• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran masyarakat terhadap bahaya aflatoksin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kesadaran masyarakat terhadap bahaya aflatoksin"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 2 2007

ABSTRACT. B1 Aflatoxin Contamination on Peanut at Various

Stages of the Delivery Chains in Banjarnegara, Central Java.

Peanut is one of agricultural products that prones to aflatoxin contamination, a secondary metabolite produced by Aspergillus flavus, A. parasiticus, and A. nomius, which is toxic to human and poultry health. Information on aflatoxin contamination on peanut kernels at several food chains is therefore needed. Samples of 25 farmers, 2 collectors, 22 retailers and 3 processors were studied, at sub district of Bawang and Purwonegara, Banjarnegara, Central Java, during October 2005. Gram moisture content, physical quality, A flavus infection and B1 aflatoxin contamination were investigated from 2 kg of peanut kernels or 2 kg of dry pods. The results showed that moisture content of peanut kernels from all delivery food chains was low <8%, for those obtained from farmers at Purwanegara subdictrict that were harvested and dried during rainy season. The longer the period from harvest to end-consumers or the longer distance from farmers to retailers, the higher the number of seeds infected by A. flavus and aflatoxin B1 contamination and the lower the physical quality. Moisture content, temperature and relative humidity were conducive for the A. flavus infection and aflatoxin B1 production. Aflatoxin B1 contamination correlated with moisture content, A. flavus infection correlated with the number of damaged seeds. Aflatoxin B1 contamination of seeds obtained from traditional markets was higher than the allowable level for consumption. Healthy crops should be maintained to obtain intact and mature pods with mature kernels. Farmers’ and traders’ awareness on storing and handling technique, to obtain a good quality of peanut kernels needs to be improved to obtain a good quality of peanut. Keywords: Aflatoxin, delivery chain, peanut, Aspergillus flavus.

ABSTRAK. Biji kacang tanah tergolong mudah terkontaminasi

aflatoksin, yang merupakan hasil metabolisme sekunder jamur Aspergillus flavus, A. parasiticus, dan A. nomius. Untuk mengetahui pencemaran aflatoksin pada biji kacang tanah yang diperdagangkan dilakukan penelitian di Kecamatan Bawang dan Purwonegara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Contoh kacang tanah (se-banyak 2 kg) diambil dari petani, pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan prosesor pada bulan Oktober 2005. Pengamatan dilakukan terhadap infeksi jamur A. flavus, kadar air, kualitas fisik biji (utuh, keriput dan rusak), dan cemaran aflatoksin B1. Kadar air biji kacang tanah pada semua mata rantai perdagangan tergolong rendah kurang dari 8%, kecuali kacang tanah yang dipanen dan dikeringkan pada musim hujan. Tingkat infeksi A. flavus dan cemaran aflatoksin B1 pada biji kacang tanah makin tinggi dan mutu fisik biji makin rendah dengan makin panjangnya interval waktu dari saat panen hingga dikonsumsi masyarakat dan makin jauhnya rantai pemasaran dari petani ke pedagang pengecer. Kadar air biji, suhu, dan kelembaban relatif selama dalam perjalanan dan penyimpanan pada rantai perdagangan kondusif bagi peningkatan infeksi jamur A. flavus dan produksi aflatoksin. Tingkat cemaran aflatoksin ber-korelasi positif dengan kadar air biji dan tingkat infeksi A. flavus. Tingkat infeksi A flavus berkorelasi positif dengan biji rusak.

Kandungan aflatoxin pada biji kacang tanah di pasar tradisional sudah di atas ambang batas aman konsumsi. Oleh karena itu, konsumen dianjurkan untuk mengkonsumsi biji kacang tanah yang utuh, bernas, berwarna cerah, dan tidak berubah warna. Budi daya tanaman sehat dengan vigor yang kuat perlu diupayakan, untuk menghasilkan polong utuh dan biji bernas. Sosialisasi tentang teknologi pengepakan dan penyimpanan kacang tanah perlu dilaku-kan kepada pelaku agribisnis kacang tanah terutama pedagang pengecer.

Kata kunci: Aflatoksin, mata rantai perdagangan, kacang tanah. Aspergillus flavus

K

esadaran masyarakat terhadap bahaya aflatoksin umumnya masih rendah, terutama masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Aflatoksin merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik, immuno suppressive (Heathcote and Hibbert 1978 dalam Wotton and Strange 1985). Hongkong Food and Environmental Hygiene (2001) dalam Paramawati et al. (2006) melaporkan bahwa aflatoksin berpotensi me-nyebabkan kerusakan pada hati, pengerasan (cirrhosis) dan kanker hati. Lubulwa dan Davis (1994) sebelumnya melaporkan pula bahwa kandungan aflatoksin 1000 µg/ kg (ppb) akan menyebabkan kerusakan akut pada hati manusia dan hewan. Kandungan aflatoksin yang lebih rendah pada produk kacang tanah dapat menyebabkan kanker hati dan kematian dini pada manusia dan menurunkan produktivitas ternak.

Senyawa aflatoksin adalah hasil metabolisme sekunder jamur Aspergillus flavus, A. parasiticus, dan A. nomius (Mayee and Datar 1988). Aflatoksin berkembang apabila jamur A. flavus menginfeksi biji kacang tanah berkadar air 10-30% pada suhu lingkungan 25-32 oC (Schearer et al. 1999 dalam Wright and Cruickshank 1999, Crop Link 2000). Kandungan aflatoksin dalam biji kacang tanah dipengaruhi oleh komposisi genetik individu isolat jamur, substrat, organisme kompetitor, kadar air biji , dan kelembaban relatif di lingkungan sekitar biji, dan suhu lingkungan (Diener et al. 1982; Pettit 1984, Keenan and Savage 1994).

Aflatoksin berkembang dalam biji kacang tanah dan jagung yang cara penanganan pascapanennya kurang baik. Kegiatan pascapanen yang paling berpengaruh

Cemaran Aflatoksin B

1

pada Kacang Tanah yang Diperdagangkan

di Sentra Produksi Banjarnegara

Agustina A. Rahmianna, E. Ginting, dan E. Yusnawan

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak Km 8. Malang. Kotak Pos 66 Malang 65101

(2)

adalah pengeringan dan penyimpanan. Pengeringan harus dilakukan segera setelah panen berdasarkan prinsip bahwa biji harus secepat mungkin melewati kisaran kadar air 10-30%. Apabila proses pengeringan memakan waktu lama maka biji kacang tanah ber-peluang lebih lama berada pada kisaran kadar air yang rentan terhadap kontaminasi aflatoksin. Demikian pula pengeringan, harus dilakukan hingga kadar air di bawah 10% agar jamur A. flavus tidak memproduksi aflatoksin. Di Indonesia, sebagian besar produksi kacang tanah dimanfaatkan sebagai bahan pangan dalam beragam bentuk, baik sebagai lauk (bumbu pecel, bumbu gado-gado, bumbu sate, kering kacang, tempe kacang), makanan kecil (camilan), maupun produk olahan industri, seperti minyak kacang, tepung kacang, dan pasta. Oleh karena itu, diperlukan bahan baku kacang tanah yang aman untuk dikonsumsi.

Selama ini, kebutuhan kacang tanah bagi industri kecil/rumah tangga dipenuhi dari pedagang besar/grosir, sedangkan untuk konsumsi rumah tangga sebagian besar diperoleh dari pedagang pengecer di pasar tradisional. Di sisi lain, perusahaan kacang garing/oven dan produk lain berbahan baku kacang tanah yang beromzet besar memperoleh bahan baku langsung dari petani dan impor. Tingkat konsumsi kacang tanah di Indonesia tergolong tinggi, rata-rata 4,1 kg/kapita/tahun (Faostat 2003). Hal ini mensyaratkan pentingnya mem-perhatikan mutu kacang tanah dengan mencermati fisik biji dan kandungan aflatoksin. Akumulasi aflatoksin sebanyak 1000 ppb pada hati manusia dapat menyebab-kan menyebab-kanker hati (Ragaa et al. 1998; Tjindarbumi dan Mangunkusumo 2002).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan ambang batas maksimum aflatoxin B1 pada bahan makanan/produk olahan yang diijinkan, yaitu 20 ppb (Dharmaputra et al. 2003). Aflatoksin pada kacang tanah tidak dapat dihilangkan 100% melalui proses pengolahan menjadi produk (Farah et al. 1983; Fardiaz 1991; Reddy 1996; Kumar et al. 2002). Namun daya racun aflatoxin B1 dapat diturunkan hingga 96% dengan pe-manasan menggunakan microwave pada suhu 124oC selama 15 menit (Farag et al. 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tingkat cemaran aflatoksin dan kualitas fisik biji kacang tanah pada mata rantai perdagangan di Kabupaten Banjarnegara yang merupakan salah satu sentra produksi kacang tanah di Jawa Tengah. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat infeksi A flavus dan kontaminasi aflatoksin pada biji kacang tanah yang diperdagangkan di daerah itu.

BAHAN DAN METODE

Kacang tanah (bentuk polong kering atau biji kering) untuk bahan penelitian diambil dari mata rantai perdagangan (food delivery chain) kacang tanah, mulai dari petani sebagai produsen, pengumpul, pedagang pengecer, dan industri atau prosesor yang ada di Kecamatan Bawang dan Purwonegara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di tingkat produsen (petani), pengambilan contoh polong kering dilakukan dua kali, yaitu pada bulan Oktober 2005 dan Januari 2006, masing-masing di Kecamatan Bawang dan Purwonegara. Di Kecamatan Bawang, kacang tanah diambil dari 25 petani, dan dari setiap petani diperoleh sebanyak 2 kg polong kering. Di Kecamatan ini, kacang tanah varietas lokal ditanam di lahan sawah setelah padi pada bulan Juni dan dipanen pada bulan September. Polong kering disimpan dalam karung plastik dan diletakkan di atas lantai semen di dalam rumah. Di Kecamatan Purwonegara, sebagian besar kacang tanah ditanam di lahan kering dengan pH tanah rendah pada awal musim hujan dan dipanen pada bulan Desember 2005 hingga Januari 2006. Kacang tanah juga diperoleh dari 25 petani, dan pada setiap petani diambil 2 kg polong kering. Sampel terdiri atas dua varietas, yaitu varietas lokal dan varietas Kancil, masing-masing sebanyak 84% dan 16%.

Dari pedagang pengumpul di dua kecamatan ter-sebut diambil 2 kg sampel polong kering. Pedagang pengecer dipilih dari pasar tradisional Kecamatan Banjarnegara, Purwonegara, Mandiraja, Purworejo Klampok, Wonodadi, dan Punggelan. Pada setiap pasar, kacang tanah dibeli dari tiga orang pedagang pengecer, masing-masing sebanyak 2 kg biji per jenis atau kualitas kacang tanah yang dijual.

Di Kecamatan Bawang dan Purwonegara terdapat tiga usaha pengolahan kacang tanah yang berbeda (rempeyek, bumbu pecel, kacang garing). Pada setiap pengolah/prosesor, diambil sebanyak 2 kg sampel bahan mentah yang berujud polong atau biji, bergantung pada bentuk usahanya.

Biji kacang tanah yang diperoleh dari semua mata rantai perdagangan tersebut kemudian dibagi menjadi delapan bagian dengan menggunakan seed devider. Satu bagian digunakan untuk pengamatan infeksi A. flavus, satu bagian untuk pengamatan kadar air biji, dua bagian untuk pengamatan kualitas fisik biji, dan empat bagian untuk analisis aflatoksin. Kadar air biji diamati dengan metode gravimetri basis basah. Kualitas fisik biji yang diamati dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu biji baik (utuh, penuh, sehat = sound mature kernel), biji keriput, dan biji rusak (pecah, luka, berubah warna, busuk).

(3)

Untuk mengetahui infeksi A. flavus pada biji dilaku-kan dengan menanam 100 biji kacang tanah pada 10 cawan petri berisi media AFPA (Asperfillus flavus dan parasiticus agar). Pengamatan jumlah biji terinfeksi jamur A. flavus dilakukan pada hari ke-4 dengan menghitung jumlah biji yang mempunyai koloni jamur berwarna oranye (kuning tua). Kontaminasi aflatoksin diukur dengan metode ELISA (Enzyme Linked-immuno Assay) yang dikembangkan oleh Lee dan Kennedy (2002a, b). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antarparameter yang diamati dilakukan uji korelasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Biji

Kadar air biji kacang tanah dari 25 petani Kecamatan Bawang lebih rendah dari petani Kecamatan Purwo-negara (Gambar 1). Nilai rata-rata kadar air di Kecamatan Bawang adalah 7,2% dengan kisaran 4,2-10,2%. Sebagian besar sampel (72%) mempunyai kadar air <8%. kadar air biji dari petani Kecamatan Purwonegara berkisar antara 9,7-17,6% dengan rata-rata 11,9%. Tidak satu pun sampel kacang tanah dari petani yang mempunyai kadar air <8%. Kadar air <8% mampu menekan tingkat infeksi jamur A. flavus dan kandungan aflatoxin dibanding biji kacang tanah yang mempunyai kadar air biji >10% (Supartini 1994). Bulaong dan Dharmaputra (2002) me-nyarankan kadar air biji perlu diturunkan menjadi 7% sebelum disimpan untuk mempertahankan mutu kacang tanah. Tingginya kadar air biji kacang tanah dari Kecamatan Purwonegara karena 80% sampel berasal dari panen musim hujan. Dharmaputra et al. (2003 dan 2004) juga memperoleh hal yang sama, bahwa kadar air biji kacang tanah hasil panen musim hujan lebih tinggi dari hasil panen musim kemarau.

Kadar air biji di tingkat pedagang pengecer lebih rendah dibanding di tingkat petani di Kecamatan Purwonegara yang kacang tanahnya dipanen pada musim hujan, namun lebih tinggi dari kadar air biji milik petani di Kecamatan Bawang yang kacang tanahnya dipanen pada musim kemarau (Gambar 1). Kadar air biji di tingkat pedagang pengecer rata-rata 8,8% dengan kisaran 6,4-11%. Jumlah sampel dengan kadar air <8% adalah sebanyak 24%, sisanya (76%) lebih besar dari 8%. Kadar air biji yang demikian juga terjadi pada kacang tanah yang dijual di pasar tradisional Kabupaten Pati pada MH 2002 (Dharmaputra et al. 2003). Artinya kadar air biji kacang tanah yang dijual oleh pedagang pengecer sebagian besar berada di atas batas yang aman untuk disimpan (<8%). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan

penyimpanan yang umumnya dilakukan dalam wadah terbuka.

Di tingkat industri, kadar air biji kacang tanah sebagai bahan baku rempeyek rata-rata 3,1%, sedangkan untuk bahan baku bumbu pecel mencapai 11,6%.

Kualitas Fisik Biji

Sampel kacang tanah dari 25 petani di Kecamatan Bawang terdiri atas 50,9% biji baik, 26,6% biji keriput, dan 22,5% biji rusak (kisaran bobot biji baik, biji keriput, dan biji rusak masing-masing 15,4-81,8%, 7-52,8%, dan 7,6-79,1%). Jumlah biji baik dan biji rusak dari petani Kecamatan Purwonegara masing-masing sekitar 27%, sedangkan biji keriput 45,1% (berkisar antara 0-48,4% biji baik, 0-71,8% biji keriput, dan 8,7-100% biji rusak). Berdasarkan kondisi fisik biji, kacang tanah dari petani di Kecamatan Bawang lebih baik kualitasnya dibanding yang berasal dari petani di Kecamatan Purwonegara yang kacang tanahnya dipanen pada musim hujan (Gambar 2). Di tingkat pedagang pengumpul diperoleh 55,3% biji baik, 21,5% biji keriput, dan 23,3% biji rusak. Di tingkat pedagang pengecer jumlah biji baik rata-rata 33,3% dengan kisaran 10,6-82,8%. Jumlah biji keriput rata-rata 21,7% dengan kisaran 3,6-28,8%. Biji rusak ternyata paling tinggi, rata-rata 45% dengan kisaran 5-73,5% (Gambar 2).

Berdasarkan tiga sampel dari pengolah/prosesor di-ketahui bahwa bahan baku yang digunakan berkualitas kurang baik. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya jumlah biji rusak, rata-rata 40,3% (dengan kisaran 36,0-48,5%). Berdasarkan data ini dapat dikemukakan bahwa pro-sesor rempeyek cenderung memilih bahan baku berbiji kecil karena kacang tanah di dalam rempeyek dibiarkan

Gambar 1. Kadar air biji kacang tanah pada tingkat petani di Kecamatan Bawang dan Purwonegoro serta di tingkat 0 4 8 12 16 20 1 5 9 13 17 21 25 K a d a r a ir b iji (% b b )

Petani di Kecamatan Bawang Petani di Kecamatan Purwonegara Pedagang pengecer 0 4 8 12 16 20 1 5 9 13 17 21 25 K a d a r a ir b iji (% b b )

Petani di Kecamatan Bawang Petani di Kecamatan Purwonegara Pedagang pengecer

(4)

utuh (tidak diiris kecil-kecil). Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya jumlah biji keriput (42,1%). Prosesor bumbu pecel tidak mempunyai preferensi tersebut. Namun kacang tanah ose yang dibeli juga berkualitas sedang karena jumlah biji baik dan rusak berimbang, masing-masing 37,1% dan 36,3%. Prosesor kacang garing tampaknya tidak melakukan sortir pada bahan baku (membuang polong hampa dan polong rusak). Hal ini terlihat pada kualitas fisik produk olahannya, di mana 48,5% terdiri atas biji rusak, sedangkan biji baik hanya 34,7%.

Fakta di atas menunjukkan bahwa kualitas fisik biji masih cukup baik di tingkat petani dan pedagang pengumpul, namun menurun setelah sampai di tingkat pedagang pengecer dan prosesor. Hal ini ditunjukkan oleh berkurangnya jumlah biji baik dari sekitar 50% menjadi 33,3%. Sebaliknya, jumlah biji rusak naik dari sekitar 25% menjadi 45%. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya kadar air biji yang mengakibatkan ber-tambahnya jumlah biji rusak karena terinfeksi jamur, berlubang karena serangan hama atau pecah/terbelah karena penanganan yang kurang tepat selama dalam pengangkutan dan penyimpanan. Hal ini kemungkinan karena kacang tanah hanya disimpan di dalam kemasan yang tidak kedap udara, sehingga kadar air biji meningkat dan menjadi kondusif bagi pertumbuhan jamur. Kadar air biji yang tinggi ini sangat mungkin terjadi karena kacang tanah hanya ditaruh di atas nampan atau kotak terbuka dan dibiarkan terbuka sepanjang waktu hingga habis terjual. Tidak tertutup kemungkinan kadar air akan terus meningkat dengan makin lamanya waktu kontak dengan udara sekitarnya. Banyaknya jumlah biji rusak dalam penelitian ini didukung penelitian Ginting (2006)

yang melaporkan bahwa kacang tanah yang disimpan dalam kotak kayu terbuka selama 4 bulan di ruangan menyebabkan banyaknya biji rusak (80,9%) dibanding kacang tanah yang disimpan di dalam kantong plastik PP 0,05 mm (1,3%) dan PP 0,08 mm (1,9%).

Infeksi Aspergillus flavus

Infeksi A. flavus pada kacang tanah yang berasal dari petani Kecamatan Bawang rata-rata 4,8% dengan kisaran 0-17%. Tingkat infeksi A. flavus kacang tanah dari petani Kecamatan Purwonegara rata-rata 5,6% dengan kisaran 0-19%. Di sisi lain, tingkat infeksi A flavus di pedagang pengumpul pada kedua sampel biji sangat rendah, rata-rata 1,5% (Gambar 3). Hal ini bisa dijelaskan berdasar pernyataan Putri et al. (2002) bahwa populasi A. flavus menurun setelah penyimpanan. Penurunan populasi dapat disebabkan oleh perubahan kadar air dan keberadaan spesies cendawan lain yang bersifat antagonis terhadap A. flavus.

A. flavus adalah jamur tular tanah dan jamur pada polong/biji adalah jamur yang berasal dari tanah di sekitar polong atau akar meskipun infeksinya dapat melalui bunga dan akar tanaman (Griffin and Garren 1976; Pitt et al. 1991). Kolonisasi jamur pada polong terjadi pada saat polong belum dipanen atau disebut infeksi prapanen. Infeksi prapanen dapat terjadi apabila polong telah rusak akibat deraan lingkungan seperti kekeringan, serangan hama, dan infeksi jamur patogen. Polong yang rusak memberi jalan bagi masuknya jamur ke biji, di mana jamur kemudian berkembangbiak membentuk koloni apabila kulit ari biji robek/rusak (Mehan et al. 1983; Cole et al. 1985; van Eeden et al. 1994).

Gambar 2. Persentase biji baik, keriput dan rusak dari kacang tanah yang berasal dari (1) petani Kecamatan Bawang, (2) petani Kecamatan Purwonegara, (3) pedagang pe-ngumpul, (4) pengecer, dan (5) prosesor. Banjarnegara, 2005.

Gambar 3. Infeksi jamur Aspergillus flavus pada biji kacang tanah dari petani dan pengecer. Banjarnegara, 2005.

0 20 40 60 80 100 % Biji rusak 22,5 27,8 23,2 45 40,3 Biji keriput 26,6 45,1 21,5 21,7 28,5 Biji baik 50,9 27,1 55,3 33,3 31,2 1 2 3 4 5 0 20 40 60 80 100 % Biji rusak 22,5 27,8 23,2 45 40,3 Biji keriput 26,6 45,1 21,5 21,7 28,5 Biji baik 50,9 27,1 55,3 33,3 31,2 1 2 3 4 5 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Sampel In fe k s i A .f la v u s (% )

Petani di Kecamatan Bawang Petani di Kecamatan Purwonegara Pedagang pengecer 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Sampel In fe k s i A .f la v u s (% )

Petani di Kecamatan Bawang Petani di Kecamatan Purwonegara Pedagang pengecer

(5)

Infeksi dapat pula terjadi pada saat polong dipanen, dijemur, atau setelah disimpan di gudang apabila kondisi lingkungan sesuai untuk pertumbuhan jamur. Perlu dikemukakan bahwa kadar air pada kulit polong minimal 10% sudah mendorong pertumbuhan miselia jamur A. flavus (DeLucca et al. 1987). Infeksi jamur pada biji kebanyakan baru terlihat setelah penyimpanan, dan umumnya terjadi pada saat bagian biji sudah tidak terlindungi oleh kulit polong. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan biji kacang tanah yang berasal dari pedagang pengecer (Gambar 3).

Tingkat infeksi jamur adalah sangat tinggi, rata-rata 65,5% dengan kisaran 15-98%. Hal yang sama juga terjadi pada kacang tanah yang diperoleh dari pasar tradisional di Pati (Dharmaputra et al. 2003) dan Wonogiri (Dharmaputra et al. 2004), baik pada pengamatan pada musim hujan maupun kemarau. Hal ini karena kacang tanah diperdagangkan dalam bentuk ose dan ke-mungkinan biji kacang tanah sudah cukup lama berada dalam kondisi terbuka selama proses transportasi, mulai dari penggiling hingga pemasaran terakhir yaitu pe-dagang pengecer di pasar tradisional. Di antara enam pasar kecamatan, terdapat infeksi jamur yang cen-derung lebih rendah (rata-rata 36,7%) terjadi pada kacang tanah dari Pasar Gumiwang di Kecamatan Purwonegara, yang merupakan sentra produksi kacang tanah. Makin jauh dari sentra produksi (makin ke arah dataran tinggi) seperti di Mandiraja, Purworejo Klampok, Wonodadi dan Punggelan, makin tinggi tingkat infeksi jamur, masing-masing 62,7%, 75%, 90,7%, dan 90,6%.

Di tingkat prosesor , biji kacang tanah sebagai bahan baku bumbu pecel tidak terinfeksi jamur A flavus. Tingkat infeksi A flavus pada biji kacang tanah untuk bahan baku rempeyek dan kacang garing masing-masing 5% dan 10%. Hal ini kemungkinan karena kacang tanah sudah disimpan di dalam karung plastik sekitar satu minggu.

Kontaminasi Aflatoksin B1

Semua sampel kacang tanah yang berasal dari petani, pedagang pengumpul, dan 66,7% sampel dari prosesor

ternyata mempunyai tingkat cemaran rendah, yaitu >5-<15 ppb. Sebaliknya, sampel yang berasal dari pedagang pengecer umumnya mempunyai tingkat kontaminasi >15 ppb (Tabel 1). Dengan demikian , tingkat kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di pedagang pengecer lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat petani. Hal yang sama juga terjadi pada kacang tanah di Pantai Gading, Afrika, yang mempunyai iklim yang sama dengan Indonesia (Pollet et al. 1992). Hal ini antara lain karena tingkat kontaminasi aflatoksin meningkat selama penyimpanan dan pengangkutan (Blunden et al. 1991; Brandun et al. 1993 dalam Yameogo dan Kassamba 1999).

Dari 25 sampel kacang tanah dari petani di Kecamatan Bawang, 96% di antaranya mengandung aflatoksin B1 antara 5-15 ppb. Sisanya mengandung aflatoksin B1 dengan tingkat yang lebih tinggi. Sampel kacang tanah dari petani di Kecamatan Purwonegara mempunyai cemaran aflatoksin B1 lebih tinggi karena sebagian besar (64%) mengandung aflatoksin B1 di atas 15 ppb (Tabel 1). Tingkat cemaran aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul cukup rendah. Hal ini sangat mungkin karena sebagian pengumpul menyimpan kacang tanah dalam bentuk polong kering di dalam karung plastik (glangsi) yang ditempatkan di gudang penyimpanan (kondisi bersih, kering). Pengumpul lain-nya menyimpan kacang tanah dalam bentuk biji di dalam karung plastik (glangsi) pada gudang penyimpanan (kondisi bersih, kering).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sampel kacang tanah dari 48 petani, 30 penebas, dan 12 pengumpul (dipanen pada musim hujan) di Kabupaten Pati mempunyai kandungan aflatoksin <15 ppb (Dharmaputra et al. 2003). Analisis statistik terhadap data dari 50 petani di dua kecamatan menunjukkan bahwa tingginya cemaran aflatoksin berkorelasi positif (r= 0,742) dengan kadar air biji. Tingkat infeksi A. flavus juga berkorelasi positif (r= 0,409) dengan kadar air biji. Bulaong dan Dharmaputra (2002) melaporkan bahwa jamur A. flavus merupakan detektor yang sensitif terhadap perubahan kadar air biji.

Tabel 1. Kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah dari mata rantai perdagangan yang dipelajari di Banjarnegara, tahun 2005. Persentase biji kacang tanah pada mata rantai perdagangan Kisaran kandungan

aflatoksin B1 Petani Petani Pengumpul Pedagang Prosesor

Kec. Bawang Kec. Purwonegara pengecer

0 - < 5 ppb - - - -

-> 5 - <1 5 ppb 96 36 100 18,2 66,7

> 15 - < 50 ppb 4 32 31,8 33,3

> 50 - < 100 ppb - - 36,4

(6)

-Di tingkat pedagang pengecer di enam pasar tradisional, hanya sebagian kecil sampel (18,2%) yang mempunyai tingkat cemaran rendah (>5 - <15 ppb). Sebagian besar sampel mempunyai cemaran lebih dari 15 ppb, bahkan sebanyak 50% sampel mempunyai tingkat cemaran di atas 50 ppb (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dharmaputra et al. (2003) dan Dharmaputra et al. (2004), bahwa sampel dari pasar tradisional mempunyai tingkat cemaran aflatoksin >15 ppb sangat nyata jumlahnya. Sebelumnya, penelitian Dharmaputra et al. (1989) menunjukkan bahwa 80% dari 35 sampel biji kacang tanah dari 15 pedagang pengecer di 3 pasar di Bogor, Jawa Barat, mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb. Pitt et al. (1998) melaporkan pula bahwa 45% dari 215 sampel kacang tanah dari petani, pedagang pengumpul, dan pengecer di beberapa kota di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat me-ngandung aflatoksin lebih dari 50 ppb, 33% di antaranya lebih dari 300 ppb, dan 22% lebih dari 1000 ppb.

Di tingkat pedagang pengecer, rata-rata kadar air biji adalah 8,8% dan rata-rata infeksi jamur sangat tinggi (65,5%), bahkan pada kadar air biji yang paling rendah-pun (6,4%) memrendah-punyai tingkat infeksi sangat tinggi (69%). Analisis korelasi menunjukkan tidak adanya korelasi antara tingkat infeksi A. flavus dengan kadar air biji. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Supartini (1994) yang melaporkan bahwa tingkat infeksi jamur A. flavus bisa ditekan pada kadar air <8%. Tidak ada

korelasi antara kadar air biji dengan cemaran aflatoksin dan antara tingkat infeksi A. flavus dengan cemaran aflatoksin. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Bulaong dan Dharmaputra (2002).

Salah satu sebab tidak adanya korelasi antara tingkat infeksi jamur A. flavus dengan produksi aflatoksin adalah hanya jamur strain toxigenic yang dapat mem-produksi aflatoksin, dan jamur ini kemungkinan hanya sedikit menginfeksi biji kacang tanah. Dengan demikian jamur A. flavus strain non-toxigenic dapat digunakan sebagai bahan utama untuk menekan kontaminasi aflatoksin secara hayati, diaplikasikan pada daerah perakaran kacang tanah berumur 1-2 minggu setelah tanam (Chourasia and Sinha 1994; Dorner et al. 2003). Dorner (2005) melaporkan aplikasi jamur A. flavus strain non-toxigenic dengan populasi tinggi pada lahan yang sedang ditanami kacang tanah menurunkan kontaminasi aflatoksin hingga 70% pada permulaan masa aplikasi inokulan. Setelah beberapa tahun aplikasi terjadi penurunan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah hingga 90%. Lebih lanjut dijelaskan,jamur tersebut sudah dikemas dalam bentuk siap aplikasi dan dikomersialkan. Tingkat infeksi A. flavus berkorelasi positif (r= 0,538) dengan jumlah biji rusak dan berkorelasi negatif (r= %

0,469) dengan jumlah biji bernas. Berdasarkan angka koefisien korelasi, tingkat infeksi A. flavus lebih ber-korelasi dengan biji rusak.

Analisis gabungan data dari petani di dua kecamatan dan pedagang pengecer di enam pasar tradisional menunjukkan adanya korelasi positif nyata (r= 0,336) antara kadar air biji (berkisar antara 4,2-17,6%) dengan tingkat cemaran aflatoksin. Hal ini didukung oleh data penelitian Crop Link (2000) bahwa zona kadar air 10-30% berresiko tinggi untuk terjadinya kontaminasi afla-toksin. Infeksi A. flavus juga secara nyata berkorelasi positif dengan tingkat cemaran aflatoksin (r= 0,283).

Kualitas fisik biji berpengaruh terhadap tingkat infeksi A. flavus. Biji bernas dan biji keriput berkorelasi negatif dengan tingkat infeksi, masing-masing dengan koefisien korelasi -0,233 dan -0,338. Biji rusak berkorelasi positif dengan tingkat infeksi A flavus dengan koefisien korelasi 0,475. Berdasarkan koefisien korelasi dapat disimpulkan bahwa tingkat infeksi A flavus lebih ber-korelasi dengan biji rusak. Mintah dan Hunter (1978) melaporkan bahwa kacang tanah dari pasar di daerah Accra, Ghana, biji rusaknya mempunyai kandungan aflatoksin nyata lebih tinggi dari biji utuh. Namun, penelitian ini tidak menunjukkan adanya korelasi antara kualitas fisik biji dengan kontaminasi aflatoksin dari biji dari enam pasar tradisional di Kabupaten Banjarnegara.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kadar air biji kacang tanah pada semua mata rantai perdagangan rata-rata hanya <8%, kecuali di tingkat petani di Kecamatan Purwanegara yang dipanen dan dikeringkan pada musim hujan.

2. Tingkat infeksi A. flavus dan cemaran aflatoksin B1 pada biji kacang tanah makin tinggi dan mutu fisik biji makin rendah dengan makin panjangnya interval waktu dari saat panen hingga dikonsumsi dan makin jauh rantai pemasaran dari petani ke pedagang pengecer di pasar tradisional kecamatan. Kadar air biji, suhu, dan kelembaban relatif ling-kungan selama dalam perjalanan dan penyimpanan kondusif bagi perkembangan infeksi jamur A. flavus dan produksi aflatoksin.

3. Tingkat cemaran aflatoksin berkorelasi positif dengan kadar air biji dan tingkat infeksi A. flavus. Tingkat infeksi A flavus berkorelasi positif dengan biji rusak. Dari semua mata rantai perdagangan kacang tanah yang ada, kandungan aflatoksin pada biji yang terdapat di pasar tradisional sudah di atas ambang batas aman untuk konsumsi.

(7)

4. Tindakan budi daya untuk menciptakan tanaman sehat dengan vigor yang kuat sangat dianjurkan untuk menghasilkan polong utuh, berisi penuh, dan bernas.

5. Teknologi penyimpanan kacang tanah yang baik untuk kesehatan dan aman konsumsi perlu di-sosialisasikan kepada pelaku agribisnis kacang tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Bulaong, S.S.P. and O.S. Dharmaputra 2002. Fungal population, aflatoxin and free fatty acid contents of peanuts packed in different bag types. Biotropia. 19:1-25.

Chourasia, H.K., and R.K. Sinha. 1994. Potential of the biological control of aflatoxin contamination in developing peanut (Arachis hypogaea L.) by atoxigenic strains of Aspergillus flavus. J. Food Sci. Technol., 31(5):362-366.

Cole, R.J., T.H. Sanders, R.A. Hill and P.D. Blakenship. 1985. Mean geocarphosphere temperatures that induce preharvest aflatoxin contamination of peanuts under drought stress. Mycopathol. 9:41-46.

Crop Link. 2000. Aflatoxin in Peanuts. Tips to Reduce the Risk. Queensland Department of Primary Industries. Farming Systems Institute. 12p.

DeLucca,II. A.J., M.S. Palmgren and D.J. Daigie. 1987. Depression of aflatoxin production by flavonoid-type compounds from peanut shells. Phytopathol. 77(11):1560-1564.

Dharmaputra, O.S., A.S.R. Putri, I. Retnowati dan S. Ambarwati. 2003. Aspergillus flavus dan Aflatoxin pada Kacang Tanah dari Berbagai Tingkatan Rantai Distribusi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Laporan Penelitian. SEAMEO BIOTROP. 24 p. Dharmaputra, O.S., H.S.S. Tjitrosomo, H. Susilo and Sulaswati. 1989. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. p. 110-123. In J.O. Naewbanij (ed.). Grain Postharvest Research and Development: Priorities for the Nineties. Proceedings of the 12th Asean Seminar on Grain Postharvest Technology, Surabaya, Indonesia, 29-31 August 1989.

Dharmaputra, O.S., I. Retnowati A.S.R. Putri, dan S. Ambarwati. 2004. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts at various stages of the delivery chains in Wonogiri regency, Central Java. Final Report. ACIAR Project #PHT 97/017. 25 pp. Dorner, J.W. 2005. Management strategies, opportunities and

prospects for prevention of aflatoxin in peanuts. p. 12. In. Summary. Inter. Peanut Conf. 2005. Prospects and Emerging Opportunities for Peanut Quality and Utilization Technology. January 9-12, 2005. Kasetsart Univ., Bangkok, Thailand. Dorner, J.W., R.J. Cole, W.J. Connick, D.J. Daigle, M.R. McGuire

and B.S. Sasha. 2003. Evaluation of biological control formulations to reduce aflatoxin contamination in peanuts. Biol. Contr. 26: 318-324.

Faostat 2003. Statistical database of food balance sheet. [Online]. Available at: htpp://www.fao.org (diakses 30 Juni 2006). Farag, R.S., M.M. Rashed and A.A.A. Abo Hgger. 1996. Aflatoxin

destruction by microwave heating. Int. J. Food Sci., Nutr., 47: 197-208.

Farah, Z., M.J.R. Martin and M.R. Bachman. 1983. Removal of aflatoxin in raw unshelled peanuts by a traditional salt boiling process practised in Northeast of Brazil. Lebensm Wiss Technol., 16:122-124.

Fardiaz, S. 1991. Destruction of aflatoxin during processing of aflatoxin-contaminated peanuts into different peanut products. Indon. J. Trop. Agric. 3(1):27-31.

Ginting, E. 2006. Mutu dan kandungan aflatoksin biji kacang tanah varietas Kancil dan Mahesa yang disimpan dalam beberapa bahan pengemas. J. Agrikultura 17(3):165-172.

Griffin, G.J., and K.H. Garren. 1976. Colonization of aerial penut pegs by Aspergillus flavus and A. niger group fungi under field conditions. Phytopathol., 66:1161-1162.

Kumar, H., Y.K. Jha and G.S. Chauhan. 2002. Detection and estimation of aflatoxin in food grains of Tarai regions and effect of heat treatments on its inactivation. J Food Sci. and Tech-Mysore. 39(5):479-483.

Lee, A.N., and I.R. Kennedy. 2002a. Practical 1. University of Sydney quick aflatoxin B1 ELISA Kit. Paper presented at ELISA Workshop Analysis of Aflatoxin B1 in Peanuts, held in Bogor on 12-13 February 2002. Organized by University of Sydney, ACIAR and SEAMEO Biotrop Bogor. 8 pp.

Lee, A.N., and I.R. Kennedy. 2002b. Practical 2. Matrix Effects. Paper presented at ELISA Workshop Analysis of Aflatoxin B1 in Peanuts, held in Bogor on 12-13 February 2002. Organized by University of Sydney, ACIAR and SEAMEO Biotrop Bogor. 17 pp.

Lubulwa, A.S.G., and J.S. Davis. 1994. Estimating the social costs of the impacts of fungi and aflatoxins in maize and peanuts. p. 1017-1042. In E. Highley et al. (eds.). Stored Products Protection. Proc. The 6th Inter. Working Conf. on Stored-Product Protection 1994 in Canberra, Australia.

Mayee, C.D. and V.V. Datar. 1988. Diseases of groundnut in the tropics. Rev. Trop. Pl. Path., 5:85-118.

Mehan, V.K., D. McDonald and B. Lalitha. 1983. Effect of season, location and field drying treatment on in vitro seed colonization of groundnut genotypes by Aspergillus flavus. Oleagineux, 38(10):553-559.

Mintah, S., and R.B. Hunter. 1978. The incidence of aflatoxin found in groundnuts (Arachis hypogaea L.) purchased from markets in and around Accra, Ghana. Peanut Sci. 5:13-16.

Paramawati, R., P. Widodo, U. Budiharti and Handaka. 2006. The role of postharvest machineries and packaging in minimizing aflatoxin contamination in peanut. Indonesian J. Agric. Sci., 7(1): 15-19.

Pitt, J.I., A.D. Hocking, B.F. Miscamble, O.S. Dharmaputra, K.R. Kuswanto, E.S. Rahayu and Sardjono. 1998. The mycoflora of food commodities from Indonesia. J. Food Mycol. 1 (1), 41-60. Pitt, J.I., S.K. Dyer and S.McCammon. 1991. Systemic invasion of developing peanut plants by Aspergillus flavus. Letters in Appl. Microbiol., 13:16-20.

Pollet, A., C. Declert, W. Wiegandt, J. Harkema, and E. van de Lisdonk. 1942. Three years’ studies on relationships between traditional groundnut storage and aflatoxin problems in Cote-d’Ivoire. Main results. Oleagineux 47(2):71-85.

Putri, A.S.R., I. Retnowati, O.S. Dharmaputra, dan S. Ambarwati. 2002. Populasi Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin pada kacang tanah si penyimpanan. Hlm. 88-91. Dalam. A. Purwantara et al. (eds.). Pros. Kongres Nas. XVI dan Sem. Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor, 22-24 Agustus 2001. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fak. Pertanian, IPB bekerja sama dengan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.

(8)

Reddy, U. 1996. Aflatoxins – its prevention and detoxification. Food and Nutrition News of Acharya N.G. Ranga Agricultural University 1(4):1-4.

Supartini. 1994. Tingkat serangan jamur Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin pada kacang tanah dalam lima jenis kemasan. Agrijurnal 2(2): 9-13.

Tjindarbumi, D. dan R. Mangunkusumo. 2002. Cancer in Indonesia. Jpn J Clin Oncol. 32 (supplement 1):S17-S21.

van Eeden, C.F., J.B.J. van Rensburg, and T.C. de K van der Linde. The role of insect damage in the colonization of groundnut (Arachis hypogaea L.) pods by fungus. Afr. Tydskr. Plant Grond., 11(4):159-162.

Wotton, H.R., and R.N. Strange. 1985. Circumstantial evidence for phytoalexin involvement in the resistance of peanut to Aspergillus flavus. J. General Microbiol., 131:487-494. Wright, G.M. and A.L. Cruickshank. 1999. Agronomic, genetic and

crop modelling strategies to minimise aflatoxin contamination in peanuts. p. 12-17. In R.G. Dietzgen (eds.). Elimination of Aflatoxin Contamination in Peanut. ACIAR Proceedings No. 89. Canberra.

Yameogo, R.T. and B. Kassamba. 1999. Aspergillus flavus and aflatoxin on tropical seed used for snacks: Arachis hypogaea, Balanites aegyptiaca and Sclerocarya birrea. Trop. Sc. 39: 46-49.

Gambar

Gambar  1.  Kadar  air  biji  kacang  tanah  pada  tingkat  petani  di Kecamatan Bawang dan Purwonegoro serta di tingkat04812162015913172125Kadarair biji(% bb)
Gambar 2. Persentase biji baik, keriput dan rusak dari kacang tanah yang  berasal  dari  (1)  petani  Kecamatan  Bawang,  (2) petani  Kecamatan  Purwonegara,  (3)  pedagang   pe-ngumpul, (4) pengecer, dan (5) prosesor
Tabel 1. Kandungan aflatoksin B 1  pada kacang tanah dari mata rantai perdagangan yang dipelajari di Banjarnegara, tahun 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui Gambaran hasil belajar matematika yang menggunakan Metode Induktif, (2) untuk mengetahui Gambaran hasil belajar matematika

Di dalam pembangunan bendungan, diperlukan analisa stabilitas tubuh bendungan terhadap berbagai kondisi agar bendungan yang direncanakan aman dan sesuai dengan usia guna

Setelah adanya proses formulasi kebijakan, selanjutnya adalah proses implementasi kebijakan. Dimana implementasi kebijakan tersebut terdiri dari isi kebijakan dan

Berdasarkan data panjang total larva chironomida yang telah dikelompokkan berdasarkan selang kelas tertentu, perlakuan tanpa penambahan bahan organik tidak

Tujuan penelitian ini adalah (i) memperoleh model estimasi pemakaian listrik dengan pendekatan Metode Recursive Least Square (RLS) (ii) mendapatkankan karakteristik

(1) Perlakuan tindakan konservasi dengan gulma dibiarkan tumbuh pada gawangan kakao nyata meningkatkan total pori tanah (61.8%) sehingga menurunkan BD (1.013 g

Dari hasil temuan di lapangan, baik dari pihak Dinas Perikanan, Pemerintah Desa Perambangan maupun masyarakat KUGAR dalam hal penggunaan dana secara keseluruhan

Dalam menyusun rencana penyelesaian masalah matematika, subjek climber juga melakukan proses berpikir secara asimilasi, karena subjek climber sudah dapat