• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Nomor : 071 /PUU-II/2004

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---RISALAH

PANEL HAKIM

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

PERKARA NOMOR 071/PUU-II/2004

PENGUJIAN UU NOMOR 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

TERHADAP UUD 1945

KAMIS, 13 JANUARI 2005

JAKARTA

2005

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---RISALAH

PANEL HAKIM

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

PERKARA NOMOR 071/PUU-II/2004

PENGUJIAN UU NOMOR 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

TERHADAP UUD 1945

KETERANGAN 1. H a r i : Kamis 2. Tanggal : 13 Januari 2005 3. Waktu : 14.02-15.03 WIB

4. Tempat : Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat

5. Susunan Persidangan :

1. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. ( Ketua ) 2. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H ( Anggota )

3. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. ( Anggota )

6. Pemohon : Sony Rendra Wicaksana, S.H, LLM

7. Panitera Pengganti : Eddy Purwanto, S. H.

(3)

1. KETUA Prof. Dr. H.M.LAICA MARZUKI, S.H.

Sidang Panel Mahkamah Konstitusi dalam rangka Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 berkenaan dengan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan ini dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Saudara, para Pemohon, sebagaimana lajimnya mana kala beracara di Mahkamah Konstitusi, maka pertama-tama diminta untuk memperkenalkan diri dan kualitas apa.

Silakan.

2. PEMOHON (LUCAS)

Majelis Hakim yang kami hormati.

Dengan ini, kami memperkenalkan. Kami adalah Tim Advokasi mewakili Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi, di mana saya sendiri adalah Lucas. Di sebelah kanan saya rekan kami Soni Wijaksono. Di sebelahnya lagi, Swansi Halim. Kami bertiga adalah Advokat mewakili Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi di mana yang hadir sebelah di ujung sana adalah Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi dan sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi, yaitu Ibu Mira Amalia Malik sebagai Ketua dan Saudara Jaboto Jiwono sebagai Sekretaris.

Terima kasih.

3. KETUA Prof. Dr. H.M.LAICA MARZUKI, SH.

Saudara Pemohon dan kuasa hukumnya, Saudara pertama-tama, diminta untuk mengemukakan pokok-pokok permohonan Saudara.

Silakan.

4. PEMOHON (LUCAS)

Terima kasih Majelis Yang Kami Hormati. Kami mohon kami bisa membacakan Permohonan kami secara bergantian antara kami.

Perihal:Permohonan Pemeriksaan Hak Uji Materiil (Judicial Review) atas “UNDANG-UNDANG No. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

SIDANG DIBUKA PUKUL 14.02 WIB

(4)

UTANG” Terhadap “UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”

Dengan hormat,

Yang bertandatangan di bawah ini, SONY RENDRA WICAKSANA, SH., LLM., LILI BADRAWATI, SH. dan RENTY HELENA GULTOM, SH.,

Tim Advokat yang dalam hal ini bertindak selaku Kuasa Hukum dari dan oleh karenanya untuk dan atas nama YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN ASURANSI INDONESIA (YLKAI) selaku Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indonesia, beralamat di Wisma Metropolitan I, Lantai 7, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 29, Jakarta Selatan 12920, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 16 Desember 2004 (terlampir) (selanjutnya disebut

“PEMOHON”);

Dengan ini mengajukan permohonan pemeriksaan hak uji materiil (Judicial Review) atas Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :

Pasal 2 ayat (5) Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pasal 6 ayat (3) Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 223 Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Selanjutnya dilanjutkan oleh rekan kami Swandi.

5. PEMOHON (SWANDI HALIM)

Adapun yang menjadi dasar dan alasan dari diajukannya Permohonan ini adalah sebagai berikut :

I. PEMOHON ADALAH LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT YANG BERGERAK DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN KONSUMEN ASURANSI DI INDONESIA YANG BERSTATUS BADAN HUKUM DAN OLEH KARENANYA MEMPUNYAI KAPASITAS HUKUM (LEGAL STANDING) UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN A QUO

1. Bahwa PEMOHON adalah suatu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang bergerak di bidang perlindungan dan pemberdayaan konsumen asuransi di Indonesia, sebagaimana ternyata dari Anggaran Dasar PEMOHON yang telah beberapa kali mengalami perubahan,

(5)

antara lain dengan Akta No. 31 tanggal 27 Februari 2002 jo. Akta No. 10 tanggal 16 Juni 2004, dibuat di hadapan Bambang Wiweko, S.H., Notaris di Jakarta (Bukti P-1);

2. Bahwa eksistensi/keberadaan PEMOHON sebagai suatu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) telah sesuai dan memenuhi semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 jo. Pasal 46 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:

“(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.

(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:

a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/jasa;

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Pasal 46 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:

“c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah dilaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.”

3. Bahwa adapun bukti-bukti bahwa PEMOHON telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu Lembaga Perlindungan Konsumen Masyarakat (LPKSM) sebagaimana disebutkan di atas, antara lain :

(6)

- PEMOHON telah mendaftarkan diri dan memberitahukan keberadaan kelembagaan PEMOHON kepada Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia berdasarkan Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi dengan Nomor Inventaris 130/D.I/XI/2001 (Bukti P-2); - PEMOHON juga telah mendaftarkan diri dan memberitahukan

keberadaan kelembagaan PEMOHON kepada Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Perindustrian Dan Perdagangan berdasarkan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) dengan Nomor 3920/1.824.518 (Bukti P-3);

- PEMOHON sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) juga telah melaksanakan berbagai kegiatan di bidang perlindungan dan pemberdayaan konsumen asuransi, sesuai dengan pasal 4 dan Pasal 5 Akta Anggaran Dasar PEMOHON (Akta No. 31 tanggal 27 Februari 2002) (vide Bukti P-1) yang dengan tegas menyatakan maksud dan tujuan berdirinya PEMOHON sebagai berikut:

Pasal 4

“Maksud dan Tujuan Yayasan adalah memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada konsumen asuransi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya berkenaan dengan masalah-masalah keasuransian.”

Pasal 5

“ Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut maka Yayasan mengadakan atau melakukan usaha-usaha antara lain sebagai berikut: a. Menampung keluhan dan/atau informasi dari konsumen asuransi pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya. Keluhan/informasi tersebut akan disimpan dalam bentuk data/record di pihak Yayasan; b. Memberikan informasi dan penerangan kepada masyarakat tentang

asuransi dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian masyarakat mengenai asuransi;

c. Memberikan bantuan mengenai permasalahan asuransi kepada pihak-pihak yang membutuhkan menurut permintaan;

d. Membantu menyelesaikan perselisihan asuransi di antara konsumen asuransi, perusahaan asuransi, broker asuransi dan/atau pihak-pihak terkait lainnya baik melalui jalur konsultasi, mediasi, arbitrase, litigasi maupun jalur penyelesaian lainnya;

e. Melakukan semua usaha dan/atau tindakan yang dianggap baik dan perlu dalam melindungi kepentingan umum pada umumnya baik melalui jalur penerangan melalui media massa, konsultasi, mediasi, arbitrase, litigasi maupun jalur lainnya sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku”

(7)

antara lain terbukti dari upaya-upaya nyata yang telah dilakukan PEMOHON yang selama kurun waktu November 1999 s/d November 2004 telah menerima sebanyak 487 pengaduan yang terbagi dalam berbagai jenis pengaduan, yaitu antara lain : Konsultasi 187 pengaduan, Mediasi 188 pengaduan dan Litigasi 112 pengaduan (Bukti P-4);

4. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka jelas eksistensi/keberadaan PEMOHON sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indonesia telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;

5. Bahwa di samping itu eksistensi/keberadaan PEMOHON sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indonesia tersebut juga telah diakui berdasarkan adanya Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebagaimana ternyata dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 65/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst tanggal 26 November 2002, dalam perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI) (Baca: PEMOHON) melawan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) (Bukti P-5);

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 65/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. alinea 4 s/d 6 halaman 38 terkutip sebagai berikut:

- “Bahwa kemajuan penting yang patut dicatat adalah diakomodirnya pengakuan hukum hak gugat atau standing organisasi pada bidang hukum tentang perlindungan konsumen yang tertuang dalam Undang – Undang No. 8 Tahun 1999.

- Bahwa sekarang persoalannya adalah apakah PENGGUGAT (Baca: PEMOHON) memiliki “hak gugat” atau standing mengajukan gugatan dalam perkara ini mewakili kepentingan konsumen asuransi dalam wilayah Republik Indonesia.

- Bahwa untuk menilai standing PENGGUGAT (Baca: PEMOHON) tersebut tergantung pada apakah PENGGUGAT (Baca: PEMOHON) memenuhi syarat – syarat atau kriteria yang ditentukan dalam Undang – Undang?

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pasal 46 ayat 1 huruf C ditentukan syarat – syarat hukum minimal 3 kriteria, yaitu:

(1) Berbentuk badan hukum atau yayasan;

(2) Dalam Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan diberikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen;

(8)

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 65/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. alinea 1 dan 2 halaman 39 terkutip sebagai berikut:

- “Bahwa dengan mengacu pada kriteria tersebut diatas dan dihubungkan dengan dalil – dalil hukum PENGGUGAT (Baca: PEMOHON), maka kriteria ke-1, ke-2 dan ke-3 terpenuhi, karena:

PENGGUGAT (Baca: PEMOHON) berbentuk yayasan yang dikenal dengan Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI);

Dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan dalam pasal 4 bahwa:

“Maksud dan Tujuan Yayasan adalah memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada konsumen asuransi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya berkenaan dengan masalah-masalah keasuransian”.

PENGGUGAT (Baca: PEMOHON) melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya yang terdapat dalam pasal 4 dan 5, antara lain dalam kurun waktu Nopember 1999 s/d Pebruari 2002, Penggugat telah menerima sebanyak 333 pengaduan yang terbagi dalam berbagai jenis pengaduan, yaitu konsultasi 78 pengaduan, mediasi 160 pengaduan, dan 96 pengaduan untuk litigasi.

- Bahwa dengan demikian, Penggugat memiliki kapasitas “hak gugat” atau standing mengajukan gugatan terhadap pihak yang diduga merugikan konsumen asuransi, sedangkan apakah gugatan aquo nantinya terbukti atau tidak, maka hal itu sudah menyangkut pembuktian dalam pokok perkara.”

6. Bahwa selain itu sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di bidang perlindungan dan pemberdayaan Konsumen Asuransi bentuk kelembagaan PEMOHON adalah Yayasan, dimana Yayasan tersebut secara hukum adalah merupakan badan hukum privat/perdata, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, yang menyatakan sebagai berikut:

“Yayasan adalah badan hukum, yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Bahwa oleh karena Pemohon adalah merupakan badan hokum, yang mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indinesia, maka secara hukum Pemohon mempunyai kapasitas hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan pemeriksaan hak uji materiil atau judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 51 (ayat 1) huruf c Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan: “1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan

dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”

(9)

7. Bahwa oleh karena PEMOHON adalah merupakan badan hukum yang mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indonesia, maka secara hukum PEMOHON mempunyai kapasitas hukum (Legal Standing) untuk mengajukan Permohonan Pemeriksaan Hak Uji Materiil (Judicial Review) Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, sebagaimana yang secara tegas diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi:

“(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. Badan hukum publik atau privat d. Lembaga Negara;”

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas jelas bahwa PEMOHON sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di bidang perlindungan dan pemberdayaan Konsumen Asuransi yang mewakili kepentingan konsumen asuransi di Indonesia (Vide Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) yang merupakan badan hukum privat (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan) mempunyai kapasitas hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pemeriksaan hak uji materiil (Judicial Review) ini (vide pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi).

selanjutnya rekan Sony akan membacakannya.

6. PEMOHON (SONY R. WICAKSONO)

II. PASAL 2 AYAT (5) jo. PASAL 223 UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TELAH MELANGGAR HAK-HAK KONSTITUSIONAL KONSUMEN ASURANSI UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN UTANG (PKPU) TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI DI HADAPAN PENGADILAN NIAGA

Pelanggaran Atas Hak Konstitusional Konsumen Asuransi Atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil serta Perlakuan Yang Sama di Hadapan Hukum Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 27 Ayat (1) Jo. Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(10)

8. Bahwa Konsumen Asuransi sebagai perorangan/warga negara Republik Indonesia dilindungi hak konstitusionalnya di dalam hukum berdasarkan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

“(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

9. Bahwa hubungan hukum antara Konsumen Asuransi dengan suatu perusahaan asuransi didasarkan atas adanya perjanjian pertanggungan/polis asuransi, dimana pada saat berakhirnya polis asuransi atau terjadinya suatu peristiwa yang dipertanggungkan, Konsumen Asuransi sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian pertanggungan/polis asuransi tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan pembayaran atas uang pertanggungan atau manfaat asuransi; 10. Bahwa dengan adanya hak bagi Konsumen Asuransi untuk mendapatkan

pembayaran atas uang pertanggungan atau manfaat asuransi pada saat mengajukan klaim, maka jelas-jelas telah menempatkan Konsumen Asuransi menjadi Kreditur yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap suatu perusahaan asuransi (vide Pasal 1 ayat (6) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang);

Pasal 1 ayat (6) Undang-undang No. 37 tahun 2004 :

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”

11. Bahwa jika atas klaim uang pertanggungan/manfaat asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut ternyata tidak dilakukan pembayaran oleh perusahaan asuransi dengan berbagai alasan yang tidak jelas dan hanya dimaksudkan untuk menghindar dari kewajibannya, maka secara hukum jelas bahwa Konsumen Asuransi mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan/upaya

(11)

hukum ke Pengadilan, termasuk dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit atau mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan ke Pengadilan Niaga;

12. Bahwa akan tetapi ternyata hak-hak Konsumen Asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi berdasarkan adanya utang klaim/manfaat asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut telah dicabut/dihilangkan/dibatasi dengan adanya/berlakunya Pasal 2 ayat (5) jo. Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU yang secara limitatif hanya memberikan kewenangan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi di hadapan Pengadilan Niaga;

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:

“(5) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”

Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:

Dalam hal debitur adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).”

13. Bahwa oleh karena itu diberlakukannya Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah mencabut, membatasi dan menghilangkan hak konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU terhadap suatu perusahaan asuransi tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran hak konstitusional Konsumen Asuransi atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

14. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas jelas bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang

(12)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya sangat berdasarkan hukum apabila Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut DIBATALKAN.

B. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi telah melanggar Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

15. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berarti telah terjadi pencabutan, pembatasan dan bahkan penghilangan hak konstitusional konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi dan hanya memberikan hak dan wewenang secara limitatif kepada Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi tersebut;

16. Bahwa dengan adanya kewenangan untuk mengajukan upaya hukum dengan permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang hanya ada pada Menteri Keuangan tersebut berarti telah membatasi dan menghalangi hak setiap orang atau Konsumen Asuransi untuk mendapatkan keadilan kepada Lembaga Yudikatif (access to justice), demikian pula hak untuk mendapatkan proses peradilan oleh Pengadilan yang mandiri/merdeka bebas dari intervensi/campur tangan Lembaga Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkutip sebagai berikut:

Pasal 24 ayat (1) :

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Pasal 24 ayat (2) :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Pasal 24 ayat (3) :

“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.”

(13)

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar….”

17. Bahwa kewenangan untuk mengajukan upaya hukum kepailitan maupun PKPU terhadap perusahaan Asuransi yang telah diambil alih oleh Menteri Keuangan atau pihak pemerintah (Eksekutif) tersebut juga telah menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan hukum dan upaya penciptaan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan yang berada di tangan Mahkamah Agung dan Pengadilan-pengadilan di bawahnya. Hal ini disebabkan Menteri Keuangan seolah-olah telah menjadi bagian dari Lembaga Yudikatif yang melakukan tugas pengambil suatu keputusan hukum (Quasi Judicial), yaitu Menteri Keuangan yang menentukan apakah suatu perusahaan asuransi tersebut layak atau tidak untuk diajukan pailit ataupun PKPU, padahal tidak ada kriteria yang jelas kapan Menteri Keuangan harus memohonkan pailit atau PKPU terhadap perusahaan asuransi tersebut;

18. Bahwa di samping itu, seandainya hanya Menteri Keuangan yang berhak mengajukan kepailitan terhadap perusahaan asuransi, hal ini juga tidak memberi dampak yang positif bagi masyarakat, karena fakta yang terjadi selama ini meskipun banyak perusahaan asuransi yang bermasalah dan dan telah pula dinyatakan dalam status PKU (pembatasan kegiatan usaha) oleh Departemen Keuangan, namun tidak satupun yang dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus PT. Asuransi Jiwa Pura Nusantara yang telah dinyatakan dalam status PKU lebih dari 15 (lima belas) tahun oleh Departemen Keuangan dan banyak dana nasabah/konsumen asuransi yang belum dikembalikan akan tetapi tidak pernah diajukan pailit oleh Menteri Keuangan. Demikian pula masih ada beberapa perusahaan asuransi bermasalah lainnya yang tidak juga dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan (Bukti P-6);

19. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah pula melanggar atau bertentangan dengan Pasal 24 jo. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya sangat berdasarkan hukum apabila Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut DIBATALKAN.

Selanjutnya akan dibacakan oleh rekan Swandi Salim.

7. PEMOHON (SWANDI HALIM)

C. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi Telah Melanggar Ketentuan-Ketentuan Mengenai Hak Asasi Manusia

(14)

20. Bahwa sudah menjadi hak asasi manusia bagi setiap orang/warga negara untuk mendapat pengakuan, perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk dengan mengajukan upaya hukum di depan Pengadilan. Demikian pula konsumen asuransi berhak untuk mengajukan upaya hukum dengan mangajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap perusahaan asuransi. Pembatasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap perusahaan asuransi hanya oleh Menteri Keuangan saja jelas-jelas merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berlaku secara universal yang telah diakui pula oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam :

a. Sila Ke-2 Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, khususnya mengenai persamaan hak setiap orang di hadapan hukum;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana dimaksud dalam Bagian II, Bab IV mengenai Hak Keadilan, terkutip sebagai berikut :

“Pasal 7

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil.

Pasal 8

Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

c. Pasal 3 Jo. Pasal 5 ayat (1) Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya mengenai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama; dan

d. Universal Declaration of Human Rights Pasal 7 dan Pasal 8 sebagaimana terkutip berikut ini:

“All a equal before the law and a entitled without any discrimination to equal protection of the law, all a entitled to equal protection against any discrimination in violation of this declaration and against any incitement to such discrimination”.

D. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi Telah Melanggar Ketentuan-Ketentuan Mengenai Hak Asasi Manusia

21. Bahwa sudah menjadi hak asasi manusia bagi setiap orang/warga negara untuk mendapat pengakuan, perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk dengan mengajukan upaya hukum di depan Pengadilan. Demikian pula konsumen asuransi berhak untuk mengajukan upaya hukum dengan mangajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap

(15)

perusahaan asuransi. Pembatasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap perusahaan asuransi hanya oleh Menteri Keuangan saja jelas-jelas merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berlaku secara universal yang telah diakui pula oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam :

a. Sila Ke-2 Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, khususnya mengenai persamaan hak setiap orang di hadapan hukum;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana dimaksud dalam Bagian II, Bab IV mengenai Hak Keadilan, terkutip sebagai berikut :

“Pasal 7

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil.

Pasal 8

Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

c. Pasal 3 Jo. Pasal 5 ayat (1) Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya mengenai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama; dan

d. Universal Declaration of Human Rights Pasal 7 dan Pasal 8 sebagaimana terkutip berikut ini:

Terjemahan bebasnya :

(7) Setiap orang adalah sama di depan hukum dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan yang sama terhadap segala jenis diskriminasi yang merupakan pelanggaran terhadap deklarasi ini dan terhadap segala perlakuan yang mendororng terjadinya diskriminasi”

(8) Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum yang efektif dari lembaga-lembaga peradilan nasional yang berwenang atas tindakan yang melanggar hak-hak asasinya sebagaimana yang telah diberikan oleh undang-undang atau hukum”

21. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas jelas bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah melanggar atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berlaku secara universal dan oleh karenanya sangat berdasarkan hukum apabila Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut DIBATALKAN

(16)

III. PASAL 6 AYAT (3) jo. PASAL 224 UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TELAH MELANGGAR HAK-HAK KONSTITUSIONAL KONSUMEN ASURANSI UNTUK MENDAFTARKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN UTANG (PKPU) TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI DI HADAPAN PENGADILAN NIAGA

22. Bahwa pada asasnya setiap orang yang merasa hak-haknya dilanggar/dirugikan mempunyai hak untuk mengajukan permasalahan hukumnya ke muka pengadilan, termasuk namun tidak terbatas untuk mendaftarkan perkara mereka pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri yang berwenang;

23. Bahwa dengan demikian setiap Konsumen Asuransi selaku kreditur yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berhak untuk

mendaftarkan permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi pada kepaniteraan Pengadilan Niaga untuk diperiksa dan diadili secara adil dan fair di hadapan Pengadilan Niaga, sehingga Pengadilan dalam hal ini tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya;

24. Bahwa hal tersebut dipertegas oleh Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman:

“(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

25. Bahwa terhadap setiap permasalahan/tuntutan hukum, termasuk permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang diajukan di depan Pengadilan maka HAKIM adalah satu-satunya otoritas yang dapat memberikan putusan, yaitu dengan menyatakan bahwa tuntutan tersebut dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA karena tidak memenuhi syarat-syarat formil atau dinyatakan DITOLAK karena secara materiil tidak berdasar ataupun DIKABULKAN karena tuntutan tersebut mempunyai dasar dan alasan hukum yang kuat. Putusan tersebut akan diberikan oleh HAKIM karena jelas-jelas telah memasuki lingkup judicial (bukan administratif) dan sama sekali bukan wewenang PANITERA. Dengan demikian jelas bahwa penolakan atas pendaftaran permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang diajukan selain oleh Menteri Keuangan oleh PANITERA jelas-jelas menunjukkan pengambilalihan tugas judicial oleh PANITERA yang hanya merupakan petugas administratif;

(17)

26. Bahwa sedangkan dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa Panitera wajib menolak permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU terhadap (antara lain perusahaan asuransi) yang diajukan ke Pengadilan Niaga apabila yang mengajukan permohonan pernyataan pailit atau PKPU tersebut bukan Menteri Keuangan, sebagaimana terkutip sebagai berikut :

Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:

“Penitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.”

Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

27. Bahwa dengan demikian jelas bahwa diberlakukannya Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut berarti telah membatasi, menghilangkan dan bahkan merampas hak setiap orang yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih untuk mendaftarkan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap suatu perusahaan asuransi, termasuk pendaftaran oleh Konsumen Asuransi;

28. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka diskriminasi hak yang mencabut atau membatasi hak seseorang, termasuk konsumen asuransi untuk mendaftarkan permohonan pailit atau PKPU terhadap perusahaan asuransi telah merugikan hak konstitusional mereka untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana yang dilindungi oleh Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

29. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas jelas bahwa Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya sangat berdasarkan hukum apabila Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut DIBATALKAN.

(18)

Berdasarkan hal-hal yang telah PEMOHON kemukakan di atas, maka dengan ini PEMOHON memohon kepada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat untuk memeriksa permohonan aquo dan berkenan untuk memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Menyatakan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang BATAL dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

5. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang BATAL dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Atau

Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, PEMOHON mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat kami,

Kuasa Hukum PEMOHON/

YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN ASURANSI INDONESIA (YLKAI)

SONY RENDRA WICAKSANA, SH., LLM.

Terima kasih.

9. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Baiklah, setelah mendengar substansi permohonan dari para Kuasa Pemohon, dengan ini Panelis akan memberikan nasihat, saran-saran guna meminta kejelasan. Saudara kuasa Pemohon, sebagaimana menurut hukum nasihat yang diberikan, kejelasan yang diminta ini belum mencerminkan pendapat daripada Panelis, juga dalam kaitan memberikan nasihat, tetapi nasihat ini walaupun tidak mengikat janganlah hendaknya diperlakukan seperti Quran tua dibaca tidak, dibuang sayang, diperhatikan. Saudara setelah saya, Hakim Konstitusi Yang Berhormat lainnya akan saya berikan kesempatan, tapi setelah saya mengikuti uraian permohonan Saudara, maka pada halaman 10 nanti dicatat, dicatat saja dulu halaman 10, halaman 12, halaman 14, halaman 16, dan halaman 17 berkenaan dengan amar.

(19)

Saudara Kuasa Pemohon, memohonkan pembatalan kepada Mahkamah Konstitusi, batal. Hal yang dimaksud di luar kewenangan dari Mahkamah Konstitusi, kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum, bukan membatalkan, sehingga dianjurkan perbaikan untuk menghilangkan kata batal. Saudara Kuasa Hukum sebagai Ahli Hukum, tentu mengetahui terdapat perbedaan prinsipil antara pengertian batal, nietig (dapat dibatalkan), vernietigbaar (batal demi hukum), nietig van rechtwege dengan pengertian tidak mengikat secara hukum, bij de effectstellen kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan tidak mengikat secara hukum, kata batal itu dihilangkan, ini saran dari Panelis. Kemudian, Saudara catat halaman 13, pada halaman 13 permohonan Saudara, juga Saudara memohonkan, agar supaya Mahkamah Konstitusi mengujinya, bahwa beberapa pasal itu bertentangan dengan Pancasila, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menguji suatu undang-undang atas dasar Pancasila. Yang kedua, menguji karena bertentangan dengan TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat, itu bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.

kemudian misalnya undang-undang yang Saudara mohonkan pengujian itu dipandang bertentangan dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia, itu juga bukan kewenangan. Jadi tolong dicatat Saudara. Ya, baiklah sebentar akan kami tanyakan lagi yang lain, tapi pertama-tama kami memohon, kami meminta Hakim Konstitusi Yang Berhormat untuk juga mengajukan saran-saran kita ini. Kami mulai dengan Jenderal Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi Yang Berhormat, sebelah kanan. Saya selalu sebelah kiri.

Silakan.

10. HAKIM ACHMAD ROESTANDI, S. H

Terima kasih Bapak Ketua.

Saudara Pemohon, walaupun telah ada putusan dari pengadilan yang memberikan standing kepada Saudara selaku yayasan untuk beracara atau mengajukan gugatan, tapi satu hal di dalam Mahkamah Konstitusi ini sangat terbatas yang bisa mengajukan gugatan itu. Jadi sebagaimana yang telah disebutkan oleh Saudara sendiri dalam halaman 7, di sini disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia, yang dalam penjelasan disebut kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, (b) kesatuan masyarakat hukum adat dan seterusnya,

(c) badan hukum publik ataupun privat di lembaga negara. Di sini saya ingin menegaskan, apakah yayasan Saudara itu telah merupakan suatu badan hukum atau tidak? Ini perlu dijelaskan. Oleh karena di sini Saudara Pemohon menyebutkan dalam kapasitas sebagai badan hukum. Apakah telah merupakan badan hukum? Oleh karena ada yayasan yang belum berstatus badan hukum. Kelihatan di sini apa yang disampaikan dalam bukti-bukti itu baru pencatatan, baru pemberitahuan, dan lain-lain. Tapi belum terlihat bahwa yayasan Saudara adalah bukan merupakan badan hukum.

Seandainya, ini nasehat saya, belum berbadan hukum bukan berarti Saudara tidak boleh beracara. Tetapi lebih baik menggunakan kapasitas

(20)

sebagai perorangan warga negara Indonesia. Jadi silakan nanti dipertimbangkan, apakah dua-duanya atau salah satu, barangkali yang lebih aman kalau disebut, baik sebagai perorangan maupun sebagai badan hukum privat. Itu nasehat saya. Saya rasa cukup.

Terima kasih.

11. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Terima kasih.

Selanjutnya saya persilakan Hakim Konstitusi Bapak I Dewa Gede Palguna, S.H. M.H. Yang Berhormat.

Terima kasih.

12. HAKIM I DEWA GEDE PALGUNA, S. H

Terima kasih Bapak Ketua.

Saya kira Saudara Pemohon, sebenarnya permohonan sudah sistematis, tinggal nanti menjelaskan apa yang disebutkan, dinasehatkan oleh Bapak Ketua maupun oleh Bapak Hakim Anggota Bapak Achmad Roestandi. Saya ingin mungkin melakukan perbaikan istilah. Jadi kalau istilahnya bukan istilah hak uji tapi pengujian. Karena kalau hak uji tidak bisa diuji lagi. Bahwa Saudara mempunyai hak untuk melakukan pengujian, itu yang kita gunakan pengujian yang bisa mencakup, baik pengujian formil maupun materiil. Toetsing. Itu mengenai istilah.

Kemudian Saudara, hal yang ingin saya tegaskan juga walaupun saya sudah mengatakan ini cukup sistematis, tetapi begini berkaitan dengan standing tadi yang disamapaikan juga oleh Bapak Hakim Anggota Bapak Achmad Roestandi, yaitu dengan kedudukan Saudara sebagai apakah sudah berbadan hukum atau tidak? Itu masalahnya begini, karena Pasal 51 itu sebenarnya logikanya adalah yang mempunyai standing adalah pihak yang merasa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Bagaimana untuk mengetahui Saudara dirugikan atau tidak? Adalah tentu dari kualifikasinya. Kalau masyarakat hukum adat tentu beda hak konstitusionalnya dengan perorangan. Kalau badan hukum tentu juga ada perbedaan dengan masyarakat hukum adat dan dengan lembaga negara misalnya. Kalau perorangan tentu tidak mempunyai kewenangan, tapi dia mempunyai hak. Itu yang perlu dijelaskan saya kira nanti di dalam permohonan. Maka itu mengapa tadi juga ditegaskan oleh Bapak Hakim yang lain.

Kemudian juga saya ingin meminta klarifikasi Saudara dari permohonan ini di halaman 11 butir 16 bahwa dengan adanya kewenangan untuk mengajukan upaya hukum dengan permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang hanya ada pada Menteri Keuangan tersebut berarti telah membatasi dan menghalangi hak setiap orang ataupun konsumen asuransi untuk mendapatkan keadilan kepada lembaga yudikatif, exist to justice. Demikian pula hak untuk mendapatkan proses peradilan oleh pengadilan yang mandiri, yang merdeka, bebas dari invesi dari campur tangan lembaga

(21)

eksekutif sebagaimana dimaksud Pasal 24 juncto Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dan seterusnya. Jadi yang dimaksud di sini, apakah benar pemahaman saya terhadap pernyataan Saudara, bahwa dengan hanya diberikannya hak itu kepada Menteri Keuangan lalu Saudara mengartikan bahwa itu sebagai suatu bentuk campur tangan eksekutif kepada yudikatif. Apakah begitu? Maksudnya apakah demikian, benar begitu?

13. PEMOHON (LUCAS)

Hilangnya kewenangan. Jadi eksekutif sudah mengambil alih urusan-urusan yudikatif, dalam arti orang atau YLKI tidak bisa langsung membawa perkara itu di muka pengadilan.

14. HAKIM I DEWA GEDE PALGUNA, S. H

Jadi konteksnya bukan campur tangan eksekutif terhadap lembaga pengadilan, begitu? Bukan itu maksudnya?

15. PEMOHON (LUCAS)

Sebenarnya di dalam paragraf ini ada dua pengertian, Pak Hakim. Pertama, tentunya dihalang-halanginya konsumen langsung kepada pengadilan karena harus melalui Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan yang harus nantinya mensortir, melihat apakah ini patut atau tidak diajukan ke pengadilan. Dan di sinipun kalau misalnya Menteri Keuangan melakukan ini, juga akan memberikan satu presser atau satu hal yang mungkin pengadilan itu merasa harus mengabulkan itu. Karena mengingat posisi Menteri Keuangan yang mengawasi kegiatan asuransi di Indonesia. Sebenarnya hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha itu murni perdata dan kalau sampai Menteri Keuangan campur tangan, ini dikuatirkan dapat memberikan pengaruh kepada pengambilan keputusan di lembaga pengadilan. Jadi memang minimal ada dua pengertian yang ingin kami sampaikan melalui paragraf itu, Pak.

16. HAKIM I DEWA GEDE PALGUNA, S. H

Jadi yang satunya pengertian itu bisa dianggap sebagai semacam obstruction of justice? Jadi menghalangi karena Menteri Keuangan mengambil alih yang seharusnya Saudara dalilkan menjadi hak konsumen, begitu? Di lain pihak, Saudara beranggapan kalau Menteri Keuangan itu juga bisa jadi presser? Jadi begitu maksudnya dari angka 16 ini.

17. PEMOHON (LUCAS)

Ya. Jadi kalau misalnya Menteri Keuangan akan melakukan itu tentunya akan semacam preasure dan kalau dia tidak melakukan pun itu mempunyai efek sebaliknya Pak yaitu bahwa tidak perlu memohonkan pailit terhadap perusahaan asuransi itu.

(22)

18. HAKIM I DEWA GEDE PALGUNA, S. H

Baiklah. Itu sudah kalau demikian. Saya menganggap itu sudah clear karena memang yang Saudara maksudkan begitu, tapi kalau memang itu pengertian yang Saudara maksud kalau bisa dirumuskan dengan tambahan, sehingga menjadi persis seperti yang Saudara maksudkan, dipersilakan untuk memperbaiki itu. Sehingga tidak timbul pengertian yang berbeda, terutama karena kami harus melaporkan hasil pemeriksaan Panel ini kepada Pleno 9 Hakim Konsititusi tentu saja.

Lalu barangkali tentu juga Saudara harus perhatikan karena saya juga melihat karena tampaknya juga Saudara menggunakan, kalau tidak salah Pasal 27 dari Undang-Undang Dasar dalam rangka mendukung dalil Saudara Pemohon, kalau tidak salah ya, mengenai itu. Harap juga Saudara pikirkan, bukan berarti kami ini melarang Saudara untuk menggunakan itu, tapi cobalah Saudara timbang-timbang apakah memang dalil itu tepat untuk digunakan? Karena Pasal 27 itu kalau kita lihat dari babnya dalam Undang-Undang Dasar itu mengatur mengenai warga negara. Sedangkan kalau hal ini yang Saudara maksudkan dalam berkaitan dengan HAM, maka itu tidak di sana tempatnya tapi pada bab berikutnya dari setelah itu. Itu bisa Saudara pertimbangkan mungkin kemanfaatannya yang mana yang lebih tepat dan sebagainya, tetapi tentu saja kami tidak mempunyai kewenangan apa-apa untuk memaksa Saudara menghapuskan atau tidak, tapi silakan saja, yang penting Saudara kalau memang itu mau dipakai argumentasinya harus ditambah atau harus dikurangi, itu terserah kepada Saudara. Itu memang tidak perlu sama sekali mungkin difokuskan kepada persoalan HAM yang Saudara dalilkan sebagai hak konstitusional umpamanya. Silakan.

Terima kasih Pak Ketua.

19. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Terima kasih Bapak Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H. Kemudian Panel ingin menayakan kepada Kuasa Pemohon, apakah Saudara telah mengajukan bukti-bukti surat? Kami ingin mencocokkan pada hari ini.

20. PEMOHON (LUCAS)

Sudah. Daftar bukti ada. Bukti-bukti surat sudah kami ajukan, sudah terdaftar.

21. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

(23)

22. PEMOHON (LUCAS)

Dari bukti P1 A, P1 B, P2, P3, P4, P5, P6. Itu sudah kami sampaikan.

23. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Kami akan tanyakan dulu, cocokkan Saudara, ya. Berkas yang ada pada Panelis. Pertama-tama bukti P1 A yaitu Akta Berita Acara Rapat yang dibuat oleh Notaris Bambang Wiweko, S.H. pada tanggal 27 Februari 2002, benar itu?

24. PEMOHON (LUCAS)

Benar.

25. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Kemudian bukti P1 B juga dibuat oleh Notaris Bambang Wiweko, S.H, M.H. yaitu Akta Pernyataan Keputusan Badan Pendiri Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia tanggal 16 Juni 2004. Apakah benar itu?

26. PEMOHON (LUCAS)

Benar.

27. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Sebelum kami lanjutkan, kami ingin menanyakan bagaimana cara Saudara memperoleh kedua bukti ini?

28. PEMOHON (LUCAS)

Terima kasih Majelis.

Kami dapatkan langsung dari Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia.

29. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Jadi secara sah, ya?

KETUK 1X

(24)

30. PEMOHON (LUCAS)

Secara sah.

31. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Karena adanya hubungan secara langsung antara kuasa dengan klien. Baik.

Bukti P2, Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia, tanggal 5 Novenber 2001, benar itu?

32. PEMOHON (LUCAS)

Benar.

33. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Bagaimana Saudara mendapatkan? Sama dengan tadi?

34. PEMOHON (LUCAS)

Juga dengan cara yang sama.

35. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Kemudian bukti P3, surat berjudul, berkertas kepala Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Dinas Perindustrian dan Pengadaan. Tanda Daftar Perlindungan Konsumen atas nama Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia, tanggal 29 Oktober 2004. Apakah benar?

36. PEMOHON (LUCAS)

Benar.

37.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Bagaimana Saudara mendapatkan?

KETUK 1X

(25)

38. PEMOHON (LUCAS)

Dengan cara yang sama.

39. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Kemudian bukti P4, bukti surat berjudul Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia, The Foundation of Indonesian Insurance Consumers bertanggal, apakah benar ini?

40. PEMOHON (LUCAS)

Ya.

41.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Bagaimana Saudara Kuasa mendapatkannya?

42. PEMOHON (LUCAS)

Sama dengan yang tadi.

43.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Bagaimana cara mendapatkannya?

44. PEMOHON (LUCAS)

Juga dari klien, Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia.

45. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Kemudian bukti P5, Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia melawan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, Menteri Keuangan Republik Indonesia. Apakah benar ini?

46. PEMOHON (LUCAS)

Benar.

47.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Bagaimana Saudara mendapatkan?

(26)

48. PEMOHON (LUCAS)

Juga diberikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia. 49.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Baik. Kemudian bukti P6, Pusdok YLKI yaitu paper kliping, dari harian mana ini Saudara dapatkan? Penting ini. The Investor Day, tanggal 25 September 2004 bertajuk, ”YLKI Minta Menteri Keuangan Pailitkan Asuransi Berstatus PKU”.

50. PEMOHON (LUCAS)

Kami dapatkan juga dari Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia.

51.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

”YLKI Desak Menkeu Cabut Izin 11 Asurador Terkena PKU”, itu juga ya?

52. PEMOHON (LUCAS)

Ya, benar.

53.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Kemudian, ”Pemerintah Tidak Tegas Mengatur Asuransi”, ini juga ya?

54. PEMOHON (LUCAS)

Ya, benar.

55.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Jadi inilah keseluruhan bukti-bukti surat yang Saudara ajukan pada saat ini.

56. PEMOHON (LUCAS)

Sementara.

57.KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H. KETUK 1X

(27)

Sementara ini. Dengan ini bukti-bukti surat yang Saudara ajukan mulai dari bukti P1A sampai dengan bukti P6 dinyatakan sah.

58.HAKIM I DEWA GEDE PALGUNA, SH

Saudara Pemohon, apakah Saudara belum atau memang lupa untuk mengajukan undang-undang yang Saudara persoalkan sendiri sebagai salah satu alat bukti atau bagaimana?

59. PEMOHON (LUCAS)

Terima kasih Bapak Majelis Hakim.

Jadi sebenarnya kami akan mengajukan, tapi kami berpikir bahwa itu sebagai referensi karena itu adalah undang-undang, tapi kalau memang ketentuannya harus mengajukan bukti kami akan ajukan pada sidang berikutnya.

60. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Karena ini memang sebagai referensi, tetapi kalau misalnya Saudara dapat menyiapkan itu bisa sebaiknya supaya merupakan satu kesatuan dengan permohonan. Jadi kiranya diajukan sebanyak 12.

61. PEMOHON (LUCAS)

12 eksemplar buku undang-undang? Ya, kami akan ajukan.

62. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Bisa juga aslinya dibutuhkan di toko buku juga ada, bisa juga foto kopi.

63. PEMOHON (LUCAS)

Kami mohon diberikan kesempatan untuk ajukan pada sidang berikutnya.

64. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Saudara, sesuai Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Saudara diberi waktu 14 hari sejak sekarang ini untuk mengadakan perbaikan, apabila hal dimaksud dipandang perlu, cuma sekali lagi penegasan tadi saya tadi, nasehat-nasehat kejelasan-kejelasan yang diminta oleh Para Hakim itu sekalipun tidak mengikat jangan diperlakukan sebagai Qur’an tua dibaca tidak di buang sayang terima kasih.

(28)

Ada lagi yang bakal diajukan, dikemukakan?

65. PEMOHON (LUCAS)

Sebelumnya kami sampaikan terima kasih kami akan memperhatikan nasehat-nasehat dari Majelis Hakim yang kami hormati. Perlu juga kami sampaikan bahwa sebenarnya Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi yang kami wakili ini adalah suatu badan hukum itu demikian berdasarkan dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 yang khususnya di Pasal 71 Pasal peralihan, yang mana Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi ini anggaran dasarnya telah didaftarkan di pengadilan negeri dan juga telah mempunyai izin beroperasi dari instansi terkait dan diberikan kesempatan 3 tahun sejak diundangkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 untuk diberikan penyesuaian anggaran dasar untuk disahkan ke Departemen Kehakiman. Oleh karena itu saran-saran juga dari Majelis Hakim yang terhormat menyangkut kata-kata istilah batal, kata-kata istilah pengujian materil kami akan sempurnakan, kami mohon diberikan waktu dalam jangka waktu 14 hari kami akan ajukan bersama-sama dengan bukti-bukti tambahan.

Terima kasih.

66. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Jadi menurut Saudara yayasan, ini sudah Pemohon itu sudah berstatus yayasan, sudah ya?

67. PEMOHON (LUCAS)

Ya sudah berbadan hukum privat.

68. KETUA Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Baik,

Baiklah, saya kira Sidang Panel pada siang hari ini kami nyatakan sudah selesai dan akan dilanjutkan dengan sidang lain dalam waktu yang kami tentukan kemudian.

Terima kasih.

KETUK 3X

(29)

Referensi

Dokumen terkait

Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang ditandai dengan Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang ditandai dengan suatu

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Berdasarkan hasil análisis data diperoleh kesimpulan bahwa minat belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 1 Uluiwoi

Alasan penulis memilih film animasi (kartun) sebagai objek penelitian ini karena penulis tertarik untuk mengetahui jenis dan fungsi kesopanan apa saja yang terdapat dan

Metode yang digunakan dalam penyusunan Tafsir al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI ini adalah metode tematik, atau dikenal juga dengan istilah maudhu’i..

Berdasarkan literatur, pelarut yang bersifat tidak terlalu polar juga dapat digunakan untuk membersihkan lendir pada permukaan daging lidah buaya Maksudnya agar tidak banyak

Lahan pasang surut tipe luapan C merupakan lahan suboptimal dan sangat berpotensi dalam pengembangan tanaman kedelai, namun lahan pasang surut mempunyai kendala

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran ICM dengan pendekatan problem posing berbantuan software MATLAB memiliki