• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marger Migas dan Militer di Ketiak Sulaw

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Marger Migas dan Militer di Ketiak Sulaw"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Marmer, Migas, dan Militer

Di Ketiak Sulawesi Timur :

Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Investor

Lian Gogali

(2)

Marmer, Migas, dan Militer

Di Ketiak Sulawesi Timur :

Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Investor

Lian Gogali

PENGANTAR

KEKAYAAN udara, air dan tanah adalah sebesar-besarnya untuk kedaulatan rakyat. Setidaknya hal ini menjadi spirit utama pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kenyataannya, sumber daya alam tidak hanya dikuasai, melainkan juga sebesar-besarnya untuk para pemilik modal. Hal itu antara lain nampak dalam berbagai penguasaan sumber daya alam di berbagai tempat di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Tengah.

Ironisnya proses penguasaan sumber daya alam di berbagai tempat di Indonesia

terkesan diawali oleh konflik komunal. Kesan ini menimbulkan pertanyaan, apakah

konflik berkaitan erat dengan penguasaan modal oleh investor. Tulisan ini adalah

sebuah upaya kecil untuk mengungkapkan bagaimana hubungan antara dampak

kerusuhan Poso berupa eskalasi kehadiran aparat bersenjata TNI dan Polisi,

khususnya Brigade Mobil (Brimob) di wilayah Morowali dan Banggai dengan masuknya

investor. Selain itu tulisan ini mau melihat respons masyarakat setempat, khususnya petani dan nelayan, terhadap masuknya proyek-proyek raksasa yang sedang atau akan dibangun oleh para penanam modal itu.

(3)

Sementara secara filosofis, tugas TNI adalah menjaga ancaman bagi Indonesia (baca: Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari luar meskipun secara terinci apa yang menjadi tugas TNI sampai sekarang masih dalam perdebatan. Termasuk masalah dwi fungsi militer yang kontroversial. Sayangnya, tindakan positif pemisahan fungsi antara Polri dan TNI tersebut malah diikuti dengan rencana pemekaran kembali jumlah Kodam dari sepuluh menjadi tujuh belas oleh Jenderal Wiranto (Forum Keadilan,1999:18 ).

Pertanyaannya ada apa di balik usaha memekarkan kembali Kodam? Hal ini mengingat bahwa pembentukan Komando Daerah Militer yang dulu bernama Komando Teritorial ini didirikan 1948 untuk menanggulangi ancaman dari luar dalam bentuk gerilya (Soemarkidjo 2002 : 22). Apakah Jenderal Wiranto memperkirakan adanya ancaman dari luar bagi Indonesia? Ataukah ada tafsir lain mengenai ancaman itu? Walaupun Wiranto sudah lengser dari jabatan kemiliterannya, rencana pemekaran Kodam masih tetap berlanjut. Tidak lama setelah peristiwa pemboman di Bali, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu menegaskan di depan peserta jambore nasional Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), bahwa ia tidak akan membubarkan Kodam. Bahkan kalau bisa, menambahnya (Kompas, 17 Oktober 2003).

Kenyataannya, sejauh ini pemekaran Kodam dilaksanakan di daerah - daerah berkonflik misalnya di Maluku, Aceh bahkan pemekaran batalyon di Kabupaten Poso. Sejauh ini pertimbangan, mengapa perlu mendirikan Kodam di daerah-daerah tersebut, lebih kepada pengamanan wilayah. Akan tetapi konsep ‚ mar-kets of violence” Georg Elwert, antropolog dari Universitas Berlin (1999) punya analisa lain. Menurutnya, di balik setiap rangkaian kekerasan selalu terselip kepentingan ekonomi, dan ketakutan harus terus dipelihara, baik dengan mengawetkan konflik maupun dengan mengawetkan citra bahwa sebuah daerah masih tetap sangat rentan konflik. Kata Elwert (1999:45):

“A particular cost-effective form of mobilising troops is to create fear. Hence, pro-paganda acts as an important instrument of production. From an economic perspective, this can give a point to what would other-wise be pointless violence. The fear of re-taliation by the victims leaves no option open but to join an army or support it for one’s own protection. Fear of revenge stabilises the system.”

[Satu teknik yang sangat efektif untuk memobilisasi pasukan-pasukan adalah dengan menciptakan ketakutan. Makanya, propa-ganda merupakan suatu instrumen produksi yang penting. Dari sudut ekonomi, pemahaman ini dapat memberikan penjelasan tentang penggunaan kekerasan, yang dari sudut lain sepertinya tak berdasar. Selanjutnya, ketakutan bahwa para korban akan membalas dendam mendorong para pelaku kekerasan untuk bergabung dengan militer, atau mendukung operasi militer demi perlindungan diri sendiri. Akhirnya, ketakutan akan pembalasan dendam menstabilkan sistem ini].

(4)

Brimob, biasanya ada juga pembentukan Kompi TNI. Tidak jelas siapa yang

mengikuti siapa, tapi kehendak penguasaan wilayah dengan alasan pengamanan

pastilah mengikuti tujuannya. Di samping itu paradigma lama tentang TNI pun

rupanya masih belum hilang dalam pikiran para pejabat pemerintah. Hal ini

ditunjukkan dengan niat empat kabupaten baru di Sulawesi Tengah (Parimo, Buol,

Morowali dan Bangkep) melalui Bupatinya untuk membentuk Komando Distrik

Militer (Kodim) di masing - masing kabupaten dan bukan meminta terlebih dahulu

untuk membentuk Polres. Permintaan para Bupati tersebut didasarkan pada

pertimbangan keamanan yang menjadi ancaman terhadap masyarakat (Banggai

Express, Minggu III Oktober 2002).

Menurut Danrem 123/Tadulako Sulawesi Tengah, Kol. Inf. Suwahyuhadji, rencana pembentukan Kodim harus ditinjau dalam aspek pertahanan dan keamanan, aspek ancaman daerah luar dan aspek kemampuan wilayah. Tidak jelas, apa yang ditafsirkan dari ketiga aspek tersebut. Tapi bagi para investor, jaminan keamanan adalah hal yang pasti apalagi bila telah menanam modal sebesar tiga juta dollar AS, seperti yang dilakukan Tomy Winata (Radar Sulteng, 3 Maret 2003). Saat rencana pemekaran batalyon diumumkan, Kol. Inf. Suwahyudi, menyebutkan bahwa Batalyon 714/ Sintuwu Maroso dengan ketiga kompinya akan bertugas langsung menangani masalah keamanan daerah pertambangan minyak dan gas Sinorang -

5

Toili, yang terbentang dari kecamatan Batui (Kabupaten Banggai ) sampai ke wilayah Teluk Tolo di Kabupaten Morowali. Dengan pembentukan batalyon baru itu, Propinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah lebih kurang 68 ribu km2 akan dijaga dua batalyon TNI/AD, yakni Batalyon 711/ Raksatama yang berkedudukan di Palu (Ibukota Provinsi) dan Batalyon 714/Sintuwu Maroso yang berkedudukan di kota Poso. Kedua batalyon itu berada di bawah perintah Kodam VII/Wirabuana (Kompas.com, 1 Jan. 2003; Suara Pembaharuan, 3 Jan. 2003). Ketiga Kompi yang dibangun adalah Markas Kompi A di Luwuk (ibukota kabupaten Banggai); Markas Kompi B di Markas Kompi B di Mohoni (Kabupaten Morowali);; dan Markas Kompi C di Pendolo, ibukota kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso.

Saat ini ada wacana tentang dipindahkannya ibukota Kabupaten Poso di Pendolo, dan menjadikan Poso sebagai Kotamadya. Wacana ini bukan tidak mungkin berkaitan dengan penempatan pasukan di Markas Kompi C di Pendolo. Penempatan pasukan di Kompi C ini sudah diresmikan keberadaannya dengan upacara adat Pekasiwia, sebuah upacara adat Pamona dalam rangka menyambut kedatangan tamu agung.

(5)

mempunyai kedudukan dalam kabinet dan oleh karenanya dalam pengambilan keputusan dapat ikut mempengaruhi. Bahkan di beberapa propinsi, banyak perwira lapangan yang justru diikutsertakan dalam lembaga yang memiliki otoritas politik. Hampir di seluruh negeri, TNI dan Polisi merupakan satu-satunya instansi yang dapat dikendalikan dari pusat (Anggoro 2004).

Keputusan Presiden No. 89 Tahun 1996 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 167 Tahun 1998 tentang Kawasan Andalan Terpilih yang kemudian disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) mendorong pengembangan pertumbuhan ekonomi di Wilayah Timur Indone-sia, termasuk di Sulawesi Tengah khususnya di beberapa kabupaten baru misalnya Morowali, Banggai Kepulauan, Tojo Una-una (Touna) dan Bungku.

Wilayah di Kabupaten Morowali dan Banggai dipilih sebagai fokus penelitian lapangan untuk menguji keterkaitan antara tiga faktor itu — eskalasi kehadiran aparat bersenjata, masuknya para investor besar, dan respons masyarakat setempat — karena di kedua wilayah ini pembangunan sedang dikembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu yang lazim disebut KAPET Batui.

Alasan lain adalah karena keterlibatan berbagai proyek besar di kedua wilayah tersebut, yakni Kelompok Artha Graha yang dipimpin oleh Tomy Winata yang lebih terfokus di Kecamatan Lembo, Petasia, Bungku Tengah, di Kabupaten Morowali, dan Arifin Panigoro melalui Kelompok Medco milik pengusaha-politikus PDI-P, yang wilayah konsesi migasnya meliputi Kabupaten Morowali dan Banggai.

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Yayasan Tanah Merdeka, Palu dalam bentuk kertas Posisi. Uraian selengkapnya dapat di akses

www.ytm

.or.id/images2/stories//kertas_posisi_edisi_06.pdf

=====

1. MOROWALI

(6)

Kemungkinan besar agar terjadi perimbangan dari sudut kesukuan, saat ini Bupati Morowali yang pertama, Andi Muhamad berdarah campuran To Bungku - Bugis, sementara Wakil Bupati Morowali Datlin Tamalagi adalah To Mori. Sementara itu di Kabupaten Morowali sendiri sampai saat ini masih ada masalah tentang ibukota kabupaten yang melibatkan sentimen kesukuan. Dalam Undang-Undang No. 51 Tahun 1999 Pasal 10 dituliskan bahwa untuk sementara ibukota Kabupaten Morowali adalah Kolonodale, dengan ketentuan pal-ing lambat untuk lima tahun ibukota Kabupaten Morowali akan dipindahkan ke Bungku. Pasal tentang ibukota Kabupaten ini kemudian menjadi ‚bom waktu‛ di daerah Morowali.

Menurut seorang narasumber di Kolonodale, kericuhan mengenai letak ibukota

kabupaten bermula dari manipulasi data oleh tokoh-tokoh DPRD Kabupaten Poso

(yang kebetulan To Bungku) ketika hendak menentukan kota mana akan dijadikan

ibukota Morowali. Pada awalnya ada tiga kota yang dinilai berpotensi menjadi

ibukota, yaitu Beteleme, Kolonodale dan Bungku. Manipulasi data terjadi ketika

foto semua fasilitas seperti Rumah Sakit, sarana komunikasi, listrik, sarana air

minum dan beberapa infrastruktur lainnya di Kolonodale , dituliskan berada di

Bungku. Manipulasi data ini terbongkar ketika tim DPR RI meninjau langsung ke

daerah Bungku. Nama Andi Muhamad, Anggota DPR RI dan ketua DPP Pusat Partai

Golkar dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan muncul sebagai orang yang paling

menyuarakan kecurangan data yang terjadi. Sosok Andi Muhamad kemudian

menarik perhatian sebagian besar masyarakat Morowali dan membuatnya terpilih

sebagai Bupati Morowali yang pertama. Setelah menjadi Bupati, Andi Muhamad,

kembali menegaskan bahwa letak ibukota Kabupaten Morowali adalah Kolonodale

dan bukan Bungku. Penegasan ini mendapat simpati yang mendalam dari sebagian

besar masyarakat Morowali di Kolonodale. Seorang polisi di Kolonodale bahkan

mengungkapkan bahwa dia memilih untuk tetap menjadi polisi di Kolonodale

daripada menjadi pejabat penting kepolisian tapi ditempatkan di Bungku.

Sementara itu, Datlin Tamalagi, Wakil Bupati yang To Mori malah mengeluarkan pernyataan bahwa ibukota Morowali yang sebenarnya adalah Bungku. Pernyataan ini membuat dukungan To Mori terhadap Datlin hilang. Bagi Forum Peduli Masyarakat Morowali - FP2M di Kolonodale (yang sebagian besar adalah To Mori), dukungan terhadap Andi Muhamad lebih karena penegasan tentang letak ibukota. Dukungan itu disampaikan juga dalam selebaran himbauan untuk melakukan aksi damai dengan pernyataan bahwa Andi Muhamad adalah penyelamat daerah ini dari instabilitas, dan bahwa Andi Muhamad adalah pencetus sejarah bagi daerah Morowali.

Saat ini untuk meredam pergolakan di masingmasing daerah, muncul wacana baru tentang pemekaran kabupaten Bungku sebagai kabupaten sendiri dan pada tanggal 26 Februari 2006, usul tersebut disetujui oleh oleh DPR-RI. Keputusan DPR

7

(7)

DPR-RI ini disambut dengan ancaman pengerahan massa dari Pengurus Kerukunan Keluarga Bungku (KKB) yang direncanakan sejumlah 7.000 orang menuju Kolonodale sebagai bentuk protes (Radar Sulteng, 1 Maret 2004). Ancaman ini dibalas dengan konvoi massa dari Forum Peduli Masyarakat Morowali sejumlah 2.000 orang di Kolonodale pada tanggal 3 Maret 2004. Dalam selebaran yang diedarkan Pengurus Kerukunan Keluarga Bungku, salah satu isu yang dibawa adalah Kepemimpinan Andi Muhamad yang korup. Korupsi uang rakyat sebesar Rp 15 milyar (sesuai temuan DPRD Morowali) dijadikan alasan untuk menurunkan Bupati Morowali. Tuduhan tersebut bukan tanpa alasan. Wakil Ketua DPRD Morowali, Andi Asri Pettagading membeberkan dugaan mark up dana APBD oleh Andi Muhamad yang sempat bermasalah dengan tuduhan ijazah palsu.

Mark up yang dilakukan Andi Muhamad meliputi pengadaan mobil dinas dan pengadaan sejumlah perlengkapan rumah dinas Bupati. Dalam total anggaran pembelian mobil baru dicantumkan Rp 800 juta, artinya setiap unit mobil dihargai Rp 100 juta. Pada kenyataannya, mobil yang dibeli adalah mobil bekas jenis Daihatsu Taft dan Hiline yang harganya berkisar Rp 35 - 45 juta per unit. Mobil dinas Ketua DPRD Kabupaten Morowali jenis Nissan Terrano sumbangan pengusaha yang dekat dengan Andi Muhamad dimasukkan dalam anggaran pengadaan mobil dinas. Satu unit AC split 1,5 PK merek National seharga Rp 6 juta dianggarkan Rp 18,8 juta; AC split 1 PK merek LG C-90 KH seharga Rp 3 juta dianggarkan Rp 16,4 juta perunit; dis-penser merek National seharga ratusan ribu dianggarkan Rp 2,3 juta per buah; televisi 14 inci seharga Rp 1 juta dianggarkan Rp 3,9 juta; bantal merek Datron dianggarkan sebesar Rp 293 ribu per buah. Total mark up untuk rumah dinas Bupati dan perlengkapan kantor mencapai Rp 1,665 miliar (Fokus Indonesia, 15 April 2004: 8)

Isu tentang perseteruan letak ibukota kabupaten ini berpotensi konflik karena melibatkan dua suku besar di wilayah Kabupaten Morowali. Isu tentang ibukota ini mengakibatkan teralihkannya perhatian dan mengurangi pengawasan masyarakat terhadap bagaimana tata ruang dan lingkungan di ibukota kabupaten tersebut diatur sehubungan dengan rencana pembangunan dan masuknya in-vestor.

Masyarakat Morowali pada umumnya merasa bahwa pembangunan yang akan dibawa oleh para investor ke daerah mereka akan membawa

8

kemajuan, tanpa pertimbangan panjang dampak sosial dan lingkungan di sekitarnya. Misalnya kecerobohan Pemda Kabupaten yang mengijinkan sebuah perusahaan dari Makasar untuk menebang hutan jati di sepanjang perjalanan menuju Kolonodale. Hutan jati itu ditanam pada jaman Belanda yang berfungsi untuk menahan banjir di sekitar wilayah kolonodale. Tindakan menanam jati ini diikuti oleh masyarakat Desa Korololama, yang berjarak sekitar lima kilometer dari Kolonodale. Pada tahun 2001 terjadi banjir besar di Desa Korololama setinggi satu meter akibat penebangan hutan jati. Keputusan untuk mengijinkan penebangan pohon jati tersebut menunjukan pihak DPRD tidak belajar dari peristiwa tersebut. Hutan jati tersebut berada di tepi jalan sebelah kiri menuju ke Kolonodale sementara di sebelah kanan jalan adalah jurang kecil dekat pantai. Secara geografis, Kolonodale berada di tepi pantai dengan luas dataran satu kilometer, dikelilingi perbukitan sehingga membutuhkan pemikiran tentang tata ruang yang rumit.

(8)

dibukanya Bank pada jam dua pagi) itu sangat berkaitan dengan rencana investasi Tomy Winata. Investasi Tomy Winata akan lebih strategis berada di wilayah yang 75% infrastrukturnya telah siap untuk menjadi ibukota dibandingkan dengan Bungku yang persiapan infrastrukturnya masih harus dimulai dari nol. Apakah ada hubungannya antara usul untuk memindahkan ibukota kabupaten lima tahun mendatang dengan kesukuan Bupati- yang dikenal sebagai Bupati ‚kelelawar‛? Ataukah ini adalah langkah strategis untuk sebuah investasi besar? Mengingat kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Poso ini mempunyai potensi alam yang besar dibidang pertambangan bahan galian C, yaitu marmer dan lahan yang luas untuk menanam kelapa sawit seperti yang sudah dikembangkan selama ini. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana rencana pertambangan marmer kelompok Artha Graha di daratan Morowali serta persiapan pertambangan minyak bumi kelompok Medco di Pulau Tiaka, yang terletak di lepas pantai Teluk Tolo dan dampak usaha ini terhadap desa-desa pantai yang berdekatan

1.1. Kelompok Artha Graha:

Sebagai Kabupaten baru, Morowali, tentu membutuhkan investor yang bisa mengolah potensi di daerah tersebut. Begitu menurut Bupati Morowali, Andi Muhamad. Menurutnya pihak Pemerintah Kabupaten baru ini hanya akan bekerjasama dengan perusahaan yang mempunyai modal antara Rp 500 milyar - Rp 1 trilyun terutama di bidang tambang (Tabloid MAL, 1 Maret 2003). Sampai saat ini ada sebuah konsorsium beranggotakan sekitar 25 perusahaan yang bersedia bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Morowali. Konsorsium itu dipimpin oleh Tomy Winata. Pengusaha muda asal Jakarta itu melalui kelompok Artha Grahanya hendak menanamkan modal yang sangat besar di bidang kehutanan, perikanan (rencananya akan didirikan pabrik pengalengan ikan dengan kapasitas produksi 16 ton ikan per bulan), perkebunan (karet dan kelapa sawit),

pertambangan, sumber daya listrik, perdagangan dan industri serta air bersih termasuk di bidang jasa seperti perbankan, properti, bandara perintis, pariwisata, dan perhotelan. Tomy Winata sendiri mengakui niatnya menginvestasikan sebagian modalnya di kawasan

Indonesia Timur, selain Sulawesi Tenggara dan Morowali juga bisnis penangkapan ikan di Tual, Maluku Tenggara.

Sehingga bisa dibayangkan bahwa pembangunan di daerah Morowali akan dikuasai oleh usaha Tomy Winata. Kemungkinan besar ini juga didukung oleh pertemanan antara Tomy Winata dan Andi Mohamad sejak Tomy Winata masih berumur 18 tahun, seperti yang disampaikan oleh salah seorang pejabat Pemda Kabupaten Morowali. Apalagi diisukan bahwa pemilihan Andi Muhamad sebagai Bupati pertama Morowali didukung sepenuhnya oleh Tomy Winata. Perkenalan Tomy Winata dengan alam Morowali dimulai sejak Andi Muhamad menjabat sebagai bupati. Menurut Tomy Winata, niatnya menanamkan modal di wilayah Timur Indonesia baru dimulainya setelah menemukan figur bupati yang memiliki komitmet tinggi untuk membangun Kawasan Timur Indonesia (Radar Sulteng, 3 Maret 2003).

(9)

kelompok Artha Graha (Radar Sulteng, 22 Maret 2003). Dalam wawancaranya dengan pers, Tomy Winata mengatakan bahwa untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan, fihaknya berkewajiban membangun jalan dari Morowali melalui Bungku ke Kendari. Jalan sepanjang 270 km itu dimaksudkan untuk memudahkan pengangkutan barang hasil produksi (Radar Sulteng, 3 Maret 2003).

Investasi terbesar Tomy Winata di Morowali ada di bidang tambang marmer dengan luas lokasi eksploitasi sebesar 150 hektar. Direncanakan hasil produksi marmer akan diekspor ke beberapa negara (Gatra, 22 Maret 2003). Menurut Sutrisno Sembiring, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Morowali di masa depan akan dibangun pabrik pengolahan marmer di Kolonodale karena telah ditemukan sembilan jenis marmer dari 12 jenis yang ada di Kabupaten Moworali meskipun bukan yang terbaik di Indonesia. Dengan melihat lokasi potensi marmer yang terletak hampir di sepanjang Kecamatan Mori Atas, Lembo dan Petasia di Kabupaten Morowali, serta besarnya modal yang ditanamkan Tomy Winata untuk tambang marmer maka bukan tidak mungkin eksploitasi marmer besar akan terjadi di kabupaten yang baru terbentuk itu.

Di satu fihak dalam banyak pengalaman pengolahan marmer sebelumnya, lokasi pengolahan memerlukan pembebasan lahan apalagi bila berada dalam lokasi perumahan atau perkebunan penduduk. Karena itu apabila eksploitasi marmer besar akan terjadi di wilayah Morowali, maka pembebasan lahan perkebunan atau lokasi pemukiman penduduk tentu akan terjadi. Sebagai kabupaten yang baru akan memulai pembangunannya, perencanaan tentang tata ruang di wilayah yang kaya sumber daya alam ini tentulah merupakan prioritas utama. Dan kedekatan antara Tomy Winata dengan Andi Muhamad, tentu menjadi masalah penting dalam mempertimbangkan kelancaran bisnis Tomy Winata, termasuk dukungan pengusaha tersebut terhadap jabatan Andi Muhamad sebagai Bupati Morowali dan kebijakannya.

Hampir di sepanjang daerah Kabupaten Morowali yang berbukit-bukit ditemukan

lokasi marmer. Mulai dari Kecamatan Mori Atas, Kecamatan Lembo, hingga ke

Kecamatan Petasia dan Bungku Tengah dan dikerjakan oleh 15 perusahaan yang

berbeda, meskipun sekarang sebagian besar tidak aktif lagi. Dalam Nota

Kesepahaman yang ditandatangani, lokasi pengolahan marmer Tomy Winata adalah

di Desa Bunta dan Koromatantu. Akan tetapi, tentang lokasi marmer yang akan

diolah ini ada dalam beberapa versi lokasi

a. Koromatantu dan Bunta

(10)

Di daerah Bunta, perusahaan yang mengolah marmer adalah PT Monte Marmolindo. Perusahaan ini mempunyai SIPD (Surat Ijin Penambangan Daerah) sejak tanggal 29 Desember 1997 sampai 29 Desember 2007. PT Monte Marmolindo mengolah marmer seluas 50 hektar di daerah Bunta yang terletak di tepi sungai La, sungai terpanjang di Sulawesi Tengah. Belum jelas bagaimana hubungan kerjasama PT. Monte Marmolindo dengan Tomy Winata. Jarak antara lokasi yang direncanakan untuk mengolah marmer hanya sekitar seratus meter dari dusun sagu milik masyarakat. Pada awalnya penduduk Desa Bunta tidak berdiam di sini tapi di Desa Bunta Lama. Mereka dipindahkan ke lokasi yang berawa (sekarang ditempati), oleh Belanda, dengan harapan para penduduk tersebut akan meninggal secara perlahan. Sekarang, daerah berawa tersebut menjadi tempat yang subur untuk menanam pohon sagu, makanan khas daerah Mori.

Lokasi bukit marmer di Bunta adalah sambungan bukit marmer dari Desa Korowalelo dan Desa Tinompo. Sementara lokasi bukit marmer di Desa Koromatantu, bersambungan dengan bukit marmer di Desa Korololama. Kedua bukit marmer di desa ini berada di antara jajaran hutan sepanjang Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali.

b. Korowalelo dan Korololama

Sejak tahun 1997, marmer yang ada di Desa Korowalelo dikelola oleh empat perusahaan yang berbeda, yakni PT Istana Marmerinto Perdana, PT Allindo Cemerlang, PT Sinar Permai, dan PT Wahana Bhakti Sinar Persada. Dari data terakhir Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Morowali pengelola marmer yang terbesar di Korowalelo adalah PT Istana Marmerinto Perdana. Seorang mantan pekerja PT Istana Marmerinto Perdana mengatakan bahwa marmer di desa ini izin pendirian pabriknya diurus langsung oleh Kol. Soegiyono, Bupati Poso dari tahun 1984 s/d tahun 1988. Proses pemberian izin usaha ini mengalami kendala ketika salah seorang warga menolak membebaskan lahannya. Penolakan ini disebabkan karena lahan tersebut adalah warisan leluhur yang turun-temurun. Penolakan ini menyebabkan pihak perusahaan menggunakan jalur pengadilan dan memenangkan pengadilan tersebut.

Marmer di Desa Korowalelo berbeda dengan marmer lain di wilayah Kabupaten Morowali. Di Desa Korowalelo marmernya berwarna merah muda dan tersebar dihampir seluruh dataran desa, termasuk kebun-kebun di belakang rumah penduduk. Seluruh Desa Korowalelo dikelilingi oleh bukit marmer, sebelah utara Desa Korowalelo adalah bukit marmer yang langsung menghubungkan dengan pegunungan yang menuju bukit marmer Desa Korololama. Menurut salah seorang mantan pekerja marmer di Korowalelo, PT Istana Marmerinto Perdana berhenti berproduksi sejak tahun 1998 karena krisis ekonomi. Selama berproduksi, PT Istana Marmerinto Perdana masih menggunakan mesin sederhana dan belum modern dengan 50 orang tenaga kerja yang sebagian besar tenaga ahli berasal dari Tulungagung. Belum diketahui kapan rencana perusahaan ini melanjutkan produksi marmernya termasuk apakah perusahaan lama akan menyerahkan produksi marmer ke perusahaan baru yang punya modal besar seperti Tomy Winata. Info terakhir, saat ini pihak PT Istana Marmerinto Perdana telah menjual kepemilikannya ke pengusaha dari Jakarta.

(11)

yang besar adalah kenyataan bahwa bukit marmer di daerah tersebut sekaligus menjadi sumber air di daerah Korololama dan sekitarnya. Bukit marmer di desa Korololama mengelilingi desa tersebut sampai pada perbatasan Kolonodale. Perbukitan menuju Kolonodale adalah sambungan bukit desa Korololama yang menyimpan marmer. Menurut salah seorang sumber, apabila marmer di bukit Korololama diproduksi maka risiko lingkungan yang terbesar adalah banjir dan hilangnya sumber mata air. Mata pencaharian utama di desa tersebut adalah berkebun, terutama tanaman cokelat. Sebagian besar cokelat yang ditanam berada di hutan dekat bukit marmer. Karena itu fihak pemerintah Kabupaten Morowali, sampai sekarang belum mengakui adanya rencana produksi marmer di Korololama.

Dengan adanya pengolahan marmer di daerah Bunta, Koromatantu dan kemungkinan di Desa Korololama serta Korowalelo maka kemungkinan besar tata ruang di wilayah Morowali akan mengalami perubahan yang drastis. Apalagi semua marmer terletak di bukit yang berada di hutan masyarakat, selain itu beberapa lokasi marmer bahkan berada di dekat lokasi tanaman masyarakat. Bukit marmer di Bunta, misalnya, hanya berjarak sekitar seratus meter dari lokasi tanaman sagu milik masyarakat. Bila bukit marmer tersebut ditambang maka dampak terbesar yang dialami oleh masyarakat adalah menurunnya bahan pangan (sagu) mereka. Dampak lain bila penambangan bukit-bukit marmer di Koromatantu, Korowalelo dan Korololama dilakukan maka akan mengganggu sumber air masyarakat karena bukit tersebut sekaligus berfungsi sebagai penahan air hujan, dan sumber air.

Hancurnya sumber sagu itu sekaligus menghancurkan sumber pangan masyarakat karena hancurnya dusun sagu tidak hanya akan dirasakan oleh warga masyarakat pemilik lahan tapi juga konsumen sagu di kota. Di daerah Morowali, selain nasi, sagu adalah makanan pokok yang khas. Perubahan lingkungan juga berkaitan dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar petani ladang yang bertani coklat dan palawija. Dampak lain adalah mengenai sumber air. Selain sebagai sumber air, bukit marmer juga berfungsi sebagai penahan air hujan serta penampung rembesan sungai La’a yang berasal dari Desa Saemba / Tawaeli. Selama ini masyarakat desa di sepanjang Kabupaten Morowali mendapatkan sumber airnya dari bukit-bukit marmer. Karena itu pengolahan dalam skala besar tanpa mempertimbangkan peranan bukit marmer tersebut dapat menjadi ancaman baru bagi masyarakat.

1.2. Resistensi Rakyat : Kasus PT Tamaco Graha Krida

Sejarah perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang memihak investor di Kabupaten Morowali terjadi di beberapa tempat. Di daerah Kecamatan Bumi Raya, Wita Ponda, dan Bungku Barat, PT Tamaco Graha Krida mengolah kebun kelapa sawit seluas 13.230 hektar. Keleluasaan perusahaan mengolah lahan seluas itu berawal dari instruksi pemerintah mengenai integrasi perkebunan swasta skala besar dan proyek PIR-Trans. Kebijakan tersebut menyebabkan 1743 petani kehilangan lahan. Hanya sekitar 1.734 kepala keluarga petani lokal di 14 desa di Bungku yang mendapat tanah dua hektar sebagai petani plasma. Padahal mereka sudah menyerahkan lahan seluas

4.266 hektar kebun produktif untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Janji perusahaan untuk menyerap tenaga lokal, diingkari. Perusahaan lebih banyak menempatkan tenaga kerja luar daerah daripada menggunakan tenaga kerja lokal. Dalam pembagian lahan, perusahaan berlaku tidak adil dengan mengutamakan petani plasma tranmigrasi yang berasal dari Flores dan Nusa Tenggara Barat.

(12)

Sawit mendatangi kantor pusat PT Tamaco Graha Krida. Mereka memprotes kebijakan perusahaan dalam pembagian lokasi plasma, memprotes luas Lahan Inti Plasma yang melebihi 40 % dari luar plasma, juga memprotes penduduk transmigrasi yang menjadi prioritas utama perusahaan. Aksi Forum Petani Plasma Kelapa Sawit ini dibalas dengan aksi tandingan para petani transmigrasi peserta plasma yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa. Aksi tandingan ini diorganisir oleh PTTamaco Graha Krida dan Pemerintah lokal. Aksi massa oleh Forum Petani Plasma Kelapa Sawit ini kemudian dilanjutkan dengan aksi massa besar di Poso, ibukota kabupaten. Akibat demo tersebut, ketua Forum, Guntur Lemangga diteror melalui telepon orang tak dikenal. Teror ini kemudian diadukan Guntur kepada Direktorat Jenderal Perkebunan (waktu itu masih Hasan Basri Durin), dan di Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Sementara itu di ibukota Kabupaten Morowali, Kolonodale, forum-forum rakyat atau organisasi non-pemerintah (ornop) yang mengecam kebijakan

11

pemerintah yang tidak berkiblat pada kepentingan rakyat kecil, tidak begitu menonjol. Hanya ada Sahabat Morowali, yang baru berdiri tahun 1996 dan secara khusus memperhatikan kehidupan nelayan di pantai. Bahkan menurut salah seorang aktivis Sahabat Morowali, kadang - kadang kebijakan Pemerintah Kabupaten Morowali tentang lingkungan misalnya soal penebangan hutan, mempertimbangkan keberadaan ornop ini. Kegiatan politik terorganisir yang terbesar baru muncul ketika ada perdebatan tentang ibukota kabupaten melalui Forum Peduli Masyarakat Morowali yang terbentuk sejak kabupaten ini berdiri. Peristiwa kerusuhan di daerah Peleru, Mayumba sampai ke Beteleme sempat juga menjadikan daerah yang dahulu tenang menjadi terusik.

1.3. Pengamananan Investasi?

Niat Tomy Winata itu tidak diimbangi dengan pengamanan wilayah sebagaimana layaknya pertimbangan investor, sehubungan dengan kasus kerusuhan Poso yang kemudian melebar di daerah Morowali. Karena itu menurut Sutrisno Sembiring, dalam wawancaranya dengan penulis, Tomy Winata mementingkan jaminan keamanan bagi bisnisnya terutama di sepanjang jalan yang dilalui untuk pengiriman hasil produksi. Rencana pembangunan jalan Morowali - Kendari ini tentu berkaitan dengan rencana investasi Tomy Winata di Kabupaten Morowali dan di Sulawesi Tenggara. Investasi Tomy Winata di Sulawesi Tenggara adalah sejumlah Rp 1 trilyun. Meskipun Tomy Winata membantah isu menyingkirkan pengusaha-pengusaha lokal atau melakukan monopoli usaha, tetapi membayangkan besarnya investasi, beragamnya jenis pembangunan dengan luasnya lokasi yang meliputi daerah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara tentu saja Tomy Winata membutuhkan pengamanan wilayah yang besar (Radar Sulteng, 3 Maret 2003).

(13)

membangun

12

barak - barak asrama Kodam di Irian Jaya (Tempo, 6 Juni 1999: 29).

Kajian ICW tentang kegiatan bisnis TNI menyebutkan tiga kategori bisnis TNI; pertama, bisnis formal melalui yayasan dan koperasi yang didirikan oleh TNI sebagai institusi; kedua, bisnis informal, melalui penempatan personel TNI, baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif dalam perusahaan swasta dan BUMN; ketiga, criminal economy, bentuknya antara lain keterlibatan anggota TNI dalam berbagai aktivitas kriminal seperti beking perjudian, penyelundupan, perdagangan senjata dan sebagainya (Fajar, 20 Maret 2003). Pola kongsi Tomy Winata dengan militer, tampaknya mencakup ketiga kategori tersebut. Harian Fajar, edisi tersebut menjulukinya dengan istilah triumvirat: pengusaha - tentara -preman.

Sementara itu, gangguan keamanan ikut menyuburkan bisnis militer, dan tidak jarang gangguan keamanan itu dipicu dan dipacu oleh militer sendiri, untuk mengfasilitasi ekspansi modal besar. Seperti kata mantan koordinator KONTRAS, Munir SH, di mana konflik vertikal (rakyat menentang negara) semakin kuat, di situ konflik-konflik horisontal sengaja dipicu untuk memecah kekuatan rakyat menentang kekuatan Negara, yang seringkali berdiri di fihak modal besar. Hal - hal yang memungkinkan perlawanan secara tidak langsung akan dilawan dengan tindakan represif dari aparat yang sudah ditempatkan untuk alasan

keamanan. Kata Munir (2001: 21):

“This violence is to deflect attention and the resistance of the public from the demands for reform. The involvement of the apparatus is identical to the acts of provocateurs and/or civilians, who are supported by the apparatus in initiating the violence.”

[Kekerasan semacam ini dicetuskan untuk mengalihkan perhatian dan menumpulkan perlawanan publik dari tuntutan-tuntutan ke arah reformasi. Keterlibatan aparat keamanan di sini sama fungsinya seperti tindakan para provokator dan/atau orang-orang sipil yang didukung oleh aparat keamanan dalam memicu kekerasan demikian].

(14)

Apabila pemekaran Batalyon ini adalah langkah malu-malu TNI untuk melakukan pemekaran KODAM di wilayah Sulawesi Tengah (mengingat potensi resistensi masyarakat, lihat Bagian tentang Banggai dalam tulisan ini), maka dapat dipastikan bisnis yang dijalankan Tomy Winata di sepanjang Kabupaten Morowali hingga ke Sulawesi Tenggara bisa berjalan dengan lancar. Demikian juga bisnis pengeboran minyak kelompok Medco di Pulau Tiaka

yang akan dibahas berikut ini.

1.4. Penimbunan Terumbu Karang Tiaka di Teluk Tolo

Kepentingan besar menjaga keamanan wilayah juga diarahkan di wilayah pengeboran minyak di pulau buatan Tiaka, yang terletak 12 mil dari desa nelayan Kolo Bawah dan di sepanjang pesisir pantai Sulawesi Tengah bagian Timur, tempat ditemukannya cadangan gas. Daerah ini diperkirakan akan menghasilkan persediaan minyak dan gas untuk Indonesia untuk 15 tahun ke depan.

Lapangan minyak Tiaka ditemukan pertama kali pada tahun 1984 oleh perusahaan minyak Union Texas Petrolium Holding Inc., dan eksplorasi dilakukan pada tahun yang sama dengan mengebor empat sumur yaitu Tiaka-1, Tiaka-2, Tiaka -3 dan Tiaka 4. Dari hasil eksplorasi tersebut pada sumur minyak Tiaka-1, Tiaka-2 dan Tiaka-4 ditemukan minyak bumi, sedangkan pada Tiaka-3 terdapat adanya batas air dan minyak bumi. Hasil evaluasi dan perhitungan dari keempat sumur eksplorasi tersebut menunjukkan bahwa cadangan minyak di lapangan Tiaka sebesar 106,56 MMBO (million bar-rels of oil/ juta barrel minyak) dengan recoverable reserve sebesar 10,7 MMBO (10% recovery factor) (JOB PETS:2003a).

Sejak tahun 1998, saham Union Texas dijual ke Atlantic Richfield Co (Arco). Kemudian pada tahun 1997, PT Medco Energi International Tbk melalui anak perusahaannya PT Exspan Tomori Sulawesi memperoleh saham dari PT Arco. Berdasarkan besarnya potensi sumber minyak yang tersedia tersebut rencana pengembangan lapangan minyak Tiaka, oleh JOB Pertamina-PT Exspan Tomori Sulawesi direncanakan memerlukan masa operasi hanya sekitar sembilan tahun dengan total kapasitas produksi maksimum per hari sekitar 6500 barrel (BOPD = barrels of oil per day) yang diperoleh dari enam sumur. Dengan demikian rata-rata setiap sumur menghasilkan kurang lebih 1100 BOPD dan dalam proses produksi tersebut akan dihasilkan juga gas ikutan sebanyak 3,5 MMSCFD (millions of square feet per day ) dan air terproduksi kurang lebih 3000 BOPD. Akan tetapi gas ikutan ini karena jumlahnya relatif kecil maka tidak akan diproses lebih lanjut melainkan langsung dibuang dan dialirkan serta dibakar ke udara, atau dalam bahasa teknis, gasnya diflare (JOB PETS 2003b).

Menurut Bupati Banggai, Kolonel Inf. Sudarto, SH, produksi minyak lepas pantai Tiaka diperkirakan antara 16,5 sampai 23 juta barrel. Potensi ini memberikan harapan pada masyarakat kabupaten Banggai untuk percepatan pembangunan karena hasil pengelolaan minyak dan gas tersebut akan memberikan nilai tambah ekonomi yang besar bagi Kabupaten Banggai (lihat Sudarto 2003). Sebaliknya, menurut Sutrisno Sembiring, produksi minyak bumi ini akan diolah di Pulau Tiaka dan selanjutnya hasil produksi akan dibawa ke Cilacap.

(15)

mil. Dengan demikian, hasil pengolahan minyak di Pulau Tiaka akan berada di bawah pengaturan daerah

13

Kabupaten Morowali (Desa Kolo Bawah masuk dalam Kecamatan Mamosalato).

Tapi dalam perkembangan selanjutnya, ada perbedaan pendapat tentang kabupaten mana yang berhak mengolah pendapatan daerah ini, begitu menurut seorang aktivis ornop di Luwuk. Termasuk perbedaan tentang kabupaten mana yang berhak memberikan izin lokasi pengeboran minyak. Karena terletak di Desa Kolo Bawah yang secara adminis-tratif adalah bagian dari Kabupaten Morowali, maka pendapatan daerah dan perizinan dimasukkan dalam APBD Kabupaten Morowali. Hal ini didukung dengan kenyataan tentang lokasi Pulau Tiaka yang berada di garis 1 derajat 4 menit LS dan 12 derajat 59 menit BT menunjukkan bahwa Pulau Tiaka berada di wilayah Kabupaten Morowali. Tetapi Kepala Badan Pertanahan Negara Sulawesi Tengah, Ir. Sortaman Sinaga, membatalkan surat Nomor 460 - 130 tanggal 28 Februari 2002 tentang pelaksanaan pemberian izin lokasi pengeboran minyak PT Pertamina kepada Kabupaten Morowali.

Pembatalan tersebut dengan tiga pertimbangan. Pertama, ditemukan bahwa lokasi Gosong Tiaka dengan jarak kurang lebih 15 mil dari lepas pantai Desa Rata, Kecamatan Toili Barat Kabupaten Banggai. Kedua, pelaksanaan pengeboran minyak di lokasi Senoro I, II dan III di Kabupaten Banggai adalah satu paket dengan kegiatan pembangunan di Tiaka. Ketiga, mempertimbangkan efisiensi dan kedekatan jarak, maka pelaksanaan pemberian ijin lokasi pada PT Pertamina Unit Pemasaran Wilayah VII dapat dilaksanakan oleh Kantor BPN Kabupaten Banggai. Sementara para nelayan yang berada di Desa Kolo Bawah menyatakan dengan tegas bahwa wilayah Pulau Tiaka berada di wilayah Kabupaten Morowali, selain alasan administratif juga karena selama ini nelayan yang menguasai daerah Pulau Tiaka adalah nelayan Kolo Bawah dan bukan nelayan dari desa lain di Kabupaten Banggai. Apalagi desa-desa terdekat dengan Pulau Tiaka adalah desa -desa di Kabupaten Morowali.

Saat itu Gubernur Sulawesi Tengah (sekarang mantan), Prof. Aminuddin Ponulele sebelumnya mengatakan bahwa ia akan mengeluarkan izin kepada PT Exspan Tomori Sulawesi dan Pertamina untuk membuat pulau buatan berdasarkan rekomendasi Komisi AMDAL Provinsi. Pihak Komisi menyatakan bahwa wilayah tersebut hanya terdiri dari gosong dan pembangunan di tempat itu tidak akan mengancam kehidupan laut sekitarnya. Komisi itu juga menyatakan bahwa dalam survei yang mereka lakukan ditemukan bahwa karang-karang di sekitar wilayah pengeboran sebagian besar sudah mati. PT Exspan Tomori Sulawesi dan Pertamina

14

juga melaporkan bahwa lebih dari 80% karang di wilayah itu sudah rusak (www.Pertamina.com)

Dalam proses penimbunan terumbu karang itu, JOB Pertamina-PT Exspan Tomori Sulawesi menggunakan dua sub kontraktor, yaitu PT Adhi Karya yang berpusat di Jakarta dan dipercayakan untuk menimbun terumbu karang sehingga menjadi pulau buatan, dan PT Tanjung Seta yang berpusat di Makassar yang menyediakan material. Untuk menunjang rencana penimbunan pulau, di Desa Pandauke dibangun base camp pembuatan mate-rial dan pelabuhan dengan meminjam lahan pemerintah di desa itu. Material penimbunan diambil dari Sungai Andolia, Sungai Tanasumpu dan Sungai Tirongan, yang masing-masing berada di Desa Pandauke dan Desa Momo.

(16)

melalui desanya. Akan tetapi dalam pembicaraan dengan PT Adhi Karya, disampaikan bahwa perusahaan kongsi Pertamina itu tidak berhak menentukan tempat bekerja dan di antara mereka tidak ada garis koordinasi.

Proses operasional penimbunan Pulau Tiaka berlangsung kurang lebih tujuh bulan dengan jarak tempuh lokasi material sejauh enam kilometer. Proses penimbunan tersebut meninggalkan dampak negatif bagi masyarakat. Antara lain, terhambatnya aliran sungai akibat banyaknya penimbunan material, kerusakan jalan antara Dusun I dan Dusun II di Desa Pandauke, besarnya pengikisan di areal sungai, dan terhambatnya sarana jalan akibat kerusakan jalan. Kegiatan penimbunan ini sempat ditentang oleh WALHI Sulawesi Tengah. WALHI Sulteng menentang rencana-rencana pembangunan pulau buatan seluas seratus hektar di Teluk Tolo, yang dilakukan dengan cara mengeruk sekitar tiga juta ton pasir dan kerikil untuk tempat penyimpanan peralatan pengeboran minyak.

Menurut WALHI Sulteng rencana tersebut akan membahayakan ekosistem terumbu karang seluas 44 hektar di wilayah tersebut. Survei yang dilakukan oleh relawan WALHI menemukan bahwa sekitar 80% karang di gugus karang Tiaka sebelumnya dalam kondisi baik, termasuk juga Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) dan kerang kima raksasa (Tridacna Spp). Rencana pengubahan karang menjadi basis pengeboran minyak bumi juga akan membatasi akses masyarakat setempat terhadap sumber daya laut. Selanjutnya. menurut WALHI Sulteng, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) untuk pembangunan minyak dan gas dilakukan tanpa partisipasi penduduk lokal yang akan menderita akibat dampak langsung yang ditimbulkan. Organisasi payung ornop lingkungan itu memperingatkan bahwa pengeboran dasar sungai dan lahan untuk menggali pasir dan kerikil akan menjadi penyebab banjir dan longsor yang akan menimpa penduduk desa setempat serta lahan pertanian mereka.

Makanya, WALHI Sulteng menyimpulkan bahwa mereka tidak menentang rencana pembangunan tersebut, tapi mendesak agar pihak pengembang mematuhi undang-undang lingkungan dan melindungi hak-hak komunitas adat setempat (WALHI Sulteng 2002).

Saat penelitian ini dilakukan (tahun 2003), di pulau buatan yang terletak di lepas pantai Teluk Tolo ini telah selesai dibangun infrastrukturnya, mulai dari dermaga barang, dermaga kontainer, tempat jangkar, enam kilang dengan kedalaman 70 m, tiga tempat pembuangan limbah, serta rumah penjaga. Begitu menurut pengamatan lapangan dan keterangan salah seorang satpam di Pulau Tiaka yang berhasil diwawancarai oleh penulis. Ada 12 orang satpam yang bertugas menjaga pulau Tiaka secara bergantian tiap minggu, dengan pengaturan penjagaan setiap minggu oleh tiga or-ang satpam. Untuk menuju Pulau Tiaka yang jarak tempuhnya dua jam dari Baturube, satu jam dari Kolo Bawah dan 1 1/2 jam dari Pandauke, para satpam tersebut dijemput pihak Pertamina - Exspan Tomori Sulawesi. Pada awalnya, gaji masing-masing satpam (empat orang berasal dari Kolo Bawah dan delapan orang dari Pandauke) berjumlah Rp 900 ribu per bulan. Ini berlaku hanya selama tiga bulan pertama bekerja. Dengan alasan perusahaan mengalami kerugian, gaji para satpam diturunkan menjadi Rp 450 ribu per bulan. Gaji ini sudah termasuk keperluan sehari-hari selama berada di pulau. Malangnya, sekarang fihak perusahaan malah membicarakan mengenai masalah PHK bagi para satpam.

Di Desa Kolo Bawah, 90 % penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Terumbu karang Tiaka adalah tempat utama para nelayan itu mencari ikan selama bertahun-tahun. Sistem penjualan ikan di daerah yang tanahnya tidak subur ini hanya dijual dari rumah ke rumah,dan tidak ada pasar. Di desa ini ada delapan orang yang mempunyai fasilitas menampung hasil laut dari nelayan khususnya ikan dan gurita untuk kemudian dijual ke Luwuk. Berdasarkan pengakuan para nelayan dan para penampung hasil laut, semenjak daerah inti Terumbu Karang Tiaka dijadikan pulau buatan untuk pusat pengeboran minyak dan gas alam oleh JOB Pertamina- Exspan Tomori Sulawesi, penghasilan para nelayan yang biasanya 15 kg ikan per hari turun drastis menjadi lima kg per hari. Terkadang mereka terpaksa pulang dengan tangan hampa karena berkurangnya jumlah dan jenis ikan, belum lagi larangan untuk mendekati terumbu karang yang merupakan sumber penghasilan mereka selama ini.

(17)

dampak penimbunan Pulau Tiaka? Kalau jumlah nelayan di ketiga desa itu ada 300 orang, sedangkan kerugian setiap hari sekitar 10 kg ikan, sementara satu kg ikan dijual kepada pedagang penampung ikan setinggi Rp 15 ribu untuk dijual ke pasar Luwuk setinggi Rp 17 ribu per kg, maka kerugian selama setahun = 365 x 300 x 10 x Rp 15 ribu = Rp 16,425 milyar! Ini bukan kerugian yang kecil bagi para nelayan di Kecamatan Mamosalato, atau nelayan pondok di manapun di Indonesia.

Beberapa orang nelayan mengatakan bahwa larangan untuk mendekati Pulau Tiaka tidak mereka hiraukan karena tidak ada tempat lain lagi yang lebih banyak ikan dan guritanya selain di Terumbu Karang Tiaka. Berbeda pendapat dengan para nelayan, Sutrisno Sembiring yang pernah menjanjikan akan menyediakan generator untuk masyarakat, menyatakan bahwa yang ditimbun untuk dijadikan pulau buatan untuk platform pengeboran adalah terumbu karang yang sudah rusak akibat sistem menangkap ikan para nelayan Kolo Bawah yang menggunakan dinamit. Sementara, para nelayan menegaskan bahwa jika larangan menangkap ikan di Pulau Tiaka dijalankan, terpaksa mereka menangkap ikan dengan menggunakan dinamit. Hal itu mereka lakukan karena cadangan ikan di Pulau Tiaka yang menjadi lokasi andalan mereka selama ini menurun drastis.

Sebenarnya masih ada enam terumbu karang lain di sekitar Pulau Tiaka, yaitu Sapa Buginan serta Sapa Dua Buginan di sebelah selatan Pulau Tiaka menuju Bungku Tengah dan Sapa Bongko, Sapa Rupa dan Sapa Aloang di sebelah timur Pulau Tiaka menuju Desa Rata, Kabupaten Banggai. Akan tetapi hasil laut di ke enam terumbu karang

15

tersebut sangat kurang. Diperkirakan, bila JOB Pertamina-Exspan sudah mulai beroperasi maka larangan untuk mengambil hasil laut di sekitar terumbu karang tersebut akan diperketat, padahal tidka mungkin para nelayan ini mencari hasil laut di wilayah Kolonodale atau daerah di Kabupaten Banggai. Lalu bagaimana nasib para nelayan, bila eksploitasi JOB Pertamina-Exspan Tomori Sulawesi sudah dilaksanakan? Apakah mereka harus beralih profesi menjadi tenaga kerja industri? Para nelayan dengan tegas menolak usul itu.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa keberadaan Pulau Tiaka mempertaruhkan seluruh masa depan, penghidupan dan cita-cita para nelayan Kecamatan Bungku Utara dan Kecamatan Mamosalato bahkan masyarakat di wilayah Kabupaten Banggai. Dengan begitu, basis pengeboran minyak bumi itu secara tidak langsung akan mematikan kehidupan para nelayan, dilihat dari matinya basis sosial budaya mereka.

(18)

Ketika hal ini penulis konfirmasikan dengan penduduk setempat, teks tersebut dibantah. Hal ini seolah-olah melegitimasi tindakan pihak JOB Pertamina - Exspan Tomori Sulawesi untuk tidak mensosialisasikan kegiatan di terumbu karang Tiaka kepada masyarakat Kolo Bawah dan hanya kepada Kepala Desa, termasuk bahwa kehidupan mereka yang bergantung pada hasil laut di sekitar terumbu karang itu tidak diperhitungkan. Protes yang dilancarkan penduduk dijawab dengan ancaman: ‚Tetap tinggal atau pergi dari wilayah itu‛ (Tempo, 8 - 14 Oktober 2002).

2. BANGGAI

KABUPATEN Banggai resmi menjadi kabupaten yang otonom melalui UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II se-Sulawesi. Terdiri dari empat kecamatan, yakni Toili, Batui, Kintom, Pagimana, Bunta, Luwuk dan Balantak. Kelompok-kelompok etno-linguistik (sukubangsa) yang berdiam di wilayah ini terdiri dari Banggai, Balantak, Saluan yang dianggap suku asli di wilayah Banggai. Ketiga suku ini sering disebut suku-suku Babasal. Penyebaran ketiga suku ini dapat dijelaskan secara geografis. Suku Banggai banyak berdiam di Banggai Kepulauan, suku Balantak di Kecamatan Balantak, dan suku Saluan banyak berdiam di Kecamatan Luwuk, Batui, Pagimana dan Bunta. Selain itu ada pula suku-suku Jawa, Bali, Lombok, yang merupakan transmigran yang berada di Kecamatan Toili.

Kecamatan Toili merupakan lumbung padi bagi Kabupaten ini sehingga keberadaan para transmigran ini diperhitungkan bahkan menjadi sangat penting apalagi pernah menjadi daerah transmigrasi terluas dan terbaik di Asia menurut versi IFAD (Djalumang 2002:54).Di Kecamatan Toili terdapat 12 unit atau desa transmigrasi penghasil padi. Penamaan desa ini menggunakan angka, misalnya Unit 1, Unit 2 sampai Unit 26. Dalam perkembangannya, sebagian besar unit kemudian diberi nama bernuansa Jawa misalnya Tirta Kencana, Cendanapura, Rusa Kencana, Sidoharjo, Bumiharjo, Sidomukti, Sentral Sari, Karya Mukti, Karya Makmur dan sebagainya. Selain padi dan hasil perkebunan lain, sumber ekonomi di daerah ini adalah hasil laut dan hasil hutan. Di kabupaten Banggai terdapat 28 desa nelayan dengan jumlah nelayan 2.595 orang. Pada tahun 1997 sempat memperoleh surplus beras sebesar 22.000 ton.

Mengingat potensi daerah di bidang pertanian sangat besar, Kol. Inf. TNI/AD Sudarto , Bupati Banggai (1996-2001 dan (1996-2001-2006) yang pernah menerima Piala Adipura Pertama dan kedua serta Sertifikat Wahana Tatanugraha, mencanangkan gerakan ‚ Monsuani Tano‛ suatu gerakan yang memotivasi para petani dan masyarakat pedesaan untuk memanfaatkan lahan - lahan yang tidak produktif menjadi lahan produktif. Gerakan menanam ini terinspirasi dari Gemabangdesa (Gerakan Membangun Desa)(Pemda Kabupaten Banggai 1999: 3). Gerakan ini menurut salah seorang aktivis ornop di Luwuk, diplesetkan masyarakat menjadi ‚ Monsuani Tano, tano mano to monsuani?” (menanam tanah, tanah mana yang akan kami tanam?). Sinisme ini timbul karena sebagian besar penduduk wilayah pesisir pantai Banggai adalah transmigran dari Bali, Jawa dan Lombok, telah dikapling dalam batas-batas Hutan.

Dinas Kehutanan mencatat bahwa kawasan hutan di Kabupaten Banggai mencapai total luas 940.553 hektar. Kawasan hutan tersebut dibagi atas kawasan hutan lindung seluas 193.395 hektar, hutan kawasan budidaya seluas 417.168 hektar dan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas

329.990 hektar. Hutan lindung terbagi untuk kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Hutan budidaya terdiri dari hutan produksi terbatas seluas 309.113 hetar dan hutan produksi konversi seluas 52.526 hektar. Untuk kawasan budidaya,

384.230 hektar sudah dikelola untuk usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan sejak tahun 1979 oleh empat pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan), yakni PT Bina Balantak Raya dengan wilayah konsesi seluas 95.270 hektar yang berlokasi di Toili, Batui, Bunta; PT Palopo Timber Company (anak perusahaan Yayasan Eka Paksi) dengan konsesi seluas 40.110 hektar di Kecamatan Kintom; PT Dahatama Adikarya dengan konsesi seluas 64.620 hektar di Kecamatan Bunta; serta PT Balantak Rimba Rejeki dengan konsesi seluas

(19)

Selama ini hampir sebagaian besar lahan sumber daya alam di Kabupaten Banggai dikelola oleh perusahaan-perusahaan lokal yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat pemerintah atau tokoh adat. Sebut saja pengusaha sukses keturunan Tionghoa asal Luwuk, Upi Sugianto. Upi Sugianto adalah pimpinan kelompok perusahaan (konglomerat) Nyiur Mas Inti Group milik Muhamad Chair S. Amir alias Hideo Amir. Hideo Amir adalah tokoh adat Kabupaten Banggai yang dianggap sebagai pewaris tahta Kerajaan Banggai sekaligus merupakan salah satu direktur dalam perusahaan ini. Konglomerat ini mempunyai sejumlah perusahaan yang bergerak di hampir semua wilayah kabupaten-kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan. Misalnya, perusahaan tambak udang PT Banggai Sentral Shrimp (BSS), perusahaan kontraktor PT Banggai Sentra Sulawesi, serta dua perusahaan pemegang HPH, yakni PT Dahatama Adhikarya dan PT Wahana Sari Sakti yang masing-masing menguasai 64 ribu hektar dan 100 ribu hektar di Kabupaten Banggai. Untuk memperluas lahan usahanya, Banggai Sentral Sulawesi berkongsi dengan sebuah perusahaan Perancis membentuk PT Delta Subur Permai yang menduduki 4090 hektar lahan masyarakat di Seseba, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai. Di Kabupaten Banggai Kepulauan, PT Banggai Sentral Sulawesi mendapat kontrak prasarana wilayah berupa jalan, jembatan,

17

dan tanggul (Aditjondro 2003:16). Perusahaan lokal lain yang menguasai lahan di Kabupaten Banggai adalah PT Kurnia Luwuk Sejati dengan luas areal

12.000 Ha dan areal produksi 8.000 Ha, milik pengusaha Murad Husein. Menurut salah seorang aktivis ornop di Luwuk, Murad Husein adalah saingan bisnis Hideo Amir.

Selain dengan pemerintah, konglomerat milik raja adat itu juga punya hubungan erat dengan partai pemenang Pemilu 1999, PDI Perjuangan. Pertama, ada kerjasama antara Nyiur Mas Inti Group dengan perusahaan kongsi Pertamina dan PT Exspan Tomori Sulawesi dalam pembangunan jalan eksplorasi gas alam di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai. Padahal mayoritas saham PT itu adalah milik Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDI-P di MPR. Kedua, Ferry Tatimo, menantu Upi Sugianto yang juga seorang direktur Nyiur Mas Inti Group, menjabat sebagai Bendahara DPD PDI-P Kabupaten Banggai (Aditjondro 2003:17).

Kesuksesan usaha klan Hideo Amir ini bukan tidak mungkin karena seringnya raja adat itu menggunakan karisma adatnya untuk melegitimasi bisnisnya. Seorang wartawan senior di Luwuk bahkan mengatakan bahwa Hideo Amir membangun imperium ekonominya dengan menggunakan kekuatan adat. Padahal dalam usaha penulis untuk menelusuri kembali jejak adat Saluan bersama para masyarakat di Batui ditemukan bahwa sebenarnya Hideo Amir tidak layak menggunakan kedudukannya sebagai Tomundo (Ketua Dewan Adat). Hal ini karena Hideo Amir adalah anak istri ketiga dari Raja Amir, tomundo pendahulunya. Boki, nama panggilan istri ketiga Raja Amir itu adalah adik dari Upi Sugianto. Hideo Amir juga mendirikan Forum Musyawarah Masyarakat Adat Banggai. Fo-rum ini berulangkali melakukan unjuk rasa tandingan untuk melawan beberapa aktivis ornop atau masyarakat daerah yang melawan pihak perusahaan dengan menggunakan kata kunci, provokator. Unjuk rasa ini biasanya efektif karena menyebabkan beberapa aktivis ornop dan masyarakat yang kritis menjadi terdiam dan tidak lagi berani melakukan gerakan.

Pada tanggal 16 Oktober 2002, misalnya, Fo-rum Musyawarah Masyarakat Adat Banggai Wilayah Saluan-Luwuk-Kintom-Batui melakukan unjuk rasa di depan kantor Bupati. Unjuk rasa ini merupakan aksi massa tandingan atas aksi warga Honbola yang memprotes perampasan lahan milik PT Delta Subur Permai di Seseba. Dalam pernyataan sikapnya, mereka yang mengaku sebagai pemilik negeri ini meminta agar Bupati memanfaatkan potensi anak negeri semaksimal mungkin, agar para imigran dan

18

(20)

aparat keamanan segera menangkap Subali, Buyung, Betani Sakei, Yospian Naodja, aktivis ornop dan warga masyarakat yang dianggap sebagai provokator. Menariknya, ada di antara warga pengunjuk rasa yang tidak tahu apa tuntutan aksi mereka bahkan ada yang hanya diajak naik kendaraan ke Luwuk untuk kemudian makan siang. Setelah selesai berunjuk rasa mereka kembali ke Seseba untuk makan siang, karena sudah ada yang menyiapkannya (Banggai Express, Minggu IV Oktober 2002).

Di negeri yang kaya akan beras ini, dikeluarkan keputusan berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1454.K/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Keputusan ini menyatakan Pemerintah daerah Kabupaten Banggai memiliki kewenangan untuk penyelenggaraan pengusahaan (pertambangan) minyak bumi dan gas alam (Sudarto 2003). Akan tetapi rencana eksplorasi minyak dan gas di daerah ini akan menyisakan masalah, yang sepertinya akan terus bertambah, dengan sasaran empuknya, masyarakat. Mengapa?

Pertama-tama, karena mata pencaharian dominan di daerah ini adalah bertani dan nelayan, sehingga pasti akan terjadi perubahan dalam kebijakan Pemerintah Daerah tentang Penataan Ruang dan Penataan Wilayah. Sebelumnya, Tim Peneliti ITB yang ikut membantu penyusunan pemanfaatan ruang dari Sektor Pertanian ke Sektor Pertambangan di Kabupaten Banggai, Heru Purboyo, menegaskan bahwa karena investasi migas orientasi pasarnya adalah Dollar, maka Sektor Migas harus mengalah terhadap Sektor Pertanian. Purboyo menambahkan bahwa tidak akan terjadi perubahan fungsi lahan, karena teknologi yang digunakan adalah teknologi tinggi (Banggai Pos, Minggu III Januari 2003). Bupati Banggai juga berpendapat bahwa produksi di bidang pertanian harus bisa sejalan dengan eksplorasi minyak dan gas bumi karena tidak mungkin hanya mengandalkan satu sektor saja (Banggai Express, Minggu II Septem-ber 2002).

Kedua, karena kegiatan menjadikan Daerah Sentra Industri memerlukan persiapan mulai dari pra-konstruksi, konstruksi, mobilisasi alat dan bahan, penambangan bahan galian golongan C, reklamasi tapak kegiatan, pembangunan pelabuhan khusus, sampai pada pemboran. Untuk semua tahap kegiatan tersebut, tidak saja di wilayah Pulau Tiaka tapi juga di sepanjang pesisir pantai Sulawesi Tengah bagian timur, pengamanan untuk kelancaran pelaksanaan menjadi bagian penting, apalagi mengingat dampak lingkungan dan sosialnya sangat besar bagi masyarakat. Pengamanan juga penting bila menghadapi masalah seperti perijinan, khususnya pembebasan lahan yang pasti akan melibatkan masyarakat. Dari penelitian lapangan yang dilakukan penulis, ditemukan banyak kasus tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun pejabat pemerintah dengan menggunakan logika kepentingan negara sehingga bila melawan dianggap melawan negara, tidak nasionalistis, bahkan dicap sebagai PKI. Hal ini terjadi hampir di semua titik lokasi atau daerah -daerah yang berkaitan dengan pengembangan sentra industri. Pelanggaran HAM ini diikuti dengan ganti rugi yang tidak seimbang, kerusakan lingkungan, serta dampak sosial.

Kabupaten Banggai adalah Kabupaten yang mempunyai visi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan masyarakat di kawasan Timur Sulawesi pada tahun 2010. Sepertinya visi ini akan mencapai hasilnya karena menurut Pasibuan, Kepala Konstruksi PT Banggai Sentral Sulawesi, Pasibuan, tahun 2009 nanti di wilayah Kabupaten Banggai sudah akan menjadi wilayah sentra industri. Bupati Banggai, Sudarto, menyampaikan tanggapan positifnya terhadap rencana masuknya investor baru seperti kelompok Medco melalui PT Exspan Tomori Sulawesi, dan Pertamina. Menurut Sudarto, investasi minyak dan gas bumi di Kabupaten Banggai akan menarik masuknya investasi lainnya yang akan melakukan kegiatan langsung produktif seperti penyediaan tenaga listrik, telekomunikasi, dan berdirinya kegiatan-kegiatan industri baik sektor pertanian, perdagangan dan pariwisata serta sektor usaha lainnya dan pada gilirannya kesejahteraan masyarakat diharapkan akan meningkat (Sudarto 2003).

(21)

melalui anak perusahaannya PT Exspan Tomori Sulawesi memperoleh wilayah kontrak karya di Senorang Toili dengan membayar kompensasi satu dollar AS kepada PT Arco (Atlan-tic Richfield Company), salah satu anak induk perusahaan Union Texas. Proses pelaksanaan seis-mic testing sampai dengan eksplorasi di daerah Toili hingga Batui ini meninggalkan cerita tentang keterlibatan aparat keamanan dan aparat pemerintah setempat yang tidak memihak kepada rakyatnya.

Desa Seseba, adalah contoh yang menarik untuk menggambarkan bagaimana persiapan pengeboran minyak dan gas di wilayah Banggai mengorbankan rakyat. Sekaligus juga sebuah tantangan bagi aparat keamanan dalam menindak rakyat yang mempertahankan wilayahnya. Hal ini terjadi, masih dalam masa eksplorasi, bagaimana dengan saat ketika eksploitasi minyak dan gas muncul?

2.1. Desa Seseba, Kecamatan Batui

Di Desa Seseba, tempat yang direncanakan sebagai pemukiman baru karyawan Pertamina -Exspan Tomori Sulawesi adalah dataran luas yang subur. Sejak 20 tahun lebih, dataran ini menjadi penghasil tanaman palawija dan tanaman tahunan yang sukses di daerah Batui. Masyarakat Seseba sejak dulu sudah mengenal klasifikasi lahan sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu: hutan rakyat yang kepemilikannya komunal; tanah adat yang difungsikan masyarakat untuk menanam tanaman palawija (milik komunal, di mana warga masyarakat secara bergantian menanam dan memanen hasil tanah) dan tanaman tahunan (milik perorangan); serta perkebunan masyarakat yang digunakan warga masyarakat untuk menanam tanaman tahunan dalam skala besar, misalnya kelapa, coklat, kemiri, kopi. Seluruh luas areal lahan PT Delta Subur Permai mencapai 4090 ha yang sebagian besar merupakan hasil perampasan lahan perkebunan milik masyarakat dengan tanpa proses ganti rugi, dan sebagian lagi hasil pembukaan hutan yang dilakukan oleh perusahaan.

Penggusuran di dataran yang pernah menjadi basis perjuangan GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah) ini telah terjadi sejak tahun 1982 oleh PT Sentral Sulawesi. Pada tahun itu, masyarakat akhirnya mau menyerahkan lahannya setelah perusahaan menyepakati untuk membangun sekolah, mesjid, gereja, saluran irigasi, jalan aspal dan fasilitas lainnya dan janji bahwa semua tanaman milik masyarakat yang masuk dalam lokasi sebelum digusur akan dilakukan pendataan awal untuk ganti rugi. Kenyataannya perusahaan tidak memberikan ganti rugi, hanya membuat jalan darurat, hanya melakukan penggalian saluran air serta melakukan penggusuran dua lokasi pekuburan masyarakat bahkan memperluas areal penggusuran yang semula disepakati 2000 x 200 meter menjadi 2000 x semaunya. Penggusuran ini selain melibatkan Pemerintah Desa Honbola, Pemerintah

19

Kecamatan Batui, aparat Polsek Batui dan aparat militer dalam hal ini Komando Rayon Militer (Koramil) Batui. Penggusuran yang disertai dengan intimidasi menakut-nakuti masyarakat dengan menuduh mereka anggota PKI serta mengancam akan memenjarakan masyarakat bila tidak menyerahkan lahannya, menyebabkan masyarakat secara berkelompok mulai meninggalkan dataran Seseba.

(22)

keamanan. Simson, seorang penduduk yang mencederai sapi milik perusahaan yang merusak tanaman miliknya ditangkap dan ditahan selama dua minggu lebih di Polsek Batui. Hal tersebut membuat masyarakat takut dan sebagian mulai meninggalkan lahan perkebunan mereka.

PT Delta Subur Permai pada tahun 1991 mengalihkan pengolahan lahannya ke PTAstra Agro Lestari (AAL), setelah sebelumnya melakukan lagi perluasan lahan. PTAAL menanami lahan yang masih bersengketa seluas 100 hektar dengan coklat. Tindakan anak perusahaan kelompok Astra tersebut menyebabkan masyarakat yang dimotori oleh Betani Sakey, kepala Desa Seseba, melakukan pemblokiran atau penghadangan alat berat milik PT AAL serta melakukan pengrusakan dengan melempar camp pemukiman karyawan dan kantor PT AAL yang ada di Dataran Seseba. Pihak perusahaan mendatangkan aparat keamanan dari TNI sebanyak 50 orang serdadu dengan persenjataan lengkap dan dipimpin langsung oleh Danramil (Komandan Rayon Militer) Batui. Melihat kedatangan pasukan TNI, masyarakat yang melakukan aksi menjadi ketakutan dan meninggalkan lokasi.

Persoalan Seseba ini mengundang perhatian Pemda Kabupaten Banggai, sehingga diutuslah Tim Sembilan yang terdiri dari Bupati Banggai, Ketua DPRD Banggai, Kepala BPN, Kasospol, Kapolres, Dandim, Sekretaris Daerah Kabupaten Banggai, Kepala Dinas Perkebunan Banggai, dan Kepala Dinas Kehutanan Banggai untuk meninjau langsung ke Dataran Seseba. Hasil kunjungan tersebut ditindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan di Balai Desa Honbola untuk membicarakan masalah ganti rugi tanah. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Kepala Desa Seseba, Kepala Desa Lamo dan Camat Batui tersebut menghasilkan kesepakatan ganti rugi tanah sebesar Rp 60 ribu per hektar. Beberapa saat, setelah pertemuan tersebut, Tim Sembilan mengadakan pertemuan tertutup dengan pihak perusahaan yang langsung diwakili oleh Upi Sugianto dan Hideo Amir. Pertemuan tersebut tidak melibatkan masyarakat atau wakil masyarakat karena baik Kepala Desa Seseba maupun Kepala Desa Lamo diperintahkan untuk menunggu di luar. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan baru ganti rugi tanah Rp 30 ribu per hektar. Awalnya keputusan tersebut tidak diterima oleh Kepala Desa Seseba dengan alasan pertanggungjawaban terhadap masyarakat, akan tetapi akhirnya, karena Bupati meninggalkan pertemuan dengan marah dan karena Betani Sakey merasa ditekan oleh aparat Muspida yang berada di situ, akhirnya keputusan tersebut diterima.

Pada tanggal 2 Oktober 1997, PT Delta Subur Permai memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) dengan Surat Keputusan HGU Nomor 123/HGU/BPN/1997. Pemberian HGU itu dijawab sekitar 200 kepala keluarga yang berasal dari Desa Honbola dan Desa Lamo di Kecamatan Batui serta Desa Samadoya, Dimpalon, dan Padang di Kecamatan Kintom dengan mengambilalih kembali tanah Seseba. Mereka tergabung dalam Forum Persaudaraan Petani Miskin. Komunitas ini kemudian mulai menanam kembali lahan tersebut dengan tanaman padi ladang, dan tanaman palawija lain. Atas kejadian ini, perusahaan melayangkan surat ke Kepolisian Sektor (Polsek) Batui dan ditindaklanjuti dengan menangkap lima orang tokoh masyarakat Desa Honbola, yakni Ibrahim Indangan, Betani Sakei, Minder Indangan, dan Yospian Naodja. Mereka ditangkap dengan tuduhan tindak pidana penyerobotan dan perampasan lahan dan pada tanggal 7 Maret 2003 dihukum lima bulan penjara. Keputusan pengadilan ini diikuti dengan tindakan aparat gabungan TNI/Polri (Polsek dan Koramil Batui) pada tanggal 4 Juni 2003 yang memaksa masyarakat menandatangani pernyataan keluar dari lokasi Seseba dengan batas waktu tanggal 10 Juni 2003. Selain itu aparat keamanan membongkar fasilitas bersama yang dijadikan tempat diskusi atau tempat ibadah masyarakat. Masyarakat melaporkan kejadian tersebut dengan melakukan aksi protes ke DPRD Banggai. Pertemuan ini kemudian memperbolehkan masyarakat kembali ke lokasi sambil menunggu diadakannya proses dua arah yang difasilitasi oleh Pemda Banggai.

(23)

Persaudaraan Petani Miskin Seseba melayangkan surat ke BPN Propinsi Sulawesi Tengah tembusan ke BPN Pusat, Presiden RI, Ketua DPR RI perihal permintaan laporan hasil penelitian.

Sebelum diperoleh jawaban terhadap surat tersebut, pada tanggal 18 September 2003 sepuluh orang warga masyarakat Honbola mendapat surat panggilan dari fihak Polri Sektor Batui No.Pol: S.Pgl/ 90/IX/03/Sek.Bti yang pada tanggal 16 September 2003 ditandatangani oleh Kapolsek Batui. Kesepuluh orang warga Desa Honbola tersebut dipanggil dengan status tersangka dengan perkara tindak pidana perampasan hak dan perbuatan tak menyenangkan (Pasal 167 dan Pasal 335 ayat 1 KUHP).

Surat penangkapan tersebut didahului dengan kedatangan 30 orang polisi dari Polsek Batui dan satuan Perintis Polres Banggai yang dipimpin Kapolsek Batui bersama aparat kecamatan dan aparat desa (Kepala Desa dan ketua BPD Honbola) pada tanggal 17 September 2003 pukul 13.00. Kedatangan mereka bertujuan untuk mengevakuasi masyarakat. Karena ketakutan, masyarakat sudah terlebih dahulu meninggalkan lokasi. Sehari kemudian beberapa orang masyarakat kembali ke lokasi dan bertemu dengan aparat keamanan yang langsung memerintahkan masyarakat mengosongkan lokasi serta membuat pernyataan untuk keluar dari lokasi dan pernyataan keluar dari Forum Persaudaraan Petani Miskin. Selain itu, mereka juga diminta membongkar fasilitas umum dan rumah masyarakat yang sudah berdiri selama dua dasawarsa. Perintah ini disertai dengan ancaman masyarakat akan terus ditangkap dan dipenjarakan apabila melawan.

Saat penelitian, tiga dari empat warga Seseba yang resmi menjadi tersangka, masih sedang dipenjara. Ketiga orang itu, Ibrahim Indangan, Minder Indangan, dan Demus Saampap bertekad untuk membawa kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Sementara itu Alexander Sakey dibebaskan setelah dikunjungi seorang wanita yang diduga or-ang perusahaan. Menurut pengakuan para tahanan kepada penulis, pada tanggal 10 Oktober 2003 mereka dikenakan hukuman pemukulan dan push up yang tidak wajar. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Luwuk menolak memeriksa saksi yang diajukan warga Seseba. Akibat tekanan-tekanan fisik dan non-fisik itu, masyarakat Seseba terpecah dua. Ada yang masih mau berjuang mempertahankan tanah mereka, seperti ibu Nelly yang masuk kembali ke lahan bersengketa tersebut dan menanam tanaman palawija. Ada juga yang berhenti berjuang dan memutuskan untuk menjadi mata-mata bagi perusahaan.

Peristiwa penggusuran ini menjadikan masyarakat di dataran Seseba tamu di tanah sendiri. Mereka terpaksa menyingkir ke tiga lokasi berbeda, yaitu di daerah sekitar Seseba, ke seberang Sungai Seseba, di wilayah perkebunan desa, dan mengungsi dengan meminjam wilayah perkebunan milik seorang keturunan Tionghoa, Koh Yong. Hal yang aneh dari klaim pemilikan tanah melalui HGU ini, adalah ketika diantara seluruh wilayah HGU tersebut ada wilayah yang punya sertifikat tanah, milik Koh Yong. Hal ini membuktikan bahwa klaim HGU, punya kepentingan yang lebih besar dari sekedar kepemilikan tanah yaitu karena letak tata ruang wilayah Seseba sangat strategis sebagai wilayah pemukiman karyawan Pertamina - PT Exspan Tomori Sulawesi yang jaraknya sekitar 12 km dari pelabuhan barang Pertamina di Lamo dan berdekatan dengan rencana pelabuhan Samudera Tangkiang di Kintom serta rencana yang tertera dalam KAPET Batui tentang sentra daerah industri.

Pengalaman perlawanan rakyat Seseba tentu akan menjadi pelajaran menarik bagi pihak inves-tor yang menanamkan modalnya di Kabupaten Banggai. Karena itu, seperti Tomy Winata, Kelompok Medco juga membutuhkan jaminan keamanan.

2.2. Minyak Bumi dan Gas Alam di Kabupaten Banggai

Referensi

Dokumen terkait

Sabun cair kayu manis adalah sediaan semi padat berupa sabun cair yang menggunakan surfaktan cocamide dea dan SLS sebagai basis serta bahan lain yang diformulasikan

37 Tingginya persentase serangan di dataran rendah maupun tinggi diduga karena letak galur G4 di dataran rendah dan G7 di dataran tinggi berada di bagian tepi pada

Ratu di Sukabumi Terpopuler Pantai Selong Belanak Lombok, Wisata Bahari Penuh Kedamaian Pada tabel diatas ditunjukkan terdapat banyak artikel tidak relevan yang berada

Dari hasil perhitungan cosine similarity ke- enam data, diperoleh hasil yang tertera pada Tabel 4. Data tersebut kemudian diurutkan mulai dari nilai terbesar hingga nilai

Bagaimana mengevaluasi semua permintaan untuk perubahan dalam menentukan dampak pada bisnis proses dan layanan I&T, serta untuk menilai apakah perubahan akan berdampak

Dewasa ini, semua perusahaan bersaing ketat untuk memperoleh keuntungan dan pangsa pasar yang besar. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mampu mengembangkan kemampuannya

Sister Village merupakan kerjasama di antara dua Desa yang berada dalam satu wilayah administratif, dimana Desa Tamanagung merupakan wilayah yang menjadi saudara untuk menampung

Desa Negeri Baru merupakan salah satu desa yang berada di wilayah administratif Kecamatan Blambangan Umpu.. Kondisi Umum Desa