• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI RETROSPEKTIF SISTEM PENGHITUNGAN PREDIKSI AMPUTASI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI RETROSPEKTIF

SISTEM PENGHITUNGAN

PREDIKSI AMPUTASI

PADA FRAKTUR TERBUKA TIBIA TIPE III

Made Bramantya Karna

Satrio, dr. SpOT

SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI

FK UNAIR/RSUD DR.SOETOMO

(2)

2

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Klasifikasi Fraktur Terbuka 3

2.2. Faktor-Faktor Penentu Keputusan Amputasi 4

2.3. Sistem Penghitungan 9

2.4. Resiko Pilihan Penanganan 12

BAB III Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 16 BAB IV Metodologi Penelitian

4.1. Rancangan Penelitian 18

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik

Pengambilan Sampel 19

4.3. Variabel Penelitian 19

4.4. Instrumen Penelitian 22

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian 22

4.6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 22

4.7. Cara Analisa Data 22

BAB V Pasien dan Metode 23

BAB VI Analisis Hasil Penelitian 25

BAB VII Pembahasan 28

BAB VIII Kesimpulan 32

Daftar Pustaka Lampiran

(3)

3 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seringkali cedera yang berat pada tungkai (mangled leg) menghadapkan pada sebuah tantangan dalam penanganan pembedahannya. Perkembangan terbaru pada bidang pengobatan, meliputi antibiotik yang lebih ampuh serta perkembangan tehnik pembedahan seperti graft saraf, flap jaringan lunak, rekonstruksi mikrovaskuler dan tehnik fiksasi fraktur yang semakin baik, telah memberikan berbagai harapan baru yang sebelumnya tidak mungkin kepada para dokter bedah. Penanganan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu memegang peranan penting untuk mencapai hasil terbaik dalam menyelamatkan tungkai yang cedera.

Namun dibalik semua keberhasilan tersebut, tetap ada penderita dengan cedera tungkai berat yang lebih baik dilakukan amputasi sejak awal. Apabila pada penderita ini tungkai yang cedera dipertahankan, penderita harus melewati periode infeksi yang lama dan masalah iskemi pada tungkai, juga harus menghadapi beberapa kali operasi yang rumit, dan menderita lebih banyak komplikasi daripada bila dilakukan amputasi lebih awal.

Tentu saja hal yang mengecewakan ini harus dihindari. Banyak faktor mempengaruhi pilihan apakah tungkai yang cedera akan dipertahankan atau diamputasi sejak awal. Tetapi bukan suatu hal yang mudah untuk memutuskan hal

(4)

4 tersebut, sehingga para ahli bedah membutuhkan suatu predictive scoring system untuk menilai beratnya cedera yang terjadi dan menjadi petunjuk dalam mengambil keputusan amputasi atau tidak.

Penderita mangled extremity yang datang di IRD RSU Dr. Soetomo dinilai menggunakan Mangled Extremity Severity Score (MESS) untuk mengambil keputusan penanganan yang akan dikerjakan apakah tungkai yang cedera akan dipertahankan atau dilakukan amputasi. Namun MESS dinilai kurang sensitif karena ternyata masih banyak penderita yang tungkainya dipertahankan harus menghadapi amputasi pada akhirnya (3, 14). Untuk itu dirasa perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem penghitungan yang selama ini dipergunakan.

(5)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terjadi kerusakan barier kulit dan jaringan lunak hingga terjadi hubungan antara fraktur dan hematomnya dengan luar.

Prognosis suatu fraktur terbuka sangat tergantung pada banyaknya jaringan lunak yang tidak viabel karena trauma serta derajat kontaminasi dan jenis bakterinya. Mengklasifikasikan suatu fraktur terbuka sangat penting bagi dokter bedah dalam menentukan prognosis serta sebagai pegangan dalam menentukan penanganan yang akan dikerjakan.

Klasifikasi Gustilo-Anderson diperkenalkan sejak 1976 dan diperluas dengan subklasifikasi grade III tahun 1984. Klasifikasi mereka menekankan pada pentingnya derajat kerusakan jaringan lunak akibat trauma serta derajat kontaminasi yang terjadi.

Fraktur terbuka tipe I disebabkan trauma berenergi rendah, biasanya panjang luka kurang dari 1 cm, karena patahan tulang yang menembus keluar. Derajat kontaminasi biasanya rendah dan kerusakan otot minimal. Luka tipe II lebih dari 1 cm dengan derajat kerusakan jaringan lunak menengah karena energi trauma yang lebih besar. Mengelupasnya jaringan dari tulang minimal, sehingga penutupan luka masih memungkinkan tanpa graft atau flap. Trauma berenergi besar

(6)

6 menimbulkan luka tipe III, biasanya lebih dari 10 cm dengan banyak otot tidak viabel dan fraktur yang kominutif. Tipe IIIa terjadi pengelupasan periosteum dan otot derajat menengah, namun tulang masih bisa ditutupi, tipe IIIb menunjukkan pengelupasan yang luas sehingga penutupan tulang membutuhkan flap atau graf, sedang tipe IIIc disertai cedera pembuluh darah besar.

Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustillo-Anderson membutuhkan evaluasi obyektif dan subyektif terhadap tungkai yang cedera. Klasifikasi cedera sebaiknya ditetapkan saat operasi debrideman dari luka yang terjadi.

2.2. Faktor-Faktor Penentu Keputusan Amputasi

Permasalahan terbesar dalam menangani mangled leg bukannya pada apakah seorang dokter bedah dapat menyelamatkan tungkai yang cedera ini, namun apakah ia harus menyelamatkan tungkai tersebut. Keputusan itu sangat dipengaruhi keadaan dan beratnya cedera serta kondisi penderita secara keseluruhan. Banyak faktor memegang peranan penting dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau melakukan amputasi sejak awal pada tungkai yang fraktur disertai kerusakan jaringan yang berat.

2.2.1. Faktor penderita

2.2.1.1. Usia

Umur mempengaruhi prognosis penderita dalam jangka panjang, secara umum karena penderita yang lebih tua akan memiliki penyakit penyerta yang

(7)

7 lebih banyak dan inaktivitas. Gaston (1999) mendapatkan usia menentukan waktu penyembuhan dari fraktur isolated dari tibia yang difiksasi dengan intramedullary nailling, begitu pula waktu weight bearing-nya. Nicoll (1964) menyatakan penderita diatas usia 60 tahun menunjukkan pemanjangan yang bermakna terhadap waktu penyembuhan fraktur (15). Sehubungan dengan mangled leg, kebanyakan ahli menyatakan usia diatas 50 sangat tidak menguntungkan. Tentu usia fisiologis dan keadaan vaskularisasi dari tungkai lebih bermakna pengaruhnya dibandingkan usia kronologis.

2.2.1.2. Penyakit penyerta

Diabetes melitus dan kelainan pembekuan dapat memperlambat penyembuhan serta mengarahkan pada terjadinya komplikasi. Penyakit paru yang berat dan gagal jantung kongestif dapat memperpanjang operasi dan beresiko, juga osteoporosis meningkatkan resiko instabilitas mekanik setelah osteosintesis.

2.2.1.3. Perilaku merokok

Perokok akan menghadapi sejumlah masalah selama penyembuhan cedera tungkai yang berat. Mereka memerlukan waktu yang lebih panjang untuk penyembuhan fraktur. Dalam kasus pembedahan mikrovaskuler, kebiasaan merokok secara bermakna meningkatkan komplikasi post operasi, dengan luka infeksi, nekrosis otot dan kegagalan graft kulit.

(8)

8

2.2.2. Faktor lokal trauma

2.2.2.1. Mekanisme trauma

Mengetahui mekanisme trauma yang terjadi akan dapat digambarkan energi yang diserap oleh jaringan. Pada trauma berenergi besar (seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian) akan lebih besar resiko terjadinya fraktur yang kominutif dengan kerusakan jaringan lunak yang berat, dibandingkan pada trauma berenergi rendah (seperti cedera olah raga).

2.2.2.2. Gambaran fraktur

Dengan bertambahnya pergeseran fragmen dan derajat kominutif dari konfigurasi fraktur, kemampuan penyembuhan pun berkurang. Fraktur yang kominutif cenderung memberikan lebih banyak komplikasi dan memerlukan waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan fraktur yang simple atau wedge.

2.2.2.3. Cedera jaringan lunak

Cedera jaringan lunak yang berat merupakan indikator prognostik yang penting. Kerusakan jaringan lunak yang serius dan nekrosis otot yang terjadi kemudian akan berakhir dengan kematian tungkai. Otot tidak hanya berfungsi menutup lokasi trauma, namun juga memungkinkan vaskularisasi ke lokasi fraktur dan mengatasi kontaminasi luka dan infeksi.

(9)

9 2.2.2.4. Cedera pembuluh darah

Trauma pembuluh darah yang menyertai akan mengakibatkan buruknya pasokan darah untuk tulang dan jaringan lunak yang cedera. Iskemi akibat gangguan aliran darah dan perdarahan yang luas mengakibatkan pembengkakan jaringan, dengan resiko tinggi terjadinya sindroma kompartmen. Toleransi jaringan terhadap iskemi maksimal selama 6 jam dan fasiotomi lengkap harus segera dikerjakan bahkan pada kasus fraktur terbuka.

2.2.2.5. Cedera saraf

Rusaknya saraf tibial posterior mengakibatkan hilangnya keseluruhan rasa raba pada telapak kaki, dengan resiko tinggi terjadinya ulkus neuropatik. Menurut banyak ahli, hal ini dapat menjadi pertimbangan yang kuat untuk melakukan amputasi sejak awal. Namun, Jones melaporkan hilangnya rasa raba kaki dalam trauma berenergi besar pada tungkai memang menyebabkan kecacatan, namun hal ini tidak tergantung pada apakah dilakukan penanganan dengan amputasi sejak awal atau tidak (11). Lagi pula, graft nervus tibialis dilaporkan dapat mengembalikan rasa raba kaki pada beberapa kasus.

2.2.2.6. Cedera lain pada tungkai yang sama

Cedera tungkai bawah akan ditangani berbeda bila disertai cedera berat lainnya pada tungkai tersebut, misalnya pada kaki, yang akan menyebabkan sulitnya mengembalikan fungsi sebelumnya bila tungkai dipertahankan.

(10)

10 2.2.2.7. Kontaminasi

Bila luka sangat kotor, resiko infeksi akan sangat tinggi, dengan segala konsekuensi negatifnya.

2.2.3. Faktor umum trauma

2.2.3.1. Beratnya cedera

Penderita dengan mangled leg bisa disertai cedera lain yang mengancam jiwa, seperti hematom intrakranial atau perdarahan intraabdominal karena ruptur liver atau lien. Dalam situasi seperti ini, usaha untuk mempertahankan tungkai yang cedera akan memakan waktu banyak sehingga meningkatkan mortalitas. Kebanyakan penderita dengan cedera berat yang multiple dan Injury Severity Score yang tinggi, mendahulukan keselamatan jiwa penderita dibandingkan tunkainya adalah tepat.

2.2.3.2. Syok

Perdarahan masif dengan syok hipovolemik dan pemberian obat-obatan vasoaktif akan menyebabkan perfusi jaringan yang tidak adekuat, dengan segala konsekuensinya.

2.2.3.3. Hipotermi

Hipotermi mempengaruhi penanganan yang akan dilakukan serta hasilnya. Hipotermi mengganggu hemostasis dengan menurunkan fungsi platelet, mempengaruhi coagulation cascade, dan meningkatkan efek dari sistem

(11)

11 fibrinolisis. Pada akhirnya, semua ini akan berakhir dengan koagulopati dan perdarahan yang sulit dikendalikan, dengan resiko sindroma kompartmen dan komplikasi perioperatif. Pada kasus hipotermi berat, lebih baik dikerjakan amputasi sejak awal.

2.3. Sistem Penghitungan

Berdasarkan variabel-variabel yang dibicarakan di atas, beberapa ahli berusaha merancang sistem penghitungan untuk menilai beratnya cedera yang terjadi pada tungkai sehingga dapat membantu ahli bedah dalam memutuskan apakah akan mempertahankan tungkai yang cedera atau melakukan amputasi sejak awal. Secara umum, sistem penghitungan ini dinilai secara retrospektif pada beberapa penderita dimana tungkainya yang cedera berusaha dipertahankan untuk kemudian ditentukan nilai ambang menentukan amputasi.

Variabel-variabel yang menentukan sistem ini masing-masing diberi nilai, dan bila total nilai melebihi nilai ambang (cutoff point), amputasi sejak awal harus dianjurkan untuk menyelamatkan penderita. Validitas sistem penghitungan ini ditetapkan melalui rasio sensitivitas (hampir semua tungkai yang cedera dengan nilai di bawah ambang batas berhasil dipertahankan) dan spesifisitas (hampir semua tungkai dengan nilai pada atau di atas ambang diamputasi) yang tinggi.

Sistem penghitungan yang paling banyak digunakan adalah Mangled Extremity Syndrome Index (MESI), Predictive Salvage Index (PSI), Hannover Fracture Scale (HFS), Limb Salvage Index (LSI), Mangled Extremity Severity

(12)

12 Score (MESS) dan Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA).

MESI, adalah sistem penghitungan yang pertama dipublikasikan (1985)

melalui studi retrospektif terhadap 17 penderita (termasuk 5 penderita dengan cedera ekstremitas atas) (7). Sistem ini menekankan pada beratnya kerusakan tungkai (jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan tulang), Injury Severity Score (ISS), berat dan lamanya iskemi, usia, cedera lain, dan syok. Peneliti menetapkan nilai ambang 20 sebagai batas dimana di bawah angka tersebut usaha menyelamatkan tungkai dapat dicoba, sedang di atas itu semua penderita yang mereka tangani membutuhkan amputasi. Namun Hoogendoorn, melaporkan penelitiannya terhadap 57 penderita fraktur terbuka tibia derajat III menyatakan MESI cenderung meremehkan cedera pada tungkai bawah (9). Kelemahannya lagi, lokasi fraktur dan cedera lain pada tungkai yang sama (kaki) tidak diperhitungkan.

PSI, merupakan hasil analisa retrospektif terhadap 21 fraktur ekstremitas

bawah disertai cedera vaskuler, tahun 1987 oleh Howe dan rekan-rekannya (10). Para peneliti ini menyatakan penyelamatan tungkai tidak berhubungan dengan adanya syok, rusaknya vena, dan cedera penyerta lain. Faktor yang menentukan adalah interval waktu antara kejadian trauma dan saat operasi, lokasi arteri yang cedera, serta beratnya cedera yang dialami otot dan tulang. Dibandingkan dengan MESI, PSI memiliki lebih sedikit variabel dan tampak lebih mudah digunakan. Namun dalam aplikasinya, sangatlah sulit untuk menilai beratnya cedera yang terjadi pada jaringan lunak, karena PSI tidak memberikan batasan yang jelas.

(13)

13 Bosse dan rekannya melakukan evaluasi terhadap PSI dan menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, 47% dan 84% (3).

HFS, diajukan oleh Sudkamp dan kawan-kawan tahun 1989, terdiri dari

beberapa parameter tipe fraktur, ukuran defek tulang, beratnya cedera jaringan lunak, berat dan lamanya iskemi, cedera saraf, kontaminasi, beratnya cedera keseluruhan, serta periode antara trauma dan operasi (17). Walaupun HFS tampaknya memiliki kombinasi variabel-variabel yang lebih masuk akal, sensitivitas ternyata rendah, sehingga banyak penderita harus mengalami banyak komplikasi karena amputasi tidak dikerjakan sejak awal. Disamping itu, HFS sulit digunakan karena banyaknya parameter yang harus diperhitungkan serta membutuhkan penilaian kerusakan jaringan lunak dengan tepat.

Tahun 1991, Russell dan rekan-rekannya mempublikasikan LSI sebagai hasil penelitian retrospektif dari hasil penanganan 70 penderita fraktur terbuka tibia dengan cedera arteri (16). Penghitungan didasarkan pada tujuh kriteria : arteri, saraf, tulang, kulit, otot dan cedera vena dalam begitu pula waktu iskemi. Walau LSI sangat detail, parameter yang penting seperti usia dan cedera yang menyertai, tidak diperhitungkan disini. Beberapa peneliti meragukan kegunaan penghitungan ini dalam pengambilan keputusan pada kasus yang akut.

MESS, digambarkan oleh Johansen dan kawan-kawan tahun 1990,

berdasarkan empat variabel klinis (cedera pada tulang dan jaringan lunak, iskemi, syok, dan usia). Karena variabelnya tidak terlalu banyak, penghitungan ini tampak mudah dipergunakan dan mungkin paling banyak digunakan. Adanya variabel mengenai mekanisme trauma (luka tembakan dan luka masuk) menjadikannya

(14)

14 pilihan di Amerika dan Eropa sebagai dasar pengambilan keputusan untuk amputasi atau tidak.

Tahun 1994, McNamara dan rekan-rekannya mendisain NISSSA (modifikasi dari MESS) dengan menambahkan penekanan pada cedera jaringan lunak dan tulang (16). Dalam laporan mereka, sistem baru ini memiliki sensitivitas (82%) dan spesifisitas (92%) yang lebih baik. Sayangnya, perbaikan ini tidak berhasil dibuktikan peneliti lainnya.

2.4. Resiko Pilihan Penanganan

Tujuan akhir dari rekonstruksi tungkai yang cedera adalah mempertahankan tungkai yang viabel dan berfungsi. Bagaimanapun, pilihan rekonstruksi memiliki beberapa konsekuensi, baik dalam waktu pendek maupun panjang.

2.4.1. Jangka pendek

Banyak laporan mengenai jumlah dan rumitnya operasi yang harus dilalui penderita, lamanya rawat inap, banyaknya serta macam komplikasi yang dialami penderita yang tungkainya coba dipertahankan dibandingkan yang dilakukan amputasi sejak awal.

a. Operasi

Penderita dengan usaha mempertahankan tungkai yang cedera membutuhkan lebih banyak operasi yang kompleks dibandingkan yang diamputasi sejak awal. Hoogendoom (2001) melaporkan hasil akhir penanganan 72 penderita fraktur terbuka tibia derajat III dimana penderita yang tungkainya berhasil dipertahankan harus melalui rata-rata 5,3 kali operasi, 3,8 kali untuk yang amputasi sejak awal dan 5,0 untuk yang sekunder amputasi (9). Penderita dimana tungkainya berusaha dipertahankan harus melalui beberapa tahap rekonstruksi yang sulit (misalnya

(15)

15 fiksasi fraktur, transplantasi jaringan dengan free atau mikrovaskuler, serta rekonstruksi vaskuler). Bondurant dan kawan-kawan (1988) juga melaporkan peningkatan jumlah operasi yang harus dilalui penderita dengan primer amputasi dibandingkan sekunder amputasi (1,6 berbanding 6,9 operasi) (2).

b. Lamanya rawat inap

Lamanya rawat inap penderita tentunya berhubungan dengan jumlah operasi yang harus dijalani. Banyak peneliti melaporkan penderita dengan tungkai yang dipertahankan memerlukan waktu inap dua kali lebih lama dibandingkan yang diamputasi sejak awal. (Hoogendoorn melaporkan 38,4 hari berbanding 67,1 hari). c. Komplikasi

Lebih banyak komplikasi yang dialami penderita dengan tungkai cedera yang dipertahankan dibandingkan amputasi primer. Komplikasi yang paling sering seperti infeksi dengan osteitis, gagalnya flap parsial maupun total dan pseudoarthrosis. Komplikasi ini dapat sedemikian beratnya serta persisten hingga terpaksa dilakukan amputasi sekunder.

2.4.2. Jangka panjang

Secara umum, konsekuensi yang mungkin terjadi adalah berkurangnya fungsi tungkai (impairment) yang berakhir dengan terbatasnya aktivitas sehari-hari (disability), yang selanjutnya akan merubah peran dalam masyarakat (handicap). Banyak penelitian melaporkan komplikasi lebih lanjut dari berkurangnya fungsi fisik dalam waktu lama dan kualitas hidup penderita.

(16)

16 Melalui pengamatannya terhadap 18 penderita yang diamputasi dan 16 yang dipertahankan, Georgiadis (1993) menyimpulkan penderita yang tungkai cederanya dipertahankan memiliki hasil akhir jangka panjang yang lebih jelek dalam kualitas hidup dan penerimaan atas kecacatannya (6). Disamping itu, penderita dengan usaha mempertahankan tungkai yang cedera lebih merasa tidak berguna, lebih bermasalah dengan pekerjaan dan aktivitas lainnya. Kemp dan kawan-kawan (1993) mengevaluasi 17 penderita yang berhasil diselamatkan tungkainya dengan menggunakan “Guides to the Evaluation of Permanent Impairment” dari Ikatan Dokter Amerika dan menyatakan penderita ini memiliki nilai lebih rendah dibandingkan yang dilakukan amputasi bawah lutut (12).

Fairhurst (1994) melakukan pengamatan terhadap 12 penderita yang diamputasi di bawah lutut dibandingkan 12 yang dipertahankan memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sehingga ia lebih menganjurkan tindakan amputasi bila menghadapi kasus-kasus perbatasan (4). Namun Herthel dan kawan-kawan (1996) menyarankan usaha rekonstruksi pada tungkai yang potensial viabel, karena ia mendapatkan 56% penderita yang diamputasi dan 19% dipertahankan harus mengganti pekerjaannya, 54% amputasi dan 16% dipertahankan harus berhenti dari pekerjaannya (8).

Sangatlah sulit mengambil keputusan pada penderita dengan cedera tungkai yang berat, apakah tungkainya harus diamputasi sejak awal atau berusaha dipertahankan. Keputusan ini sangat dipengaruhi perasaan, baik keluarga maupun dokter bedahnya. Adalah wajar, dokter bedah, begitu pula penderita dan

(17)

17 keluarganya berharap untuk menyelamatkan tungkainya bila memungkinkan. Namun harus disadari pula, penderita yang tungkainya dipertahankan harus melalui lebih banyak prosedur operasi yang rumit, lebih lama tinggal di rumah sakit dan menderita lebih banyak komplikasi. Komplikasi ini bisa demikian berat dan persistennya sehingga penderita harus dilakukan sekunder amputasi. Hal ini tentu sangat mengecewakan baik bagi dokter bedah maupun penderita.

Meskipun tehnik pembedahan rekonstruksi semakin maju, tetap ada tempat tersendiri untuk amputasi sejak awal pada kasus-kasus tertentu. Beberapa sistem penghitungan telah dikembangkan untuk membantu dokter bedah mengambil keputusan, sehingga mencegah penundaan atau sekunder amputasi. Parameter umum dan lokal seperti yang dijelaskan di depan menjadi dasar pertimbangan lainnya karena banyak laporan meragukan keberhasilan sistem penghitungan yang ada.

(18)

18 BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

MESI PSI HFS LSI MESS

NISSSA

Prediksi

Amputasi Pertahankan Tungkai

Konsekuensi

Jangka Pendek :

1. Jumlah dan kompleksnya operasi.

2. Lamanya rawat inap. 3. Komplikasi.

Jangka Panjang :

1. Impairment, disability, handicap.

2. Pekerjaan dan sosial. 3. Kualitas hidup.

Open Fraktur tibia derajat III (Gustillo-Anderson)

(19)

19 3.2. Hipotesis Penelitian

Mangled Extremity Severity Score memiliki sensitivitas, spesifisitas, NPV dan PPV yang lebih tinggi dibandingkan sistem penghitungan yang lain dalam memprediksi ketepatan pengambilan keputusan amputasi sejak awal ataukah mempertahankan tungkai yang cedera.

(20)

20 OF tibia grd III

MESS

Amputasi Salvage Evaluation MESS MESI PSI HFS LSI NISSS A  Sensitivitas  Spesifisitas  PPV  NPV BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah studi retrospektif terhadap penderita fraktur terbuka derajat III menurut Gustillo-Anderson dengan melakukan evaluasi terhadap sistem penghitungan yang digunakan terhadap penderita dalam mengambil keputusan amputasi atau tidak. Evaluasi ditekankan pada sensitivitas, spesifisitas, PPV dan NPV sistem yang digunakan, serta membandingkannya dengan sistem penghitungan yang lain.

MESS MESI PSI HFS LSI NISSSA

(21)

21 4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel 4.2.1. Populasi penderita adalah pasien yang datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo

dengan fraktur terbuka tibia derajat III menurut Gustillo-Anderson dari tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2001.

4.2.2. Sampel penderita yang dipilih adalah dengan catatan medik yang memiliki keterangan lengkap sebagai informasi untuk dinilai dengan ke enam sistem penghitungan.

4.2.3. Jumlah sampel adalah sesuai jumlah penderita yang memiliki informasi lengkap dalam catatan mediknya untuk penilaian masing-masing variabel tiap sistem penilaian.

4.2.4. Tehnik pengambilan sampel adalah dari data kunjungan IRD RSUD Dr. Soetomo dilanjutkan dengan penelusuran catatan medik serta semua informasi di dalamnya yang dibutuhkan untuk penilaian dalam sistem penghitungan.

4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.3.1. Variabel penelitian

4.3.1.1.Variabel bebas

Sistem penghitungan untuk memprediksi pengambilan keputusan terhadap tungkai yang cedera adalah Mangled Extremity Syndrome Index (MESI), Predictive Salvage Index (PSI), Hannofer Fracture Scale (HFS), Limb Salvage

(22)

22 Index (LSI), Mangled Extremity Severity Score (MESS) dan Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA).

4.3.1.2.Variabel tergantung

Keenam sistem penghitung ini akan dievaluasi melalui sensitivitasnya, spesifisitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value (NPV).

4.3.2. Definisi operasional variabel

4.3.2.1. Penderita fraktur terbuka grade III adalah pasien yang datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo dengan fraktur tibia derajat III menurut Gustillo-Anderson dari tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2001. 4.3.2.2. Mangled Extremity Syndrome Index (MESI)

4.3.2.3. Predictive Salvage Index (PSI) 4.3.2.4. Hannofer Fracture Scale (HFS) 4.3.2.5. Limb Salvage Index (LSI)

4.3.2.6. Mangled Extremity Severity Score (MESS)

4.3.2.7. Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA)

(23)

23 4.3.2.9. Secondary amputation : apabila dikerjakan dalam 6 bulan setelah trauma dan setelah dikerjakan suatu penanganan tertentu (stabilisasi fraktur, revaskularisasi, penutupan luka).

4.3.2.10. Mempertahankan tungkai : limb salvage, dikatakan bila tungkai yang cedera berhasil dipertahankan atau masih dalam usaha rekonstruksi dalam 6 bulan setelah trauma.

4.3.2.11. Sensitivitas : adalah besarnya kemungkinan tungkai cedera yang perlu diamputasi akan memiliki nilai pada atau di atas ambang batas dari sistem penghitungan. Angka probabilitas ini diperoleh dengan jumlah tungkai yang diamputasi dengan nilai pada atau diatas ambang batas dibagi jumlah total tungkai yang diamputasi dalam jangka waktu 6 bulan setelah trauma.

4.3.2.12. Spesifisitas : adalah kemungkinan tungkai yang dipertahankan akan memiliki nilai di bawah nilai ambang, diperoleh dari jumlah tungkai yang dipertahankan dengan nilai di bawah ambang batas dibagi jumlah tungkai yang dipertahankan selama 6 bulan setelah trauma.

4.3.2.13. PPV : adalah insiden terjadinya amputasi dari yang diprediksikan sebelumnya, diperoleh dengan membagi jumlah tungkai yang diamputasi dengan jumlah total yang diprediksikan sebelumnya.

4.3.2.14. NPV : adalah insiden tungkai yang berhasil dipertahankan 6 bulan setelah trauma dari yang diprediksikan sebelumnya, diperoleh dengan

(24)

24 membagi jumlah tungkai yang berhasil dipertahankan dengan jumlah total yang diprediksikan sebelumnya.

4.4. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah catatan medik penderita fraktur terbuka tibia derajat III yang datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo dari tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2004.

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Soetomo dari bulan Mei-Juni 2005.

4.6. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Penderita ditelusuri melalui daftar kunjungan di IRD RSUD Dr. Soetomo. Data-data dari catatan medik penderita dikumpulkan dalam kuesioner.

4.7. Cara Analisa Data

Dari data-data pada catatan medik penderita, MESI, PSI, HFS, LSI, MESS dan NISSSA dikalkulasi. Kemudian hasilnya dinilai melalui sensitivitas, spesifisitas, PPV serta NPV-nya. Student t-test dengan p < 0,05 digunakan untuk membandingkan antar kelompok.

(25)

25 BAB V

PASIEN DAN METODA

Selama periode 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2004, sebanyak 134 penderita fraktur terbuka tulang tibia derajat III Gustilo-Anderson ditangani di IRD RSU Dr.Soetomo. Pilihan penanganan (amputasi sejak awal ataukah mencoba mempertahankan) terhadap tungkai yang cedera berdasarkan hasil penghitungan Mangled Extremity Severity Score terhadap keadaan penderita saat tiba serta penilaian klinis (clinical impressions) dan beberapa pertimbangan lain (seperti penolakan penderita dan keluarga terhadap rencana tindakan dokter).

Sebanyak 63 penderita tidak memiliki catatan klinis yang lengkap untuk memberikan informasi yang cukup untuk dilakukan penghitungan kedalam beberapa sistem prediksi amputasi yang dievaluasi, dan 13 penderita kesalahan diagnosis sehingga harus dikeluarkan dari kelompok penelitian (sample). Pada akhirnya, terdapat sebanyak 58 penderita yang dimasukkan sebagai sample penelitian.

Kelompok penelitian ini terdiri dari 53 laki-laki (91,4%) dan 5 wanita (8,6%), dengan usia rata-rata 35,8 tahun (usia antara 12 tahun sampai 60 tahun). 17 (29%) fraktur diklasifikasikan sebagai Gustillo derajat IIIA, 27 (47%) sebagai derajat IIIB dan 14 (24%) kasus disertai cedera pembuluh arteri sehingga diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka derajat IIIC.

(26)

26 Sebanyak 46 (79,3%) penderita, tungkainya dipertahankan, sedang 12 (20,7%) penderita dilakukan amputasi sejak awal.

(27)

27 BAB VI

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menggambarkan nilai rata-rata sistem penghitungan prediksi yang dievaluasi terhadap penderita yang menerima amputasi sejak awal, amputasi sekunder serta yang tungkainya berhasil dipertahankan. Nilai ambang untuk anjuran pilihan tindakan amputasi yang dianjurkan pada masing-masing sistem penghitungan digunakan dalam evaluasi ini.

Tabel 1. Rata-rata nilai sistem penghitungan

MESI PSI HFS LSI MESS NISSA

Range 3-73 4-11 5-22 2-12 2-10 2-13

Threshold 20 8 15 6 7 9

Success attempt at salv 13,7 7,1 12,6 4,9 4,2 4,3

Early amputation 10 10 18,5 9 8 11

Secondary amputation 9 7,5 19 7 10 11

Gambar 1-6 menunjukkan frekuensi amputasi dan mempertahankan tungkai yang dialami penderita dan yang diprediksikan melalui ke-enam sistem penghitungan. Penderita yang mengalami amputasi (sejak awal maupun sekunder)

(28)

28 sebanyak 12 orang dan yang berhasil dipertahankan tungkainya sebanyak 46 orang.

Figure 1. Analisa dengan MESI Figure 2. Analisa dengan PSI

Figure 3. Analisa dengan HFS Figure 4. Analisa dengan LSI

Figure 5. Analisa dengan MESS Figure 6. Analisa dengan NISSA Observed Amp Salv Amp Predicted Salv 6 8 6 38 14 44 12 46 58 Observed Amp Salv Amp Predicted Salv 7 24 5 22 31 27 12 46 58 Observed Amp Salv Amp Predicted Salv 9 18 3 28 27 31 12 46 58 Observed Amp Salv Amp Predicted Salv 8 14 4 32 22 36 12 46 58 Observed Amp Salv Amp Predicted Salv 7 8 5 38 15 43 12 46 58 Observed Amp Salv Amp Predicted Salv 8 7 4 39 15 43 12 46 58

(29)

29 Tabel 2 menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value untuk setiap sistem penghitungan. Nilai sensitivitas berkisar dari 50% (MESI) sampai 75% (HFS), spesifisitas berkisar dari 61% (HFS) sampai 85% (NISSA). Positive predictive value berkisar antara 23% (PSI) dan 53% (NISSA) dan negative predictive value berkisar antara 81% (PSI) dan 91% (NISSA).

Tabel 2. Validasi masing-masing sistem penghitungan

Score System Sensitivity Specificity PPV NPV

MESI 0,50 (6/12) 0,83 (38/46) 0,43 (6/14) 0,86 (38/44) PSI 0,58 (7/12) 0,48 (22/46) 0,23(7/31) 0,81 (22/27) HFS 0,75 (9/12) 0,61 (28/46) 0,33 (9/27) 0,90 (28/31) LSI 0,67 (8/12) 0,69 (32/46) 0,36 (8/22) 0,89 (32/36) MESS 0,58 (7/12) 0,83 (38/46) 0,47 (7/15) 0,88 (38/43) NISSA 0,67 (8/12) 0,85 (39/46) 0,53 (8/15) 0,91 (39/43)

(30)

30 BAB VII

PEMBAHASAN

Tungkai bawah yang mengalami cedera berat merupakan tantangan dalam penanganan bedah. Banyak kontroversi muncul mengenai criteria apa yang dapat dijadikan standar untuk memutuskan suatu tindakan amputasi pada tungkai yang cedera. Banyak sistem penghitungan dirancang untuk menilai secara obyektif beratnya tungkai yang cedera untuk membantu dokter bedah dalam memprediksi kemungkinan menyelamatkan tungkai yang cedera atau harus segera diputuskan untuk melakukan amputasi.

Idealnya, sistem penghitungan untuk memprediksi ini harus 100% sensitive dan 100% spesifik. Sensitivitas yang tinggi sangat penting untuk mencegah terjadinya penundaan amputasi pada tungkai yang jelas-jelas tidak dapat dipertahankan lagi. Spesifisitas yang tinggi penting untuk menghindarkan banyaknya jumlah tungkai yang dapat dipertahankan akan memiliki nilai diatas batas ambang amputasi.

Studi ini berusaha melakukan evaluasi terhadap sistem penghitungan yang paling banyak digunakan yaitu Mangled Extremity Syndrome Index (MESI), Predictive Salvage Index (PSI), Hannover Fracture Scale (HFS), Limb Salvage Index (LSI), Mangled Extremity Severity Score (MESS) dan Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA).

(31)

31 Mangled Extremity Severity Index (MESI)

Sistem ini menekankan pada derajat cedera tungkai bawah (jaringan lunak, saraf, pembuluh darah, dan tulang), Injury Severity Score, berat dan lamanya iskemia, usia, penyakit penyerta dan syok, dengan nilai 20 menjadi garis batas yang membagi kemungkinan penyelamatan tungkai dan indikasi amputasi.

Banyak studi melaporkan bahwa MESI merupakan sistem penghitungan yang sangat komplek, mencakup banyak komponen penting dalam proses penentuan keputusan, namun akhirnya tidak terlalu berhasil dalam memprediksi resiko amputasi dan tidak praktis.

Dalam studi ini, MESI hanya memiliki sensitivitas sebesar 50%, spesifisitas 83%, PPV 43% dan NPV 86%. Jadi dengan sistem MESI ini hanya 50% penderita yang seharusnya diamputasi memiliki kemungkinan nilai diatas ambang batas, dan 83% penderita yang berhasil dipertahankan tungkainya akan memiliki nilai dibawahnya. Insiden terjadinya amputasi seperti yang diprediksikan pun hanya 43%, sedang berhasilnya penyelamatan tungkai seperti yang diperkirakan sebesar 83%.

Dalam studi ini ditemukan beberapa kesulitan dalam penggunaan MESI, diantaranya pada komponen deskripsi fraktur tidak terdapat spesifikasi fraktur kominutif tanpa segmental, karena gambaran fraktur seperti ini akan disertai kerusakan jaringan lunak yang berat. Pada kasus-kasus yang terlambat (neglected), akan sangat besar karena satu point diberikan setiap jamnya bila penanganan diberikan diatas 6 jam, sehingga waktu memberikan kontribusi sangat besar dibandingkan komponen lain.

(32)

32 Pada sistem ini, komponen syok pun tidak dideskripsikan derajatnya apakah transient atau prolonged.

Predictive Salvage Index (PSI)

Dalam studi ini, PSI memberikan sensitivitas sebesar 58%, spesifisitas 48%, PPV 23% dan NPV 81%. Dalam sistem ini tidak terdapat batasan yang jelas pada derajat beratnya cedera jaringan lunak dan tulang, dimana hanya dideskripsikan sebagai mild, moderate dan severe. Tentunya hal ini akan menimbulkan perbedaan interpretasi pada dokter yang berbeda.

Hannover Fracture Scale (HFS)

Banyak laporan menilai HFS sulit digunakan karena banyaknya jumlah parameter dan jaringan lunak harus dinilai sedetail mungkin. Dalam studi ini, komponen kontaminasi bakteri sulit dinilai, karena pemeriksaan terhadap bakteri memerlukan waktu untuk dinilai. Pada kasus multifraktur pun terjadi kesulitan memilih derajat fraktur mana yang akan digunakan.

Studi ini mendapatkan sensitivitas HFS sebesar 75%, spesifisitas 61%, PPV hanya 33%, dan NPV 90%.

Limb Salvage Index (LSI)

Sistem ini berdasarkan tujuh criteria : arteri, saraf, tulang, kulit, otot, cedera vena dalam dan waktu iskemia. Sistem ini tidak menyertakan komponen penting lain seperti usia penderita dan cedera lain yang menyertai. Banyak yang tidak menganjurkan sistem ini untuk menilai cedera yang akut. Studi ini mendapatkan kesulitan menilai gambaran cedera struktur dalam sebelum dilakukan eksplorasi.

(33)

33 Dalam studi ini didapatkan sensitivitas sebesar 67%, spesifisitas 69%, PPV 36% dan NPV 89%.

Mangled Extremity Severity Score (MESS)

Sistem ini paling banyak digunakan karena memiliki variabel yang tidak terlalu banyak, tidak memerlukan operasi besar untuk evaluasi, dan tampak mudah digunakan. Dari studi ini didapatkan sensitivitas sebesar 58%, spesifisitas 83%, PPV 47% dan NPV 88%.

Nerve Injury, Ischemia, Soft-Tissue Injury, Skeletal Injury, Shock, Age (NISSSA)

Sistem ini merupakan modifikasi dari MESS denganb harapan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya dalam memprediksi amputasi, Namun dalam studi ini hanya didapatkan sedikit peningkatan, dimana sensitivitas sebesar 67%, spesifisitas 85%, PPV 53%, NPV 91%.

(34)

34 BAB VIII

KESIMPULAN

Studi ini tidak berhasil menunjukkan kegunaan ke enam sistem penghitungan karena hanya menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam membedakan tungkai cedera yang memerlukan amputasi segera dan yang memungkinkan untuk dipertahankan.

Walau HFS memiliki sensitivitas tertinggi (75%) namun spesifisitasnya sangat rendah (61%), NISSA memiliki spesifisitas tertinggi (85%) namun sensitivitasnya hanya 67%. Di samping itu beberapa sistem penghitungan telah salah memprediksikan, dimana beberapa penderita yang berhasil dipertahankan tungkainya telah diprediksikan untuk diamputasi dan sebaliknya.

Untuk itu, sistem-sistem penghitungan ini memiliki nilai klinis yang harus ditingkatkan lagi dengan berbagai pertimbangan factor-faktor lain seperti yang dijabarkan didepan.

(35)

35 DAFTAR PUSTAKA

1. Adams CI., et. al. Cigarette Smoking and Open Tibial Fractures. Injury 2001; 32 : 61-5

2. Bondurant FJ., et.al. The Medical and Economis Impact of Severely Injured Lower Extremities. Journal of Trauma 1988; 28: 1270-3

3. Bosse, Michael J., et.al. A Prospective Evaluation of The Clinical Utility of The Lower-Extremity Injury-Severity Score. Journal Bone & Joint Surgery (Am). 2001; 83-A: 3-14

4. Fairhurst MJ. The Function of Below-Knee Amputee Versus The Patient with Salvage Grade III Tibial Fracture. Clinical Orthopaedic 1994; 301: 227-32

5. Gaston P., et.al. Fractures of The Tibia : Can Their Outcome be Predicted ?. Journal Bone & Joint Surgery (Br). 1999; 81: 71-6

6. Georgiadis GM., et.al. Open Tibial Fractures with Severe Soft-Tissue Loss. Journal Bone & Joint Surgery (Am). 1993; 75: 1431-41

7. Gregory RT., et.al. The Mangled Extremity Syndrome Index : A Severity Grading System for Multisystem Injury of The Extremity. Journal of Trauma. 1985; 25: 1147-50

8. Herthel R., et.al. Amputation Versus Reconstruction in Traumatic Defects of The Legs Outcome and Costs. Journal of Orthopaedic Trauma. 1996; 10: 223-9

9. Hoogendoorn, Jochem M., Chris van der Werken. The Mangled Leg Decision-Making Based on Scoring Systems and Outcome. European Journal of Trauma. 2002; 28: 1-10

10. Howe HR., et.al. Salvage of Lower Extremities Following Combined Orthopaedic and Vascular Trauma. A Predictive Salvage Index. American Surgery 187; 53:205-8

(36)

36 11. Jones AI., et.al. The Insensate Foot : An Indication for Amputation? Presented at OTA Meeting San Antonio, Texas, USA October 12, 2000

12. Kemp AG., et.al. Impairment Scores of Type III Open Tibial Fractures. Injury 1993; 24: 161-2

13. Lange RH. Limb Reconstruction Versus Amputation Decision Making in Massive Lower Extremity Trauma. Clinical Orthopaedic 1989; 243: 92-9

14. Mc. Namara MG., et.al. Severe Open Fractures of The Lower Extremity : A Retrospective Evaluation of The Mangled Extremity Severity Score (MESS). Journal of Orthopaedic Trauma 1994; 8: 81-7

15. Nicoll EA. Fractures of The Tibial Shaft : A Survey of 705 Cases. Journal Bone & Joint Surgery (Br). 1964; 46: 373-87

16. Russel WL., et.al. Limb Salvage Versus Traumatic Amputation : A Decision Based on A Seven Part Predictive Index. Annual Surgery 1991; 213: 473-80

17. Sudkamp N., et.al. Criteria for Amputation, Reconstruction and Replantation of Extremities in Multiple Trauma Patient. Chirurgy 1989; 60: 774-81

(37)

37 Name : __________________________ M / F Age : _______________ Address : _________________________________________________________ Date : __________________________ CM : _______________ MOI : _________________________________________________________ ToAcc : _______________ ToAdd : _______________ ToOprt : _______________ Diagnosis : 1. __________________________ 2. __________________________ 3. __________________________ 4. __________________________ 5. __________________________

Predictive Scoring System :

 Mangled Extremity Syndrome Index (MESI)

Type Characteristic Points

Injury Severity Score 0 - 25 1 25 - 50 2 > 50 3 Integument Guillotine 1 Crush / bum 2 Avulsion / degloving 3

DATA COLLECTION FORM

TYPE III OPEN TIBIAL FRACTURE

(38)

38 Nerve Contusion 1 Transection 2 Avulsion 3 Vascular Artery transected 1 thrombosed 2 avulsed 3 Vein 1

Type Characteristic Points

Bone Simple fract * 1

Segmental fract 2

Segmental-comminuted fract 3

Segmental-comminuted fract with bone loss < 6 cm* 4

Segmental fract intra-extraarticular 5

Segmental fract intra-extraarticular with bone loss < 6 cm* 6 Lag time (1 point for every hr > 6)

Age 40 – 50 years 1

50 – 60 years 2

60 – 70 years 3

Pre-existing disease 1

Shock 2

* Bone loss greater than 6 cm, add 1

Total Score

(39)

39  Predictive Salvage Index (PSI)

Type Characteristic Points

Level of arterial injury

Suprapopliteal 1 Popliteal 2 Infrapopliteal 3 Skeletal Injury Mild 1 Moderate 2 Severe 3 Soft-tissue injury Mild 1 Moderate 2 Severe 3

Timespan between accident and arrival at OR

< 6 h 0

6 – 12 h 2

> 12 h 4

(40)

40  Hannover Fracture Scale (HFS)

Type Points Type Points

A. Fracture C. Artery

AO type A 1 Normal 0

AO type B 2 Incomplete ischemia (cap refill+) 1

AO type C 4 Complete ischemia

Bone loss < 4 h 2

< 2 cm 1 4 – 8 h 3

> 2 cm 2 > 8 h 4

B. Soft tissue D. Nerve

Skin (laceration, contusion) Palmar-plantar sensibility

None 0 Yes 0

< ¼ circumference 1 No 1

¼ - ½ circumference 2 Finger-toe motor activity

½ - ¾ circumference 3 Yes 0

> ¾ circumference 4 No 1

Soft-tissue lose E. Contamination

None 0 Foreign body

< ¼ circumference 1 None 0

¼ - ½ circumference 2 Little 1

½ - ¾ circumference 3 Massive 2

> ¾ circumference 4 Bacterial contamination

Deep soft tissues (muscle,tendon, None 0

ligament); contusion or defect Aerobe, 1 species 2

None 0 > 1 species 3

< ¼ circumference 1 Anaerobe 2

¼ - ½ circumference 2 Aerobe-anaerobe 4

½ - ¾ circumference 3 F. Associated injuries

> ¾ circumference 4 Monotrauma, PTS 1 0

Amputation PTS 2 1

None 0 PTS 3 2

Subtotal guillotine 1 PTS 4 4

Subtotal crush 2 G. Start of operation (tissue score > 2)

Total guillotine 3

Total crush 4 6 – 12 h 1

> 12 h 3

(41)

41  Limb Salvage Index (LSI)

Location Extent of Injury Points

Artery

Contusion, intimal tear, partial laceration or avulsion (pseudoaneurysm) with no distal thrombosis and palpable pedal pulses; complete occlusion of one of three shank vessels or profunda

0 Occlusion of two or more shank vessels, complete

laceration, avulsion or thrombosis of femoral or politeal

vessels without palpable pedal pulse 1

Complete occlusion of femoral, popliteal, or three of three

shank vessels with no distal runoff available 2

Nerve

Contusion or stretch injury, minimal clean laceration of

femoral, peroneal, or tibial nerve 0

Partial transection or avulsion of sciatic nerve, complete or

partial transection of femoral, peroneal, or tibial nerve 1 Complete transection or avulsion of sciatic nerve, complete

transection or avulsion of both peroneal and tibial nerve 2

Bone

Closed fracture one or two sites; open fracture without comminution or with minimal displacement; closed dislocation without fracture, open joint without foreign body, fibula fracture

0 Closed fracture at three or more sites on same extremity;

open fracture with comminution or moderate to large displacement; segmental fracture; fracture dislocation; open joint with foreign body, bone loss < 3 cm

1 Bone loss > 3 cm; type IIIB or IIIC fracture 2 Skin

Clean laceration, single or multiple, or small avulsion

injuries, all with primary repair; first degree burn 0 Delayed closure due to contamination; large avulsion

requiring SSG or flap closure; second and third degree burn 1 Muscle

Laceration or avulsion involving a single compartment or

single tendon 0

Laceration or avulsion involving two or more compartment;

complete laceration or avulsion of two or more tendon 1

Crush injury 2

Deep vein

Contusion, partial laceration, or avulsion; complete laceration or avulsion if alternate route of venous return is

intact; superficial vein injury 0

Complete laceration, avulsion, or thrombosis with no

alternate route of venous return 1

Warm ischemia time < 6 hours 0 6 – 9 hours 1 9 – 12 hours 2 12 – 15 hours 3 > 15 hours 4

Total Score

(42)

42  Mangled Extremity Severity Score (MESS)

Type Characteristic Injuries Points

Skeletal/soft-

tissue Low energy Stab wounds, simple closed fracture, small-caliber gunshot wounds 1 Medium energy Open or multiple-level fractures, dislocations, moderate crush injuries 2 High energy Shotgun blast (close range), high velocity gunshot wounds 3 Massive crush Logging, railroad, oil rig accident 4 Shock Normotensive

hemo dynamics BP stable in field and OR 0

Transiently

hypotensive BP unstable in field, but responsive to intravenous fluid 1 Prolonged

hypotension

Systolic BP less than 90 mmHg in field and responsive to intravenous fluids

only in OR 2

Ischemia None Apulsatile limb without sign of ischemia 0 Mild Diminished pulses without sign of ischemia 1* Moderate No pulse by Doppler, sluggish capillary refill, paresthesia, diminished motor

activity 2*

Advanced Pulseless, cool, paralysed, and nymb without capillary refill 3*

Age < 30 years 0

30 – 50 years 1

> 50 years 2

* Points x2 ischemic time exceeds 6h; BP = Blood Presure; OR = Operating Room Total Score

(43)

43  Nerve injury, Ischemia, Soft-tissue injury, Skeletal injury, Shock,

Age (NISSSA)

Type Characteristic Description Points

Nerve injury Sensitive No injury of important nerves 0 Dorsal Deep or superficial peroneal or femoral nerve injury 1

Plantar, partial Tibial nerve injury 2

Plantar, complete Sciatic nerve injury 3

Ischemia None A pulsatile limb without signs of

ischemia 0

Mild Diminished pulses without signs of ischemia 1* Moderate No pulse by Doppler, sluggish capillary refill, paresthesia, diminished moto

activity 2*

Advanced Pulseless, cool, paralysed and numb without capillary refill 3* Soft-tissue

injury Low Minimal to no soft-tissue injury, no contamination 0 Medium Moderate soft-tissue injury, gunshot wound (low velocity), little

contamination, minimal crush 1 High Moderate crush, open fracture, gunshot wound (high velocity) heavy

contamination 2

Massive Massive crush, soft-tissue loss, gross contamination 3 Skeletal

injury Low energy Spiral fracture, oblique fracture, no to minimal dislocation 0 Medium energy Tranverse fracture, small-caliber gunshot wounds 1 High energy Wedge fracture, moderate dislocation, gunshot wounds (high velocity) 2 Very high energy Complex fracture, bone loss 3 Shock Normotensive

hemodynamic BP stable in field and OR 0

Transiently

hypotensive BP unstable in field, but responsive to intravenous fluids 1 Prolonged

hypotension

Systolic BP less than 90 mmHg in field and responsive to intravenous fluids

only in OR 2

Age Young < 30 years 0

Middle 30 – 50 years 1

Old > 50 years 2

* Points x2 ischemic time exceeds 6h; BP = Blood Presure; OR = Operating Room Total Score

(44)

44

Emergency Room Data :

GCS : ____/____/_____ BP : _____/_________ P : ______ RR : ______

Resusit : Intubation : Y / N Fluid : __________ Chest tube : Y / N Respon : ________ time : _______ Surgery : kind of : 1. _____________________________________ 2. _____________________________________ 3. _____________________________________ time : __________ to _____________

Definitive Surgery :

Date : _______ / ______ / 200_____ Kind of : 1. _____________________________________ 2. _____________________________________ 3. _____________________________________ Time : __________ to _____________

Discharge Summary Data :

Date : _______ / ______ / 200_____ LOS : ____________________ days

Gambar

Tabel  1  menggambarkan  nilai  rata-rata  sistem  penghitungan  prediksi  yang  dievaluasi  terhadap  penderita  yang  menerima  amputasi  sejak  awal,  amputasi  sekunder  serta  yang  tungkainya  berhasil  dipertahankan
Figure 1.  Analisa dengan MESI                          Figure 2.  Analisa dengan PSI
Tabel 2. Validasi masing-masing sistem penghitungan

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan Perubahan Renstra SKPD Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Klungkung Tahun 2013-2018 dimaksudkan untuk menyediakan perencanaan strategis yang menjadi

Hipotesis penelitian yang menyatakan Pelayanan Penerangan Jalan Umum (PJU) yang dilaksanakan oleh Bidang Penerangan Jalan Umum Dinas Perhubungan Kota Tangerang berdasarkan

Kegiatan belajar mengajar (KBM) pada siklus 1, memiliki kendala dalam proses KBM seperti awal masuk kelas para siswa belum terlihat aktif dalam merespon

berlimpah, murah, kuat dan ringan, namun belum dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengembangkan bahan rotan

Segala puji dan syukur penulis panjatan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir

Puji syukur penulis panjatkan atas nikmat yang telah Allah SWT berikan, karena berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir Diploma III di

• Indeks bias solut dan pelarut harus berbeda • Detektor mengukur perbedaan antara indeks. bias pelarut murni dan indeks bias pelarut yg keluar dari kolom, perbedaan ini disebabkan