• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bank Sentral

1. Pengertian Bank Sentral

Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009, yang dimaksud dengan Bank Sentral adalah “lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort.”

Bank sentral dimaksud mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan tidak melakukan kegiatan intermediasi seperti yang dilakukan oleh bank pada umumnya. Walaupun demikian, dalam rangka mendukung tugas – tugasnya, bank sentral dapat melakukan aktivitas perbankan yang dianggap perlu. Sesuai dengan Pasal 23D Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bank sentral hanya ada satu di Indonesia yang

susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan

independensinya diatur dengan undang – undang, yaitu Bank Indonesia. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009, “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari

(2)

campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal – hal yang secara tegas diatur dalam undang – undang ini.”

Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sirkulasi, bank to bank dan lender of the last resort (Kasmir, 2013:5). Bank Indonesia lebih banyak melayani pihak pemerintah dan dunia perbankan sehingga dapat dikatakan bahwa nasabah Bank Indonesia bukanlah masyarakat umum tetapi kebanyakan adalah lembaga perbankan yang terdiri dari bank – bank umum.

Tujuan Bank Indonesia berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009, adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam ayat ini adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan.

2. Kelembagaan Bank Indonesia

Bank sentral merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam perekonomian, terutama di bidang moneter, keuangan, dan perbankan. Bank sentral mempunyai peran yang sangat strategis bagi masyarakat pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Peran penting Bank Indonesia ini tercermin pada tujuan

(3)

dari Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kelembagaan Bank Indonesia menguraikan kelembagaan Bank Indonesia dalam rangka menjalankan tugas – tugasnya sebagai bank sentral. Selain itu, berisi perkembangan status dan kedudukan bank sentral yang bermula dari bank umum yang diberi tanggung jawab khusus sampai dengan perkembangannya yang terkini, perkembangan status dan kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia, serta struktur Bank Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

a. Perkembangan Status dan Kedudukan Bank Sentral (Bank Indonesia, 2003:16-18)

Bank sentral pada mulanya berkembang dari suatu bank yang mempunyai tugas sebagaimana dilakukan oleh bank – bank lainnya. Namun, bank sentral mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan bank lainnya, seperti menerbitkan uang kertas dan bertindak sebagai agen dan bankir pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, bank sentral mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan terlepas dari tugas dan tanggung jawab utama bank pada umumnya.

Pada awalnya bank sentral disebut sebagai bank of issue “bank sirkulasi” karena mempunyai tugas untuk mempertahankan konversi uang kertas yang dikeluarkannya terhadap emas atau perak atau keduanya. Selanjutnya dalam perkembangannya, bank sirkulasi ini menjalankan fungsi – fungsi lain, seperti mengawasi dan mengatur perbankan, mempertahankan stabilitas ekonomi dengan mengatur jumlah uang beredar, dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Namun, semakin berkembangnya tujuan dan tugasnya, bank sentral tidak lagi identik dengan bank

(4)

komersial, bank tabungan, atau lembaga keuangan lainnya sehingga masyarakat umum tidak dapat lagi menyimpan uangnya atau meminta kredit atau mentransfer uang di bank sentral.

Dalam perkembangannya, peranan dan fungsi bank sentral telah mengalami evolusi dari yang semula hanya sebagai bank sirkulasi menuju ke bank sentral yang mempunyai fungsi sebagai pelaksana kebijakan moneter, pengatur perkreditan, dan pengawas perbankan. Dengan demikian, secara lebih rinci peran bank sentral selain sebagai bankers’ bank adalah sebagai sumber dana bagi bank – bank dan lender of the last resort, yaitu sumber dana pinjaman terakhir bagi bank – bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Hal ini merupakan peran Bank Indonesia dalam pengawasan bank – bank secara makroprudensial meskipun saat ini telah ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga memiliki tugas untuk mengawasi perbankan dari sisi mikroprudensialnya.

Bank sentral pada dasarnya tidak menekankan motif mencari keuntungan seperti bank – bank komersial, tetapi bank sentral dibentuk untuk mencapai suatu tujuan sosial ekonomi tertentu yang menyangkut kepentingan nasional atau kesejahteraan umum, seperti stabilitas harga dan perkembangan ekonomi. Di sisi lain, keberadaan bank sentral diperlukan juga untuk menjaga dan mengarahkan agar aktivitas perbankan dapat berjalan secara lancar sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi. Hal itu mengingat bahwa keberadaan koordinator dan regulator yang tidak berpihak akan membawa bank – bank dapat melaksanakan operasinya secara efisien. Contohnya, kalau tidak ada regulator secara ekonomi keberhasilan bank – bank kecil dapat mengalami kesulitan

(5)

karena adanya praktek bisnis yang tidak fair yang dilakukan oleh bank – bank yang lebih besar.

Berkaitan dengan keadaan tersebut, jelas diperlukan pengaturan dalam bentuk undang – undang, kebijakan, dan peraturan untuk mengarahkan aktivitas industri perbankan dalam mendorong kegiatan ekonomi. Sementara itu, pengendalian jumlah uang beredar merupakan faktor yang sangat penting dalam seluruh kegiatan ekonomi suatu negara. Untuk itulah diperlukan suatu lembaga bank sentral yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, terutama untuk mengatur dan mengawasi aktivitas yang terkait dengan peredaran uang, kredit, dan perbankan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bank sentral pada umumnya merupakan suatu lembaga yang bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dan mengawasi (mengontrol) sistem keuangan dan perbankan.

b. Perkembangan Status dan Kedudukan Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2003:20-22)

Peran dan tugas Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia hingga saat ini telah mengalami evolusi dari yang semula hanya sebagai bank sirkulasi hingga sebagai agen pembangunan, dan terakhir sejak tahun 1999 telah menjadi independen dan mempunyai tugas mencapai sasaran tunggal, yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah.

Sebelum Indonesia merdeka, Indonesia belum memiliki bank sentral seperti yang ada pada saat ini. Pada periode tersebut, fungsi bank sentral hanya terbatas sebagai bank sirkulasi. Tugas sebagai bank sirkulasi dilaksanakan oleh De Javasche Bank NV yang telah diberi hak oktroi (1827),

(6)

yaitu hak mencetak dan mengedarkan uang Gulden Belanda oleh pemerintah Belanda.

Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan

Indonesia, dalam penjelasan Bab VII pasal 23 UUD 1945, disebutkan bahwa akan segera dibentuk sebuah bank yang disebut Bank Indonesia dengan tugas mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas. Selanjutnya, pada tanggal 19 September 1945 dalam sidang Dewan Menteri, Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mendirikan satu bank sirkulasi berbentuk bank milik negara. Berkaitan dengan hal tersebut, langkah pertama dibentuk yayasan dengan nama “Pusat Bank Indonesia”. Yayasan tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI).

Pada tahun 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, dan salah satu keputusan pentingnya adalah penyerahan kedaulatan Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat. Berkaitan dengan masalah perbankan, pada saat tersebut urusan pemerintah mengalami kesulitan untuk mengusahakan agar Bank Negara Indonesia yang telah didirikan sejak tahun 1946 ditetapkan sebagai bank sentral Republik Indonesia Serikat sehingga pemerintah Indonesia terpaksa menerima De Javasche Bank sebagai bank sentral. Dalam perkembangannya, pada tanggal 6 Desember 1951, dikeluarkan undang – undang nasionalisasi De Javasche Bank.

Pada Juli 1953 dikeluarkan UU No. 11 tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia sebagai pengganti Javasche Bank Wet tahun 1922. Mulai saat itu lahirlah satu bank sentral di Indonesia yang diberi nama Bank Indonesia. Sejak keberadaan Bank Indonesia sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok Bank Indonesia selain menjaga stabilitas

(7)

moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih tetap melaksanakan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Namun demikian, tanggung jawab kebijakan moneter berada di tangan pemerintah melalui pembentukan Dewan Moneter yang tugasnya menentukan kebijakan moneter yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Selain itu, Dewan Moneter juga bertugas memberi petunjuk kepada direksi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai mata uang dan memajukan perkembangan perkreditan dan perbankan. Kesemuanya ini mencerminkan bahwa kedudukan Bank Indonesia pada periode tersebut masih merupakan bagian dari pemerintah.

Pada tahun 1968 dengan dikeluarkannya UU No. 13 tahun 1968, Bank Indonesia tidak lagi berfungsi ganda karena beberapa fungsi sebagaimana dilaksanakan oleh bank komersial dihapuskan. Namun demikian, misi Bank Indonesia sebagai agen pembangunan masih melekat, demikian juga tugas – tugas sebagai kasir pemerintah dan bankers’ bank. Selain itu, Dewan Moneter sebagai lembaga pembuat kebijakan yang berperan sebagai perumus kebijakan moneter masih tetap dipertahankan. Tugas Bank Indonesia sebagai agen pembangunan tercermin pada tugas pokoknya, yaitu (1) mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas nilai rupiah, dan (2) mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.

Tugas – tugas pokok yang diemban Bank Indonesia sebagai otoritas moneter pada periode tersebut, khususnya untuk memelihara kestabilan nilai rupiah, berkontradiksi dengan tugas lain Bank Indonesia, yaitu tugas untuk

(8)

kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, misalnya sering pula diikuti oleh peningkatan harga – harga (inflasi) yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh menguatnya permintaan di dalam negeri sehubungan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inflasi yang tinggi berkelanjutan dan tidak terkendali pada gilirannya akan mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Selanjutnya, dengan diberlakukannya UU RI No. 23 tahun 1999, kedudukan Bank Indonesia selaku Bank Sentral Republik Indonesia telah dipertegas kembali. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia telah mempunyai kedudukan yang independen sebagaimana bank – bank sentral di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Cili, Filipina, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan Swiss. Sebagai suatu otoritas moneter yang independen, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan moneter dan melaksanakan kebijakan yang telah diterapkan dalam pelaksanaan tugasnya tanpa campur tangan pihak di luar Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan setiap bentuk campur tangan atau intervensi dari pihak di luar Bank Indonesia. Dengan independensi tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas moneter diharapkan dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif.

Berdasarkan UU RI No. 23 tahun 1999, Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum. Dengan status tersebut, Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, Bank Indonesia juga berwenang membuat peraturan yang mengikat masyarakat luas sesuai dengan tugas

(9)

dan kewenangannya, serta dapat bertindak atas namanya sendiri di dalam dan di luar pengadilan.

c. Struktur Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan (Bank Indonesia, 2003:23-24)

Dilihat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA). Kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara yang independen, dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya.

Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR, Bank Indonesia setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus kepada

DPR, Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan

perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang setiap triwulan dan sewaktu – waktu bila diminta oleh DPR. Selain itu, Bank Indonesia menyampaikan rencana dan realisasi anggaran tahunan kepada Pemerintah dan DPR. Dalam

hubungannya dengan BPK, Bank Indonesia wajib

(10)

B. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 1. Pengertian dan Karakteristik UMKM

Pembentukan usaha baru dan dorongan terhadap budaya kewirausahaan merupakan isu sentral di banyak negara termasuk di Indonesia. Isu tersebut menjadi alternatif sumber pembangunan di Indonesia. Pembentukan bisnis baru melalui kewirausahaan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, inovasi dan pembangunan ekonomi.

Adanya definisi UMKM secara jelas sangat diperlukan untuk tujuan perencanaan dan penetapan kebijakan pengembangan sektor usaha serta dibutuhkan untuk mengidentifikasi kebutuhan UMKM dan efektivitas program pembinaan kepada unit usaha dimaksud. Namun, sampai saat ini belum ada definisi atau pengertian yang berlaku secara universal tentang kriteria dari UMKM. Pada umumnya setiap negara memiliki definisi UMKM yang berlaku di negara tersebut. Meskipun ada beranekaragam definisi dan batasan UMKM di berbagai negara, tetapi secara umum ada beberapa indikator atau kriteria yang lazim digunakan dalam definisi UMKM. Menurut Azis dan Rusland (2009:3), “Indikator yang digunakan dalam definisi UMKM tersebut antara lain berupa besarnya volume usaha, besarnya modal, nilai aset, kekayaan bersih, dan besarnya jumlah pekerja.” Definisi ini dibedakan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah.

Dari berbagai pembicaraan, sampai saat ini belum ada kesepakatan apa yang dimaksud dengan UMKM. Beberapa lembaga

atau instansi memberikan definisi UMKM berdasarkan

kepentingannya sendiri – sendiri dan saling berbeda – beda, demikian pula dalam istilah yang digunakan.

Karakteristik UMKM di Indonesia hampirlah seragam kendati terdapat beberapa definisi mengenai UMKM. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang

(11)

merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga – lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber – sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga (ISIC33) masing – masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit yaitu kurang dari 1% (Kuncoro dan Suhardjono, 2002 : 486 - 487).

Berikut ini merupakan definisi dan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menurut undang – undang dan lembaga – lembaga yang terkait dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang – undang ini.

Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik

(12)

langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang – undang ini.

Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang - undang ini. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang UMKM yang berlaku saat ini, definisi atau kriteria UMKM didasarkan kepada nilai kekayaan bersih dan nilai hasil penjualan sebagaimana dapat dibaca pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1

Definisi dan Kriteria UMKM

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Skala Usaha Kriteria

Usaha Mikro  Memiliki kekayaan (aset) bersih maksimal Rp 50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

 Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) sampai dengan Rp 300 juta

Usaha Kecil  Memiliki kekayaan (aset) bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

 Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 milyar

Usaha Menengah  Memiliki kekayaan (aset) bersih lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 milyar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

 Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) lebih dari Rp 2,5 milyar sampai dengan Rp 10 milyar

Sumber : Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

(13)

b. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil

1. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang – undang ini. Usaha kecil adalah usaha yang :

a) Milik Warga Negara Indonesia (WNI);

b) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar atau usaha menengah;

c) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

2. Usaha Menengah dan Usaha Besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan Usaha Kecil. Yang dimaksud dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar meliputi usaha nasional (milik negara atau swasta), usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

Tabel 2.2

Definisi dan Kriteria UMKM

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Skala Usaha Kriteria

Usaha Mikro  Memiliki kekayaan (aset) bersih kurang dari Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

 Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) kurang dari Rp 1 milyar Usaha Kecil  Memiliki kekayaan (aset) bersih maksimal Rp 200 juta (tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

 Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) maksimal Rp 1 milyar Usaha

Menengah

 Memiliki kekayaan (aset) bersih lebih dari Rp 200 juta sampai dengan Rp 10 milyar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)

 Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) lebih dari Rp 10 milyar Sumber : Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil

(14)

c. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMKM berdasarkan kuantitas atau jumlah tenaga kerja. Usaha mikro merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 5 orang. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang. Usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang. Usaha besar merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Definisi UMKM menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.

Usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omzet per tahun setinggi – tingginya Rp 600.000.000 atau asset (aktiva) setinggi – tingginya Rp 600.000.000 (diluar tanah dan bangunan yang ditempati) yang terdiri dari: (1) badan usaha (Firma, CV, PT, dan Koperasi), dan (2) perorangan (pengrajin industri rumah tangga, peternak, nelayan, pedagang barang dan jasa, dan yang lainnya).

Tabel 2.3

Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

Skala Usaha Jumlah Tenaga Kerja

Usaha Mikro < 5 orang

Usaha Kecil 5 – 20 orang

Usaha Menengah 20 – 99 orang

Usaha Besar > 100 orang

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006

d. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994

(15)

d. Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan tanggal 17 Juni 2003

Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam keputusan ini. Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut:

a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI);

d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;

e) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi;

f) Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun serta mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan.

(16)

e. Menurut Bank Dunia (World Bank)

Bank Dunia (World Bank) membagi UMKM menjadi tiga kelompok dengan kriteria masing – masing sebagai berikut:

Tabel 2.4

Definisi dan Kriteria UMKM Menurut Bank Dunia (World Bank)

Skala Usaha Kriteria

Usaha Mikro

(Micro Enterprise)

 Jumlah karyawan tidak lebih dari 10 orang

 Jumlah aset yang dimiliki tidak melebihi US$ 100 ribu  Pendapatan setahun tidak melebihi US$ 100 ribu

Usaha Kecil (Small Enterprise)

 Jumlah karyawan tidak lebih dari 30 orang

 Jumlah aset yang dimiliki tidak melebihi US$ 3 juta  Pendapatan setahun tidak melebihi US$ 3 juta Usaha Menengah

(Medium Enterprise)

 Jumlah karyawan tidak lebih dari 300 orang

 Jumlah aset yang dimiliki tidak melebihi US$ 15 juta  Pendapatan setahun tidak melebihi US$ 15 juta Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, 2006

f. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM

Tabel 2.5

Definisi dan Kriteria UMKM

Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM

Skala Usaha Kriteria

Usaha Mikro Usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam Koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) per tahun

Usaha Kecil Usaha kecil adalah kegiatan rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

c) Milik Warga Negara Indonesia (WNI);

d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;

(17)

e) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum; atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk Koperasi.

Usaha Menengah

Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut:

a) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

b) Milik Warga Negara Indonesia (WNI);

c) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Besar;

d) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum; atau badan usaha yang berbadan hukum.

Sumber : Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlu dilakukan pemisahan pengelompokan ketiga jenis usaha tersebut, terutama untuk kebutuhan pemberian jenis bantuan atau pembinaan yang diperlukan oleh masing – masing usaha. Secara umum, usaha kecil dan menengah memiliki kemampuan yang lebih baik dari usaha mikro, terutama dalam menciptakan kesempatan kerja. Perusahaan – perusahaan dengan skala usaha kecil dan menengah pada umumnya memiliki potensi yang besar dalam pertumbuhan tenaga kerja karena potensinya untuk memperluas usahanya cukup besar, dan usaha menengah dipandang sebagai cikal bakal atau embrio dari usaha besar. Di sisi lain, usaha mikro umumnya dengan tingkat pertumbuhan yang relatif terbatas dari waktu ke waktu hampir jarang yang berkembang menjadi usaha kecil maupun usaha menengah. Aspek lain dari karakteristik UMKM adalah biasanya usaha mikro dan kecil memberikan kontribusi utama dalam penghasilan rumah tangga, pemilikan perusahaan secara pribadi, belum memiliki struktur organisasi dan perencanaan yang memadai, tingkat pendidikan dan kualitas tenaga kerja yang relatif rendah, dan masih menggunakan teknologi yang masih rendah dalam pengelolaan perusahaannya (Biro Kredit BI dalam Azis dan Rusland, 2009:5).

(18)

2. Aspek – Aspek UMKM

Apabila dikaji lebih lanjut, aspek UMKM sangatlah bervariasi, terutama jika dilihat dari berbagai dimensi yang membentuk profil UMKM. Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai aspek/dimensi UMKM adalah sebagai berikut:

1) Aspek karakteristik pengusaha

Karakteristik pengusaha merupakan ciri yang melekat pada pengusaha tersebut. Karakteristik ini akan menyangkut dan meliputi: jenis kelamin (gender), usia, pengalaman usaha, status dalam keluarga, pendidikan, dan karakteristik yang relevan lainnya.

2) Aspek input

Aspek input menyangkut berbagai masukan yang dipergunakan oleh UMKM, yaitu jenis usaha, bahan baku, bahan penunjang, bahan penolong, mesin dan tenaga kerja yang digunakan.

3) Aspek produksi

Aspek produksi menyangkut sistem produksi yang digunakan, urutan proses produksi, jumlah produksi, dan keahlian yang dibutuhkan dalam produksi.

4) Aspek pemasaran

Aspek pemasaran menyangkut dimensi konsumen, situasi pasar dan sistem distribusi. Dimensi konsumen menyangkut siapa konsumen, dimana mereka berada dan banyak konsumen. Dimensi situasi menyangkut situasi persaingan, daerah pemasaran, indentitas pesaing dan pangsa pasar. Dimensi distribusi menyangkut bagaimana distribusi produk ke konsumen, saluran pemasaran yang digunakan dan alat transportasi yang digunakan. 5) Aspek usaha

Aspek usaha menyangkut jenis usaha, jumlah unit usaha, sarana usaha yang dimiliki, peluang usaha dan pola kemitraan yang sudah dilakukan.

(19)

6) Aspek keuangan

Aspek keuangan menyangkut perkembangan modal, hutang usaha, laba usaha, sumber dan penggunaan dana, rasio keuangan, piutang usaha dan kendala keuangan yang dihadapi.

7) Aspek manajemen dan tingkat penguasaan teknologi

Aspek manajemen dan tingkat penguasaan teknologi menyangkut struktur organisasi beserta tugas dan wewenang, balas jasa dan insentif yang diberikan kepada karyawan, teknologi yang digunakan, adanya rencana dan jadwal kegiatan.

8) Aspek legalitas usaha

Aspek legalitas usaha menyangkut perizinan yang dimiliki, yuridis perkreditan yang diambil, pembayaran pajak dan masalah yuridis penggunaan tenaga kerja.

9) Faktor pembatas dan intervensi diperlukan

Faktor pembatas menyangkut kendala yang dihadapi dalam usaha serta faktor intervensi menyangkut keinginan UMKM terhadap pihak pemerintah untuk mengatasi faktor pembatas tersebut.

3. Ketahanan UMKM dalam Suatu Gejolak Ekonomi

Suatu perusahaan dapat dikategorikan berkelas dunia kalau mampu menjadi salah satu pelaku utama di suatu industri. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar perusahaan tersebut apakah cukup berarti dan/atau memiliki pengaruh yang cukup besar dalam penentuan harga di pasar (market leader). Semakin utama lagi, seandainya perusahaan tersebut menjadi trend setter di lingkungan industrinya. Selanjutnya, perusahaan – perusahaan yang mampu bersaing di pasar internasional secara berkelanjutan biasanya memiliki kemampuan untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Paling tidak, perusahaan tersebut mampu untuk mempertahankan pangsa pasarnya dengan bertopang pada landasan yang kokoh karena memiliki kompetensi harga dan kualitas.

(20)

Kompetensi harga terbentuk dari kemampuan berekspansi sampai pada tingkat produksi yang optimal, yaitu pada tingkat yang menghasilkan biaya rata – rata jangka panjang yang terendah. Setiap jenis usaha memiliki tingkat optimal yang berbeda – beda. Misalnya, perusahaan listrik dan telekomunikasi pada umumnya mencapai tingkat optimal pada skala produksi yang sangat besar.

Sementara itu, kompetensi kualitas akan diperoleh dari kemampuan perusahaan untuk selalu memperbarui produknya lewat proses invensi atau inovasi. Hal ini akan terjadi jika berlangsung kegiatan riset dan pengembangan (R&D) yang melembaga dan built-in dalam proses produksi.

Teorinya, besar kecilnya skala perusahaan ataupun kategori – kategori lainnya tidak cukup relevan dalam menentukan besarnya kontribusi bagi penyehatan perekonomian. Kekokohan sosok dunia usaha lebih bergantung pada proses dinamika di pasar, dalam suatu lingkungan politik yang demokratis sehingga memberikan akses kesempatan yang sama bagi semua pelaku dalam mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Namun, suatu hal yang sangat penting dan menarik untuk dikaji lebih jauh adalah, ternyata Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lebih tangguh menghadapi krisis ketimbang perusahaan – perusahaan besar.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 lalu, yang diawali dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan krisis moneter telah mengakibatkan perekonomian Indonesia mengalami suatu resesi ekonomi yang besar. Krisis ini sangat berpengaruh negatif terhadap hampir semua lapisan/golongan masyarakat dan hampir semua kegiatan-kegiatan ekonomi di dalam negeri, tidak terkecuali kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam skala kecil dan menengah. Dampak daripada suatu gejolak ekonomi terhadap UMKM perlu dianalisis dari dua sisi, yakni sisi penawaran dan sisi permintaan. Namun demikian, besarnya efek tersebut bervariasi

(21)

menurut jenis kegiatan atau sektor/subsektor, skala usaha dan wilayah usaha (lokasi perusahaan dan lokasi pasar) yang berbeda. Perbedaan ini karena orientasi dan struktur pasar output dan input, pola proses produksi dan jenis serta intensitas pemakaian input/bahan baku berbeda menurut kegiatan ekonomi yang berbeda.

Menurut Basri (2002:206), beberapa alasan mengapa UMKM tidak seterpuruk usaha besar pada saat krisis, yaitu:

1) Sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama. Kelompok barang ini dicirikan oleh permintaan terhadap perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah. Artinya, seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas kelompok barang ini tidak akan meningkat banyak. Sebaliknya, jika pendapatan masyarakat merosot sebagai akibat dari krisis, maka permintaan tidak akan banyak berkurang. Dengan demikian, secara rata – rata tingkat kemunduran usaha kecil tidak separah yang dialami oleh kebanyakan usaha besar, terutama usaha yang selama ini bisa bertahan karena topangan proteksi, fasilitas istimewa dan praktik-praktik KKN lainnya.

2) Mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil pada fasilitas perbankan sangat terbatas. Maka, bisa dipahami kalau ditengah keterpurukan sektor perbankan justru usaha kecil tidak banyak terpengaruh. Oleh karena itu, jangan sampai kebijakan pemerintah terlalu mengedepankan aspek pendanaan usaha kecil dengan beragam paket kredit murah yang disubsidi, mengingat bisa saja langkah demikian justru merupakan usaha menggali liang kubur bagi pengusaha kecil. Jangan sampai pula, pemberian kredit murah lebih merupakan komoditi politik bagi keuntungan segelintir orang atau kelompok – kelompok tertentu saja.

(22)

3) Pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat, dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja. Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang melatarbelakanginya. Di lain pihak, mengingat struktur pasar yang mereka hadapi mengarah pada persaingan sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), tingkat persaingan sangatlah ketat. Akibatnya, yang bangkrut atau keluar dari arena usaha relatif banyak, tetapi pemain baru yang masuk pun cukup banyak pula sehingga secara neto jumlah pelaku tidak akan mengalami pengurangan yang berarti. Spesialisasi dan struktur pasar persaingan sempurna inilah yang membuat usaha kecil cenderung lebih fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha, apalagi mengingat bahwa usaha kecil tidak membutuhkan kecanggihan teknologi dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi.

4) Terbentuknya usaha – usaha kecil, terutama di sektor informal, sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal yang disebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyaknya unit usaha baru di sektor informal ini pada akhirnya membuat tidak terjadinya penurunan jumlah UMKM dan koperasi, bahkan sangat mungkin mengalami peningkatan.

4. Peranan UMKM dalam Perekonomian a. Peranan UMKM di Indonesia

Pengalaman di berbagai negara dan beberapa studi yang dilakukan tentang UMKM telah membuktikan bahwa sektor usaha tersebut merupakan bagian penting dari perekonomian negara karena mereka telah memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong perekonomian, antara lain kontribusinya dalam membuka kesempatan kerja baru sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi dan sebagai sumber inovasi. Di samping itu, dalam struktur perekonomian, umumnya UMKM merupakan lapisan

(23)

pelaku usaha yang paling besar, yang sering juga disebut dengan pelaku ekonomi rakyat. Oleh karena itu, eksistensi dan peran UMKM ini harus dipelihara dan dijaga kesinambungannya dalam membentuk perekonomian yang tangguh. Dalam era perubahan lingkungan ekonomi global dan perdagangan bebas, yang diikuti dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, UMKM mempunyai peranan baru yang lebih penting lagi bagi perekonomian, yaitu sebagai salah satu sumber pendorong pertumbuhan ekspor non - migas dan sebagai unit usaha pendukung bagi usaha besar dengan menyediakan bahan – bahan tertentu, seperti komponen – komponen dan suku cadang melalui keterkaitan proses produksi antara lain dengan sistem subcontracting.

Pengalaman di negara – negara industri baru, seperti Taiwan, Korea Selatan dan Cina, penerapan inovasi kerja sama antara usaha kecil dan menengah dengan usaha besar dengan pola subcontracting ini ternyata membuat produk – produk di negara tersebut lebih kompetitif, baik di pasar domestik maupun di pasar global dalam menghadapi produk – produk sejenis dari negara lain. Selain itu, dari pengalaman Bank Indonesia menangani proyek – proyek UMKM seperti Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dan Proyek Kredit Mikro (PKM), menunjukkan bahwa UMKM pada waktu terjadi krisis ekonomi pada pertengahan 1997 terbukti lebih mampu bertahan dibandingkan dengan usaha besar. Hal ini terjadi karena sifat UMKM yang kurang bergantung pada pasar formal sehingga unit usaha tersebut dapat bergerak lebih cepat dan lebih fleksibel terhadap gejolak yang datang tiba – tiba.

Sebagaimana diketahui bahwa UMKM merupakan salah satu sektor usaha yang memiliki peran atau kontribusi yang sangat strategis dalam perekonomian nasional, sebagaimana tercermin

(24)

pada beberapa hal berikut, yaitu 1) dalam dominasi jumlah unit usaha yang mencapai 99.99%, dimana 98.77% diantaranya adalah usaha mikro, 2) sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 96.99%, 3) sumbangan terhadap PDB nasional mencapai 60.34%, 4) sumbangan terhadap total ekspor non – migas mencapai 15.68%, serta 5) sumbangan terhadap investasi mencapai 63.42% dari total keseluruhan (Kementerian Koperasi dan UKM, 2013).

(25)

a) Tabel Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar di Indonesia pada tahun 2009 – 2013, menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM

Tabel 2.6

Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2009 – 2013

No Indikator Satuan

Jumlah

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 1. Unit Usaha (A+B) (Unit) 52,769,426 54,119,971 55,211,396 56,539,560 57,900,787

(A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Unit) 52,764,750 54,114,821 55,206,444 56,534,592 57,895,721 Usaha Mikro (Unit) 52,176,771 53,504,416 54,559,969 55,856,176 57,189,393

Usaha Kecil (Unit) 546,643 568,397 602,195 629,418 654,222

Usaha Menengah (Unit) 41,336 42,008 44,280 48,997 52,106

(B) Usaha Besar (Unit) 4,676 5,150 4,952 4,968 5,066

2. Tenaga Kerja (A+B) (Orang) 98,885,997 100,991,962 104,613,682 110,808,154 117,681,244 (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Orang) 96,193,623 98,238,913 101,722,458 107,657,509 114,144,082 Usaha Mikro (Orang) 89,960,695 91,729,384 94,957,797 99,859,517 104,624,466 Usaha Kecil (Orang) 3,520,497 3,768,885 3,919,992 4,535,970 5,570,231 Usaha Menengah (Orang) 2,712,431 2,740,644 2,844,669 3,262,023 3,949,385 (B) Usaha Besar (Orang) 2,692,374 2,753,049 2,891,224 3,150,645 3,537,162 3. PDB Atas Dasar Harga Berlaku (A+B) (Rp. Milyar) 5,285,290.4 6,068,762.8 7,445,344.6 8,241,864.2 9,014,951.2 (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 2,969,346.2 3,411,574.7 4,321,830.0 4,869,568.1 5,440,007.9 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 1,747,339.0 2,011,544.2 2,579,388.4 2,951,120.6 3,326,564.8 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 517,919.7 596,884.4 740,271.3 798,122.2 876,385.3 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 704,087.5 803,146.0 1,002,170.3 1,120,325.3 1,237,057.8 (B) Usaha Besar (Rp. Milyar) 2,315,944.2 2,657,188.1 3,123,514.6 3,372,296.1 3,574,943.3 Lanjutan…

(26)

Lanjutan Tabel 2.6

4. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B) (Rp. Milyar) 2,089,058.5 2,217,947.0 2,377,110.0 2,525,120.3 2,670,314.9 (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 1,212,599.3 1,282,571.8 1,369,326.0 1,451,460.2 1,536,918.8 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 682,259.8 719,070.2 761,228.8 790,825.6 807,804.5 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 224,311.0 239,111.4 261,315.8 294,260.7 342,579.2 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 306,028.5 324,390.2 346,781.4 366,373.9 386,535.1 (B) Usaha Besar (Rp. Milyar) 876,459.2 935,375.2 1,007,784.0 1,073,660.1 1,133,396.1 5. Total Ekspor Non Migas (A+B) (Rp. Milyar) 953,089.8 1,112,719.9 1,140,451.1 1,185,391.0 1,161,327.5 (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 162,254.5 175,894.9 187,441.8 166,626.5 182,112.7 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 14,375.3 16,687.5 17,249.3 15,235.2 15,989.5 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 36,839.7 38,001.0 39,311.7 32,508.8 32,051.8 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 111,039.6 121,206.4 130,880.8 118,882.4 134,071.4 (B) Usaha Besar (Rp. Milyar) 790,835.3 936,825.0 953,009.3 1,018,764.5 979,214.8 6. Investasi Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Milyar) 1,588,502.8 1,923,437.2 1,982,721.2 2,283,872.9 2,609,778.8 (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 781,357.0 927,117.5 992,205.2 1,250,801.1 1,655,233.5 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 123,896.2 150,784.4 155,182.6 175,529.1 185,717.2 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 288,328.5 343,048.9 355,305.9 452,790.0 620,216.0 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 369,132.2 433,284.2 481,716.7 622.482,0 849,300.3 (B) Usaha Besar (Rp. Milyar) 807,145.9 996,319.7 990,516.0 1,033,071.9 954,545.2 7. Investasi Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B) (Rp. Milyar) 453,582.7 511,248.0 531,342.6 583,426.4 607,879.3 (A) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 224,008.7 247,139.5 260,934.8 300,175.7 341,341.6 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 37,144.9 42,240.1 42,351.3 44,711.3 42,053.3 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 85,714.9 93,856.6 94,779.4 104,726.4 111,652.8 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 101,149.0 111,042.8 123,804.1 150,738.0 187,635.5 (B) Usaha Besar (Rp. Milyar) 229,573.9 264,108.5 270,407.9 283,250.7 266,537.7 Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013

(27)

Berdasarkan Tabel 2.6 diatas, dapat diketahui bahwa perkembangan dari tahun 2009 – 2013, unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lebih besar daripada Usaha Besar (UB). Hal ini terbukti dari beberapa indikator penilaian yang terdiri dari jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja, dan perolehan PDB (Produk Domestik Bruto), dimana Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan dan perkembangan yang lebih besar daripada Usaha Besar (UB). Sementara dalam indikator ekspor non migas, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) jumlahnya dari tahun ke tahun memang lebih kecil daripada Usaha Besar, tetapi sektor UMKM total ekspor non migasnya mampu terus meningkat. Kemudian, dari sisi investasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memberikan sumbangan terhadap investasi yang lebih besar daripada Usaha Besar (UB), dan selama lima tahun terakhir nilai investasinya terus mengalami peningkatan.

(28)

b) Kontribusi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam Perekonomian Indonesia

Tabel 2.7

Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012 - 2013

No Indikator Satuan

Tahun 2012 Tahun 2013 Perkembangan Tahun 2012 - 2013 Jumlah Pangsa (%) Jumlah Pangsa (%) Jumlah Pangsa (%)

1. Unit Usaha (A+B) (Unit) 56,539,560 57,900,787 1,361,227 2.41

A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Unit) 56,534,592 99.99 57,895,721 99.99 1,361,129 2.41 Usaha Mikro (Unit) 55,856,176 98.79 57,189,393 98.77 1,333,217 2.39

Usaha Kecil (Unit) 629,418 1.11 654,222 1.13 24,804 3.94

Usaha Menengah (Unit) 48,997 0.09 52,106 0.09 3,109 6.35

B. Usaha Besar (Unit) 4,968 0.01 5,066 0.01 98 1.97

2. Tenaga Kerja (A+B) (Orang) 110,808,154 117,681,244 6,873,090 6.20

A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Orang) 107,657,509 97.16 114,144,082 96.99 6,486,573 6.03 Usaha Mikro (Orang) 99,859,517 90.12 104,624,466 88.90 4,764,949 4.77 Usaha Kecil (Orang) 4,535,970 4.09 5,570,231 4.73 1,034,261 22.80 Usaha Menengah (Orang) 3,262,023 2.94 3,949,385 3.36 687,362 21.07

B. Usaha Besar (Orang) 3,150,645 2.84 3,537,162 3.01 386,517 12.27

3. PDB Atas Dasar Harga Berlaku (A+B) (Rp. Milyar) 8,241,864.2 9,014,951.2 773,087.0 9.38 A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 4,869,568.1 59.08 5,440,007.9 60.34 570,439.8 11.71 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 2,951,120.6 35.81 3,326,564.8 36.90 375,444.2 12.72 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 798,122.2 9.68 876,385.3 9.72 78,263.1 9.81 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 1,120,325.3 13.59 1,237,057.8 13.72 116,732.5 10.42 B. Usaha Besar (Rp. Milyar) 3,372,296.1 40.92 3,574,943.3 39.66 202,647.2 6.01 Lanjutan…

(29)

4. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B) (Rp. Milyar) 2,525,120.3 2,670,314.9 145,194.6 5.75 A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 1,451,460.2 57.48 1,536,918.8 57.56 85,458.6 5.89 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 790,825.6 31.32 807,804.5 30.25 16,978.9 2.15 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 294,260.7 11.65 342,579.2 12.83 48,318.5 16.42 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 366,373.9 14.51 386,535.1 14.48 20,161.2 5.50 B. Usaha Besar (Rp. Milyar) 1,073,660.1 42.52 1,133,396.1 42.44 59,736.0 5.56 5. Total Ekspor Non Migas (A+B) (Rp. Milyar) 1,185,391.0 1,161,327.5 (24,063.5) (2.03) A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 166,626.5 14.06 182,112.7 15.68 15,486.2 9.29

Usaha Mikro (Rp. Milyar) 15,235.2 1.29 15,989.5 1.38 754.3 4.95

Usaha Kecil (Rp. Milyar) 32,508.8 2.74 32,051.8 2.76 (457.0) (1.41) Usaha Menengah (Rp. Milyar) 118,882.4 10.03 134,071.4 11.54 15,189.0 12.78 B. Usaha Besar (Rp. Milyar) 1,018,764.5 85.94 979,214.8 84.32 (39,549.7) (3.88) 6. Investasi Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Milyar) 2,283,872.9 2,609,778.8 325,905.9 14.27 A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 1,250,801.1 54.77 1,655,233.5 63.42 404,432.4 32.33 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 175,529.1 7.69 185,717.2 7.12 10,188.1 5.80 Usaha Kecil (Rp. Milyar) 452,790.0 19.83 620,216.0 23.77 167,426.0 36.98 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 622,482.0 27.26 849,300.3 32.54 226,818.3 36.44 B. Usaha Besar (Rp. Milyar) 1,033,071.9 45.23 954,545.2 36.58 (78,526.7) (7.60) 7. Investasi Atas Dasar Harga Konstan 2000 (A+B) (Rp. Milyar) 583,426.4 607,879.3 24,452.9 4.19 A. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Rp. Milyar) 300,175.7 51.45 341,341.6 56.15 41,165.9 13.71 Usaha Mikro (Rp. Milyar) 44,711.3 7.66 42,053.3 6.92 (2,658.0) (5.94) Usaha Kecil (Rp. Milyar) 104,726.4 17.95 111,652.8 18.37 6,926.4 6.61 Usaha Menengah (Rp. Milyar) 150,738.0 25.84 187,635.5 30.87 36,897.5 24.48 B. Usaha Besar (Rp. Milyar) 283,250.7 48.55 266,537.7 43.85 (16,713.0) (5.90) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013

(30)

1) Peranan UMKM dari Aspek Jumlah Unit Usaha

Peran UMKM sebagai penopang perekonomian salah satunya dapat dilihat dari jumlah unit usaha. Pangsa UMKM di Indonesia mencapai hampir 100% dari total unit usaha. Pada tahun 2013, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia adalah 57.895.721 (57,9 juta) unit atau sekitar 99,99 % dari jumlah unit usaha yang ada, terdiri dari usaha mikro sebesar 98,77%, usaha kecil sebesar 1,13%, dan usaha menengah sebesar 0,09%, yang menyebar di seluruh sektor ekonomi. Pada tahun 2013 ini, unit UMKM mengalami peningkatan sebesar 2,41% dibandingkan tahun 2012 yang jumlahnya ada 56.534.592 (56,5 juta) unit. Pada tahun yang sama, UMKM mempunyai jumlah unit usaha yang lebih banyak daripada Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, jumlah unit Usaha Besar (UB) hanya ada 5.066 unit atau sekitar 0,01% saja dari jumlah unit usaha yang ada.

(31)

Sumber: http://smecda.com/informasi-umkm/#1447725562878-4d60b7a8-6b2f Grafik 2.1

(32)

2) Peranan UMKM dari Aspek Kesempatan Kerja

Menurut Tambunan (2002:21), UMKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Argumentasi ini didasarkan bahwa, di satu pihak, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, sedangkan di pihak lain, usaha besar tidak sanggup menyerap semua pencari kerja. Ketidaksanggupan usaha besar dalam menciptakan kesempatan kerja yang besar disebabkan karena memang pada umumnya kelompok usaha tersebut relatif pada modal, sedangkan UMKM relatif padat karya. Selain itu, pada umumnya usaha besar membutuhkan pekerja dengan pendidikan formal yang tinggi dan pengalaman kerja yang cukup, sedangkan UMKM khususnya usaha mikro dan kecil, sebagian pekerjanya berpendidikan rendah.

Namun demikan, ketika terjadi masalah pada usaha besar akibat kesalahan keputusan mereka sendiri, UMKM menjadi penyedia kesempatan kerja bagi sebagian besar tenaga kerja yang baru di PHK. Mobilitas tenaga kerja di antara UMKM sendiri sangat terbuka. Hal ini yang menyebabkan UMKM tahan terhadap dinamika perubahan ekonomi nasional. Yustika (2006:51), menyebutkan bahwa kemampuan inilah yang disebut dengan sistem kemandirian ekonomi.

Pada tahun 2013, jumlah tenaga kerja secara keseluruhan di Indonesia ada 117.681.244 orang, dimana penyerapan tenaga kerja terbesar berasal dari UMKM. Jumlah tenaga kerja UMKM pada tahun 2013 adalah 114.144.082 orang atau sekitar 96,99% dari total tenaga kerja keseluruhan. Jumlah tenaga kerja UMKM pada tahun 2013 ini juga mengalami peningkatan sebanyak 6.486.573 orang atau sekitar 6,03% dibandingkan tahun 2012. Sedangkan jumlah tenaga kerja usaha besar pada tahun 2013 hanya ada 3.537.162 orang atau sekitar 3,01% dari total keseluruhan.

(33)

Grafik 2.2

Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013

(34)

3) Peranan UMKM dari Aspek Pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

Pada tahun 2013, kontribusi terhadap pembentukan PDB (atas harga berlaku), UMKM mampu menyumbang Rp 5.440.007,9 milyar atau sekitar 60,34% dari total PDB Indonesia, terdiri dari usaha mikro sebesar 36,90%, usaha kecil sebesar 9,72%, dan usaha menengah sebesar 13,72%. Pada tahun 2013 ini, kontribusi UMKM dalam PDB Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar Rp 570.439,8 milyar atau sekitar 11,71% dibandingkan tahun 2012. Pada tahun yang sama, UMKM memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB lebih banyak daripada Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, kontribusi Usaha Besar (UB) sebesar Rp 3.574.943,3 milyar atau sekitar 39,66%.

Kontribusi terbesar UMKM terhadap pembentukan PDB ini berasal dari sektor pertanian. Struktur kontribusi PDB ini menunjukkan bahwa peran UMKM di Indonesia masih lebih kuat/besar di sektor pertanian atau di sektor primer, berbeda dengan kondisi di negara – negara yang lebih maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, dengan dominasi di sektor industri atau sekunder. Oleh karena itu, produk – produk UMKM di Indonesia perlu terus dikembangkan perannya, kalau perlu dikembangkan kearah sektor industri mengingat sektor industri memiliki pertumbuhan yang relatif tinggi (Azis dan Rusland, 2009:10).

(35)

Grafik 2.3

PDB Atas Dasar Harga Berlaku UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013

(36)

Grafik 2.4

PDB Atas Dasar Harga Konstan UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013

(37)

4) Peranan UMKM dalam Ekspor Non – Migas

Tidak bisa dipungkiri bahwa struktur ekspor Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Walaupun demikian, kinerja UMKM di Indonesia dalam kegiatan ekspor masih sangat lemah. Kontribusi UMKM terhadap ekspor non – migas Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan ekspor Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, kontribusi UMKM terhadap ekspor sebesar Rp 182.112,7 milyar atau sekitar 15,68% dari total ekspor non – migas Indonesia. Sedangkan pada tahun 2012, menyumbang sebesar Rp 166.626,5 milyar atau sekitar 14,06%. Padahal pada tahun yang sama, yaitu tahun 2013 dan 2012, kontribusi Usaha Besar (UB) terhadap ekspor non – migas bisa lebih besar dari 50%, yaitu masing – masing sebesar Rp 979.214,8 milyar dan Rp 1.018.764,5 milyar atau sekitar 84,32% dan 85,94%. Namun, bila dilihat dari perkembangan total ekspor non – migas Indonesia tahun 2012 – 2013, ekspor UMKM mengalami kenaikan sebesar Rp 15.486,2 milyar atau sekitar 9,29% dibandingkan ekspor Usaha Besar (UB) yang mengalami penurunan sebesar Rp 39.549,7 milyar atau sekitar 3,88%.

Menurut Azis dan Rusland (2009:9), selain

sumbangannya yang masih relatif kecil terhadap ekspor, jenis – jenis produk ekspor yang dihasilkan oleh usaha kecil dan menengah pada umumnya sebagian besar masih dalam kategori barang – barang konsumsi sederhana, seperti pakaian jadi, kaus kaki, barang – barang dari kayu, rotan, dan bambu. Tidak hanya dibandingkan dengan Usaha Besar (UB), bila dibandingkan dengan UMKM di negara – negara lain di Asia, kinerja ekspor Indonesia masih sangat lemah (Tambunan, 2002:22). Kondisi ini sangat berbeda dengan komposisi produk ekspor usaha kecil dan menengah dari negara – negara industri baru di kawasan Asia

(38)

seperti Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura, yang didominasi oleh barang – barang konsumsi elektronik, dan produk – produk untuk keperluan industri (Azis dan Rusland, 2009:9). Fakta ini menunjukkan bahwa saat ini pada umumnya pasar dari produk – produk UMKM di Indonesia masih berorientasi pada pasar domestik atau lokal (local market oriented) (Tambunan, 2002:48; Azis dan Rusland, 2009:9). Di sisi lain, Indonesia merupakan pasar ASEAN yang paling besar. Besarnya peluang pasar di Indonesia ini diharapkan dapat dikuasai oleh para pelaku UMKM di Indonesia. Meski Indonesia memiliki pasar yang besar, bukan berarti pelaku UMKM hanya fokus menggarap pada dalam negeri saja. Mereka harus berani berekspansi ke luar negeri demi memperluas pasar. Dengan pasar yang lebih luas, tentu keuntungan yang diraih bisa lebih tinggi.

(39)

Grafik 2.5

Total Ekspor Non Migas UMKM dan Usaha Besar (UB) Tahun 2005 - 2013

(40)

5) Peranan UMKM dalam Investasi

Pada tahun 2013, kontribusi terhadap investasi (atas harga berlaku), UMKM mampu menyumbang Rp 1.655.233,5 milyar atau sekitar 63,42% dari total investasi, terdiri dari usaha mikro sebesar 7,12%, usaha kecil sebesar 23,77%, dan usaha menengah sebesar 32,54%. Pada tahun 2013 ini, kontribusi UMKM dalam investasi Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar Rp 404.432,4 milyar atau sekitar 32,33% dibandingkan tahun 2012. Pada tahun yang sama, UMKM memberikan kontribusi terhadap investasi lebih banyak daripada Usaha Besar (UB). Pada tahun 2013, kontribusi Usaha Besar (UB) sebesar Rp 954.545,2 milyar atau sekitar 36,58% sehingga turun Rp 78.526,7 milyar atau sekitar 7,60% daripada tahun 2012.

b. Proporsi Unit UMKM pada Sektor Ekonomi

Diagram 2.1

Proporsi Sektor Ekonomi UMKM Berdasarkan Jumlah Unit Usaha Tahun 2013

(41)

Jika ditinjau dari proporsi unit usaha pada sektor ekonomi UMKM yang memiliki unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (3) Pengangkutan dan Komunikasi; (4) Industri Pengolahan, serta (5) Jasa – jasa, yang masing – masing tercatat sebesar 49,80 persen; 23,74 persen; 6,86 persen; 6,85 persen dan 5,28 persen. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut – turut adalah sektor (1) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (2) Bangunan; (3) Pertambangan dan Penggalian; serta (4) Listrik, Gas, dan Air Bersih, yang masing – masing tercatat sebesar 3,51 persen; 3,25 persen; 0,66 persen dan 0,04 persen.

c. Pengakuan Peran UMKM

Kiranya UMKM jelas mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. UMKM tidak lain adalah sekelompok aktor yang bersama – sama dengan usaha besar menggerakkan roda produksi. Menurut Basri (2002:218), agar permasalahan UMKM bisa ditempatkan di dalam kerangka utuh bagi terwujudnya suatu pembaruan ekonomi yang mendasar, maka diperlukan suatu landasan pijak yang kokoh dan kerangka pemikiran yang menyeluruh untuk memayunginya. Dengan cara ini, diharapkan bisa ditemukan dan dikenali sumber – sumber

permasalahan yang sebenarnya sehingga cara – cara

penyelesaiannya pun bisa lebih terstruktur. Kemudian, ia menambahkan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat haruslah menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan yaitu dengan cara meningkatkan potensi yang ada pada rakyat itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan perannya yang sangat besar di dalam perekonomian Indonesia, maka sudah sewajarnya bila pemberdayaan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia perlu dilakukan.

(42)

5. Permasalahan UMKM

Meskipun memiliki berbagai unggulan dan mengalami perkembangan, UMKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam kendala atau masalah dalam pengembangannya, yang tingkat intensitas dan sifatnya berbeda tidak hanya menurut jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga berbeda antarwilayah/lokasi, antarsentra, antar sektor atau subsektor atau jenis kegiatan, dan antarunit usaha dalam kegiatan/sektor yang sama. Namun demikian, ada beberapa masalah umum yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal kerja dan/atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik tetapi dengan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi modern, SDM dengan kualitas yang baik (terutama manajemen dan teknisi produksi), dan informasi khususnya mengenai pasar, dan kesulitan dalam pemasaran (termasuk distribusi).

Permasalahan yang dihadapi UMKM antara negara satu dengan negara lainnya pun juga dapat berbeda. Pada negara yang memiliki perekonomian yang telah maju, permasalahan yang dihadapi usaha kecil dan menengah umumnya lebih berhubungan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, seperti hak paten atas produk – produk ekspor. Sedangkan di negara – negara berkembang seperti Indonesia, permasalahan yang dihadapi adalah dalam hal pengembangan UMKM, terutama menyangkut aspek kemampuan pengelolaan usaha dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif.

Pada dasarnya, permasalahan dalam pengembangan UMKM dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori permasalahan (Bank Indonesia, 2011:45), yaitu:

a) Permasalahan dasar (basic problems)

Permasalahan dasar (basic problems) dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti aspek pemasaran, Sumber Daya

(43)

Manusia (SDM), teknologi, keuangan, legalitas maupun aspek permodalan/pendanaan yang bersifat mendasar, dan rata – rata

dialami UMKM pada umumnya. Permasalahan –

permasalahan tersebut relatif masih sederhana dan lebih mudah untuk ditangani. Contohnya masalah mengenai bagaimana UMKM mencari pasar yang potensial pada suatu daerah target pemasaran, membuat kemasan produksi yang lebih baik dan menarik, keperluan tambahan modal dari teman dan keluarga, penggunaan teknologi yang relatif masih sederhana, dan manajemen usaha yang bersifat manajemen keluarga atau one man show.

b) Permasalahan antara (intermediate problems)

Permasalahan antara (intermediate problems) merupakan permasalahan yang menghubungkan antara masalah dasar dengan masalah yang lebih kompleks dan canggih. Masalah – masalah ini dapat tergambar dari permasalahan pada aspek pemasaran, keuangan, Sumber Daya Manusia (SDM), dan produksi. Permasalahan dari aspek pemasaran berupa kurangnya informasi maupun data – data yang akurat dan terkini mengenai peluang pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Permasalahan dari aspek keuangan khususnya keterbatasan modal disebabkan kesulitan UMKM mengakses kredit ke bank. Permasalahan dari aspek SDM disebabkan karena kurangnya SDM yang cakap atau memadai dalam hal entrepreneurship, manajemen, teknik produksi, dan pengembangan produk yang masih belum optimal. Kemudian, permasalahan dari aspek produksi berupa ketergantungan pada bahan baku impor.

c) Permasalahan lebih lanjut (advanced problems)

Pada tingkatan akhir, terdapat permasalahan – permasalahan yang dikategorikan sebagai permasalahan lebih lanjut

(44)

(advanced problems) terutama terkait dengan pengembangan ekspor. Permasalahan tersebut antara lain pengenalan pasar dan penetrasi pasar untuk promosi ekspor yang belum optimal, kurangnya pemahaman terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan hukum yang menyangkut hak paten, kontrak penjualan serta peraturan yang berlaku di negara tujuan ekspor. Selain itu, permasalahan dalam engineering design, quality control, organisasi bisnis, data processing, dan penelitian/investigasi pasar UMKM secara mendalam. Manajemen yang digunakan oleh UMKM pada umumnya masih terkonsentrasi kepada satu atau dua orang yang merupakan kerabat dekat. Belum terdapat pembagian tugas yang jelas, menyebabkan satu orang harus mengerjakan banyak tugas seperti bahan baku, penentuan harga jual, penyimpanan uang hasil usaha. Seringkali tidak ada pemisahan antara harta perusahaan dengan harta keluarga sehingga sulit diketahui secara cepat dan tepat informasi posisi keuangan perusahaan.

Penjelasan lebih lanjut, permasalahan yang dihadapi UMKM di Indonesia dapat berasal dari permasalahan internal yang dihadapi oleh UMKM serta permasalahan yang dihadapi oleh berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan sektor usaha tersebut, seperti Pemerintah, Bank Indonesia, perbankan, dan pihak eksternal UMKM lainnya. Permasalahan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut ini:

a. Permasalahan internal UMKM

1) Menurut Azis dan Rusland

Menurut Azis dan Rusland (2009:10-11), pada dasarnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dapat

(45)

disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) rendahnya kemampuan pengelola usaha, terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), dan (2) adanya keterbatasan akses kepada sumber daya produktif, terutama pemasaran, permodalan, dan teknologi.

Masalah Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor yang paling menentukan untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai kegiatan atau usaha, baik Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) maupun Usaha Besar (UB). Kondisi ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman dalam sektor usaha tersebut. Keterbatasan yang menonjol atau umumnya terjadi adalah pada aspek kompetensi kewirausahaan, manajemen, teknik

produksi, perencanaan, pengawasan kualitas dan

pengembangan produk, akuntansi, dan teknik pemasaran. Keterbatasan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) tentunya akan menurunkan kualitas produk sehingga menurunkan kemampuan sektor usaha tersebut untuk menembus pasar baru. Peningkatan pengetahuan dan keahlian sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan usaha, terutama di era globalisasi saat ini. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan daya saing produk UMKM di pasar internasional.

Beberapa aspek yang terkait dengan masalah pemasaran adalah tingkat persaingan yang keras baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor. Sementara itu, pada umumnya, kualitas produk dan tingkat produktivitas UMKM di Indonesia rendah, ditambah dengan iklim usaha yang belum kondusif di dalam negeri, yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, seperti pengurusan perizinan yang mahal

Referensi

Dokumen terkait

Usaha produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, memiliki kekayaan bersih

Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang- Undang

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner mengenai variabel reputasi perusahaan dan citra merek terhadap kinerja pemasaran pada Celebes TV di kota

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh budaya organisasional dan kepemimpinan transformasional terhadap komitmen organisasional yang telah dikaji

Meskipun keenam contoh tanah dari kedua seri pengujian tersebut mempunyai kadar air awal dan berat volume kering yang berbeda, hubungan antara besar pengembangan dan

Dengan latar belakang masalah di atas maka penelitian ini akan membahas tentang BMT HARAPAN UMAT PATI dengan judul penelitian “ Upaya Meningkatkan Kualitas

Faktor transkripsi adalah urutan khusus asam amino yang mampu berikatan dengan DNA untuk mengontrol proses penempelan RNA polymerase pada DNA sehingga akan mengontrol