• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan ketersediaan fosfat melalui pemberian pupuk organik dan pengaruhnya terhadap produksi melon pada tanah berkadar fosfor (P) tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan ketersediaan fosfat melalui pemberian pupuk organik dan pengaruhnya terhadap produksi melon pada tanah berkadar fosfor (P) tinggi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Melon dan Karakteristiknya

Melon adalah salah satu jenis tanaman buah yang paling banyak disukai

masyarakat luas, seperti halnya buah apel, jeruk, anggur dan beberapa buah

favorit lainnya. Masa tanam melon yang relatif lebih cepat dan minat pasar yang

terlihat sedang mengalami peningkatan, membuat sebagian petani tertarik untuk

beralih ke melon. Melon dapat tumbuh baik pada ketinggian sekitar 300 – 1000

mdpl, dengan curah hujan ideal 2000 – 3000 mm/tahun. Melon menghendaki sinar

matahari yang lama, yaitu berkisar antara 10 – 12 jam per hari. Melon

menghendaki tanah yang kaya bahan organik dengan pH 6,0 – 6,8. Kelembaban

udara yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah sekitar 70-80% (Nuryanto,

2011). Pertumbuhan tanaman kuat dan tegap, daun membuka berwarna hijau

gelap, umur panen 35 hari setelah pembungaan atau 65 hari setelah tanam, buah

berbentuk bulat berjaring penuh, dengan warna kulit hijau, dengan warna daging

buah putih kekuningan, rasanya manis kadar gula 14%, toleran penyakit lain,

embun tepung dan lalat buah (Wahyu, 2011).

Dalam hal tanah tanaman melon menghendaki tanah liat berpasir yang

banyak mengandung bahan organik. Tanaman melon tumbuh baik pada

kemasaman tanah 5,8 – 7,2 (Noverius, 2012).

Pada fase generatif tanaman melon ditandai dengan keluarnya bunga. Pada

fase ini tanaman memerlukan banyak unsur fosfor untuk memperkuat akar dan

(2)

tanaman melon hanya dipelihara satu batang utama, sedangkan cabang - cabang

dihilangkan sejak cabang mulai tumbuh. Pemeliharaan ini bertujuan untuk

memelihara 1 (satu) buah melon pertanaman. Pemangkasan tunas-tunas dimulai

dari ruas ke 1 sampai ruas ke 10. Tunas batang yang dipelihara untuk dipilih salah

satunya adalah tunas ke 11 sampai dengan tunas ke 13 (Noverius, 2012). Hasil

penelitian (Harysaksono, et al., 1999; Nasution, 2003) penggunaan cabang

produksi ke 12 sampai 14 merupakan pilihan terbaik untuk pertumbuhan diameter

batang. Penggunaan cabang produksi ke 9 dan cabang produksi ke 12 sampai ke

14 merupakan pilihan terbaik untuk pertumbuhan diameter buah.

Hasil penelitian (Nasution, 2003) penggunaan cabang ke 12 sampai ke 14

merupakan pilihan terbaik untuk pengamatan produksi tanaman melon.

Pemangkasan pucuk dilakukan di atas ruas 25 – 26 atau lebih kurang 15 ruas di

atas buah yang dipelihara untuk membatasi pertumbuhan pucuk dan mengarahkan

pembagian asimilat ke arah pembentukan buah (Prajnanta, 1997; Nasution, 2003).

Varietas melon dewasa ini telah cukup banyak dikenal dan berkembang di

Indonesia bahkan di Sumatera Utara. Salah satu varietas yang banyak di pasaran

saat ini adalah varietas “Action 434.” Tanaman melon varietas Action 434 banyak

dibudidayakan oleh petani di Jawa Timur. Adapun karakteristik melon varitas

Action 434 adalah sebagai berikut: tanaman ini mempunyai batang yang kokoh

dan berproduksi banyak, bentuk buah bulat dengan kulit buah bertekstur kasar

berjaring dan warna hijau cerah hingga kuning muda, sedangkan daging buah

berwarna putih hingga hijau muda, bertekstur lembut dan tebal. Buah melon

(3)

Mutu buah melon ditentukan antara lain adalah aroma yang khas,

kemanisannya, warna dan ketebalan, tekstur daging serta kandungan serat. Selama

di pohon buah melon mengalami peningkatan kandungan padatan terlarut (total

gula). Untuk tujuan transportasi, kadar padatan yang dikehendaki antara 8 – 10 %

brix (Winarno, 1993; Nasution, 2003).

Cuaca dan iklim merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan

dalam produksi pangan yang paling sukar dikendalikan. Suhu udara merupakan

faktor lingkungan yang penting karena berpengaruh pada pertumbuhan tanaman

dan berperan hampir pada semua proses pertumbuhan. Bencana terhadap tanaman

pangan biasanya berasal dari keadaan kering yang sangat panas dan angin yang

mempercepat penguapan dan mengakibatkan dehidrasi jaringan tanaman

(Tjasyono dan Bayon, 2004).

Periode musim hujan dan kemarau tidak dapat lagi diramalkan secara

pasti. Beberapa kali telah terjadi kesalahan dalam menentukan saat tanam karena

perubahan cuaca dan iklim yang mengalami penyimpangan yang berkepanjangan.

Disamping itu suhu yang demikian tinggi membuat beberapa tanaman tidak dapat

berproduksi secara optimum sehingga menurunkan hasil panen (Rozali, 2013).

Pengalaman menunjukkan bahwa secara temporer berbagai bentuk penyimpangan

iklim telah sering mengancam sistem produksi pertanian. Ancaman tersebut tidak

saja menyebabkan gangguan produksi, tetapi juga menggagalkan panen dalam

luasan ratusan ribu hektar (Tjasyono dan Bayon, 2004).

(4)

2.2. Karakteristik Lahan Kering

Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang

dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang air yang

rendah, tetapi kadar Al, Fe dan Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah

Ultisol hanya ditentukan oleh kadar bahan organik lapisan atas, dan bila lapisan

ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Ultisol suatu jenis

tanah yang dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan

sehingga mengurangi daya serap air dan meningkatkan aliran permukaan dan

erosi tanah. Erosi tanah merupakan salah satu kendala fisik tanah Ultisol dan

sangat merugikan karena mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan

tanah Ultisol seringkali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik lapisan

atas. Tanah Ultisol dicirikan dengan penampang yang dalam dengan kandungan

liat yang tinggi, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basanya rendah. Umumnya

tanah ini berpotensi keracunan Al dan miskin bahan organik. Tanah ini juga

miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation yang dapat dipertukarkan

seperti Ca, Mg, Na dan K dan kapasitas tukar kationnya rendah. (Suriadikarta dan

Simanungkalit, 2006; Nuraini, 2009)

Salah satu masalah pada tanah masam adalah defisiensi unsur hara makro

seperti fosfor (P) akibat terjadinya fiksasi P yang tinggi sehingga ketersediaannya

rendah bagi tanaman. Hara ini tidak saja dibutuhkan oleh tanaman tetapi juga oleh

mikroorganisme tanah untuk metabolismenya. Salah satu mekanisme adaptasi

tanaman dan atau mikroorganisme terhadap kondisi defisiensi P dalam tanah

adalah dengan mengeluarkan enzim yaitu fosfatase dan asam - asam organik

(5)

Unsur hara P adalah unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman

untuk pertumbuhannya. Masalahnya tingkat ketersediaan unsur hara P rendah di

dalam tanah masam, rendahnya P di dalam tanah disebabkan oleh tingginya

kandungan liat Al dan Fe sehingga P terfiksasi oleh mineral liat tersebut dan tidak

dapat diserap tanaman (Sanchez, 1976; Nurhayati, 1986; Chairani, 2002).

Ketersediaan P sangat bergantung pada tingkat kemasaman tanah atau pH

tanah (Suwandi, 1990; Subhan, et al.,2005). Penambahan bahan organik yang

belum masak atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi

biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah namun apabila diberikan kepada

tanah masam dengan kandungan Al tertukar tinggi akan menyebabkan

peningkatan pH tanah karena asam-asam organik akan mengikat Al membentuk

senyawa komplek (khelat) (Atmojo, 2001; Nasution, 2003).

Curah hujan yang tinggi dan berjalan lama dapat menyebabkan tanah

memiliki beberapa masalah utama antara lain: pH tanahnya rendah (masam),

kandungan Al dan Fe nya tinggi, akibatnya kandungan P tersedia di dalam tanah

rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe tersebut, dan kandungan bahan organik

rendah menyebabkan aktivitas mikro organisme tanah rendah. Kondisi lahan

tersebut merupakan permasalahan yang selalu ditemukan di lahan kering dan

banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika. Kerentanan terhadap erosi membuat

tanah akan semakin cepat berkurang kesuburannya terutama pada lapisan atas dan

(6)

2.3. Bahan Organik/Pupuk Organik

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri

atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui

proses rekayasa, dapat membentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai

bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Defenisi

tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan

C-Organik atau bahan organik daripada kadar haranya

Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan

pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan,

terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-Organik tanah, yaitu

< 2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya < 1%.

Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-Organik > 2,5%.

Sering kurang disadari oleh petani, bahwa walaupun peran bahan organik

terhadap suplai hara bagi tanaman kurang, namun peran bahan organik yang

paling besar dan penting adalah kaitannya dengan kesuburan fisik tanah. Apabila

kandungan humus tanah semakin berkurang, maka lambat laun tanah akan

menjadi keras, kompak dan bergumpal, sehingga menjadi kurang produktif

(Stevenson, 1982; Atmojo, 2003).

Penambahan bahan organik yang belum masak atau bahan organik yang

masih mengalami proses dekomposisi biasanya akan menyebabkan penurunan pH

tanah namun apabila diberikan kepada tanah masam dengan kandungan Al

tertukar tinggi akan menyebabkan peningkatan pH tanah karena asam-asam

organik akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat) (Atmojo, 2001,

(7)

Peningkatan ketersediaan Mn disebabkan oleh semakin turunnya nilai pH

tanah. pH tanah merupakan faktor pengontrol terdapatnya Mn, dan faktor-faktor

yang mempengaruhi ketersediaan Mn yaitu pH dan bahan organik. Penambahan

bahan organik yang banyak akan menyebabkan turunnya pH (Hardjowigeno,

1992; Raharjo, 2000).

Usaha mempertahankan kandungan BOT merupakan kunci utama dalam

menghindari kerusakan fisik tanah antara lain perbaikan agregat tanah, perkolasi

air tanah, infiltrasi tanah dan kelembaban air tanah. Dengan demikian BOT dapat

melindungi kerusakan tanah akibat erosi, aliran permukaan dan kekeringan Pupuk

organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah utama, selain

itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi

tanah serta lingkungan. Bahan organik dapat berperan sebagai “pengikat” butiran

primer menjadi butiran sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap.

Keadaan ini besar pengaruhnya kepada porositas, penyimpanan dan penyediaan

air, aerasi tanah, dan suhu tanah (Hairiah, et al., 2000).

Bahan organik dengan C/N tinggi seperti jerami atau sekam lebih besar

pengaruhnya pada perbaikan sifat - sifat fisik tanah dibanding dengan bahan

organik yang terdekomposisi seperti kompos. Bahan organik juga berperan

sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah, sehingga dapat meningkatkan

aktivitas mikroba dalam penyediaan hara tanaman (Simanungkalit dan

Suriadikarta, 2006).

Penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori

(8)

Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mengandung karbon

yang tinggi. Pengaturan jumlah karbon di dalam tanah meningkatkan

produktivitas tanaman dan keberlanjutan umur tanaman karena dapat

meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan hara secara efisien. Selain itu

juga perlu diperhatikan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman tergantung pada

tipe bahan yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan nutrisi lain (misal

C/N, C/P dan C/S) (Follet dan Delgado, 2002; Rizal, 2012).

Pemberian bahan organik ke tanah masam dapat meningkatkan

ketersediaan P tanah melalui pembentukan khelat dari senyawa Al dan Fe dengan

asam – asam organik yang dihasilkan dari penguraian bahan organik (Chairani,

2002).

Stevenson (1982 dalam Atmojo, 2003) menjelaskan ketersediaan P di

dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi

seperti tersebut di bawah ini:

1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral

(PO4

3-2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil

dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang

tidak larut menjadi bentuk terlarut : );

Al (Fe) (H2O)3(OH)2H2PO4 + Khelat ===> HPO4

2-3) Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan

asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs

pertukaran;

(larut) + Kompleks

(9)

4) Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan

organik asli tanah;

5) Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan

lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan organik

secara lemah.

Bahan organik sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dapat

merangsang kegiatan biokimia dalam tanah seperti pengeluaran enzim oleh

mikroorganisme, dan enzim (fosfatase) yang dikeluarkan tersebut dapat merubah

P menjadi tersedia baik bagi mikroorganisme atau tanaman (Huda, 2001).

Gianfreda dan Bollag (1996 dalam Djuniwati, et al., 2007) menjelaskan bahwa

aktivitas seluruh enzim dalam tanah berasal dari jasad mikroorganisme (bakteri

dan fungi) dan atau binatang kecil serta tanaman (akar tanaman dan residu

tanaman).

Asam humat dan fulvat mampu berperan dalam pelepasan P - terjerap dan

meningkatkan ketersediaan P tanah, baik yang diberikan langsung ke dalam tanah

dalam bentuk ekstrak maupun secara tidak langsung dalam bentuk bahan organik.

Penggunaan bahan organik dengan kandungan asam humat dan fulvat yang tinggi

(Gliricida sepium) mampu berperan lebih besar dalam melepaskan P - terjerap

menjadi tersedia (Minardi, 2006).

Di daerah tropis, tanah-tanah produktif minimal harus memiliki kandungan

bahan organik tanah (BOT) sekitar 2 - 4% (Hairiah, et al., 2001). Penambahan

bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah dan

(10)

sapi mengandung air : 60 %, C organik 8-10 %, N 0,6 %, P 0,1-0,2 %, K

0,4-0,6 % dan Ca 0,2-0,4 % dari berat segar (Fairhurst, et al., 2007).

Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya.

Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa

unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman (Sugi, et al., 2009 ).

Pengembalian jerami 5 t/ha setiap musim tanam, setelah musim kedua dan

seterusnya dapat menggantikan semua pupuk KCl. Pemberian kompos 5 ton/ha

meningkatkan kandungan air tanah pada tanah subur (Kasno, 2009). Jerami adalah

satu-satunya bahan organik yang dipunyai kebanyakan petani padi. Sekitar 40%

N, 30–35% P, 80–85% K, dan 40–50% S diambil dari jerami dan tunggul.

Sekalipun begitu, di banyak daerah, bahan organik tidak cukup tersedia untuk

mengimbangi hara yang diambil, dan untuk suatu jumlah hara yang setara, pupuk

organik lebih mahal daripada pupuk anorganik (Fairhurst, et al., 2007).

Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak tumbuh tanaman pisang.

Buah pisang banyak dikonsumsi masyarakat sehingga sampah kulit pisang yang

dihasilkan juga banyak. Kulit pisang mengandung 15% kalium dan 12% fosfor

lebih banyak daripada daging buah pisang, karena itu kulit pisang sangat potensial

dijadikan sebagai pupuk. Selain mengandung kalium dan fosfor, kulit pisang juga

mengandung unsur magnesium, sulfur dan sodium. Unsur magnesium diperlukan

tanaman selain untuk pembentukan klorofil sebagai katalisator penyerapan unsur

kalium dan fosfor. Potasium membantu pembentukan protein, karbohidrat, gula,

membantu pengangkutan gula dari daun ke buah dan memperkuat jaringan

(11)

Selain mengandung kalium dan fosfor, kulit pisang juga mengandung

unsur magnesium, sulfur dan sodium. Unsur magnesium diperlukan tanaman

selain untuk pembentukan klorofil sebagai katalisator penyerapan unsur kalium

dan fosfor

Sampah yang bersumber dari bahan organik adalah sampah yang mudah

membusuk yang berasal dari kegiatan rumah tangga seperti sisa makanan sayuran

dan daun - daun kering yang dapat diolah menjadi kompos (Moch, 2002). (Purbowo, 2012).

Pengomposan diartikan sebagai proses penguraian atau perombakan bahan

organik oleh sejumlah besar mikroorganisme dalam lingkungan lembab, panas

dan berudara atau tanpa udara yang akan menghasilkan humus dengan C/N 10-12

dan layak diberikan pada tanaman (Gaur, 1982; Razali, 2002).

Penurunan rasio C/N jerami dari 32:1 menjadi < 25:1 dicapai setelah 2

minggu masa inkubasi, yakni pada perlakuan M-Dec, EM-4 dan MOL-pepaya.

Namun stabilisasi baru dicapai setelah minggu keempat dan kelima masa inkubasi

dengan rasio C/N 10:1-16:1 (Husen dan Irawan, 2010).

Tabel 1. Nilai beberapa bahan organik didasarkan kandungan hara N, P dan K

Pupuk Organik N (%) P (%) K (%)

Pupuk kandang(kotoran sapi) 0,4 - 0,6 0,1 - 0,2 0,4 - 0,6

Sisa tanaman padi (jerami) 40 30 - 350,2 80 - 85

Kulit pisang - 15 12

Sumber : Fairhust et al., (2007)

Di lapangan saat ini potensi bahan organik belum dimanfaatkan secara

optimal. Sisa tanaman seperti daun, brangkasan, dan jerami adalah sumber bahan

(12)

pengadaannya. Pengembalian sisa tanaman ke dalam tanah juga dapat

mengembalikan sebagian unsur hara yang terangkut panen (Rahman, et al., 2006;

Nuraini, 2009).

Salah satu sisa tanaman hortikultura yang belum maksimal dimanfaatkan

adalah kulit pisang. Kulit pisang dapat menyuburkan tanah. Tidak hanya untuk

campuran kompos, kulit pisang bisa langsung ditimbun begitu saja kedalam tanah

untuk menyuburkan tanaman di sekitarnya. Kulit pisang memiliki kandungan

potasium yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman (Utuy, 2012).

Pencampuran bahan yang berbeda kualitasnya akan berdampak pada

peningkatan pelepasan hara. Hal ini sangat penting dalam kaitannya dengan

sinkronisasi. Khusus di tanah masam, sinkronisasi dalam kaitannya dengan hara P,

perlu dipertimbangkan kemampuan bahan organik untuk mengurangi laju fiksasi

P (Meyer, et al., 1997; Atmojo, 2003).

Masalah sinkronisasi ini lebih rumit lagi apabila dikaitkan dengan masalah

kelasi Al, Fe dan Mn. Disatu pihak diharapkan penyediaan hara khususnya P

segera, untuk dapat digunakan tanaman sesuai dengan pertumbuhan, di lain pihak

diharapkan mampu mengkelasi Al dalam kurun waktu yang lama (Atmojo, 2003).

Penelitian Harahap (2000 dalam Chairani, 2002), mengatakan pemberian

pupuk kandang kotoran ayam nyata meningkatkan C-organik sebesar 2,69 % dan

N - total tanah sebesar 0,40 %. Penelitian Haslinda (1997 dalam Chairani, 2002)

menyatakan penambahan pupuk kandang nyata meningkatkan C-Organik dari

0,32 % menjadi 0,35 %, N-total tanah dari 0,21 % menjadi 0,23 %, P - tersedia

(13)

menjadi 1,63 mg/pot dan serapan P tanaman dari 0,06 mg/pot menjadi 0,09

mg/pot.

2.4. Fosfor

Ketersediaan fosfor yang sangat rendah bagi tanaman adalah salah satu

masalah penting pada Podzolik Merah Kuning (PMK). Kondisi ini menyebabkan

kelarutan Al dan Fe tinggi sehingga menurunkan mobilitas P dan cepatnya unsur

P dari pupuk dijerap tanah dalam bentuk Al-P, Fe-P, atau bentuk lain yang sulit

untuk diserap tanaman. Untuk mencegah ion fosfat dan atau melepaskan fosfat

yang telah terikat pada keadaan ini maka dua mekanisme yang memungkinkan

yakni (i) mengendapkan Fe dan Al menjadi tidak larut, melalui penetralan pH

tanah; dan (ii) mengkompleks Al atau Fe melalui pengkhelatan oleh bahan

organik tanah. Penambahan pupuk fosfat juga merupakan salah satu cara umum

yang memungkinkan fosfor yang lebih banyak tersedia bagi tanaman (Basuki dan

Tony, 2007).

Ketersediaan P di dalam tanah tergantung reaksi keseimbangan antara

berbagai bentuk P, yakni P larut (soluble P), P terserap (P labil), P mineral

sekunder dan primer (P non labil), dan P organik. Salah satu masalah pada tanah

masam adalah defisiensi hara makro seperti fosfor (P) akibat terjadinya fiksasi P

yang tinggi sehingga ketersediaannya rendah bagi tanaman. Hara ini tidak saja

dibutuhkan oleh tanaman tetapi juga juga oleh mikroorganisme tanah untuk

metabolismenya (Nursyamsi dan Setyorini, 2010).

(14)

penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik

terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan

pengapuran (Sufardi, et al., 1999; Atmojo, 2003).

Hasil penelitian (Huda, 2001) mengatakan bahwa pemberian bahan

organik pada tanah Ultisol dapat meningkatkan P tersedia tanah dari 47,17 ppm P

menjadi 84,29 ppm. P. Asderitawati (2001), mengatakan bahwa pemberian bahan

organik pada tanah Ultisol dapat meningkatkan P tersedia dari 7,89 ppm P

menjadi 13,44 ppm. P. Nursyamsi, et al., (1996) mengatakan bahwa pemberian

Gambar

Tabel 1. Nilai beberapa bahan organik didasarkan kandungan hara N, P dan K

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang kedua berhasil mendukung hipotesis kedua seperti pada hipotesis pertama yaitu bahwa variabel kualitas layanan dan kepuasan secara parsial mempunyai pengaruh

Dalam pembelajaran yang digunkan guru juga dikatakan hanya pembelajaran dua arah sehingga siswa menjadi kurang aktif, hal ini terbukti ketika guru melamparkan

Setelah Rencana Kerja Pemerintah Daerah disempurnakan maka dilakukan penetapan dengan Peraturan Walikota Payakumbuh dan selanjutnya menjadi acuan bagi unit kerja

Light Control Alarm ini adalah sebuah rangkaian elektronika yang berfungsi untuk melakukan sistem pengamanan yang dapat bekerja apabila ada bayangan yang lewat dari rangakaian

[r]

Menyerahkan formulir laporan penerimaan gratifikasi yang telah dilengkapi dengan dokumen-dokumen terkait kepada UPG atau melalui PO BOX dan Email ke

Alat ini dapat digunakan sebagai alat peraga untuk menampilkan hasil pertandingan olah raga, permainan kuis, jumlah produksi pabrik, sehingga dengan cepat diketahui jumlah yang

Analisa pengaruh jarak, pH, suhu, tekanan dan kandungan besi terhadap konsentrasi sisa klorin dan koloni coliform pada sumber air wendit PDAM kota malang.. Universitas Brawijay