• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia (lanjut usia),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia (lanjut usia),"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1 Lanjut Usia (Lansia)

2.1.1 Pengertian Lansia

UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia (lanjut usia), menyatakan bahwa lansia adalah orang yang berusia 60 tahun ke atas. Usia 60 tahun merupakan usia yang rawan terjadi pada manusia karena dapat menyebabkan penurunan kemampuan fisik dan kognitif (Satriyo, 2009). Menurut WHO dalam Nugroho (2008), lanjut usia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu :

(1) Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia antara 45 sampai 59 tahun

(2) Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60 sampai 74 tahun (3) Usia tua (old) adalah kelompok usia antara 75 sampai 90 tahun (4) Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun

Penelitian oleh Rupadi (2010), menyebutkan rentang usia dikelompokkan dengan jarak lima setiap rentang dan pada kelompok usia yang sama yaitu 60-64, 65-69, dan 70-74 untuk mempermudah dalam melihat distribusi data.

2.1.2 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia yaitu perubahan fisik, perubahan kognitif, perubahan spiritual, perubahan psikososial, perubahan aspek kepribadian. Perubahan fisik yaitu pada sistem indra, sistem muskuloskeletal,

(2)

sistem kardiovaskuler dan respirasi, sistem perkemihan, sistem reproduksi, dan pada sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang progresif pada serabut saraf lansia. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi, sensori dan respon motorik pada susunan saraf pusat (SSP) dan penurunan reseptor proprioseptif, hal ini terjadi karena SSP pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia, perubahan tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif (Azizah, 2011).

2.2 Fungsi Kognitif pada Lansia 2.2.1 Definisi Fungsi Kognitif

Proses menua merupakan penyebab terjadinya gangguan fungsi kognitif. Fungsi kognitif tersebut merupakan proses mental dalam memperoleh pengetahuan atau kemampuan kecerdasan, yang meliputi cara berpikir, daya ingat, pengertian, perencanaan, dan pelaksanaan (Santoso&Ismail, 2009). Gangguan fungsi kognitif berhubungan dengan fungsi otak, karena kemampuan lansia untuk berpikir akan dipengerahui oleh keadaan otak (Copel, 2007).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif

Faktor – faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi kognitif pada lansia yaitu proses penuaan pada otak dan pertambahan usia. Proses penuaan pada otak yaitu terdapat perubahan pada otak yang berhubungan dengan usia. Setiap tahun ditemukan terjadinya pengurangan volume pada masing-masing area seperti lobus frontalis (0,55%), dan lobus temporal (0,28%). Pengurangan volume otak juga akan disertai dengan penurunan kognitif (Uinarni, 2007). Sebagian besar bagian

(3)

otak termasuk lobus frontal mempunyai peranan penting dalam penyimpanan ingatan di otak (Lucas, 2008). Faktor pertambahan usia yaitu bertambahnya usia seseorang maka akan semakin banyak terjadi perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh yang cenderung mengarah pada penurunan fungsi. Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan fungsi intelektual, berkurangnya kemampuan transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses informasi menjadi lambat, banyak informasi hilang selama transmisi, berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori (Pranarka, 2006).

2.2.3 Perubahan Fungsi Kognitif

Perubahan fungsi kognitif pada lansia, antara lain :

(1) Memory (daya ingat atau ingatan): pada lanjut usia daya ingat merupakan

salah satu fungsi kognitif yang paling awal mengalami penurunan. Ingatan jangka panjang kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka pendek seketika 0-10 menit memburuk. Lansia akan kesulitan dalam mengungkapkan kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya, dan informasi baru seperti TV dan film (Azizah, 2011)

(2) IQ (Intellegent Quocient): IQ merupakan suatu skor pada suatu tes yang bertujuan untuk mengukur kemampuan verbal dan kuantitatif (Semiun, 2006). Fungsi intelektual yang mengalami kemunduran adalah fluid intelligent seperti mengingat daftar, memori bentuk geometri, kecepatan menemukan kata, menyelesaikan masalah, keceptan berespon, dan perhatian yang cepat

(4)

teralih (Wonder&Donovan, 1984; Kusumoutro&Sidiarto, 2006; dalam Azizah, 2011).

(3) Kemampuan belajar (learning): para lansia tetap diberikan kesempatan untuk mengembangkan wawasan berdasarkan pengalaman (learning by experience). Implikasi praktis dalam pelayanan kesehatan jiwa (mental health) lanjut usia baik bersifat promotif-preventif, kuratif dan rehabilitatif adalah memberikan kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar yang sudah disesuaikan dengan kondisi masing-masing lanjut usia yang dilayani (Azizah, 2011). (4) Kemampuan pemahaman: kemampuan pemahaman atau menangkap

pengertian pada lansia mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi dan fungsi pendengaran lansia mengalami penurunan. Dalam memberikan pelayanan terhadap lansia sebaiknya berkomunikasi dilakukan kontak mata atau saling memandang. Dengan kontak mata lansia dapat membaca bibir lawan bicaranya, sehingga penurunan pendengaran dapat diatasi dan dapat lebih mudah memahami maksud orang lain. Sikap yang hangat dalam berkomunikasi akan menimbulkan rasa aman dan diterima, sehingga lansia lebih tenang, senang dan merasa dihormati (Azizah, 2011). (5) Pemecahan masalah: pada lansia masalah-masalah yang dihadapi semakin

banyak. Banyak hal dengan mudah dapat dipecahkan pada zaman dahulu, tetapi sekarang menjadi terhambat karena terjadi penurunan fungsi indra pada lansia. Hambatan yang lain berasal dari penurunan daya ingat, pemahaman, dan lain-lain yang berakibat pemecahan masalah menjadi lebih lama. (Azizah, 2011).

(5)

(6) Pengambilan keputusan: pengambilan keputusan pada lanjut usia sering lambat atau seolah-olah terjadi penundaan. Oleh sebab itu, lansia membutuhkan petugas atau pembimbing yang dengan sabar mengingatkan mereka. Keputusan yang diambil tanpa membicarakan dengan mereka para lansia, akan menimbulkan kekecewaan dan mungkin dapat memperburuk kondisinya. Dalam pengambilan keputusan sebaiknya lansia tetap dalam posisi yang dihormati (Ebersole & Hess, 2001 dalam Azizah, 2011).

(7) Motivasi: motivasi dapat bersumber dari fungsi kognitif dan fungsi afektif. Motif kognitif lebih menekankan pada kebutuhan manusia akan informasi dan untuk mencapai tujuan tertentu. Motif afektif lebih menekankan pada aspek perasaan dan kebutuhan individu untuk mencapai tingkat emosional tertentu. Pada lansia, motivasi baik kognitif maupun afektif untuk memperoleh sesuatu cukup besar, namun motivasi tersebut seringkali kurang memperoleh dukungan kekuatan fisik maupun psikologis, sehingga hal-hal yang diinginkan banyak terhenti ditengah jalan (Azizah, 2011).

2.2.4 Aspek-Aspek Kognitif

Aspek-aspek kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi yaitu orientasi, bahasa, atensi (perhatian), memori, fungsi konstruksi, kalkulasi dan penalaran (Goldman, 2000 dalam Zulsita, 2011), dapat dijabarkan sebagai berikut:

(1) Orientasi: Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu. Orientasi terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri ketika ditanya). Kegagalan dalam menyebutkan namanya sendiri sering merefleksikan negatifism, distraksi, gangguan pendengaran atau

(6)

gangguan penerimaan bahasa. Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi, kota, gedung dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan waktu lebih sering daripada tempat, maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitif untuk disorientasi.

(2) Bahasa: fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming.

a. Kelancaran: kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

b. Pemahaman: pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

c. Pengulangan: kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

d. Naming: kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

(3) Atensi: atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya. a. Mengingat segera: kemampuan seseorang untuk mengingat sejumlah kecil

(7)

b. Konsentrasi: kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatiannnya pada satu hal. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk mengurangkan 7 secara berturut-turut dimulai dari angka 100 atau dengan memintanya mengeja kata secara terbalik.

(4) Memori

a. Memori verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya.

b. Memori baru, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya pada beberapa menit atau hari yang lalu. c. Memori lama, yaitu kemampuan untuk mengingat informasi yang

diperolehnya pada beberapa minggu atau bertahun-tahun lalu.

d. Memori visual, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi berupa gambar.

(5) Fungsi konstruksi: kemampuan seseorang untuk membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak sebelumnya.

(6) Kalkulasi: kemampuan seseorang untuk menghitung angka.

(7) Penalaran: kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak.

2.2.5 Alat Ukur Fungsi Kognitif

Ada beberapa pemeriksaan kognitif singkat, antara lain : BIMC (Blessed

(8)

Concentration), FAQ (Functional Activitie Questionnaire), STMS (Short Test of

Mental Status), CDT (Clock Drawing Test), Mini-Cog, dan 7 minute screen, tetapi

MMSE (Mini Mental State Exam) lebih sering dan banyak digunakan untuk pemeriksaan kognitif (Loue&Sajatovic, 2008). Instrumen MMSE pertama kali diterbitkan pada tahun 1975 sebagai lampiran sebuah artikel yang ditulis F. Folstein, Susan Folstein, dan Paul McHugh dan diterbitkan dalam volume 12 dari

Journal of Psychiatric Reasearch. MMSE awalnya dirancang sebagai media

pemeriksaan status mental singkat yang terstandarisasi pada pasien psikiatri. Banyaknya tes ini digunakan selama bertahun-tahun menyebabkan kegunaan utama MMSE berubah menjadi suatu media untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan kelaian neurodegeneratif, seperti penyakit alzheimer (demensia) (Zulsita, 2010).

Gambaran dari MMSE merupakan skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi 7 kategori: orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kabupaten, banjar, lantai), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi angka 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda, mengulangi kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar) (Potter&Perry, 2006). Skor MMSE diberikan berdasarkan jumlah item yang benar, skor yang semakin rendah mengindikasikan performance yang buruk dan

(9)

gangguan kognitif yang berat. Skor total yaitu 0-30 (performance sempurna). Skor ambang MMSE pertama kali direkomendasikan yaitu 24 atau 25, memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk mendeteksi demensia, beberapa studi menyatakan skor ini terlalu rendah, terutama pada orang dengan status pendidikan tinggi. Studi-studi menunjukkan demensia dapat didiagnosis dengan keakuratan pada beberapa orang dengan skor 24-27. Gambaran ini terfokus pada keakuratan dalam populasi (Lezak, 2004). MMSE dapat dilaksanakan selama kurang lebih 5-10 menit. Tes ini dirancang agar dapat dilaksanakan dengan mudah oleh semua profesi kesehatan atau tenaga terlatih yang telah menerima instruksi untuk penggunaannya.

Performance pada MMSE menunjukkan kesesuaian dengan berbagai tes

lain yang menilai kecerdasan, memori dan aspek-aspek lain fungsi kognitif pada berbagai populasi. Contohnya, skor MMSE sesuai dengan keseluruhan, kecerdasan performance ataupun verbal dari Wechsler Adult Intellligence Scale (WAIS) (Wechsler 1958) atau revisinya (WAIS-R) (Wechsler 1981) pada pasien demensia, stroke, skizofrenia atau depresi, dan lansia-lansia sehat. Skor MMSE juga memiliki kesesuaian dengan skor pada tes Clock Drawing pada pasien geriatri dan pasien dengan penyakit Alzheimer, dengan skor pada Alzheimer’s

Disease Assessment Scale-Cognitive (ADAS-COG) dan juga pada tes-tes lain

seperti Information-Memory-Concentration (IMC), Wechsler Memory Scale (Wechsler 1945), tes composite neuropsychological dan Brief Cognitive Rating

(10)

Lima studi melaporkan bahwa MMSE sensitif untuk mendeteksi demensia. Pada satu studi diantaranya, skor MMSE pasien dengan demensia (N=29) lebih rendah daripada pasien dengan depresi dengan gangguan kognitif (N=10), depresi tanpa gangguan kognitif (N=30) dan subjek kontrol psikiatri normal (N=63). Pada studi lain, skor pasien demensia (N=44) lebih rendah daripada pasien dengan diagnosis penyakit psikiatri lain (N=33), atau diagnosis neurologis (N=33), atau subjek kontrol (N=23). Suatu studi yang terfokus pada lansia di panti jompo (N=201) menemukan bahwa lansia dengan demensia memilki skor MMSE lebih rendah daripada lansia tanpa demensia atau curiga demensia. Skor 23 pada MMSE pertama kali diajukan sebagai ambang skor yang mengindikasikan disfungsi kognitif. Dalam 13 studi berurutan yang menilai keefektifan ambang skor MMSE < 23 untuk mendeteksi demensia, sensitivitas berkisar antara 63%-100% dan spesifisitas berkisar antara 52%-99%.

Dua studi yang menilai konsistensi internal MMSE mendapatkan nilai alfa Cronbach sebesar 0,82 dan 0,84 pada pasien lansia yang dirawat di layanan medis (N=372) dan lansia di panti jompo (N=34). Reliabilitas MMSE lain telah ditemukan sebesar 0,827 dalam suatu studi pada pasien demensia (N=19), 0,95 dalam studi pada pasien dengan berbagai gangguan neurologis (N=15), dan 0,84-0,99 dalam dua studi pada lansia di panti jompo (N=35 dan 70). Koefisien korelasi intrakelas berkisar antara 0,69-0,78 didapatkan dalam studi di panti jompo lainnya (N=48). Rata-rata nilai kappa sebesar 0,97 didapatkan dari 5 peneliti skor performance MMSE secara terpisah pada 10 pasien neurologis.

(11)

MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif. Hasilnya, MMSE menjadi suatu metode pemeriksaan status mental yang digunakan paling banyak di dunia. Tes ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan telah digunakan sebagai instrumen skrining kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi skala besar demensia. Tes ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis dan keberhasilannya sebagai instrumen skrining kognitif telah dibuktikan dengan pencatuman bersama dengan Diagnostic Interview Schedule (DIS), dalam studi National Institute of

Mental Health ECA dan oleh daftarnya yang menyebutkan MMSE sebagai penilai

fungsi kognitif yang direkomendasikan untuk kriteria diagnosis penyakit Alzheimer dikembangkan oleh konsorsium National Institute of Neurological and Communication Disorders and Stroke and the Alzheimer’s Disease and Related

Disorders Association (McKhann dkk, 1984 dalam Dayamaes, 2013)

2.2.6 Interpretasi MMSE

Ada beberapa interpretasi skor MMSE pada lansia. Interpretasi untuk skor MMSE menurut Saryono (2010) yaitu 24-30 tidak ada gangguan kognitif, 18-23 gangguan kognitif ringan, 0-17 gangguan kognitif berat, sedangkan untuk rentang <21 menunjukkan peningkatan risiko demensia. Kriteria demensia dari hasil MMSE menurut Azizah (2011) yaitu 21-30 demensia ringan, 11-20 demensia sedang, dan <10 demensia berat. Menurut Crutch (2012), menyatakan kriteria

(12)

demensia dengan skor MMSE 26-21 (demensia ringan), 20-10 (demensia sedang), <10 (demensia berat).

2.3 Demensia

2.3.1 Definisi Demensia

Demensia adalah gangguan yang menyerang bagian otak. Demensia merupakan suatu defisit fungsi intelektual, termasuk gangguan bahasa, kognisi (pertimbangan, perhitungan, dan abstraksi), kepribadian (alam perasaan dan perilaku), keterampilan visuospasial dan ingatan (Hutapea, 2005). Demensia adalah keadaan seseorang yang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, serta penurunan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi atau aktivitas sehari-hari (Azizah, 2011).

2.3.2 Penyebab Demensia

Menurut Azizah (2011); Graber; Toth; Herting (2009) penyebab demensia dibagi menjadi dua yaitu reversibel dan ireversibel sebagai berikut :

(1) Penyebab reversibel: efek samping obat, penyakit infeksi, dehidrasi, depresi (pseudodemensia), skizofrenia, uremia, gagal hati, hipotiroidisme, hiponatremia, hiperkalsemia, hipoglikemia, defesiensi vitamin B12+, hematoma subdural, penyakit neoplastik, serta hidrosepalus tekanan normal. (2) Penyebab ireversibel: penyakit degeneratif atau penuaan (penyakit alzheimer,

penyakit parkinson, korea huntington, penyakit pick), penyakit vaskuler (demensia multi-infark, penyakit binswanger, embolisme serebral, arteritis),

(13)

demensia traumatik (perlukaan karnio-serebral, demensia pugilistika), infeksi (penyakit creutzfeldt-jacob progresif, AIDS, demensia pasca ensefalitis).

2.3.3 Tanda dan Gejala

Menurut John (1994) dalam buku yang berjudul Keperawatan Lanjut Usia oleh Azizah (2011), gejala yang sering menyertai demensia dibagi menjadi tiga yaitu gejala awal, lanjut, dan umum antara lain :

(1) Gejala awal: kinerja mental menurun, mudah lupa, fatique, gagal dalam tugas (2) Gejala lanjut: gangguan kognitif, gangguan afektif, gangguan perilaku

(3) Gejala umum: disorientasi, mudah lupa, aktivitas sehari-hari terganggu, cepat marah, kurang konsentrasi, resiko jatuh

2.3.4 Dampak Demensia

Dampak dari fungsi kognitif tidak diperbaiki pada lansia dengan demensia yaitu menyebabkan hilangnya kemampuan lansia untuk mengatasi kehidupan sehari-hari (Hutapea, 2005). Demensia juga berdampak pada pengiriman dan penerimaan pesan. Dampak pada penerimaan pesan, antara lain: lansia mudah lupa terhadap pesan yang baru saja diterimanya; kurang mampu membuat koordinasi dan mengaitkan pesan dengan konteks yang menyertai; salah menangkap pesan; sulit membuat kesimpulan. Dampak pada pengiriman pesan, antara lain: lansia kurang mampu membuat pesan yang bersifat kompleks; bingung pada saat mengirim pesan; sering terjadi gangguan bicara; pesan yang disampaikan salah (Nugroho, 2009).

(14)

2.3.5 Pemeriksaan Demensia

Pemeriksaan dapat dilakukan mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian saraf, pengkajian status mental, dan tes laboratorium sebagai pemeriksaan penunjang (Azizah, 2011). Pengkajian status mental dapat dilakukan dengan menggunakan MMSE. Beberapa pemeriksaan tersebut digunakan untuk mendiagnosa demensia.

2.3.6 Penatalaksanaan Demensia

Terapi farmakologis yang disarankan untuk demensia ringan sampai sedang yaitu inhibitor kolinesterase (donezepil, rivastigmin, dan galantamin) yang memperlama waktu paruh asteilkolin yang efektif (Corwin, 2009). Terapi farmakologis sebaiknya dengan pengawasan dokter (Azizah, 2011). Farmakologis donezepil, rivastigmin, dan galantamin perlu mendapat pengawasan dokter karena memiliki efek samping yaitu menyebabkan kram otot, diare, mual, insomnia, rasa lelah, dan sakit kepala (Anonim, 2014).

Terapi non-farmakologis yaitu dapat dilakukan dengan latihan – latihan yang dapat menstimulasi otak, seperti terapi teka teki silang; brain gym; puzzle; dan lain-lain (Santoso&Ismail, 2009). Brain gym adalah serangkaian gerakan sederhana yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar dengan menggunakan keseluruhan otak (Dennison, 2009), puzzle menurut Patmonodewo (Misbach, Muzamil, 2010) merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki atau bongkar pasang, media puzzle merupakan media sederhana yang dimainkan dengan bongkar pasang kepingan puzzle berdasarkan pasangannya, yang dapat merangsang kemampuan otak. Teka teki silang

(15)

merupakan sebagai media rekreasi otak karena selain mengasah kemampuan kognitif, meningkatkan daya ingat, memperkaya pengetahuan, dan bersifat menyenangkan (Triatmono, 2011). Terapi non farmakologis lebih aman diberikan untuk lansia, karena tidak memiliki efek samping yang semakin memperparah kondisi lansia.

2.4 Terapi Teka Teki Silang 2.4.1 Definisi Teka Teki Silang

Teka Teki Silang (TTS) adalah teka teki dengan bentuk persegi yang diisi dengan kata-kata atau angka-angka pada satu huruf atau nomor masing-masing persegi. Huruf atau kata-kata yang dibentuk dalam masing-masing kotak menjadi petunjuk untuk menjawab (Dhand, 2008). TTS dikatakan sebagai media rekreasi otak karena selain mengasah kemampuan kognitif, meningkatkan daya ingat, menambah wawasan, dan bersifat menyenangkan (Triatmono, 2011).

2.4.2 Manfaat Teka Teki Silang

Menurut Desai&Grossbarg (2010); Carlisle (2009); Triatmono (2011) manfaat teka teki silang antara lain :

(1) Memberikan stimulasi kognitif (2) Memperlambat penurunan kognitif

(3) Menjaga fungsi kognitif otak pada penderita demensia (4) Meningkatkan daya ingat

(5) Menambah wawasan (6) Mengurangi stress

(16)

2.4.3 Waktu yang dibutuhkan dalam Teka Teki Silang

Teka teki silang sangat praktis, karena bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan semua kalangan usia dari anak-anak, remaja, dewasa, khususnya lansia. Waktu latihan yang tepat yaitu 15-30 menit, 3-5 kali seminggu (Kirkwood&Yeates, 2012). Aktivitas stimulasi kognitif yang dilakukan terus menerus berhubungan dengan penurunan risiko alzheimer (Clark&Chambers, 2009). Menurut Kanthamalee&Sripankaew (2013), yang berjudul “Effect of

neurobic exercise on memory enhancement in the elderly with dementia”,

pemberian latihan otak seperti teka-teki silang, bermain catur, memainkan musik, membaca dan menari setiap 2 hari selama 4 minggu, hasil tes MMSE menunjukkan skor sebelum dan setelah diberikan terapi mengalami peningkatan. Dapat disimpulkan pemberian terapi atau latihan otak selama empat minggu (satu bulan) memiliki efek peningkatan fungsi kognitif.

2.4.4 Prosedur Terapi TTS

Prosedur pemberian terapi teka-teki silang, yaitu dengan cara memberikan alat permainan teka teki silang kepada responden kemudian menginstruksikan responden untuk mengisi jawaban pada masing-masing kotak mendatar dan menurun sesuai pertanyaan yang telah disiapkan. Langkah pertama dilakukan dengan membaca pertanyaan dari TTS, memahami petunjuk (analysis), mencoba lagi jawaban yang mungkin (retreival), kemudian memutuskan mana jawaban yang benar (Shankle&Amen, 2004). Terapi ini dilaksanakan selama tiga kali seminggu, yaitu pada hari senin, rabu dan jumat dengan durasi 15-30 menit selama empat minggu.

(17)

2.5 Hubungan Terapi Teka Teki Silang terhadap Fungsi Kognitif Lansia Demensia

Aktivitas kehidupan yang berkurang mengakibatkan semakin bertambahnya ketidakmampuan tubuh dalam melakukan berbagai hal. Bagian tubuh salah satunya yang mengalami penurunan kemampuan yaitu pada otak. Teka teki silang dapat merangsang bagian otak yaitu di oksipital temporal, lobus parietal, lobus midfrontal, lobus frontal, lobus midfrontal, hipokampus, dan korteks entrohinal (Shankle&Amen, 2004).

Prosedur awal ketika melakukan teka teki silang yaitu dengan membaca, ketika membaca kita dapat mempelajari suatu yang baru (encoding) dan usaha untuk mengingat (retrieval). Dalam aktivitas membaca yaitu oksipital, temporal, lobus parietal untuk memproses dan menafsirkan apa yang telah di baca (persepsi), lobus midfrontal mengikuti dan mengerti materi (understanding), lobus frontal menganalisa materi (analysis), lobus midfrontal mengambil informasi yang relevan yang siap disimpan di otak (retreival). Dari proses membaca kemudian otak mulai memahami petunjuk (analysis), merangsang otak untuk mencoba lagi jawaban yang mungkin (retreival), kemudian memutuskan mana jawaban yang benar, kemudian teka teki silang mengaktifkan otak pada bagian hipokampus dan korteks entrohinal (Shankle&Amen, 2004).

Dengan proses membaca, memahami, menganalisis, mencoba kembali, kemudian memutuskan yang benar, telah meliputi berbagai aspek fungsi kognitif yaitu orientasi, bahasa, atensi (perhatian), memori, fungsi konstruksi, kalkulasi dan penalaran (Goldman, 2000 dalam Zulsita, 2010). Dari hal tersebut dengan

(18)

pengaktifan hipokampus menyebabkan bertambahnya neurotransmiter asetilkolin di otak. Berambahnya asetilkolin dapat menurunkan resiko terjadinya demensia (Liza, 2010).

Menurut Kanthamalee & Sripankaew (2013) dalam jurnal yang berjudul

Effect of neurobic exercise on memory enhancement in the elderly with

dementia”, pemberian latihan otak seperti teka-teki silang, bermain catur,

memainkan musik, membaca dan menari setiap 2 hari selama 4 minggu, hasil tes MMSE menunjukkan skor sebelum dan setelah diberikan terapi mengalami peningkatan. Dengan diberikan latihan otak menunjukkan sel saraf mendapatkan stimulasi atau rangsangan. Pillai; Hall; Dickson; Buschke; Lipton; Veghese (2010) dalam jurnal yang berjudul “Association of Crossword Puzzle

Participation with Memory Decline in Persons Who Develop Dementia,

menyatakan ada hubungan teka teki silang terhadap efek penundaan penurunan kognitif pada demensia, namun perlu diuji secara klinis.

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi dalam pelaksanaannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga ketiganya talah melakukan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha karena

Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana

Menurut Dendawijaya (2009) secara umum mengemukakan bahwa modal bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia terdiri atas modal inti atau primary capital dan modal

kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya penurunan kegiatan ekonomi dan dalam waktu yang sama tingkat suku bunga mengalami kenaikan yang tinggi. Penurunan kegiatan

Berdasarkan penjelasan dari beberapa teori di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja yang usianya semakin mendekati masa dewasa awal maka lama kelamaan akan semakin

mellitus (DM) sementara 11 orang pasakit jantung lainnya yang merupakan pasien diabetes mellitus (DM). Penelitian menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang bermakna antara

Seluruh anggota Komite Pemantau Risiko yang berasal dari pihak independen tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan

Bank menurut Undang-Undang No 10 Tahun 1998 adalah suatu badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk