• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga: Studi di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga: Studi di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara hukum, dalam kehidupan bernegara harus

menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena menyangkut segala aspek kehidupan

manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, baik itu

laki-laki maupun perempuan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum.

Bahwa setiap manusia memiliki HAM karena kodratnya.1 Pendirian bangsa

Indonesia mengenai hak asasi manusia berlandaskan Sila II Pancasila:

Kemanusiaaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh sila-sila

lainnya.2 Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan

perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat.3 Salah satu wujud

perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah untuk melindungi

perempuan supaya tidak menjadi korban kejahatan adalah dengan menerbitkan

peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi tentang perlindungan

korban. Kemudian, bentuk lain dari perlindungan hukum terhadap korban adalah

dengan adanya keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai

lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan korban. Bentuk

perlindungan yang diberikan oleh LPSK antara lain kewenangan untuk

memberikan kompensasi, restitusi, serta bantuan bagi korban maupun saksi.

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan dalam awal paragraf diatas,

perlindungan korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi manusia.

1 Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, h. 36.

2 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di

Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 10.

3 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

(2)

2

Sebagaimana dikemukakan Separovic, bahwa The rights of the victim are a

component part of the concept of human rights.4

Seiring dengan peradaban yang semakin maju, perempuan pada masa kini

dapat menikmati kesetaraan haknya di segala bidang kehidupan. Dalam lingkup

rumah tangga, perempuan memiliki kedudukan yang sama penting nya dengan

laki-laki. Yakni, bahwa perempuan merupakan pelanjut keturunan bagi suatu

keluarga, dan berperan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, dalam artian,

tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh bagaimana cara mendidik oleh

seorang ibu. Ibaratnya, ibu adalah seorang guru bagi anaknya supaya kelak dapat

menjadi pribadi yang baik. Tentu saja hal tersebut menempatkan perempuan

sebagai sosok sentral dalam hidup berumah tangga, melihat peranan yang

disandang tersebut.

Bagaimanapun juga, setiap orang pasti menginginkan kehidupan rumah

tangga yang rukun, disertai dengan kedamaian, ketentraman, serta kebahagiaan.

Untuk mewujudkan semua hal tersebut, dibutuhkan perilaku yang baik dan saling

mendukung dari setiap individu dalam lingkup rumah tangga tersebut. Apabila

tidak ada perilaku baik dan dukungan dari setiap anggota keluarga, tentu

kerukunan dalam rumah tangga akan terganggu, sehingga dapat menimbulkan

perbuatan negatif, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau disingkat KDRT.

Pada umumnya tindak KDRT sendiri merupakan delik aduan, yakni delik yang

hanya dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi

korban tindak pidana itu sendiri. KDRT tersebut dapat menimpa siapapun dalam

lingkup rumah tangga dan pelakunya dapat siapa saja. Tindak KDRT merupakan

(3)

3 pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan diskriminasi terhadap kaum

perempuan. Fakta yang ada, masih banyak ditemukan kasus kejahatan kekerasan

dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan sebagai korban. Pada

umumnya sebagaimana kasus kejahatan yang lain, bahwa kejahatan sebagai suatu

gejala adalah selalu kejahatan dalam masyarakat (crime in society) dan merupakan

bagian dari keseluruhan proses-proses sosial produk sejarah.5 Fenomena tersebut

dalam masyarakat, seolah-olah sebagai masalah yang klasik, dalam artian bahwa

setiap tahun pasti ada kasus yang terjadi. Bahkan, angka tindak kekerasan dalam

rumah tangga dari waktu ke waktu semakin meningkat. Maraknya tindak KDRT

terhadap perempuan menunjukan bahwa perempuan sering dijadikan sebagai

objek dari perbuatan pelaku, karena secara fisik atau jasmani, perempuan masih

dipandang lemah.

Maka, untuk memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya

perempuan, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan

perundang-undangan yang dijadikan sebagai payung hukum bagi perlindungan terhadap

perempuan sebagai korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Undang-undang yang mengatur substansi hukum berkaitan dengan kekerasan terhadap

perempuan antara lain, KUHP (Kitab Undang Hukum Pidana),

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Didalam KUHP, ketentuan yang mengatur perlindungan agar perempuan tidak

menjadi korban tindak kekerasan, tidak nampak secara konkrit, karena rumusan

(4)

4

dalam Bab XX Tentang Penganiayaan pasal 351 – 356 tidak secara spesifik

menunjuk wanita sebagai korban saja, tetapi bersifat umum, dalam arti berlaku

untuk semua korban tindak penganiayaan. Bahwa pengaturan KUHP berorientasi

terhadap pelaku bahkan korban cenderung dilupakan.6 Dengan adanya asas lex

specialis derogate legi generalis yang berarti peraturan perundang-undangan yang

khusus, mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang umum, maka

rumusan KUHP tersebut bersifat umum dalam mengatur tindak KDRT, sementara

rumusan yang lebih spesifik / khusus mengatur ketentuan perlindungan terhadap

perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga terlihat dalam

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga ini memberikan perspektif baru bahwa ternyata kehidupan privat (yaitu

rumah tangga) juga dapat diintervensi oleh negara. Undang-Undang ini

memberikan perkembangan baru bagi KUHP yang berlaku di Indonesia.7

Undang-Undang ini antara lain sebagai upaya mencegah, menanggulangi, dan mengurangi

tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di lingkungan keluarga.8

Jika dilihat dari tujuan Undang-Undang KDRT tersebut, bahwa upaya mencegah

dan mengurangi tindak kekerasan atau kejahatan dalam lingkup keluarga dapat

dilihat sebagai bentuk prevensi / pencegahan. Apabila merujuk pada teori

pemidanaan, bisa dikatakan bahwa Undang-Undang KDRT mengandung teori

relatif. Jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah dilakukan,

6 Rena Yulia, ViktimologiPerlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010 h. 181-182.

7 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2015, h. 204.

(5)

5 sebaliknya teori-teori relatif bertujuan untuk mengusahakan pencegahan kesalahan

pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk

mencegah kejahatan.9 UU KDRT telah menunjukkan bahwa ketentuan yang diatur

tidak hanya untuk menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga saja,

tetapi juga mengatur bagaimana cara untuk mencegahnya. Bahwa segala bentuk

kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak

asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk

diskriminasi yang harus dihapus.10 Pengertian kekerasan dalam rumah tangga

dapat kita lihat melalui definisi kekerasan dalam rumah tangga yang dirumuskan

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

KDRT, yakni :

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.11 Pasal 5

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,

mengelompokkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang

dalam lingkup rumah tangga, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis,

kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga.12

9 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2014 (selanjutnya disingkat Teguh Prasetyo I), h. 15.

10Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

11Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, SInar Grafika, Jakarta, 2014, h. 26.

(6)

6 Selanjutnya, ketentuan mengenai perlindungan korban diatur dalam

Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang ini hadir

dengan tujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban, karena

dapat digunakan sebagai dasar menuntut hak atas rasa aman oleh para saksi dan

korban. Disamping itu Undang-Undang ini juga merupakan dasar bagi aparat

negara untuk memberikan perlindungan yang diperlukan kepada saksi dan korban.

Kemudian, menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2014, selain diatur mengenai

lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK), juga terdapat pihak lain yang

juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yakni

Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), ahli, serta orang

yang dapat memberikan keterangan yang masih ada korelasinya dengan suatu

perkara pidana meskipun tidak didengar sendiri, tidak dilihat sendiri, dan tidak

dialami sendiri, sehingga perlu diberikan perlindungan.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh

pemerintah tersebut, sebagai instrumen hukum untuk melindungi perempuan dari

tindak kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, diharapkan supaya

tindak KDRT ini jumlahnya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin. Tetapi,

realita yang ada, jumlah kasus KDRT yang menimpa perempuan, belum juga

surut. Undang-undang yang telah diterbitkan pemerintah, setelah diterapkan

belum sepenuhnya dapat menjamin perlindungan bagi perempuan. Banyak

permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap

tindak KDRT. Seperti, adanya nilai sosial atau stigma dari masyarakat yang

(7)

7 melaporkan tindak KDRT kepada aparat penegak hukum, dianggap telah

membuka aib keluarga. Permasalahan selanjutnya, faktor ketergantungan ekonomi

isteri kepada suami. Budaya malu atau perasaan tidak enak yang masih melekat

pada sebagian masyarakat, memiliki andil besar terhadap penanganan kasus

KDRT. Sehingga tidak banyak orang yang bersedia menanggung resiko untuk

melaporkan suatu tindak pidana, jika tidak ada perlindungan dari ancaman yang

kemungkinan diterima oleh pelapor.

Sejatinya, aparat penegak hukum, yakni kepolisian negara Republik

Indonesia, telah berusaha untuk meminimalisir permasalahan tindak kekerasan

dalam rumah tangga melalui Peraturan KAPOLRI No. 10 Tahun 2007 Tentang

Organisasi dan Tata Kerja. Berdasarkan peraturan tersebut, terbentuklah unit yang

bertugas untuk memberikan pelayanan, perlindungan terhadap perempuan dan

anak, yang dinamakan dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA).

Unit PPA berkedudukan di bawah Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim)

Kepolisian Resor. Tugas utama dari Unit PPA adalah memberikan pelayanan

dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban

tindak kejahatan atau kekerasan serta melakukan penegakan hukum terhadap

pelaku. Dalam melaksanakan tugasnya, Unit PPA menyelenggarakan fungsi

sebagaimana berikut :

1. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;

2. Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;

3. Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.

Dalam melaksanakan tugasnya, Unit PPA dipimpin oleh Kanit (Kepala

(8)

8 menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelaku. Dengan

dibentuknya Unit PPA , diharapkan mampu mendukung terwujudnya

perlindungan dan penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

terhadap perempuan.

Setelah penulis melakukan penelitian di Unit PPA Polres Salatiga, dapat

dilihat perkembangan kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani

oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 sampai 2017 yang akan penulis

uraikan sebagai berikut : 13

Kasus KDRT yang terjadi di Kota Salatiga dan yang dilaporkan ke Polres

Salatiga dari Tahun 2015 – 2017 berjumlah 32 kasus. Dimana dari semua

kasus tersebut, yang menjadi korban KDRT adalah perempuan. Pada tahun

2015, yang dilaporkan sebanyak 15 kasus. Pada tahun 2016, laporan yang

masuk sebanyak 9 kasus. Sementara pada tahun 2017, kasus yang

dilaporkan berjumlah 8. Meskipun jumlah KDRT yang ditangani oleh

Polres Salatiga dari tahun 2015 – 2017 relatif menurun, tetapi tidak

menutup kemungkinan, masih ada tindak KDRT yang belum dilaporkan /

diadukan oleh korban ke Unit PPA Polres Salatiga, dikarenakan

keengganan korban untuk melakukan laporan / aduan.

Merujuk pada data yang didapat dari Unit PPA Polres Salatiga tersebut,

penulis berargumen bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai

korban tindak pidana kekerasan, perlu diupayakan kembali secara maksimal.

Terlihat dari kurangnya sarana atau fasilitas untuk tempat perlindungan sementara

(9)

9

(seperti safehouse) bagi korban KDRT.14 Seharusnya, dengan diterbitkannya

peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur perlindungan korban,

yakni UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun

2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, aparat penegak hukum bisa

mengupayakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan

melaksanakan asas penghormatan HAM, keadilan dan kesetaraan gender,

nondiskriminasi, dan perlindungan korban. Argumen penulis secara spesifik

mengacu pada tujuan dari penerbitan UU No. 23 Tahun 2004, yang terdapat

dalam Pasal 4, apabila diringkas yakni penghapusan kekerasan dalam rumah

tangga bertujuan sebagai upaya untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam

rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak

pelaku kekerasan dalam rumah tangga, serta memelihara keutuhan rumah tangga

yang harmonis dan sejahtera. Hal tersebut searah dengan salah satu tujuan untuk

membentuk suatu rumah tangga atau keluarga, adalah terbentuknya rumah tangga

yang bahagia, yang memberikan dampak positif, yakni apabila rumah tangga

bahagia, maka lingkungan masyarakat bahkan negarapun ikut bahagia serta dapat

terciptanya keamanan dan kedamaian. Dalam pembahasan ini, penulis cenderung

berpendirian, supaya perlindungan hukum terhadap perempuan dari kekerasan

dalam rumah tangga dapat terjamin, maka aparat penegak hukum beserta setiap

warga negara, diharuskan untuk memiliki kesadaran yang tinggi dan pemahaman

terhadap permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.

(10)

10 Berdasarkan latar belakang tersebut, dan mengingat posisi perempuan

yang penting dalam keluarga, serta kondisi perempuan yang rentan terhadap

berbagai macam tindak pidana khususnya KDRT, maka penulis tertarik dan

bermaksud untuk mengkaji permasalahan hukum mengenai perlindungan terhadap

perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kota

Salatiga, yang akan penulis susun dalam skripsi dengan judul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI

KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”

(STUDI DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK SATUAN

RESERSE KRIMINAL POLRES SALATIGA).

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, pokok-pokok

permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah :

Bagaimana bentuk perlindungan hukum oleh Unit PPA Sat Reskrim Polres

Salatiga terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga ?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh aparat Unit

PPA Sat Reskrim Polres Salatiga terhadap perempuan sebagai korban kekerasan

dalam rumah tangga.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini ada dua, dari segi

(11)

11 kepada khalayak umum mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga,

serta sumbangsih dalam bentuk menambah informasi bagi perkembangan ilmu

hukum, khususnya hukum pidana. Kemudian, pada tataran praktis akan membantu

aparat penegak hukum (khususnya aparat kepolisian) dalam memberikan

perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya

perempuan, serta menangani tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

kedepannya agar lebih maksimal, supaya hak-hak korban lebih terpenuhi dan

terlindungi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang No.

23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Dalam Rumah Tangga.

E.Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat

deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan

gambaran secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai segala

sesuatu yang menggambarkan realitas dari data-data dan fakta-fakta yang

ditemukan dalam perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai

korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga oleh aparat Unit

Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor kota Salatiga.

2. Metode Pendekatan

Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian

dengan pendekatan hukum sosiologis atau empiris (socio legal research).

Pendekatan sosio legal adalah suatu pendekatan dalam penelitian hukum

yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial yang lebih

(12)

12

dengan hukum.15 Pendekatan tersebut ditujukan pada penerapan

perlindungan hukum oleh aparat Unit PPA terhadap perempuan sebagai

korban kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resor Salatiga, yang

berupa data yang didapat langsung melalui wawancara dengan narasumber

dari Unit PPA Kepolisian Resor Salatiga, yang dilengkapi serta diperkuat

dengan dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang terdapat di Kepolisian

Resor Salatiga. Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan

pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan

karena penelitian ini menelaah peraturan perundang-undangan yang

memiliki keterkaitan dengan masalah hukum yang penulis bahas.

Pendekatan kasus dikarenakan penulis akan mendasarkan gagasannya pada

data lapangan langsung dari narasumber di Kepolisian Resor Salatiga.

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain

meliputi penggunaan data sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat langsung dari penelitian atau

studi lapangan. Data primer dalam penulisan ini diperoleh dengan cara

wawancara dengan aparat Kepolisian Resor Salatiga, khususnya

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, serta advokat, dan

korban kekerasan dalam rumah tangga .

b. Data Sekunder

(13)

13 Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis dari penelitian

kepustakaan dengan cara melakukan study dokumen dan study

literature dalam mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis,

konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin, serta isi kaedah hukum yang

menyangkut perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia.

Data sekunder ini berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan

mengikat berkaitan dengan objek penelitian, antara lain :

1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

3. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.

Pol. : 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan kejelasan

mengenai bahan hukum primer, yaitu :

1. Buku-buku literature yang membahas perlindungan hukum

terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan

(14)

14

2. Makalah-makalah maupun karya tulis dari para ahli hukum yang

khususnya berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap

perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam

rumah tangga.

3) Bahan Hukum Tersier

Petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, dan

internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam

penelitian ini, diharapkan mampu diperoleh data yang benar-benar valid,

untuk itu penulis menggunakan teknik-teknik pengumpulan data, yaitu :

1. Survey yang penulis lakukan dengan menggali dan mendapatkan

informasi dari instansi, dalam hal ini pihak terkait Polres Salatiga,

khususnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.

2. Wawancara yang tersusun berdasar keterangan yang telah

disampaikan oleh narasumber yang diterima, yakni Kepala Unit

Pelayanan Perempuan dan Anak, advokat, dan korban.

3. Study pustaka (library research) meliputi mempelajari berbagai bahan

hukum dan dokumen yang berkaitan dengan perlindungan hukum

terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam

Referensi

Dokumen terkait

4USBUFHJ LFQBMB TFLPMBI TBOHBU NFNQFOHBSVIJ LPNQFUFOTJ QSPGFTJPOBM HVSV ZBOH EJMBLVLBO EFOHBO QFNCJOBBO EBO NFNCFSJ LFTFNQBUBO LFQBEB HVSV

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemanfaatan lahan pertanian gambir (Uncaria Gambir Roxb) terhadap terhadap sumberdaya lahan pertanian dan lingkungan

olmadıklarını belirleme ve bir şekle eş şekiller oluşturma, düzlemde nokta, doğru parçası ve diğer şekillerin öteleme altındaki görüntülerini çizme, ötelemede

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PELANGGAN DENGAN LOYALITAS PELANGGAN PENGGUNA HANDPHONE NOKIA PADA WARGA RW 08 KELURAHAN JATINEGARA KECAMATAN CAKUNG, JAKARTA TIMUR.. GIUSTI

Journalist Visit Program (JVP) , Fasilitasi Peliputan Media Massa pada Sidang Internasional, Dialog Interaktif tentang Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia,

Fartlek adalah suatu sistem latihan daya tahan yang maksudnya adalah untuk membangun, mengembalikan atau memelihara kondisi tubuh seseorang. Fartlek sebaiknya dilakukan di

Nilai Mean Platelet Volume (MPV) yang terdapat dalam pemeriksaan darah rutin dapat dijadikan penanda keparahan fibrosis hati pada pasien hepatitis B kronik.. Tujuan:

Secara umum, teori agensi dan teori sinyal yang digunakan dalam penelitian ini berhasil membuktikan bahwa konflik keagenan akan berkurang jika corporate governance