• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Obat Osteoporosis Perempuan Pasca Menopause Antiresorpsi VS Anabolik: Tinjauan Sistematis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efikasi Obat Osteoporosis Perempuan Pasca Menopause Antiresorpsi VS Anabolik: Tinjauan Sistematis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

29

Efikasi Obat Osteoporosis Perempuan Pasca Menopause

Antiresorpsi VS Anabolik: Tinjauan Sistematis

R Carolin1, B Supartono2, Y S Tjang3

1Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Indonesia

2Departemen Ortopedi Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Indonesia

3Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Indonesia

E-mail: newribkacarolin@gmail.com

Abstrak. Osteoporosis adalah penyakit degeneratif tulang yang banyak menyerang perempuan pasca menopause. Obat antiosteoporosis terdiri atas golongan antiresorpsi dan anabolik. Selama ini masih terdapat kontroversi pemberian obat antiosteoporosis, oleh karenanya peneliti melakukan penelitian tinjauan sistematis yang bertujuan untuk menentukan manakah yang lebih efektif. Penelitian ini dilakukan dengan meninjau beberapa studi melalui database PubMed dan Science Direct. Hasil penelitian membuktikan bahwa abaloparatide, teriparatide, dan SERM (Selective Estrogen Receptor Modulators) lebih efektif dibandingkan bisfosfonat. Kesimpulannya obat antiosteoporosis golongan anabolik lebih efektif dibandingkan golongan antiresorpsi pada perempuan pasca menopause.

Kata kunci: Osteoporosis; Obat antiosteoporosis; Antiresorpsi; Anabolik; Pascamenopause

Abstract. Osteoporosis is a degenerative bone disease that affects many postmenopausal women. Antiosteoporosis drugs consist of antiresorption and anabolic groups. So far, there is still controversy over the administration of antiosteoporosis drugs, therefore researchers conducted a systematic review study aimed at determining which one is more effective. This research was conducted by reviewing several studies through the PubMed database and Science Direct. The results showed that abaloparatide, teriparatide, and SERM (Selective Estrogen Receptor Modulators) were more effective than bisphosphonates. In conclusion, the anabolic antiosteoporosis drug is more effective than the antiresorption class in postmenopausal women.

Keywords: Osteoporosis; Antiosteoporosis drugs; Antiresorption; Anabolic; Postmenopausal

(2)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

30 1. Pendahuluan

Osteoporosis adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Osteoporosis merupakan penyakit yang bersifat degeneratif [30]. Etiologi dan patogenesis osteoporosis dapat terjadi sebagai akibat dari multifaktor (penuaan, menopause, faktor sporadis), defisiensi estrogen, faktor sitokin, dan pembebanan [22]. Faktor risiko yang dapat menyebabkan osteoporosis antara lain kurangnya aktivitas fisik, asupan kalsium rendah, kurang protein, jenis kelamin perempuan, usia, ras Asia dan Kaukasia, dan lain-lain [22]. Interaksi antara etiologi dan faktor risiko tersebut dapat menimbulkan defek seluler berupa peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas dibandingkan dengan osteoblas, dimana menurut World Health Organization, osteoporosis ditandai dengan penurunan massa tulang bersamaan dengan gangguan dari jaringan mikroarsitektur tulang yang menyebabkan tulang mudah patah [21].

Osteoporosis banyak menyerang orang usia lanjut dan perempuan lebih berisiko daripada laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan probabilitas fraktur osteoporosis terutama pada pasien berusia 50 tahun, yaitu hampir 50% untuk perempuan dan 22% untuk laki-laki [6]. Osteoporosis yang menyerang perempuan usia lanjut juga sering dikaitkan dengan kondisi menopause, yaitu perdarahan terakhir dari uterus yang masih dipengaruhi oleh hormon reproduksi (terutama rendahnya estrogen) dan biasanya terjadi antara usia 45-55 tahun [9].

Menurut World Health Organization (2003) salah satu gold standard untuk mendiagnosis osteoporosis, yaitu melalui pemeriksaan bone mineral density (BMD) untuk mengetahui kepadatan tulang [21]. Kepadatan tulang dinyatakan sebagai perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dewasa muda yang dinyatakan dengan skor standar deviasi (T-score) [21]. Kepadatan tulang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan alat bone densitometry dan akan dibagi dalam tiga kategori, yaitu normal (BMD > -1 SD), osteopenia (BMD antara -1 sampai -2,5 SD), dan osteoporosis (BMD < -2,5 SD) [21]. Pencegahan dan terapi osteoporosis perlu dilakukan untuk menekan prevalensi osteoporosis [32]. Terapi osteoporosis bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi pengeroposan tulang dan/atau retak tambahan serta mengontrol rasa sakit [8]. Osteoporosis yang tidak diterapi dapat menyebabkan peningkatan risiko kematian, karena telah ditemukan risiko yang lebih tinggi dari semua penyebab kematian antara pasien dengan osteoporosis dibandingkan dengan yang tidak mengalami osteoporosis [4]. Terdapat berbagai pilihan terapi farmakologi untuk tata laksana osteoporosis, yaitu menggunakan obat-obatan dari golongan antiresorpsi yang merupakan obat yang menurunkan kehilangan massa tulang (contohnya

bisphosphonate, calcitonin, strontium ranelate, dan denosumab) dan/atau anabolik yang merupakan obat yang meningkatkan massa tulang (contohnya estrogen atau terapi sulih hormon, selective estrogen receptor modulator (misalnya: raloxifene), dan teriparatide); dengan suplementasi kalsium dan vitamin D [2]. Di sisi lain, selama ini belum ada studi literatur (tinjauan sistematis) yang menjelaskan perbandingan efikasi (kemanjuran) antara golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pasca menopause.

Oleh karena itu, penulis ingin melakukan studi literatur untuk mengetahui manakah yang lebih efektif untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pascamenopause, yaitu obat golongan antiresorpsi atau anabolik. Dengan menemukan hal tersebut, studi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengurangi prevalensi osteoporosis, memperbaiki prognosis pasien osteoporosis di Indonesia, serta menurunkan tingkat mortalitas akibat osteoporosis, sehingga bisa membantu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat untuk mendukung pembangunan nasional bangsa dan negara.

2. Metode

2.1.Prosedur penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian literature review dengan jenis systematic review. Protokol yang digunakan dalam systematic review ini berdasarkan The PRISMA statement for reporting

(3)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

31

systematic reviews and meta-analyses of studies that evaluate health care interventions: explanation and elaboration [15] dan telah terdaftar di PROSPERO (https://www.crd.york.ac.uk/PROSPEROFILES/229651_STRATEGY_20210106.pdf). Penelitian systematic review ini menggunakan metode PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Metode PRISMA mencakup daftar tilik 27 itemdan 4 fase alur informasi dalam pencarian literatur.

2.2.Instrumen penelitian

Literatur dengan kriteria inklusi membahas atau berkaitan dengan efikasi obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis, khususnya pada perempuan pasca menopause; dan dipublikasikan dalam 10 tahun terakhir. Kriteria eksklusi mencakup literatur yang tidak memiliki DOI dan ISSN; dan tidak dipublikasikan dalam bahasa Inggris.

2.3.Sumber data

Database penelitian ini adalah PubMed dan Science Direct.

2.4.Item data

Karakteristik pasien adalah pasien osteoporosis, khususnya perempuan pasca menopause (usia ≥ 45 tahun). Karakteristik studi adalah studi yang dipublikasikan dalam 10 tahun terakhir, memiliki DOI-ISSN, dan dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Karakteristik intervensi adalah menganalisis efikasi obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolikdan membandingkannya. Jenis ukuran hasil dalam penelitian ini adalah menjelaskan perbandingan efikasi (kemanjuran) antara obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pasca menopause (misalnya, dapat dilihat dari bone mineral density dan/atau prognosis pasien, sebelum dan setelah intervensi).

2.5.Pengumpulan data

Penulis mengelompokkan literatur yang diperoleh berdasarkan tujuan penelitian dan membandingkannya menurut karakteristik, metode, dan hasil penelitian. Setelah itu, penulis akan merangkum kesimpulan yang didapatkan dari literatur yang sesuai dengan kriteria inklusi, lalu dimasukkan ke dalam tabel simpulan. Kata kunci yang digunakan untuk pencarian literatur adalah (Efficacy) AND (antiresorptive) OR (bisphosphonate) OR (calcitonin) OR (strontium ranelate) OR (denosumab)AND (osteoporosis)AND (therapy)OR (treatment)AND (post menopause), (Efficacy) AND (antiresorptive)OR (bisphosphonate)OR (calcitonin)OR (strontium ranelate)OR (denosumab) AND (antiosteoporosis) AND (drug) AND (post menopause), (Efficacy) AND (anabolic) OR (teriparatide) OR (abaloparatide) AND (osteoporosis) AND (therapy) OR (treatment) AND (post menopause), dan (Efficacy) AND (anabolic) OR (teriparatide) OR (abaloparatide) AND (antiosteoporosis)AND (drug)AND (post menopause).

Berikut diagram flow untuk seleksi studi pada penelitian ini. Literatur dari database PubMed dengan

keyword yang sesuai (n=36654)

Literatur dari databaseScience Direct dengan

keyword yang sesuai (n=320656)

Literatur yang dipublikasikan dalam 10 tahun terakhir, memiliki DOI-ISSN, dan

dipublikasikan dalam bahasa Inggris (n=2489)

Literatur yang dipublikasikan dalam 10 tahun terakhir, memiliki DOI-ISSN, dan

dipublikasikan dalam bahasa Inggris (n=16004)

(4)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

32 Bagan 1. Seleksi Studi

Penilaian risiko bias studi menggunakan checklist The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal Tools [27]. Hasilnya semua studi yang ditinjau memenuhi 80% kriteria JBI (baik) [26].

2.6.Sintesis data

Sintesis data berfokus pada analisis efikasi obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pasca menopause. Dalam mendapatkan hasil dan simpulan yang baik, penulis juga membandingkannya antar literatur dan hasilnya adalah penjelasan perbandingan efikasi (kemanjuran) antara golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pasca menopause (misalnya, dapat dilihat dari bone mineral density dan/atau prognosis pasien, sebelum dan setelah intervensi), serta mempertimbangkan penelitian terkait.

3. Hasil

Artikel pertama berjudul Effects of Abaloparatide-SC on Bone Mineral Density and Risk of Fracture in Postmenopausal Women Aged 80 Years or Older with Osteoporosis [18]. Metode yang digunakan adalah randomized controlled trial dengan analisis post hoc dari kepadatan mineral tulang dan kejadian patah tulang pada subkelompok pasien yang menerima abaloparatide-SC atau plasebo dalam 18 bulan. Terapi abaloparatide-SC dikaitkan dengan penurunan numerik, tetapi tidak signifikan secara statistik, dalam risiko patah tulang vertebrae dan non-vertebrae pada subpopulasi ini, dibandingkan dengan plasebo. Proporsi pasien yang melaporkan efek samping kejadian serupa antara kelompok perlakuan dan antara subkelompok yang lebih tua dan secara keseluruhan populasi.

Artikel kedua berjudul Effectiveness of Osteoporosis Drug in Postmenopausal Women with Spinal Compression Fracture: Combined Consecutive Therapy of Teriparatide and Raloxifene versus Bisphosphonate Single [24]. Metode yang digunakan adalah studi kohort yang secara retrospektif meninjau hasil dari 85 wanita pascamenopause yang secara bersamaan didiagnosis dengan osteoporosis dan fraktur kompresi tulang belakang antara November 2008 dan Januari 2015. Kelompok sasaran diobati dengan teriparatide dan SERM (kelompok TS, n = 26) dan bifosfonat (kelompok B, n = 59). Artikel ketiga berjudul Bone metabolism genes variation and response to bisphosphonate treatment in women with postmenopausal osteoporosis [17]. Metode yang digunakan adalah studi kohort pada wanita

Literatur inklusi berdasarkan skrining judul

(n=4)

Literatur inklusi berdasarkan skrining judul

(n=3) Literatur inklusi: membahas atau

berkaitan dengan efikasi obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis, khususnya pada perempuan pasca menopause(n=4)

Literatur inklusi: membahas atau berkaitan dengan efikasi obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolik untuk tata laksana osteoporosis, khususnya pada perempuan pasca menopause(n=3)

Literatur setelah duplikat dihapus (n=3)

Literatur setelah duplikat dihapus (n=1)

Literatur yang ditinjau (n=3)

Total (n=4)

(5)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

33 dengan osteoporosis pascamenopause yang aminobisphosphonate setidaknya selama 12 bulan. Kriteria eksklusi adalah persistensi pada terapi BPs kurang dari 80%, penyakit metabolik tulang, penyakit yang dianggap mempengaruhi metabolisme tulang, tumor ganas, dan penggunaan obat apapun yang mempengaruhi BMD. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etika lokal. BMD di lumbar spine

dan femoral neck diukur menggunakan dual x-ray absorptiometry sebelum dan setidaknya 12 bulan setelah pengobatan dengan BPs. Menurut perubahan BMD, pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu responden dan non-responden terhadap terapi BPs. Varian polimorfik dalam gen SOST, PTH, FGF2, FDPS, GGPS1, dan LRP5 ditentukan menggunakan analisis PCR.

Artikel keempat berjudul Effect of Abaloparatide on Bone Mineral Density and Fracture Incidence in a Subset of Younger Postmenopausal Women with Osteoporosis at High Risk for Fracture [23]. Metode yang digunakan adalah randomized controlled trial dengan analisis subkelompok wanita dalam uji coba Abaloparatide Comparator in Vertebral Endpoints (ACTIVE) yang berusia <65 tahun dan memenuhi kriteria manajemen pemanfaatan yang dimodifikasi (baseline T-score ≤ -2.5 [situs manapun] dan ≥ 1

vertebrae prevalen dan/atau ≥ 1 fraktur klinis sebelumnya dalam 5 tahun pengacakan). Tingkat patah tulang secara numerik lebih rendah untuk abaloparatide dibandingkan dengan plasebo, konsisten dengan hasil uji coba keseluruhan, meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dan mengobati 1 patah tulang belakang tambahan setelah 18 bulan pengobatan adalah 18 untuk abaloparatide dan 21 untuk teriparatide.

(6)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

34 Sintesis data dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Sintesis Data

No Nama Peneliti dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode atau Desain Penelitian Populasi (Sampel Penelitian) Hasil Klinis 1 McClung et al. (2018) Effects of Abaloparatide-SC on Bone Mineral Density and Risk of Fracture in Postmenopaus al Women Aged 80 Years or Older with Osteoporosis Menjelaskan efek abaloparatid e-SC pada subkelompo k pasien berusia 80 tahun atau lebih secara ACTIVE (Abaloparati de Comparator Trial In Vertebral Endpoints) Randomized controlled trial (RCT) Wanita pascamenopause usia 49-86 tahun dengan osteoporosis

• Pasien ≥80 tahun pada kelompok plasebo (n = 43) dan abaloparatide-SC (n = 51) • (95% CI) Peningkatan BMD dalam 18 bulan dengan pengobatan abaloparatide-SC sebesar 3,9% pada total hip (P <0,001), 3,6% di femoral neck (P <0,01), dan 12,1% di lumbar spine (P <0,001), dan serupa dengan yang diamati pada keseluruhan populasi.

• Terdapat penurunan

numerik, tetapi tidak signifikan secara statistik, dalam risiko patah tulang vertebrae dan non-vertebrae pada subpopulasi ini, dibandingkan dengan plasebo. 2 Shin et al. (2016) Effectiveness of Osteoporosis Drug in Postmenopaus al Women with Spinal Compression Fracture: Combined Consecutive Therapy of Teriparatide and Raloxifene versus Bisphosphonat e Single Mengevalua si densitas mineral tulang (BMD) sebelum dan sesudah pengobatan dengan obat anti-osteoporosis, untuk membanding kan efektivitas terapi antara kombinasi teriparatide dan modulator reseptor estrogen selektif (SERM) VS bifosfonat

Studi kohort 85 wanita

pascamenopause yang secara bersamaan didiagnosis dengan osteoporosis dan fraktur kompresi tulang belakang. Kelompok diobati dengan teriparatide dan SERM (kelompok TS, n = 26) dan bifosfonat (kelompok B, n = 59) • Usia rata-rata 70,25 ± 9,03 tahun, indeks massa tubuh rata-rata adalah 23,90 ± 3,30 kg/m2. • Kelompok TS dirawat selama 3,23 ± 1,63 bulan. • Kelompok B dirawat selama 19,03 ± 7.76 bulan. • Pada kelompok TS tidak ada perubahan BMD pada leher femur (0,54 ± 0,12 vs. 0,54 ± 0,11), tetapi T-score sedikit meningkat dari 2,47 ± 1,11 hingga -2,45 ± 1.00.

• Sebaliknya, pada

kelompok B, BMD leher

femur dan T-score

mengalami penurunan dari 0,60 ± 0,11 hingga 0,54 ± 0,10, dan dari -2,26 ± 0.87 hingga -2.38 ± 1.00. • BMD dan T-score tulang

belakang lumbal

meningkat pada kelompok TS, sedangkan kelompok

(7)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

35 B menunjukkan penurunan BMD.

• Khususnya pada kelompok TS, semua T-score lumbar spine meningkat secara signifikan.

• Rasio BMD leher femur meningkat pada kelompok TS (2,00 ± 16.29) tetapi menurun pada kelompok bifosfonat (-8.39 ± 13.08) ( p = 0,002). 3 Marozik et al. (2019) Bone metabolism genes variation and response to bisphosphonat e treatment in women with postmenopaus al osteoporosis Menganalisi s pengaruh SOST, PTH, FGF2, FDPS, GGPS1, dan LRP5 varian gen pada respon terhadap pengobatan aminobispho sphonates

Studi kohort Wanita

pascamenopause yang mengalami osteoporosis dan konsumsi aminobisphospho nate setidaknya selama 12 bulan

• 201 wanita dengan terapi BPs tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik yang diamati dalam usia, usia menopause, berat badan, tinggi badan, BMI dan tingkat BMD awal antara responden (122 subjek) dan non-responden (79 subjek).

• Sebagai penanda tunggal, SOST rs1234612 T/T (OR = 2,3; P = 0,02), PTH rs7125774 T/T (OR = 2.8, P = 0,0009), FDPS rs2297480 G/G (OR = 29,3, P = 2,2 × 10- 7), dan GGPS1 rs10925503 C/C + C/T (OR = 2,9; P = 0,003) varian gen terlalu banyak diwakili dalam kelompok non-responden.

• Tidak ada hubungan yang signifikan antara FGF2 rs6854081 dan LRP5 varian gen rs3736228 dan

respon terhadap

pengobatan BPs yang diamati.

• Pembawa kombinasi alel TTGC (dari rs1234612, rs7125774, rs2297480, dan rs10925503) cenderung memberikan respon negatif terhadap pengobatan BPs (OR = 4.9, 95% CI 1,7–14,6, P = 0,005). • Kombinasi CCTC secara signifikan lebih terwakili pada responden (OR = 0,1, 95% CI 0,1-0,5, P = 0,006).

(8)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021 36 4 Saag et al. (2020) Effect of Abaloparatide on Bone Mineral Density and Fracture Incidence in a Subset of Younger Postmenopaus al Women with Osteoporosis at High Risk for Fracture Menganalisi s khasiat dan keamanan abaloparatid e pada wanita pascamenop ause yang lebih muda dan dianggap berisiko tinggi mengalami patah tulang. Randomized controlled trial (RCT) Pasien usia <65 tahun dengan baseline T-score ≤ -2.5 [situs manapun] dan ≥ 1 vertebrae prevalen dan/atau ≥ 1 fraktur klinis sebelumnya dalam 5 tahun pengacakan)

• 296 wanita (rentang usia 49-64 tahun) terjadi peningkatan BMD di 3 situs pada 6 bulan ( p < 0,01 untuk total hip dan femoral neck; p < 0,0001 untuk lumbar spine), 12 bulan ( p < 0,0001 di 3 situs), dan 18 bulan ( p < 0,0001 di 3 situs).

• Tingkat patah tulang secara numerik lebih rendah untuk abaloparatide dibandingkan dengan plasebo, konsisten dengan hasil uji coba keseluruhan, meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik.

• Jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dan mengobati 1 patah tulang belakang tambahan setelah 18 bulan pengobatan

adalah 18 untuk

abaloparatide dan 21 untuk teriparatide.

(9)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

37 4. Pembahasan

Terapi farmakologi untuk tata laksana osteoporosis terdiri dari obat-obatan golongan antiresorpsi dan/atau anabolik; dengan suplementasi kalsium dan vitamin D [2]. Pada artikel pertama, intervensi farmakologi yang diberikan kepada subkelompok pasien berusia 80 tahun atau lebih adalah terapi abaloparatide-SC [18]. Abaloparatide termasuk golongan anabolik yang merupakan 34-amino acid peptide yang secara selektif mengikat konformasi RG dari reseptor PTH tipe 1 dan menunjukkan efek poten pada aktivitas anabolik yang menyebabkan resorpsi tulang yang lebih rendah [14]. Dalam penelitian ini, terapi dengan abaloparatide-SC dikaitkan dengan peningkatan BMD tulang belakang lumbal dan femur proksimal secara signifikan, fraktur vertebra dan nonvertebralis yang jumlahnya lebih sedikit, dan tidak ada perbedaan dalam profil keamanan [18]. Namun terdapat kemungkinan perancu sebagai akibat dari kurangnya stratifikasi berdasarkan usia dalam pengacakan asli, dan sejumlah kecil peristiwa patah tulang [18].

Hasil penelitian McClung dkk. tersebut juga didukung dengan pembuktian yang sesuai dalam penelitian lain, dimana pada studi fase 2 yang dilakukan terhadap 222 perempuan pasca-menopause dengan osteoporosis selama 24 minggu menunjukkan bahwa abaloparatide 80 mcg/hari dikaitkan dengan peningkatan BMD secara bermakna pada tulang panggul total, leher tulang paha, dan tulang lumbal dibandingkan dengan plasebo [14]. Selain itu, studi ACTIVE (Abaloparatide Comparator Trial in Vertebral Endpoints) fase 3 selama 18 bulan menunjukkan bahwa abaloparatide meningkatkan BMD dan menurunkan risiko fraktur vertebra dan non-vertebra dibandingkan plasebo [14].

Selain abaloparatide, terdapat obat-obatan lain dari golongan anabolik, salah satunya adalah teriparatide [28]. Teriparatide merupakan recombinant human parathyroid hormone yang disebut PTH peptide dan satu-satunya obat anabolik yang saat ini disetujui untuk terapi osteoporosis yang menstimulasi pembentukan tulang osteoblastik, sehingga memperbaiki kualitas dan massa tulang [14]. Obat ini mengaktivasi osteoblas dengan mengikat reseptor PTH/ PTHrP tipe 1, sehingga secara langsung menstimulasi pembentukan tulang pada lokasi remodelling aktif dan permukaan tulang yang tidak aktif sebelumnya, serta menginisiasi lokasi remodelling baru [14]. Selain itu, terdapat SERM (Selective Estrogen Receptor Modulators) sebagai obat-obatan lain dari golongan anabolik [1]. Mekanisme kerja senyawa golongan SERM bergantung pada agonis reseptor estrogen selektif jaringan atau aktivitas antagonis dalam interaksinya dengan reseptor estrogen, dan sifat-sifat ini mencakup tingkat kompleksitas molekuler dan fungsional tertentu [1]. Berkenaan dengan pengeroposan tulang dan osteoporosis, aksi SERMs pada reseptor estrogen memengaruhi homeostasis tulang dengan menurunkan aktivitas osteoklas dengan cara yang bergantung pada faktor pertumbuhan dan mengurangi resorpsi tulang [1]. Pengaruh ini memungkinkan dalam mencegah dan mengobati osteoporosis [1].

Dalam penelitian terkait yang menguji pengobatan teriparatide pada pasien severe osteoporosis dengan

Duchenne Muscular Dystrophy diperoleh hasil kesehatan tulang yang stabil dan terdapat sedikit peningkatan P1NP, tanpa masalah keamanan [19]. Akan tetapi, dalam artikel keempat yang meneliti intervensi farmakologi abaloparatide pada subkelompok wanita pascamenopause yang lebih muda dan dibandingkan pula dengan teriparatide, diperoleh hasil temuan bahwa abaloparatide tampak efektif dan dapat ditoleransi dengan baik dibandingkan teriparatide [23]. Namun terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, dimana jumlah pasien yang termasuk dalam analisis subkelompok ini relatif kecil dan tidak ada tindak lanjut untuk beberapa kesalahan yang juga dapat terjadi karena kondisi subjektif [23]. Meskipun begitu, penelitian McClung dkk. dan Saag dkk. telah membuktikan bahwa obat-obatan golongan anabolik memiliki efikasi yang baik untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pascamenopause, dan lebih lanjut jika dibandingkan antara abaloparatide dan teriparatide, abaloparatide terbukti lebih efektif daripada teriparatide.

Sementara itu, terkait efikasi golongan antiresorpsi untuk tata laksana osteoporosis dijelaskan dalam penelitian terkait yang menguji efikasi terapi bisfosfonat pada pasien osteoporosis primer dan osteopenia [32]. Bifosfonat adalah obat osteoporosis dari golongan antiresorpsi yang bekerja mempengaruhi jalur intraseluler spesifik pada osteoklas [14]. Secara spesifik, obat ini mengikat hidroksiapatit dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas melalui beberapa cara, yaitu sitotoksik atau injuri metabolik pada osteoklas matur, menghambat penempelan osteoklas pada tulang, menghambat diferensiasi dan

(10)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

38 rekrutmen osteoklas, serta mempengaruhi struktur osteoklas yang diperlukan untuk resorpsi tulang (komponen sitoskeleton) [14]. Hasil penelitian Yunita dkk. menunjukkan perubahan skor DMT yang meningkat secara signifikan pada bagian femoral neck, ward’s triangle, dan g. trochanter setelah pengukuran skor DMT yang kedua dengan jarak 6-18 bulan pada terapi bisfosfonat [32].

Selanjutnya, jika ditinjau dari perbandingan efikasi antara obat golongan anabolik dan antiresorpsi, pada penelitian dalam artikel kedua membuktikan bahwa terapi kombinasi teriparatide dan SERM sangat efektif dalam mengobati tulang belakang lumbal, dibandingkan dengan bifosfonat [24]. Menurut penelitian yang dilakukan Shin dkk. meskipun periode pengobatan teriparatide relatif singkat, efek pencegahan dari fraktur kompresi cukup besar [24]. Oleh karena itu, terapi kombinasi teriparatide dan SERM sangat dianjurkan untuk pasien yang khawatir dengan fraktur kompresi tulang belakang akibat osteoporosis [24]. Hasil penelitian dari artikel kedua telah menjelaskan lebih lanjut hasil penelitian terkait oleh Yunita dkk. yang hanya meneliti efek terapi bisfosfonat tanpa membandingkan langsung dengan obat-obatan dari golongan anabolik.

Berdasarkan tinjauan sistematis pada artikel pertama, kedua, dan keempat terbukti bahwa obat osteoporosis golongan anabolik lebih efektif pada perempuan pasca menopause, dimana setelah intervensi terjadi peningkatan kepadatan mineral tulang dan penurunan risiko fraktur akibat osteoporosis. Untuk memastikan hasil temuan tersebut, tinjauan sistematis dilakukan pada artikel ketiga, dimana hasil yang ditemukan juga menunjang bukti yang dinyatakan sebelumnya, karena tidak ditemukan perbedaan yang signifikan setelah intervensi dengan obat bifosfonat (antiresorpsi) pada wanita pascamenopause yang mengalami osteoporosis [17]. Di dalam penelitian ini, kurangnya efikasi bifosfonat (golongan antiresorpsi) dapat diakibatkan pengaruh variasi genetik [17]. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah kebanyakan varian gen terwakilkan oleh pasien non-responden dan studi farmakogenetik untuk menjadi dasar penelitian masih minim [17].

Dilihat dari segi farmakologi kedua golongan obat tersebut, obat-obatan dari golongan antiresorpsi dipilih sebagai obat lini pertama dalam terapi osteoporosis di Indonesia karena mekanisme kerja menurunkan kehilangan massa tulang atau menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas dinilai lebih efektif dibandingkan mekanisme kerja golongan anabolik yang meningkatkan massa tulang atau meningkatkan pembentukan tulang oleh osteoblas [14]. Sementara itu, studi di Korea menyatakan bahwa secara tradisional memang bifosfonat telah menjadi pilihan pertama untuk mengobati osteoporosis, namun uji coba baru-baru ini menunjukkan teriparatide lebih efektif untuk pasien lanjut usia dengan fraktur kompresi yang didiagnosis osteoporosis [24].

Beberapa penelitian menunjukkan 20 ug injeksi teriparatide subkutan setiap hari menurunkan risiko patah tulang belakang [24]. Dalam salah satu penelitian, BMD tulang belakang lumbal dan leher femur ditentukan dalam 4, 12, dan 24 bulan setelah 21 bulan menggunakan injeksi teriparatide; kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol pasien yang diterapi dengan placebo [24]. Hasil uji klinis membuktikan bahwa teriparatide lebih efektif menurunkan risiko patah tulang dibandingkan dengan kelompok placebo [24]. Teriparatide meningkatkan volume tulang kanselus dan ketebalan tulang kortikal, dan memperbaiki morfologi trabekuler [24]. Dalam penelitian Shin dkk. pun membuktikan bahwa BMD tulang belakang lumbal dari kelompok TS (pengobatan dengan golongan anabolik: teriparatide + SERM) secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok B (pengobatan dengan golongan antiresorpsi: bifosfonat) [24]. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa golongan anabolik lebih efektif daripada antiresorpsi dalam mengobati osteoporosis pada perempuan pasca menopause berdasarkan hasil uji klinis terbaru, sehingga teori mengenai farmakologi termasuk mekanisme kerja masing-masing golongan obat perlu ditinjau lebih dalam lagi.

5. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah obat golongan anabolik lebih efektif daripada obat golongan antiresorpsi untuk tata laksana osteoporosis pada perempuan pasca menopause. Keterbatasan penelitian ini antara lain, jumlah artikel yang ditinjau pada penelitian ini masih cukup sedikit dikarenakan penelitian dengan batasan kriteria inklusi yang diharapkan dan dapat diunduh secara full text masih belum banyak. Dalam systematic review ini, penelitian mengenai efikasi obat golongan anabolik lebih banyak dibandingkan golongan antiresorpsi, dan varian obat golongan anabolik lebih beragam

(11)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

39 (abaloparatide, teriparatide, dan SERM) dibandingkan golongan antiresorpsi yang dilibatkan (hanya bisfosfonat). Adapun faktor yang ternyata dapat mempengaruhi efikasi obat osteoporosis, yaitu faktor genetik, tidak dijelaskan dalam penelitian yang membahas efikasi obat golongan anabolik. Selain itu, kurang maksimalnya tinjauan sistematis ini juga dikarenakan adanya keterbatasan waktu penelitian dan sumber daya manusia yang melakukan tinjauan sistematis.

Kami menganjurkan para dokter untuk memilih obat golongan anabolik untuk terapi osteoporosis pada perempuan pasca menopause sesuai situasi dan kondisi pasien. Saran kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian observasional yang lebih holistik dan komprehensif terkait perbandingan efikasi obat osteoporosis golongan antiresorpsi dan anabolik pada perempuan pascamenopause. Selain itu, jika ingin melakukan systematic review untuk melanjutkan penelitian ini maka harus dilakukan dengan memperluas kriteria inklusi untuk studi yang sesuai, berikut database yang digunakan.

6.Ucapan terima kasih

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. Basuki Supartono, Sp.OT, FICS, MARS selaku dosen pembimbing dan Dr.med. Dr.Sc. dr. Yanto Sandy Tjang, Sp.BTKV(K), MPH, MSc, PhD, FACS, FETCS, FICS selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat sehingga penelitian ini dapat berjalan dan diselesaikan dengan baik dan benar. Disamping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga yang telah memberikan penulis semangat dan doa. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

7.Referensi

[1] An, Ki-Chan. Selective Estrogen Receptor Modulators [Internet]. NCBI. 2016 [cited 6 January 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4995266/

[2] Bethel, Monique. Osteoporosis [Internet]. Medscape. 2019 [cited 24 July 2020]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/330598-medication

[3] Bilotta, G., Milner, A. and Boyd, I. Quality assessment tools for evidence from environmental science. Environmental Evidence. 2014;3(1):p.14. https://doi.org/10.1186/2047-2382-3-14 [4] Cai, Shaofang et al. Bone Mineral Density and Osteoporosis in Relation to All-Cause and

Cause-Specific Mortality in NHANES: A Population-Based Cohort Study. Bone Elsevier. 2020. https://doi.org/10.1016/j.bone.2020.115597

[5] Chen, Xiao et al. Osteoblast-Osteoclast Interactions [Internet]. NCBI. 2017 [cited 21 August 2020]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5612831/

[6] Gorter, E. A. et al. Does osteoporosis affect the healing of subcapital humerus and distal radius fractures?. Journal of Orthopaedics. 2020;pp. 237–241. https://doi.org/10.1016/j.jor.2020.05.004 [7] Hartiningsih and Anggraeni, D. Suplementasi Calcitriol Menurunkan Risiko Osteoporosis Tikus

Ovariektomi. Jurnal Sain Veteriner. 2015;33(2). https://issn.org/0126 - 0421

[8] Hidayati, R. Sistem Pakar Untuk Penentuan Terapi Pada Penderita Osteoporosis. Jurnal Informatika Upgris. 2019;5(1). https://doi.org/10.26877/jiu.v5i1.3608

[9] Humaryanto, H. Deteksi Dini Osteoporosis Pasca Menopause. Jambi Medical Journal. 2017;5(2):pp. 164–177.

[10]Kawiyana, I. Crosslink Telopeptida C-Terminal (CTx) Sebagai Petanda Aktivitas Sel Osteoklas pada Osteoporosis Pasca Menopause Defisiensi Estrogen. Journal of Internal Medicine. 2009;10(2).

[11]Kawiyana, I. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis Dan Penanganan Terkini. Journal of Internal Medicine. 2009;10(2).

[12] Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Data dan Kondisi Penyakit Osteoporosis di Indonesia [Internet]. Kementerian Kesehatan RI. 2015 [cited 20

(12)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

40 [13]Kessenich, Cathy R. Osteoporosis and African-American Women. Womens Health Issues. 2000.

https://doi.org/10.1016/S1049-3867(00)00065-7

[14]Kristiningrum, E. Farmakoterapi untuk Osteoporosis. Continuing Medical Education. 2020;47:pp. 41-48.

[15]Liberati, A. et al. The PRISMA statement for reporting systematic reviews and meta-analyses of studies that evaluate health care interventions: explanation and elaboration. Journal of clinical epidemiology. 2009. https://doi.org/10.1016/j.jclinepi.2009.06.006

[16]M., Nursalam et al. Pedoman Penyusunan Skripsi-Literature Review dan Tesis-Systematic Review. Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. 2020;pp. 1–118.

[17]Marozik, P. et al. Bone metabolism genes variation and response to bisphosphonate treatment in women with postmenopausal osteoporosis. PLoS ONE. 2019;14(8):pp. 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0221511

[18]McClung, M. R. et al. Effects of abaloparatide on bone mineral density and risk of fracture in postmenopausal women aged 80 years or older with osteoporosis. Menopause. 2018;25(7):pp. 767– 771. https://doi.org/10.1097/GME.0000000000001080

[19]Nasomyont, N. et al. DMD – THERAPY: P.293 Safety and Efficacy of Teriparatide Treatment for Severe Osteoporosis in Patients with Duchenne Muscular Dystrophy. Neuromuscular Disorders. 2020. https://doi.org/10.1016/j.nmd.2020.08.290

[20]Pouresmaeili, Farkhondeh et al. A Comprehensive Overview On Osteoporosis and Its Risk Factors [Internet]. NCBI. 2018 [cited 21 August 2020]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6225907/

[21]Resnasari, S. D., Supartono, B. and Ekapurwani, L. The Correlation Between Low Body Mass Index ( Underweight ) With Bone Strength On Elderly Women. Jurnal Saintika Medika. 2020;pp. 14–20. https://issn.org/2614-X476X

[22]Riggs, B. L. Overview of Osteoporosis. Rochester, Minnesota: Western Journal of Medicine; 1991. [23]Saag, K. G. et al. Effect of Abaloparatide on Bone Mineral Density and Fracture Incidence in a

Subset of Younger Postmenopausal Women with Osteoporosis at High Risk for Fracture. Clinical Therapeutics. 2020;42(6):pp. 1099-1107.e1. https://doi.org/10.1016/j.clinthera.2020.04.012 [24]Shin, C. J. et al. Effectiveness of Osteoporosis Drug in Postmenopausal Women with Spinal

Compression Fracture: Combined Consecutive Therapy of Teriparatide and Raloxifene versus Bisphosphonate Single. Korean Journal of Neurotrauma. 2016;12(2):p. 123. htpps://doi.org/10.13004/kjnt.2016.12.2.123

[25]Supartono, B. dkk. Bunga Rampai Kesehatan Olahraga. Jakarta: Rumah Sakit Olahraga Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga RI; 2015.

[26]The Joanna Briggs Institute. Checklist for Case Control Studies. Joanna Briggs Institute Critical Appraisal tools. 2016;pp. 1–6.

[27]The Joanna Briggs Institute. Checklist for Randomized Controlled Trials. Joanna Briggs Institute Critical Appraisal tools. 2020;pp. 1–9.

[28]Tu, Kristie et al. Osteoporosis: A Review of Treatment Options [Internet]. NCBI. 2018 [cited 6 January 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5768298/

[29]Upadhyaya, G. K. et al. Challenges and strategies in management of osteoporosis and fragility fracture care during COVID-19 pandemic. Journal of Orthopaedics. 2020;pp. 287–290. https://doi.org/10.1016/j.jor.2020.06.001

[30]Waseso, L. B., Supartono, B. and Fauziah, C. Physical Activity and The Strength of Bone in Menopause Patients in National Sports Hospital in 2017. Berkala Kedokteran. 2018;14(1):p. 69. https://doi.org/10.20527/jbk.v14i1.4587

[31]Wibisono, D. S. and Baziad, A. Description of bone mineral density in postmenopausal women at immunoendocrinology integrated laboratory, faculty of medicine university of Indonesia. Medical Journal of Indonesia. 2004;13(1):pp. 31–40. htpps://doi.org/10.13181/mji.v13i1.127

[32]Yunita, E. P., Imananta, F. P. and Suryana, B. P. Efikasi Terapi Bisfosfonat pada Pasien Osteoporosis Primer dan Osteopenia Melalui Pemantauan Skor DMT (Penelitian Dilakukan di Poliklinik Rheumatologi RSUD Saiful Anwar). Majalah Kesehatan. 2017;4(4).

(13)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

41 Lampiran

Checklist of items to include when reporting a systematic review (with or without meta-analysis)[15]

(14)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

42 Kualitas studi berdasarkan The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal Tools randomized

controlled trials

No Penilaian 1 4

1 Was true randomization used for assignment of participants to treatment

groups? Y Y

2 Was allocation to treatment groups concealed? Y Y

3 Were treatment groups similar at the baseline? Y Y

4 Were participants blind to treatment assignment? Y Y

5 Were those delivering treatment blind to treatment assignment? U U

6 Were outcomes assessors blind to treatment assignment? Y U

7 Were treatment groups treated identically other than the intervention of

interest? U N

8 Was follow up complete and if not, were differences between groups in

terms of their follow up adequately described and analyzed? Y Y 9 Were participants analyzed in the groups to which they were

randomized? Y Y

10 Were outcomes measured in the same way for treatment groups? Y Y

11 Were outcomes measured in a reliable way? Y Y

12 Was appropriate statistical analysis used? Y Y

13

Was the trial design appropriate, and any deviations from the standard RCT design (individual randomization, parallel groups) accounted for in the conduct and analysis of the trial?

Y Y Keterangan : Y = Yes N = No U = Unclear 1 = [18] 4 = [23]

(15)

Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK II) 2021

43 Kualitas studi berdasarkan The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal Tools cohort studies

No Penilaian 2 3

1 Were the two groups similar and recruited from the same population? Y Y 2 Were the exposures measured similarly to assign people to both exposed

and unexposed groups? Y Y

3 Was the exposure measured in a valid and reliable way? Y Y

4 Were confounding factors identified? N Y

5 Were strategies to deal with confounding factors stated? U Y

6 Were the groups/participants free of the outcome at the start of the study

(or at the moment of exposure)? Y Y

7 Were the outcomes measured in a valid and reliable way? Y Y

8 Was the follow up time reported and sufficient to be long enough for

outcomes to occur? Y Y

9 Was follow up complete, and if not, were the reasons to loss to follow

up described and explored? Y Y

10 Were strategies to address incomplete follow up utilized? Y Y

11 Was appropriate statistical analysis used? Y Y

Keterangan : Y = Yes N = No U = Unclear 2 = [24] 3 = [17]

Gambar

Tabel 1. Sintesis Data

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran Pemberian Terapi Empiris Antibiotika pada pasien VAP Data yang diperoleh dari rekam medis ruang ICU RSUP Sanglah menunjukkan dari 20 sampel yang sesuai dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan komposisi kelaras 68% dan jerami 17% merupakan variasi komposisi media dengan hasil berat basah, berat kering, dan jumlah tubuh buah

Agar penulisan laporan akhir ini terarah dan tidak menyimpang dari permasalahan yang ada, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan hanya pada perhitungan

Anda juga dapat menggunakan tombol daya untuk mengaktifkan mode tidur atau hibernasi pada PC Notebook dan beralih kembali ke siaga dari mode tidur atau hibernasi.. Jika PC

Dari persamaan regresi di atas diketahui bahwa variabel sustainabel housingyang memiliki koefisien regresi paling besar adalah lingkungan, sehingga disimpulkan bahwa

rakyat (pantun, syair &amp; bentuk puisi rakyat setempat) secara lisan dan tulis dengan memperhatikan struktur, rima, dan penggunaan bahasa mengenai menu gizi seimbang masa pandemi

Untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas IV SDN Mekarmukti 2 dalam mata pelajaran IPS pada materi Perkembangan Teknologi Produksi Komunikasi dan

Selain itu, tujuan perataan laba adalah untuk memperbaiki citra perusahaan di mata pihak eksternal dan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah serta