• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01 Pid.Sus.K 2011 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01 Pid.Sus.K 2011 PN.Mdn)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah

pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disingkat KKN. Korupsi telah

mengakibatkan krisis berkepanjangan pada semua aspek kehidupan berbangsa dan

bernegara dikarenakan prakteknya yang sistematis dan menggurita yang terjadi di

hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.Korupsi

merupakan masalah serius ditengah-tengah masyarakat karena dapat mengancam

stabilitas keamanan dan menghambat proses pembangunan sosial, ekonomi serta

politik.

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial

masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah

peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana

yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini

tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran

terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.1

Menurut Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi adalah

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mermperkaya diri

sendiri atau oranglain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

1

(2)

negara atau perekonomian negara. Menurut kamus besar bahasa Indonesia

pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapaan (uang

negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang

lain.2 Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang

berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu, dahulu korupsi hanya seputar

mengenai kerugian negara dan suap menyuap, namun saat ini sudah berkembang

menjadi penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, benturan

kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Korupsi mempunyai karakteristik

sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan

unsur-unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan.

Korupsi merupakan permasalahan besar yang terjadi di Negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu

negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya

alamnya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah

merupakan sebuah negara kaya, tetapi termasuk negara yang miskin.Menurut data

dari 175 negara di dunia pada 2014 yang dirilis oleh Transparency Internasional,

Indonesia menduduki peringkat 12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara

bebas korupsi (dari 175 negara).3Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya yang

berkembang dikalangan masyarakat kelas atas sampai bawah. Korupsi dapat

dilihat dengan mata telanjang diberbagai institusi, baik eksekutif, legislatif dan

yudikatif yang dilakukan oleh sebagian besar para penguasa dan pejabat tinggi

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta,1989

3

(3)

negara. Hal ini menunjukkan bahwa nilai luhur atau moral suatu individu

mengalami penurunan, tidak adanya kesadaran seorang individu tentang etika dan

aturan hukum yang berlaku membuat perilaku korupsi semakin meningkat,

ditambah lagi dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Banyak para ahli yang merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktur

bahasa dan cara penyampainnya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya

mempunyai makna yang sama, diantaranya Kartini Kartono menyatakan korupsi

adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna

mengeruk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum, dan Huntington

menjelaskan korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari

norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini

ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.4 Jadi dapat disimpulkan

korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaaan, demi

keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan

menggunakan wewenang dan kekuata-kekuatan formal yang bertujuan untuk

memperkaya diri sendiri.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang

sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil

keuangan negara yang sangat besar. Sebagai pihak yang telah diberi kepercayaan

oleh rakyat untuk menjalankan pemerintah dengan harapan untuk menciptakan

kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam menjalankan amanah

4

(4)

rakyat tersebut sudah seharusnya penguasa/pejabat negara memegang teguh

prinsip kejujuran serta profesionalisme. Namun sayangnya fenomena yang terjadi

dikalangan pejabat negara baik lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif

justru sebaliknya.

Korupsi bukan hanya terjadi pada pemerintahan Orde Baru, tetapi di era

reformasi ini malah semakin besar intensitasnya, sementara hukum masih

tertinggal menghadapi kelihaian pembuat (pelaku) korupsi. Salah satu

penyebabnya karena kaidah atau norma hukum yang berlaku tidak ditafsirkan

secara yuridis tetapi berdasarkan kepentingan politis para pembuat korupsi.

Pelbagai pemberitaan media massa sebenarnya telah mengingatkan tentang

prediksi para pengamat hukum bahwa apabila hukum tidak diterapkan secara

konsisten, apalagi terdakwa korupsi diputus bebas atau dihukum ringan oleh

hakim dengan pertimbangan hukum yang tidak rasional, maka di tahun-tahun

mendatang korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar

crime), seperti dinyatakan oleh Sutherland akan semakin bertambah dan semakin

sulit menghentikannya. Prediksi pengamat hukum dapat dipahami, karena para

koruptor umumnya dari golongan cerdik-pandai, berkuasa dan memiliki

kewenangan, serta rata-rata memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang kuat.

Teknik dan modus operandinya juga diperkirakan akan semakin maju seiring

dengan perkembangan teknologi, serta gerakannya jauh lebih sistematis dan lebih

cepat dari antisipasi penegak hukum.5

5

(5)

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,

baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara.

Kualitas tindak pidana korupsi juga semakin sistematis dengan lingkup yang

memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis

Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi selama 2010-2012 yang

menurun kembali meningkat signifikan pada 2013-2014. Pada tahun 2010, jumlah

kasus yang diselidiki KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian mencapai 448 kasus. Pada

tahun 2011 berjumlah 436 kasus dan tahun 2012 berjumlah 402 kasus, dan pada

tahun 2013 meningkat signifikan menjadi 560 kasus. Pada tahun 2014 , tercatat

sebanyak 629 kasus korupsi dengan berbagai jenis seperti suap, penyalahgunaan

wewenang, penyalahgunaan dana serta pemalsuan data.

Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar

tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian

yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan

swasta, anggota DPR/DPRD, kepada dinas, dan kepala daerah. Apabila

dibandingkan dengan semester I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling

signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada semester I-2013 jumlah kepala

daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang, namun pada semester

I-2014 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang.6

Korupsi di negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi politik.

Kondisi Indonesia yang terserang kanker politik dan ekonomi sudah dalam

stadium kritis. Kanker ganas korupsi terus menggerogoti saraf vital dalam tubuh

6

(6)

negara Indonesia, sehingga terjadi krisis institusional. Korupsi politik dilakukan

oleh orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik, atau oleh konglomerat

yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang

kekuasaan.Dengan demikian praktik kejahatan luar biasa berupa kejahatan

kekuasaan ini berlangsung secara sistematis.7

Romli Atmasasmita, Guru Besar Emiritus Universitas Padjajaran

menyatakan: “Jika dulu korupsi terjadi dalam hubungan kerja antara pihak swasta

dan lembaga pemerintah, maka saat ini korupsi sudah merambah ke lembaga

legislatif, yudikatif, dan eksekutif”. Sinyalemen Romli Atmasasmita ini

menunjukkan, bahwa korupsi di Indonesia saat ini bukan hanya jadi persoalan

hukum semata-mata, melainkan juga sudah merambah masuk pada persoalan

politik, sosial, dan ekonomi. Dapat dilihat pada sejumlah kebocoran Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

(APBD) setiap tahun yang diduga dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan

yudikatif sehingga wajar apabila korupsi sudah begitu membahayakan

kelangsungan pembangunan nasional. 8

Ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat tujuan reformasi yang

dicita-citakan oleh para reformis adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme (KKN). Pemerintahan yang berkuasa pasca reformasi dapat dikatakan

tidak serius dan gagal dalam hal pecegahan dan pemberantasan korupsi, padahal

dari segi peraturan perundang-undangan yang merupakan landasan hukumnya

7

Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 3.

8

(7)

pemerintah telah beberapa kali melakukan revisi karena dipandang tidak sesuai

lagi dengan kebutuhan masyarakat.

Hal ini diawali dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonseia Nomor XI/MPR/1998 Tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(KKN), kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor

28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme (KKN), selanjutnya dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan

atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi

karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam

masyarakat, dan pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Tindak Pidana Korupsi disempurnakan kembali dan diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, penyempurnaan ini dimaksudkan untuk

lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan

memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta

perlakuan yang adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan yang

terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas

tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun

demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah

(8)

Indonesia merupakan tugas penting yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah,

karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara negara baik di tingkat pusat

maupun provinsi, serta kabupaten/kota yang mengakibatkan kerugian keuangan

negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang

berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit

diperbaiki.

Gejala korupsi itu muncul kata Soerjono Soekanto ditandai dengan adanya

penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau

golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya,

sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau

perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat.9

Seperti halnya tindak pidana korupsi yang merambat ke daerah Kepulauan

Nias Provinsi Sumatera Utara, kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias

tersebut disebabkan penyalahgunaan dana bantuan darurat kemanusiaan yang

tidak sesuai dengan kebutuhan atau yang ditetapkan, sehingga bertentangan

dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Nasional penanggulangan Bencana

dan Penanganan Pengungsi Nomor : 25 tahun 2002, tanggal 11 Desember 2002

tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Bantuan Darurat Kemanusiaan untuk

Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Dimana dalam pengadaan barang untuk

mendukung kegiatan program pemberdayaan masyarakat akibat bencana alam dan

gelombang tsunami Nias bertentangan atau tidak sesuai pelaksanannya dengan

9

(9)

Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

Nomor : 131. 12-233 tanggal 2 mei tahun 2006 tentang Pengesahan Pengangkatan

Bupati Nias Provinsi Sumatera Utara, sebagai Bupati Kabupaten Nias mempunyai

tugas dan tanggungjawab dalam merumuskan kebijakan daerah mengenai

tugas-tugas pemerintahan daerah, melakukan koordinasi kepada para pimpinan SKPD

dan kepada pimpinan instansi vertikal, menyampaikan laporan

pertanggungjawaban tahunan dan lima tahunan kepada lembaga legislatif dan

menyampaikan laporan pemerintahan setiap satu tahun sekali kepada Menteri

Dalam Negeri melalui Gubernur Sumatera Utara,

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan

Penanganan Pengungsi tertanggal 9 Januari 2001 jo Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 111 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional

Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tertanggal 12 Oktober 2001,

bahwa Bupati Nias secara ex officio juga menjabat sebagai Ketua Satuan

Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP)

Kabupaten Nias yang bertugas melaksanakan kegiatan Penanggulangan Bencana

dan Penanganan Pengungsi yang terjadi di daerahnya dengan memperhatikan

kebijakan dan arahan teknis yang diberikan BAKORNAS PBP, yaitu antara lain

melakukan evakuasi, mencari solusi dan melakukan koordinasi dengan instansi

(10)

Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai Bupati Nias dan

Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

(SATLAK PBP) Kabupaten Nias, telah menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

sebagai Bupati / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan

Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) memiliki kewenangan untuk mengelola

dana bantuan pemberdayaann masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami

Kabupaten Nias dari Bakornas sesuai dengan ketentuan sebagaimana mestinya,

tetapi ternyata pelaksanaan pengelolaan dana bantuan tersebut dengan cara yang

bertentangan atau tidak sesuai dengan tujuan dari maksud diberikannya

kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan sebagai sebagai Bupati

Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan

Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias.

Kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias berawal dari adanya bantuan

dana pemberdayaan masyarakat pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami

Kabupaten Nias yang disetujui oleh Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional

Penanganan Bencana (BAKORNAS PBP) sebesar Rp. 9.480.000.000 ,-(sembilan

miliar empat ratus delapan puluh juta rupiah), atas permohonan Bupati Nias /

Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

(SATLAK PBP) Kabupaten Nias sebelumnya pada tanggal 12 Januari

2007mengajukan permintaan dana untuk pemberdayaan masyarakat pasca

bencana alam gempa bumi dan tsunami Propinsi NAD dan Nias sebesar Rp. 12.

(11)

Pelaksana harian Bakornas PBP dengan Surat Nomor : 900 / 0301 / Keu dan Surat

Penyempurnaan Proposal kegiatan Nomor : 900 / 0332 / Keu tanggal 17 Januari

2007.

Dalam pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana bantuan dari Bakornas

PBP yang bersumber dari sumbangan masyarakat dan diadministrasikan melalui

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006 terdapat

berbagai macam pelanggaran antara lain adanya pemindahan dana bantuan

pemberdayaan masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami Kabupaten

Nias dari rekening Bencana Alam dan Tsunami Kabupaten Nias ke dalam

rekening pribadi salah satu oknum pegawai negeri sipil Kabupaten Nias,

pembelian barang-barang secara langsung ke toko / penyedia barang tanpa melalui

proses pelelangan, membagikan / menyerahkan dana kepada beberapa orang yang

tidak berhak menerimanya serta membuat laporan pertanggungjawaban yang tidak

sesuai dengan keadaan sebenarnya yang dibuat melebihi batas waktu yang telah

ditentukan, dimana semuanya merupakan tugas dan tanggungjawab dari Bupati

Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan

Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias atas jabatan atau kedudukannya.

Akibat perbuatan Bupati Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan

Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias tersebut

berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian

Keuangan Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Dana

Penanggulangan Bencana Alam Nias Tahun 2007 yang dibuat oleh Tim dari

(12)

2011 telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3.764.798.238 ,- (tiga miliar

tujuh ratus enam puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu dua

ratus tiga puluh delapan rupiah).

Bedasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis mencoba mengangkat

kasus ini ke dalam sebuah bentuk skripsi dengan judul tentang “Pertimbangan

Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat

Negara (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

2. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan diatas,

(13)

1. Untuk Mengetahui Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk Mengetahui Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan

Putusan Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan

Kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn).

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain :

a. Secara Teoritis, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi bahan

informasi, referensi serta konstribusi pemikiran dan menambah wawasan

dalam hukum pidana pada umumnya dan tentang pidana korupsi pada

khususnya di kalangan mahasiswa sendiri atau lingkungan para akademis.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat nantinya

bagi para penegak hukum dalam upaya pencegahan dan penmberantasan

suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para Pejabat Negara,

sehingga terciptanya efek jera dan tercapainya cita-cita para reformis dalam

mewujudkan negara hukum yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Pengadilan

Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)” adalah

kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara yang

(14)

mengangkat kasus ini karena ingin mengetahui lebih dalam tentang tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Negara serta menganalisa Pertimbangan

Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Pejabat Negara yang

melakukan penyalahgunaan kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri

Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn). Berdasarkan penelusuran penulis,

judul dan permasalahan ini belum pernah ditulis dan diangkat menjadi karya

ilmiah oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan Karya Ilmiah ini diperoleh berdsarkan literatur yang ada, baik

dari perpustakaan, media massa cetak maupun eletronik dan ditambah pemikiran

penulis, oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum

untuk istilah “strafbaar feit” dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak

ada terjemahan resmi strafbaar feit. Dalam bahasa Belanda strafbaar feit terdapat

dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa

Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang strafbaar berarti dapat

dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti sebagian dari

kenyataan yang dapat dihukum.10

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar

feitdi dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum

10

(15)

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum

ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk

mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana

ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang

itu merupakan tindak pidana atau tidak.11

Pendapat beberapa ahli tentang Pengertian Tindak Pidana :12

a. Menurut Simons, ialah tindakan melanggar hukum pidana yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannnya dan oleh undang-undang

hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

b. Menurut Pompe, adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata

tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap

pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan hukum.

c. Menurut Van Hamel, ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap

hak-hak orang lain.

d. Menurut E. Utrecht, ialah istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut

delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau

suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

11

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, hal. 77.

12

(16)

e. Menurut Moeljatno, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan

tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata

pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.

f. Kanter dan Sianturi, mendefenisikan sebagai suatu tindakan pada tempat,

waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang / diharuskan dan diancam

dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan

hukum , serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu

bertanggung jawab).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang

dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau

diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi

sanksi berupa sanksi pidana, untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah prbuatan tersebut diberi sanksi

pidana atau tidak diberi sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan Pendapat Bambang

Poernomo, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti

yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh

undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan

dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13

13

(17)

2.Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat

merugikan suatu bangsa dan negara. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru,

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang

terbilang cukup banyak.

Korupsi dalam Bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam Bahasa

Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruptiondan dalam

Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti

harfiah corruptmenunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak

jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.14

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak.

Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan

semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang

busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan

kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta

penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan

jabatannya.15

Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi dalam

7 (tujuh) jenis yang berlainan. Masing-masing adalah :16

a. Korupsi transaktif (transactive corruption), yaitu adanya kesepakatan

timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan

14

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, cetakan Keempat, 1996, hal. 115.

15

Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 9.

16

(18)

kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan itu

oleh kedua-duanya.

b. Korupsi yang memeras (extortive corruption),adalah jenis korupsi dengan

keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian

yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan

hal-hal yang dihargainya.

c. Korupsi investif (investive corruption),adalah pemberian barang atau jasa

tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain

keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.

d. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang

tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan

dalam pemerintahan, atau tindakan yang membrikan perlakuan yang

mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada

mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.

e. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah perilaku korban korupsi

dengan pemerasan, sebagai bentuk mempertahankan diri.

f. Korupsi otogenik (autogenic corruption), yaitu korupsi yang tidak

melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang.

g. Korupsi dukungan (supportive corruption),adalah korupsi yang tidak

secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk

(19)

Berbeda dengan Alatas, menurut Benveniste mendefenisikan korupsi ke

dalam 4 (empat) jenis, antara lain :17

a. Discretionary corruption,yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya sah,

namun bukan praktek-praktek yang dapat diterima oleh anggota organisasi;

b. Illegal corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk

mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi

tertentu;

c. Mercenary corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk

memperoleh kepentingan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan

kekuasaan;

d. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi ilegal maupun diskresif yang

dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Secara sosiolgis, ada tiga jenis korupsi, yaitu sebagai berikut :18

a. Korupsi karena kebutuhan ; Bagi karyawan dan pegawai rendahan pada

umunmya korupsi yang mereka lakukan karena kebutuhan, mulai dari

mencuri peralatan kantor, memeras pelanggan, menerima suap sampai

dengan mengkorupsi waktu kerja.

b. Korupsi untuk memperkaya diri ; Biasanya dilakukan oleh golongan

pejabat eselon, didorong oleh sikap serakah, melakukan mark upterhadap

pengadaan barang kantor dan melakukan pelbagai pungli. Penyebabnya

17

Marwan Effendy, Ibid, hal. 15-16.

18

(20)

karena gengsi, haus pujian dan kehormatan, serta tidak memiliki sense of

crisis.

c. Korupsi karena ada peluang ; Pejabat atau sebagian anggota masyarakat

ketika mereka diberi peluang akan memanfaatkan keadaan tersebut, karena

penyelenggara negara, khususnya pelayanan publik yang terlalu birokratis,

manajemen yang amburadul dan pejabat atau petugas yang tidak bermoral.

Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan dalam pasal

pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu, untuk

mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus dilihat dalam rumusan

pasal-pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya serta terdapat

tiga puluh jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.19 Dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana

korupsi adalah :

“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara”.

Menurut Mugiharjo, bahwa korupsi yang terjadi di negara-negara

berkembang, karena ada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang

dilakukan oleh petugas atau pejabat negara.20 Penyalahgunaan kekuasaan dan

wewenang dapat terjadi di negara-negara berkembang, sebab pengertian

19

Ibid.,hal. 7.

20

(21)

demokrasi lebih banyak ditafsirkan dan ditentukan oleh penguasa daripada

ditafsirkan dan ditentukan oleh pemikir di negara-negara berkembang tersebut.

Berdasarkan rumusan pengertian mengenai korupsi tersebut di atas terlihat

bahwa korupsi pada umumnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh

kalangan menengah ke atas, atau yang dinamakan dengan White Collar Crime

yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan

dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam

pemerintahan atau di dunia perekonomian.21

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Indriyanto Seno Adji, bahwa tak

dapat dipungkiri korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang

selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga

dikatakan sebagai Invisible Crime yang penanganannya memerlukan kebijakan

hukum pidana.22

Mengacu pada berbagai pengertian dari korupsi yang telah diuraikan diatas,

secara umum korupsi tidak lain adalah tindakan yang tidak sah atau gelap terkait

dengan keuangan atau lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan

oleh seseorang atau suatu kelompok untuk kepentingan diri sendiri, oranglain atau

kelompok yang tidak saja merugikan negara tetapi juga seseorang atau publik

karena kekuasaanyang dimilikinya. hal ini tentu sangat dekat dengan pejabat

publik dimana pejabat publik dikenal dekat dengan kekuasaan. Korupsi tentunya

bukan hal sulit untuk dilakukan oleh mereka yang ingin memamfaatkan

jabatannya untuk melakukan korupsi. Pejabat publik yang seharusnya menjadi

21

Sudarto, Op, Cit, hal.102

22

(22)

panutan bagi warga tidak seharusnya melakukan perbuatan korupsi, karena

disamping korupsi adalah perbuatan menyimpang dan melanggar hukum juga

dapat merugikan keuangan Negara. Kalau negara sudah mengalami kerugian tentu

akan berdampak pada stabilitas Negara, bukan hanya ekonomi tapi juga social,

budaya dan politik.

3. Pengertian Pejabat Negara

Pengertian Pejabat Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

terdiri dari dua suku kata yaitu “pejabat” yang berarti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan) dan “negara” yaitu organisasi dalam

suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh

rakyat atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang

diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai

kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.23

Pada kamus besar bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta pejabat negara

dapat diartikan sebagai orang yang bekerja pada bagian pemerintahan, pegawai

pemerintahan. Pada beberapa pengertian lain dari KPK dan Hoge Raad pejabat

negara diartikan luas salah satunya yaitu pegawai negeri atau penyelenggara

negara. Menurut Hoge Raad pejabat negara atau pegawai negeri atau

penyelenggara negara adalah barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat

23

(23)

untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas

pemerintahan atau alat perlengkapannya.24

Pada pasal 92 KUHP juga mengatur yang disebut pejabat termasuk juga

orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum, begitu pula orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi

anggota badan pembentuk Undang-undang, Badan Pemerintahan, atau Badan

Perwakilan Rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atas nama pemerintah, begitu

juga semua anggota dewan subak (waterschap), dan semua kepala rakyat

Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan

yang sah.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014

Tentang Aparatur Sipil Negara, yang termasuk dalam Pejabat Negara (pasal 122)

yaitu :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;

e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;

f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;

g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;

j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;

k. Kepala perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

l. Gubernur dan wakil gubernur;

m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan

n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

24

(24)

Pengertian Pejabat Negara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 1 angka 4 :

“Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara

lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang”.

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian, Pejabat Negara terdiri dari atas (pasal 11) :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;

d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah

Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan

sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

i. Gubernur dan Wakil Gubernur;

j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan

k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999

Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme, Pasal 1 ayat 1 :

“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,

legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Yang termasuk dalam kategori Penyelenggara Negara Dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 2

(25)

a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c. Menteri;

d. Gubernur;

e. Hakim;

f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang dimaksud dengan “Pejabat Negara yang lain” dalam ketentuan ini

misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil

Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “para pejabat negara merupakan

“political appointee”sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative

appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena

pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni

karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan

politik (political appointement) haruslah bersumber dan dalam rangka

pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya

memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan.

Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut

sebagai pejabat negara yang dipilih atau“elected official”.25

25

(26)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, jenis penelitian yang

dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum

Normatif.

Metode penelitian hukum Normatif disebut juga penelitian hukum

doktrinal. Pada penelitian ini sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book)atau hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku

manusia yang dianggap pantas.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari bahan

pustaka atau data sekunder yang meliputi hukum primer, sekunder dan tersier.

Data sekunder adalah dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan sebagainya.

Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen-dokumen dan peraturan yang

mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang berupa

Undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan diantaranya

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan

Nomor 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Medan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

(27)

korupsi, seperti buku-buku, majalah-majalah, karya tulis ilmiah, internet

serta tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep

dan keterangan-keterangan yang memberikan penjelasan tentang bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan

lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang dipergunakan dalam mengumpul data penelitian adalah

penelitian kepustakaan (library reseach)yaitu dengan mengumpulkan

bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, majalah dan dokumen-dokumen serta

sumber-sumber teoritis lainnya.

4. Analisis Data

Adapun analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

analisis kualitatif, mengelola data dan mneganalisanya dan kemudian dituangkan

dengan cara menggunakan kalimat untuk menjawab permasalahan pada skrispsi

ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus

diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam

beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan

masalahnya tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling antara yang satu

(28)

Secara sistemats penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya

ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : Berisikan pendahuluan yang di dalamnya memaparkan mengenai latar

belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan,

yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Merupakan pembahasan mengenai pengaturan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dimana didalamnya dibahas tentang

bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana

korupsi,pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi, sanksi

dalam tindak pidana korupsi dan upaya pecegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi

BAB III : Merupakan pembahasan mengenai posisi kasus, berupa dakwaan jaksa

penuntut umum, tuntutan jaksa penuntut umum, fakta-fakta hukum,

putusan Pengadilan Negeri Medan, putusan tingkat banding, putusan

tingkat kasasi, pertimbangan hukum hakim dan diakhiri dengan

analisa kasus.

BAB IV : Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab yang

telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang dapat berguna bagi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Undang-undang tersebut, pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau

Bahwa putusan bebas yang dijatuhkan oleh hakim dalam kasus korupsi tersebut dipengaruhi oleh bebera hal yaitu tidak terpenuhinya unsur-unsur dalam pasal-pasal tindak pidana

Bank Mandiri ini adalah meletakkan dasar-dasar hukum bahwa setiap orang dapat menjadi subjek tindak pidana korupsi dan terhadap tindak pidana yang terjadi dalam bidang

Pengertian dari korupsi pasif yaitu perbuatan yang dilakukan penyelenggara negara bersifat pasif dalam melakukan perbuatan tindak pidana korupsi tersebut, sehingga yang

extra-ordinary measure. Salah satu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dengan adanya pengaturan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Namun dalam

Sementara dalam RUU TIPIKOR masih dengan kajian yang sama, ditemukan pasal- pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang subjek (pelakunya) adalah pejabat

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui kebijakan aplikatif dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat legislatif

Mochtar Mas’oed mendefinisikan tindak pidana korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak. untuk memperoleh keuntungan