• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) BERDAYA HASIL TINGGI. Oleh Thia Rokhmaniah Januarini A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) BERDAYA HASIL TINGGI. Oleh Thia Rokhmaniah Januarini A"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

Thia Rokhmaniah Januarini A34403014

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(2)

UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) BERDAYA HASIL TINGGI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Thia Rokhmaniah Januarini A34403014

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(3)

RINGKASAN

THIA ROKHMANIAH JANUARINI. Uji Daya Hasil Galur-galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Berdaya Hasil Tinggi. Dibimbing oleh DESTA WIRNAS dan TRIKOESOEMANINGTYAS.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai dengan bulan April 2007 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik (BBBIOGEN) Cikeumeuh, Taman Cimanggu, Bogor. Tujuan penelitian ini adalah (1) melakukan uji daya hasil pendahuluan galur-galur harapan kedelai berdaya hasil tinggi pada kondisi optimum dan (2) memperoleh informasi tentang keragaan karakter agronomi galur-galur harapan kedelai berdaya hasil tinggi pada kondisi optimum yang lebih unggul dari varietas pembanding.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan perlakuan faktor tunggal yaitu terdiri dari dua genotipe tetua yaitu kedelai varietas nasional (Pangrango dan Slamet) sebagai pembanding, serta 28 galur kedelai F9 hasil seleksi berdasarkan indeks seleksi dan bobot biji/tanaman yang ditanam pada kondisi optimum. Masing-masing galur diulang sebanyak tiga kali dengan jumlah anak contoh sebanyak lima tanaman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi galur F9 mulai berbunga pada 7 MST. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai tengah genotipe yang sangat nyata pada karakter jumlah cabang, jumlah polong hampa, jumlah polong isi, jumlah polong total, %polong isi, bobot biji/petak dan bobot biji 25 butir. Nilai tengah genotipe yang berbeda nyata terdapat pada karakter tinggi tanaman, sedangkan nilai tengah genotipe yang tidak berbeda nyata terdapat pada karakter bobot biji/tanaman. Berdasarkan hasil pendugaan nilai heritabilitas, nilai heritabilitas untuk semua karakter pada populasi F9 ini tergolong ke dalam dua kelompok yaitu kelompok nilai heritabilitas sedang dan rendah dengan kisaran nilai heritabilitas antara -2.49 % sampai 27.43 %. Karakter yang memiliki nilai koefisien korelasi sangat nyata terhadap hasil adalah karakter jumlah polong hampa dan persentase polong isi.

(4)

Karakter yang berkorelasi nyata terhadap hasil adalah karakter jumlah polong isi dan bobot biji/tanaman. Seleksi pada populasi F9 dilakukan secara langsung, yaitu berdasarkan karakter bobot biji per petak, karena karakter bobot biji per petak walaupun mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong rendah, tetapi memiliki koefisien keragaman genetik yang luas sehingga dengan koefisien keragaman genetik yang luas memberikan peluang seleksi terhadap suatu karakter berjalan efektif.

Kesimpulan penelitian ini adalah dari beberapa genotipe yang diuji, terdapat empat galur yang memiliki bobot biji/petak lebih besar dari 660 gram. Galur-galur tersebut adalah PS-60-2, GS-55-4, GC-89-2, dan PS-6-3. Galur-galur tersebut sangat berpotensi untuk digunakan dalam uji daya hasil lanjutan.

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) BERDAYA HASIL TINGGI

Nama : THIA ROKHMANIAH JANUARINI NRP : A34403014

Program Studi : Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih

Menyetujui, Dosen Pembimbing I

Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. NIP. 132 259 275 Menyetujui, Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. NIP. 132 169 917 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP. 131 124 019

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas kehendak-Nya lah penulis mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa penulis ucapkan kepada nabi besar Muhammad SAW. Penelitian yang berjudul Uji Daya Hasil Galur-galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Berdaya Hasil Tinggi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam Kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Desta Wirnas, SP. MSi dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku pembimbing atas segala bimbingan dan arahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini yang sempat terhambat.

2. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehatnya selama ini.

3. Untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta, terima kasih atas dukungan semangat baik moril ataupun materil serta doa yang tidak pernah terputus selama menjalani studi. Suami tercinta Suharyo Estiadi, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah putus sejak penelitian sampai menyelesaikan skripsi ini. Tante-tante, adik-adik, dan bibi di rumah, terima kasih bantuan kalian selama panen.

4. Untuk Anna H. yang selalu setia mengingatkan penulis agar tidak terlalu terlena bekerja dan dorongan moril dan materil agar penulis menyelesaikan skripsi ini. Reydiana S. dan Sumiyati yang telah banyak membantu selama penelitian. Untuk teman-teman PMTTB’40 terima kasih untuk semangat dan kebersamaan selama menjalani studi.

5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu dan bermanfaat bagi semua yang membacanya. Amin.

Bogor, November 2007 Penulis

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 1986 sebagai anak pertama dari pasangan H. Tarsono dan Hj. Tetty Rustinah. Penulis telah menikah dengan Suharyo Estiadi pada bulan Juli 2007.

Pendidikan yang telah penulis tempuh antara lain SDN Sudimara Barat lulus tahun 1997, SMP Islam Al-Hasanah lulus tahun 2000, SMU Muhammadiyah 3 Jakarta lulus tahun 2003, dan penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian dengan Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar untuk mata ajaran biologi pada lembaga bimbingan belajar Primagama dan sebagai Financial Consultant pada PT. Sun Life Financial Indonesia.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Hipotesis ... 1 1 3 3 TINJAUAN PUSTAKA ...

Botani dan Morfologi Kedelai ... Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri... Teknik Pemuliaan Kedelai ... Heritabilitas ... Koefisien Keragaman Genetik ... Korelasi ... Penentuan Karakter Seleksi ...

4 4 6 8 10 11 12 12 BAHAN DAN METODE ...

Waktu dan Tempat ... Bahan dan Alat ... Pelaksanaan ... Pengamatan ... Analisis Data ... 14 14 14 14 15 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ...

Kondisi Umum ... Keragaan Galur-galur F9 ... Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik pada Kedelai Generasi F9 ... Pendugaan Nilai Koefisien Korelasi pada Karakter Komponen Hasil Kedelai Generasi F9 ... Seleksi Galur-galur Terbaik Kedelai F9 Berdasarkan Bobot Biji per Petak ... 18 18 20 28 31 33 KESIMPULAN DAN SARAN ...

Kesimpulan ... Saran ... 36 36 36 DAFTAR PUSTAKA ... 37 LAMPIRAN ... 42

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Rekapitulasi Sidik Ragam untuk Semua Karakter Pengamatan ... 21 2. Nilai Tengah dan Kisaran Nilai Tengah Delapan Karaker

Komponen Hasil Kedelai Generasi F9 ... 22 3. Rekapitulasi Nilai Kontras Untuk Semua Karakter

Terhadap Tetua P dan S ... 26 4. Pendugaan Nilai Komponen Ragam dan Parameter Genetik

pada Kedelai Generasi F9 ... 29 5. Koefisien Korelasi Antar Karakter Kedelai F9 ... 32 6. Daftar Galur yang Memiliki Bobot Biji per Petak Lebih

Besar dari 660 gram ... 34

Lampiran

1. Deskripsi Varietas Pembanding yang Digunakan ... 42 2. Daftar Galur yang Ditanam ... 44 3. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Tinggi Tanaman Saat

Panen ...

45 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah Cabang ... 45 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah Polong

Hampa ... 45 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah Polong Isi ... 45 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah Polong Total 45 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Bobot Biji Per

Tanaman ... 46 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Bobot 25 Butir ... 46 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Karakter Persentsse Polong Isi 46 11. Hasil Analisis Sidik Raga Karakter Bobot Biji per Petak 46 12. Hasil Transformasi Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah

Polong Hampa ... 46 13. Hasil Transformasi Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah

Polong Isi ... 47 14. Hasil Transformasi Analisis Sidik Ragam Karakter Jumlah

Polong Total ... 47 15. Hasil Transformasi Analisis Sidik Ragam Karakter Bobot

Biji Per Tanaman ... 47 16. Hasil Transformasi Analisis Sidik Ragam Karakter

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1a. Kondisi Umum Pertanaman Kedelai Saat Tanaman Umur 4

MST ... 19 1b. Kondisi Umum Pertanaman Kedelai Saat Tanaman Umur 9

MST ... 19 2a. Hama belalang yang menyerang tanaman kedelai (kiri);

daun yang diserang hama belalang 20 2b. Hama kepik yang menyerang tanaman kedelai (kiri);

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu komoditi pangan Indonesia yang masih dikhawatirkan produktivitasnya adalah kedelai. Kedelai adalah tanaman yang berasal dari daerah daratan Cina, yang kemudian dikembangkan diberbagai negara seperti Amerika, Amerika Latin, dan Asia (Baharsjah et. al., 1985). Di Indonesia kedelai dibudidayakan sebagai tanaman sela untuk makanan dan pupuk hijau. Pulau Jawa merupakan pulau utama untuk produksi kedelai, terutama Jawa Tengah. Provinsi lain yang memproduksi kedelai antara lain Aceh, Lampung, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara.

Kedelai sudah cukup lama mendapat tempat di hati masyrakat Indonesia dan dikenal sebagai panganan fungsional, karena memiliki unsur non gizi yang sangat berkhasiat bagi kesehatan. Kedelai menjadi salah satu komoditas yang istimewa karena mengandung banyak jenis protein, antioksidan kuat yang mampu menangkal proses penuaan secara biologis. Selain itu, protein kedelai tersusun atas asam-asam amino yang di dalam proses pencernaan tidak begitu mudah teroksidasi. Kandungan gizi kedelai meliputi protein sebesar 17 %, besi 5 mg/100g, dan kalsium 102 mg/100 g (Prakarsa – Rakyat, 2007).

Penggunaan kedelai yang diproduksi di dalam negeri, umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi masyarakat dan masukan dalam usahatani yang berupa bibit. Kedelai sebagian besar dikonsumsi oleh masyrakat dalam bentuk olahan dan hanya sebagian kecilnya saja yang dikonsumsi secara langsung. Konsumsi kedelai secara langsung 50 % dalam bentuk tempe, 40 % tahu, dan 10 % dalam bentuk produk lain seperti kecap, tauco, dan lain-lain (Wikipedia, 2007).

Kebutuhan kedelai nasional setiap tahun meningkat tetapi peningkatan ini tidak dibarengi oleh produksi yang dalam beberapa tahun ini mengalami penurunan sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional pemerintah harus melakukan impor. Perkiraan kebutuhan kedelai nasional tahun 2006 adalah 2.000.000 ton (Deptan, 2006), sedangkan rata-rata produksi kedelai dalam negeri hanya 608.263 ton (BPS, 2007). Untuk memenuhi kebutuhan nasional yang tinggi, maka pemerintah harus melakukan impor. Sejak tahun 2000 impor kedelai

(12)

berkisar 1,1 – 1,3 juta ton dan volume impor ini dari tahun ke tahun semakin membesar. Penurunan produksi kedelai nasional disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gairah petani untuk menanam kedelai sangat rendah karena biaya produksinya tinggi dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan komoditas lain seperti padi, jagung, dan lain-lain. Selain itu, kebijakan harga kedelai impor semakin rendah sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampak dari kebijakan pemerintah menyebabkan harga kedelai petani Indonesia tidak bisa bersaing dengan harga kedelai impor yang semakin banyak dan petani kedelai Indonesia tidak terlindungi (Hutapea dan Mashar, 2004). Oleh karena itu, peningkatan produksi kedelai sangat strategis dilakukan.

Peningkatan kedelai harus diarahkan kepada peningkatan produktivitas melalui perbaikan sistem budidaya. Prioritas utama dalam usaha meningkatkan produktivitas dan perbaikan sistem budidaya adalah meningkatkan potensi hasil dari suatu varietas yang ditanam dan menanam kedelai pada kondisi optimum (Somaatmadja, 1985).

Kegiatan pemuliaan tanaman pada kedelai di IPB telah dimulai sejak beberapa tahun lalu oleh Sopandie, Trikoesoemaningtyas, dan Khumaida (2006). Sampai saat ini telah diperoleh 20 galur generasi F8 dari hasil persilangan dialel yang menggunakan empat tetua yaitu Ceneng, Godek, Pangrango, dan Slamet. Galur – galur F8 digunakan untuk uji daya hasil pendahuluan pada kondisi optimum dan menghasilkan 38 galur terbaik F9 berdasarkan indeks seleksi dan bobot biji/tanaman. Dalam penelitian ini terpilih 28 galur F9 yang digunakan untuk uji daya hasil pendahuluan pada kondisi optimum. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan November 2006 sampai April 2007 di kebun percobaan BBBIOGEN Cikeumeuh, Taman Cimanggu, Bogor. Diharapkan dari hasil penelitian ini akan terpilih galur-galur harapan yang daya hasilnya lebih unggul dari varietas pembanding yang siap untuk diuji daya hasil lanjutan.

(13)

Tujuan

1. Melakukan uji daya hasil pendahuluan galur-galur harapan kedelai berdaya hasil tinggi pada kondisi optimum.

2. Memperoleh informasi tentang keragaan karakter agronomi galur-galur harapan kedelai berdaya hasil tinggi pada kondisi optimum yang lebih unggul dari varietas pembanding

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan hasil di antara galur-galur F9 yang diuji.

Di antara galur F9 yang diuji terdapat beberapa galur yang lebih unggul dari varietas pembanding.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi Kedelai

Tanaman kedelai berasal dari daratan Cina yang kemudian dikembangkan di berbagai negara seperti Amerika, Amerika Latin, dan Asia. Nama botani dari kedelai yang dibudidayakan adalah Glycine max (L.) Merrill. Kedelai (Glycine

max (L.) Merrill) termasuk ke dalam famili Leguminosae, genus Glycine,

sub-genus soja, dan spesies max. Species kedelai lainnya adalah Glycine soja yang merupakan tanaman kedelai liar semusim yang memiliki tipe pertumbuhan merambat dengan daun bertangkai tiga, kecil, dan sempit. Tipe kedelai liar ini memiliki bunga yang berwarna ungu, berbiji keras dengan bentuk biji agak bundar dan berwarna hitam atau coklat tua. Species Glycine max merupakan tanaman kedelai budidaya semusim yang memiliki tipe pertumbuhan berupa semak rendah, tumbuh tegak, berdaun lebat dengan bermacam-macam bentuk morfologi daunnya. Persamaan antara species kedelai Glycine soja dan Glycine max adalah kedua species ini memiliki jumlah kromosom yang sama yaitu 2n = 40 (Hidajat, 1985).

Species Glycine max memiliki dua tipe pertumbuhan, yaitu tipe

pertumbuhan determinate dan tipe pertumbuhan indeterminate yang masing-masing tipe pertumbuhan ini memiliki sifat pertumbuhan yang khas. Tipe pertumbuhan determinate ditandai dengan berhentinya pertumbuhan vegetatif setelah berbunga, masa berbunga tidak lama, jumlah buku setelah berbunga tidak bertambah, batangnya pendek dan tegak, serta bunga pertama muncul pada buku bagian atas batang. Berbeda dengan tipe pertumbuhan indeterminate, tipe pertumbuhan ini ditandai dengan pertumbuhan vegetatif akan terus berlanjut setelah berbunga, masa berbunga lebih lama dibanding dengan kedelai yang bertipe determinate, jumlah buku setelah berbunga masih akan bertambah, batangnya tinggi dan tumbuh melilit, serta bunga pertama muncul pada buku bagian bawah batang (Baharsjah et. al., 1985; Hidajat, 1985; Lersten, 1987).

Tinggi tanaman kedelai pada umumnya berkisar antara 10 sampai 200 cm dengan cabang sedikit atau banyak tergantung dari kultivar dan lingkungan hidupnya. Daun pertama yang keluar dari buku sebelah atas kotiledon berupa

(15)

daun tunggal yang berbentuk sederhana dan letaknya berseberangan. Daun-daun yang terbentuk kemudian adalah daun tiga (trifoliat) dan letaknya berselang-seling. Adakalanya terdapat daun dengan empat anak daun. Batang, polong, dan daun kedelai ditumbuhi bulu-bulu yang berwarna abu-abu atau coklat, namun terdapat pula tanaman kedelai yang tidak memiliki bulu. Perakaran kedelai terdiri dari akar tunggang yang terbentuk dari bakal akar, empat baris akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, dan sejumlah akar cabang yang tumbuh dari akar sekunder (Baharsjah et. al., 1985; Hidajat, 1985; Lersten, 1987).

Kedelai termasuk tanaman yang menyerbuk sendiri dengan penyerbukan yang terjadi pada saat bunga masih tertutup (kleistogamus) sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan silang sangat kecil. Bunga kedelai tergolong bunga sempurna yaitu setiap bunga memiliki alat jantan dan alat betina. Periode pengisian biji adalah periode paling kritis dalam masa pertumbuhan kedelai. Apabila terdapat gangguan dalam periode ini akan mengakibatkan berkurangnya hasil. Polong pertama muncul sekitar 10-14 hari setelah munculnya bunga pertama. Tiap-tiap polong berisi 1 sampai 5 biji, tetapi sebagian besar kultivar kedelai mempunyai polong yang berisi 2 sampai 3 buah biji. Bentuk biji kedelai berbeda-beda tergantung jenis kultivarnya, dapat berbentuk bulat, agak gepeng, atau bulat telur, namun sebagian besar kultivar bentuk bijinya bulat telur. Bobot biji kedelai berbeda-beda sesuai dengan ukuran bijinya. Bobot seratus butir untuk kedelai yang berbiji kecil antara 7-10 gram, untuk kedelai yang berbiji sedang mempunyai bobot 11-13 gram, dan untuk kedelai yang berbiji besar mempunyai bobot lebih dari 13 gram (Hidajat, 1985).

Menurut Baharsjah et. al. (1985) tanaman kedelai merupakan tanaman hari

pendek, yaitu tanaman kedelai tidak akan berbunga bila lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis (>12 jam penyinaran). Apabila lama penyinaran 12 jam, hampir semua tanaman kedelai dapat berbunga tetapi tergantung pada varietasnya, sedangkan bila lama penyinaran kurang dari 12 jam, tanaman kedelai dapat berbunga. Pada saat lama penyinaran melebihi 12 jam, maka tanaman akan meneruskan pertumbuhan vegetatifnya tanpa proses pembungaan. Umur berbunga beragam sesuai kultivarnya dari 20 hingga 60 hari setelah tanam.

(16)

Tanaman kedelai dapat tumbuh baik sampai ketinggian 1.500 m dpl. Lokasi yang ideal untuk kedelai adalah lokasi dengan curah hujan sedang (150-200mm/bulan). Suhu yang optimal untuk perkecambahan adalah 300 C. Biji kedelai berkecambah setelah 4 hari tanam pada lingkungan yang optimal, sedangkan pada suhu 100 C biji baru berkecambah sekitar 2 minggu setelah tanam. Pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu 29,40C dan menurun bila suhu lebih rendah. Saat memasuki periode pengisian polong suhu harian yang baik untuk kedelai adalah tidak melebihi 350C dengan kelembaban nisbi yang relatif rendah (±70%) (Baharsjah et. al., 1985).

Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri

Sasaran yang hendak dicapai pada program pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri adalah sifat unggul dan tanaman homozigot (Poespodarsono, 1988). Beberapa program pemuliaan yang dapat dikerjakan untuk mendapatkan varietas unggul, antara lain (1) introduksi atau mendatangkan varietas atau bahan seleksi dari luar negeri, (2) mengadakan seleksi galur terhadap populasi yang telah ada seperti varietas lokal atau varietas dalam koleksi, dan (3) mengadakan program pemuliaan dengan persilangan, mutasi, atau teknik-teknik lain (Sumarno, 1985).

Introduksi merupakan suatu proses mendatangkan suatu kultivar tanaman dari satu wilayah ke wilayah baru. Introduksi merupakan suatu cara untuk memperoleh plasma nutfah sebagai sumber keragaman genetik yang akan digunakan dalam pemuliaan. Hibridisasi memiliki tujuan untuk memperoleh kombinasi genetik yang diinginkan melalui persilangan dua atau lebih tetua yang berbeda genotipenya. Hasil hibridisasi akan bersegregasi pada generasi F1 bila tetua yang digunakan heterozigot dan akan bersegregasi pada generasi F2 bila tetua yang digunakan homozigot (Poespodarsono, 1988).

Seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri menggunakan dua cara untuk meningkatkan hasil yang diinginkan, yaitu dengan melakukan seleksi pada populasi yang sudah ada (seleksi pada populasi alam) dan seleksi dalam populasi untuk membentuk varietas atau galur baru (Poespodarsono, 1988). Metode seleksi yang biasa digunakan pada tanaman menyerbuk sendiri dengan cara persilangan

(17)

antara lain seleksi massa, pedigree, metode bulk, backcross, dan single seed

descent (Hayes, Immer, dan Smith, 1955; Allard, 1960; Poespodarsono, 1988).

Bentuk yang paling sederhana dari metode seleksi yang ada adalah seleksi massa. Dasar seleksi ini hanya pada penampilan luar (fenotipe). Tanaman yang terpilih secara individual dicampur untuk digunakan sebagai bahan tanaman musim berikutnya. Pelaksanaan seleksi ini menggunakan suatu populasi yang ditanam pada suatu areal yang cukup luas. Cara pemilihan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu seleksi massa positif dan seleksi massa negatif. Seleksi massa positif hanya memilih individu tanaman yang sesuai dengan tujuan pemuliaan. Jumlah tanaman yang dipilih antara 100 sampai 200 tanaman dan mempunyai sifat-sifat yang seragam. Seleksi massa positif dapat diulang satu atau dua kali sampai tanaman hasil seleksi menunjukkan keseragaman. Seleksi massa negatif yaitu membuang tanaman yang menyimpang dari sifat-sifat yang dikehendaki dan sisa tanaman yang lain dipanen untuk dijadikan benih. Seleksi massa negatif dapat diulangi beberapa kali sampai diperoleh tanaman yang seragam. Seleksi massa negatif seringkali dilakukan setelah seleksi massa positif (Sumarno, 1985; Poespodarsono, 1988; Mangoendidjojo, 2003).

Metode seleksi pedigree adalah metode seleksi dengan melakukan

pencatatan setiap anggota populasi bersegregasi hasil persilangan. Seleksi

pedigre diterapkan berdasarkan keragaman yang tersedia antar galur dan

keragaman yang tersedia dalam galur. Seleksi pedigree dilakukan terhadap individu tanaman yang mengalami segregasi dan seleksi dilakukan pada generasi ke-2 (F2). Metode seleksi pedigree membutuhkan waktu dan cara pengamatan yang cermat terhadap individu-individu tanaman pada suatu generasi yang bersegregasi. Pemulia tanaman harus mempunyai ketajaman dan kejelian pada waktu pemilihan, khususnya saat pemilihan pada generasi awal. Tanpa ketajaman dan kejelian, ada kemungkinan bahwa individu yang terpilih dalam proses segregasi, pada generasi berikutnya akan menghasilkan individu-individu keturunan yang tidak sesuai harapan (Mangoendidjojo, 2003).

Seleksi dengan menggunakan metode bulk dilakukan pada generasi ke-6 (F6). Keturunan F2 sampai F5 pada metode bulk ditanam tanpa mengalami seleksi. Setiap generasi tanaman setelah panen kemudian dicampur untuk

(18)

digunakan sebagai bahan tanaman pada generasi berikutnya. Seleksi dilakukan pada generasi ke - 6 (F6) karena secara teori pada F6 proporsi populasi yang homozigot sudah mencapai lebih dari 90 % sehingga memudahkan dalam pelaksanaan seleksi. Dibandingkan dengan metode pedigree, metode bulk akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan areal tanam yang lebih luas, tetapi dalam pelaksanaan pemilihan tanaman akan lebih mudah. Jadi, metode seleksi bulk lebih sederhana, mudah, dan tidak mahal (Mangoendidjojo, 2003). Metode backcross (persilangan balik) termasuk seleksi kombinasi karena

dilakukan dengan persilangan antara dua tetua karena dilakukan persilangan antara F1 dengan salah satu tetuanya. Metode persilangan ini pada umumnya digunakan dalam rangka usaha memperbaiki varietas-varietas unggul yang sudah ada dengan cara menyisipkan gen yang diinginkan pada salah satu tetua (tetua donor) kepada F1 (tetua recurrent). Metode backcross masih memiliki kelemahan sifat. Kelemahan sifat tersebut dapat diperbaiki dengan cara memasukkan sifat yang baik dari varietas lain (Mangoendidjojo, 2003).

Metode single seed descent (SSD) banyak diterapkan pada tanaman

menyerbuk sendiri. Prinsip pada metode SSD adalah individu tanaman yang terpilih dari suatu hasil persilangan pada F2 dan selanjutnya, ditanam cukup satu biji setiap satu keturunan. Penanaman dengan satu biji dilakukan sampai generasi yang ke–5 atau ke-6 (F5 atau F6). Bila pada generasi tersebut sudah diperoleh tingkat keseragaman yang diinginkan maka pada generasi berikutnya pertanaman tidak dilakukan satu biji satu keturunan, tetapi ditingkatkan menjadi satu baris satu populasi keturunan kemudian meningkat lagi pada generasi selanjutnya menjadi satu plot satu populasi keturunan (Mangoendidjojo, 2003).

Teknik Pemuliaan Kedelai

Sasaran utama dalam pemuliaan kedelai adalah meningkatkan potensi hasil, meningkatkan mutu hasil yaitu dengan cara meningkatkan daya adaptasi terhadap keadaan tanah dan iklim dalam daerah penyebaran, dan meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit (Somaatmadja, 1985).

Program pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul kedelai terdiri dari empat tahap pekerjaan, yaitu pembentukan populasi dasar untuk bahan seleksi

(19)

dengan cara hibridisasi, seleksi, pengujian daya hasil, dan pemurnian dan penyediaan benih (Sumarno, 1985).

Populasi dasar adalah populasi bahan seleksi yang mengandung sifat yang diinginkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk populasi dasar adalah populasi harus mengandung sifat-sifat yang ingin diseleksi, mengandung variasi genetik yang luas, dan mempunyai daya adaptasi yang baik serta mempunyai sifat-sifat agronomi yang baik. Populasi sebagai bahan seleksi dapat dibentuk dengan beberapa cara, yaitu persilangan buatan, persilangan dengan bantuan jantan mandul, mutasi, dan persilangan antar spesies (Sumarno, 1985).

Varietas kedelai yang dikembangkan dari galur murni bersifat homozigot – homogenus. Oleh karena itu, populasi keturunan persilangan perlu dibentuk galur-galur murni sehingga dapat diuji daya hasilnya. Ciri-ciri galur-galur murni yang terlihat antara lain adalah penampilan yang seragam dari sifat-sifat morfologi dan keturunan dari galur murni menunjukkan sifat yang telah mantap. Metode seleksi yang digunakan dalam pembentukan galur murni dapat bermacam-macam, antara lain pembentukan galur murni dibarengi dengan seleksi (metode pedigree) dan pembentukan galur murni tanpa seleksi (metode bulk). Hal yang perlu diperhatikan adalah antara galur-galur murni yang akan diuji harus mempunyai keragaman genetik yang luas sehingga dapat dipilih galur yang secara genetik mempunyai hasil tinggi serta mempunyai sifat lain yang diinginkan (Sumarno, 1985).

Pengujian daya hasil merupakan tahap dalam program pemuliaan yang paling banyak memerlukan tenaga dan biaya. Pembentukan galur murni relatif mudah dan murah, tetapi untuk menguji daya hasilnya diperlukan biaya, tenaga, dan tanah yang cukup luas. Pengujian daya hasil pada umumnya dibagi dalam tiga tahap, yaitu uji daya hasil pendahuluan (UDHP), uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multi lokasi (UML). Tahap UDHP memerlukan galur sebanyak mungkin untuk diuji agar peluang untuk memperoleh galur dengan hasil tinggi cukup besar. Galur yang diuji pada tahap UDHL berjumlah antara 10-20 galur, termasuk varietas unggul pembanding. Jumlah lokasi sekurang-kurangnya empat lokasi selama 2-4 musim. Hasil rata-rata dari semua percobaan akan menentukan suatu galur dapat dilepas sebagai varietas unggul atau tidak. Galur yang hasilnya

(20)

melebihi varietas unggul dinamakan galur harapan. Galur yang diuji pada tahap UML hanya 5-10 galur harapan saja. Tahap pengujian UML bertujuan untuk mengetahui daya adaptasi dari galur-galur harapan yang akan dilepas sebagai varietas unggul baru. Galur harapan yang berproduksi tinggi pada daerah tertentu dapat dilepas sebagai varietas unggul untuk daerah tersebut (Sumarno, 1985).

Heritabilitas

Menurut Allard (1960) kemajuan seleksi yang dilakukan dapat dilihat dari nilai heritabilitasnya. Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetik terhadap varian total (varian fenotipe) yang biasa dinyatakan dalam persen (%) (Kuckuck et. al, 1991). Menurut Poehlman dan Sleeper (1995) menyatakan haritabilitas adalah parameter genetik yang digunakan untuk menduga variabilitas penampilan suatu genotipe dalam populasi yang disebabkan oleh peranan faktor genetik.

Nilai heritabilitas terbagi menjadi dua macam, yaitu heritabilitas arti luas (broad sense heritability) yang merupakan perbandingan antara varian genetik total terhadap varian fenotipe, dan heritabilitas arti sempit (narrow sense

heritability) yang merupakan perbandingan antara varian aditif dan varian

fenotipe (Makmur, 1992). Stanfield (1983) membagi nilai heritabilitas arti luas ke dalam tiga kelompok, yaitu rendah (h2 ≤ 0.2), sedang (0.2 ≤ h2≤0.5), dan tinggi (h2 > 50%). Heritabilitas arti sempit nilainya akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai heritabilitas arti luas, karena heritabilitas arti sempit melihat proporsi varian aditif yang merupakan bagian dari varian genetik total terhadap varian fenotipe dan varian aditif merupakan sifat yang benar-benar diwariskan pada keturunannya sehingga nilai heritabilitas arti sempit akan lebih spesifik dibandingkan dengan nilai heritabilitas arti luas (Mangoendidjojo, 2003).

Nilai heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan beberapa metode, antara lain dengan menggunakan metode analisis komponen ragam. Analisis komponen ragam digunakan untuk menduga nilai heritabilitas arti luas. Metode lain yang dapat digunakan untuk menduga nilai heritabilitas adalah metode

parent-offspring. Metode ini digunakan untuk menduga nilai heritabilitas arti

(21)

nilai rata-rata turunannya terhadap tetuanya. Nilai heritabilitas dinyatakan dalam bilangan pecahan atau persentase yang berkisar antara 0 dan 1. Nilai heritabilitas o artinya keragaman fenotipe hanya disebabkan oleh keragaman lingkungan, sedangkan nilai heritabilitas 1 artinya keragaman fenotipe hanya ditentukan oleh keragaman fenotipe. Semakin mendekati nilai satu nilai heritabilitasnya semakin tinggi, sebaliknya semakin mendekati nilai nol nilai heritabilitasnya semakin rendah (Poespodarsono, 1988).

Heritabilitas dugunakan sebagai langkah awal pada pekerjaan seleksi terhadap populasi bersegregasi. Populasi dengan heritabilitas tinggi memungkinkan dilakukannya seleksi, sebaliknya populasi dengan heritabilitas rendah masih harus dilihat tingkat rendahnya. Bila terlalu rendah, hampir mendekati nol, tidak akan banyak berarti pekerjaan seleksi tersebut. Sifat kualitatif umumnya memiliki nilai heritabilitas tinggi karena sifat kualitatif dikendalikan oleh gen sederhana dan penampakkan sifatnya tidak terlalu dipengaruhi oleh lingkungan. Sifat kuantitatif memiliki nilai heritabilitas rendah karena dikendalikan oleh gen yang kompleks dan dipengaruhi oleh lingkungan (Poespodarsono, 1988). Heritabilitas suatu karakter yang tinggi menandakan bahwa ekspresi genetik karakter tersebut relatif kurang dipengaruhi lingkungan, sedangkan nilai heritabilitas yang rendah menandakan keragaman fenotipe dipengaruhi lingkungan (Rachmadi et. al., 1996).

Koefisien Keragaman Genetik

Sebelum menetapkan metode seleksi yang akan digunakan dan kapan seleksi akan dimulai perlu diketahui berapa besar variabilitas genetik, karena variabilitas genetik sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi dalam pemuliaan tanaman (Pinaria et. al., 1995). Suatu karakter tergolong mempunyai variabilitas genetik yang luas jika varians genetik lebih besar dari dua kali simpangan baku varians genetik dan tergolong sempit jika varians genetik lebih kecil atau sama dengan dua kali simpangan baku varians genetiknya (Wahyuni et.

al., 2000). Keadaan variabilitas genetik yang luas memberikan peluang seleksi

terhadap suatu karakter berlangsung efektif (Ruchjaniningsih et. al., 2000). Menurut Zen et. al., (1995) nilai koefisien keragaman genetik membantu

(22)

pengukuran diversitas genetik pada suatu sifat dan melengkapi cara dalam membandingkan keragaman genetik didalam sifat-sifat kuantitatif.

Korelasi

Korelasi menunjukkan keeratan hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya. Nilai korelasi yang tinggi dan signifikan menunjukkan bahwa kedua sifat tersebut akan selalu bersama-sama. Hubungan antara dua karakter dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya. Nilai koefisien korelasi berkisar antara -1 dan +1, dengan nilai yang ekstrim menunjukkan hubngan linier sempurna. Nilai koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan linier yang berlawanan, sedangkan nilai koefisien korelasi positif menunjukkan hubungan linier yang searah. Nilai koefisien korelasi nol menunjukkan bahwa antara kedua karakter tersebut tidak terdapat hubungan (Gomez dan Gomez, 1995).

Korelasi sudah dimanfaatkan oleh peneliti dibidang pemuliaan tanaman. Korelasi dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman selain untuk melihat keeratan hubungan antara dua karakter juga banyak dimanfaatkan untuk memudahkan proses seleksi. Karakter yang berkorelasi nyata dengan hasil dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan tanaman yang mampu berproduksi tinggi. Seleksi dengan melihat koefisien korelasi biasa disebut dengan seleksi tidak langsung (Poespodarsono, 1988).

Penentuan Karakter Seleksi

Seleksi adalah kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk mendapatkan genotipe yang membawa gen-gen yang mengendalikan karakter yang diinginkan sehingga seleksi mengakibatkan kenaikan frekuensi gen pada generasi berikutnya (Sopandie, 2006). Menurut Allard (1960) mengatakan bahwa seleksi dilakukan untuk memilih genotipe bukan untuk memilih gen-gen yang diinginkan. Seleksi akan menghasilkan kombinasi gen-gen baru bukan menghasilkan gen-gen baru.

Selain menentukan metode seleksi yang tepat, keberhasilan program pemuliaan dapat dipercepat dengan pemilihan kriteria seleksi yang tepat. Seleksi dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Seleksi langsung hanya

(23)

efisien jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas tinggi, sebaliknya jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas rendah maka seleksi tidak langsung dengan menggunakan satu atau beberapa karakter akan lebih efisien (Ruchjaniningsih et. al., 2000). Menurut Sopandie (2006) mengatakan bahwa pemilihan karakter yang akan digunakan sebagai kriteria seleksi tidak langsung memerlukan informasi tentang pola pewarisan dan keeratan hubungan daya hasil dengan karakter yang ingin diperbaiki

(24)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai dengan bulan April 2007 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik (BBBIOGEN) Cikeumeuh, Taman Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah populasi tetua yaitu kedelai varietas Pangrango dan Slamet (Varietas Nasional), serta 28 galur kedelai F9 hasil seleksi berdasarkan indeks seleksi dan bobot biji/tanaman yang ditanam pada kondisi optimum. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk kandang 2 ton/ha, Urea 100 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, Karbofuran 3G 20 kg/ha. Alat-alat yang digunakan adalah Alat-alat-Alat-alat yang biasa digunakan untuk pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman. Alat lain yang digunakan adalah meteran serta timbangan.

Pelaksanaan

Penelitian ini dimulai dari persiapan dan pengolahan lahan dengan menggunakan cangkul disertai dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha satu bulan sebelum penanaman, dilanjutkan dengan pembentukan bedengan-bedengan berukuran 1 m x 2 m. Pada saat satu hari sebelum penanaman dilakukan persiapan benih, meliputi pemilihan benih secara visual. Benih yang terpilih adalah benih-benih yang berwarna mengkilap, mulus, dan berukuran besar. Kemudian dilanjutkan dengan penanaman benih dengan jarak tanam 30 cm x 15 cm sebanyak 1 benih per lubang. Insektisida Karbofuran 3G diberikan dengan cara melingkari lubang tanam dengan dosis 20 kg/ha. Pemupukan dilakukan saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Penyulaman dilakukan bersamaan dengan pemupukan terhadap benih-benih yang tidak tumbuh. Pengendalian gulma dan hama penyakit dilakukan sesuai kondisi pertanaman di lapangan. Pengambilan anak contoh dilakukan secara acak saat tanaman sudah berumur 6 MST tanaman-tanaman yang mempunyai tanaman

(25)

tetangga. Jumlah tanaman contoh adalah sebanyak 5 tanaman contoh untuk satu galur disetiap ulangan.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap tanaman tunggal, sebanyak 5 tanaman contoh pada fase vegetatif dan generatif. Peubah-peubah yang diamati sebagai berikut:

- Umur berbunga (MST), yaitu waktu tanaman berbunga ≥ 70%, dihitung secara kualitatif.

- Tinggi tanaman (cm), yaitu tinggi tanaman dari pangkal batang sampai titik tumbuh saat panen yang diukur pada saat panen.

- Jumlah cabang produktif, yaitu total cabang yang menghasilkan polong. - Jumlah polong isi, yaitu jumlah polong yang bernas.

- Jumlah polong hampa, yaitu polong yang tidak bernas.

- Jumlah polong total, yaitu hasil penjumlahan polong isi dan polong hampa. - Persentase polong isi (%), yaitu persen jumlah polong isi terhadap jumlah

polong total.

- Bobot biji/tanaman, yaitu bobot biji untuk satu galur pada setiap tanaman. - Bobot 25 biji (g), yaitu diperoleh dengan bobot 25 biji per tanaman.

- Bobot biji/petak (g), yaitu diperoleh dengan bobot biji untuk satu galur pada setiap petak percobaan.

Untuk peubah tinggi tanaman sampai dengan bobot biji/petak dilakukan pada saat panen.

Analisis Data

Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dan rancangan perlakuan adalah faktor tunggal yaitu galur kedelai hasil seleksi pada kondisi optimum dengan jumlah galur yang digunakan adalah 28 galur dan 2 genotipe tetua sebagai pembanding. Masing-masing galur dan genotipe tetua diulang tiga kali dengan jumlah anak contoh 5 tanaman sehingga jumlah satuan percobaan adalah 90 satuan percobaan.

(26)

Model aditif yang digunakan menurut Steel and Torrie (1993) adalah: Yij = µ + βi + τj + εij

Keterangan :

Yij = Respon perlakuan ke-j terhadap ulangan ke-i

µ = Rataan umum

βi = Pengaruh kelompok ke-i

τj = Pengaruh aditif galur ke-j

εij = Galat percobaan dari perlakuan galur ke-j, ulangan ke-i

Untuk melihat keragaan galur F9 yang diuji, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan uji F. Jika uji F berbeda nyata, uji dilanjutkan menggunakan kontras orthogonal dengan tetua Pangrango dan Slamet sebagai pembanding

Pendugaan parameter genetik meliputi pendugaan komponen ragam dan pendugaan nilai heritabilitas dalam arti luas (h2bs) untuk menentukan karakter

yang dapat dijadikan kriteria seleksi.

Tabel Analisis Ragam dan Komponen Pendugaan Ragam: Sumber Keragaman (SK) Derajat Bebas (db) Kuadrat Tengah (KT) E(KT) FK 1 Ulangan r – 1 M3 σ2 + g σ2u Galur g – 1 M2 σ2 + r σ2g Galat G(r – 1) M1 σ2 Total g.r

Pendugaan komponen ragam diperoleh dengan cara sebagai berikut: Ragam lingkungan besarnya diduga dari KT galat (σ2)

Ragam genetik (σ2g) diduga dari : (M2 – M1) / r

Ragam fenotipik (σ2p) = (σ2) / r + σ2g

Pendugaan nilai heritabilitas diperoleh dengan cara : h2 = σ2g/ σ2p X 100%

Hubungan antar karakter dianalisis dengan menghitung nilai koefisien korelasi Pearson. Masing-masing nilai koefisien korelasi diuji pada taraf nyata

(27)

0.05 (Gomez dan Gomez, 1995). Nilai koefisien korelasi yang dihitung adalah koefisien korelasi fenotipik (rp) yang dihitung dengan rumus :

rp = ) ( var . ) ( var cov y x xy dengan db = n - 2

dimana, covxy = peragam antara karakter x dengan karakter y, σx = simpangan

baku karakter komponen hasil, σy = simpangan baku karakter hasil, dan n =

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian besar penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada kondisi optimum yang dilaksanakan mulai dari bulan November 2006 sampai April 2007. Kondisi pertanaman kedelai selama penelitian tumbuh baik dan subur tetapi pada fase pembungaan sampai pengisian polong, curah hujan di tempat penelitian cukup tinggi disertai angin kencang sehingga menyebabkan tanaman rebah. Kerebahan ini terjadi pada bulan Januari 2007 dengan curah hujan mencapai 327 mm dan kecepatan angin 3 km/jam (Badan Meteorologi dan Geofisika,2007). Menurut Adie et. al (2002) menyatakan bahwa kerebahan yang terjadi pada fase pengisian polong tidak hanya menurunkan tingkat hasil, namun juga terhadap kualitas biji yang dihasilkan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari 2007 yang mencapai 528 mm pada saat tanaman kedelai sudah memasuki periode panen. Hal demikian yang menyebabkan panen terhambat dan menurunkan mutu biji. Menurut Baharsjah et. al. (1985) pertanaman kedelai dengan curah hujan yang tinggi tetapi tidak merata mengakibatkan hasil sangat rendah.

Jumlah plot per petak selama penelitian sebanyak tiga puluh dengan tiga ulangan dimana 27 plot berbentuk mendatar dan tiga plot berbentuk memanjang. Bentuk plot percobaan yang berbeda menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai berbeda-beda karena penerimaan cahaya yang kurang seragam sehingga tanaman kedelai yang ditanam pada plot memanjang mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dan pertumbuhan gulma yang lebih lebat dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada plot mendatar.

Tanah sekitar pertanaman sangat gembur terutama di sekitar akar. Ketika curah hujan tinggi banyak tanah yang terporosi oleh airan air karena tidak terdapat saluran air di sekitar bedengan. Hal ini menyebabkan banyak tanaman yang rebah dan mati karena patah. Untuk mengatasi hal demikian, dibuat saluran air sehingga air dapat mengalir dan dapat mengurangi kerebahan. Selain tidak adanya saluran

(29)

air, kerebahan juga didukung oleh kondisi tanaman yang terlalu tinggi dan jarak tanam yang terlalu rapat.

Gambar 1a. Kondisi umum pertanaman kedelai saat tanaman umur 4 MST

Gambar 1b. Kondisi umum pertanaman kedelai saat tanaman umur 6 MST Sebagian besar populasi galur F9 mulai berbunga pada 7 MST. Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat populasi sudah berbunga mencapai 70% dan selesai dilakukan ketika semua populasi galur telah berbunga 100% yaitu 8MST. Pemanenan dilakukan ketika 90% polong tanaman dalam 1 galur sudah berwarna coklat dan daunnya gugur. Panen dilakukan sebanyak lima kali sesuai kondisi lapang, yaitu saat kondisi lapang tidak hujan. Panen dilakukan pada tanggal 28 Februari, 8 April, 13 April, 22 April, dan 27 April.

Selama penelitian tanaman banyak terserang hama belalang. Selain hama belalang yang menyerang tanaman antara lain ulat jengkal (Plusia chalcites), ulat grayak (Spodoptera litura), kepik penghisap polong (Riptortus linearis), dan wereng kedelai (Phaedonia inclusa). Penyakit yang menyerang tanaman antara lain Penyakit sapu setan (Witches Broom), Karat, dan Antracnose. Gulma yang

(30)

dominan tumbuh antara lain Ageratum conizoides, Cyperus rotundus, Panicum

repens, Borreria alata, Oxalis barrilieri, dan Pennisetum polystachion. Gulma

dikendalikan secara manual.

Gambar 2a. Hama belalang yang menyerang tanaman kedelai (kiri); daun yang diserang oleh hama belalang (kanan)

Gambar 2b. Hama kepik yang menyerang tanaman kedelai (kiri); tanaman kedelai yang terserang penyakit sapu setan (kanan)

Keragaan Galur-galur Kedelai F9

Pengamatan dilakukan terhadap sembilan karakter yang terbagi menjadi dua kelompok karakter pengamatan, yaitu kelompok pertama yang terdiri dari umur berbunga, tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif dan kelompok kedua merupakan karakter komponen hasil, terdiri dari karakter jumlah polong hampa, jumlah polong isi, jumlah polong total, persen polong isi, bobot biji/tanaman, bobot biji/petak, dan bobot 25 butir. Pengamatan untuk karakter umur berbunga dilakukan saat tanaman belum panen, sedangkan karakter lainnya dilakukan saat tanaman panen.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai tengah genotipe yang sangat nyata pada karakter jumlah cabang, jumlah polong hampa, jumlah polong isi, jumlah polong total, %polong isi, bobot biji/petak, dan

(31)

bobot biji 25 butir. Nilai tengah genotipe yang berbeda nyata terdapat pada karakter tinggi tanaman, sedangkan nilai tengah genotipe yang tidak berbeda nyata terdapat pada karakter bobot biji/tanaman (Tabel 1). Karakter yang berbeda nyata dan sangat nyata pada uji F diteruskan menggunakan uji kontras orthogonal dengan tetua Pangrango (P) dan Slamet (S) sebagai pembanding (Tabel 3).

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam untuk Semua Karakter Pengamatan Karakter KT Galur F hitung Tinggi tanaman (cm)

Jumlah cabang (buah) Jumlah polong hampa Jumlah polong isi Jumlah polong total %polong isi (%) Bobot biji/tanaman (g) Bobot 25 butir (g) Bobot biji/petak (g) 195.38 2.30 4.25 4.18 10.04 461.79 0.48 0.22 52748.84 6.34* 1.78** 3.86**ht 2.39**ht 4.28**ht 11.62**ht 0.91tnht 7.19** 2.31**

Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf 5% pada uji F, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5% pada uji F, tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji F, ht = nilai hasil transformasi.

Karakter Tinggi Tanaman Saat Panen

Galur-galur F9 yang dievaluasi mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 39.87 – 74.80 cm, sedangkan tetua Pangrango dan tetua Slamet sebagai pembanding masing-masing mempunyai tinggi tanaman 56.07 cm dan 67.80 cm (Tabel 2). Galur PS-13-6 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah terendah untuk karakter tinggi tanaman dalam populasi yang diuji yaitu 39.87 cm, sedangkan galur yang memiliki nilai tengah tinggi tanaman yang tertinggi terdapat pada galur PS-1-1 sebesar 74.80 cm. Pada galur F8 yang diuji oleh Budiastuti (2006), untuk karakter tinggi tanaman galur F8 berkisar antara 63.36-82.59 cm dengan nilai tengah 72.98 cm. Pengamatan terhadap karakter tinggi tanaman secara umum pada galur F9 ini menunjukkan banyak galur yang memiliki tinggi tanaman yang rendah. Menurut Somaatmadja (1985) tinggi tanaman kedelai yang

(32)

ideal untuk varietas berdaya hasil tinggi adalah 75 cm. Karakter tinggi tanaman pada galur F9 ini lebih rendah dari galur yang diuji sebelumnya (F8) karena tidak ada galur yang memiliki tinggi 75 cm.

Karakter tanaman yang tinggi merupakan sifat alami sebagai bentuk adaptasinya terhadap gulma dan cahaya. Galur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerebahan serta kesulitan dalam pemeliharaan dan pengendalian hama penyakit. Batang yang pendek dapat mengurangi respirasi sehingga baik untuk keseimbangan fotosintesis dan respirasi (Tanaka, 1983; Prabudi, 2005).

Berdasarkan hasil uji lanjut kontras (Tabel 3) untuk karakter tinggi tanaman, hanya terdapat satu genotipe yang berbeda nyata dan memiliki tinggi yang lebih baik dari tetua Pangrango dan Slamet, yaitu PS-1-1 (74.80 cm). Genotipe lain yang tidak berbeda nyata dan memiliki tinggi tanaman yang lebih baik dari tetua Pangrango dan Slamet adalah PS-60-2 (63.40 cm) dan GS-4-2 (63.40 cm).

Tabel 2. Nilai Tengah dan Kisaran Nilai Tengah Delapan Karakter Komponen Hasil Kedelai Generasi F9

Karakter Nilai Tengah Kisaran Tinggi tanaman (cm)

Jumlah cabang (buah) Jumlah polong hampa Jumlah polong isi Jumlah polong total Persentase polong isi (%) Bobot biji/tanaman (g) Bobot 25 butir (g) Bobot biji/petak (g) 50.87 9.93 21.79 99.60 121.87 83.74 12.34 2.52 513.69 39.87 – 74.80 7.87-11.53 4.47-80.53 59.40-139.07 63.87-165.13 52.61-101.94 7.57-16.42 2.14-3.20 136.48-711.67

Karakter Jumlah Cabang Produktif

Karakter jumlah cabang pada galur F9 yang diuji mempunyai nilai tengah yang berkisar antara 7.87-11.53, sedangkan tetua Pangrango dan Slamet sebagai pembanding mempunyai nilai tengah yang sama yaitu 10.07 (Tabel 2). Galur PS-22-1 merupakan galur yang memiliki nilai tengah terendah yaitu 7.87, sedangkan

(33)

galur GC-72-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah tertinggi yaitu 11.53. Galur-galur F9 yang diuji mempunyai jumlah cabang produktif yang lebih benyak dibandingkan galur F8 yang diuji sebelumnya. Pada galur F8 yang diuji oleh Budiastuti (2006) memiliki nilai tengah jumlah cabang produktif yang berkisar antara 4.28-6.97. Menurut Somaatmadja (1985) menyatakan bahwa tipe tanaman kedelai yang ideal adalah tanaman yang tidak bercabang sehingga semua polong terletak pada buku utama.

Hasil uji lanjut kontras untuk karakter jumlah cabang, tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata dan lebih baik dari pembanding. Di antara genotipe yang tidak nyata, terdapat beberapa genotipe yang mempunyai jumlah cabang lebih banyak dari pembanding yaitu GP-32-1 (11.07 cabang), CS-16-2 (11.47 cabang), dan GC-72-2 (11.53 cabang) (Tabel 3).

Karakter Jumlah Polong Hampa

Karakter jumlah polong hampa pada generasi F9 yang dievaluasi mempunyai jumlah polong hampa yang lebih banyak dibandingkan pada generasi sebelumnya. Nilai tengah untuk karakter jumlah polong hampa pada galur F9 berkisar antara 4.47-80.53 (Tabel 2), sedangkan pada generasi sebelumnya (F8) memiliki nilai tengah berkisar antara 1.53-9.85 (Budiastuti, 2006). Nilai tengah untuk tetua Pangrango dan Slamet masing-masing memiliki jumlah polong hampa sebesar 11.73 dan 19.40 (Tabel 2). Galur CS-16-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah terendah yaitu 4.47, sedangkan galur GS-4-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah tertinggi pada generasi F9 yaitu 80.53.

Banyaknya polong hampa pada galur F9 ini dikarenakan saat pengisian polong terjadi angin kencang dan curah hujan yang rendah sehingga banyak tanaman yang rebah. Menurut Sutarno et. al. (1983) menyatakan bahwa fase pengisian polong merupakan periode kritis untuk tanaman kedelai dan tidak boleh kekurangan air, sedangkan menurut Adie et. al. (2002) menyatakan bahwa kerebahan yang terjadi pada fase pengisian biji tidak hanya menurunkan tingkat hasil, tetapi juga terhadap kualitas biji yang dihasilkan.

Seleksi untuk perbaikan daya hasil dilakukan dengan memilih genotipe yang mempunyai polong hampa lebih sedikit dari pembanding. Hasil uji lanjut

(34)

kontras untuk karakter jumlah polong hampa, terdapat dua genotipe yang berbeda nyata dan lebih rendah daripada pembanding Slamet, yaitu CS-16-2 (4.47 polong) dan CS-42-1 (6.00 polong). Selain kedua genotipe tersebut, terdapat dua genotipe yang tidak berbeda nyata dan lebih rendah dari pembanding. Genotipe tersebut adalah CP-38-3 (8.27 polong) dan CG-16-3 (9.73 polong) (Tabel 3).

Karakter Jumlah Polong Isi

Nilai tengah untuk karakter jumlah polong isi pada galur F9 yang diuji berkisar antara 59.40-139.07, sedangkan untuk tetua Pangrango dan Slamet masing-masing memiliki nilai tengah 125.33 dan 115.33 (Tabel 2). Galur yang memiliki nilai terendah adalah CS-16-2 (59.40), sedangkan galur yang memiliki nilai tengah tertinggi adalah galur GS-55-4 (139.07). Galur F9 memiliki jumlah polong isi lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya. Pada generasi F8 nilai tengah untuk karakter jumlah polong isi berkisar antara 66.34-120.18 (Budiastuti, 2006).

Hasil uji lanjut kontras orthogonal untuk karakter jumlah polong isi menunjukkan bahwa tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata dan lebih tinggi dari kedua pembanding (Tabel 3). Di antara genotipe yang tidak berbeda nyata, terdapat delapan genotipe yang mempunyai polong isi lebih banyak daripada tetua Pangrango dan tetua Slamet, yaitu PS-5-3 (129.47 polong), PG-3-3 (128.53 polong), PG-3-5 (120.40 polong), GP-45-3 (124.27 polong), GS-55-4 (139.07 polong), GC-89-2 (120.20 polong), PS-6-3 (123.93 polong), dan PG-17-2 (123.40 polong).

Karakter Jumlah Polong Total

Karakter jumlah polong total pada galur F9 yang diuji mempunyai nilai tengah yang berkisar antara 63.87-165.13, sedangkan tetua Pangrango dan Slamet sebagai pembanding mempunyai nilai tengah masing-masing adalah 91.71 dan 86.38 (Tabel 2). Galur CS-16-2 merupakan galur yang memiliki nilai tengah terendah yaitu 63.87, sedangkan galur PG-3-3 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah tertinggi yaitu 165.13. Galur-galur F9 yang diuji mempunyai jumlah polong total yang lebih benyak dibandingkan galur F8 yang diuji sebelumnya.

(35)

Pada galur F8 yang diuji oleh Budiastuti (2006) memiliki nilai tengah jumlah polong total yang berkisar antara 70.44-120.18. Satu batang kedelai yang tumbuh tersendiri pada tanah subur dapat menghasilkan 100-250 polong (Sumarno dan Harnoto, 1983).

Hasil uji lanjut kontras untuk karakter jumlah polong total, terdapat satu genotipe yang berbeda nyata dan lebih tinggi dari kedua pembanding, yaitu PG-3-3 (165.1PG-3-3 polong). Di antara genotipe yang tidak berbeda nyata, terdapat tujuh genotipe yang mempunyai polong total lebih banyak daripada tetua Pangrango dan Slamet, yaitu PS-5-3 (159.60 polong), PG-3-5 (156.60 polong), GP-45-3 (150.60 polong), GS-55-4 (162.00 polong), GS-4-2 (146.20 polong), PS-6-3 (150.53 polong), dan PG-17-2 (145.47 polong) (Tabel 3).

Karakter Persentase Polong Isi

Karakter persentase polong isi pada generasi F9 yang dievaluasi mempunyai persentase polong isi yang lebih sedikit dibandingkan pada generasi sebelumnya. Nilai tengah untuk karakter persentase polong isi F9 berkisar antara 52.61-101.94 (Tabel 2), sedangkan pada generasi sebelumnya (F8) memiliki nilai tengah berkisar antara 90.74-97.92 (Budiastuti, 2006). Nilai tengah untuk tetua Pangrango dan Slamet masing-masing memiliki persentase polong isi sebesar 91.71 dan 86.38 (Tabel 2). Galur GS-4-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah terendah yaitu 52.61, sedangkan galur SG-58-6 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah tertinggi untuk karakter persentase polong isi pada generasi F9 yaitu 101.94.

Berdasarkan hasil uji lanjut kontras (Tabel 3), untuk karakter persentase polong isi, hanya terdapat satu genotipe yang berbeda nyata dan memiliki persentase polong isi lebih tinggi dari kedua pembanding, yaitu SG-58-6 (101.94 %). Di antara genotipe yang tidak berbeda nyata, terdapat tujuh genotipe yang memiliki persentase polong isi yang lebih tinggi dari tetua Pangrango dan Slamet, yaitu CS-16-2 (92.65 %), CG-16-3 (90.90 %), PS-10-1 (86.61 %), GC-89-2 (89.67 %), PG-56-2 (87.63 %), PS-13-6 (88.10 %), CS-42-1 (89.90 %), dan CP-38-3 (90.84 %).

(36)

Tabel 3. Rekapitulasi Nilai Kontras untuk Semua Karakter Terhadap Tetua Pangrango dan Slamet

Galur TT JC JPH JPI JPT PPI BBT B25 BBP

PS-5-3 52.402 10.53 30.131 129.47 159.60 81.12 14.51 2.632 431.671 PG-4-9 52.672 9.27 20.00 86.73 106.73 82.31 11.37 2.582 620.00 CG-16-3 54.802 9.87 9.73 92.93 102.67 90.90 10.151 2.632 491.67 PS-18-1 47.602 10.60 11.40 103.80 115.20 89.57 16.42 2.642 483.33 GP-32-1 52.602 11.07 10.87 86.531 97.402 83.32 9.931 2.542 573.33 PS-60-2 63.40 8.73 25.53 98.13 131.27 73.44 14.05 3.201 668.19 PG-3-3 43.5312 10.07 36.601 128.53 165.131 78.881 10.191 2.2912 426.671 PS-1-1 74.801 10.73 55.07 85.60 140.67 73.10 11.77 2.462 293.3312 GP-30-2 51.402 9.60 18.33 77.071 102.07 80.22 9.431 2.542 580.00 PS-4-3 44.1312 10.47 13.73 69.0012 82.7312 83.50 9.991 2.742 343.3312 PS-10-1 50.202 10.27 11.87 99.60 111.47 86.61 14.73 2.522 498.33 PG-3-5 43.2712 10.73 36.201 120.40 156.60 76.7212 10.161 2.2512 475.00 CS-16-2 40.0012 11.47 4.472 59.4012 63.8712 92.65 11.63 2.592 488.33 GP-45-3 55.402 9.40 26.331 124.27 150.60 81.30 13.82 2.582 616.67 GS-55-4 47.332 10.33 22.93 139.07 162.00 86.07 12.84 2.2612 666.67 GC-72-2 50.132 11.53 24.73 102.47 127.20 80.14 10.55 2.2112 476.67 SG-58-6 48.402 8.93 26.93 78.201 105.13 101.941 7.571 2.3812 608.33 GS-4-2 63.40 9.13 80.5312 65.6712 146.20 52.6112 9.0612 2.512 136.4812 GC-89-2 47.802 10.33 14.87 120.20 135.07 89.67 13.80 2.1712 711.67 GP-45-9 48.602 8.53 18.80 87.60 106.40 77.901 11.07 2.472 383.331 PG-55-5 41.802 9.47 17.73 105.33 123.07 85.30 10.95 2.1512 523.33 PG-56-2 54.402 9.47 14.93 110.47 125.40 87.63 16.30 2.632 465.00 PS-22-1 50.272 7.8712 17.60 98.93 116.53 82.84 12.67 2.512 435.001 PS-6-3 46.2712 10.13 26.60 123.93 150.53 82.64 13.96 2.1412 691.67 PG-17-2 43.7312 9.73 22.07 123.40 145.47 84.92 13.09 2.2312 549.50 P 56.07 10.07 11.73 125.33 137.07 91.71 19.71 2.71 686.67 S 67.80 10.07 19.40 115.33 134.73 86.38 14.84 3.32 626.67 PS-13-6 39.8712 8.73 10.40 71.5312 81.9312 88.10 9.551 2.592 323.3312 CS-42-1 48.732 10.93 6.002 77.731 83.7312 89.80 13.82 2.4212 538.33 CP-38-3 45.3312 9.73 8.27 81.47 89.7312 90.84 12.23 2.782 598.33

Keterangan : TT:Tinggi Tanaman, JC:Jumlah Cabang, JPH:Jumlah Polong Hampa, JPI:Jumlah Polong Isi, JPT:Jumlah Polong Total, PPI:%Polong Isi, BBT:Bobot Biji/tanaman, B25:Bobot biji 25 butir, BBP:Bobot biji/petak, 1 : Berbeda nyata terhadap tetua P, 2: Berbeda nyata terhadap tetua S

(37)

Karakter Bobot Biji per Tanaman

Galur-galur F9 yang dievaluasi mempunyai bobot biji per tanaman berkisar antara 7.57-16.42, sedangkan tetua Pangrango dan tetua Slamet sebagai pembanding masing-masing mempunyai bobot biji per tanaman 19.71 dan 14.84 (Tabel 2). Galur SG-58-6 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah terendah untuk karakter bobot biji per tanaman dalam populasi yang diuji yaitu 7.57 gram, sedangkan galur yang memiliki nilai tengah bobot biji per tanaman yang tertinggi terdapat pada galur PS-18-1 sebesar 16.42 gram. Karakter bobot biji per tanaman pada galur F9 ini lebih tinggi dari galur yang diuji sebelumnya (F8). Pada galur F8 yang diuji oleh Budiastuti (2006), untuk karakter bobot biji per tanaman galur F8 berkisar antara 9.02-15.39 gram.

Menurut Somaatmadja (1986) bobot biji/tanaman yang ideal untuk tanaman kedelai berdaya hasil tinggi sekitar 17 gram. Karakter bobot biji/tanaman pada uji lanjut kontras (Tabel 3), walaupun tidak berbeda nyata pada uji F dan tidak terdapat genotipe yang memiliki bobot biji per tanaman lebih tinggi dari bobot biji ideal, tetapi terdapat dua genotipe yang memiliki bobot biji/tanaman lebih tinggi dari tetua Slamet dan mendekati bobot biji ideal, yaitu PS-18-1 (16.42 gram) dan PG-56-2 (16.30 gram).

Karakter Bobot Biji 25 Butir

Nilai tengah untuk karakter bobot biji 25 butir pada galur F9 berkisar antara 2.14-3.20 gram (Tabel 2). Nilai tengah untuk tetua Pangrango dan Slamet masing-masing memiliki bobot biji 25 butir sebesar 2.71 gram dan 3.32 gram (Tabel 2). Galur PS-6-3 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah terendah yaitu 2.14, sedangkan galur PS-60-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tertinggi pada generasi F9 yaitu 3.20.

Menurut Somaatmadja (1985) tanaman kedelai yang ideal memiliki bobot biji minimal 12 g/100 butir atau sekitar 3 g/25 butir. Menurut Sunihardi, et. al. (1999) Pangrango mempunyai bobot 100 butir ± 10 gram dan Slamet mempunyai bobot 100 butir 12.5 gram. Berdasarkan hasil uji lanjut pada karakter bobot biji 25 butir, terdapat beberapa genotipe yang berbeda nyata dan memiliki bobot biji lebih rendah dari tetua Pangrango dan Slamet. Terdapat dua genotipe yang tidak

(38)

berbeda nyata dan memiliki bobot biji 25 butir lebih tinggi dari tetua Pangrango dan memiliki bobot 25 butir mendekati ideal, yaitu PS-60-2 (3.20 gram) dan CP-38-3 (2.78 gram) (Tabel 3).

Karakter bobot biji per petak

Karakter bobot biji per petak pada generasi F9 yang dievaluasi mempunyai nilai tengah yang berkisar antara 136.48 – 711.67 (Tabel 2). Nilai tengah untuk tetua P dan S masing-masing memiliki bobot biji per petak sebesar 686.67 gram dan 626.67 gram (Tabel 2). Galur GS-4-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah terendah yaitu 136.48, sedangkan galur GC-89-2 merupakan galur yang mempunyai nilai tengah tertinggi pada generasi F9 yaitu 711.67.

Hasil uji lanjut kontras untuk karakter bobot biji per petak terdapat delapan genotipe yang berbeda nyata dan lebih rendah daripada pembanding Pangrango dan Slamet, yaitu PS-5-3 (431.67 g), PG-3-3 (426.67 g), PS-1-1 (292.33 g), 4-3 (4-344-3.4-34-3 g), GS-4-2 (14-36.48 g), GP-45-9 (4-384-3.4-34-3 g), 22-1 (44-35.00 g), dan PS-13-6 (323.33 g) . Selain kedelapan genotipe tersebut, terdapat empat genotipe yang tidak berbeda nyata dan mempunyai bobot biji per petak lebih besar dari pembanding Pangrango dan Slamet. Genotipe tersebut adalah GS-55-4 (666.67 g), PS-60-2 (668.19 g), PS-6-3 (691.67 g), dan GC-89-2 (711.67 g) (Tabel 3).

Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik pada Kedelai Generasi F9

Menurut Makmur (1992) efektif atau tidaknya seleksi tanaman yang berdaya hasil tinggi dari sekelompok populasi, tergantung dari seberapa jauh keragaman hasil yang disebabkan faktor genetik yang nantinya diwariskan kepada keturunannya, dan seberapa jauh keragaman hasil yang disebabkan oleh lingkungan tumbuh tanaman.

Pendugaan komponen ragam pada populasi F9 ini dilakukan untuk setiap karakter pengamatan. Keragaman dari setiap karakter yang diuji dapat dilihat pada Tabel 4. Keragaman genetik pada populasi F9 berkisar antara -0.2 – 9963.3, dengan nilai ragam genetik tertinggi terdapat pada karakter bobot biji/petak

(39)

(9963.30) dan terendah pada karakter bobot biji/tanaman (-0.02). Nilai ragam genetik yang bernilai negatif pada karakter bobot biji/tanaman disebabkan nilai ragam lingkungan lebih besar dari nilai ragam genetik, artinya penampilan tanaman lebih didominasi oleh faktor lingkungan. Hal ini terjadi karena pada saat pemanenan kondisi lapang banyak terjadi hujan sehingga menghambat pemanenan dan menurunkan kualitas biji (Tabel 4.)

Tabel 4. Pendugaan Nilai Komponen Ragam dan Parameter Genetik (KKG) pada Kedelai Generasi F9

Karakter Ragam Genetik Heritabilitas (%) KKG (%) Tinggi tanaman (cm)

Jumlah cabang

Jumlah polong hampa Jumlah polong isi Jumlah polong total Persen polong isi (%) Bobot biji/tanaman (g) Bobot 25 butir (g) Bobot biji/petak (g) 54.85 0.33 1.05 0.81 2.56 140.68 -0.02 0.06 9963.30 26.67 12.28 22.72 17.03 23.70 29.62 -2.49 27.43 16.60 14.56 5.79 4.70 0.90 1.31 14.17 ~ 9.72 19.43

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetik terhadap varian total (varian fenotipe), yang biasa dinyatakan dengan persen (%) (Allard, 1960; Poespodarsno, 1988; Mangoendidjojo, 2003). Pendugaan nilai heritabilitas penting dilakukan. Menurut Yudiwanti et. al (2006) nilai heritabilitas sangat menentukan efisiensi seleksi, karena untuk generasi lanjut pada populasi F9 ini bisa menggambarkan penampilan tanaman dilapang lebih disebabkan oleh faktor genetik atau lebih didominasi oleh faktor lingkungan.

Stanfield (1983) membagi nilai heritabilitas arti luas ke dalam tiga kelompok, yaitu rendah (h2 ≤ 20%), sedang (20% ≤ h2 ≤ 50%), dan tinggi (h2 > 50%). Berdasarkan hasil pendugaan nilai heritabilitas, nilai heritabilitas untuk semua karakter pada populasi F9 ini tergolong ke dalam dua kelompok yaitu kelompok nilai heritabilitas sedang dan rendah dengan kisaran nilai heritabilitas antara -2.49 % sampai 27.43 % (Tabel 4). Karakter yang termasuk ke dalam kelompok nilai heritabilitas rendah adalah jumlah polong isi, jumlah

(40)

cabang, bobot biji/tanaman, dan bobot biji/petak. Karakter yang termasuk ke dalam kelompok nilai heritabilitas sedang adalah persen polong isi, bobot 25 butir, tinggi tanaman, jumlah polong total, dan jumlah polong hampa.

Karakter bobot biji/tanaman memiliki nilai heritabilitas negatif (-2.49%). Hal ini berarti keragaman karakter bobot biji/tanaman lebih disebabkan oleh ragam lingkungan dibandingkan dengan ragam genetiknya. Pada karakter bobot 25 butir memiliki nilai heritabilitas tertinggi (27.43%). Hal ini berarti pada karakter bobot 25 butir lebih disebabkan oleh ragam genetiknya dibandingkan dengan ragam lingkungannya.

Nilai heritabilitas pada populasi F9 ini banyak karakter yang tergolong ke dalam nilai heritabilitas rendah, karena pada populasi F9 tingkat homosigositasnya sudah mencapai 100% sehingga penampilan fenotipe tanaman lebih disebabkan faktor lingkungan dan menghasilkan nilai heritabilitas yang kecil (Allard, 1960; Mangoendidjojo, 2003).

Keragaman genetik pada masing-masing karakter komponen hasil kedelai dapat dibandingkan dengan koefisien keragaman genetik (KKg). Nilai KKg tidak dapat ditentukan pada karakter yang memiliki nilai ragam genetik negatif. Karakter dengan nilai koefisien keragaman genetik yang tidak terdefinisikan menunjukkan keragaman genetik yang ada pada karakter tersebut sangat rendah. Menurut Santoso (1983) variasi genetik terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi dan interaksinya dengan gen-gen lain.

Nilai koefisien keragaman genetik pada populasi F9 berkisar antara 0.9 – 19.4 dengan nilai koefisien keragaman genetik tertinggi terdapat pada karakter bobot biji/petak (19.43) dan terendah terdapat pada karakter jumlah polong isi (0.90). Secara umum karakter komponen hasil kedelai memiliki kisaran keragaman genetik yang sempit, hanya pada karakter tinggi tanaman, persentase polong isi, dan bobot biji/petak yang mempunyai kisaran keragaman genetik yang luas. Karakter bobot biji/tanaman tidak terdapat nilai koefisien keragaman genetik karena nilai ragam genetik bernilai negatif sehingga nilai koefisien keragaman genetik tidak dapat dihitung (Tabel 4.).

Seleksi kurang efektif bila dilakukan pada karakter yang memiliki keragaman genetik sempit, sementara seleksi akan berjalan efektif bila tersedia

(41)

sumber keragaman yang besar. Karakter bobot biji per petak pada populasi F9 ini mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong rendah, tetapi mempunyai nilai koefisien keragaman genetik yang luas, sehingga pada populasi F9 ini karakter bobot biji per petak dapat dijadikan sebagai dasar seleksi untuk menghasilkan kedelai berdaya hasil tinggi. Menurut Ruchjaniningsih et. al. (2000) menyatakan keadaan variabilitas genetik yang luas memberikan peluang seleksi terhadap suatu karakter berlangsung efektif.

Pendugaan Koefisien Korelasi pada Karakter Komponen Hasil Kedelai Generasi F9

Setelah menduga nilai heritabilitas pada generasi F9, penentuan karakter komponen hasil sebagai kriteria seleksi perlu dilakukan dengan mengetahui keeratan hubungan karakter komponen hasi terhadap hasil. Korelasi dilakukan terhadap semua karakter komponen hasil (Tabel 5). Korelasi yang nyata antar karakter hasil dengan komponen hasil sangat memudahkan bagi program seleksi (Ruchjaniningsih et. al., 2000).

Karakter tinggi tanaman tidak berkorelasi dengan hasil (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman tidak akan meningkatkan bobot biji/petak. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Wirnas (2006) yang menyatakan bahwa tinggi tanaman berkorelasi negatif terhadap hasil. Karakter jumlah cabang tidak berkorelasi dengan karakter manapun. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan keeratan antara karakter jumlah cabang dengan karakter-karakter lainnya kurang erat.

Karakter jumlah polong total berkorelasi positif dan sangat nyata terhadap jumlah polong hampa dan jumlah polong isi (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah polong total akan meningkatkan jumlah polong hampa dan jumlah polong isi. Karakter jumlah polong isi, persentase polong isi, dan bobot biji/tanaman berkorelasi positif dengan hasil. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah polong isi, persentase polong isi, dan bobot biji/tanaman akan meningkatkan hasil. Karakter jumlah polong hampa berkorelasi negatif dengan hasil yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah polong hampa akan menurunkan hasil (Tabel 5).

(42)

Tabel 5. Koefisien Korelasi Antar Karakter Kedelai F9 TT JC JPH JPI JPT PPI BBT BBP JC -0.08 JPH 0.49** -0.12 JPI 0.00 0.09 0.03 JPT 0.29 -0.01 0.59** 0.82** PPI -0.44* 0.14 -0.81** 0.06 -0.42* BBT 0.22 0.12 -0.29 0.53** 0.26 0.22 BBP -0.09 0.08 -0.51** 0.46* 0.10 0.54** 0.40* B25 0.50** -0.19 -0.16 -0.22 -0.24 -0.01 0.29 0.05

Keterangan : TT:Tinggi Tanaman, JC:Jumlah Cabang, JPH:Jumlah Polong Hampa, JPI:Jumlah Polong Isi, JPT:Jumlah Polong Total, PPI:%Polong Isi, BBT:Bobot Biji/tanaman, JBT:Jumlah Biji/tanaman, BBG:Bobot biji/galur, B25:Bobot biji 25 butir, */**/tn : berbeda nyata/ sangat nyata/ tidak nyata pada taraf 5%

Nilai koefisien korelasi pada generasi F9 terlihat bahwa pada karakter ukuran biji tidak berkorelasi dengan bobot biji/tanaman (Tabel 5). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Iqbal et. al. (2003); Bizeti et. al. (2004); dan Wirnas et. al. (2006) bahwa berat 100 butir atau ukuran benih tidak berkorelasi dengan hasil pada kedelai.

Karakter jumlah polong total dengan jumlah polong isi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.82 (Tabel 5). Hasil penelitian Wirnas (2006) pun menyatakan hal yang sama bahwa jumlah polong total dengan jumlah polong isi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.988. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua polong yang dihasilkan adalah polong isi. Karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan bobot biji/tanaman dapat digunakan untuk menduga hasil pada galur kedelai generasi F9 hasil persilangan tetua Ceneng, Godek, Slamet, dan Pangrango karena karakter-karakter tersebut berkorelasi terhadap hasil.

Karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan bobot biji/tanaman memiliki hubungan yang erat terhadap hasil (Tabel 5). Karakter yang memiliki hubungan erat terhadap hasil dapat dipilih sebagai kriteria

(43)

seleksi. Semakin erat hubungan karakter komponen hasil, maka karakter tersebut semakin baik untuk dijadikan kriteria seleksi.

Seleksi Galur-galur Terbaik Kedelai F9 Berdasarkan Bobot Biji per Petak Seleksi adalah kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk mendapatkan genotipe yang membawa gen-gen yang mengendalikan karakter yang diinginkan sehingga seleksi mengakibatkan peningkatan frekuensi gen pada generasi berikutnya. Seleksi dilakukan untuk memilih genotipe bukan untuk memilih gen-gen yang diinginkan (Hayes, Immer, dan Smith, 1955; Allard, 1960; Poespodarsono, 1988; Roy, 2000).

Sejak tahun 1985 bentuk idiotype untuk varietas kedelai berdaya hasil tinggi telah dirumuskan oleh Somaatmadja (1985) tinggi adalah kedelai yang mempunyai tinggi tanaman 75 cm, tidak bercabang, menghasilkan 35 polong bernas per tanaman dengan rata-rata 2 biji per polong, hasil per rumpun dengan jumlah populasi 60 tanaman/m2 yang menggunakan jarak tanam 33 1/3 x 10 cm2 dan 2 biji per lubang adalah 17 g, bobot biji 12 gram per 100 butir dan untuk kedelai yang berbiji kecil bobotnya antara 7 – 10 g/100 butir.

Seleksi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Seleksi langsung hanya efisien dilakukan jika karakter yang ingin diperbaiki memiliki nilai heritabilitas tinggi (Ruchjaniningsih et. al., 2000; Roy, 2000). Nilai heritabilitas adalah langkah awal dalam pekerjaan seleksi terhadap populasi bersegregasi. Populasi dengan nilai heritabilitas tinggi memungkinkan seleksi dilakukan berdasarkan nilai heritabilitasnya, sebaliknya bila nilai heritabilitas pada populasi rendah maka tidak dapat langsung dilakukan seleksi melainkan dilihat nilainya terlebih dahulu, bila nilainya terlalu rendah atau hampir mendekati nol berarti seleksi berdasarkan nilai heritabilitas tidak akan banyak berarti untuk populasi tersebut (Poespodarsono,1988).

Karakter bobot biji per petak mempunyai nilai heritabilitas yang rendah yaitu 16.60%. Hal ini berarti berdasarkan nilai heritabilitas seleksi pada karakter bobot biji per petak tidak akan efektif dilakukan, tetapi berdasarkan koefisien keragaman genetik karakter bobot biji per petak mempunyai nilai koefisien keragaman genetik yang luas yaitu 19.43% sehingga efektif dilakukan seleksi

Gambar

Tabel Analisis Ragam dan Komponen Pendugaan Ragam:
Gambar 1b. Kondisi umum pertanaman kedelai saat tanaman umur 6 MST  Sebagian besar populasi galur F9 mulai berbunga pada 7 MST
Gambar 2a. Hama belalang yang menyerang tanaman kedelai (kiri); daun yang  diserang oleh hama belalang (kanan)
Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam untuk Semua Karakter Pengamatan
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Based on the effect validity test, Gross Domestic Product (GDP) significant negative effect on the unemployment rate, the minimum wage and population has a

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Kemandirian Belajar Matematika ... Pengertian matematika ... Pengertian

[r]

Dari hasil penelitian dan pengolahan data bahwa uji hipotesis memenuhi syarat t hitung > t tabel (2,89 > 1,67) berarti hipotesis pada penelitian dapat

Data berupa nilai hasil belajar siswa sebagai pelengkap peningkatan aktifitas siswa saat mengikuti pelajaran.Sumber data : Sumber data dalam penelitian ini adalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pemberian air satu hari sekali dengan diikuti berbagai jumlah pemberian air didapatkan pertumbuhan dan hasil yang tinggi pada

pahtumat kohtauksessa Kuningataräidin synnyttämään blendiin. Kun tiedämme Jeesuksen lausuneen kyseiset sanat hetkellä, jolloin hän koki maanpäällisen tehtävänsä