BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica
Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla (Warner, 1997). Di Indonesia kepiting ini dikenal dengan nama kepiting lumpur (mud crab), sedangkan di negara lain lebih dikenal dengan nama kepiting batu (Malaysia), kepiting lumpur (Australia), kepiting samoa (Hawai), alimango (Filipina), tsai jim (Taiwan) dan nokogiri gozami (Jepang) (Cowan, 1984). Di Medan sendiri kepiting ini dikenal dengan nama kepiting Cina, kepiting batu atau kepiting hijau. Dinamakan kepiting bakau karena banyak ditemukan di wilayah hutan bakau/mangrove.
Kepiting bakau menurut Moosa et al. (1985) memiliki ciri morfologi sebagai berikut: karapas pipih dan agak cembung berbentuk heksagonal atau agak
persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang. Karapas umumnya berukuran lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi anterolateral bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi
Gambar 2.1. Perbedaan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Jantan (A) dan Betina (B). Parmawati (2013)
Estampador (1949) dan Kasry (1996) mendeskripsikan ciri kepiting bakau
S. oceanica sebagai berikut: karapas berwarna sedikit kehijauan atau hijau
keabu-abuan atau disebut juga dengan warna hijau buah zaitun, pada kiri-kanan karapas terdapat sembilan buah duri-duri tajam, dan pada bagian depannya (diantara tangkai mata) terdapat enam buah duri. Memiliki 2 buah capit, dimana sapit kanan lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung. Bentuk alur H pada karapas dalam, terdapat 2 buah duri yang jelas pada
fingerjoint dan bentuknya runcing, terdapat rambut-rambut halus/setae pada
karapas. Merus dilengkapi dengan tiga buah duri pada anterior dan 2 buah duri
pada tepi posterior, karpus dilengkapi dengan sebuah duri kuat pada sudut sebelah dalam, sedangkan propondus dengan 3 buah duri, satu diantaranya terletak berhadapan dengan persendian karpus dan 2 lainnya terletak berhadapan dengan persendian daktilus (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica
2.2. Distribusi dan Daur Hidup
Kepiting bakau merupakan salah satu fauna yang habitatnya terdapat di perairan payau dan laut. Biota ini banyak ditemukan di perairan pantai Indonesia, khususnya yang ditumbuhi hutan mangrove, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Sulistiono et al., 1992). Kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri. Arriola (1940) dan Hill (1974) dalam Kasry (1986)
Tingkat perkembangan kepiting bakau menurut Estampador (1949) dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu: fase telur (embrionik), larva dan kepiting. Lebih lanjut Ong (1964) dalam Moosa et al,. (1985); Soim (1999) menyatakan perkembangan kepiting bakau mulai dari telur hingga kepiting dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut antara lain: tingkat zoea, megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa. Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat 1 (zoea 1) yang terus menerus berganti kulit kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga lima kali (zoea V)
dan membutuhkan waktu 18 hari. Setiap kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang, yang antara lain ditandai oleh penambahan setae renang pada
endopod maxilliped-nya (Warner, 1977). Zoea 1 selanjutnya akan berganti kulit
Gambar 2.3. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Kasry, 1996).
2.3. Reproduksi Kepiting Bakau
Barnes (1974) menyatakan organ reproduksi kepiting bakau jantan maupun betina berupa organ berpasangan, yang terletak pada bagian posterior
thorax dibawah karapas dan melintang pada bagian dorsal hepatopankreas. Organ
oviduct dan spermatheca berbentuk corong, yang mengarah menuju ke bagian
ventral tubuh secara vertikal, dan bermuara pada bukaan kelamin yang terletak pada thorachic sternum.
Tiap fase dalam proses reproduksi kepiting bakau menurut Ong (1966) dimulai dari proses transfer sperma (kopulasi) dan perkembangan ovarium yang berlangsung sekitar 30 hari, serta proses pemijahan, pembuahan, inkubasi dan penetasan telur yang berlangsung sekitar 17 hari. Hartnoll (1969), menyatakan proses perkembangan gonad dapat berlangsung apabila kepiting bakau betina
telah mengalami proses kopulasi. Arriola 1940 dalam Siahainenia (2008) menyatakan ukuran lebar karapas kepiting bakau yang siap untuk matang gonad umumnya berkisar antara 105-123 mm, sedangkan Ong (1966) melaporkan kepiting bakau sudah dapat mencapai kematangan gonad pada ukuran lebar karapaks 99.1 mm.
2.4. Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad sejak awal hingga selesai memijah. Penentuan TKG kepiting bakau dapat dilihat secara morfologi dan histologi. Penentuan morfologi dapat dilihat dari bentuk, berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan cara histologi dapat dilihat dari anatomi gonadnya. Kasry (1996) dan Minagawa et al., (1993) dalam Rugaya (2008) menyatakan penentuan TKG kepiting bakau secara morfologi sebagai berikut:
TKG I: Belum matang (immature)
Ovari berbentuk sepasang filamen yang mengarah ke punggung berwarna kuning keputihan, seluruhnya ditutupi selaput peritoneum tipis.
TKG II: Menjelang matang (maturing)
Ukuran ovarium bertambah besar dan meluas ke arah lateral maupun antero- posterior, butiran telur belum kelihatan dan warnanya menjadi kuning keemasan.
TKG III: Matang (mature)
TKG IV: Siap memijah
Butir-butir telur semakin membesar dan terlihat dengan jelas, berwarna orange serta dapat dipisahkan dengan mudah karena lapisan minyaknya sudah semakin berkurang.
2.5. Pengertian Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah jenis
tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat
kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove (Bengen, 2002). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Ekosistem mangrove merupakan kawasan yang subur, baik daratan maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.
2.6. Hubungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Mangrove
menyatakan campuran deposit organik dengan tumbuhan, bakteria, diatom, dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di dasar mangrove merupakan sumber makanan bagi kepiting bakau.
Hutching dan Saenger (1987) menyatakan ekosistem mangrove merupakan habitat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap ekosistem mangrove dan sering