BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1,2
Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Lue Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama Lymphadenopathy virus (LAV) sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS (1984) yang dinamakan HTLV-III.2
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi. Tanah papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas. Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.1 Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2013), dari tahun 2003 s/d akhir maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki dan 1.748 perempuan.3
Gangguan metabolisme lipid pada pasien yang terinfeksi HIV telah diketahui sebelum penggunaan obat anti retroviral. Peningkatan serum trigliserida dan penurunan kolesterol total berhubungan dengan perjalanan penyakit yang lebih lanjut. ODHA juga mempunyai kadar HDL dan LDL kolesterol yang rendah.4
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida serta penurunan kolesterol HDL.5
Penggunaan obat ARV juga telah dilaporkan meningkatkan kejadian dislipidemia, terutama dalam jangka panjang. Golongan Protease Inhibitors (PI) lebih sering dan lebih berat menyebabkan gangguan lipid dibandingkan golongan Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) dan Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) yang juga menyebabkan perubahan kadar lipid.6,7
Desy Hinda, dkk (2009) dalam studinya di Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi RSU Dr. Soetomo Surabaya bahwa dislipidemia berkaitan dengan penggunaan stavudine (d4T) dan penggunaan jangka panjang dari ARV Lamivudine, Stavudine, Zidovudine, Nevirapine atau Efavirenz.8 Eric Walter,et.al (2011) di Cameroon dalam studinya didapati prevalensi total kolesterol ≥200 mg/dL sebesar 37,6% dan 24,6% pada ODHA dengan ARV lamivudine, stavudine atau zidovudine dan nevirapine atau efavirenz dengan pasien naïve serta prevalensi LDL kolesterol ≥ 130mg/dL 46,4% dan 21%, sedangkan distribusi HDL kolesterol dan trigliseridemia sama diantara kedua grup. Peneliti menyarankan untuk memonitor kadar lipid dan faktor resiko kardiovaskular lainnya pada pasien yang mendapat terapi ARV.9
RS Carling, dkk (2002) melaporkan 2 kasus hipertrigliseridemia berat yang berrespon dengan pergantian rejimen terapi antiretroviral dan atau pemberian obat penurun kolesterol (bezafibrate). Salah satu kasus: pasien mulai terapi ARV dengan nelfinavir, lamivudine dan stavudine. Namun setelah 7 bulan, pasien mengeluhkan neuropathy perifer dan kelemahan umum yang menetap (persistent tiredness). Rejimen terapi kemudian diganti menjadi ritonavir dan indinavir, serta zidovudine. Setelah 2 minggu kemudian pasien merasa keluhannya tersebut tidak ada, dan 6 minggu berikutnya obat didanosine ditambahkan ke rejimen terapi. Pada follow-up selanjutnya diketahui terdapat peningkatan kadar trigliseridemia (15,9 mmol/L) dan kolesterol (10.9 mmol/L), sehingga rejimen terapi diubah dengan dosis ritonavir diturunkan (2x400mg menjadi 2x100mg), dosis indinavir ditingkatkan (2x400mg menjadi 2x800mg), didanosine dihentikan dan diberikan bezafibrate. Seminggu kemudian nilai kolestrol turun menjadi 7,9 mmol/L dan trigliserida 8,8 mmol/L, serta Abacavir selanjutnya ditambahkan kedalam rejimen terapi tersebut.11
T.Oduola, dkk (2009) dalam studinya di Nigeria pada 16 ODHA yang mendapat terapi antiretroviral selama 6 bulan mendapati rerata kolesterol total 158.88±38.36 mg/dL, kadar HDL 45.19±15.59 mg/dL, kadar LDL 86.38±28.61 mg/dL, kadar trigliserida 127.81±64.29 mg/dL sedangkan pada 10 ODHA naïve rerata kolesterol total adalah 135.30±34.65 mg/dL, kadar HDL 41.80±12.92 mg/dL, kadar LDL 73.30±23.41 mg/dL, kadar trigliserida 102.40±38.17 mg/dL. Dari hasil tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa penyakit HIV itu sendiri mempengaruhi metabolisme lipid dan mengamati bahwa peningkatan total kolesterol pada ODHA yang mendapat ARV dan pasien naïve tidak mengarah untuk terjadinya resiko kardiovaskular karena peningkatan tersebut dalam rentang nilai normal. Hasil ini, juga sejalan dengan yang didapat pada penelitian oleh Buchacz, et.al di Uganda yang mengamati selama 24 bulan.12,13
ini menyatakan pergantian Stavudine ke Tenofovir secara virologis aman, dapat menghindari pemakaian obat anti kolesterol dan menurunkan resiko kardiovaskular. Namun demikian, dalam studi ini tidak jelas apakah perbaikan dislipidemia tersebut akibat efek lipid-lowering dari Tenofovir atau penarikan dari Stavudine. 14
Marisa Tungsiripat,dkk (2010) dalam studinya AIDS Clinical Trials Group (ACTG) A5206 meneliti efek lipid-lowering Tenofovir dengan menambahkan Tenofovir ke rejimen antiretroviral dibandingkan plasebo selama 12 minggu. Dari 13 subyek penelitian dijumpai perbaikan parameter kadar lipid pada grup yang ditambahkan Tenofovir dibandingkan plasebo, yang menandakan adanya efek lipid-lowering yang independen dari Tenofovir.15
Berdasarkan uraian di atas, meskipun metabolisme lipid pada ODHA yang mendapat terapi antiretroviral telah diteliti secara luas di berbagai belahan dunia, namun sampai saat ini sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang pengaruh pemberian Tenofovir terhadap kadar lipid di Indonesia belum ada. Oleh karenanya penulis berminat untuk meneliti hal tersebut, dengan memperhatikan bahwa Stavudine akan di phase out sebagai rejimen lini pertama pada ODHA karena efek toksik (antara lain neuropati perifer, asidosis laktat, lipodystrophy) digantikan paduan dari Zidovudine atau Tenofovir sebagai lini pertama tatalaksana HIV di Indonesia. Serta diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu dalam memilih rejimen ARV yang akan digunakan pada ODHA yang sebelum pemberian ARV sudah mengalami dislipidemia. Namun demikian, peneliti tidak mengikuti perjalanan klinis dari subyek yang diteliti.
1.2 Perumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian ARV yang mengandung Zidovudine atau Tenofovir selama ± 6 bulan dibandingkan yang belum mendapat ARV terhadap kadar lipid ?
1.3 Hipotesis
Terdapat pengaruh pemberian ARV yang mengandung Zidovudine atau Tenofovir selama ± 6 bulan dibandingkan yang tidak mendapat ARV terhadap kadar lipid.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ARV dibandingkan dengan yang tidak mendapat ARV terhadap kadar lipid .
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh pemberian rejimen ARV yang mengandung Zidovudine atau Tenofovir selama ± 6 bulan terhadap kadar lipid pada ODHA.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Dengan mengetahui efek pemberian rejimen ARV yang mengandung Zidovudine atau Tenofovir selama ±6 bulan akan mempengaruhi kadar lipid, sehingga dapat dilakukan pencegahan perburukan pada ODHA. b. Hasil penelitian diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah dalam
menilai kadar lipid pada ODHA yang mendapat rejimen ARV lini pertama yang mengandung Zidovudine atau Tenofovir.
1.6 Kerangka Konseptual
Keterangan:
Subyek penelitian
Perlakuan yang diberikan
Hasil yang diharapkan ORANG
DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
PERUBAHAN KADAR LIPID REJIMEN ARV
yang mengandung AZT
REJIMEN ARV yang mengandung
TDF NAIVE (Belum mendapat