• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 KENYAMANAN TERMAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 KENYAMANAN TERMAL"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

KENYAMANAN TERMAL

A. Masalah kenyamanan termal di perkotaan Indonesia

Berdasarkan posisi geografisnya, Indonesia terletak pada 6°LU sampai 11°LS, dengan karakter iklim: kelembaban udara yang tinggi pada musim hujan maupun kemarau, intensitas hujan sangat tinggi (rata-rata curah hujan tahunan 1809 mm) serta perbedaan suhu udara siang dan malam hari relatif kecil yaitu sekitar 2 – 5 ºC, (Lippsmeier, 1980). Indonesia dikelompokkan ke dalam karakter iklim tropis panas lembab, dan secara termis (suhu) rata-rata di wilayah Indonesia umumnya dapat mencapai 35 ºC dengan tingkat kelembaban yang tinggi yaitu mencapai 85% (Lippsmeier, 1980). Kondisi suhu udara demikian yang menjadi masalah adalah bagaimana memperoleh kenyamanan termal ruang pada lingkungan yang sudah terbentuk ?

Langkah paling mudah untuk mengakomodasi kenyamanan termal, ialah dengan melakukan pengkondisian udara secara mekanis (penggunaan AC atau kipas angin) dalam bangunan. Cara ini akan berdampak pada bertambahnya penggunaan energi (listrik) dan kurang ramah terhadap lingkungan, karena pemakaian gas freon untuk AC berakibat meningkatkan gas rumah kaca, sehingga peningkatan suhu udara ambien semakin tinggi.

Solusi untuk mengatasi hal tersebut diantaranya dengan pendekatan arsitektur. Wolfe (2010), dengan konsep Green arsitektur, juga dikenal sebagai "arsitektur ramah lingkungan", ialah teori ilmu pengetahuan dan gaya (style) bangunan yang dirancang dan dibangun

(2)

sesuai dengan prinsip ramah lingkungan. Arsitektur hijau berusaha untuk meminimalkan jumlah sumber daya yang dikonsumsi dalam konstruksi dan operasional gedung serta digunakan mengurangi kerugian lingkungan akibat emisi polusi. Arsitektur hijau menghasilkan manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi (Amro, 2010). Berdasarkan aspek lingkungan, arsitektur hijau membantu mengurangi polusi, konservasi sumber daya alam dan mencegah degradasi lingkungan. Aspek ekonomi; mengurangi biaya operasional gedung yang harus dikeluarkan untuk air dan energi serta meningkatkan produktivitas pengguna. Aspek sosial; bangunan hijau di maksudkan untuk menjadikan cantik dan mengurangi stress minimal pada infrastruktur lokal. Sedangkan berkelanjutan; memberikan konotasi arsitektur hijau tidak hanya dirancang untuk kepentingan saat ini, melainkan juga mempertimbangkan penggunaan masa depan.

Lingkungan perkotaan umumnya mempunyai tingkat populasi dan kepadatan bangunan cenderung tinggi, serta sebagian besar masyarakatnya mempunyai kemampuan ekonomi rendah, sehingga sulit mendapatkan kenyamanan termal. Hal ini disebabkan karena: 1) kemampuan ekonomi yang terbatas sehingga tidak mampu menciptakan kenyamanan dengan pendekatan mekanis, 2) kurang memahami pengetahuan arsitektur dan kurang mampu membangun rumah dan lingkungan/halaman dengan menggunakan jasa arsitek; dan 3) keadaan lahan yang relatif sempit/terbatas. Alternatif yang bisa digunakan untuk memperoleh kenyamanan termal diantaranya adalah melalui pemanfaatan vegetasi yang ditata sedemikian rupa sehingga dapat menurunkan suhu udara.

(3)

Sebagian masyarakat perkotaan saat ini mulai menyukai menata lahan pekarangannya dengan tanaman. Khususnya di kalangan masyarakat menengah kebawah cenderung menanam tanaman produktif, yaitu tanaman sayur atau tanaman obat, sehingga memberikan manfaat yang luas, dari sisi ekonimi maupun lingkungann (Zoer’aini, 2005). Taman produktif selain menciptakan keindahan juga bermanfaat meningkatkan fungsi lingkungan, ekonomi, kesehatan dan fungsi sosial (Pracaya, 2009).

Penggunaan vegetasi sayur (tanaman produktif) diharapkan memberikan motivasi untuk mendapatkan nilai ekonomi, khususnya bagi masyarakat perkotaan yang sebagian besar tingkat ekonominya lemah. Tanaman organik diharapkan mampu mengikat CO2 secara optimal dan mampu menurunkan suhu udara yang merupakan faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal. Pertanian organik sangat strategi mengurangi CO2 atmosfer sekitar 250 kg/ha/tahun dengan menariknya dari udara dan menyimpannya dalam tanah sebagai karbon melalui proses fotosintesis (LaSalle, et al., 2010).

Kondisi nyaman merupakan suatu hal yang berusaha diraih oleh manusia dalam melakukan aktivitasnya. Iklim memberikan pengaruh yang sangat besar pada kesehatan tubuh dan mempengaruhi kenyamanan tubuh manusia (human comfort). Manusia ketika beraktivitas berusaha menyesuaikan dengan lingkung- an tempat beraktivitasnya sehingga diharapkan produktivitas akan meningkat. Beraktivitas pada lingkungan yang terlalu panas akan menyebabkan menurunnya kemampuan fisik terlalu dini, sedangkan pada lingkungan yang terlalu dingin dapat menyebabkan hilangnya fleksibilitas alat-alat

(4)

motorik tubuh akibat terjadinya kekakuan pada otot-otot tubuh, sehingga diperlukan iklim yang nyaman untuk meningkatkan produktivitas kerja (Purnomo, 2000).

Peningkatan suhu udara permukaan di perkotaan sebagai dampak dari pembangunan sarana dan prasarana perkotaan seperti fasilitas gedung, jalan, pertokoan, permukiman, pabrik dan lain-lain sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah ruang bervegetasi di kota. Kondisi tersebut akan selalu diikuti sarana transportasi yang semakin meningkat sehingga menyebabkan naiknya kuantitas gas CO2 (Aprianto, 2007). Ruang terbuka hijau yang sempit menyebabkan berkurangnya penyerapan CO2, dan radiasi panas dari sinar matahari yang tidak dipantulkan, melainkan langsung diserap oleh gedung-gedung, dinding, dan atap yang akan menimbulkan terjadinya Urban Heat Island (UHI) yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya (Hakim, 2010).

Ruang terbuka hijau diperkotaan mempunyai peran sangat penting mengendalikan suhu udara perkotaan. Vegetasi di ruang terbuka hijau dapat menurunkan 3 – 4 ºC suhu udara perkotaan (Istiqomah, 2010). Skala yang lebih luas, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan urban heat island di perkotaan. Upaya-upaya untuk mengatasi peningkatan suhu udara di perkotaan telah banyak dilakukan, khusus untuk indoor dengan sistim penghawaan alami atau pengkondisian secara pasif melalui pendekatan arsitektur dan penyelesaian lansekap, serta sistim penghawaan buatan atau pengkondisian aktif yaitu secara mekanik dengan pengkondisian udara atau Air Condition.

(5)

Ruang hijau publik di Kota-kota besar jumlahnya mengalami penurunan. Hal ini terkait dengan adanya pergeseran peruntukan lahan. Mengganti peran ruang hijau publik tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidak terbangun di kavling atau lahan pekarangan permukiman penduduk (lahan privat) yang luasnya tidak terlalu besar bila dilihat dari skala mikro, namun akan sangat besar luasnya bila dilihat dari skala makro (lingkungan). Menanami lahan pekarangan, akan menciptakan hutan kota yang berbentuk menyebar dan berstrata banyak. Hutan kota ini sangat efektif dalam menanggulangi perubahan suhu, terutama di daerah Tropis ( Zoer’aini, 1997).

Tanaman sayur yang ditanam di pekarangan atau pada bangunan perlu adanya penataan khusus, sehingga memenuhi unsur keindahan/estetika dan fungsional. Penataan taman sayur secara vertikal menggunakan sistim loose dinding, yaitu sistim taman dengan menggunakan media tanah yang dikemas dalam tas/polybag kemudian dipasang secara vertikal pada dinding sangat membantu mengatasi masalah lahan sempit di perkotaan, disamping memenuhi fungsi estetika juga memenuhi fungsi lingkungan. Penataan taman sayur secara horisontal, baik pada lahan maupun pada atap juga berdampak positif bagi lingkungan dan merupakan solusi untuk mendapatkan lahan terbuka hijau yang sangat langka di perkotaan (Anggraini, 2010).

Kajian ini menganalisis kemampuan taman sayur pada lahan dan bangunan di perkotaan dalam upaya meningkatkan kenyamanan termal. Kajian difokuskan pada penataan suatu taman dengan jenis tanaman sayur organik yang ditentukan berdasarkan; kemampuan tanaman sayur dalam menyerap CO2 dan melepas O2 keudara, umur tanaman, suhu

(6)

tanaman serta analisis faktor meteorologi yang berhubungan dengan penurunan suhu udara yang berpengaruh pada kenyamanan termal. Pendekatan fisiologi kuantitatif terutama pada proses penyerapan CO2 oleh tumbuhan yang dapat menurunkan suhu udara dan berpengaruh pada kenyamanan termal, dan melepas O2 yang berdampak pada peningkatan kualitas udara. Daun dianggap sebagai alat penyerap karbon dioksida dan penyerap cahaya serta didasarkan pada kemampuan klorofil mengikat CO2 dengan bantuan cahaya (Loveless,1995).

Karya arsitektur (bangunan) umumnya dirancang menyesuaikan kondisi lingkungan tapak dimana karya tersebut dibangun. Iklim setempat merupakan salah satu bagian yang menjadi pertimbangan dalam membuat rancangan, sehingga dihasilkan karya arsitektur yang memenuhi kaidah arsitektural, diantaranya estetika dan kenyamanan. Hasil karya arsitektur sebagian besar merupakan karya yang maksimal dari seorang arsitek, namun perubahan/ perkembangan lingkungan tapak pada suatu karya arsitektur (bangunan) yang sudah terbentuk, sering berpengaruh pada tujuan awal perancangan, diantaranya pada sistim penyinaran/penerangan dan sistim sirkulasi udara dalam ruang, sehingga akan berpengaruh pada kenyamanan termal ruangan (indoor). Permasalahannya adalah bagaimana menciptakan kembali kenyamanan termal ruang pada bangunan yang sudah terbentuk ?. Rekayasa arsitektur diperlukan untuk menciptakan kembali kenyamanan termal pada ruangan (indoor) dengan tidak mengurangi/mengganggu estetika bangunan. Penataan taman secara horisontal dan atau vertikal meupakan alternatif penyelesaian masalah kenyamanan termal, karena

(7)

penataan taman memberikan dampak pada pengurangan radiasi matahari yang masuk dalam ruang atau yang mengenai fasad bangunan sehingga dapat mengurangi suhu udara dalam ruang dan berpengaruh pada kenyamanan termal (Perini, 2012). Integrasi vegetasi dalam arsitektur meningkatkan nilai visual, estetika dan aspek sosial daerah perkotaan serta memiliki pengaruh pada nilai ekonomis bangunan atau lingkungan dan berpotensi meningkatkan kesehatan manusia (Dunnett, 2004). Taman produktif secara makro dapat meningkatkan ketahanan pangan di perkotaan (Zoer’aini, 1997).

Aspek yang terkait dengan kenyamanan termal cukup banyak, sehingga aspek kenyamanan termal yang dipergunakan dibatasi pada aspek iklim, yaitu suhu udara, kecepatan udara, kelembaban udara dan radiasi matahari. Aspek ini dipergunakan karena lebih dominan (selalu berpengaruh pada kenyamanan termal) dan datanya objektif, sedangkan tanaman sayur yang digunakan ialah tanaman sayur (daun) organik yang ditanam pada media tanam dalam wadah polybag dengan pertimbangan:

rata-rata umur panen sayur daun relatif pendek., serapan CO2 pada proses fotosintesis sebagian besar terjadi pada daun, dan. penataan taman lebih mudah dan estetis karena sayur daun umumnya mempunyai daun yang lebih banyak.

B. Keadaan Udara di perkotaan

Kota-kota besar di Indonesia umumnya mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Perkembangan penduduk

(8)

yang cepat ini berpengaruh pada berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi, sosial, dan fisik yang pada akhirnya akan menuntut penyediaan sarana dan prasarana untuk kegiatan penduduknya, diantaranya kebutuhan akan bangunan rumah tinggal (Sardiyoko, 2010). Sebagai ilustrasi jumlah penduduk Kota Surabaya tahun 2012 mencapai 3.110.187 jiwa dengan kenaikan rata-rata pertahun 1.62 %, sedangkan jumlah penduduk ideal Surabaya adalah 2.175.000 jiwa (Dinas Kependudukan Kota Surabaya, 2012). Jumlah penduduk yang melebihi kapasitas, menuntut penyediaan fasilitas permukiman maupun sarana prasarana kota yang lain (Ihsan, 2011). Luas area kota terbatas sedangkan pertumbuhan penduduk mengalami pertumbuhan yang besar, akibatnya terjadi perubahan-perubahan peruntukan lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk (Sardiyoko, 2010). Prediksi pada tahun 2025, jumlah penduduk yang bermukim di perkotaan mencapai 68%. Jumlah penduduk perkotaaan sudah mencapai 54% pada tahun 2010 (Sardiyoko, 2010). Kondisi ini merupakan suatu isu strategis yang terkait pembangunan permukiman dan perkotaan di Indonesia yang berakibat pada peningkatan tingkat kepadatan bangunan khususnya hunian di perkotaan. Kepadatan bangunan yang tinggi di perkotaan Indonesia terkonsentrasi pada wilayah perkampungan (Santosa, 2000).

Kampung adalah sebuah bentuk hunian kota dengan jumlah populasi yang tinggi dan didominasi oleh bangunan dengan kepadatan hampir mencapai 60 %. Ruang terbuka yang ada tersebar di wilayah kota dengan akses melalui jalan yang sempit, (Heru, et al., 2007). Tingkat populasi yang tinggi pada wilayah kota, berimbas pada tingginya

(9)

kepadatan bangunan, sehingga mempengaruhi kualitas kehidupan penduduknya, terutama dalam memenuhi standar kenyamanan termal dan kualitas pergerakan udara. Sirkulasi udara yang terhambat dengan kelembaban udara yang tinggi serta radiasi panas matahari yang tinggi pada bangunan dapat meningkatkan suhu udara, sehingga berpengaruh pada kenyamanan termal utamanya dalam bangunan (Heru, et al., 2007).

1. Ruang terbuka hijau di Perkotaan

Permasalahan lingkungan hidup di perkotaan cukup banyak dan komplek, tidak saja terjadi pada kondisi sosial, tetapi juga pada aspek lingkungan lainnya, seperti ketersediaan air bersih, sanitasi, polusi, kemacetan dan penyediaan ruang terbuka hijau (Sardiyoko, 2010). Radiasi panas matahari tanpa adanya ruang terbuka hijau (RTH) tidak direfleksikan, tetapi diserap oleh sarana dan prasarana perkotaan (fasilitas jalan dan gedung-gedung) (Heru, et al., 2007). Peningkatan kuantitas gas CO2 akibat meningkatnya transportasi dan pembangunan industri serta terbatasnya ruang bervegetasi menyebabkan berkurangnya penyerapan CO2, sehingga komposisi udara menjadi tidak seimbang, yang mengakibatkan suhu permukaan meningkat 10 s/d 20 ºC dari suhu udara ambien (Aprianto, 2007 dan Sardiyoko, 2010).

Kasus di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30 % dari seluruh luas wilayah daratan (Ihsan, 2011). Kondisi eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10 % (termasuk ruang terbuka hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi

(10)

dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah ± 418,39 hektar, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu, yaitu 10,03 m2/penduduk (Ihsan, 2011). Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 3 tahun 2007 yang dipublikasikan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya menyebutkan luas RTH sebesar 20 % dari seluruh luas wilayah daratan, apabila luas wilayah Kota Surabaya 326, 36 km2, maka seharusnya luas RTH sekitar 65,27 km2. Perkembangan RTH di Kota Surabaya sejak tahun 2001 tercatat seluas 21,83 km2 dan tahun 2007 sudah lebih luas menjadi 26,93 km2. Luas RTH tahun 2007 bila dibandingkan dengan ketentuan Perda No. 3 tahun 2007, masih kurang dari 10 %. Upaya peningkatan kuantitas RTH di Kota Surabaya dilakukan melalui program Green and Clean, yaitu mengupayakan peningkatan kesadaran masyarakat untuk penghijauan halaman rumahnya (Silaban, 2007).

Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, mengatur persyaratan kepadatan bangunan meliputi koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB). Persyaratan angka Koefisien Dasar Bangunan (KDB) untuk setiap bangunan rumah, berfungsi untuk menata kawasan dan menjaga kelestarian lingkungan. Secara umum ada tiga kategori KDB yang diterapkan (Akram, 2009), antara lain: 1) KDB padat dengan angka KDB antara 60%– 100%, 2)

(11)

KDB sedang dengan angka KDB antara 40%-60%; dan 3) KDB renggang dengan angka KDB di bawah 40%. Kebijakan pemerintah Daerah Surabaya yang tertuang dalam Peraturan Daerah Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 terkait dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, mengatur sistim penggunaan lahan perkotaan dengan batas maksimal lahan yang bisa dibangun (KDB) sebesar 70 % untuk lingkungan perumahan ialah cara untuk mempertahankan daerah terbuka hijau di Kota Surabaya.

Ruang hijau publik di Kota Surabaya jumlahnya mengalami penurunan, hal ini terkait dengan adanya pergeseran peruntukan lahan. Ruang hijau publik tersebut diganti dengan memanfaatkan lahan tidak terbangun di kavling atau lahan pekarangan permukiman penduduk (lahan privat) yang luasnya tidak terlalu besar bila dilihat dari skala mikro, namun akan sangat berarti luasnya bila dilihat dari skala makro (kota). Lahan pekarangan ini apabila rata-rata ditanami maka akan menciptakan hutan kota yang berbentuk menyebar dan berstrata banyak. Hutan kota ini sangat efektif dalam menanggulangi perubahan suhu, terutama di daerah Tropis ( Zoer’aini, 2005). Tanaman pada iklim mikro perkotaan yang di tata berguna dalam mengantisipasi pengaruh suhu radiasi matahari dan inframerah, sehingga meningkatkan kenyamanan lingkungan perkotaan (Herrington, 1985).

Pemanfaatan lahan privat dan atau kolektif melalui penghijauan lahan-lahan sempit dan pada gedung-gedung dengan membuat taman produktip akan membawa manfaat yang besar, baik dari sektor lingkungan, ekonomi, sosial dan sebagainya. Kegiatan ini akan membutuhkan peran masyarakat dalam pelaksanaannya, namun untuk

(12)

melaksanakan kegiatan tersebut mengalami masalah ketersediaan lahan privat yang dimiliki masyarakat luasnya relatip kecil, bahkan kota besar khususnya di permukiman kampung banyak yang tidak mempunyai lahan pekarangan.

Kawasan hijau lahan pekarangan di Kota Surabaya, luasnya mencapai 24.242.466 m2 atau hampir mencapai 242,25 ha (Ihsan, 2011). Kawasan hijau lahan pekarangan ini merupakan luas terbesar dibandingkan luas kawasan hijau lainnya di Kota Surabaya, yang luas seluruhnya mencapai 57.416.905 m2 atau hampir 574,17 ha (Tabel 1). Luas kawasan hijau pekarangan mencapai 42,22 % dari seluruh luas kawasan hijau di Kota Surabaya, namun luas kawasan hijau tersebut masih belum memenuhi ketentuan luas yang ditargetkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagaimana yang disosialisasikan dalam Rencana Tata Ruang Kota yaitu sebesar 652, 72 hektar.

Tabel 1. Luas kawasan hijau di wilayah Kota Surabaya.

--- No Jenis RTH Luas (m2) Prosentase --- 1. Kawasan/jalur hijau Rekreasi kota 3.207.983 5,58

2. Kawasan/jalur hijau 2.670.954 4,65 3. Kawasan/jalur hijau pekarangan 24.242.466 42,22 4. Kawasan/jalur hijau permakaman 1.518.798 2,64 5 Kawasan/jalur hijau pertamanan kota 1.868.704 3,26 6. Kawasan/jalur hijau pertanian 20.416.945 35,56 7. Kawasan/jalur konservasi 3.491.055 6,09

--- Jumlah 57.416.905 100,00

---Sumber: Ihsan (2011)

(13)

Peningkatan luas RTH Kota Surabaya selama empat tahun sebesar 304,88 ha, yaitu yang semula pada tahun 2007 luas RTH 269,29 ha (Silaban, 2007), pada tahun 2011 luas RTH menjadi 574,17 ha (Ihsan, 2011). Peningkatan luas RTH di Kota Surabaya yang cukup besar ini masih dibawah target yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota yang tertuang dalam Perda No.3, Tahun 2007 yang menetapkan luas RTH Kota Surabaya seluas 652,72 ha (20 % dari luas wilayah Kota Surabaya). Luas kawasan jalur hijau pekarangan yang cukup besar (42,22 % dari seluruh luas RTH) cukup berpotensi meningkatkan peran RTH untuk penghijauan kota Surabaya.

2. Kualitas udara di Kota Surabaya

Hasil monitoring kualitas udara di Surabaya menunjukkan kondisi yang membahayakan dan mencapai tingkat tidak sehat. Partikel debu yang mencemari udara Kota Surabaya pada tahun 2002 besarnya rata-rata 0,267 mg/m3 - 0,427 mg/m3, sedangkan standar World

Health Organization (WHO) menetapkan parameter debu maksimal

0,02 mg/m3 (Mukono,2005. Suprapto, 2002).

Perubahan kualitas udara ambien biasanya mencakup parameter seperti gas NO2, SO2, CO, CO2, NH2, H2S, hidrokarbon atau partikel debu. Peningkatan kadar bahan-bahan tersebut yang melebihi nilai baku mutu udara ambien yang telah ditetapkan dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Terjadinya pencemaran udara melalui beberapa proses, diantaranya dari hasil pembakaran (combustion) (Mukono, 2005). Buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976), menentukan parameter pencemaran udara (Tabel 2).

(14)

Tabel 2. Kriteria pencemaran udara menurut WHO, 1976

No Parameter Udara Bersih Udara Tercemar

1. Bahan Partikel 0,01 – 0,02 mg/m3 0,07 – 0,7 mg/m3 2. SO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 2 ppm 3. CO < 1 ppm 5 – 200 ppm 4. NO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm 5. CO2 310 – 330 ppm 350 – 700 ppm 6. Hidrokarbon <1 ppm 1 – 20 ppm

Sumber: Holzworth dan Cormick, 1976 dalam (Mukono, 2005)

Gas karbondioksida (CO2) posisinya cenderung mengambang sekitar dua meter di atas permukaan tanah dengan mendesak atmosfer yang seharusnya ditempati oleh gas oksigen (O2), karena kepadatan gas CO2 1,5 kali lebih besar dari gas oksigen (O2) (Suryajaya, 2011). Gas CO2 dibutuhkan oleh makhluk hidup, pada tumbuhan untuk proses fotosintesis, sedangkan untuk manusia kadar CO2 tidak direkomensikan melebihi 5000 ppm (parts per million) atau 0,5 % pada atmosfer yang komposisinya (Tabel 3) (Suryajaya, 2011).

(15)

Tabel 3. Komposisi atmosfir.

---

Gas-gas jumlahnya tetap Gas-gas yang jumlahnyaberubah (Permanent gases) (Variabel gases)

--- Gas Simbol Volume (%) Gas(dan partikel) Simbol Volume (%) ppm --- Nitrogen N2 78,08 Water Vapor H2O 0 – 4 -

Oksigen O2 20,95 Karbon dioksida CO2 0,038 385

Argon Ar 0,93 Methan CH4 0,00017 1,7

Neon Ne 0,0018 Nitrous Oksida N2O 0,00003 0,3

Helium He 0,0005 Ozon O3 0,000004 0,04

Hidrogen H2 0,00006 Partikel (dust, soot,dll) 0,0000010, 01- 0,15

Xenon Xe 0,000009 Chlorofluorocarbon CFCs 0,00000002 0,0002 --- Sumber: Suryajaya (2011).

Gas-gas yang jumlahnya tetap (permanent gases) apabila terjadi perubahan jumlah pada suatu daerah tidak berarti mengurangi jumlah volume gas di atmosfer, melainkan hanya mengalami pergeseran ke tempat yang lain. Gs-gas yang jumlahnya berubah (variable gases), apabila terjadi perubahan jumlah pada suatu daerah maka menunjukkan adanya pengurangan jumlah gas pada daerah tersebut tetapi tidak berpengaruh pada daerah lain. Perubahan jumlah variable gases dapat terjadi pada area mikro, dan perubahannya tergantung pada kondisi area tersebut.

3. Suhu udara di Kota Surabaya

Kenaikan suhu udara ambien di Surabaya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir tercatat rata-rata lebih dari 1,5 ºC, yaitu dari 34,5 ºC naik menjadi 36,0 ºC, sedangkan kenaikan suhu udara tertinggi di

(16)

dunia rata-rata hanya mencapai 0.3 ºC (Suparto, 2002). Kondisi suhu udara ini secara umum merupakan suhu udara out door dan berpengaruh pula pada kondisi suhu udara in door, sehingga kenyamanan termal sulit untuk diperoleh. Kepadatan bangunan di perkotaan menguntungkan pada pembayangan bangunan, namun mempengaruhi sirkulasi suhu udara lingkungan yang berpengaruh pada kenyamanan termal (Heru, et al., 2007)

Badan Meteorologi dan Geofísika (BMG) Surabaya, mencatat kecenderungan iklim mikro di Surabaya menunjukkan kondisi iklim yang ekstrim (melebihi kondisi iklim pada umumnya di Indonesia). Suhu udara maksimal selama lima tahun (2001-2005) mencapai 34,4 ºC (Tabel 4).

Tabel 4. Keadaan iklim mikro (2001-2005) dari BMG.

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okb Nop Des T max (ºC) 34,2 34,2 34 33,3 33,1 32,7 32,5 32,4 34 36,4 36,3 34,4 T min (ºC) 22,6 22,4 23 23,5 22,1 21,3 19,8 19,6 20,7 21,3 20,9 22,7 RH max (%) 98,2 98,6 99 87,4 98,4 96 96,2 93,6 91,6 `94 97 97,8 RH min (%) 50 53,4 50,2 51 45,6 45 49,8 36,2 33,4 26,2 37,8 42,8 Hari hjn (daya) 24,4 21,4 19 6 14,6 10,2 5 22 1,4 0,8 4,6 12 17,7 Curah hjn (mm) 472,5 427 316,7 147,4 128 42,14 29,02 1,1 4,64 19,41 53,5 247,5 Lama mth (%) 63,5 48,2 66,5 76,6 84,9 90,7 2,9 95,4 98,5 82,9 64,8 65 Irradiance(Wh/m2) 5201 5033 5661 572 5666 5471 5850 6176 6771 6381 5648 5615 Kec.angin (m/det) 3,32 3,82 3,04 3,04 3,17 3,47 3,34 3,56 2,65 2,47 2,57 2,68 Arah angin Brt Brt Tmr Tmr Tmr Tmr Tmr Tmr Tmr Tmr Tmr Brt Sumber: Winarto (2006).

(17)

Keadaan iklim mikro (Tabel 4) meliputi suhu udara, jumlah hari hujan, curah hujan (mm), lama penyinaran, kecepatan angin dan kecenderungan arah angin, dan radiasi matahari. Temperatur menjadi faktor penting dalam pengukuran, karena untuk menentukan kenyamanan termal (Arismunandar, 1981).

Bulan Oktober merupakan bulan dengan suhu rata-rata terpanas, sedangkan terdingin pada bulan Juli (Tabel 4). Suhu udara sebagai variabel suhu outdoor sangat penting karena mempengaruhi kenyamanan termal dalam bangunan. Lama penyinaran dan besarnya radiasi matahari merupakan aspek penting untuk menghitung jumlah radiasi yang masuk bangunan dan mempengaruhi suhu udara indoor. Variabel penentu kenyamanan termal ruang adalah variabel yang secara teoritis menentukan kenyamanan termal suatu ruang. Variabel-variabel yang dimaksud adalah Variabel-variabel yang merupakan elemen iklim ruang dalam, yaitu suhu udara, suhu radiasi, kelembaban dan kecepatan angin atau pergerakan udara serta polusi udara (Sugini, 2004).

Pengukuran yang dilakukan Santoso, pada bulan Maret 2010, suhu udara rata-rata pada tempat yang berbeda (elevasi dan tingkat kepadatan bangunan) di Kota Surabaya (Surabaya Timur, Selatan, Barat, Utara dan Surabaya Pusat) yang dilakukan pada waktu dan hari yang sama menunjukkan adanya perbedaan rata-rata suhu udara (Tabel 5).

(18)

Tabel 5. Suhu udara pada beberapa daerah di Surabaya.

Wilayah Lokasi Elevasi Suhu pada jam (ºC) Suhu rata-rata m’ dpl 07.00 13.00 18.00 (ºC) Surabaya Timur Rungkut 3,50 28,00 35,00 30,00 30,25 Surabaya Selatan Wiyung 8,50 28,00 33,50 28,50 29,50 Surabaya Bara Dukuh Kupang 18,00 26,50 35,00 28,50 29,125 Surabaya Utara Perak 4,00 24,00 35,00 29,00 28,00 Surabaya Pusat Kedungturi 4,00 28,50 34,00 31,50 30,625

Sumber: Santoso, 2010

Hasil pengukuran suhu udara harian rata-rata terbesar di daerah Surabaya pusat yaitu 30,625 ºC (Tabel 5), hal ini karena kurangnya vegetasi dan kepadatan bangunan yang relatif tinggi sehingga pergerakan udara terhambat oleh banyaknya bangunan yang menyebabkan kecepatan udara (angin) menjadi relatif kecil. Suhu udara harian rata-rata terendah di daerah Surabaya Utara adalah 28 ºC, hal ini disebabkan karena banyak vegetasi, kepadatan bangunan sedang (dibawah 50 %) dan dekat pesisir sehingga pergerakan udara tidak banyak terhalang bangunan yang menyebabkan kecepatan udara (angin) lebih besar (sekitar 1 – 2 m/det) (Heru, et al., 2007).

4. Pengkondisian Udara

Manusia melakukan aktivitasnya agar terlaksana secara baik memerlukan kondisi fisik tertentu di sekitarnya yang dirasakan nyaman. Kenyamanan termal di definisikan sebagai suatu kondisi yang dapat dirasakan terkait tingkat kepuasan seseorang terhadap lingkungan termalnya (Sugini, 2004).

(19)

4.1. Kenyamanan termal (thermal comfort)

Tingkat produktivitas dan kesehatan manusia dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat (Olgay, 1983). Tingkat produktivitas dapat maksimum apabila keadaan iklim sesuai dengan kebutuhan fisiknya

Kenyamanan termal tergantung pada variabel iklim dan faktor individu serta lokasi geografis. Beberapa penelitian terkait dengan kenyamanan termal yang menggunakan variabel iklim, faktor individu dan lokasi geografis (Tabel 6).

Tabel 6. Variabel kenyamanan termal dari beberapa peneliti.

Peneliti

Variabel/ Szokolay Fanger Humphreys Houghton Faktor penentu (1994) Standar Amerika dan Nicol dan Yaglou ANSI/ASHRAE 55 (ISO 7730; (1973)

Standar Internasional 1994) (ISO 7730; 1994)

IKLIM

1. Matahari (besarnya radiasi) √ √ √ √

2. Suhu udara √ √ √ √

3. Kecepatan udara (angin) √ √ √ √

4. Kelembaban udara √ √ √ √

FAKTOR INDIVIDU

1. Pakaian √ √ √

2. Aktivitas √ √ √

3. Aklimatisasi/adaptasi √ √

4. Usia dan jenis kelamin √

5. Tingkat kegemukan √

6. Tingkat kesehatan √

7. Jenis makanan/minuman √

yang dikonsumsi

8. Warna kulit (suku bangsa) √

LOKASI GEOGRAFIS

________________________________________________________________________ Sumber: Talarosa (2005).

(20)

Kenyamanan termal secara langsung dipengaruhi oleh variabel iklim, sedangkan variabel individu dan lokasi tidak selalu berpengaruh pada kenyamanan termal (Fanger, 1972) (Tabel 6). Radiasi panas, suhu udara, kelembaban udara dan gerakan udara mempengaruhi kenyamanan termal disebut Temperatur Efektif (TE) atau suhu netral, (Houghton dan Yaglou, 1973 dalam Arismunandar dan Saito, 1981).

Setiap orang mempunyai tingkat kenyamanan yang berbeda tergantung pada keadaan dan suasana tertentu (Olgay, 1983). Seseorang sudah merasa nyaman pada kondisi tertentu, namun pada orang lain belum merasa nyaman (Amirudin, 1972). Lembaga Penelitian Masalah Bangunan-Pekerjaan Umum (LPMB-PU), menyebutkan batas-batas kenyamanan termal manusia yang optimal untuk daerah katulistiwa adalah 22,8°C TE (batas bawah), sampai 28°C TE (batas atas) (Amirudin, 1972). Hasil penelitian CC WEBB terhadap penduduk Singapura menyimpulkan bahwa Singapore Comfort Index (SCI) 26 ºC adalah ukuran yang dirasakan cukup nikmat oleh 69 % dari penduduk Singapura. Singapore Comfort Index dapat digunakan dan berlaku pula pada negera-negara di Asia Tenggara karena persamaan kondisi lingkungannya selama penelitian setempat belum dilakukan (Amirudin, 1972).

Kenyamanan terdiri dari kenyamanan psikis dan kenyamanan fisik. Kenyamanan psikis, yaitu kenyamanan kejiwaan (rasa aman, tenang, gembira, dan lain-lain) yang terukur secara subjektif (kualitatif). Indeks PMV (Predicted Mean Vote) (Fanger, 1972), dapat digunakan untuk analisis kenyamanan lingkungan secara psikis. Indek PMV secara numerik dikelompokkan menjadi tujuh grade yaitu: lebih dingin

(21)

(-3), dingin (-2), agak dingin (-1), netral (0), sedikit hangat (1), hangat (2); dan panas (3).

Asumsi untuk kemungkinan diterima oleh 90 % responden, dari persepsi responden terhadap kenyamanan termal yang disarankan oleh Auliciems (1981), adalah Tn (Temperatur netral) ± 2,5 TE (Temperatur Efektif), sedangkan untuk asumsi diterima 80 % kenyamanan termal yang disarankan adalah Tn ± 3,5 TE. Adanya toleransi antara 80–90 % kenyamanan termal yang dirasakan menunjuk-kan relativitas kenyamanan pada setiap orang tidak sama (Auliciems, 1981).

Berdasarkan ISO 773-94 rentang kenyamanan sebagai kondisi nyaman dicapai ketika PMV memiliki nilai antara -1 dan +1 (Fanger, 1972). Kenyamanan fisik dapat terukur secara objektif (kuantitatif); diantaranya ialah kenyamanan termal. Manusia dikatakan nyaman secara termal ketika ia dapat menerima kondisi suhu udara tanpa merasa terganggu. Pengkondisian udara tertentu diperlukan untuk mencapai kenyamanan termal, baik secara arsitektural maupun secara mekanik. Kenyamanan termal di perkotaan bisa diperoleh menggunakan sistim penghawaan buatan. Kenyamanan tergantung pada variabel iklim (radiasi matahari, suhu udara, kelembaban dan kecepatan udara) dan beberapa faktor lain yang tidak mengikat (Szokolay, 1994). Variabel iklim dapat dianalisis menggunakan

diagram psikrometri (Gambar 1) dan diagram temperatur efektif

(22)

Gambar 1. Diagram psikrometri (Szokolay, 1994).

Garis vertikal pada diagram Psikrometri menunjukkan posisi angka suhu udara kering (0–50 ºC), garis lengkung menunjuk posisi angka kelembaban udara, (0–100 %), garis diagonal menunjuk posisi angka suhu udara basah (0–50 ºC menunjuk hasil analisis diagram) (Gambar 1). Batas kenyaman standar ASHRAE (bidang diblok) menunjuk suhu udara antara 22,5 – 26 ºC dan kelembaban antara 20 – 60 %. 0.80 0.85 0.90 0.95 10 1 5 20 25 25 30 35 4 0 40 45 5 0 55 60 65 7 0 7 5 8 0 8 5 90 9 5 10 0 105 1 10 11 5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.033 0.032 0.031 0.030 0.029 0.028 0.027 0.026 0.025 0.024 0.023 0.022 0.021 0.020 0.019 0.018 0.017 0.016 0.015 0.014 0.013 0.012 0.011 0.010 0.009 0.008 0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.002 0.001 0.000 35 40 45 50 0 5 10 15 20 25 30 10% 20% 30% 40 % 50 % 60% 70% 80% 90% 1 .0 0 .9 0 .8 0 .7 0 .6 0 .5 0 .4 0 .3 0.2 0.1 s u h u u d a ra k e ri n g suhu u dara ba sah kele mba ban udar a re n ta n g k e n y a m a n a n s ta n d a r A S H R A E 5 5

(23)

Diagram Psikrometri dapat digunakan untuk menentukan suhu udara basah, dengan ketentuan harus didukung data suhu udara kering dan kelembab an udara. Penggunaan diagram dengan menentukan nilai suhu udara (30 ºC) pada posisi garis vertikal dan menentukan nilai kelembaban udara (60 %) pada posisi garis lengkung. Pertemuan antara garis vertikal dan garis lengkung merupakan posisi garis diagonal yang menunjuk pada angka suhu udara basah 24 ºC ( Gambar 1).

Garis vertikal pada diagram Temperatur Efektif (Gambar 2) masing-masing menunjuk posisi angka suhu udara kering dan suhu udara basah (0-45 ºC), sedang garis diagonal/lengkung menunjuk posisi angka kecepatan udara (0-3 m/det). Diagram Temperatur Efektif digunakan untuk menentukan Temperatur Efektif (TE) atau suhu netral atau kenyamanan termal. Analisis dilakukan dengan minimal diketahui tiga variabel, yaitu suhu bola kering (temperatur kering), suhu bola basah dan kecepatan udara. Penggunaan diagram dengan menentukan titik suhu udara kering (25 ºC) dan suhu udara basah (17 ºC) pada posisi garis vertikal, kemudian kedua titik dihubungkan membentuk garis yang memotong garis lengkung (pada posisi kecepatan udara 0,5 m/det), maka diperoleh temperatur Efektif 21 ºC.

Dengan temperatur yang sama apabila kecepatan udara lebih besar akan menghasilkan TE lebih rendah (Contoh pada kecepatan udara 3 m/det, TE = 18,5 ºC. Jadi TE akan turun 1 ºC setiap penambahan kecepatan udara 1 m/det) (Gambar 2).

(24)

Gambar 2: Diagram Temperatur Efektif (TE) ( Yaglou, 1923) (Arismunandar,W.,dan Saito Heizo 1991).

Ukuran kenyamanan secara tepat sulit ditentukan, karena kombinasi variabel yang berbeda akan menghasilkan kenyamanan yang sama. Kombinasi kecepatan udara 0,07 – 0,12 m/det, suhu udara 20,4 ºC dan kelambaban 70 %, adalah sama nyamannya dengan kombinasi suhu udara 23,2 ºC kelembaban 20 % dengan kecepatan udara yang sama, yaitu 0,07 – 0,12 m/det (Arismunandar, et al., 1991). Kenyamanan sangat subjektif, karena seseorang pada keadaan dan suasana atau

environment tertentu sudah merasakan nyaman, tetapi dengan kondisi

(25)

Kecepatan udara di dalam ruangan sangat rendah ( lebih kecil dari 0,1 m/menit), sehingga Temperatur Efektif (TE) dianalisis hanya berdasarkan data temperatur dan kelembaban saja (Arismunandar, et

al., 1991). Temperatur Efektif atau kenyamanan termal dipengaruhi

oleh radiasi panas matahari, temperatur, kelembaban udara dan gerakan udara (Houghton dan Yaglou, 1973, dalam Arismunandar dan Saito,1981). Hal ini didukung dengan penelitian Houghton dan Yaglou yang menghasilkan rumus untuk menghitung indeks kenyamanan termal yang berdasarkan pada variabel-variabel : temperatur udara, kelembaban, pergerakan/kecepatan udara dan sebuah angka konstan. Adapun rumus yang digunakan ialah :

S = p + 0,25 ( tl + ts ) + 0,1 x – 0,1 ( 37,8 – tl ) √ v

dengan : S = angka kenyamanan, tl = suhu udara kering (ºC), ts = suhu udara basah (ºC), x = kelembaban absolut (g/kg),

v = kecepat an udara (m/det) pengukuran 0,5 m diatas lantai; dan

p = angka konstan 10,6 untuk musim panas (Hougton dan Yaglou, 1973)

Batas-batas kenyamanan untuk kondisi khatulistiwa menurut Lippsmeier (1994), adalah kisaran suhu 22,5 - 29 ºC dengan kelembaban udara 20 – 50%, dan kecepatan udara 0-1 m/det, serta radiasi maksimal 50 W/m2 (Heru, et al., 2007). Nilai kenyamanan tersebut dengan mempertimbangkan kemungkinan kombinasi antara radiasi panas, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan udara dan penyelesaian yang dicapai menghasilkan suhu efektif (TE). Beberapa penelitian membuktikan batas kenyamanan yang berbeda-beda

(26)

tergantung pada lokasi geografis dan subjek manusia yang diteliti (Tabel 7).

Tabel 7. Batas kenyamanan di beberapa daerah penelitian berdasarkan subjek (manusia).

Peneliti Lokasi Kelompok manusia Batas kenyamanan

ASHRAE USA Selatan (30 ºLU) Peneliti 20,5 ºC–24,5 ºC TE Rao Calcutta (22 ºLU) India 20 ºC – 24,5 ºC TE Webb Singapura Malaysia 25 ºC – 27 ºC TE

Katulistiwa Cina

Mom Jakarta (6 ºLS) Indonesia 20 ºC – 26 ºC TE Ellis Singapura Eropa 22 ºC – 26 ºC TE

Katulistiwa

Sumber: Lippsmeier (1994).

Lembaga Penelitian Masalah Bangunan Dinas Pekerjaan Umum menentukan suhu nyaman pada bangunan disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Standart Kenyamanan LPMB-PU. No. Suhu netral (TE) Kelembaban (RH)

1) Sejuk 20,5ºC – 22,8 ºC 50 % Batas atas 24 ºC 80 % 2) Nyaman 22,8 ºC – 25,8 ºC 70 % Batas atas 28 ºC 3) Hangat 25,8 ºC - 27,1 ºC 60 % Batas atas 31 º C

(27)

Tabel 9. Penelitian yang dilakukan beberapa peneliti terkait dengan kenyamanan termal (Santoso, 2011)

U n su r p e n e li ti a n P e n e li ti , T a h u n W o n g & K h o o (2 0 0 3 ) S h .A h m a d & Ib ra h im (2 0 0 3 ) F e ri a d i e t a l, (2 0 0 4 ) S a b a ri n a h & A h m ad (2 0 0 6 ) O g b o n n a e t a l, (2 0 0 8 ) Ri la tu p a ,(2 0 0 8 ) Ro o n a k e t a l, (2 0 0 9 ) S u la im a n e t a l, (2 0 1 1 ) N u g ro h o ,(2 0 1 1 ) Iklim Panas lembab √ √ √ √ √ √ √ √ Panas kering √ Terapan Dinding √ √ √ Atap Variable Suhu udara √ √ √ √ √ √ √ √ √ RH √ √ √ √ √ √ √ √ Radiasi √ √ Kec. Udara √ √ √ √ √ √ √ Kualitas udara √ Kovigura si Tinggi √ √ Lebar √ √ Panjang √ Material Bukaan √ √ √ Kinerja Suhu netral √ √ √ √ √ √ √ Persepsi √ √ √ √ √ √ √ Standar √ √ Alat Met.sederha na √ √ √ √ √ √ √ Diagram √ Simulasi √ √

(28)

Penelitian yang berkaitan dengan kenyamanan termal sebagian besar menggunakan variabel iklim. Beberapa penelitian memerlukan variabel tambahan untuk menyesuaikan dengan tujuan penelitian, diantaranya ialah faktor individu dan geografis (Tabel 6). Adapun penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan kenyamanan termal diantaranya disajikan pada Tabel 9

Penelitian yang berkaitan dengan kenyamanan termal belum banyak yang menggunakan taman/vegetasi sayur pada atap maupun dinding bangunan disebabkan kurangnya informasi, sehingga sulit dijadikan indikator penurunan suhu udara di perkotaan. Vegetasi di ruang terbuka hijau di perkotaan cenderung menurunkan suhu udara

outdoor, namun keterbatasan lahan terbuka hijau menjadi kendala

untuk melakukan penghijauan.

Penelitian Wong, (2003), dan Ahmad, (2003), tentang kenyamanan termal atau suhu netral ruang kelas di Singapura dan Malaysia menggunakan sistim penghawaan alami dan mekanik. Variabel iklim meliputi suhu udara, kelembab- an relatif, dan kecepatan/pergerakan udara, untuk mendapatkan data objektif, sedangkan data subjektif diperoleh berdasarkan beberapa faktor individu persepsi pengguna ruangan. Suhu netral ruang kelas menunjukkan kisaran 28,8 ºC dan . 27,6 ºC. Kondisi ini masih diluar zona standar kenyamanan ASHRAE 55 yang menentukan suhu netral ruangan sebesar 26 ºC. Suhu netral ruang kelas yang mendekati standar diupayakan dengan pergerakan udara secara mekanik yaitu menggunakan kipas angin. Suhu netral ruang kelas di Malaysia sudah

(29)

dapat dirima berdasarkan persepsi pengguna ruang kelas meskipun tanpa menggunakan penghawaan mekanik (Wong, 2003).

Feriadi et al. (2004), melakukan penelitian kenyamanan termal pada rumah tinggal berventilasi alami di Indonesia. Variabel penelitian yang digunakan terdiri dari variabel iklim (suhu udara, kecepatan udara dan kelembaban relatif), dan variabel personal (jenis pakaian dan persepsi pengguna). Hasil penelitian menunjukkan suhu netral pada musim kemarau sekitar 29,2 ºC, dan suhu netral pada musim hujan sekitar 29,8 ºC dengan kelembaban relatif masing-masing 68,9 % dan 68,2 %. Suhu netral yang ada tidak sesuai dengan standar kenyamanan ASHRAE. Persepsi 90 % pengguna menyatakan kenyamanan yang dirasakan pada skala hangat dan netral. Kondisi ini terjadi karena sistim adaptasi personal pengguna dalam menggunakan pakaian yang berbeda pada masing-masing musim (pakaian musim kemarau dengan 0,27 clo, dan pakaian musim hujan dengan 0,34 clo). Sistim adaptasi pengguna lebih banyak menyesuaikan dengan kondisi iklim dan lebih sering mengganti pakaian sesuai dengan kenyamanan yang dirasakannya.

Kenyamanan termal pada bangunan apartemen dengan ventilasi alami di Singapura ada kaitannya dengan suhu udara, kecepatan udara dan kelembaban relatif udara (Sabarinah dan Ahmad, 2006). Suhu netral dalam apartemen sekitar 26,1 ºC dengan kelembaban relatif antara 50 – 54 %. Suhu netral dan kelembaban udara yang relatif kecil disebabkan pengaruh kecepatan udara yang cukup (diatas 1 m/det) terutama pada ruang-ruang di lantai atas. Suhu netral ini lebih mendekati zona standar kenyamanan termal yang ditetapkan ASHRAE 55, yaitu 20,5 – 24,5 ºC.

(30)

Kenyamanan termal pada beberapa ruang sekolah dengan ventilasi alami di Jos – Nigeria yang beriklim panas kering dipengaruhi oleh suhu udara, kecepatan udara, dan kelembaban udara (Ogbanna, et al., 2008). Suhu netral ruang sekolah berkisar antatra 21,96 ºC sampai 29,98 ºC, dan suhu netral rata-rata sekitar 26,27 ºC, dengan kelembaban relatif 72,1 %, sedangkan kecepatan udara antara 0,02 m/det sampai dengan 1,44 m/det, kecepatan udara rata-rata 0,07 m/det di semua lokasi. Sesuai dengan standar kenyamanan ASHRAE 55 semua data yang dicapai tidak masuk pada Zona kenyamanan standar ASHRAE.

Ruang kelas dengan pendingin udara dan ruang kantor ventilasi alami pada suatu gedung sekolah di Jakarta menunjukkan suhu netral yang bervariasi (Rilatupa, 2008). Ruang kelas yang menggunakan pendingin udara dan posisi ruang tidak terkena radiasi matahari langsung mempunyai suhu netral 25,4 ºC – 26,5 ºC dan kelembaban antara 53 % – 63,5 %. Ruang kelas yang terkena radiasi sinar matahari langsung mempunyai suhu netral 27,8 ºC dan kelembab-an 77,5 %. Ruang kantor/sekertariat yang menggunakan ventilasi alami mempunyai suhu netral 28 ºC dan kelembaban 72,5 %. Ruang dengan pendingin udara yang diprogram secara sama dapat menghasilkan suhu netral yang berbeda karena pengaruh radiasi sinar matahari yang masuk ruang. Ruang yang menggunakan ventilasi alami mempunyai suhu netraln yang tidak memenuhi standar kenyamanan (kurang nyaman).

Daghigh et al. (2009), melakukan penelitian pada ruang kantor dengan ventilasi alami di Malaysia melalui konfigurasi pengaturan pembukaan dengan kombinasi pengaturan bukaan (sebanyak 14 kondisi

(31)

pengaturan). Suhu netral ruang kantor berkisar antara 25,2 ºC – 27,5 ºC pada semua kondisi ventilasi terbuka. Ruang kantor memiliki kondisi termal yang tidak berada dalam zona kenyamanan ASHRAE 55 (24,5 ºC) dan pedoman yang diberikan oleh Pedoman Energi Efisien Malaysia yang menetapkan kenyamanan termal pada 26 ºC. Suhu netral ruang kantor masih dapat diterima oleh penghuni kantor berdasarkan persepsi kenyamanan yang dirasakannya meskipun tidak memenuhi stándar kenyamanan ASHRAE 55; namun diperlukan sirkulasi udara yang lebih memadai.

Faktor iklim sangat berpengaruh pada kenyamanan termal dan penghuni-nya (Sulaiman, et al., 2011). Penelitian yang dilakukannya pada bangunan asrama mahasiswa di Malaysia menunjukkan suhu minimum diluar ruang asrama mencapai 27,6 ºC terjadi pada jam 12.00 (malam), sedangkan suhu maksimum 38 ºC, terjadi sekitar jam 3.00 (sore), sehingga terjadi perbedaan sebesar 10,4 ºC. Suhu di luar ruangan pada siang hari rata-rata berada di luar zona kenyamanan (ASHRAE standar). Suhu dalam ruangan 33,6 °C di siang hari dan suhu di luar ruangan mencapai 36,5 °C. Suhu dalam ruangan terendah jam 11.00 (malam) yaitu 27,5 °C dan kelembaban relatif antara 50,5 % - 79,7 %. Perbedaan suhu outdoor dan indoor maksimum adalah 4,4 °C, dan suhu dalam ruangan berada di luar zona kenyamanan. Suhu udara pada pagi hari dan malam hari mendekati zona kenyamanan (ASHRAE standar). Pengguna bangunan asrama dapat menerima suhu yang ada, hal ini menunjuk- kan bahwa pengguna asrama sanggup beradaptasi pada kondisi indoor melalui berbagai modifikasi pakaian, menggunakan fan dan membuka pintu.

(32)

Rumah deret berventilasi alami di Malaysia dengan konfigurasi luas ruang dan bukaan dipengaruhi oleh suhu udara, kecepatan udara, kelembaban udara dan radiasi matahari (Nugraho, 2011). Suhu udara terendah diluar ruangan mencapai 24,7 ºC terjadi pada jam 23.00 dan suhu tertinggi 31,67 ºC terjadi antara jam 11.00 – 12.00. Suhu rata-rata sekitar 26,9 ºC dengan kelembaban relatif antara 65,6 % - 97,4 % dan suhu netral 28,2 ºC. Suhu udara di dalam ruang lebih tinggi 2 ºC – 3 ºC dari suhu udara luar ruangan dan mencapai 30 ºC terutama pada kamar yang berorientasi kearah Barat yang secara langsung lebih banyak menerima radiasi matahari. Kondisi suhu udara pada rumah deret berada diatas tingkat kenyamanan yang diharapkan.

4.2. Pengkondisian udara alami

4.2.1. Pengkondisian udara indoor

Pengkondisian udara di dalam ruang dapat dilakukan secara pasif maupun aktif. Pengkondisian udara secara pasif dimaksudkan pengkondisian sesuai dengan disain rancangan arsitektural gedung secara alami, dimana kualitas udara didalam ruang sesuai dengan disain dan keadaan iklim (Talarosa, 2005). Kenyamanan termal dapat diperoleh dengan murah, yaitu secara alamiah melalui pendekatan arsitektur, diantaranya melalui rancangan bangunan dengan mempertimbangkan: 1) orientasi bangunan terhadap matahari dan arah angin, 2) pemanfaatan elemen arsitektur dan material bangunan; dan 3) pemanfaatan elemen-elemen lansekap (Talarosa, 2005). Pada lingkungan yang baru pendekatan arsitektur dengan cara pertama dan

(33)

kedua dapat dilakukan, untuk lingkungan yang sudah terbangun tidak dapat menggunakan pendekatan arsitektur pertama dan kedua, melainkan harus melakukan pendekatan dengan cara yang ketiga, yaitu dengan pemanfaatan elemen lansekap/vegetasi.

a. Orientasi bangunan terhadap matahari dan arah angin.

Indonesia dengan iklim panas lembab dan peredaran matahari yang hampir konstan (Timur – Barat) serta arah angin yang selalu berubah sesuai dengan musim, maka orientasi bangunan terhadap matahari dan angin dapat dilakukan dengan:

Perletakan bangunan berorientasi pada gerakan matahari

Gambar 3 (a)

(34)

Perletakan bangunan berorientasi pada gerakan angin

Gambar 3 (b)

Perletakan bangunan berorientasi pada pergerakan udara (angin) (Amirudin,19) Angin basah

(musim hujan)

Angin kering (musim kemarau)

(35)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

Posisi bangunan (garis putus) (Gambar 3.a) menunjukkan arah orientasi matahari yang optimal bagi bangunan, karena bagian bangunan yang terkena sinar matahari pada bidang yang kecil, sehingga radiasi matahari yang masuk ke dalam bangunan relatif kecil. Posisi bangunan (garis penuh) merupakan kompromi antara arah angin dan orientasi matahari pada bangunan, sehingga diperoleh posisi bangunan yang optimal terhadap orientasi matahari dan angin (Amirudin, 1972). Radiasi matahari tidak langsung masuk kedalam bangunan, (sinar tidak tegak lurus), melainkan memantul lebih dulu ke dinding bangunan, sehingga radiasi yang masuk dalam bangunan tidak terlalu panas dan sirkulasi udara dalam ruang akan lebih merata karena arah angin menerpa pada bidang bangunan yang luas.

Radiasi matahari yang diterima bangunan ditentukan oleh orientasi bangunan terhadap matahari, dan bidang yang menerima radiasi matahari langsung semakin luas, maka panas yang diterima bangunan semakin besar. Bangunan dengan bentuk memanjang sebaiknya sisi panjangnya berorientasi ke arah Utara-Selatan sehingga sisi bangunan yang pendek menghadap Timur – Barat yang menerima radiasi matahari langsung. Kompromi penataan masa bangunan dapat dihasilkan orientasi bangunan terhadap matahari sebagaimanan Gambar 3(a) & 3(b) (Amirudin, 1972).

b. Orientasi bangunan terhadap angin (ventilasi silang)

Pergerakan udara yang masuk ke dalam bangunan (Gambar 3.b) dapat lebih besar karena angin yang berhembus jatuh pada bidang yang lebih luas (bidang miring), sehingga dapat mengurangi panas radiasi yang masuk ke dalam bangunan dan mengurangi kelembaban udara

(36)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

dalam bangunan (Amirudin, 1972). Ventilasi dibuat agar pergerakan udara dapat masuk kedalam ruang (untuk kesehatan dan kenyamanan penghuni).

Ventilasi adalah proses pergerakan udara luar yang diarahkan agar masuk ke dalam ruang, sekaligus mendorong udara kotor di dalam ruang ke luar. Kebutuhan ventilasi tergantung pada jumlah manusia serta fungsi bangunan.

Posisi bangunan yang melintang terhadap arah angin sangat membantu menurunkan suhu udara. Ukuran, dan posisi lubang jendela pada sisi atas dan bawah bangunan dapat meningkatkan efek ventilasi silang

(cross ventilation) di dalam ruang sehingga penggantian udara panas di

dalam ruang dan peningkatan kelembaban udara dapat dihindari. Orientasi bangunan yang baik terhadap matahari sekaligus arah angin jarang dijumpai. Penelitian menunjukkan bahwa, posisi bangunan yang melintang terhadap arah angin lebih efektif dari pada perlindungan terhadap radiasi matahari karena panas radiasi dapat dihalau oleh angin (Gambar 3.b). Kecepatan angin yang nikmat dalam ruangan adalah 0,1 – 0,15 m/detik, sedangkan besarnya laju aliran udara tergantung pada: (1) kecepatan dan arah angin terhadap lubang ventilasi, (2) luas lubang ventilasi, (3) jarak dan posisi antara lubang udara masuk dan keluar; dan (4) penghalang di dalam ruangan yang menghalangi pergerakan udara (Amirudin, 1972).

c. Pemanfaatan elemen arsitektur dan bahan bangunan

Pengaruh radiasi matahari pada bangunan diantaranya dapat diatasi dengan memanfaatkan elemen arsitektur dan bahan bangunan.

(37)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

Penggunaan elemen arsitektur bisa berupa bentuk disain dan penggunaan bahan bangunan (Talarosa, 2005)

c.1. Pemanfaatan bentuk elemen arsitektur untuk pelindung dari sinar matahari

Mendisain bangunan yang menghadap Timur atau Barat harus mem-pertimbangkan arah bukaan/jendela agar tidak langsung menghadap arah tersebut, sehingga radiasi panas tidak langsung masuk ke dalam bangunan yang dapat memanaskan ruang dan meningkatkan suhu udara dalam ruang serta menghasilkan efek silau. Bangunan yang terpaksa menghadap Timur atau Barat dapat diatasi dengan memasang elemen arsitektur penahan radiasi matahari (solar shading device) yang bersifat permanen dari bahan yang tidak banyak menyerap sinar matahari sehingga radiasi panas tidak di teruskan ke dalam bangunan (Gambar 4) (Talarosa, 2005).

Informasi penggunaan solar shading devices yang menggunakan vegetasi sebagai elemen arsitektur belum banyak. Vegetasi sebagai elemen arsitektur lebih efektif, baik dari aspek estetika, lingkungan maupun aspek yang lain, namun memerlukan perawatan intensif sebagaiman pada taman.

(a) (b) (c) (d) Cantilever (Overhang) Louver Overhang Panels (atau Horizontal dari beton Horizontal) finil awning) dari beton Screen finil Louver

(38)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor (e) (f

Egg Crate (kombinasai elemen Vertical Louver plat horizontal dan vertikal) plat (bisa diputar arahnya)

Gambar 4: Elemen arsitektur pelindung bangunan dari sinar matahari (Tolarosa, 2005).

Elmen arsitektur (Gambar 4 a dan b) efektif digunakan pada bidang bangunan yang menghadap Utara –Selatan , karena sinar matahari langsung tidak masuk kedalam ruang tetapi cahayanya cukup menerangi ruang dan angin dapat masuk ke dalam ruang tanpa terhambat. Elemen arsitektur (Gambar 4 c, d, e, f) dapat diterapkan pada bangunan yang menghadap Timur atau Barat karena mampu menahan radiasi matahari dan efek silau saat sudut matahari rendah serta dapat berfungsi sebagai pengarah angin (windbreak) melalui sirip yang dapat di putar sesuai arah yang di inginkan (Talarosa, 2005). Mengurangi radiasi panas dan kesilauan dari sinar matahari menurut Sukawi (2010), dapat dilakukan dengan cara: 1) pembayangan/ shading untuk mematahkan sinar matahari dengan prinsip payung atau perisai melalui: penanaman vegetasi (pohon-pohon tinggi) dekat bangunan, penggunaan blinden yang dapat disetel pada poros vertikal; dan 2) penyaringan atau filtering untuk memperlembut sinar matahari pada

(39)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

siang hari yang masuk dalam ruang agar tidak menyilaukan, melalui: penanaman vegetasi perdu, krepyak, louvre, jalousi, kisi-kisi/krawang/roster, overhangs.

c.2. Pemanfaatan bahan bangunan

Radiasi matahari yang jatuh pada suatu bidang/selubung bangunan sebagian akan dipantulkan kembali (refleksi) dan sebagian akan diserap (asorbsi). Panas yang terserap akan terkumpul pada bidang yang menerima radiasi dan diteruskan ke bagian sisi yang dingin yaitu sisi dalam bangunan. Besarnya panas radiasi matahari pada bidang bangunan tergantung pada lamanya bidang tersebut menerima/terkena radiasi sinar matahari. Masing-masing bahan bangunan mempunyai angka koefisien serapan kalor (dalam persen), semakin besar serapan kalor, semakin besar panas yang diteruskan ke ruangan, sebaliknya semakin besar kalor yang dipantulkan semakin kecil panas yang diteruskan ke ruangan. Refleksi radiasi matahari pada suatu bidang dipengaruhi oleh jenis material/bahan yang digunakan, dan masing-masing mempunyai daya refleksi dan absorbsi (Tabel 10) (Lippsmeier, 1980).

(40)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor Tabel 10. Refleksi dan asorbsi bahan bangunan terhadap sinar matahari

No Bahan Bangunan Refleksi panas (%) Absorbsi panas (%)

1. Pualam putih 60-50 40-50 2. Batu kapur pasir putih 60 40

3. Beton 40-30 60-70

4. Plesteran 60-40 40-60 5. Batu merah 40-25 60-75 6. Genteng merah muda 40-35 60-75 7. Genteng semen tak berwarna 60-40 40-60 8. Asbes semen baru 20-5 80-95 9. Asbes semen lama (1 tahun) 30-15 70-85 10. Seng gelombang (baru) 35-30 65-70 11. Seng gelombang (lama) 10-5 90-95

12. Aluminium 90-70 10-30

13. Daun-daun hijau 20-30 80-70

14. Rumput 20 80

Sumber: Lippsmeier (1980).

Material berupa daun-daun hijau dan rumput mempunyai daya absorbsi cukup besar (70 – 80 %) (Tabel 10). Sinar matahari yang diserap tanaman digunakan oleh daun hijau untuk proses fotosintesis sehingga tidak di teruskan ke suatu bidang atau ruang. Daya refleksi pada material daun-daun hijau relatif kecil (sekitar 20 %) dan hanya terjadi pada daun yang mempunyai karakteristik halus/rata dan mengkilap (mempunyai lapisan lilin) saja (Loveless, 1990).

c.3. Pemanfaatan Elemen Lansekap (vegetasi)

Elemen lansekap dapat digunakan sebagai pelindung dari radiasi matahari. Vegetasi dapat menurunkan suhu udara lingkungan karena memberikan efek bayangan, dan daun hijau dapat merefleksikan sinar matahari 5 - 30 %, sedangkan 5 - 20 % diabsorbsi untuk fotosintesis serta 5 - 30 % untuk evapotranspirasi (Krusche, at al., 1982 dalam

(41)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

Perini, at al. 2012). Penempatan dan penataan tanaman/vegetasi perlu diperhatikan terhadap sistim bukaan sehingga akan diperoleh sistim penghawaan maksimal yang akan membantu terciptanya kenyamanan (Gambar 5). Efek bayangan di bawah kanopi pohon yang sudah dewasa menunjukkan pengurangan radiasi yang diserap oleh pengguna, menghasilkan pengurangan energi yang sangat dekat dengan kenyamanan (di bawah 50 W/m2) bahkan dengan suhu udara yang tinggi (Picot, 2004). Penyinaran matahari langsung sepanjang hari, pertumbuhan pohon mengungkapkan fenomena radiasi global yang diserap oleh pengguna berupa reduksi, oleh efek perisai pohon, penyerapan radiasi surya global yang menyebar. Selain tanaman pohon, penggunaan tanaman perdu untuk sistim pembayangan dapat juga diterapkan pada bangunan sehingga multi fungsi, baik sebagai taman maupun sebagai penahan radiasi matahari (Picot, 2004).

Pohon berjarak 1,5 m Pohon berjarak 3 m Pohon berjarak >3<9 m dari dari bangunan dari bangunan bangunan, gerakan udara dida lam bangunan semakin besar BAIK SEMAKIN BAIK

Gambar 5. Pengaturan jarak pohon terhadap bangunan dan pengaruhnya terhadap ventilasi alami (Talarosa, 2005).

Hasil penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa suhu udara 1 m diatas permukaan beton lebih tinggi 4°C dibandingkan suhu udara pada ketinggian yang sama di atas permukaan rumput, apabila

(42)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

permukaan rumput terlindung dari radiasi matahari maka perbedaannya menjadi 5°C (Lippsmeier, 1994). Proses fotosintesis yang menyerap sinar matahari dan fungsi pembayang-an oleh vegetasi dapat mengurangi panas radiasi matahari yang di teruskan pada bidang dibawahnya. Penataan vegetasi ini apabila ditanam dibidang atap datar (roof garden) atau pada dinding (green wall), ada kecenderungan dapat mengurangi radiasi sinar matahari, sehingga diperoleh suhu udara

ambien yang lebih rendah, baik dalam ruang maupun diluar ruang.

Pengaruh evapotraspirasi dan pembayangan dapat meningkatkan kelembaban dan mempengaruhi suhu bangunan iklim mikro, indoor dan outdoor. Penurunan suhu dalam ngarai perkotaan dengan dinding hijau dan atap hijau untuk iklim Mediterania antara 4-5 ° C (Alexandri dan Jones, 2008 dalam Perini, at al., 2012).

Perkotaan biasanya tingkat populasi dan kepadatan bangunannya cenderung tinggi, serta sebagian besar masyarakatnya mempunyai kemampuan ekonomi rendah, sehingga sulit mendapatkan kenyamanan termal. Hal ini disebab karena 1) kemampuan ekonomi yang terbatas sehingga tidak mampu menciptakan kenyamanan dengan pendekatan mekanis, 2) kurang memahami pengetahuan arsitektur dan kurang mampu membangun perumahannya dengan menggunakan jasa seorang arsitek; dan 3) keadaan lahan yang relatif sempit. Keadaan yang demikian alternatif yang bisa digunakan untuk memperoleh kenyamanan termal ialah melalui pemanfaatan vegetasi yang diharapkan dapat menurunkan suhu udara.

Pengkondisian udara aktif maupun pasif mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan kenyamanan termal indoor.

(43)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

Pengkondisian udara aktif merupakan pengkondisian udara secara mekanik, yaitu pengkondisian udara menggunakan alat pengatur udara (air condition/AC), sehingga dalam keadaan iklim yang bagaimanapun akan dihasilkan kualitas udara sesuai yang dikehendaki (Talarosa, 2005).

4.2.2. Pengkondisian udara outdoor

Pohon dan vegetasi merupakan elemen lansekap yang dapat membantu pengkondisi udara outdoor, karena mampu menyerap radiasi matahari dan efek bayangannya menghalangi pemanasan permukaan bangunan dan tanah/dasar di bawahnya. Efek bayangan dan pendinginan dapat terjadi pada lingkungan outdoor bervegetasi, karena energi cahaya matahari yang jatuh pada daun, 5-30 % dipantulkan, 5-20 % digunakan untuk fotosintesis, 10–50 % di transformasi menjadi panas, 20-0 % digunakan untuk evapo- franspirasi, dan 5-30 % diteruskan melalui daun (Krusche, et al., 1982 dalam Perini, et al., 2012).

Pohon yang terkena sinar matahari langsung sepanjang hari, pertumbuhan-nya mengungkapkan dua fenomena radiasi global yang diserap oleh pengguna yaitu:1) reduksi, oleh efek perisai pohon, penyerapan radiasi surya global yang menyebar; dan 2 ) meningkat, dengan ketinggian objek dilihat di belahan langit, dalam penyerapan radiasi terestrial (Picot, 2004).

Hasil riset yang dilakukan Universitas Nasional Singapura menunjukkan bahwa Green wall atau dinding hijau mampu membantu menurunkan suhu permukaan sampai 12 ºC dibandingkan suhu dinding

(44)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

biasa pada siang hari pukul 12.00 – 13.00. Suhu permukaan dinding biasa pada siang hari 38,5 ºC, sedangkan pada 8 (delapan) taman vertikal yang diuji rata-rata suhunya 26,5 ºC (Hasibuan, 2010). Perbedaan suhu siang dan malam hari pada taman vertikal lebih stabil, hanya 1ºC, dinding biasa mencapai 10 ºC. Penelitian menunjukkan adanya penurunan suhu yang besar dengan diberinya perlakuan pada masing-masing cara penataan. Perlakuan dengan penataan vegetasi secara horisontal mampu menurunkan suhu udara ambien sampai 4 ºC, sedangkan penataan vegetasi rumput dan tanaman hias secara vertikal mampu menurun- kan suhu permukaan/bidang sampai 12 ºC (Hasibuan, 2010).

(45)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

BAB II

KERANGKA KONSEP KENYAMANAN TERMAL

A. Landasan Teori.

1. Teori produktivitas manusia dan kenyamanan termal

Teori produktivitas manusia ( Human productivity theory) yang dibuat oleh Olgay (1983), merumuskan bahwa tingkat produktivitas manusia dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat. Diasumsikan bahwa dalam melaksanakan kegiatannya agar berlangsung dengan baik, manusia membutuhkan kondisi fisik yang sehat dan lingkungan disekitarnya yang mendukung kegiatan tersebut. Produktivitas manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan kenyamanan fisik, dimana kenyamanan fisik ini tergantung pada kondisi iklim setempat (suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, aliran udara/angin, hujan, dan lain-lain). Ukuran kenyamanan pada manusia sangat subjektif, setiap manusia mempunyai kebutuhan kenyamanan yang berbeda tergantung dari keadaan dan suasana (environment) tertentu. Kondisi tertentu sudah nyaman bagi seseorang namun belum tentu nyaman untuk orang lain. Aplikasi teori, perlu upaya untuk menciptakan/mengkondisikan udara yang sesuai dengan kenyamanan tubuh, baik secara alami maupun secara buatan.

Teori Kenyamanan termal (thermal comfort theory) yang ditemukan oleh Szokolay (1994), merumuskan bahwa kenyamanan tergantung pada variabel iklim (radiasi matahari, suhu udara, kelembaban dan kecepatan udara) dan beberapa faktor lain yang tidak

(46)

Penomoran halaman akan diedit oleh editor

mengikat. Diasumsikan bahwa variabel iklim secara langsung berpengaruh pada kenyamanan termal. Perubahan yang terjadi pada unsur variabel iklim akan mempengaruhi tingkat kenyamanan termal. Adapun variabel lain yang tidak mengikat merupakan faktor individu (suatu kondisi kenyamanan yang dirasakan oleh individu-individu tertentu), diantaranya jenis pakaian, jenis aktivitas, usia dan kelamin, tingkat kegemukan, kondisi kesehatan, warna kulit dan lain-lain. Variabel ini tidak selalu digunakan dalam menentukan kenyamanan termal karana kondisinya selalu berubah tergantung keadaan manusia dan tempatnya. Aplikasi teori, diperlukan pengaturan variabel iklim (suhu, kelembaban, kecepatan udara dan radiasi matahari) untuk mendapatkan kenyamanan termal yang sesuai dengan kondisi tubuh.

Teori keseimbangan (suhu) panas (temperature balance theory) yang dikemukakan Fanger (1972), merumuskan bahwa tubuh manusia menggunakan proses fisiologis (misalnya berkeringat, menggigil, mengatur aliran darah ke kulit) untuk menjaga keseimbangan antara panas yang dihasilkan oleh metabolisme dan panas yang hilang dari tubuh. Diasumsikan bahwa dalam kondisi (suhu) panas yang ekstrim, sistim ini diperlukan agar tubuh berfungsi dengan baik. Menjaga keseimbangan (suhu) panas tubuh adalah kondisi pertama untuk mencapai sensasi termal netral (kenyamanan termal). Aplikasi, dalam mengkondisikan udara pada suatu ruang yang digunakan secara bersama-sama, tidak mungkin menghasilkan persepsi yang sama, karena berhubungan dengan disfungsi tubuh yang serius, tetapi

Gambar

Tabel 2.  Kriteria pencemaran udara menurut WHO, 1976
Tabel 6.   Variabel kenyamanan termal dari beberapa peneliti.
Gambar 1.  Diagram psikrometri (Szokolay, 1994).
Gambar 2:    Diagram Temperatur Efektif (TE) ( Yaglou, 1923)                          (Arismunandar,W.,dan Saito Heizo 1991)
+7

Referensi

Dokumen terkait