• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI Bovine rotavirus PADA FESES ANAK SAPI DARI BEBERAPA DAERAH DI JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN UJI AGLUTINASI LATEKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKSI Bovine rotavirus PADA FESES ANAK SAPI DARI BEBERAPA DAERAH DI JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN UJI AGLUTINASI LATEKS"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI Bovine rotavirus PADA FESES ANAK SAPI DARI

BEBERAPA DAERAH DI JAWA BARAT DENGAN

MENGGUNAKAN UJI AGLUTINASI LATEKS

(Detection of Bovine rotavirus in Faeces of Young Calves from Various Areas

in West Java by Using Latex Agglutination Test)

MUHARAM SAEPULLOH danINDRAWATI SENDOW Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRACT

Bovine rotavirus is the major agent causing acute diarrhoea and death in neonatal calf. To study the existence of rotavirus in young calves, calf’s faeces samples were taken from calves that showed respiratory symptoms such as coughing, nasal discharge, sneeze and digestive problem like diarrhoea, and also normal animal as well. Faeces samples were collected from various ages less than 1 month till 3 years old of young calves obtained from smallholder farmers in West Java area. A total of 194 of samples have been collected and detectied to find rotavirus using latex agglutination test. Samples from Pangalengan sub-district 13% (13/100) were rotavirus positive. From 13 young calves which were rotavirus infected, 14.29% occurred in age of < 1 to 3 months; 5,71% of 3.5 to 6 months; and 33,33% of 6.5 to 9 months. While faeces samples from Sumedang district 25.80% (8/31) expressed of rotavirus positive and the highest percentage was group of ages 3.5 to 6 months reach 40% (2/5). In contrast, rotavirus was not detected from 36 faeces samples from Lembang district and 23 faeces samples from Sukabumi district. These results indicated that the bovine

rotavirus have been detected in young calves in smallholder farmer areas and occurred commonly in young calves under 9 months old.

Key Words: Bovine rotavirus, Latex Agglutination, Diarrhoea, Young Calves, Faeces

ABSTRAK

Bovine rotavirus merupakan agen utama penyebab penyakit diare akut yang dapat menimbulkan kematian pada anak sapi yang baru lahir. Untuk mengetahui keberadaan virus rota pada anak sapi, maka dilakukan upaya deteksi terhadap agen infeksius yang terdapat pada sampel faeses anak sapi baik yang memperlihatkan gejala klinis pernafasan seperti batuk, ingusan dan bersin maupun gangguan pencernaan seperti diare, juga diambil sampel dari hewan yang normal. Sampel faeses diambil dari sapi mulai dari umur kurang 1 bulan hingga umur 3 tahun yang dilakukan di peternakan sapi rakyat di daerah Jawa Barat. Sebanyak 194 sampel feses anak sapi telah dikoleksi, dan berdasarkan deteksi virus rota dengan menggunakan aglutinasi lateks menunjukkan bahwa sampel asal Kecamatan Pangalengan 13% (13/100) dinyatakan positip virus rota. Dari ke-13 anak sapi yang terinfeksi rotavirus ternyata 14,29% terjadi pada anak sapi umur < 1 – 3 bulan, 5,71% umur 3,5 – 6 bulan, dan 33,33% umur 6,5 – 9 bulan. Sedangkan sampel feses asal Kabupaten Sumedang 25,80% (8/31) dinyatakan positip virus rota dan prosentasi terbanyak yaitu pada kelompok umur 3,5 – 6 bulan yang mencapai 40% (2/5). Sementara itu, dari 36 sampel faeses asal Lembang dan 23 sampel faeses asal Kabupaten Sukabumi tidak satupun terdeteksi virus rota. Hasil deteksi tersebut menunjukkan bahwa bovine rotavirus telah terdeteksi pada anak sapi di peternakan sapi rakyat dan pada umumnya menyerang anak sapi di bawah umur 9 bulan.

Kata Kunci:Bovine rotavirus, Aglutinasi Lateks, Diare, Anak Sapi, Feses

PENDAHULUAN

Dalam rangka upaya meningkatkan produksi susu nasional, pemerintah telah

meningkatkan populasi sapi perah diantaranya melalui program impor sapi perah betina dari Australia yang dimulai sejak tahun 1979. Kebijakan mengimpor sapi perah tersebut

(2)

Sementara itu dalam pengembangan usaha peternakan sapi perah perlu memperhatikan kesehatan dan pola tatausaha peternakan sapi perah. Berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi dari peternak sapi perah sering dilaporkan kematian pada anak sapi usia muda (umur < 5 bulan) dalam masa perawatan. SOEHADJI (1995) melaporkan bahwa angka kematian pada anak sapi mencapai 15%, dengan gejala klinis yang umum ditemukan berupa gangguan pencernaan dan pernapasan.

Gangguan pencernaan pada anak sapi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme patogen, baik virus maupun bakteri. Salah satu kelompok virus yang dapat menyebabkan gangguan penceranaan dan bahkan kematian pada anak sapi yaitu disebabkan oleh rotavirus Group A termasuk kedalam famili Reoviridae (LUCCHELLI et al, 1992; SATO et al., 1997). Infeksi rotavirus yang berkaitan dengan enteritis dan diare telah banyak dilaporkan terjadi pada berbagai macam spesies termasuk manusia (balita), anak sapi, anak babi, anak domba, kelinci, rusa, antelops, kucing, dan kalkun (FLEWETT and WOODE, 1978; MCNULTY, 1978; MCNULTY et al, 1978a; JONES et al., 1979; SNOGRASS et al., 1979). Gejala-gejala klinis dapat dilihat pada anak sapi yang terserang infeksi virus ini antara lain berupa depresi, tidak mau makan, diare berat dengan tinja encer berwarna kuning kehijauan (TZIPORI, 1980).

Di Indonesia kasus diare maupun kematian pada sapi yang disebabkan oleh rotavirus belum pernah dilaporkan, sehingga sangat sulit untuk memperoleh informasi seputar keberadaan rotavirus pada sapi. Sementara itu, MENZIES et al. (1994) melaporkan kejadian di Northern Ireland bahwa setiap tahun tingkat kematian anak sapi umur < 1 bulan (18,5%), umur 1 – 5 bulan (22,3%) dan umur < 1 tahun (0,4%), dan setelah didiagnosa ternyata terdapat 3.200 anak sapi positip terinfeksi rotavirus. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui keberadaan rotavirus pada sapi perah dengan upaya pendeteksian rotavirus menggunakan teknik aglutinasi lateks. Sehingga data tersebut dapat digunakan sebagai data dasar (baseline data) status kesehatan anak sapi dan mengembangkan pola penanggulangannya di masa yang akan datang.

MATERI DAN METODA Koleksi sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa feses anak sapi perah umur antara < 1 bulan hingga 1 tahun. Sebanyak 194 sampel feses telah dikoleksi, dan sampel feses tersebut berasal dari peternakan sapi rakyat di beberapa daerah di Jawa Barat yaitu Kecamatan Pangalengan (100 sampel), Kabupaten Sumedang (31 sampel), Kecamatan Lembang (36 sampel) dan Kabupaten Sukabumi (23 sampel). Sampel diambil baik dari anak sapi yang sehat maupun yang menderita diare sebanyak ± 20 gram per ekor sapi. Sampel disimpan pada suhu -20°C sebelum dilakukan pengujian.

Uji aglutinasi lateks

Pemeriksaan rotavirus pada sampel feses dilakukan dengan menggunakan kit Latex Agglutination (Microtrade lot No. 179125) dengan prosedur kerja sebagai berikut: Sampel feses yang diambil dari -20°C disimpan pada suhu kamar terlebih dahulu. Setelah melunak sebanyak 0,2 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung 10 ml kemudian diekstraksi dengan menggunakan larutan dapar yang tersedia dalam kit. Sampel dicampur hingga homogen dengan menggunakan vortek. Biarkan pada suhu kamar selama 10 menit. Disentrifugasi 800 x g selama 10 menit, kemudian supernatan diambil dengan droper dan diteteskan sebanyak satu tetes pada kolom lempeng uji (kolom 1). Untuk kontrol positip, teteskan 1 tetes bovine rotavirus antigen pada kolom kontrol positip (kolom 2), dan untuk kontrol negatip teteskan 1 tetes kontrol negatip pada kolom kontrol negatip (kolom3). Kemudian diteteskan 1 tetes antisera monoklonal antibodi terhadap bovine rotavirus (latex test reagent) pada masing-masing kolom. Dengan menggunakan stik, aduk campuran tersebut kemudian goyangkan lempeng uji selama 2 menit dan amati adanya aglutinasi yang berwarna putih.

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil deteksi rotavirus pada sampel feses anak sapi perah dan gejala klinis yang mengarah pada penyakit gangguan pencernaan ditampilkan pada Tabel 1. Telah dilakukan deteksi rotavirus dengan uji aglutinasi lateks terhadap 149 sampel feses anak sapi perah yang berasal dari 4 lokasi peternakan sapi rakyat di wilayah Jawa Barat, yaitu Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang dan Kecamatan Lembang. Hasil deteksi menunjukkan bahwa 100 sampel feses asal Kecamatan Pangalengan 13% (13/100) anak sapi di peternakan tersebut positip mengandung rotavirus. Salah satu sampel feses anak sapi yang positip rotavirus diperlihatkan pada Gambar 1. Walaupun tidak terdapat kematian dari anak sapi tersebut, akan tetapi 18% (18/100) dari anak sapi di peternakan tersebut memiliki gejala klinis yang mengarah ke penyakit gangguan pencernaan seperti diare, kekurusan dan anorexia. Selain itu, rupanya umur sapi pun sangat berpengaruh terhadap tingkat kerentanan penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota. Hal tersebut telah terbukti bahwa dari 13% yang positip virus rota ternyata 33,33% (3/9) terjadi pada anak sapi umur 6,5 – 9 bulan; 14,29 (8/56) pada anak sapi umur <1 – 3 bulan dan terakhir yaitu 5,71% (2/35) terjadi pada anak sapi umur 3,5 – 6 bulan. Sedangkan pada anak sapi diatas umur 9,5 bulan tidak terdeteksi adanya rotavirus.

Gambar 1. Deteksi virus rota dari sampel feses dengan uji aglutinasi lateks

Bintik putih pada gambar A dan B menunjukkan adanya aglutinasi

A = Kontrol positip Bovine Rotavirus Antigen B = Sampel faeses asal anak sapi # 59 C = Kontrol negatip

Dari hasil deteksi di atas dapat dikatakan

merupakan kelompok anak sapi yang mudah terserang rotavirus. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh KHAN dan KHAN (1991) bahwa kematian akibat infeksi rotavirus pada anak sapi dibawah umur 9 bulan di dunia mencapai 84%. Selanjutnya NEUVONEN et al. (1982) melaporkan pula kejadian infeksi rotavirus pada anak sapi dibawah umur 1 tahun mencapai prevalensi sebesar 93,7%. Sementara itu, dari sampel yang diperoleh dari Pangalengan menunjukkan bahwa tidak satupun pada anak sapi diatas umur 9 bulan terdeteksi rotavirus.

Demikian pula halnya dengan sampel yang diambil dari Kabupaten Sumedang (Tabel 1). Dari 31 sampel feses anak sapi ternyata 25,8% (8/31) dinyatakan positip rotavirus dengan uji aglutinasi lateks dan hanya 6,5%(2/31) anak sapi yang menunjukkan gejala klinis mengarah ke penyakit gangguan pencernaan. Adapun dari 25,8% yang positip rotavirus, ternyata persentase infeksi virus rota terbesar terdeteksi pada kelompok umur 3,5 – 6 bulan yaitu 40% (2/5), < 1 bulan 28,57% (2/7) dan 1 – 3 bulan 21,05% (4/19). Dari hasil deteksi positip rotavirus di kedua lokasi (Pangalengan dan Sumedang) tersebut dapat dijadikan acuan untuk kegiatan penelitian yang memfokuskan pada isolasi virus yaitu pengambilan sampel feses pada anak sapi dibawah umur 9 bulan merupakan suatu langkah yang tepat dalam upaya memperoleh isolat rotavirus asal sapi.

Untuk membuktikan bahwa pada anak sapi umur di atas 9,5 bulan jarang sekali ditemukan rotavirus, maka dilakukan pengambilan sampel feses sapi dari Penampungan sapi di Kabupaten Sukabumi. Sapi-sapi di lokasi ini berasal dari berbagai daerah yaitu Kupang, Sumbawa, NTB, Jawa Timur, dan Pare-Pare dan baru 2 minggu berada di lokasi ini. Hasil deteksi rotavirus terhadap sampel feses menunjukkan bahwa dari 23 ekor anak sapi umur 3 – 4 tahun, semuanya dinyatakan negatip terhadap rotavirus (Tabel 1). Walaupun hasil deteksi rotavirus negatip, akan tetapi dari 23 ekor anak sapi yang dikoleksi terdapat 13,63% (3/23) yang memperlihatkan gejala klinis mengarah ke penyakit gangguan pencernaan seperti diare. Gejala klinis yang tampak ini kemungkinan besar memang bukan disebabkan oleh rotavirus, tapi mungkin oleh virus lain seperti BVD, Corona, atau kelompok bakteri dan

(4)

Tabel 1. Hasil deteksi virus rota pada feses anak sapi dengan menggunakan uji Agglutinasi Lateks

Jumlah Kelompok umur

(bulan)

Lokasi Sampel yang diuji Positip virus Rota Diare, kurus, Anorexia Kematian Kec. Pangalengan < 1 – 3 56 8 (14,29%) 11 (19,64%) 0 3,5 – 6 35 2 (5,71%) 4 (11,43%) - 6,5 – 9 9 3 (33,33%) 3 (33,33%) 0 9,5 – 12 - - - - > 1 tahun - - - - Sub Total 100 13 (13%) 18 (18%) 0 Kab. Sukabumi < 1 – 3 - - - - 3,5 – 6 - - - - 6,5 – 9 1 - - 1 9,5 – 12 - - - > 1 tahun 22 - 3 (13,63%) - Sub Total 23 - 3 (13,63%) 1 (4,34%) Kab. Sumedang < 1 7 2 (28,57%) 1 – 3 19 4 (21,05%) 1 (25%) 3,5 – 6 5 2 (40%) 1 (20%) Sub Total 31 8 (25,80%) 2 (6,5%) 0 Kec. Lembang < 1 2 - 1 – 4 8 - 1 (12,5%) 4,5 – 8 18 - 2 (11,11) 8,5 – 12 12 - Sub Total 40 - 3 (7,5%) 0 Total 194 10,82% (21/194) 13,40% (26/194) 0,5% (1/194)

Beberapa peneliti pernah melaporkan bahwa kasus diare pada sapi dapat disebakan oleh corona virus (STAIR et al., 1972), Escherichia coli enteropatogenik (BARRANDEGUY et al., 1988), Clostridium perfringens tipe A, B, C, D (WILLIAMSON, 2003), Salmonela dan Cryptosporidium (JONES dan HUNT, 1983), parasit T. vitulorum (HOLLAND et al., 2000) dan kemungkinan pula disebabkan karena immunodefisiensi (KHAN dan KHAN, 1991). Demikian pula halnya dengan sampel feses asal Lembang. Dari 40 sampel yang diuji, tidak satupun sampel

terdeteksi positip rotavirus, padahal sampel tersebut berasal dari anak sapi umur mulai < 1 bulan hingga umur 1 tahun dan sekitar 7,5% (3/40) menderita gejala klinis diare. Dengan diperoleh hasil deteksi yang negatip terhadap rotavirus pada anak sapi umur < 1 bulan hingga 4 tahun yang diperoleh dari Kabupaten Sukabumi dan Lembang, maka tanggapan selama ini bahwa rotavirus sangat mudah ditemukan pada setiap ternak sapi diberbagai umur adalah kurang tepat, walaupun rotavirus bersifat komensalisme pada mamalia. SATO et al. (1997) menyatakan bahwa rotavirus hanya

(5)

dapat terdeteksi pada sapi dewasa bila telah tampak gejala klinis seperti diare dan pada saat fase klinis akut, akan tetapi tidak dalam keadaan telah sembuh. Sementara itu, TZIPORI (1980) melaporkan bahwa berdasarkan penelitan pada hewan coba, maka gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi rotavirus yaitu terjadi setelah 1 – 4 hari masa inkubasi dan antibodi terhadap rotavirus akan terdeteksi antara 4 – 7 hari setelah timbulnya gejala klinis seperti depresi, diare, muntah (pada babi), dehidrasi, tampak kurus, dan kematian.

Keberadaan bovine rotavirus di Indonesia belum pernah dilaporkan, dan hasil ini merupakan kasus yang pertama kali dilaporkan tentang keberadaan rotavirus sebagai penyebab diare pada anak sapi di Jawa Barat. Selama ini, kasus diare sering dikaitkan dengan keberadaan Bovine Viral Diarrhea (BVD) yang dapat menyebabkan gejala klinis yang sama yaitu diare. Kemungkinan kurang informasi akan adanya penyakit diare pada sapi yang disebabkan oleh rotavirus karena menganggap bahwa rotavirus kurang berbahaya bila dibandingkan dengan BVD. Padahal kejadian infeksi virus ini pada anak sapi dibawah umur 1 tahun yang pernah dilaporkan oleh NEUVONEN et al. (1982) yaitu terjadi di Finlandia yang mencapai prevalensi sebesar 93,7%. Selain itu, Secara epidemiologi keberadaan rotavirus pada ternak domestik telah terbukti dapat menyebabkan permasalahan yang sangat serius bagi kesehatan manusia, karena rotavirus asal hewan banyak terdeteksi di manusia. Salah satunya yaitu Bovine rotavirus serotipe G8 pernah terdeteksi pada feses anak-anak (Balita) yang menderita diare di Finlandia, Italia (GERNAet al., 1990), Australia, Afrika Utara, United Kingdom (STEELE et al., 1999), dan Indonesia (MATSUNO et al., 1985). Deteksi rotavirus pada sapi dengan memanfaatkan teknik aglutinasi lateks sangat berguna sekali selain cepat, murah, dan tidak memerlukan keahlian khusus serta peralatan yang mahal juga memiliki sensitifitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan elektron mikroskop (SANEKATA et al., 1979; SANEKATA et al., 1990) sehingga teknik ini dapat dipakai untuk pengujian rutin dalam mendeteksi rotavirus asal sampel feses. YOUSIF et al. (2001) melaporkan bahwa aglutinasi lateks memiliki

dibandingkan dengan Uji ELISA. Oleh karenanya, pada penelitian yang akan datang teknik ini akan dikembangkan dengan menggunakan isolat lokal, sehingga ketergantungan akan kit aglutinasi lateks dapat diatasi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sampel feses asal anak sapi perah umur kurang 1 bulan hingga umur lebih dari 1 tahun di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Sumedang maka diperoleh gambaran bahwa pada anak sapi tersebut telah terinfeksi penyakit yang dapat mengganggu pencernaan yang disebabkan oleh bovine rotvirus. Kelompok anak sapi pada umur kurang dari 9 bulan seringkali terjangkit oleh rotavirus.

SARAN

Dengan terdeteksi agen penyakit yang dapat menyebabkan gangguan dan bahkan dapat menimbulkan kematian pada anak sapi, maka dengan informasi tersebut, peternak harus lebih meningkatkan sanitasi peternakan mereka. Hal tersebut dikarenakan, dengan menjaga kebersihan kandang, juga memandikan hewan peliharaan secara rutin, dapat meminimalkan terjangkitnya penyakit yang disebabkan rotavirus. Dengan terpeliharanya kesehatan ternak, maka perkembangan peternakan di Indonesia akan maju lebih pesat. Selain itu dengan terdeteksinya rotavirus pada anak sapi di wilayah Jawa Barat, maka diperlukan strategi untuk pengendalian penyakit tersebut yaitu dengan cara pembuatan vaksin yang berasal dari isolat lokal.

UCAPAN TERIMAKSIH

Penelitian ini dibiayai oleh Proyek APBN TA. 2005. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Drh. Adin Priadi, Drh. Lily Natalia, MS., Drh. Sawitri Endah Estuningsih, MSc., Drh. Tolibin Iskandar, MS, dan Drh. Darmono, MSc. atas partisipasinya dalam pengkoleksian sampel

(6)

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada saudara Pudji Kurniadi dan Suprianta atas bantuan teknisnya baik di lapang maupun di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

BARRANDEGUY, M.E., E.M. CORANAGLIA, M.M. GOTTASCHALK,N.FITJMAN,M.I.PASINI,A.G. YAFAL, J.R. PARRAND and A.A. SCHUDEL. 1988. Rotavirus, enterotoxigenic Escherichia coli and other agents in the faeces of dairy calves with and without diarrhea. Rev Lat America Microbiol. 30: 239 – 245.

FLEWET, T.H. and G.N. WOODE. 1978. The rotavirus. Arch. Virol. 57: 1 – 23.

GERNA, G.A., A. SCRAISISI, L. ZENHLIN, A. DIMATTEO, P. MIRANDO, A. PAREA, M. BATAGLIA and G. MILANESE. 1999. Isolation in Europe of 69M-like (serotype 8) human rotavirus strains with either subgroup I or II specificity and a long RNA electropherotype.

Arch Virol. 112: 27 – 40.

HOLLAND, W.G.,T.T.LUONG, L.A. NGUYEN, T.T. DO and J. VERCRUYSEE. 2000. The epidemiology of nematode and fluke infections in cattle in the Red River Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93: 141 – 147. JONES R.C., C.S.HUGHES and R.P. HENRY. 1979.

Rotavirus infection in commercial laying hens.

Vet. Rec. 104: 22.

JONES, R.C. and R.D. HUNT. 1983. Veterinary Pathology 5th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia, PA 19106, USA. pp. 120 – 135. KHAN, A. and M.Z. KHAN. 1991. Aetiology of

neonatal calf mortality. J. Islamic Acad. Sci.

4(2): 159 – 165.

LUCCHELLI, A., S.E. LANCE, P.B. BARLETT, G.Y. MILLER and L.J. SAIF. 1992. Prevalence of bovine group A rota virus sheeding among diary calves in Ohio. Am. J. Vet. Res. 53: 169 – 174.

MATSUNO,S.,A.HASEGAWA,A.MUKOYAMA and S. INOUYE. 1985. A candidate for a new serotype of human rotavirus. J. Virol. 54: 623 – 624. MCNULTY,M.S. 1978. Rotavirus. J. Gen. Virol. 40:

1 – 18.

MCNULTY, M.S., G.M. ALLAN and J.C. STUART. 1978. Rotavirus infection in avian species.

Vet. Rec., 103: 319 – 320.

MENZIES, F.D.,D.G.BRYSON and T.MCCALLION. 1994. Finding from a bovine mortality survey carried out in Northern Ireland during 1992. p. 27.

NEUVONEN E.,P.VEIJLAINEN,E.K.SARKKINEN and C. KOMMONEN. 1982. Rotavirus as causal agent in neonatal calf diarrhea i Finland. Vet. Bull. 52: 3877.

SANEKATA,T.,K.TANIGUCHI,M.DEMURA and K. FUJINAGA. 1990. Detection of adenovirus type 41 in stool samples by latex agglutination methods. J. Immunol. Methods. 127: 235 – 239.

SANEKATA, T., Y. YOSHIDA and K. ODA. 1979. Detection of rotavirus from faeces by reverse passive agglutination methods. Clin. Pathol. 32: 963.

SANEKATA,T., Y.YOSHIDA and K.OKADA. 1981. Detection of rotavirus from faeces by latex agglutination. J. Immunol. Methods. 41: 377 – 385.

SATO,M.,N.TOYOKO,T.KAZUHIKO,E.KAZUHIKO, A.HIROOMI and N.OSAMU. 1997. Isolation of serotype G8, P[1] bovine rotavrus from adul cattle with diarrhea. J. Clin. Microbiol. 35(5): 1266 – 1268.

SNOGRASS,D.R.,K.W.ANGUS and E.W.GAY. 1979. A rotavirus from kittens. Vet. Rec. 104: 222 – 223.

SOEHADJI. 1995. Reorientasi pembangunan peternakan dalam rangka mengantisipasi era globalisasi. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, 7 – 8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor.

STAIR, S.L., M.B. RHODES, R.G.WHITE and C.A. MEBUS. 1972. Neonatal calf diarrhea: Purification and electron microscopy of coronavirus-like agent. Am. J. Vet. Res. 33: 1147 – 1156.

STEELE,A.A.,S.P.PARKER,I.PEENZE,C.T.PAGER, M.B. TAYLOR and W.D. CUBITT. 1999. Comparative studies of human rotavirus serotype G8 strains recovered in South Africa and United Kingdom. J. Gen. Virol. 80: 3027 – 3034.

TZIPORI,S. 1980. Rota virus infection. SCA Animal Health Committee. Sub Committee of Principal Laboratory Officers. The Australia Bureau of Animal Health. pp. 1 – 9.

WILLIAMSON, L. 2003. Large animal digestive system: young ruminant diarrhea. http//lam. vet.uga.edu/LAM/LM 000154 HTML YOUSIF,Y.A.,A.JOE,C.B.CINDY,B.ADRIAN,M.

MARGARET, A. KIMBERLY and K. SANJAY. 2001. Evaluation of latex agglutination for detection of bovine rotavirus in fecal samples.

Gambar

Gambar 1.  Deteksi virus rota dari sampel feses  dengan uji aglutinasi lateks  Bintik putih pada gambar A dan B menunjukkan  adanya aglutinasi
Tabel 1. Hasil deteksi virus rota pada feses anak sapi dengan menggunakan uji Agglutinasi Lateks  Jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Faktor penghambat penanaman empat pilar kebangsaan kepada peserta didik yang mengukur pengaruh faktor penghambat penanaman empat

Banda Aceh secara bedaya guna dan berhasjtguna, maka dipandang perlu membentukAsislen Sekretaris Kotamadya/ Daerah Tingkal ll Banda Aceh dengan merubah

Penelitian yang dilakukan Dian Agustia 2017 dengan judul Pengaruh Struktur Kepemilikan Dan Dewan Komisaris Terhadap Corporate Social Responsibility Dan Reaksi

Penyusunan seri Buku Saku Status Merkuri pada Sektor Pertambangan Emas Skala Kecil di Indonesia ini merupakan kali pertama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku

Penduga parameter distribusi generalized Weibull dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum mempunyai sifat ketakbiasan yang diperoleh untuk parameter ( , , ) mempunyai bias

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Course Review Horay (CRH) Terhadap Keaktifan Belajar Dan Hasil Belajar Matematika Pada Materi Aritmatika Sosial Bagi Siswa

Namun, pasien manula lebih memiliki masalah yang berkaitan dengan usia seperti ginjal, hati, atau jantung, yang mungkin membutuhkan peringatan dan pengaturan dosis pada  pasien

Otonomi daerah, dalam hal ini desa merupakan momentum penting untuk melakukan penataan secara menyeluruh terhadap pemerintahan desa. Dimana desa yang merupakan salah satu