• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN TANAH HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN TERLANTAR DI JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN TANAH HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN TERLANTAR DI JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN

TANAH HAK GUNA USAHA (HGU)

PERKEBUNAN TERLANTAR

DI JAWA TENGAH

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan kepada

Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Untuk memenuhi salah satu syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh :

TJAHJO SURJONO SIGIT NIM: 100070036

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

(2)
(3)

PENERTIBAN DAN PEMANFAATAN

TANAH HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN TERLANTAR DI JAWA TENGAH

oleh :

TJAHJO SURJONO SIGIT Dosen Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Magelang

Abstrak

Penelantaran tanah baik di kota, di desa maupun di lahan pertanian / perkebunan selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, kendala-kendala yang ada dan model (penyelesaian masalah) penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah PT.UFI ( Pemegang HGU Perkebunan Kandangan, Kabupaten Semarang), PT. Pawana (Pemegang HGU Perkebunan Susukan , Kabupaten Kendal), Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah.Metode yang digunakan dalam penelitian adalah mengenai : jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, sumber data, dan teknis analisa data. Hasil penelitian mengenai pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di Jawa Tengah adalah tidak optimal. Kendala-kendala dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar adalah adanya kontradiksi normatif, perbedaan persepsi tentang pengertian “tanah terlantar”, adanya pengecualian objek penertiban dan adanya sengketa atau penjarahan tanah. Model pengaturan untuk menyelesaikan atau mengatasi kendala tersebut adalah: a. Menetapkan undang-undang no. 18 tahun 2004 sebagai dasar pelaksanaan penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar (supaya tidak terjadi kontradiksi normatif); b. Mensosialisasikan kepada para pelaksana penertiban tentang asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan penggunaan tanah (supaya tidak terjadi perbedaan persepsi tentang pengertian “tanah terlantar”) ; c. Merevisi atau mencabut Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 (supaya tidak ada lagi pengecualian objek penertiban tanah terlantar), dan d. Perlu segera dibentuk Peradilan Pertanahan untuk mengatasi sengketa pertanahan.

(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Penelantaran tanah baik di kota , di desa maupun di lahan pertanian/ perkebunan selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis juga merupakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.

Penelantaran tanah juga menghambat pencapaian tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional.

Negara memberikan hak atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengolahan tidak lain untuk dipergunakan, dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatif. Dengan demikian pencegahan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional terutama di bidang agraria. Berkenaan dengan usaha perkebunan, masalah lahan/ tanah sangat erat hubungannya dengan perkembangan perkebunan, karena perkebunan membutuhkan lahan/ areal tanah yang sangat luas.

Berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan bermasalah untuk wilayah Jawa Tengah, ada beberapa perkebunan yang demikian kurang

(5)

mengoptimalkan pemanfaatan atau ijin usahanya, sehingga dapat dikategorikan sebagai tanah HGU-Perkebunan yang diterlantarkan.

Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, menjadi harapan bila tanah terlantar yang ada di Indonesia dapat ditertibkan untuk dimanfaatkan dan didayagunakan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini sesuai seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pengertian “dikuasi” oleh negara tersebut bukan berarti negara memiliki bumi dan air dan kekayaan alam tersebut di atas, tetapi negara mengatur peruntukan, penggunaan, pemeliharaan dari persediaan bumi , air dan kekayaan tersebut untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia (seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 UUPA)

Rumusan Masalah

Dengan adanya masalah tersebut di atas, rumusan masalah adalah bagaimana pelaksanaan aturan mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di Jawa Tengah, kendala-kendala apa yang ditemui dalam pelaksanakan penertiban., serta model/ cara menyelesaikan atau mengatasi kendala-kendala tersebut.

Tujuan

Tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan PP No. 11 Tahun 2010 di Jawa Tengah khususnya dan di Indonesia umumnya

(6)

Tempat dan Subjek Penelitian

Penelitian mengenai pelaksanaan PP No.11 Tahun 2010 dilakukan di perkebunan Kandangan Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang dan perkebunan Susukan , Kabupaten Kendal, dengan subyek penelitiannya adalah PT. Sanzibar atau PT.UFI, PT. Pawana, Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang, Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Tengah.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, wawancara dan peninjauan/studi lapangan. Analisis data dilakukan dengan menghubungkan data lapangan dengan unsur teori atau ketentuan hukum untuk memperoleh fakta pendukung, fakta penghambat dalam pelaksanaan aturan penertiban dan pendayagunaan tanah HGU perkebunan terlantar dalam kaitannya dengan fungsi sosial hak atas tanah, kemudian ditarik kesimpulan yurudisnya termasuk model pengaturannya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pelaksanaan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Jawa Tengan (khususnya di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal ternyata tidak optimal). Yang menjadi keprihatinan penulis (peneliti) bahwa hasil identifikasi panitia dapat memperoleh atau mengungkap data/fakta kondisi riil tanah HGU perkebunan di daerahnya, tetapi belum dapat dilaksanakan tindakan penertiban karena memang berdasarkan mekanisme yang ada Kanwil BPN hanya sebatas mengusulkan kepada Kepala

(7)

BPN RI untuk menetapkan tanah yang bersengketa sebagai tanah terlantar untuk selanjutnya dilakukan penghapusan hak atas HGU-nya dan tanah HGU tersebut menjadi dikuasi oleh Negara. Sampai sekarang upaya penertiban tanah terlantar yang dilakukan belum sampai mencapai adanya kepastian hukum dalam arti adanya tindakan yuridis berupa penetapan adanya tanah terlantar yang kemudian itu dipakai sebagai dasar tindakan pembatalan hak atas tanah (HGU) perkebunan sehingga hak atas tanah menjadi hapus dan dalam kekuasaan Negara. Disamping adanya pelaksanaan penertiban yang tidak optimal, juga terdapat beberapa kendala-kendala. Kendala-kendala tersebut akan kami bahas pada berikut ini :

a. Adanya Kontradiksi Normatif (Kendala Yuridis)

Isi materi pengaturan HGU yang diatur dalam peraturan-peraturan yang ada sudah seimbang secara vertical, tetapi terjadi kekosongan hukum untuk mengatur secara khusus HGU Perkebunan.

Undang-Undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dalam pertimbangannya tidak mengacu pada UUPA khususnya pasal-pasal tentang HGU. Disinilah terdapat kontradiksi antara UUPA dengan Undang-Undang Perkebunan, seolah-olah antara UUPA dengan UU Perkebunan terlepas tidak ada hubungan satu sama lain.

Untuk menganalisis keberadaan peraturan perundang-undangan yang sederajat ini tentu saja kita gunakan asas hukum yaitu ketentuan yang khusus mengalahkan ketentuan yang umum (lex specialis derogat lex

generalis). Dengan demikian UUPA akan dikalahkan oleh UU

(8)

akan mengalahkan ketentuan yang lama (lex posteriori derogat lex priori), maka yang wajib digunakan adalah UU Perkebunan, karena UU Perkebunan lahir pada tahun 2004 sedangkan UUPA lahir tahun 1960. Selain dari hal-hal di atas, UU Perkebunan sama sekali tidak mengatur perolehan hak atas tanah HGU untuk usaha perkebunan yang diatur hanyalah pengelolaan perkebunan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kontradiksi normatif secara horizontal.

b. Adanya perbedaan persepsi tentang pengertian “tanah terlantar”

Dalam pasal 34 UUPA tentang hapusnya HGU disebutkan bahwa salah satu penyebab hapusnya HGU adalah karena diterlantarkan. Unsur dan kriteria dari HGU terlantar antara lain adalah adanya subyek pemegang hak atas tanah, ada objek hak, ada perbuatan yang disengaja membuat HGU terlantar yaitu pengusahaan tanah tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan.

Dalam melakukan identifikasi terhadap terlantar, penyamaan persepsi diantara petugas lapangan merupakan suatu hal yang mutlak harus ada agar tidak mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu para pelaksana penertiban wajib memahami asas-asas hukum termasuk asas hukum tanah terlantar. Perbedaan persepsi antara Dinas Perkebunan dengan Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah yang berkaitan dengan masalah tanah (HGU) terlantar dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

(9)

PERSEPSI TENTANG PENGERTIAN “TANAH TERLANTAR”

Menurut Dinas Perkebunan :

- Tanaman Perkebunan diatas tanah HGU yang tidak dipelihara dengan baik sesuai dengan pembinaan/ teknis pertanian/ perkebunan

- Tidak produktif

- Ganti tanaman perkebunan tidak masalah (dengan cara konversi).

Menurut Kanwil Pertanahan:

- Tanah HGU yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya

- Tanaman di atas tanah HGU harus sesuai dengan permohonan/ keputusan pemberian haknya.

(kalau tanaman perkebunan tidak sesuai keputusan pemberian haknya dianggap menelantarkan tanah HGU nya)

c. Adanya pengecualian objek penertiban TANAH HGU

PERKEBUNAN TERLANTAR

(10)

Dalam pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 menyebutkan mengenai tanah yang menjadi objek penertiban yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengolahan atau yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan , atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Sedang yang dikecualikan (tidak menjadi objek penertiban) adalah tanah-tanah Pemerintah/ Negara yang sudah berstatus maupun belum berstatus sebagai Barang Milik Negara/ Daerah yang dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal tersebut di atas sangat disesalkan karena akibatnya tidak semua tanah terlantar dapat ditertibkan. Pengecualian ini dapat menjadi kerikil tajam. Kita memahami bahwa salah satu sumber utama ketimpangan kemiskinan dan konflik, bahkan kerusakan ekologis tanah adalah adanya penguasaan tanah dalam skala luas disertai penelantaran di dalamnya oleh BUMN/BUMD yang mengelola sektor kehutanan, perkebunan dan sebagainya.

Dalam praktek nanti, tanah-tanah yang terbukti dengan sengaja diterlantarkan dan atau dapat menyebabkan ketimpangan, konflik dan kerusakan lingkungan harus dapat dijadikan sebagai objek penertiban tanah terlantar, sekaligus sebagai objek reforma agraria yang diperuntukkan bagi kepentingan rakyat miskin.

(11)

Atas hal tersebut di atas, pasal 3 PP No. 11 tahun 2010 perlu ditinjau kembali atau dicabut sehingga tanah-tanah BUMN/BUMD yang diterlantarkan dapat ditertibkan dan didayagunakan

(12)

OBJEK PENERTIBAN TANAH TERLANTAR

Tanah yang sudah diberikan hak oleh negara, berupa:

TANAH TERLANTAR MASUK OBJEK PENERTIBAN TIDAK MASUK OBJEK PENERTIBAN 1. Hak Milik (HM)

2. Hak Guna Usaha (HGU) 3. Hak Guna Bangunan (HGB) 4. Hak Pakai

5. Hak Pengelolaan (HPL)

6. Tanah yang telah memperoleh dasar penguasaan

1. Tanah Hak Milik 2. Tanah Hak Guna

Bangunan

Tanah yang dikuasi Pemerintah Yang belum berstatus

Yang sudah berstatus: Barang Milik Negara/ Daerah

Langsung maupun tidak langsung yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya Yang tidak diusahakan atau

tidak digunakan sesuai dengan keadaanya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaanya.

Milik perseorangan yang secara tidak sengaja

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

(13)

d. Adanya sengketa/penjarahan tanah

Sengketa pertanahan di perkebunan Susukan persoalannya adalah kepemilikan rakyat atas tanah sama tidak jelasnya dengan bukti yuridis kepemilikan institusi Negara yang mengklaim memiliki hak atas tanah tersebut. Tanah yang dipersengketakan biasanya berasal dari asset/ HGU perkebunan yang dulu dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda atau perusahaan besar (Hak Erfpacht) sebelum kemerdekaan yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah atau perusahaan Negara. Sementara instansi yang ditugasi mengelola tidak segera mengkonversi kepemilikannya sesuai hukum, padahal rakyat karena kebutuhan konkritnya memanfaatkan tanah itu, yang faktanya sering terbengkelai.

Pada sisi masyarakat , selain karena desakan kebutuhan secara ekonomi, juga karena keterbatasan pemahamannya secara hukum dan kemampuan finansiilnya menyebabkan pengurusan hak atas tanahnya berlarut-larut. Pada sisi institusi Negara dengan mengandalkan posisi power formalnya juga sering teledor menyelesaikan posisi legal dari kepemilikan tanahnya. Dengan demikian bibit konflik yang secara laten akan terus muncul dari waktu ke waktu, ditambah ada kesalahpahaman mengenai posisi tanah termasuk posisi Negara terhadap tanah. Untuk menyelesaikan sengketa tanah HGU Perkebunan ini dapat ditempuh secara formal (litigasi) maupun non formal (non litigasi). Tetapi dalam proses melalui litigasi biasanya menyebabkan orang enggan serta malas menyelesaikan sengketa tanah perkebunan di pengadilan. Menghadapi situasi itulah kemudian perlu

(14)

dicari bentuk penyelesaian sengketa tanah perkebunan di luar pengadilan (non ligitasi) yaitu dengan cara Alternatif Dispute Resolution (ADR). Di bawah ini kami tampilkan bagan perbandingan penyelesaian sengketa melalui ligitasi dengan non ligitasi.

(15)

PENYEBAB KONFLIK/SENGKETA

TANAH HGU PERKEBUNAN TERLANTAR

Data Materiil:

Menguasai lahan berdasar sejarah kepemilikan

(bukti tak tertulis)

Dasar penguasaan tanah

Data Formil :

Surat Keputusan Pemberian Hak

(bukti tertulis) Kenyataaan menguasai secara fisik Alat Bukti

Kepemilikan

sertifikat hak atas tanah (HGU)

Hukum Adat

(Hukum tak tertulis)

Dasar Hukum Peraturan perundang-undangan (HUkum tertulis/ UUPA)

Memperoleh hak milik secara adat, mewarisi turun temurun

Dasar hukum kepemilikan hak

Surat Keputusan pemberian hak dari yang berwenang

RAKYAT

Merasa berhak memiliki

PEMEGANG HGU Merasa/ berhak menguasai

(16)

LITIGASI Formal

NON LITIGASI Non formal

1. Kaku / kurang fleksibel

2. Hanya memperhatikan aspek yuridis saja (tanpa

memperhatikan aspek

sosiologis, psikologis dan religious)

3. Proses peradilan lambat dan berbelit

4. Tidak komunikatif antara hakim dan pihak-pihak (para pihak dianggap sebagai objek)

5. Kebenaran dan keadilan diukur dari pendapat dan keyakinan hakim

6. Hakim hanya memperhatikan

teks hukum tanpa

memperhatikan kesadaran hukum para pihak

7. Kebanyakan perkara perdata dimintakan banding/ kasasi (menunjukkan tidak ada kepuasan pihak-pihak atas putusan hakim).

1. Fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak

2. Melibatkan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa

3. Memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan 4. Meperhatikan aspek sosiologis,

psikologis dan religious

5. Dapat ditemukan win-win solution pihak-pihak yang bersengketa.

6. Memperhatikan subyek-subyek yang bersengketa

7. Keputusan masyarakat hukum adat tidak ada perlawanan banding

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH HGU PERKEBUNAN

(17)

KESIMPULAN

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah dan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pelaksanaan penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar tidak optimal karena tidak efektif (belum dapat dilaksanakan tindakan penertiban karena memang berdasarkan mekanisme yang ada semua petugas dan pejabat di tingkat provinsi hanya sebatas mengusulkan kepada pihak yang lebih tinggi yaitu kepada Kepala BPN RI, untuk selanjutnya dilakukan tindakan menetapkan adanya tanah terlantar.

Kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar karena adanya : (a) Kontradiksi normative antara UUPA dengan UU Perkebunan. (b) Pengecualian objek penertiban tanah terlantar yang diatur dalam Pasal 3 PP No.11 tahun 2010 perlu ditinjau kembali untuk segera dicabut karena tidak sesuai dengan asas pemanfaatan dan asas fungsi sosial hak atas tanah. (c) Untuk mempercepat proses penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar, Ka Kanwil BPN perlu diberi kewenangan dapat menetapkan tanah HGU Perkebunan yang diterlantarkan sebagai tanah “terlantar” dan berstatus sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara. Untuk selanjutnya digunakan untuk kepentingan reformasi agraria. (d) Untuk mengatasi sengketa tanah antara masyarakat dengan pemegang HGU perkebunan paling baik adalah menggunakan model non litigasi (menyelesaikan di luar pengadilan formal) yaitu yang dikenal dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR)

(18)

Saran

Untuk Pemerintah /BPN

Agar penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar dapat berjalan secara efektif dan dapat mengatasi problem-problem pertanahan perlu segera langkah-langkah strategis :

- Pertama , perlu aturan yang lebih operasional untuk memperjelas tanah-tanah yang dapat segera diproses dan dinyatakan sebagai tanah-tanah terlantar. - Kedua, perlu kooordinasi efektif instansi/ aparat BPN dengan Pemda yang

lebih dekat serta punya kewenangan yang relatif lebih luas di era otonomi daerah

- Ke tiga, perlu dukungan politik yang kuat dari parlemen pusat maupun daerah melalui anggaran (APBN/D)

- Ke empat, perlu kejujuran, ketegasan dan konsistensi aparatur pelaksana dengan menghindari kolusi dengan pihak penelantar tanah (HGU) perkebunan.

- Ke lima, tanah-tanah yang terbukti diterlantarkan yang menyebabkan ketimpangan dan konflik, dapat dijadikan objek penertiban tanah terlantar sekaligus jadi objek reforma agraria yang diperuntukkan bagi kepentingan rakyat miskin.

- Ke enam, Pelaksanaan PP No 11 Tahun 2010 harus bisa menyumbang pada penanganan dan penyelesaian konflik/ sengketa pertanahan.

- Ke tujuh, para pelaksana PP ini (BPN) dapat bersifat amanah, konsisten dan tegas dalam memenuhi kepentingan rakyat kecil atas tanah.

(19)

- Ke delapan Pemerintah / Negara perlu segera menghapus HGU dari bui Indonesia dengan alas an:

a. HGU tidak berdasar pada Hukum Adat

b. HGU tidak sesuai dengan filosofi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 c. HGU memberi peluang dan dinikmati oleh kapitalis

- Ke Sembilan, untuk menghapus HGU dengan cara: a. Tidak mengabulkan permohonan baru HGU

b. Jangka waktu HGU yang sudah ada tidak perlu diperpanjang

c. Tanah HGU yang secara fisik terbukti terlantar baik sengaja maupun tidak sengaja perlu segera dicabut haknya.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Absori, 2006, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Surakarta,

Muhammadiyah Universty Press.

Erwin Muhammad, 2008, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Kebijaksanaan

Pembangunan Lingkungan Hidup). Cetakan I, Bandung, Rafika

Aditama.

Erwiningsih Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Cetakan I, Yogyakarta, Total Media.

Harsono Boedi, 1999, Sejarah Pembentukan Hukum Agraria, Isi dan

Pelaksanaannya, Jilid I. Hukum Tanah Nasional, Jakarta,

Jambatan, Cetakan VIII, Edisi REvisi.

Hidayat Komaruddin, 2006, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat

Madani Edisi Revisi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Marzuki Peter Muhammad, 2010. Penelitian Hukum, Cetakan I, Jakarta, Kencana, Cetakan ke 6.

Mu’adi Sholih, 2010, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan, Cetakan I, Jakarta, Prestasi Pustakaria.

Nonet Philippe dan Philippe Selznick, 2007. Hukum Responsif, Cetakan I, Bandung, Nusamedia.

Pranjoto Eddy, 2007. Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas

Tanah. Bandung. CV. Utama.

Rahardjo Satjipto, 2006, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Jakarta, Uki Press. Rahardjo Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, Cetakan

II.

Rahardjo Satjipto, 2009, Negara Hukum (yang Membahagiakan Rakyatnya), Cetakan II, Yogyakarta, Genta Publishing.

Santoso Urip, 2006, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Kencana

Santoso Urip, 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta. Kencana.

Soemardjono Maria, 2008, Mediasi Sengeketa Tanah. Cetakan II, Kompas Media Nusantara.

(21)

Soeradja Irawan, 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Catatan I Surabaya, Arloka.

Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Cetakan I Jakarta, Prestasi Pustaka.

Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Cetakan I, Jakarta, Sinar Grafika.

Umam Khotibul,2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Yustisia

Wulandari Dewi, 2010. Hukum Adat Indonesia, Catatan I Bandung, Rafika Aditama.

Peraturan perundang-undangan :

Himpunan Peraturan tentang Pertanahan (Agraria) Tahun 2010, Jakarta, CV Tameta Utama

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan merupakan faktor yang sangat penting pengaruhnya pada motivasi karyawan, hal ini dapat memberikan dorongan terhadap karyawan agar dapat berkerja memenuhi

Berbalik kepada kajian yang berkaitan dengan orang asli semelai, kebanyakan pengkaji lebih memfokuskan kepada adat resam dan kepercayaan masyarakat orang asli tersebut.Malah amat

Masa Baligh adalah sebuah fase baru dalam kehidupan setiap muslim yang harus dihadapi oleh mereka dengan bekal karakter kemandirian yang memadahi, dan karakter kemandirian ini

Ke depan, kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2014 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan di bidang

Sensor Suhu DS18B20 Handcuff Sensor Tekanan MPX5050DP Arduino Uno R3 Pin Digital (8) Arduino Pin Analog (0) Arduino Fuzzy Tingkat Stres Tampil LCD Perhitungan Tekanan Darah Dan

Yang dimaksud dengan “satu bangunan Rumah Susun dalam satu Tanah Bersama” adalah satu bangunan Rumah Susun yang terdiri atas Rumah Susun Umum dan Rumah

Dari berbagai kekurangan dan kendala yang ada pada siklus I, maka pada siklus II akan dilakukan upaya sebagai berikut: (1) guru dalam menyampaikan materi harus jelas, saat

1) Nilai-Nilai yang Dianut Bersama Nilai bersama digambarkan sebagai nilai-nilai yang dianut bersama yang mengacu kepada cita-cita dan tujuan bersama. Intinya, nilai bersama