• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SEKOLAH DAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SEKOLAH DAS"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai pada priode anak adalah memiliki seperangkat nilai atau sistem etis untuk menjadi pedoman dalam bertingkah laku dalam menjalani kehidupan dimasyarakat. Selama usia anak-anak, pengusaha moral anak mulai diperhatikan secara berangsur-angsur mereka mulai menguasai dan menyakini nilai-nilai yang bersifat universal.nilai-nilai yang dimiliki sebagi seorang anak membimbing cara berinteraksi dengan orang lain,dan dalam menghadapi berbagai problematik kehidupan, sehingga memungkinkan anak menjalani kehidupan secara seimbang dan tentram. Tercapainya perkembangan moral memberi arti bagi peningkatan sosialisasi sehingga anak benar-benar siap memasuki kehidupan dewasa atau remajanya.

”Secara bertahap minat psikologi bergeser ke arah perkembangan moral – kepola yang normal untuk aspek perkembangan ini dan usia seorang anak dapat diharapkan bersikap sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat”(Elizaberh B. Hurlock, 1978: 74 ). Budaya sangat mempengaruhi perkembangan manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari terutama perkembangan moral anak yang merupakan penerus bangsa yang selanjutnya. Yang sangat menonjol sekali adalah perkembangan moral yang mana menurut Kolhberg menyatakan ”adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan” (Sunarto dan B. Agung Hartono, 2006 :176).

(2)

Dengan penjelasan dari atas maka kami memgangkat makalah dengan judul ”Perkembangan Moral pada Anak Usia Sekolah Dasar”.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian moral ?

2. Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral ?

3. Bagaimana perkembangan dan pengembangan moral anak usia sekolah dasar ?

C. Tujuan Penulisan

- Untuk mengetahui pengertian moral

- Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral

- Untuk mengetahui perkembangan dan pengembangan moral anak usia sekolah dasar

BAB II

PEMBAHASAN

(3)

Moral berasal dari bahasa Latin "mos" (jamak: mores) yang berarti kebiasaan, adat. Kata "mos" (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan arti susila. Adapun pengertian moral yang paling umum adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide yang diterima umum, yaitu berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata lain, pengertian moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Telah banyak ahli yang mencoba memberikan pengertian moral. Seperti apa pengertian moral menurut mereka?

Berikut ini beberapa Pengertian Moral Menurut para Ahli:

Pengertian Moral Menurut Chaplin (2006): Moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.

Pengertian Moral Menurut Hurlock (1990): moral adalah tata cara, kebiasaan, dan adat peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.

Pengertian Moral Menurut Wantah (2005): Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku.

Dari tiga pengertian moral di atas, dapat disimpulkan bahwa Moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.

(4)

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg.

Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.

Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:

a. Tingkat Prakonvensional

Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan.

Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan

Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.

(5)

Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.

b. Tingkat Konvensional

Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi “Anak Manis”

Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.

c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip

(6)

Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas

Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .

Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal

Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.

C. Perkembangan Dan Pengembangan Moral anak usia Sekolah Dasar

(7)

latin: mores berarti tatakrama atau kebiasaan. Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku, dimana anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakatnya, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal menyesuaikan pada harapan sosial. Perilaku tersebut tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial. Perilaku unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari kelompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada kanak. Ketika masih kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata krama dari suatu kelompok. Begitu anak memasuki usia remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya. Tingkah laku yang sesuai dengan aturan tidak hanya sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara suka rela. Hal ini terjadi pada otoritas eksternal maupun internal. Dalam perkembangan moral kelak anak-anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah. Kemudian, begitu anak bertambah besar, ia harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Jadi, menurut piaget relativitasme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang lebih sadar bahwa dalam bebarapa situasi, berbohong dibenarkan, dan oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.

(8)

tingkat moralitas konvensional atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh Kohlberg disebutkan moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubunganyang baik. Dalam tahap kedua, kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.

Jean Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan proses akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.

Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia sekolah dasar tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut:

(9)

berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5) Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu: (1) Konkrit. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Integratif; Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian.

(3) Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi.

1. Usaha Pengembangan Tingkah Laku Bermoral

(10)

rasa aman, kebutuhan akan rasa kasih sayang, dan kebutuhan akan harga diri. Bangsa kita sebenarnya telah memiliki pilar pendidikan yang sangat fundamental, yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, namun implementasinya dalam pendidikan kita masih rendah. Empat pilar pendidikan yang dijadikan fondasi pendidikan pada era informasi dan jaringan global ini dalam meraih dan merebut pasar internasional.

Keempat pilar tersebut adalah:

1.Learning to Know (belajar untuk tahu)

Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan, “mengapa’ ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap pakai. Sebab, salah satu ukuran luar yang dapat dipakai untuk melihat sejauh mana tingkat kemjuan diskursus suatu disiplin ilmu adalah dengan melihat upaya-upaya dan hasil

diskursus mengenai disiplin tersebut.

2. Learning to Do (Belajar untuk melakukan)

(11)

Dewey bahwa pembelajaran yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ; Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas. 3.Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri)

Proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik dengan sikap mandiri. Kemandirian belajar merupakan kunci terbentuknya rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk berkembang secara mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari pemahaman dan pengenalan diri secara tepat. Belajar mandiri harus didorong melalui penumbuhan motivasi diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam melatih kemandirian peserta didik, misalnya; pendekatan sinektik, problem soving, keterampilan proses, discovery, inquiry, kooperatif, dan sebagainya Pendekatan pembelajaran tersebut mengutamakan keterlibatan peserta didik secara efektif. Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada dasarnya suatu proses sosial, peserta didik dibantu dalam melakukan peran sebagai pengamat yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Meskipun guru dapat memberikan situasi masalah, namun dalam penerapannya, peserta didik mencari, menanyakan, memeriksa dan berusaha menemukan sendiri hal-hal yang dipelajari. Para peserta didik mulai berpikir berdasarkan kemampuan dan pengalamannya masing-masing secara logis. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran.

4. Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)

(12)

dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.

Untuk mewujudkan makna pendidikan dan fondasi pembelajaran yang terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku selama proses pembelajaran diperlukan proses pembelajaran yang efektif. Keefektifan proses pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai tujuan pembelajaran tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Keefektifan proses pembelajaran berkenaan dengan jalan, upaya, teknik dan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana, 1996 : 52). Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara nilai-nilai masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta didik dan secara kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus mengadakan usaha pemecahan masalah.

Salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran antara lain kemampuan guru dalam menggunakan strategi. Penerapan strategi pembelajaran dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik, situasi, fasilitas dan pembelajaran itu sendiri. Dengan menerapkan metode yang tepat, proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif sehingga hasil pembelajaran akan lebih baik dan mantap. Salah satu strategi pembelajaran yang memberikan perhatian pengembangan potensi peserta didik adalah strategi keterampilan proses (proses pemecahan masalah).

(13)

Pengembangan tingkah laku moral tidak lepas dari berbagai peran keluarga adalah sebagai berikut:

a.Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat.

Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku, yaitu agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (Pancasila) dan adat istiadat. Anak harus diperkenalkan dengan aturan-aturan berhubungan sosial yang sesuai dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu. Kalau terjadi pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam keempat sumber itu, maka anak akan mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat, karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak akan bertingkah laku yang dianggap baik oleh orang dewasa sekitarnya walaupun tidak sesuai dengan moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai kesadaran untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya. b.Memperkuat tingkah laku altruistik

(14)

c.Membangkitkan perasaan bersalah

Untuk membangkitkan perasaan bersalah jika melakukan sesuatu yang melanggar moral, orang tua dan guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan bersalah dari aspek moral dalam diri anak, seperti yang dikemukan oleh Hoffman (Dalam Elida, 2005:177) sebagai mengembangkan perasaan bersalah. Disiplin seprti ini disebut disiplin dengan teknik induksi.

3) Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan

perasaan orang lain sehingga dapat meningkatkan perasaan bersalah.

4) Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah

atau memperbaiki tingkah laku anak terhadap korban kejahatan.

5) Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku

meninjau dan menilai diri sendiri, sehingga dalam bertindak tidak

Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri. Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, sebenarnya cara mengembangkan kata hati tidak berbeda dengan pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah.

3. Guru dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar

(15)

Guru diartikan sebagai orang yang bekerja pada bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggungjawab membentuk anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Pendidik memberikan peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan pengajaran di sekolah. Banyak unsur-unsur manusiawi yang dimilikinya seperti, sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan, dan keteladanan yang diharapkan dari proses pembelajaran yang tidak dapat mungkin dicapai kecuali melalui pendidik.

Secara umum tugas pendidik adalah mendidik, yaitu membantu dalam mengupayakan perkembangan peserta didik dalam mengoptimalkan segala potensi hidupnya.

Peranan guru di sekolah yaitu dengan menanamkan hidup bersih dan teratur, menciptakan lingkungan yang menunjang, kebiasaan dan disiplin yang tinggi, memberikan tanggung jawab terhadap semua anak, membina kerjasam yang baik, tenggang rasa, peercaya diri melalui mdel-model dan lain-lain. Kepada anak diberikan fasilitas dan kesempatan yang cukup dalam memberdayakan alat-alat yang ada di sekolah, di bawah pengawasan dan bimbingan guru. Guru harus dapat membina kerjasama yang baik dengan orang tua siswa, masyarakat dan semua orang-orang yang terlibat dalam kelancaran proses pendidkan di sekolah.

Baik orang tua maupun guru dalam melayani perkembangan tersebut janganlah bersikap otoriter, karena tipe yang demikian akan menghambat tugas perkembangan anak. Setiap kegiatan anak dapat diajak untuk bekerjasama dan bermusyawarah. Dengan sikap demikian sangat menentukan keberhasilan perkembangan anak.

4. Teman Sebaya dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar Hubungan antarteman sebaya pada masa kecil itu sangat besar kontribusinya terhadap keefektifan fungsi individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, Hartup (1992) menyimpulkan bahwa kualitas hubungan anak dengan anak-anak lain merupakan prediktor terbaik bagi kemampuan adaptasinya pada masa dewasanya.

(16)

perkembangan anak. Melalui hubungan teman sebaya, anak memperoleh kesempatan untuk belajar keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya, terutama keterampilan yang dibutuhkan untuk memulai dan memelihara hubungan sosial dan untuk memecahkan konflik sosial, yang mencakup keterampilan berkomunikasi, berkompromi, dan berdiplomasi (Asher et al., 1982 - dalam Burton, 1986). Di samping mengajari anak cara bertahan hidup di kalangan sesamanya, hubungan teman sebaya memberikan kepada anak konteks untuk dapat membandingkan dirinya dengan orang lain serta memberi kesempatan untuk belajar berkelompok.

Combs dan Slaby (Budd, 1985) menemukan bahwa hubungan teman sebaya yang baik secara konsisten terkait langsung dengan dimensi keramahan, partisipasi, pengayoman (nurturance), kemurahan hati, dan responsif dalam interaksi teman sebaya. Di samping itu, anak yang banyak melibatkan dirinya dengan teman sebayanya juga dapat memperoleh kesempatan untuk membangun rasa percaya diri sosial (social self-confidence (Burton, 1986). Anak-anak ini dapat memupuk kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan interpersonalnya, sehingga tidak akan mudah merasa kecewa dengan pasang/surutnya interaksi sosial. Hal-hal tersebut berimplikasi terhadap kemampuan penyesuaian sosial dan profesionalnya di kemudian hari (Burton, 1986).

(17)

kanak-kanak (misalnya pola bahasa, isyarat altruistik, popularitas di kalangan teman sebaya, keyakinan moral) sebagian tergantung pada reaksi yang diperoleh anak dari teman-teman sebayanya. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa anak belajar dengan memperhatikan dan meniru perilaku teman-teman sebayanya. Perilaku prososial maupun agresif anak diperoleh dengan memperhatikan teman-teman sebayanya melakukan respon semacam itu, begitu juga dengan perilaku spesifik laki-laki atau perempuan, standar untuk penguatan diri (self-reinforcement) dan perilaku yang menunjukkan sifat pemberani (Bandura,dalam Nelson-Jones, 1995; Ladd & Asher, 1985).

Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:

1) Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress; 2) Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan masalah dan perolehan pengetahuan;

3) Hubungan teman sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar (misalnya keterampilan komunikasi sosial, keterampilan kerjasama dan keterampilan masuk kelompok) diperoleh atau ditingkatkan; dan

4) Hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan lainnya (misalnya hubungan dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Hubungan teman sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan anak prasekolah telah terbukti dapat memperhalus hubungan antara anak-anak itu dengan adiknya.

(18)

pengasuh, anak mengembangkan pola hubungan yang menyerupai hubungan oran tua-anak. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Schwarz dan Ispa (Ladd & Asher, 1985) yang menunjukkan bahwa bila anak dihadapkan pada situasi baru atau situasi yang mungkin membahayakan, sahabat sebayanya dapat berfungsi sebagai penghibur atau penurun ketegangan, satu fungsi yang biasanya ditunjukkan oleh orang tuanya. Sebagai sumber kognitif, hubungan teman sebaya memungkinkan anak untuk saling mengajari dalam banyak situasi, dan pada umumnya kegiatan ini efektif. Hartup (1992) mengidentifikasi empat jenis pengajaran antarteman sebaya, yaitu peer tutoring, cooperative learning, peer collaboration dan peer modeling. Peer tutoring adalah transmisi informasi secara didaktik dari satu anak ke anak lain, biasanya dari “ahli” kepada “pemula”. Cooperative learning adalah cara belajar yang menuntut anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan masalah dan berbagi imbalannya. Peer collaboration terjadi bila semua anggota kelompok belajar itu adalah pemula yang bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Peer modeling adalah transmisi informasi melalui peniruan antarteman sebaya.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

(19)

pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.

Tahap-tahap perkembangannya yaitu: 1. Tingkat prakonvensional

2. Tingkat konvensional 3. Tingkat pascakonvensional

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu: (1) Konkrit

(2) Integratif (3) Hierarkis

Dalam meningkatkan perkembangan dan pengembangan moral diperlukan usaha-usaha seperti, peran dari orang tua, guru, maupun dari teman sebaya.

B. SARAN

Sejak dini, anak-anak harus diberikan pelatihan untuk mengembangkan moralnya agar menjadi pribadi yang baik. Olehnya itu, diperlukan peran dari berbagai pihak untuk membuat moral anak tersebut menjadi bagus.

DAFTAR PUSTAKA

 www.tengertian%20Moral%20Menurut%20para%20Ahli

%20%20%20Pengertian%20Ahli.htm

www.tahap%20perkembangan%20moral%20Kohlberg%20-%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm  www.ihya%20Yusriati%20%20Perkembangan%20Moral%20pada

%20Anak%20Usia%20SD.htm

(20)

 www.(1)%20Dunia%20ilmu%20-%20MAKALAH

%20PERKEMBANGAN%20MORAL%20MENURUT %20HAVIGHURST....htm

 www.butiran%20Kata%20%20PERAN%20ORANGTUAN

Referensi

Dokumen terkait

Namun hal ini berbeda jika terjadi kemerosotan dalam hubungan keluarga, baik itu berupa kurang perhatiannya orangtua atau konflik yang sering terjadi dalam

Dengan kita mengetahui tugas perkembangan anak sesuai dengan usianya maka sebagai orangtua dapat memenuhi kebutuhan apa yang diperlukan dalam setiap perkembangannya

Berdasarkan hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara perkembangan nilai agama dan moral dengan perilaku sosial anak usia dini

Hal ini dikarenakan anak usia dini adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan pra operasional kongkrit seperti yang dikemukakan oleh Piaget, sedangkan

Dengan pembiasaan ucapan tersebut secara terus menerus yang dilakukan di sekolah maupun di rumah, maka kebiasaan- kebiasaan peserta didik dalam mengucapkan tolong, maaf

• Memberikan informasi kepada keluarga dan anak sebagai orang yang salah mengerti tentang seksualitas, termasuk kebiasaan dan konsep yang salah mengenai seks

Anak usia sekolah merupakan anak yang berumur 6-12 tahun yang artinya Anak usia sekolah merupakan anak yang berumur 6-12 tahun yang artinya sekolah men+a'i pengalaman inti

128 PENGUATAN NILAI AGAMA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI OLEH Nyoman Wiraadi Tria Ariani1*, I Gde Dhika Widarnandana2 1 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa