• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Suatu keinginan kematian, bagi sebagian besar umat manusia merupakan

suatu hal yang tidak menyenangkan dan mungkin tidak dikehendaki. Manusia

sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan

akal, pikiran dan rasa. Dengan menggunakan akal dan pikirannya tersebut

manusia mampu menciptakan teknologi untuk mempermudah dalam menjalankan

aktifitasnya sehari-hari.1 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut

yang semakin pesat perkembangannya dengan banyaknya penemuan-penemuan

yang bermanfaat bagi kepentingan umat manusia, khususnya dalam bidang ilmu

kedokteran banyak penemuan obat-obatan dan alat-alat medis yang serba modern.

Walaupun demikian, manusia tetap tidak dapat melepaskan diri dari berbagai

persoalan yang dialaminya seperti juga halnya Kesehatan, Kelahiran dan

Kematian.2 Berbicara mengenai kematian, kematian secara alamiah, dapat selalu

diterima sebagai suatu hal yang wajar, sebab pada akhirnya manusia akan mati,

tetapi mati yang tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan oleh

manusia itu sendiri.3

1

Ni Made Puspasutari Ujianti et.al, “Perlindungan Hak Cipta dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” Jurnal Ker-tha Wicaksana,Vol. 19 No. 1 Januari 2013, (Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Warmadewa 2013), hlm. 41

2 Suwarto,”Euthanasia dan Perkembangannya Dalam KUHP” Vol 27 No2, oktober

2009. Hal 169.

3

(2)

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat

Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh

Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan

paru-paru. Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi

dipertahankan, karena teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan

paru-paru yang semua berhenti bisa dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan

paru-paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.4

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan

bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi kembali.

Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut

berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak sebagai pusat penggerak

nafas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan

paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang.5

Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu

pengetahuan membedakannya kedalam tiga jenis kematian yaitu diantaranaya;6

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.

3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau

tidak dengan pertolongan dokter.

Jenis penggolongan kematian yang ketiga yaitu; Euthanasia, Euthanasia

ini mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia, mengapa demikian?

4

Haryadi, “Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan HAM”, Hal 122.

5

Ibid.

6

(3)

Hal mengenai Euthanasia mulai menjadi suatu pembicaraan dan

perdebatan yang menarik dikalangan ahli berbagai bidang dunia, setelah

diadakannya Konferensi Hukum Sedunia yang diselenggarakan oleh World Peace

Through Law Center di manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977,

dimana dalam konferensi tersebut diadakan Sidang Semu mengenai Hak manusia

untuk mati (the right to die) 7

Hak yang paling utama dari manusia adalah “hak untuk hidup” atau “the

right to life”. Didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula adanya “hak

untuk mati” atau “the right to die” yang telah diakui dunia dengan

dimasukkannya kedalam rumusan Universal Declaration of Human Right oleh

PBB tanggal 10 Desember 1948.8 Mengenai “hak untuk mati”, karena tidak

dicantumkan secara tegas dalam deklarasi dunia, maka masih merupakan

perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli dalam berbagai bidang di dunia.

Ada beberapa Negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu adalah

merupakan hak dari pada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hak daripada manusia.

Pada umumnya pendapat ini didasarkan atas pertimbangan segi religious. Di

samping itu beberapa Negara maju, seperti Amerika Serikat masalah hak untuk

mati, sudah diakui dan bahkan Negara bagian sudah ada mengatur dengan jelas

dalam berbagai perundang-undangan. Walaupun begitu, namun masih diakui pula

bahwa hak untuk mati itu tidak berifat mutlak. Jadi terbatas dalam suatu keadaan

tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat

diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobtan yang diberikan sudah tidak

(4)

berpotensi lagi. Sehubungan dibicarakan hak untuk hidup dan hak untuk mati

tersebut, akan menyangkut masalah hukum pidana yang disebut sebagai

Euthanasia atau mercy killing.9

Di Indonesia, Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-undang no. 39

tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Euthanasia dalam perspektif HAM

adalah suatu pelanggaran, karena hak untuk hidup seseorang (pasien) haruslah

dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan saat ini, tidak ada aturan yang

lengkap tentang Euthanasia. Hak untuk menentukan Nasib Sendiri tidak dapat

digunakan sebagai dasar untuk melakukan Euthanasia, karena dalam rumusan

Undang-undang 39 tahun 1999 mengabaikan “hak untuk mati”. Relevansi etika

medis dan hak asasi manusia mengenai dokter, sesuai dengan pengetahuan yang

dimiliki, harus berusaha untuk melindungi dan mempertahankan hidup seorang

pasien.10

Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia

disegala aspek kehidupannya, sehingga tidak mengherankan jika masalah hukum

sering masuk dibidang profesi kesehatan. Dalam melaksanakan profesinya, tenaga

kesehatan tidak dapat melepaskan diri dari lingkup hukum yang berlaku. Hal

tersebut sudah pasti terjadi, mengingat tenaga kesehatan juga manusia biasa yang

tidak luput dari pengaruh-pengaruh negatif, yang masih memungkinkan berbuat

kesalahan dalam menjalankan profesinya. Untuk mengurangi masalah akibat

pengaruh negatif, tenaga kesehatan harus meningkatkan profesionalismenya

9Ibid

Hal 18-19.

10

(5)

dengan menambah ilmu dibidangnya secara terus-menerus sesuai dengan

perkembangan zaman, juga meningkatkan keterampilan dan “attitude”.

Pengertian profesionalisme juga dapat dioptimalkan dengan memahami peraturan

perundangan dan hukum yang lain oleh para praktisi bidang kesehatan.11

Sebagai contoh kasus, di Indonesia, Kasus yang terjadi di Indonesia terkait

dengan Euthanasia yaitu kasus Siti Julaeha, seorang pasien wanita yang telah

koma selama setahun. Tidak sadarnya Siti Julaeha sejak manjalani operasi

kandungan di sebuah rumah sakit Jakarta Timur. Suaminya, Rudi Hartono

mengajukan permohonan Euthanasia terhadap istrinya. Menurut pengakuan Rudi

Hartono, pengambilan keputusan Euthanasia merupakan keputusan keluarga

besarnya yang merasa tidak tega melihat istrinya tersiksa terus. Keputusan ini

semakin diperkuat setelah dia mendengar pernyataan seorang dokter Rumah Sakit

Dokter Cipto Mangunkusumo yang menyatakan bahwa istrinya telah mengalami

keadaan vegetatif state, tipis kemungkinan harapan Siti Julaeha untuk sembuh.

Hal tersebut adalah contoh dari Euthanasia yang atas permintaan

dilakukan secara aktif (Euthanasia Aktif) oleh medis. Berbeda dengan Euthanasia

yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap

pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut.

Seorang calon dokter spesialis, menderita kanker ganas atap tenggorok

yang dalam ilmu kedokteran disebut Carsinoma Nasopharinx. Pasien yang juga

seorang dokter masuk dan dirawat dirumah sakit karena pendarahan

ber-ulang-ulang, sehingga sering memerlukan tindakan untuk menghentikan pendarahan dan

11

(6)

transfusi darah karena terjadi kekurangan darah yang berat. Dalam perawatannya,

dia dimasukkan kamar operasi untuk usaha penghentian pendarahan. Setiap

pendarahan hebat menyebabkan pasien ini tidak sadar atau shock, bahkan

berkali-kali nafas dan jantung berhenti. Karena dokter ahli dari berbagai macam spesialis

selalu siap maka selalu saja jantung yang berhenti tersebut dapat ditolong

sehingga berdenyut kembali. Setelah berkali-kali hal tersebut terjadi dan pasien

selalu berlumuran darah, darah segar selalu dimasukkan untuk penggantinya,

sebagian besar dokter ahli mulai merasa sangat kasihan kepada pasien yang juga

seorang dokter. Akhirnya diadakan rapat kilat dan diambil keputusan bahwa: bila

nanti terjadi henti nafas dan henti jantung lagi tidak akan ditolong, dengan dalih

pasien sudah sangat menderita.12

Proses ini dapat dikatakan sebagai Euthanasia pasif yang tidak diketahui

dan diberitakan kepada masyarakat. Kemudian, salahkah tindakan yang diambil

oleh para dokter ini?

J.E. Sahetapy., membedakan Euthanasia kedalam tiga (3) jenis, yaitu;13

1. Action to permit death to occur; kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk mati. Kematian pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerja sama antara si pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis Euthanasia yang disebut dalam arti pasif (permission)

2. Failure to take action to prevent death; kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam menggambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian.

(7)

Antara Euthanasia jenis yang pertama dan ketiga ini, sama-sama

didasarkan atas permintaan/desakan kepada dokter dari si pasien ataupun

keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama dokter bersifat pasif, sedangkan

pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan untuk

mempercepat proses terjadinya kematian.14

Pada jenis yang kedua hal tersebut terjadi bilamana dokter akan

mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, akan tetapi ia tidak

mengerjakan sesuatu apa-apa, karena ia tahu bahwa pengobatan yang akan

diberikan kepada pasien itu adalah sia-sia belaka. Jika ia akan memberikan

pengobatan, maka di pandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga

sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien

dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Berdasarkan hal

tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh dokter merupakan

jenis Euthanasia pasif.15

Maka timbul suatu pertanyaan, bagaimana jika yang bersangkutan (pasien)

tidak mampu lagi dapat berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun,

sehingga tidak dapat menyatakan dengan kesungguhan hati?

Berkembangnya ilmu pengetahuan, menjadi tuntunan tersendiri bagi

pelayan kesehatan untuk memberi layanan kesehatan semakin baik dan dengan

keadaan pasien yang kompleks pula, bahkan cenderung kritis. Hal tersebut tidak

lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan,

terutama yang berhubungan dengan pengobatan dan diagnosis yang tidak dapat

14

Ibid, Hal 74

15

(8)

luput dari alat-alat modern yang sebelumnya tidak dikenal. Selain itu kesadaran

kaum masyarakat saat ini semakin meningkat seiring dengan derasnya arus

informasi, reformasi, dan kemajuan pendidikan. Kaidah hukum diperlukan dalam

mengatur hubungan antar manusia di segala aspek kehidupannya, sehingga tidak

mengherankan jika akhir-akhir ini masalah hukum sering masuk di bidang profesi

kesehatan. Dalam melaksanakan profesinya, tenaga kesehatan tidak dapat

melepaskan diri dari lingkup hukum yang berlaku.16

Bagi penyelenggara kesehatan ataupun seorang dokter, masalah

Euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkan pada posisi yang serba

sulit. Di satu pihak teknologi kedokteran telah semakin maju, sehingga mampu

mempertahankan hidup seseorang (walaupun hidup yang vegetative atau

vegetative state); sedangkan disisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat

terhadap hak-hak individu juga berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian,

konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada

kontradiksi antara etika, moral dan hukum disatu pihak; dengan kemampuan, ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sedemikian majunya, dipihak lain

sehingga mungkin untuk mempertahankan hidup vegetative tadi.17

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal tiga 3

pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia, yaitu:18

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan amam, tanpa penderitaan,

untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir;

16

Sutarno, Op.cit, Hal 1

17

M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Jaman, (Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC, 2007) Hal 180

18

(9)

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderiataan si sakit dengan

memberikan obat penenang; dan

3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya

Lafal Sumpah Dokter maupun Kode Etik Kedokteran (KODEKI) dengan

jelas melarang dokter untuk melakukan Euthanasia, sebagaimana halnya dengan

abortus provokatus/ pengguguran kandungan. Dari sudut hukum pidana, KUHP

mengatur masalah Euthanasia ini melalui beberapa pasalanya (khususnya pasal

344 KUHP yang sering disebut sebagai “pasal Euthanasia”).19

Persoalan mengenai pengakhiran kehidupan (Euthanasia) semakin

berkembang, namun tidak diimbangi dengan kepastian hukumnya, hal inilah yang

melatar belakangi penulis untuk membahas di dalam penulisan skripsi ini. Negara

kita Indonesia secara tegas menolak Euthanasia. Menurut Farid Anfasal Moeloek

selaku Ketua Hukum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Euthanasia sampai

saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam

masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan Euthanasia tidak sesuai dengan etika

yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum pidana positif di Indonesia.

Selama ini Ikatan Dokter Indonesia telah memberikan rekomendasi kepada

pemerintah untuk tidak melakukan Euthanasia di Indonesia. Memperhatikan

kondisi riil di masyarakat, banyak pasien yang dalam keadaan sangat menderita

maupun keuangan tidak mampu ditanggung lagi oleh keluarga pasien, maka sudah

19

(10)

seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meringankan beban

pengobatan bagi keluarga pasien.

Di Indonesia secara yuridis formal, Euthanasia, baik aktif maupun pasif

belum diatur. Dengan demikian selalu saja menimbulkan polemik dan diskusi

panjang bila ada kasus yang berkaitan dengan Euthanasia. Mulai dari

undang-undang 23 tahun 1992/ 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang-undang no 29

tahun 2004 tentang praktik kedokteran tidak mengatur dengan jelas hal mengenai

Euthanasia, mana yang boleh, yang dilarang, yang diharuskan, maupun

sanksinya. Penggunaan pasal-pasal dalam KUHP untuk kasus Euthanasia tentu

tidak dapat diterapkan begitu saja. Karena pasal-pasal yang mendekati merupakan

pasal-pasal Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.20 Dengan kondisi masyarakat

yang sangat cepat berubah ini, maka perubahan hukumpun harus mengikutinya.

Dapat dikatakan bahwa hukum sering ketinggalan terhadap perubahan

masyarakat, hal ini memang sulit atau bahkan tidak mungkin dihindari, karena

salah satu tugas hukum bersifat mengatur masyarakat tersebut. Dalam hal

tertinggalnya hukum, Soerjono soekanto menyebutkan bahwa tertinggalnya

perkembangan hukum baru terjadi dalam situasi-situasi yang dinamis, yaitu

dimana terjadi perubahan sosial yang tidak diikuti dengan

perubahan-perubahan atau penyesuaian-penyesuaian hukum secara pararel terhadap

perubahan-perubahan sosial tersebut.21

20

Sutarno, Op.Cit, Hal 12

21

(11)

Philippe Nonet dan Philip Selznick menyatakan bahwa semakin kokoh

suatu teori berpijak pada kenyataan, maka semakin besar pula kekuatannya,

sehingga hukum tidak boleh hanya terpaku pada pandangan yang konvensional,

tetapi harus lebih fleksibel, responsif, dan yang paling penting memiliki semangat

pembaharuan.22

Masalah Euthanasia merupakan masalah yang umum bagi masyarakat

aparat penegak hukum, dokter, dan semua pihak yang bertanggungjawab terhadap

masa depan perkembangan hukum pidana kita. Untuk itu, akan dilihat bagaimana

perkembangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.

Di Indonesia, yang menjadi patokan umum dan dasar, sebagai kodifikasi

hukum pidana adalah KUHP, pasal 344 yang menyebutkan;

“barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang

itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh,

dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.

tetapi baik dalam KUHP maupun hukum positif yang lain belum ada yang

mengatur Euthanasia secara eksplisit, sehingga penerapan hukum positif ini

masih perlu banyak dipikirkan, dengan kata lain sebetulnya dimana tempat

Euthanasia ini dalam hukum positif di Indonesia?.

Kondisi seperti tersebut diatas menyebabkan perlunya diadakan

pengkajian dan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan dasar-dasar pengertian

secara yuridis, sosiologis dan filosofis sehingga dapat dipakai bahan rujukan bagi

para ilmuwan bidang hukum pidana dan legislator. Rujukan yang dimaksud

22

(12)

adalah dalam rangka memikirkan perlunya pengaturan secara khusus perihal

Euthanasia dalam hukum positif Indonesia, selain itu, dapat pula sebagai

pertimbangan para hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan

Euthanasia.23

Hal ini penting, mengingat sampai saat ini belum jelas bagaimana hukum

positif Indonesia dapat diterapkan pada kasus Euthanasia, dan bagaimana

seharusnya hukum positif Indonesia mengatur secara khusus kasus Euthanasia,

karena banyak macam Euthanasia dan tindakan-tindakan sejenis Euthanasia atau

Euthanasia semu yang terjadi. Dengan makin maju dan berkembangnya hukum

kesehatan dan hukum kedokteran di Indonesia, maka hubungan dokter dan pasien

berkembang dari vertikal paternalistik kearah horizontal kontraktual, dan makin

banyaknya macam masalah menyebabkan rumah sakit pemerintah cenderung

berubah dari sifat semula sosial filantropis menjadi sosial ekonomis.24

Keadaan-keadaan tersebut diatas menyebabkan makin diperlukan perlindungan hukum

terhadap pasien, tenaga kesehatan yang merupakan pemikiran kearah ius

constentuendum.

Euthanasia menjadi suatu persoalan yang rumit, hal tersebut dikarenakan

menyangkut hak hidup seorang manusia. Apapun alasanya serta tujuannya,

Euthanasia merupakan suatu persoalan dan problematika manusia dengan hukum.

Walaupun manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan menetukan sendiri

nasibnya dalam melakukan suatu hal, namun kebebasan tersebut tak serta-merta

23

Ibid.

24

(13)

digunakan tanpa melihat aturan serta norma-norma yang ada dalam kehidupan

manusia. Bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia dan mempuyai akal

dan pikiran yang dapat bertidak menurut pengertian hukum. Karena atas

keadaan-keadaan tersebut diatas maka penulisan ini di beri judul:

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN

(14)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka perumusan

permasalahan yang akan saya bahas di dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana “Euthanasia” ditinjau dari ilmu kedokteran ?

2. Bagaimana perkembangan peraturan tindakan “Euthanasia” dalam hukum

positif Indonesia ?

3. Apakah pertanggungjawaban pidana dapat diminta pada pelaku

“Euthanasia” ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana Eutahanasia menurut pandangan Ilmu

kedokteran Indonesia

2. Untuk mengetahui bagaimana Euthanasia diatur dalam hukum positif Indonesia

3. Dan tujuan yang terakhir adalah bagaimana pertanggungjawaban hukum pidana

Indonesia terhadap pelaku Euthanasia.

Selanjutnya, adapun Manfaat dari penulisan skripsi adalah:

1. Secara teoritis :

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan yang

cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan literature

(15)

dalam bidang hukum dan Hukum Pidana mengenai hal-hal yang

menyangkut tentang Euthanasia.

2. Manfaat secara praktis

Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan

serta pemahaman yang lebih mendalam bagi para aparat Penegak

Hukum dan Penyelenggara Kesehatan (DOKTER) di Indonesia

mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Euthanasia yang kini

masih menjadi pro dan kontra mengenai pelaksanaanya serta

penerapan hukum yang berlaku di Indonesia terhadap Euthanasia ini.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penulusuran dan pembahasan skripsi dengan judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK MEDIS DAN HUKUM PIDANA”. penulisan skripsi ini asli dari ide, gagasan dan usaha penulis sendiri dengan bantuan yang diberikan oleh Dosen Pembimbing penulis. Dengan

menghubungkan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan sumber dan

doktrin yang ada, tanpa ada unsur penjiplakan yang dapat merugikan pihak-pihak

tertentu. Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas akhir dan

memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

(16)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Euthanasia

Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” (baik) dan

“thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang

baik”. Euthanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak

memperoleh dukungan dari tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti PLATO,

yang mendukung suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang

untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang sedang dialaminya. Aristoteles

yang membenarkan adanya membunuh anak yang berpenyakit dari lahir dan tidak

dapat hidup menjadi manusia yang perkasa, Phytagoras dan kawan-kawan ikut

juga menyokong perlakuan pembunuhan terhadap orang-orang yang lemah mental

dan moral.25 Hippokrates pertama kali menggunakan pengertian dan istilah

Euthanasia pada “sumpah hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi:“saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan

obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”

yang dikenal sebagai sebutan The Hippocratic Oath.26

Euthanasia adalah Euthanathos yang berarti mati dengan baik tanpa

penderitaan, ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. Hal tersebut

dinyatakan oleh suetonis, seorang penulis dari yunani dalam bukunya yang

berjudul “Vitacae sarum”.27

25

Sutarno,.Op.Cit, Hal 32-33

26

Ibid.

27

(17)

Kematian yang baik dan lembut adalah terjemahan istilah Euthanasia yang

dijabarkan dari kata Yunani; “eu” (laik/baik) dan “thanatos” (mati). Tampaknya

tidak sedikit defenisi dan pembagian yang diberikan pada Euthanasia tersebut.

Kematian yang lembut tidak memadai sebagai defenisi. Seayun-selangkah dengan

ini misalnya kematian akut karena serangan jantung umumnya dianggap oleh

lingkungan sekelilingnya juga sebagai kematian lembut yang dipilih. Kematian

yang disengaja dibuat rupa-rupanya juga tidak memenuhi kriteria untuk

pembatasan untuk defenisi Euthanasia. Kadang-kadang kematian seperti itu dapat

berlangsung keras dan juga tergolong dasyat dan menyakitkan di dalam situasi

yang sepi dan sunyi seperti halnya pengakhiran kehidupan bunuh diri. Pada

Euthanasia kematian itu bukan hanya lembut, tulus dan mulus karena cara-cara

pengakhiran kehidupan, namun di sini diperlukan bantuan. Dengan demikian

pertolongan pihak lain merupakan faktor yang esensiil. Bahwa manusia adalah

mahkluk sosial dan oleh karena itu tiada henti-hentinya ia akan mencari bantuan

dan perhatian secara simpati dari sekitarnya. Bantuan dan rasa cinta kasih pada

fase kematian ini, demikian pula adanya penyelenggaraan pengakhiran kehidupan

oleh pihak lain, merupakan faktor-faktor yang tidak dapat tiada di dalam

Euthanasia ini.28

Kematian laik adalah demi kepentingan pasien semata-mata dan sama

sekali bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekitarnya

(keluarga, penyelenggara pelayan kesehatan, pengasuh). Dan penyelenggaraan di

sini harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, artinya setelah adanya permintaan

28

(18)

yang diajukan secara tegas dan berulang-ulang dari pihak yang bersangkutan demi

kepentingannya. Permintaan Euthanasia ini harus didorong oleh keinginan pasien

agar terlepas dari penderitaan melalui satu-satunya jalan yang tersisa ialah:

kematian.29

Menurut study group dari (KNMG) ikatan dokter Belanda, Euthanasia

diartikan dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup

seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Sedangakan

dalam Black’s Law dictionary, euthanasia is “the act or practice of killing or

bringing about the death of a person who suffers from an incurable disease or

condition. Euthansia is sometimes regarded, by law, as second deggre murder,

menslaugher, or criminally negligent bomicide”. Jadi Euthanasia adalah suatu

tindakan atau praktik pembunuhan atau membuat seseorang yang menderita

penyakit yang tidak dapat disembuhkkan menjadi mati.30

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia istilah Euthanasia dipergunakan

dalam 3 pengertian, yaitu:31

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang.

3. Mengakhiri derita dalam hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Euthanasia merupakan

tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahkluk, (baik orang atau hewan

(19)

piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah

atas dasar kemanusiaan.32

Euthanasia bisa didefenisikan sebagai a good death atau mati dengan

tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan

dari pasien ataupun keluarganya sendiri, karena penderitaan yang sangat hebat,

dan tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien

yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan

pengobatan yang diperlukan.33

Masalah Euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau

bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah suicide yang perlu dibahas adalah

apakah seseorang yang ingin mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk

melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena telah dianggap melakukan suatu

kejahatan.34 Euthanasia dan bunuh diri pada hakikatnya tidak terlalu jauh berbeda

pemahamannnya, yang keduanya mempunyai arti melakukan suatu tindakan

untuk mengakhiri hidup sendiri akibat dari keputus-asaan dan kekecewaan yang

berlarut-larut. Dalam kasus Euthanasia terjadi tindakan untuk meminta atau

memohon menghilangkan nyawa akibat menderita penyakit dan rasa sakit yang

tidak tertanggungkan dan kemungkinan tak mungkin dapat disembuhkan dan

biasanya hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seseorang, dalam hal ini ialah

dokter yang menanganinya. Sementara dalam kasus bunuh diri, lebih disebabkan

oleh kekecewaan atau penyesalan hidup baik dalam hal karier, rumah tangga,

32

Ibid.Hal 16

33

Djoko Prakoso,Op.Cit, Hal 55.

34

(20)

masalah ekonomi dan sebagainya yang ingin keluar dari derita kehidupan dengan

melakukan berbagai cara untuk menghilangkan nyawa.35

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Euthanasia merupakan suatu

tindakan membunuh pasien atau membiarkan meninggalnya seorang pasien secara

alamiah, dimana pasien tersebut menderita penyakit yang menurut ilmu medis

sudah tidak dapat disembuhkan, dan dengan tujuan tidak memperpanjang

penderitaan sang pasien yang bersangkutan.

Dari pengertian-pengertian tersebut, defenisi konseptual pengertian

Euthanasia seperti yang dirumuskan menurut Study Group dari Iktan Dokter

Belanda adalah:36

“dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup

seorang pasien ataupun sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan demi

kepentingan pesien sendiri”.

Secara umum Euthanasia pada dasar dan pelaksanaanya dapat dibagi

menjadi 3 jenis, yaitu:37

1. Euthanasia Aktif: adalah serangkaian perbuatan yang dilakukan

dengan sengaja secara medis melalui intervensi aktif oleh seseorang

petugas kesehatan atau dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup

manusia (pasien). Dengan perkataan lain euthanasia aktif adalah suatu

35

Nina Surteritna dan Rachmat Taufiq Hidayat, Euthanasia untuk Penderita HIV/AIDS, (diakses dari situs : http//www.pikiran-rakyat.com)

36

Sutarno,op.cit, Hal 16

37

(21)

tindakan medis secara sengaja melalui obat atau cara lain sehingga

menyebabkan pasien tersebut meninggal.

Euthanasia aktif ini juga dibedakan atas:

a. Euthanasia Aktif Langsung (direct)

adalah dilakukannya dengan tindakan medik secara terarah yang

diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, yaitu

memperpendek hidup pasien. Jenis Euthanasia ini dikenal juga

sebagai mercy killing.

b. Euthanasia Aktif Tidak Langsung (indirect)

adalah saat dokter dan tenaga kesehatan melakukan tindakan medik

untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya

resiko tersebut dengan memperpendek atau mengakhiri hidup

pasien.38

2. Euthanasia Pasif: adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan

atau pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan

hidupnya. Seseorang pasien yang sedang menjalani perawatan, guna

kelangsungan hidupnya dilakukan tindakan medis melalui berbagai

cara termasuk memberikan obat. Apabila tindakan medis ini

diberhentikan, maka sudah barang tentu pasien ini meninggal, oleh

sebab itu, tenaga kesehatan atau dokter ini sesungguhnya melakukan

Euthanasia Pasif.39

38

M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, (Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1999). Hal 120

39

(22)

3. Auto-Euthansia: pasien menolak secara tegas dan sadar untuk

menerima bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, di mana ia

mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri

hidupnya.40

Berdasarkan penolakan tersebut, pasien membuat suatu codicil

(pernyataan tertulis tangan). Beberapa kalangan menyamakan auto-euthanasia ini

dengan Euthanasia pasif atas permintaan pasien.41

Bila ditinjau dari permintaan, bagi pasien yang sudah sampai pada tahap

terminal, tetapi pasien tersebut mengalami penderitaan yang berkepanjangaan,

maka seorang pasien dapat mengajukan permintaan kepada petugas untuk

mengakhiri hidupnya. Berdasarkan kondisi ini, maka Euthanasia dibedakan

menjadi:42

1. Euthanasia voluntir

Adalah Euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan atas

permintaan si pasien sendiri. Permintaan pasien ini dilakukan dalam

kondisi sadar atau dengan kata lain permintaan pasien secara sadar dan

berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga.

2. Euthanasia involuntir

Adalah Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada

pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh

40

Ibid.

41

C.M.Achadiat, Melindungi Pasien dan Dokter, (Jakarta 1996 ,penerbit; Widya Medika),Hal 49

42

(23)

keluarga pasien, dengan berbagai alasan, antara lain: biaya perawatan,

kasihan terhadap penderitaan pasien, dan sebagainya.

Kedua jenis pembagian Euthanasia tersebut dapat digabungakan, dengan

demikian dapat dikenal dengan Euthanasia pasif voluntir, pasif involuntir,

Euthanasia aktif voluntir dan aktif involuntir.

Ada yang melihat pelaksanaan Euthanasia dari sudut lain dan

membaginya atas 4 (empat) kategori, yaitu:43

1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud

memperpendek hidup pasien.

2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek

hidup pasien.

3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan

memperpendek hidup pasien.

4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek

hidup pasien.

Antara Euthanasia Aktif dan Euthanasia Pasif, seolah-olah ada perbedaan,

dimana pada euthanasia pasif dokter membiarkan pasien meninggal, sedangkan

pada Euthanasia yang aktif dokter bisa dituduh melakukan pembunuhan. Namun

dalam hal membiarkan meninggal dan membunuh, menurut James F. Childress,

secara moral tidak ada bedanya. Senada dengan childress, Bonnie Steinbock

berpendapat tidak ada bedanya antara penghentian perawatan untuk

memperpanjang hidup untuk terminasi kehidupan seseorang manusia secara

43

(24)

sengaja oleh orang lain, yang berarti antara Euthanasia aktif dan pasif adalah

sama.44

Sedangkan menurut Fletcher tindakan Euthanasia dapat dilakukan melalui

beberapa cara seperti berikut:45

a. Langsung dan sukarela, cara memberi jalan kematian yang dipilih pasien,

tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.

b. Sukarela berarti tidak langsung, cara ini dikerjakan dengan jalan pasien

diberi tahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini

berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan

hidupnya.

c. Langsung tetapi tidak sukarela, cara ini dilakukan tanpa sepengetahuan

pasien, misalnya dengan memberikan dosis lethal pada anak yang lahir

cacat dan.

d. Tidak langsung dan tidak sukarela, cara ini merupakan Euthanasia pasif

yang paling mendekati moral.

Tanpa melihat legalitas, menurut Fred Ameln dalam beberapa literatur

didapatkan beberapa cara untuk mengakhiri hidup:46

a. Hidup diakhiri dengan permintaan sendiri, dilakukan dengan motivasi

kasihan,

b. Hidup diakhiri atas permintaan orang tua/keluarga, dilakukan dengan

motivasi kasihan dengan tindakan aktif,

44

Sutarno, Op.cit, Hal 35-36.

45

Ibid, Hal 38

46

(25)

c. Hidup diakhiri tidak atas permintaan, dilakukan dengan motivasi kasihan

dengan membiarkan pasien mati,

d. Hidup diakhiri tidak atas permintaan, dilakukan dengan motivasi kasihan

dengan tindakan aktif

e. Bunuh diri tanpa bantuan, dan

f. Bunuh diri dengan bantuan orang lain.”

2. Pengertian Aspek Medis

Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan,

merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi

peningkatan kesehatan masyarakat, baik secara fisik maupun non-fisik. Dalam

sistem kesehatan nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi

kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauanya sangat luas dan kompleks. Hal ini

sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional

sebagai:47

A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely the absence of desease or irfirmity.

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah

kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu

kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang, maupun di

kehidupan masa yang akan datang. Dilihat dari sejarah perkembangannya, telah

terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran dimaksud selalu berkembang

47

(26)

sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya. Kebijakan

pembangunan dibidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan

penderita, secara berangsur-angsur berkembang kearah kesatuan upaya

pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan peran serta masyarakat

yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang mencakup:48

1. Upaya peningkatan (promotif) ; adalah suatu kegiatan dan/ atau

serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan

kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

2. Upaya pencegahan (preventif) ; adalah suatu kegiatan pencegahan

terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit.

3. Upaya penyembuhan (kuratif) ; adalah suatu kegiataan pengobatan

yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan

penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian

kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

4. Upaya pemulihan (rehabilitative) ; adalah kegiatan dan/ atau

serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam

masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat

yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin

sesuai dengan kemampuannya

Untuk mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi masyarakat,

diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk

upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan bagi masyarakat. Upaya

48

(27)

kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dan pendekatan promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh

dan berkesinambungan.

Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

kesehatan, telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan

yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional

dibidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula.

Berbagai cara perawatan dikembangan sehingga akibatnya juga bertambah besar,

dan kemungkinan untuk melakukan kealahan semakin besar pula. Dalam banyak

hal yang behubungan dengan masalah kesehatan sering ditemui kasus-kasus yang

merugikan pasien. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila profesi kesehatan

ramai diprbincangkan baik di kalangan intelektual maupun masyarakat awam dan

kalangan pemerhati kesehatan.49

3. Pengertian Hukum Positif Indonesia

Hukum positif atau ius constitutum, adalah hukum yang berlaku sekarang

bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu, singkatnya hukum

yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu daerah

tertentu.50 Hukum positif dibuat dengan tujuan untuk menciptakan kepastian

hukum, kedamaian, kejelasan status, kepastian kepemilikan, kepastian hak dan

kewajiaban warga Negara, serta melindungi semua kepentingan yang ada dalam

49

Ibid,Hal 4

50

(28)

suatu Negara, seperti kepentingan rakyat, kepentingan Negara, kepentingan warga

Negara asing.

Hukum positif merupakan unsur riil dalam unsur hukum sedangkan ilmu

hukum merupakan suatu idiil. Unsur rill ini terdiri dari manusia, kebudayaan

materil dan lingkungan alam, sedangakan unsur idiil mencakup hasrat susila dan

rasio manusia. Hasrat susila menghasilkan asas-asas hukum, sedangkan rasio

manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum, misalnya subjek hukum,

hak, kewajiaban, dan seterusnya.51

Istilah positif itu berarti kebetulan, ialah menurut bahasa latin yang

dipergunakanoleh rakyat,bukan oleh orang rum asli. Dengan begitu hukum positif

bersifat kebetulan (ia dipengaruhi oleh pelbagai factor kebetulan).

Akan disebutkan beberapa uraian tentang arti kata hukum positif :52

a. Mr.J. Valkhoff menyatakan di dalam E.N.S.I.E (jilid III, hal. 423

dan 434, “hukum positif atau hukum ytang berlaku sungguh

-sungguh”,”hukum positif kemanusian yang berubah-ubah itu

merupakan suatu tertib yang tegas buat kebaikan umum”, “hukum positif atau hukum isbat, ialah hukum yang berlaku di dalam

Negara”.

b. Soal hukum positif ditinjau dari sudut wujudnya dan asalnya, diketemukan didalam karangan L.Bender, “Het Recht” (1948), hlm. 254: “hukum positif ialah hukum yang disajikan khusus oleh suatu perbuatan manusia ; oleh sebeb itu, hukum positif itu

didalam wujudnya tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri”.

c. Mr. J.H Carpientier Alting, “Grondslagen der Rechtsbedeling” (1926), mengatakan “perkataan “hukum” di dalam arti positif dan obyektif harus diartikan sebagai suatu kelompok peraturan yang merupakan satu rukun ; kelompok peraturan itu menguasai hidup bersama di dalam masyarakat, ketaatan terhadap peraturan-peraturan itu dapatlah dipaksakan oleh suatu kuasa zahiri, maupun dijamin oleh kemungkinan bahwa pengabaian peraturan-peraturan

51

Purnadi Pubacaraka,Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,(Bandung:Almuni,1985), Hal 14.

52

(29)

itu dapat mengadakan tindakan-tindakan (secara langsung, maupun

tidak langsung) dari pihak kekusaan zahiri tersebut”. Dalam pada

itu, kedalam defenisi itu dimasukkan unsur “ketaatan”, yakni ketaatan dengan paksaan.

Maka definisi yang dapat dibulatkan adalah sebagi berikut, hukum positif

adalah suatu penyususnan terhadap hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan atas

kuasa masyarakat itu, dan beralaku untuk masyarakat itu; hukum positif terbatas

menurut tempat dan waktu.

4. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya tindak pidana

adalah asas legalitas, sedangkan dasar dipidananya pembuat adalah asas

kesalahan. Ini berarti pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia

mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang

dapat dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban

pidana.53

Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban

orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang

dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya

53

(30)

merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi

terhadap pelanggaran atau “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.54

Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur,

yaitu: 55

a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab

b. Kesalahan

c. Tidak Ada alasan pemaaf.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya

tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur adalah

kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab.

a) Mampu bertanggungjawab

Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :56

1. Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44

KUHP);

2. Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat

melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan

54

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, cetakan kedua (Jakarta: kencana, 2006), Hal.68

55

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan (malang : UMM Press, 2009), Hal.225.

56

(31)

kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka kemampuan

bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :

1) Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek

pihak lain yang telah terdaftar.

2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan.

3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa.

4) Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan

indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.

b) Kesalahan

Kesengajaan dalam hukum pidana dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk

dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan

pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena

kealpaannya.

c) Tidak adanya alasan pemaaf

Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus

kesalahan dari terdakwa.

(32)

F. Metode Penulisan

Metode penelitian diperlukan agar penelitian dapat tersusun sistematis dan

terarah. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah

sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang

dinamakan juga dengan penelitian hukum doktriner atau penelitian

kepustakaan terhadap tindak pidana Euthanasia dalam peraturan

perundang-undangan dan terhadap berbagai literatur yang berkaitan

dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian ini dilakukan dengan

cara meneliti berbagai bahan pustaka.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Materi dalam penulisan skripsi ini diambil dari bahan hukum seperti yang

dimaksudkan di bawah ini :

a. Bahan hukum primer, Berbagai dokumen peraturan nasional yang

tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang, Dalam tulisan ini antara lain adalah Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan PerUndang-Undang-undangan :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

(33)

3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang perubahan

atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang

Kesehatan.

4. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu: Bahan-bahan yang berkaitan erat

dengan bahan hukum primer, dan dapat digunakan untuk

menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada.

Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian

tentang Euthanasia, seperti hasil seminar atau makalah para pakar

hukum kesehatan, surat kabar, majalah, dan juga sumber-sumber

dari dunia internet yang tentunya memiliki kaitan erat dengan

persoalan yang dibahas.

c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, Yang mencakup kamus

bahasa, untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai

alat bantu pengalih bahasa beberapa literatur asing.

3. Analisa Data

Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan

tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, kemudian akan

dianalisis secara perspektif atau menggunakan analisis perspektif dengan

menggunakan metode-metode sebagai berikut:

Dengan Menggunakan metode Library Research, yaitu mencari dan

(34)

Koran, internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahaan

(35)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar lebih

mempertegas penguraian isi dari skripsi ini dan memberikan kemudahan bagi

pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan

sistematika serta gambaran itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan

antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang

hal-hal mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN INDONESIA

Pada bagian bab ini akan menyikapi atau membahas mengenai

Euthanasia dalam bidang Ilmu Kedokteran dan Kesehatan

Indonesia. Yang diuraikan berdasarkan Euthanasia dalam

pandangan kedokteran yang dilakukan dokter yang bersinggungan

dengan malpraktik medis serta permasalahan yang dihadapi dokter

terhadap permohonan Euthanasia.

BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA EUTHANASIA DALAM HUKUM POSITIF DAN RANCANGAN KUHP INDONESIA

Dalam bab ini akan dilihat rujukan terhadap peraturan

per-Undang-undangan yang berlaku/hukum positif di Indonesia mengenai

pengaturan hukum Euthanasia dengan serta pengaturan Euthanasia

di dalam KUHP dan pengaturan Euthanasia dalam RancanganUU

(36)

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PELAKSANA TINDAK PIDANA EUTHANASIA

Pada bab ini akan di bahas secara mendetail mengenai

pertanggungjawaban hukum terhadap seseorang yang melakukan

tindakan Euthanasia yang bedasarkan Hukum Pidana dan

pertanggungjawaban terhadap etika dan profesi jabatan yang telah

diatur dalam Undang-undang dan ketentuan yang berlaku saat ini.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan hasil akhir dari hasil pembahasan dari

bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan dan saran sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di SMP Negeri 1Natar Lampung Selatan dan SMP SwadiphaNatar Lampung Selatan, diketahui bahwa LKS yang digunakan

To achieve our target of zero poverty program by 2020 poverty zero, then used a normative approach by adopting the model SWOT analysis, namely to conduct an

Secara manual untuk penjejakan Laboratorium dan Perpustakaan Prodi/Jurusan/Fakultas dengan meminta pengesahan pejabat yang berwenang dengan format yang dikeluarkan1. oleh

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Increasing the value of critical cohesive traction increases the extent of plastic zone at the crack tip which causes the fatigue crack growth to retard.. Plastic materials

Beberаpа kаrаkteristik dаri mаskаpаi low cost cаrrier (LCC) аtаu penerbаngаn berbiаyа murаh аdаlаh stаndrаtisаsi pаdа kаbin dаn аrmаdа pesаwаt, menghilаngkаn

Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa: (1) Manajemen Peserta Didik di SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik dilakukan semaksimal mungkin untuk menfasilitasi dan melayani peserta

yaitu: “apakah teknik clustering dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi. pada siswa kelas VIII G SMP Negeri 6 Purwokerto tahun ajaran