• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang sering kali terdengar dari masa ke masa sebagai ungkapan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang sering kali terdengar dari masa ke masa sebagai ungkapan yang"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Generasi muda adalah generasi harapan bangsa. Itulah kata – kata yang sering kali terdengar dari masa ke masa sebagai ungkapan yang mencerminkan betapa besarnya harapan yang diinginkan dari generasi muda sebagai keberlangsungan dan keberhasilan masa depan bangsa. Pernyataan tersebut sebenarnya mengandung beberapa konsekwensi dan banyak hal yang harus dipenuhi agar dapat sesuai dengan harapan diantaranya adalah pendidikan yang baik dan kesehatan yang baik pula. Pendidikan adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan kualitas seseorang dan kesehatan adalah modal dan kekuatan dari apa yang akan dilakukan.

Remaja sebagai bagian generasi muda adalah fase dimana mulai beranjak dari masa anak-anak menuju dewasa sehingga sering disebut sebagai masa transisi. Kehidupan dan psikologi remaja menjadi kondisi yang menarik untuk diperhatikan dan layak mendapat perhatian khususnya remaja di kota – kota besar seperti Jakarta, Bandung dan kota lainya.

Selama satu dekade terakhir ini, masalah narkoba semakin mengkhawatirkan. Semakin banyak orang, terutama remaja yang akhirnya menjadi korban dari penyalahgunaan Drugs. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah masalah lingkungan, pergaulan,

(2)

2

pencarian jati diri hingga pelarian. Keadaan ini menjadi semakin mengkhawatirkan saat Heroin/Putaw menjadi tren, dan banyak yang penggunaannya menggunakan jarum suntik (IDUs). Ditambah pula budaya yang ada dalam komunitas pecandu narkoba – saling bertukaran jarum suntik (Sharing Neddle) dan prilaku seks bebas. Hal ini yang menyebabkan penyebaran virus semakin meningkat. Semakin banyak pecandu narkoba sudah terinfeksi HIV/AIDS – HCV (Hepatitis C).

Ada fenomena yang sangat menghawatirkan pada remaja di Bandung dan sekitarnya saat ini, yaitu banyaknya penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja SLTP, SLTA, remaja putus sekolah serta kelompok pengangguran. Hal tersebut menjadi faktor penyebab semakin meningkatnya penyebaran HIV/AIDS – HCV , disamping prilaku beresiko lainnya.

Di Jawa Barat pada Desember tahun 2004 kasus Narkoba mencapai jumlah 29.805. Kasus narkoba di Bandung dan sekitarnya mencapai jumlah 24.000 kasus. Diprediksikan jumlah kasus narkoba di Bandung dan daerah sekitarnya terus bertambah sebab persebaran titik rawan semakin meluas di Bandung.

Pada tahun 1999 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di wilayah Bandung adalah 13 kasus infeksi HIV dan 11 kasus AIDS. Tahun 2001, kasus infeksi HIV bertambah menjadi 44 kasus dan 17 kasus AIDS. Tahun 2002 kasus terinfeksi HIV berjumlah 197 kasus dan 18 kasus AIDS. Tahun 2005 terdapat 503 kasus terinfeksi HIV dan 137 kasus AIDS,

(3)

3

Seperti telah diketahui dark number dengan 1/10 ( artinya 1 yang terlihat, 10 yang tak terlihat ), atau yang juga biasa disebut fenomena gunung es. Berdasarkan data kasus HIV/AIDS, diestimasikan jumlah kasus HIV/AIDS dan penyalahgunaan Narkoba di Bandung dan daerah sekitarnya bertambah 300% tiap tahunnya.

Minimnya pengetahuan tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS – HCV menjadi potensi bagi seseorang untuk menjadi penyalahguna narkoba dan melakukan perilaku beresiko yang menyebabkan terinfeksi virus HIV/AIDS – HCV. Oleh karena itu sebagai langkah antisipative terhadap kemungkinan – kemungkinan seperti tersebut di atas, perlu kiranya bagi remaja untuk mengetahui lebih dalam tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS – HCV sebagai pengetahuan dan langkah pereventif bagi diri dan lingkungan sekitarnya agar tidak terjebak dalam masalah tersebut.

Upaya dalam meningkatkan hal di atas salah satunya dapat dilakukan dengan pendidikan atau pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS.

Seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional, sebagaimana dijelaskan dalam Undang - undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, sebagai berikut :

Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan., kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarkatan dan kebangsaan.

(4)

4

Berhasil tidaknya pembangunan nasional dipengaruhi oleh baik tidaknya mutu sumber daya manusia yang menjadi pelaksananya. Dalam hal ini menunjukan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam mencetak manusia yang bermutu yang dapat melangsungkan kehidupan bangsa di masa depan.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No.20/2003 pasal 1 ayat 1).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 yang tertuang dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dalam hal ini, istilah pendidikan nonformal dan pendidikan luar sekolah adalah sama. Seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah dinyatakan bahwa Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah yang tidak sama seperti subtansi sistem persekolahan baik dilembagakan maupun tidak.

Pendidikan nonformal dapat dilakukan kapan saja, tanpa batas ruang dan waktu, sehingga hal tersebut membuat pendidikan nonformal sangat mungkin disajikan dalam bentuk yang beragam, termasuk dalam bentuk pelatihan. Pendidikan Luar Sekolah sebagai salah satu sub sistem pendidikan Nasional merupakan kegiatan yang diselengggarakan di luar jalur sistem pendidikan persekolah, yang bertujuan untuk memberikan

(5)

5

kesempatan kepada masyarakat yang ingin mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui berbagai kegiatan, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 2 tahun 1989 pasal 9 (3) sebagai berikut: “Satuan Pendidikan Luar Sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, pelatihan dan satuan pendidikan yang sejenis” (1989:11).

Adapun tujuan pendidikan luar sekolah, sebagaimana dikemukakan oleh Djudju Sudjana (1988:40), adalah sebagai berikut:

... Mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.

Selain itu untuk melengkapi tujuan di atas, seperti yang dikemukan dalam (Bambang Sarwoko, 1989:34), sebagai berikut:

1. Mengembangkan sikap dan kepribadian bangsa Indonesia demi terwujudnya manusia Indonesia yang berpancasila, yang memiliki kesadaran terhadap tehadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kesadaran bermasyarakat, mempunyai pengetahuan, kecakapan dan keterampilan, mempunyai sikap berkarya serta mampu membudayakan alam sekitarnya (Era Pembangunan, 25 tahun 1973:123).

2. Mengembangkan Sumber Daya Manusia, baik daya fisiknya, daya fikirnya, daya cipta, rasa dan karsanya, daya budi dan daya karyanya. (Sanafiah Faisal, 1981:29)

3. Mengembangkan secara selaras serasi dan seimbang kecerdasan, sikap dan keterampilan dalam upaya meningkatkan mutu taraf hidup masyarakat , bangsa dan negara (Harsja W. Bahtiar, 1985:10).

(6)

6

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa satuan Pendidikan Luar Sekolah itu sangat beragam, selain itu yang dimaksud dengan satuan pendidikan yang sejenis adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga, departemen-departemen, kelompok generasi muda, dan sebagainya. Kegiatannya dapat berupa penataran, penyegaran, pengembangan bakat dan kemampuan yang menekankan pada pengembangan keterampilan (skill development), lokakarya, pemagangan, penyuluhan, latihan, seminar, dakwah dan programnya yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu.

Perkembangan bentuk-bentuk Pendidikan Luar Sekolah di masyarakat akan terus bertambah seiring dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi di masyarakat. Salah satu prinsip utama Pendidikan Luar Sekolah adalah adalah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang diperuntukan untuk semua (Education for All). Hal tersebut didasari oleh asumsi bahwa peningkatan sumber daya manusia sebagai penggerak pembangunan perlu diupayakan secara berkesinambungan sesuai dengan permasalahan dan tingkat kebutuhan warga belajar.

Seperti halnya yang sebagaimana tadi dijelaskan di awal tentang permasalahan-permasalahan remaja yang saat ini sangat memerlukan jalan keluarnya. Dan salah satu cara dari berbagai cara yaitu salah satunya dengan pelatihan peer educator atau pendidik sebaya. Dengan pelatihan

(7)

7

pendidik sebaya itu diharapakan remaja dapat mempunyai pengetahuan dan mempunyai langkah preventif bagi diri dan lingkungan sekitarnya khususnya lingkungan remaja sendiri yang rentan terhadap masalah-masalah tersebut. Karena biasanya remaja akan lebih masuk jika diberikan pendapat oleh teman sebayanya dibandingkan yang lainnya seperti guru, orang tua atau yang lainnya.

Diharapkan remaja yang telah mendapatkan pelatihan akan dapat menularkannya kepada teman sebayanya yang memerlukan atau kurang tahu tentang informasi tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS.

25 Messengers Jawa Barat adalah sebuah organisasi yang memiliki konsentrasi program dalam masalah sosial kemasyarakatan, khususnya masalah narkoba dan HIV/AIDS – HCV. Anggota 25 messengers Jawa Barat yang terdiri dari aktivis – aktivis dari berbagai macam LSM dan Ormas ini telah mengikuti pelatihan pelatih sebaya muda (TOT) untuk masalah narkoba dan HIV/AIDS – HCV yang diselenggarakan oleh UNICEF Indonesia – Yakita di Ciawi Bogor selama 1 (satu) bulan. Dengan latar belakang pelatihan yang diselenggarakan oleh UNICEF Indonesia – Yakita di Ciawi Bogor ini, sehingga membekali 25 Messengers Jawa Barat pengetahuan tentang adiksi (narkoba) dan HIV/AIDS – HCV.

Salah satu bentuk kegiatan yang diadakan oleh 25 Messengers adalah melaksanakan Program Pelatihan Peer Educator atau pendidikan bagi sebaya muda mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang berbasis

(8)

8

komunitas. Program ini dirancang berdasarkan beberapa alasan yang merupakan hasil pengamatan, pemikiran dan kenyataan yang ada dalam masyarakat, bahwa permasalah yang ada sekarang khususnya masalah remaja memerlukan jalan keluarnya.

Dalam rangka memberikan pengetahuan, kemampuan dan pemahaman tentang masalah remaja khususnya yang tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS, maka 25 Messengers merasa perlu mengadakan sebuah pelatihan atau pendidikan yang meliputi bagaimana menyingkapi permasalahan remaja yang ada, bagaimana remaja sebaya bisa menularkan lagi pengetahuan dan kemapuannya kepada teman-teman remaja yang lainya, dan membentuk komunitas-komunitas remaja sebaya.

Adapun tujuan dari program pelatihan peer educator atau pendidik sebaya ini adalah: (1) Menyampaikan informasi lengkap tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS – HCV, (2) Membuat forum komunikasi dan konsultasi di sekolah dan Luar Sekolah untuk masalah narkoba dan HIV/AIDS – HCV, (3) Membentuk komunitas remaja yang peduli, (4) Mewujudkan generasi muda sehat bebas bahaya narkoba dan HIV/AIDS – HCV.

Salah satu yang sangat mendasar dalam melaksanakan kegiatan pelatihan peer educator atau pendidik sebaya adalah apakah pelatihan tersebut benar-benar telah sesuai dengan kriteria keberhasilan program atau tujuan yang disusun sebelumnya? Tentunya hal ini akan terjawab dengan benar apabila 25 Massengers yang menyelenggarakan pelatihan

(9)

9

ini, melakukan atau menerapkan model sistem pelatihan sebagai langkah-langkah yang dipergunakan untuk meningkatkan proses assesment kebutuhan pelatihan yang lebih tepat dan efektif.

Dalam pendekatan andragogi, penekanan proses belajar mengajar menitikberatkan pada proses belajar dan bukan mengajar. Oleh karena itu Knowles (Marzuki 1992: 63), misalnya menyebutnya: Learning-Design Model dan bukan Trainning Design Model, yang didefinisikan sebagai “suatu proses perencanaan, suatu proses berupa arus kejadian (kegiatan) untuk mencapai tujuan tertentu, secara runtut yang diarahkan oleh skema konseptual, seperti langkah suatu pelaksanaan, penampilan suatu peran, fungsi daripada unit organisasi, dan lain-lain”.

Beberapa riset menunjukan bahwa pelatihan yang efektif secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan proses kerja yang luar biasa pesatnya. Studi yang dilakukan Tall dan Hall (Amalia 2003: 3), menghasilkan bahwa “Dengan berbagai faktor seperti teknik pelatihan yang benar, persiapan dan perencanaan yang matang, serta komitmen terhadap esensi pelatihan, hasil pelatihan akan sangat memuaskan”.

Pelatihan bukanlah sekedar sebuah event, tetapi lebih merupakan proses yang terus menerus dan akhirnya memberi penguatan, salah satu caranya adalah lembaga yang mengadakan pelatihan, dalam hal ini Organisasi 25 Messengers Jawa Barat mampu membuat sebuah design atau model sistem pelatihan yang baik dalam rangka menuju keberhasilan program pelatihan.

(10)

10

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas serta hasil pengamatan sementara pada studi eksploratoris di lapangan, maka peneliti mengidentifikasi permasalahan dan beberapa hal yang nampak dan terjadi dalam proses pendidikan dan pelatihan di lembaga tersebut, seperti yang diuraikan di bawah ini sebagai berikut:

1. Telah dilaksanakannya Pelatihan Peer Educator atau pendidik sebaya yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers.

2. Program pelatihan peer educator yang diselenggaran oleh Organisasi 25 Messengers berkonsentrasi dalam melatih dan mendidik peserta untuk menjadi pendidik sebaya yang berbasis komunitas.

3. Kegiatan pelatihan peer educator yang diselenggaraan 25 messengers menggunakan model sistem pelatihan dalam rangka mencapai kriteria keberhasilan program tujuan pelatihan

4. Model sistem pelatihan yang diterapkan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat dipergunakan sebagai langkah-langkah kegiatan untuk meningkatkan perencanaan pelatihan, pelaksanaan pelatihan dan evaluasi hasil pelatihan yang lebih tepat dan efektif untuk meningkatkan kualitas peserta.

5. Model sistem pelatihan menggambarkan seperangkat kegiatan-kegiatan yang berhubungan satu sama lain sebagai suatu kesatuan sistem pelatihan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu.

(11)

11

Dengan pernyataan serta dasar pemikiran tersebut si atas, maka kegiatan peneliti merumuskan permasalahan yang akan dijadikan fokus penelitian, yaitu sebaai berikut: ”Bagaimana Model Sistem

Pelatihan Peer Educator atau Pendidik Sebaya Mengenai Bahaya Narkoba dan HIV/AIDS Berbasis Komunitas Yang Diselenggarakan Oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat?”

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Adapun pembatasan masalah penelitian berdasarkan identifikasi dari perumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:

1. Model sistem pelatihan peer educator mengenai bahaya Narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang mencakup, tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelatihan yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat.

2. Faktor –faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan program pelatihan peer educator mengenai bahaya Narkoba dan HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat.

3. Upaya-upaya yang dilakukan dalam menangani hambatan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pelatihan yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat.

D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(12)

12

1. Bagaimana model sistem pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendudkung dan penghambat

dalam penyelenggaraan pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat? 3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam menangani hambatan

yang ditemukan dalam penyelenggaraan program pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat?

E. Penjelasan Istilah

Agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai penafsiran istilah, maka berikut ini dijelaskan beberapa istilah yang digunakan.

1. Model dapat diartikan sebagai ”suatu pola atau aturan tentang sesuatu yang akan dihasilkan. Pengertian kedua adalah suatu contoh sebagai tiruan daripada aslinya. pengertian ketiga, adalah seperangkat faktor atau variabel yang saling berhubungan satu sama lain yang merupakan unsur yang mngambarkan suatu kesamaaan sistem”. (Saleh Marzuki, 1992: 63).

2. Sementara Syarifah (2003: 11) mengungkakan model sebagai : ”pedoman dalam melakukan kegiatan”. yang dimaksud dengan

(13)

13

model dalam penelitian ini adalah suatu kerangkan konseptual mengenai rancangan tindakan yang sistematis pada tahapan-tahpan yang diterapkan atau dipergunakan dalam pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat

3. Sistem adalah susunan yang teratur dari teori, asas dan sebagainya. (Kamus Bahasa Indonesia). Dalam penelitian ini sistem yang dimaksud adalah susunan atau tahapan-tahapan dari serangkaian kegiatan penelitian, yang mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelatihan.

4. Pelatihan adalah suatu upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan atau sikap individu melalui pengalaman belajar dan ditujukan untuk mencapai kinerja yang efektif. (GregKeasley dalam Syarifah 2003:L 11). Pelatihan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat

5. Organisasi 25 Messengers Jawa Barat adalah sebuah organisasi yang memiliki konsentrasi program dalam masalah sosial kemasyarakatan, khususnya masalah narkoba dan HIV/AIDS – HCV. Anggota 25 messengers Jawa Barat yang terdiri dari aktivis – aktivis dari

(14)

14

berbagai macam LSM dan Ormas ini telah mengikuti pelatihan pelatih sebaya muda (TOT) untuk masalah narkoba dan HIV/AIDS – HCV yang diselenggarakan oleh UNICEF Indonesia – Yakita di Ciawi Bogor selama 1 (satu) bulan.

6. Peer Education atau pendidikan sebaya (Dari berbagai literatur)

dapat dikatakan bahwa pengertian pendidikan sebaya dalam pencegahan HIV/AIDS, adalah berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap atau tindakan seseorang atau sekelompok orang yang berkaitan dengan bahaya narkoba dan pencegahan HIV/AIDS.

7. Peer Educator atau pendidik sebaya adalah orang yang terpilih

karena mempunyai sifat kepemimpinan dalam membantu orang lain, dengan kriteria sebagai berikut: (1) Berasal dari kelompoknya, (2) mampu berkomunikasi dengan baik, (3) Mempunyai jiwa kepemimpinan, (4) Diterima dan disukai kelompoknya, (5) Mau bekerja dan berminat dalam hal mengenai bahaya narkoba dan pencegahan HIV/AIDS.

8. Komunitas adalah sekumpulan individu-individu yang mempunyai tujuan bersama. komunitas pada dasarnya merupakan asosiasi kooperatif dari individu-individu yang terikat melalui suatu kontrak sosial (social contract) . (Resapugar)

9. Narkoba merupakan singkatan dari dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan/Zat Adiktif lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2001).

(15)

15

Narkotika dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu Golongan I, II, III. Golongan I merupakan narkotika yang dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi serta memiliki potensi tinggi dalam mengakibatkan ketergantungan.

Golongan II berkhasiat untuk pengobatan dan pilihan terakhir untuk

terapi, sedangkan golongan III berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan /atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. (Kurniadi dan Werksotmodjo, 2000)

Narkoba adalah sesuatu yang dimasukan ke dalam tubuh baik berupa zat yang padat, cair maupun gas yang merubah fungsi atau struktur tubuh secara fisik dan atau psikis, tidak termasuk makanan, air, dan oksigen yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh yang normal.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran deskripif mengenai ”Model Sistem pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat”

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan model sistem pelaihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh 25 Messengers Jawa Barat.

(16)

16

2. Untuk menganalisis data tentang faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan program pelatihan peer educator mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang dilaksanakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat.

3. Untuk menganalisis data tentang upaya yang dilakukan dalam menangani hambatan yang ditemukan dalam penyelenggaraan program pelatihan peer educator mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang dilaksanakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat.

G. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu : 1. Secara teoritis:

Manfaat penelitian ini adalah bahwa dengan terungkapnya data ini dapat memperluas dan memperdalam jangkauan pengembangan ilmu tentang model sistem pelatihan dalam menyelenggarakan suatu program pelatihan.

2. Secara praktis :

a. Sebagai bahan kajian bagi instasi dan lembaga terkait, fungsinya untuk mengelola berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan remaja lainnya.

b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu terutama dalam wawasan pendidikan dan program pelatihan dalam rangka peningkatan remaja atau generasi muda Indonesia yang berkualitas

(17)

17

dan sehat dan menunjang konsep pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah.

c. Sebagi pengalaman praktis bagi peneliti dalam mengaplikasikan konsep dan teori yang diperoleh selama perkuliahan pada Jurusan Pendidikan Luar Sekolah.

H. Anggapan Dasar

Anggapan dasar merupakan titik pemikiran suatu penelitian supaya kebenarannya tidak diragukan. Sehubungan dengan itu maka penulis mengembangkan anggapan dasar sebagai berikut:

1. PLS merupakan upaya yang disengaja untuk membantu masyarakat agar mereka dapat merubah sikap dan prilaku membangun dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya.

2. Pelatihan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dari sekelompok sasaran dalam waktu yang relatif singkat. (saleh Marzuki, 1992: 30)

3. Training Design model, yang didefinisikan sebagai “suatu proses perencanaan, suatu proses berupa arus kejadian (kegiatan) untuk menca[ai tujuan tertentu, secara runtut yang diarahkan oleh skema konseptual, seperti langkah suatu pelaksanaan, penampilan suatu peran, fungsi daripada unit organisasi dan lain-lain”, secara signifikan berpengaruh terhadap keberhasilan program pelatihan itu sendiri. (Knowles dalam Marzuki, 1992: 63).

(18)

18

4. Dalam berbagai macam factor seperti teknik pelatihan yang benar, persiapan dan perencanaan yang matang, serta komitmen terhadap esensi pelatihan, hasil pelatihan akan sangat memuaskan. (Tall and Hall dalam Amalia, 2003: 3)

I. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah desktiptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Adapun pemilihan metode studi deskriptif dalam penelitian ini didasarkan atas tujuan untuk memperoleh gambaran yang realistic-holistik mengenai model sistem pelatihan peer educator atau pendidik sebaya mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS berbasis komunitas yang diselenggarakan oleh 25 Messengers Jawa Barat.

Alat pengumpul data adalah peneliti sendiri, sedangkan instrumen pembantu atau teknik yang dipergunakan untuk menjaring data dipergunakan wawancara mendalam (indepth interview), observasi, dan studi dokumentasi dengan memanfaatkan catatan lapangan. Cara yang dilakukan untuk memperoleh data berdasarkan pada kisi-kisi dari setiap instrumen pembantu, agar bisa memperoleh data berdasarkan pedoman yang jelas.

Data yang terkumpul di analisis dan diinterpretasikan dengan teknik deskriftif analitis menuju pada penyusunan teori substansif yaitu analisis harus menampakan rancangan yang telah dikerjakan kemudian ditransformasikan ke dalam masalah-masalah pokok penelitian.

(19)

19

J. Populasi dan sample

Penelitian kualitatif jarang menggunakan istilah populasi dan sample dalam subjek penelitiannya, melainkan satu individu berupa orang/ sumber/ informan yang dapat memberikan data dan informasi kepada peneliti di lokasi penelitian. Subjek penelitian ditentukan berdasarkan

purposive sampling (sampel bertujuan) yaitu disesuaikan dengan tujuan

penelitian dengan teknik yang mengkhususkan pada permasalahan yang terjadi pada suatu lokasi tertentu dan pada kondisi tertentu.

Lexy Moleong (1989: 1650 mengemukakan bahwa : ‘pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak tetapi sampel bertujuan (purposive sampling)”.

Selanjutnya Nasution (1996: 32) menegaskan bahwa :

Dalam penelitian naturalistic yang dijadikan sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Sampel dapat berupa hal, peristiwa, manusia, situasi yang di observasi. Sering sampel berupa responden yang dapat diwawancarai. Sampel dipilih secara “purposive” bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu.

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah penyelenggara atau panitia Pelatihan Peer Educator yang berjumlah 8 orang pada organisasi 25 Messengers. Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Bab III.

K. Kerangka Pemikiran

Beberapa premis melandasi penelitian ini adalah :

1. Model sistem pelatihan memerlukan suatu kajian khusus yang diarahkan pada pencapaian keberhasilan program, sehingga dapat memenuhi kriteria standar dalam penyelenggaraannya.

(20)

20

2. Dalam merencanakan kegiatan pelatihan peer educator atau pendidik sebaya berbasis komunitas, pihak penyelenggara perlu melakukan

assessment kebutuhan sehingga perekrutan peserta pelatihan dapat

benar-benar sesuai dengan tujuan pelatihan yang telah di programkan.

3. Penyusunan program, kurikulum, proses pelaksanaan pelatihan, evaluasi merupakan factor-faktor yang turut menentukan terhadap

outcomes daripada suatu kegiatan pelatihan. Serta pemantauan

terhadap keluaran dari kegiatan pelatihan tersebut akan menjadi umpan balik pada lembaga untuk suatu perencanaan dan penentuan kebijakan lembaga.

4. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, penyelenggara perlu memperhatikan proses perencanaan pelatihan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pelatihan sehingga kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh Organisasi 25 Messengers benar-benar urgen dengan kebutuhan pelatihannya.

Untuk mempermudah memberikan gambaran ruang lingkup dari penelitian ini, maka penulis membentuk kerangka pola pikir dalam penelitian ini. Paradigma penelitian ini mengambil model komponen-komponen penelitian seperti yang dikemukakan oleh Djudju Dudjana, (2001: 34), yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan pemilahan dan analisis komponen pendidikan pada proses pelatihan peer educator atau pendidik sebaya berbasis

(21)

21

komunitas mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDSyang diselenggarakan oleh Organisasi 25 Messengers Jawa Barat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. 4

Hubungan Fungsional Antara Komponen PLS dan Analisis Penelitian

input prose output outcome

s

Pelatihan pendidik sebaya Berbasis komunitas

MODEL SISTEM PELATIHAN

Lulusan peserta dengan kompetensi

1. mampu berkomunikasi dengan baik

2. mendapatkan keilmuan sesuai dengan kebutuhan 3. Penyuluh sebaya 4. informasi tentang remaja 5. mempunyai komunitas sebaya a.perencanaan pelatihan - Persiapan - Penyusunan program - Pendanaan b.Pelaksanaan Pelatihan - penyampaian materi - Pengendalian c.Evaluasi Pelatihan - Evaluasi Program - Evaluasi Fasilitas - Evaluasi Fasilitator - Evaluasi Materi - Evaluasi Kegiatan - Evaluasi Peserta Peserta pelatihan/WB Masukan Lain Masukan Lingkungan

Dampak pada lulusan peserta didik 1. Memiliki jiwa sosial 2. Mempunyai pola hidup

sehat

3. Memiliki jiwa empati 4. Menjalankan tugas seorang

(22)

22

I. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, yang didalamnya membahas latar belakang

masalah, identifikasi masalah, rumusan dan batasan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, anggapan dasar, penjelasan istilah, metode penelitian, dan teknik pengumpulan data, populasi dan sampel penelitian, kerangka pemikiran, serta sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka, yang berisi landasan teoritis yaitu konsep

yang berhubungan dengan judul dan permasalahan penelitian

BAB III : Metodologi penelitian, membahas mengenai metode dan

teknik pengumpulan data, populasi dan sample penelitian, penyususnan instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data serta prosedur pengolahan data.

BAB IV : Pembahasan masalah, berisi tentang kondisi objektif daerah

penelitian, gambaran umum responden, penyajian hasil pengolahan data dan hasil analisa penafsiran serta pembahasan hasil penelitian.

BAB V : Kesimpulan dan saran, berisi tentang kesimpulan dan saran

yang merupakan penjelasan akhir dari keseluruhan penelitian dan keterbatasan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Apakah hasil belajar siswa meningkat melalui Penerapan Metode Pemberian Tugas disertai dengan Pemberian Feedback (Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Standar Kompetensi

Karena pada dasarnya, pendidikan Amerika mengikuti konsep desentralisasi pendidikan, sebagaimana yang terjadi di Indonesia sekarang ini, yang memberikan kewenangan

Perubahan di bidang pendidikan dapat menjadi langkah yang sangat strategis, karena menyentuh pada pelaku perubahan dan pembangunan bangsa menuju Indonesia baru..

Untuk mendapatkan pemeriksa baru dengan tingkat employee engagement yang tinggi maka perlu dilakukan pembenahan pada proses seleksi pegawai pemeriksa, baik seleksi

(1) Pengelolaan CPPD Provinsi dimaksudkan untuk mendorong tersedianya penyediaan cadangan pangan daerah Provinsi dalam menghadapi keadaan darurat dan pasca bencana

Ketentuan lebih rinci mengenai muatan RTR KSP dan RTR KSK berdasarkan sudut kepentingan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 termuat dalam Lampiran II

Berkomunikasi berarti sedang berusaha mencapai kesamaan makna “communness”. Atau dengan ungkapan yang lain komunikasi merupakan proses berbagi informasi, gagasan atau

Grafik hubungan ukuran butir pasir halus dengan pH NAG Adanya hubungan korelasi antara kondisi visual batuan berupa ukuran butir pasir sedang dengan sifat batuan