• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pengolahan Limbah Padat Medis pada Petugas Incinerator di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Pengolahan Limbah Padat Medis pada Petugas Incinerator di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

2.1.1 Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit dalam bahasa Inggr is disebut hospital. Kata hospital berasal dari kata bahasa latin hospital yang berarti tamu. Secara lebih luas kata itu bermakna menjamu para tamu. Memang menurut sejarahnya, hospital atau rumah sakit adalah suatu lembaga yang bersifat kedermawanan (charitable), untuk merawat pengungsi atau memberikan pendidikan bagi orang-orang yang kurang mampu atau miskin, berusia lanjut, cacat, atau para pemuda (Kemenkes RI, 2012).

Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan, serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga dan penelitian.Rumah sakit juga

merupakan institusi yang dapat memberi keteladanan dalam budaya hidup bersih dan sehat serta kebersihan lingkungan (Depkes RI, 2009).

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

(2)

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan

2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit

Permenkes RI No 340 tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit dibedakan berdasarkan : pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarana dan administrasi dan manajemen. Adapun klasifikasi rumah sakit umum adalah :

a. Rumah Sakit Umum Kelas A

(3)

ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, jiwa, paru, onthopedi dan gigi mulut.

b. Rumah Sakit Umum Kelas B

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi, 4 (empat) spesialis penunjang medik yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.

Sekurang-kurangnya 8 (delapan) dari 13 (tiga belas) pelayanan spesialis lain yaitu : mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik: mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, urologi dan kedokteran forensik. Pelayanan Medik

Subspesialis 2 (dua) dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi :Bedah, Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Obstetri dan Ginekologi.

c. Rumah Sakit Umum Kelas C

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar :pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi dan 4 (empat) spesialis penunjang medik yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik. d. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas

(4)

dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi.

2.2 Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit

Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal 165 dinyatakan bahwa pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Berdasarkan pasal di atas maka pengelola tempat kerja di rumah sakit mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya. Salah satunya adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping keselamatan kerja. rumah sakit harus menjamin kesehatan dan keselamatan baik terhadap pasien, penyedia layanan atau pekerja maupun masyarakat sekitar dari berbagai potensi bahaya di rumah sakit. Oleh karena itu, Rumah Sakit wajib melaksanakan Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di Rumah Sakit dapat dihindari (Kemenkes RI, 2010).

(5)

dan pendukung program, (c) terpenuhi syarat-syarat K3 di setiap unit kerja, (d) terlindunginya pekerja dan mencegah terjadinya PAK dan KAK, (e) terselenggaranya program K3RS secara optimal dan menyeluruh dan (f) peningkatan mutu, citra dan produktivitas Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2010). Ruang lingkup K3RS mencakup; prinsip, program dan kebijakan pelaksanaan K3RS, standar pelayanan K3RS, standar sarana, prasarana dan peralatan K3RS, pengelolaan barang berbahaya, standar sumber daya manusia K3RS, pembinaan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan.

Rumah Sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila rumah sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu perlu dilaksanakan regulasi sebagai berikut : (a) membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit, (b) menyediakan Organisasi K3RS sesuai dengan Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit, (c) melakukan sosialisasi K3RS pada seluruh jajaran Rumah Sakit, (d) membudayakan perilaku K3RS, (e) meningkatkan SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di Rumah Sakit dan (f) meningkatkan Sistem Informasi K3RS (Kemenkes RI, 2010).

(6)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) sebagaimana diatur dalam Kepmenkes RI No 1087/Menkes/SK/VIII/2010 merupakan program yang penting di rumah sakit karena meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka tuntutan pengelolaan program K3RS semakin tinggi karena sumber daya manusia rumah sakit, pengunjung/pengantar pasien, pasien dan masyarakat sekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit yang tidak memenuhi standar.

Secara internasional program K3 telah lama diterapkan di berbagai sektor industri (akhir abad 18) namun belum dilakukan pada sektor kesehatan.

Perkembangan K3RS tertinggal dikarenakan fokus pada kegiatan kuratif, bukan preventif. Fokus pada kualitas pelayanan bagi pasien, tenaga profesi di bidang K3 masih terbatas, organisasi kesehatan yang dianggap pasti telah melindungi diri dalam bekerja (Kemenkes RI, 2010).

Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh

(7)

tercantum dalam buku standar pelayanan rumah sakit dan terdapat dalam instrumen akreditasi rumah sakit.

Langkah dan strategi pelaksanaan K3RS : (a) advokasi ke pimpinan Rumah Sakit, Sosialisasi dan pembudayaan K3RS, (b) menyusun kebijakan K3RS yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit, (c) membentuk Organisasi K3RS, (d) perencanaan K3 sesuai Standar K3RS yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, (e) menyusun pedoman, petunjuk teknis dan SOP-K3RS, (f) melaksanakan 12 Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit, (g) melakukan Evaluasi Pelaksanaan Program K3RS, (h) melakukan Internal Audit Program K3RS dengan menggunakan instrumen penilaian sendiri (self assessment) akreditasi Rumah Sakit yang berlaku dan (i) mengikuti Akreditasi Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2010).

Kepmenkes RI No 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit disebutkan bahwa agar

(8)

Standar sumber daya manusia pengelola K3RS untuk rumah sakit kelas A sebagaimana diamanatkan dalam Kepmenkes RI No 1087/Menkes/SK/VIII/2010 adalah :

a. S3/ S2 K3 minimal 1 orang dan mendapatkan pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

b. S2 Kesehatan min 1 orang, yang mendapatkan pelatihan tambahan yang berkaitan dengan K3 secara umum serta mendapatkan pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

c. Dokter Spesialis kedokteran okupasi (SpOk) dan S2 kedokteran Okupasi minimal 1 orang. (optional)

d. Tenaga Kesmas K3 D3 dan S1 minimal 2 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

e. Dokter / dokter gigi spesialis dan dokter umum /dokter gigi minimal 1 orang dengan sertifikat K3/hiperkes dan mendapatkan pelatihan khusus yeng terakreditasi mengenai K3 RS

f. Tenaga Paramedis dengan sertifikat dalam bidang K3 (informal) yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang.

(9)

h. Tenaga Teknis Lainnya dengan sertifikat dalam bidang K3 (informal) yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang.

i. Tenaga Teknis lainnya yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 2 orang.

2.3 Penyakit Akibat Kerja

2.3.1 Pengertian Penyakit Akibat kerja

Pengertian Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan (Jayaratman dan Koh, 2010). Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. Dalam melakukan pekerjaan apapun, sebenarnya kita berisiko untuk mendapatkan gangguan Kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Oleh

Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan yang diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di Linz, Austria, dihasilkan definisi menyangkut PAK sebagai berikut:

(10)

a. Penyakit Akibat Kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.

b. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work Related Disease) adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi kompleks.

c. Penyakit yang Mengenai Populasi Kerja (Disease of Fecting Working

Populations) adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya

agen penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan

Menurut Workplace Safety and Insurance Board (2005)“ An occupational

disease maybe defined simply as one that is caused, or made worse, by exposure at

work.. Di sini menggambarkan bahwa secara sederhana sesuatu yang disebabkan,

atau diperburuk, oleh pajanan di tempat kerja. Dalam hal ini, pajanan berbahaya yang dimaksud oleh Work place Safety and Insurance Board ( 2005 ) antara lain : debu , gas , atau asap, suara / kebisingan (noise), bahan toksik (racun), getaran (vibration), radiasi, infeksi kuman atau dingin yang ekstrem serta tekanan udara tinggi atau rendah yang ekstrem.

(11)

yang diantaranya berkaitan dengan pulmonologi termasuk pneumokoniosis dan silikotuberkulosis, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu logam keras, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu kapas, vals, henep dan sisal (bissinosis), asma akibat kerja, dan alveolitis alergika. Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa mereka yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan kecelakaan kerja. Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada Undang-Undang RI No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang pasal 1 nya menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. 2.3.2 Klasifikasi Penyakit Akibat Kerja

Dalam melakukan tugasnya di perusahaan seseorang atau sekelompok pekerja berisiko mendapatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja.WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja, yaitu:

1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis. 2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma

Bronkhogenik.

3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis.

(12)

2.3.3 Pencegahan Penyakit Akibat Kerja

Manajemen perusahaan harus selalu mewaspadai adanya ancaman akibat kerja terhadap pekerjaannya. Kewaspadaan tersebut bisa berupa : (1) melakukan pencegahan terhadap timbulnya penyakit, (2) melakukan deteksi dini terhadap ganguan kesehatan serta (3) melindungi tenaga kerja dengan mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja (Depkes RI, 2007).

Mengetahui keadaan pekerjaan dan kondisinya dapat menjadi salah satu pencegahan terhadap PAK. Beberapa cara dalam mencegah PAK, diantaranya (1) pakailah APD secara benar dan teratur, (2) kenali risiko pekerjaan dan cegah supaya tidak terjadi lebih lanjut dan (3) segera akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang berkelanjutan. Selain itu terdapat juga beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh agar bekerja bukan menjadi lahan untuk menuai penyakit. (Arliana, 2010)

1. Pencegahan Primer (Health Promotion)dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : perilaku kesehatan, faktor bahaya di tempat kerja, perilaku kerja yang baik, olahraga dan gizi seimbang.

2. Pencegahan Sekunder (Specifict Protection) dengan melakukan pengendalian melalui perundang-undangan, pengendalian administrative/organisasi:

rotasi/pembatasan jam kerja, pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, ventilasi, alat pelindung diri (APD), pengendalian jalur kesehatan: imunisasi.

(13)

pemeriksaan lingkungan secara berkala, pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja, pengendalian segera di tempat kerja

Kondisi fisik sehat dan kuat sangat dibutuhkan dalam bekerja, namun dengan bekerja benar teratur bukan berarti dapat mencegah kesehatan kita terganggu. Kepedulian dan kesadaran akan jenis pekerjaan juga kondisi pekerjaan dapat menghalau sumber penyakit menyerang. Dengan didukung perusahaan yang sadar kesehatan, maka kantor pun akan benar-benar menjadi lahan menuai hasil bukanlah penyakit (Depkes RI, 2007).

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan rumah sakit, tetapi juga dapat mengganggu proses penyembuhan dan pengobatan secara menyeluruh, yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas (Depkes RI, 2007)..

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di

(14)

Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya (Depkes RI, 2009)..

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja K3RS merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan

berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya

keselamatan dan kesehatan kerja (Depkes RI, 2007). Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan. Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41 % lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang,

(15)

fractures: 5.6 %; multiple injuries: 2.1 %; thermal burns: 2%; scratches, abrasions:

1.9 %; infections: 1.3 %; dermatitis: 1.2 %; dan lain-lain: 12.4 %.

Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas rumah sakit, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran kemih (69 % wanita), dermatitis dan urtikaria (57 % wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae. Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita

petugas rumah sakit lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3RS, baik bagi pengelola Maupun karyawan RS (Harington, 2005).

2.4. Kecelakaan Akibat Kerja

2.4.1. Pengertian Penyakit Akibat kerja

(16)

Kecelakaan kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.03/Men/98 adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.

Kecelakaan kerja (accident) adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yakni peristiwa yang tidak diinginkan/diharapkan, tidak diduga, tidak disengaja terjadi dalam hubungan kerja yang berdampak pada kerugian berupa cidera pada pekerja, kerusakan barang-barang produksi dan kehilangan waktu selama proses produksi. Kecelakaan kerja terjadi oleh karena kontak dengan substansi atau sumber energi melebihi kadar normal (Suardi, 2007).

2.4.2. Klasifikasi Kecelakaan Akibat Kerja

Tujuan untuk mengetahui klasifikasi kejadian kecelakaan kerja, salah satunya adalah dasar untuk mengidentifikasi proses alami suatu kejadian seperti dimana kecelakaan terjadi, apa yang karyawan lakukan dan apa peralatan atau material yang digunakan oleh karyawan. Dengan menerapkan kode-kode kecelakaan kerja maka akan sangat membantu proses investigasi dalam meginterpretasikan informasi-informasi yang tersebut diatas. Ada banyak standar yang menjelaskan referensi tentang kode-kode kecelakaan kerja, salah satunya adalah (standar Australia AS 1885 1 (1990). Berdasarkan standar tersebut, kode yang digunakan untuk mekanisme terjadinya cidera/sakit akibat kerja dibagi sebagai berikut:

(17)

4. Terpajan oleh getaran mekanik 5. Tertabrak oleh objek yang bergerak 6. Tepajan oleh suara keras tiba-tiba 7. Terpajan suara yang lama

8. Terpajan tekanan yang bervariasi (lebih dari suara)

9. Pergerakan berulang dengan pengangkatan otot yang rendah 10. Otot tegang lainnya

11. Kontak dengan listrik

12. Kontak atau terpajan dengan dingin atau panas 13. Terpajan radiasi

14. Kontak tunggal dengan bahan kimia 15. Kontak jangka panjang dengan 16. Kontak lainnya dengan bahan kimia

17. Kontak dengan, atau terpajan faktor biologi 18. Terpajan faktor stress mental

19. Longsor atau runtuh

20. Kecelakaan kendaraan/Mobil

(18)

2.5 Limbah Padat Rumah Sakit

2.5.1 Pengertian Limbah Padat Rumah Sakit

Limbah padat rumah sakit yang lebih dikenal dengan pengertian sampah rumah sakit. Limbah padat (sampah) adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak

disenangi, atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia, dan umumnya bersifat padat (Wicaksono, 2005)

Limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah yang mudah membusuk dan mudah atau tidak mudah terbakar. Limbah-limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme pathogen atau bahan kimia beracun berbahaya (B3) yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi seperti limbah yang mengandung merkuri atau cadmium tidak boleh dibakar atau diinsinerasi karena berisiko

mencemari udara dengan uap beracun dan perlu dimonitoring keberadaannya sehingga tidak mencemari daerah sekitarnya (Garnasih, 2006).

Menurut Askarian et al (2004), faktor yang mempengaruhi timbulan limbah rumah sakit antara lain tingkat hunian dan jenis pelayanan kesehatan yang diberikan. Penelitian Perdani (2011) menunjukkan bahwa komposisi limbah medis dipengaruhi oleh pelayanan yang ditawarkan suatu fasilitas kesehatan. Menurut Cheng et al (2008), yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas limbah yang dihasilkan yaitu tipe rumah sakit, outpatients per hari dan total jumlah tempat tidur.

(19)

(Keputusan MenKes R.I. No.1204/MENKES/SK/X/2004). Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis dan non medis, yaitu : (1) limbah non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di RS di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dari halaman yang dapat

dimanfaatkan kembali apabila ada teknologi dan (2) limbah p a d a t medis adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah container bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.

Penanganan dan penampungan limbah pada rumah sakit meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Pemisahan dan pengurangan

Limbah dipilah-pilah dengan mempertimbangkan kelancaran penanganan dan penampungan, pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan khusus, dengan pemisahan limbah B3 dan non B3, sedapat mungkin diusahakan menggunakan bahan kimia non B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah untuk mengurangi biaya, tenaga kerja, dan pembuangan, pemisahan limbah berbahaya dari semua limbah di tempat penghasil limbah akan mengurangi kemungkinan kesalahan petugas.

(20)

Sarana penampungan harus memadai, diletakkan pada tempat yang pas, aman, dan higienis. Pemadatan merupakan cara yang paling efisien dalam penyimpanan limbah yang bisa dibuang dan ditimbun. Namun tidak boleh dilakukan untuk limbah infeksius dan benda tajam.

c. Pemisahan limbah

Untuk memudahkan pengenalan jenis limbah adalah dengan cara menggunakan kantong berkode (umumnya dengan kode berwarna).

Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori

No Kategori

1. Radioaktif Merah Kantong boks timbal dengan simbol radioaktif

2. Sangat Infeksius

Kuning Kantong plastik kuat, anti bocor, atau kontainer yang dapat disterilisasi dengan otoklaf

3. Limbah Infeksius,

Kuning Kantong plastik kuat dan anti bocor, atau container

4. Sitotoksis Ungu Kontainer plastik kuat dan anti bocor

5. Limbah kimia dan farmasi

Coklat - Kantong plastik atau kontainer

Sumber: Kepmenkes RI Nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004

(21)

Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas. Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan. Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai. Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya

d. Penanganan limbah

Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup, Kantung dipegang pada lehernya. Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut. Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging). Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalama kantung yang salah. Tidak boleh memasukkan tangan kedalam kantung limbah

e. Pengangkutan limbah Padat

(22)

kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.

Kereta atau troli yang digunakan untuk transportasi sampah medis harus didesain sedemikian sehingga: (a) permukaan harus licin, rata dan tidak mudah tembus, (b) tidak menjadi sarang serangga, (c) mudah dibersihkan dan dikeringkan, (d) sampah tidak menempel pada alat angkut, (E) sampah mudah diisikan, diikat dan dituang kembali

(23)

Petugas penanganan limbah harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang terdiri dari topi/helm, masker, pelindung mata, pakaian panjang, apron, pelindung kaki/ sepatu boot, dan sarung tangan khusus (Depkes RI, 2004).

f. Pembuangan dan Pemusnahan Limbah Padat

Limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk. Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri, incinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 – 1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60 % panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit lain.

Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Arifin, 2007). 2.5.2 Limbah Padat Medis Rumah Sakit

(24)

rumah sakit pada saat dilakukan perawatan atau pengobatan serta limbah yang berasal dari perawatan gigi, farmasi atau sejenis.

Menurut berdasarkan potensi bahaya yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat persistensinya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Salah satu limbah rumah sakit yang mempunyai potensi bahaya yang tinggi adalah limbah infeksius yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan limba penyakit pada petugas, pasien, pengunjung, maupun masyarakat sekitar. Oleh karena itu, limbah ini memerlukan wadah atau kontainer khusus dalam pengelolaannya.

(25)

Bentuk limbah atau sampah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (Anshar, 2013). 1. Limbah Benda Tajam

Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung menonjol dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,

perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.

2. Limbah Infeksius

Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah/ cairan tubuh, sampah mikrobiologis, limbah pembedahan, limbah unit dialysis. 3. Limbah Jaringan Tubuh

Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta, darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat pembedahan dan autopsy. Limbah jaringan tubuh tidak memerlukan pengesahan penguburan dan hendaknya dikemas khusus, diberi label dan dibuang ke incinerator.

(26)

Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik. Limbah yang terdapat limbah citotoksik harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas 1000 ºC.

5. Limbah Farmasi

Limbah farmasi berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obat-obatan yang terbuang karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah terkontaminasi, obat-obatan yang terbuang atau dikembalikan oleh pasien, obat-obatan yang sudah tidak dipakai lagi karena tidak diperlukan dan limbah hasil produksi oabt-obatan. 6. Limbah Kimia

Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Limbah kimia juga meliputi limbah farmasi dan limbah citotoksik.

7. Limbah Radio Aktif

Limbah radio aktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotope yang berasal dari penggunaan medis dan riset radionucleida. Asal limbah ini antara lain dari tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan bakteriologis yang dapat berupa padat, cair atau gas.

8. Limbah Plastik

(27)

2.6. Pengolahan Limbah Medis Rumah Sakit dengan Incinerator

Rumah sakit sebagai institusi yang tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab terhadap kesehatan lingkungan di sekitarnya yaitu mengelola limbah medis dengan benar (sesuai persyaratan).

Elemen penting dalam pengelolaan limbah rumah sakit menurut WHO (2005) yaitu minimisasi limbah, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, penampungan, hingga tahap pemusnahan dan pembuangan akhir, salah satu metode pemusnahan limbah medis di rumah sakit adalah incinerator.

Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, yang menyebutkan bahwa setiap petugas hendaknya dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja (APD) lengkap diantaranya ;

a. Sarung tangan khusus

Sarung tangan yang digunakan ada dua macam yaitu sarung tangan karet yang dipergunakan pada saat pengangkutan sampah medis dan pencucian kontainer sampah medis dan peralatan yang akan didesinfeksi, yang kedua adalah sarung tangan kulit yang tahan terhadap panas, dipergunakan pada saat melakukan pekerjaan pembakaran sampah medis.

b. Masker

(28)

serta melindungi muka saat memindahkan abu dan benda-benda kecil sejenis dari

insenerator.

c. Sepatu boot

Sepatu boot digunakan untuk pekerjaan yang rawan kecelakaan pada kaki yaitu pada saat melaksanakan pengelolaan sampah medis benda tajam dan pengontrolan sampah medis infeksius.

d. Pakaian pelindung

Baju pelindung dipergunakan sewaktu melakukan pekerjaan pencucian peralatan sampah medis, pengambilan peralatan sampah medis dan pembakaran sampah medis agar tubuh petugas tidak terkena percikan dari proses pembakaran (Depkes, 1992).

Keberhasilan sistem pengelolaan sampah padat berkaitan erat dengan prosedur tetap (protap) yang dimiliki rumah sakit sebagai acuan agar tujuan akhir pengelolaan sampah padat dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Apabila protap telah disusun dan dilaksanakan dengan baik, maka akan dapat tercipta lingkungan rumah sakit yang bersih dan sehat (Pujiati, 2004).

Faktor lain yang berperan penting dalam keberhasilan pengelolaan sampah padat di rumah sakit, yaitu faktor pengelola, dana yang tersedia dan peralatan yang dimiliki. Ketersediaan faktor penunjang ini dapat membantu untuk mewujudkan lingkungan rumah sakit yang bersih dan sehat (Sulistyorini, 2005).

(29)

Gambar 2.1 Skema Pengelolaan Sampah Medis dengan Incinerator (Depkes RI, 2004)

Incinerator merupakan alat yang dirancang khusus untuk membakar sampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme (Batterman, 2004). Jika masih dalam kondisi baru dan dioperasikan serta dipelihara dengan tepat, incinerator ini dapat bekerja dalam suhu tinggi (700 - 800 0

(30)

Sampah dijatuhkan melalui pintu muatan di atas kamar primer. Incinerator harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum sampah dimasukkan, sekira 30 menit atau lebih. Kamar kedua yang tidak terjangkau operator terpisah dari kamar primer oleh kolom batu bata. Udara tambahan dimasukkan ke dalam kamar kedua melalui bagian kecil yang terbuka pada bagian bawah dari dinding bagian belakang kamar kedua. Udara bercampur dengan gas dari kamar primer dan menyebabkan pembakaran kedua. Sebuah kontrol untuk mengatur panas dan waktu pembakaran berada di bagian bawah cerobong dan mengontrol gas dalam cerobong. Suatu pipa pada bagian leher cerobong mengindikasikan sampah seharusnya dimasukkan. Cerobong udara bertinggi 4 meter, melepaskan gas ke atmosfer.

Sampai saat ini di negara-negara berkembang menggunakan incinerator merupakan solusi terbaik dalam membakar sampah, dari pada membakarnya langsung di area terbuka (WHO, 2006). Namun ternyata penggunaan incinerator tidak menyelesaikan semua masalah, justru tanpa disadari pembakaran sampah dengan menggunakan incinerator malah menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan, yaitu pencemaran udara dan tanah.

(31)

limbah yang jumlahnya besar hingga tinggal kurang dari 5% nya serta dapat menghilangkan mikroba di dalam sisa limbah.

Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak disebutkan bahwa syarat cerobong asap incinerator harus dibuat dengan mempertimbangkan aspek pengendalian pencemaran udara yang didasarkan pada lokasi dan tinggi cerobong. Perhitungan modelling pencemaran udara akan dapat ditentukan dispersi udara, dari cerobong terhadap kondisi udara sekitarnya. Dari dispersi udara, dapat ditentukan konsentrasi udara di atas permukaan tanah yang sesuai dengan standar kualitas udara ambien. Rancang bangun cerobong disesuaikan pertimbangan emisi yang akan dikeluarkan tidak melebih baku mutu yang ditetapkan.

(32)

Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Pilihan Metode Insinerasi Pengolahan

4. Insinerasi drum atau batu bata

(33)

Berbagai upaya penting dilakukan, sehingga dilakukan optimal, sehingga masyarakat dapat terlindungi dari bahaya pencemaran lingkungan dan penyakit menular yang bersumber dari limbah rumah sakit (Depkes RI, 2009).

Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan limbah rumah sakit, khususnya terhadap gangguan kesehatan manusia, limbah medis rumah sakit terutama karena berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, desinfektan, serta logam seperti Hg, Pb, Chrom dan Cd yang berasal dari bagian kedokteran gigi. Gangguan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi gangguan langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak langsung dengan limbah tersebut, misalnya limbah klinis beracun, limbah yang dapat melukai tubuh dan limbah yang mengandung kuman pathogen sehingga dapat menimbulkan penyakit dan gangguan tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat, baik yang tinggal di sekitar rumah sakit maupun masyarakat yang sering melewati sumber limbah medis diakibatkan oleh proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan limbah tersebut (Depkes RI, 2009).

(34)

Selain terhadap kesehatan secara langsung. Limbah medis juga berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan terhadap kesehatan antara lain, terhadap gangguan kenyamanan dan estetika, terutama disebabkan karena dari sedimen, larutan, bau phenol, bau feses, urin dan muntahan yang tidak

ditempatkan dengan baik dan rasa dari bahan kimia organik. Penampilan rumah sakit dapat memberikan efek psikologis bagi pemakai jasa, karena adanya kesan kurang baik akibat limbah yang tidak ditangani dengan baik (Depkes RI, 2009).

Dapat disebabkan oleh garam-garam terlarut (korosif, karat), air yang berlumpur dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar rumah sakit. Selain itu limbah rumah sakit menyebabkan gangguan atau kerusakan tanaman dan binatang. Hal ini terutama karena senyawa nitrat (asam, basa dan garam kuat), bahan kimia, desinfektan, logam nutrient tertentu dan fosfor (Depkes RI, 2009).

(35)

Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme pathogen. Pathogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui beberapa jalur : (a) akibat tusukan, lecet, atau luka dikulit, (b) melalui membrane mukosa, (c) melalui pernafasan dan (d) melalui ingesti.

Contoh infeksi akibat terpajan limbah infeksius adalah infeksi gastroenteritis dimana media penularnya adalah tinja dan muntahan, infeksi saluran pernafasan melalui secret yang terhirup atau air liur dan lain-lain. Benda tajam tidak hanya dapat menyebabkan luka gores maupun luka tertusuk tetapi juga dapat menginfeksi luka jika benda itu terkontaminasi pathogen. Karena resiko ganda inilah (cedera dan penularan penyakit), benda tajam termasuk dalam kelompok limbah yang sangat berbahaya. Kekhawatiran pokok yang muncul adalah bahwa infeksi yang ditularkan melalui subkutan dapat menyebabkan masuknya agens penyebab panyakit, misalnya infeksi virus pada darah (Pruss, 2005).

2.8. Dampak

(36)

berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para pekerja di rumah sakit, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit (Wicaksana, 2002).

Berdasarkan model penyebab kerugian yang dikemukakan oleh Det Norske Veritas (DNV, 1996) seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini, memperlihatkan bahwa jenis kerugian akibat terjadinya kecelakaan kerja meliputi manusia/pekerja, properti, proses, lingkungan, dan kualitas.

2.9 Landasan Teori

Limbah padat infeksius yang dihasilkan dari proses pelayanan operasional di rumah sakit merupakan kelompok limbah yang sangat berbahaya bagi kesehatan sehingga perlu dimusnahkan menggunakan incinerator mengacu kepada teori Prüss et al, 2005) dan Depkes (2006) bahwa tujuan dari insinerasi merupakan upaya

minimisasi limbah yakni sangat mengurangi volume dan berat limbah yang jumlahnya besar hingga tinggal kurang dari 5 % nya serta dapat menghilangkan mikroba di dalam sisa limbah.

(37)

2.10 Kerangka Pikir

Gambar 2.2. Kerangka Pikir

Berdasarkan kerangka Pikir di atas dapat dijelaskan bahwa limbah padat medis terdiri dari jarum spuit, botol kaca infus, pemeriksaan sediaan patologi klinik, kain kasa pelayanan pada pasien, kasa kamar operasi, cairan darah dari kamar operasi, media pemeriksaan laboratorium berupa kaca sediaan, bakteri pembiakan, yang

dimusnahkan menggunakan incinerator dan dilaksanakan oleh Petugas incinerator. Dalam proses pengolahan pemusnahan limbah padat medis, terdapat dampak Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada petugas incenerator.

Dampak

Keselamatandan kesehatan kerja Petugas

Gambar

Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori
Gambar 2.1 Skema Pengelolaan Sampah Medis dengan Incinerator (Depkes RI, 2004)
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Pilihan Metode Insinerasi Pengolahan Limbah Medis

Referensi

Dokumen terkait

Limbah medis padat adalah “limbah padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah.. benda tajam, limbah

bahwa agar resiko yang ditimbulkan dari pengelolaan yang tidak tepat maka perlu dibuat kebijakan pengelolaan limbah padat infeksius dan limbah padat non infeksius

sebaiknya rumah sakit harus menyediakan sarana pengelolaan limbah medis padat dimulai dari wadah pemilahan limbah, troli untuk pengangkutan limbah medis padat dari ruangan

“Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Padat Medis dan Non Medis Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2019” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit Umum Daerah Gunungtua Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun

Perencanaan pengelolaan limbah padat non medis ini bertujuan untuk merencanakan pengelolaan limbah padat non medis di Rumah Sakit Unniversitas Airlangga (RSUA) yang

Kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Pertamina dapat memproduksi limbah yang sebagian besar merupakan limbah padat medis. Limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit dapat

Perencanaan pengelolaan limbah padat non medis ini bertujuan untuk merencanakan pengelolaan limbah padat non medis di Rumah Sakit Unniversitas Airlangga (RSUA) yang