• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Rasio Limfosit Monosit Pre Operasi Dengan Prognosis Pasien Osteosarkoma Di RSUP. Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Rasio Limfosit Monosit Pre Operasi Dengan Prognosis Pasien Osteosarkoma Di RSUP. Haji Adam Malik Medan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osteosarkoma

Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarcoma adalah suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel primitive (poorly differentiated cells) di daerah metafise tulang panjang. Disebut osteogenik oleh karena perkembangannya berasal dari seri osteoblastik sel mesenkim primitif. Osteosarkoma merupakan neoplasma primer dari tulang yang tersering setelah myeloma multiple. Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang di mana lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) sangat aktif, yaitu pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan pelvis(Bielack, 2009).

Osteosarkoma merupakan tumor ganas primer tulang terbanyakdan menempati urutan ke-8 pada tumor ganas setelah leukemia (30%), keganasan otak dan sistem saraf (22,3%), neuroblastoma (7,3%), tumor Wilms (5,6%), limfoma non-Hodgkin (4,5%), rabdomiosarkoma (3,1%), retinoblastoma (2,8%), osteosarkoma (2,4%).

(2)

Dalam 5 tahun setelah terdiagnosis osteosarkoma 56,3% pasien mengalami kematian (Liu, 2015).Hasil akhir terapi tergantung tahap perkembangan penyakit (stadium),keberadaan metastasis, kekambuhan lokal, regimen kemoterapi, lokasi anatomi,ukuran tumor dan persentase jumlah sel tumor yang dihancurkan setelahkemoterapi adjuvant (Geller, 2010).

2.1.1 Etiologi

Penyebab osteosarkoma secara umum tidak diketahui. Osteosarkoma yang tidak diketahui penyebabnya merupakan osteosarkoma primer, sedangkan osteosarkoma sebagai akibat keadaan lainnya merupakan osteosarkoma sekunder. Osteosarkoma sekunder misalnya terjadi pada penderita Paget disease, dysplasia fibrosa, radiasi ionisasi eksternal atau adanya riwayat makan atau terpapar zat radioaktif. Dikatakanbeberapa virus dapat menimbulkan osteosarkoma padahewan percobaan.Radiasi ion dikatakan menjadi 3%penyebab langsung osteosarkoma, begitu pula alkylatingagent yang digunakan pada kemoterapi (Errol, 2005).

Adanya hubungan kekeluargaan menjadi suatu predisposisi pada kejadian osteosarkoma, begitu pula adanya hereditary retinoblastoma dan sindroma Li-Fraumeni. Lokasi tumor dan usia penderita padasaat pertumbuhan pesat dari tulang memunculkan perkiraan adanya pengaruh usia dan predileksi dalam patogenesis osteosarkoma (Patterson, 2008).

Belakangan ini dikatakan ada dua tumor suppressor gene yangberperan secara signifikan terhadap tumorigenesis padaosteosarkoma, yaitu protein p53 (kromosom 17) dan Rb (kromosom 13) (Patterson, 2008).

2.1.2 Predileksi Anatomi

(3)

proksimal), humerus (10% dengan sembilan puluh persennya berada di humerus proksimal), tengkorak atau rahang (8%) dan pelvis (8%) (Geller, 2010).

Ada tiga lokasiosteosarkoma yaitu intraosseus atau intrameduler, jukstakortikal danekstraosseus atau ekstraskeletal. Osteosarkoma intraosseus/intrameduleradalah jika lesi terdapat di dalam tulang (91-95% kasus), osteosarkomajukstakortikal/permukaan jika lesi terdapat pada permukaan tulang (5-8% kasus)dan ekstraosseus/ekstraskeletal jika osteosarkoma terdapat di luar sistem tulang(1% kasus). Osteosarkoma ekstraskeletal paling sering terjadi di jaringan lunakaspek profunda, anggota gerak atas dan retroperitoneum.Pada beberapa kasus terjadi lesi osteosarkoma pada banyak tempat disebutosteosarkoma multifokal, osteosarkomatosis, osteosarkoma sklerotik multipel ataumultisentrik sinkronous (Ottaviani, 2009).

2.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan atas gradasi, lokasi, jumlah dari lesinya, penyebabnya, maka osteosarkoma dibagi atas beberapa klasifikasi atau variasi yaitu:

1. Osteosarkoma klasik

2. Osteosarkoma hemoragi atau telangektasis 3. Parosteal osteosarkoma

4. Periosteal osteosarkoma 5. Osteosarkoma sekunder

6. Osteosarkoma intrameduler derajat rendah 7. Osteosarkoma akibat radiasi

(4)

2.1.3.1 Osteosarkoma Klasik

Osteosarkoma klasik merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Tipe ini disebut juga osteosarkoma intrameduler derajat tinggi (High-Grade Intramedullary Osteosarcoma). Tipe ini sering terdapat di daerah lutut pada anak-anak dan dewasa muda. Terbanyak pada distalfemur.Sangat jarang ditemukan pada tulangkecil di kaki maupun di tangan, begitu juga padakolumna vertebralis. Apabila terdapat pada kaki biasanyamengenai tulang besar pada kaki bagian belakang (hindfoot), yaitu pada tulang talus dan calcaneus dengan prognosis yang lebih jelek (Errol, 2005).

Penderita biasanya datang karena nyeri atauadanya benjolan, padahal keluhan biasanya sudah ada minimal tiga bulan sebelumnya dan sering kali dihubungkan dengantrauma. Nyeri semakin bertambah, dirasakan bahkan saatistirahat atau pada malam hari dan biasanya tidak berhubungandengan aktivitas.Terdapat benjolan pada daerah dekat sendi yangsering kali sangat besar, nyeri tekan dan tampakpelebaran pembuluh darah pada kulit di permukaannya.Tidak jarang menimbulkan efusi pada sendi yangberdekatan. Sering juga ditemukan adanya patah tulangpatologis (Salter, 1999).

(5)

Plain foto torak perlujuga dibuat untuk menentukan adanya metastase pada paru. CT (Computed Tomographic) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dikerjakan untuk mengetahuiadanya ekstensi dari tumor ke jaringan sekitarnya,termasuk juga pada jaringan neurovaskuler atauinvasinya pada jaringan otot. CT pada torak sangatbaik untuk mencari adanya metastase pada paru.

Sesuai dengan perilaku biologis dari osteosarkoma, osteosarkoma tumbuh secara radial danmembentuk seperti bentukan massa bola. Apabila tumormenembus kortek tulang ke jaringan ototsekitarnya akan membentuk seperti suatu kapsul(pseudocapsul) yang disebut daerah reaktif atau reactivezone. Kadang-kadang jaringan tumor dapat invasif daerah zona reaktif ini dan tumbuh berbentuk nodulyang disebut satellites nodules. Tumor kadang bisa bermetastase secara regional dalam tulang bersangkutan,dan berbentuk nodul yang berada di luar zona reaktifpada satu tulang yang disebut dengan skip lesions.Bentukan-bentukan ini semua sangat baik dideteksidengan MRI.

Bone scan (Bone Scintigraphy) seluruh tubuhbertujuan menentukan tempat terjadinya metastase,tumor yang poliosteotik, dan eksistensi tumorapakah intraoseous atau ekstraoseous. Juga dapat untukmengetahui adanya skip lesions, sekalipun hasil masih lebihbaik dengan MRI. Radio aktif yang digunakan adalahThallium (Tl) 201. Thallium scantigraphy digunakan jugauntuk memonitor respons tumor terhadap pengobatankemoterapi dan mendeteksi rekurensi lokal dari tumor tersebut (Satelli, 2014).

(6)

Biopsi merupakan diagnosis pasti untukmenegakkan osteosarkoma. Biopsi yang dikerjakan tidakbenar sering kali menyebabkan kesalahan diagnosis(misdiagnosis) yang lebih lanjut akan berakibat fatalterhadap penentuan tindakan. Akhir-akhir ini banyakdianjurkan dengan biopsi jarum perkutan (percutaneousneedle biopsy) dengan berbagai keuntungan seperti:invasi yang sangat minimal, tidak memerlukan waktupenyembuhan luka operasi, risiko infeksi rendah, dan dapat dicegah terjadinya patah tulang post biopsi.

Pada gambaran histopatologi akanditemukan stroma (high-grade sarcomatous)dengan sel osteoblast yang ganas, yang akan membentukjaringan osteoid dan tulang. Pada bagian sentral akanterjadi mineralisasi yang banyak, sedangkan bagianperifer mineralisasinya sedikit. Sel-sel tumor biasanyaanaplastik, dengan nukleus yang pleomorfik danbanyak mitosis. Kadang-kadang pada beberapa tempatdari tumor akan terjadi diferensiasi kondroblastik ataufibroblastik diantara jaringan tumor yang membentuk osteoid (Geller, 2010).

Secara patologi, osteosarkoma dibagi menjadihigh-grade dan low-grade varian, bergantung padaselnya yaitu pleomorfisnya, anaplasia, dan banyaknyamitosis. Secara konvensional pada osteosarkomaditemukan sel spindle yang ganas dengan pembentukanosteoid.

2.1.4 Beberapa Varian Osteosarkoma 2.1.4.1 Parosteal Osteosarkoma

(7)

dari daerah korteks tulang dengan dasar yang lebar, yang makin lama lesi ini bisa invasi kedalam korteks dan masuk ke endosteal. Pengobatannya adalah dengan cara operasi, melakukan eksisi dari tumor dan survival ratenya bisa mencapai 80 - 90%.

2.1.4.2 Periosteal Osteosarkoma

Periosteal osteosarkoma merupakan osteosarkoma derajat sedang (moderate-grade) yangmerupakan lesi pada permukaan tulang bersifat kondroblastik, dan sering terdapat pada daerah proksimal tibia. Sering juga terdapat pada diafise tulang panjang seperti pada femur dan bahkan bisa pada tulang pipih seperti mandibula. Terjadi pada umur yang sama dengan pada klasik osteosarkoma. Derajat metastasenya lebih rendah dari osteosarkoma klasik yaitu 20% - 35% terutama ke paru-paru.Pengobatannya adalahdilakukan operasi marginal-wide eksisi (wide-marginsurgical resection), dengan didahului kemoterapi preoperatif dan dilanjutkan sampai post-operasi (Errol, 2005).

2.1.4.3 Telangiectasis Osteosarkoma

(8)

2.1.4.4 Osteosarkoma Sekunder

Osteosarkoma dapat terjadi dari lesi jinak padatulang, yang mengalami mutasi sekunder dan biasanyaterjadi pada umur lebih tua. Dapat berasal dari Paget’s disease, osteoblastoma, fibous dysplasia, dan benigngiant cell tumor. Contoh klasik dari osteosarkomasekunder adalah yang berasal dari Paget’s disease yangdisebut pagetic osteosarcomas(Bielack, 2009).

Di Eropa merupakan3% dari seluruh osteosarkoma dan terjadi pada umurtua. Lokasi yang tersering adalah di humerus, kemudiandi daerah pelvis dan femur. Perjalanan penyakit sampaimengalami degenerasi ganas memakan waktu cukup lama berkisar 15 - 25 tahun dengan keluhan nyeri padadaerah inflamasi dari Paget’s disease. Selanjutnya rasanyeri bertambah dan disusul dengan terjadinya destruksitulang.

Prognosis dari pagetic osteosarcoma sangat jelekdengan five years survival rate rata-rata hanya 8%. Olehkarena terjadi pada orang tua, maka pengobatan dengankemoterapi tidak merupakan pilihan karena toleransinya yang rendah (Ottaviani, 2009).

2.1.4.5 Osteosarkoma Intrameduler Derajat Rendah

(9)

2.1.4.6 Osteosarkoma Akibat Radiasi

Osteosarkoma bisa terjadi setelah mendapatkanradiasi melebihi dari 30Gy. Onsetnya biasanya sangat lama berkisar antara 3 - 35 tahun, dan derajatkeganasannya sangat tinggi dengan prognosis jelekdan angka metastase yang tinggi.

2.1.4.7 Multisentrik Osteosarkoma

Disebut juga multifokal osteosarkoma. Variasiini sangat jarang yaitu terdapatnya lesi tumor yang secarabersamaan pada lebih dari satu tempat. Hal ini sangatsulit membedakan apakah sarkoma memang terjadibersamaan pada lebih dari satu tempat atau lesi tersebutmerupakan suatu metastase. Ada dua tipe yaitu tipeSynchronous dimana terdapatnya lesi secara bersamaanpada lebih dari satu tulang, sering terdapat padaanak-anak dan remaja dengan tingkat keganasan yang sangat tinggi dan tipe Metachronousyang terdapat pada orang dewasa dimana terdapat tumorpada tulang lain setelah beberapa waktu atau setelahpengobatan tumor pertama. Pada tipe ini tingkat keganasannya lebih rendah (Errol, 2005).

2.1.5 Stadium

(10)

ke jaringan lunak sekitarnya diklasifikasikan sebagai ekstrakompartemen(T2).Metastasis dibagi menjadi dua keadaan yaitu tanpa metastasis (M0) dan denganmetastasis (M1). Jika tampak adanya metastasis limfonodi maka staging menjadimetastasis jauh.Sistem Enneking ini menggabungkan gambaran histologis,radiologis (sistem tingkat Lodwick) dan temuan klinis.

Tabel 2.1 Staging Osteosarkoma berdasarkan kriteria Enneking ((Enneking, 2003)

Staging sistem ini sangat berguna dalam perencanaan strategi, perencanaan pengobatan dan memperkirakan prognosis dari osteosarkoma tersebut (Enneking, 2003).

2.1.6 Penatalaksanaan

(11)

adanya pengobatan yang lebih canggih. Dalam penanganan osteosarkoma modalitas pengobatannya dapat dibagi atas dua bagian yaitu dengan kemoterapi dan dengan operasi.

2.1.6.1 Kemoterapi

Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan kemoterapi prosedur operasi penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) menjadi lebih mudah dan meningkatkan survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada metastase tersebut. Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan osteosarkoma adalah kemoterapi preoperative yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy(Salter, 1999).

Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase.Keadaan ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi post operatif paling baik dilakukan secepat mungkin sebelum mencapai 3 minggu setelah operasi. Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup efektif untuk osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin¨), cisplatin (Platinol¨), ifosfamide (Ifex¨), mesna (Mesnex¨), dan methotrexate dosis tinggi (Rheumatrex¨) (Ta, 2009).

(12)

dengan dosis yang intensif, terbukti memberikan perbaikan terhadap survival rate hingga 60 - 80% (Ta, 2009).

2.1.6.2 Operasi

Saat ini prosedur limb salvage merupakan tujuan yang diharapkan dalam operasi suatu osteosarkoma. Maka dari itu melakukan reseksi tumor dan melakukan rekonstruksinya kembali dan mendapatkan fungsi yang memuaskan dari ekstremitas merupakan salah satu keberhasilan dalam melakukan operasi. Dengan memberikan kemoterapi preoperatif, melakukan operasi mempertahankan ekstremitas (limb-sparing resection) dan sekaligus melakukan rekonstruksi akan lebih aman dan mudah sehingga amputasi tidak perlu dilakukan pada 90 sampai 95% dari penderita osteosarkoma.

Dalam penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival rate antara operasi amputasi dengan limb-sparing resection. Amputasi terpaksa dikerjakan apabila prosedur limb-salvage tidak dapat atau tidak memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah melakukan reseksi tumor, terjadi kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya, sehingga memerlukan kecakapan untuk merekonstruksi kembali dari ekstremitas tersebut (Ta, 2009).

Biasanya untuk rekonstruksi digunakan endo-prostesis dari metal. Prostesis ini memberikan stabilitas fiksasi yang baik sehingga penderita dapat menginjak (weight-bearing) dan mobilisasi secara cepat, memberikan stabilitas sendi yang baik, dan fungsi dari ekstremitas yang baik dan memuaskan. Endoprostesis metal dapat meminimalisasi komplikasi post operasi dibanding dengan menggunakan bone graft.

2.1.6.3 Follow-up Post-operasi

(13)

kekambuhan tumor secara lokal maupun metastase dan komplikasi terhadapproses rekonstruksinya. Komplikasi yangbiasa terjadi terhadap rekonstruksinya adalah: longgarnyaprostesis, infeksi, serta kegagalan mekanik. Pemeriksaan fisiksecara rutin pada lokasi operasi maupun secarasistemik terhadap terjadinya kekambuhan tumor lokal maupun wajib dilakukan adanya metastase (Ta, 2009).

Pembuatan plain-foto dan CT scandari lokal ekstremitasnya maupun pada paru-parumerupakan hal yang harus dikerjakan. Pemeriksaan inidilakukan setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama paska operasi dan setiap 6 bulan pada 5 tahun berikutnya.

2.2 Respon Imun Terhadap Tumor

Patogenesis kanker dipengaruhi oleh sistem imun dan inflamasi. Hubungan antara inflamasi dan kanker pertama kali ditemukan pada tahun 1863 oleh Virchow, yang mengamati leukosit pada jaringan neoplastik (Liu, 2015).Sel kanker dikenal sebagai nonself antigenpada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral. Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor.

(14)

(polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam (Abbas, 2010).

Pada Complement Dependent Cytotoxicity, pengikatan antibodi ke permukaan sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C 1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgG dalam merangsang proses ini (Abbas, 2010).

Pada pemeriksaan patologi-anatomi tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Sedangkan pada sistem imun spesifik, aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK (Satelli, 2014). Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat letal. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas sel T diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pula sel NK. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toksin yang terdapat dalam granula, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor (Kresno, 2010).

(15)

menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid.

Selain itu, sitotoksisitas melalui makrofag menyebabkan makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri (Kresno, 2010).

Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Ini berarti bahwa makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang mana diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (Dunn, 2004).

2.2.1 Limfosit

(16)

penurunan jumlah (disebut leukopenia) selama terjadi sekresi hormon adenokortikal atau pada pemberian terapi steroid yang berlebihan atau jangka waktu yang lama.

Pada percobaan eksperimental terbukti bahwa sel T sitotoksik (CTL) menghasilkan respon imun antitumor yang efektif in vitro. Sebagian sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T-CD8 yang secara fenotip dan fungsional identik dengan sel CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL berfungsi melakukan survailance dengan mengenal dan membunuh sel yang potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC Kelas I pada sel dendritik ( Abbas, 2008).

Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor infiltrating lymphocytes=TILs) juga memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa selain efek sitotoksik atau sitolisis, sel T CD8 terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui efek sitostatik khusunya untuk sel tumor yang bermetastase.Peningkatan kadarCyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat daya sitotoksisitasnya dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E1 dan E2 terhadap sitotoksisitas dari limfosit mungkin diperantarai cAMP.

Peran sel T CD4 dalam imunitas tumor belum jelas. Pada umumnya sel T CD4 tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti tumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu sel TCD4 yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNFdan IFN-ɣ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL (Baratawidjaya, 2010).

(17)

Monosit adalah baris pertahanan kedua terhadap infeksi bakteri dan benda asing. Sel ini lebih kuat daripada netrofil dan dapat mengonsumsi partikel debris yang lebih besar. Monosit berespons lambat selama fase infeksi akut dan proses inflamasi, dan terus berfungsi selama perjalanan penyakit dan menjadi suatu proses yang kronik. Dalam keadaan normal, jumlah monosit berkisar antara 4-6 % atau 0.2-0.6 x10^3/mm3.

Fungsi monosit adalah untuk membantu sel-sel lain dalam darah menghilangkan jaringan yang rusak. Monosit juga membantu menghancurkan sel-sel kanker. Monosit diproduksi di sumsum tulang dan melakukan perjalanan melalui tubuh dalam darah. Saat monosit mulai melakukan perjalanan, mereka memasuki organ utama seperti hati dan pankreas. Saat monosit menjadi dewasa, mereka memainkan peran besar dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika jumlah monosit meningkat, ini menunjukkan bahwa tubuh sedang mencoba untuk melawan penyakit tertentu seperti kanker, infeksi atau kelainan darah. Monosit yang bertambah banyak sedang mencoba untuk melawan sel-sel jahat. Dalam memainkan peranan dalam sistem imun, monosit yang masuk dan beredar ke jaringan dikenal sebagai makrofag (Baratawidjaya, 2010).

Peranan makrofag saat ini menjadi issue sentral tentang adanya hubungan perubahan genetik yang menyebabkan kanker dengan aktivasi reaksi inflamasi pro tumor. Perubahan genetik ini menghasilkan populasi sel dengan sifat-sifat pertumbuhan tidak terkendali yang merupakan ciri sel kanker dan memiliki kemampuan menginvasi jaringan normal di sekitarnya serta kemampuan bermetastasis dan tumbuh di tempat yang letaknya jauh dari jaringan asal.

(18)

yang dihasilkan oleh sel-sel inflamatorik menyebabkan mutasi sel-sel yang berdekatan (Abbas, 2010).

TNF α yang diproduksi oleh makrofag yang merupakan mediator penting dalam

terjadinya inflamasi terbukti dapat menginduksi transformasi, proliferasi dan promosi tumor. TNF-α juga meningkatkan kemampuan invasi, angiogenesis dan motilitas sel kanker melalui jalur persinyalan intraseluler bekerja sama dengan NF-kB, TNFα melalui NF-kB menginduksi CD147 pada makrofag yang merupakan matrix metalloproteinase inducer yang berakibat peningkatan kemampuan invasi sel-sel tumor.

Makrofag dengan fenotip M2 juga menekan respon inflamasi dengan memproduksi sitokin IL-4,IL-10 dan IL-13 menekan ekspresi MHC kelas II dan mempromosikan proliferasi sel tumor dengan memproduksi factor pertumbuhan dan meningkatkan angiogenesis. Sebagian besar tumor associated macrophage (TAM) merupakan fenotip M2 (Baratawidjaya, 2010).

2.3 Rasio Limfosit Monosit

Rasio limfosit-monosit (RLM) merupakan suatu marker inflamasi yang baru-baru ini diperkenalkan dan dipergunakan pada banyak penelitian, dimana RLM ini sederhana dan biayanya murah (Zhang, 2015).

(19)

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

OSTEOSARKOMA

RESPON IMUNOLOGI TERHADAP TUMOR

LIMFOSIT MONOSIT

RASIO LIMFOSIT MONOSIT

FOLLOW UP

Gambar

Tabel 2.1 Staging Osteosarkoma berdasarkan kriteria Enneking ((Enneking, 2003)
Gambar 2.1 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan pengembangan produk yang akan dilaksanakan sebagai berikut: (1) merumuskan tujuan penggunaan produk yaitu untuk menambah kreatifitas pendidik dan

Salah satu game strategy yaitu Tic-Tac-Toe, game ini merupakan game yang dimainkan oleh dua orang, game tersebut akan diimplementasikan ke dalam teknologi

Cooperative Learning Tipe (STAD) dengan Model Konvensional”. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa

Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan hasil belajar siswa yang diajar menggunakan metode cooperative learning model STAD berbantuan Edmodo dibandingkan

Kondisi fisik yang mempengaruhi kehidupan plankton di sungai antara lain: arus air, temperatur air, kekeruhan, penetrasi cahaya matahari, (Odum, 1971).Kondisi

Walaupun begitu, diperlukan pelatihan penggunaan “SIKUSA” mengingat terdapat beberapa kesalahan yang disebab kan oleh faktor manusia (kemampuan penggunaan

Limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ini dibuang ke sungai Seruai dan terbawa bersama aliran air sungai .Secara langsung ataupuntidak langsung dapat menyebabkan

Hasil penelitian ini juga dapat dijelaskan bahwa kemampuan phonologi sensitivity pada anak perempuan lebih baik dari pada kemampuan phonological sensitivity