik sehingga dapat melakukan komunikasi antara

Berdasarkan hasil analisis teknologi laboratoris tembikar (fisik dan kimia), maka dapat dijelaskan tentang kualitas dari tembikar- tembikar yang ditemukan di Situs Gua

Nilai rata - rata diameter batang mangrove di kawasan pesisir Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata - rata diameter

Nadalje smo ugotovili, da tisti anketiranci, ki bolj menijo, da so policisti ustrezno preganjani in sankcionirani za koruptivna dejanja, manj menijo, da je v

bahwa untuk mendorong terpenuhinya hak-hak masyarakat yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia telah

(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing- masing dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Pengendalian