• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAJALAH KEDOKTERAN NUSANTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAJALAH KEDOKTERAN NUSANTARA"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH KEDOKTERAN

NUSANTARA

The Journal of Medical School

*Corresponding author, E-mail address: [email protected] 95

Polimorfisme Gen Reseptor Vitamin D

Cdx 2

(rs 11568820)

pada Penderita Kanker Payudara di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan

Liza Mutia1, Nuraiza Meutia3, M.Ichwan4, Mutiara Indah Sari2,Yahwardiah Siregar2* 1Program Studi Magister Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan 2Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan

3Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan 4Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract. Vitamin D receptors (VDR) involved in cancer pathogenesis, through the immune system, cell proliferation and differentiation. VDR which found in the cell nucleus, responsible in gene expression regulation. More than 470 single nucleotide polymorphisms of VDR have been found. Cdx2 polymorphism (rs 11568820) is located in the gene promoter region. Cdx2 is an intestinal transcription factor that has role in increasing calcium absorption. This study aimed to determine the relationship between VDR Cdx2 gene polymorphism in breast cancer patients. We used descriptive-analytical study with 53 breast cancer patients in RSUP Haji Adam Malik Medan as the subjects. DNA was isolated from blood with a commercial kit (promega) and VDR Cdx2 Polymorphism were defined using the Multiple Species (ASM) PCR method comprised of AA (235 bp, 297 bp), AG (110 bp, 235 bp, 297 bp) and GG (110 bp, 297 bp) variant. analyzed statistically using the SPSS 18 and Hardy Weinberg Equilibrium. We found the AA,AG and GG of Cdx2 polymorphisms were 58.5%, 35.8% and 5.7% respectively. This study were in equilibrium of HWE p = 0.968 (p> 0.05). We concludethat the AA genotype of Cdx2-VDR gene polymorphism may increase the risk of developing breast cancer in Medan. Further investigations examining additional single nucleotide polymorphisms (SNPs) in VDR are required to assess their relationships with breast cancer

Keyword: Breast Cancer, Polymorphism, Gene Cdx2, Calcium

Abstrak. Reseptor vitamin D (RVD) berperan terjadinya kanker, melalui sistem imun serta proliferasi dan diferensiasi sel. RVD terdapat di inti sel guna mengatur ekspresi gen. RVD lebih dari 470 polimorfisme nukleotida tunggal. Polimorfisme Cdx2 (rs 11568820) terletak di regio promoter gen. Cdx2 merupakan faktor transkripsi usus berfungsi meningkatkan penyerapan kalsium Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui polimorfisme gen RVD Cdx2 pada penderita kanker payudara.Penelitian merupakan penelitian deskriptif analitik dan sebagai subjeknya adalah pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan (53 sampel). DNA diisolasi dari darah dengan kit komersial dan Polimorfisme RVD Cdx2 menggunakan metode Allele Spesific Multiple (ASM) PCR terdapat varian polimorfiseme AA (235 bp, 297 bp) , AG (110 bp, 235 bp, 297 bp) dan GG (110 bp, 297 bp). Dilakukan analisa statistik dengan SPSS 18 dan analisa Hardy Weinberg Equilibrium. Dijumpai polimorfisme Cdx2 genotif AA 58,5%, AG 35,8% dan GG 5,7%. Nilai HWE diperoleh P = 0,968 ( p > 0,05 ). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa polimorfisme Cdx2 genotif AA dapat meningkatkan resiko kanker payudara di Medan dan studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat polimorfisme RVD lain dengan kanker payudara.

(2)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 95 – 102

96

Pendahuluan

Kanker payudara merupakan penyakit neoplasma yang bersifat ganas dimana sel-sel kelenjar payudara tumbuh tidak terkendali. Kanker payudara ini umumnya dijumpai pada wanita tetapi dapat juga terjadi pada pria (American Cancer Society, 2016).Pada tahun 2012 di seluruh dunia terdapat 8,2 juta kematian yang penyebab utamanya adalah kanker. Sedangkan di Asia Tenggara diperkirakan 1,2 juta kematian terjadi akibat kanker dan diperkirakan akan terus meningkat. Menurut data GLOBOCAN, IARC (Global Burden Cancer, International Agency for Research on Cancer) tahun 2012, diketahui bahwa kanker payudara merupakan penyakit kanker dengan persentase kasus baru tertinggi yaitu sebesar 43,3% dan persentase kematian tertinggi yaitu sebesar 12,9% pada perempuan di dunia(Kemenkes, 2015). Berdasarkan data rekam medis dari RSUP Haji Adam Malik Medan selama tahun 2014 ada sekitar 200 pasien yang terdiagnosa menderita kanker payudara.

Salah satu target terapi untuk kanker yang sedang diteliti akhir-akhir ini adalah 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25 (OH) 2 D) atau kalsitriol.. Kalsitriol merupakan metabolit vitamin D yang paling aktif. Vitamin D berasal dari dua sumber yaitu diproduksi pada kulit yang terpapar sinar matahari dan sebagian kecil lainnya didapat dari makanan.Vitamin D yang di produksi di kulit akan di metabolisme dihati menjadi 25 hidroksi vitamin D (25 (OH) 2 D) dan akan dihidrolisa oleh enzim di ginjal dan jaringan lain seperti sel-sel payudara. 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25 (OH) 2 D) adalah bentuk aktif secara biologis dan sebagai ligan alami untuk Reseptor vitamin D (RVD) (Zhi-Ming, et al., 2015. Imtiaz, et al., 2012). RVD memainkan peran penting dalam terjadinya kanker, seperti melalui pengaturan fungsi sistem imun serta proliferasi dan diferensiasi sel (Zhi-Ming, et al., 2015). Gen RVD ini memilik lebih dari 470 polimorfisme nukleotida tunggal (Shaikh, 2016). Beberapa polimorfisme nukleotida tunggal dari RVD telah diidentifikasi dan diketahui dapat menyebabkan deregulasi dari aktivitas vitamin D sehingga diduga berperan dalam terjadinya kanker. Polimorfisme nukleotida tunggal dari RVD antara lain adalah TaqI (rs731236), FokI (rs2228570) dan BsmI (rs1544410), ApaI (rs7975232), dan Cdx2 (rs11568820). Polimorfisme TaqI dan ApaI, terletak dekat 3'-UTR dari gen RVD sedangkan Cdx2, terletak di 5' (Serrano, 2016).

Polimorfisme Cdx2 (rs 11568820) terletak di regio promoter gen RVD, yang menyebabkan perubahan sekuen guanin (G) ke adenin (A) dan mempengaruhi fungsi faktor transkripsi Cdx2 Telah dihipotesiskan bahwa polimorfisme Cdx2 memiliki peran dalam karsinogenesis(Zhi-Ming, et al., 2015). Cdx2 merupakan faktor transkripsi usus yang berguna untuk mengatur proliferasi dan diferensiasi sel dan meningkatkan kepadatan mineral tulang serta meningkatkan penyerapan kalsium..(Iqbal, 2015). Polimorfisme Cdx2 pertama sekali ditemukan di Jepang, dan juga telah diteliti pada populasi Eropa oleh Fang dkk. Namun, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa polimorfisme Cdx2 alel A terjadi lebih sering pada populasi di Afrika (74%) dan Asia (43%) dari pada populasi Eropa (19%). Baru-baru ini, temuan-temuan dari penelitian in vitro, pre-klinik, dan klinik telah mendukung hipotesis bahwa rendahnya kadar vitamin D berhubungan dengan meningkatkan resiko kanker payudara (Mohammed, et al., 2014).

Penelitian di Pakistan dan Iran dengan menggunakan desain case control, didapati hasil adanya hubungan polimorfisme RVD dengan resiko kanker payudara(Iqbal, 2015, Hashemi, et al., 2017). Sebaliknya berdasarkan hasil meta analisis dari empat penelitian yang dilakukan pada etnis Asia, Afrika dan Eropa, pada 3841 subjek penderita dengan resiko kanker payudara didapati bahwa polimorfisme Cdx2 tidak berhubungan dengan kanker payudara (Zhu-Chao Zhou, et al.,2013). Hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan hubungan antara polimorfisme Cdx2 dan risiko kanker berbeda di Eropa dan Afrika Amerika tersebut, mengindikasikan adanya keragaman genetik di antara etnis (Mohammed, et al., 2014).

Oleh karena perbedaan hasil antara hubungan polomorfisme gen Cdx2 dengan penderita kanker payudara , maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang polimorfisme gen reseptor vitamin D Cdx2 (rs11568820) dengan penderita kanker payudara di Medan

Metode dan Bahan

Studi observasional cross-sectional ini disetujui oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Populasi penelitian adalah 53 pasien kanker payudara yang datang berobat ke Rumah

(3)

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan wawancara langsung dan bersedia mengisi informed consent yang berisi tentang faktor risiko potensial termasuk usia, BMI, suku, usia saat menarche, riwayat kanker , grade histopatologi dan riwayat penggunaan kontrasepsi.. Sebanyak 5 ml darah vena dikumpulkan dari masing-masing subjek. penentuan polimorfisme RVD dengan metode ASM PCR (alle spesifik multiple ) menggunakan 2 set primer oligonukleotida

G FOR : 5’ AGG ATAGAGAAAATAATAGAAAACATT 3’ G REV :5’ AACCCATAATAAGAAATAAGTTTTTAC 3’ A FOR : 5’ TCCTGAGTAAACTAGGTCACAA 3’

A REV: 5’ ACGTTAAGTTCAGAAAGATTAATTC 3’

PCR ini terdiri dari 0.2μl DNA Sampel, 8μl master mix, 0.4μl G-For + 0.4μl G-Rev (diperoleh dari 20 μM primer Cdx2),0.6μl G-Rev + 0.6μl A-For (diperoleh dari 20μM primer Cdx2),9.8μl ddH2O. Tahap PCR dimulai dari Predenaturasi pada 95ºC selama 5 menit, Amplifikasi sebanyak 28 siklus, Denaturasi pada 95ºC selama 45 detik, Annealing pada 55ºC selama 45 detik, Extension pada 72ºC selama 45 detik Dan extension terakhir pada 72ºC selama 5 menit dan hasilnya di aplikasikan pada 2,5 % gel agarose. Dimana G Rev dan G For akan mengamplifikasi alel G spesifik dengan ukuran 110 bp dan 297 bp. A Rev dan A For akan mengamplifikasi alel A spesifik dengan ukuran 235 bp dan 297 bp. G for dan A Rev akan mengamplifikasi Fragment PCR internal kontrol dengan ukuran 110 bp, 235 bp dan 297 bp(Wananukul, W., Sura, T. Yoovathaworn, et.al, 2012). Data yang dikumpulkan dimuat pada software analisis statistik SPSS V.18.

Hasil

Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik subjek dapat dilihat pada tabel 1 dimana usia termuda subjek adalah 29 tahun dan subjek yang tertua adalah 91 tahun, frekuensi yang paling banyak terdapat pada usia 41 - 51 tahun sebanyak 20 orang (37,7 %) Kelompok suku subjek kanker payudara yang terbanyak adalah suku Batak 31 orang (58,5%) dan kelompok indeks masa tubuh pasien kanker payudara terbanyak adalah normal sebanyak 36 subjek (67,9%)

Kelompok usia haid pertama pada pasien kanker payudara terbanyak adalah antara 12 - 14 tahun sebanyak 31 orang (58,5%) dan kelompok riwayat kanker keluarga pada pasien kanker payudara adalah sebanyak 41 orang (77,4%) memiliki riwayat kanker keluarga

Kelompok stadium yang paling banyak pada pasien kanker payudara yaitu pada stadium 2 sebanyak 43 orang (81,1%) dan kelompok riwayat penggunaan kontrasepsi oral pada pasien kanker payudara dijumpai sebanyak 35 orang ( 66,0%) memiliki riwayat kontrasepsi serta kelompok status menopouse sebanyak 44 orang (83 %) pasien dalam keadaan menopause.

Tabel 1 Karakteristik subjek penelitian pada penderita kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan (n = 53)

Karakteristik Subjek Frekuensi (N) Persentase (%) Usia 29 - 40 tahun 12 22,6 41 - 51 tahun 20 37,7 52 - 62 tahun 15 28,3 63 - 73 tahun 4 7,5 74 - 84 tahun 1 1,9 85 - 95 tahun 1 1,9 BMI Dibawah normal <18,5 1 1,9 Normal 18,5 - 24,9 36 67,9 Kegemukan 25 - 29,5 16 30,2 Suku

(4)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 95 – 102 98 Aceh 6 11,3 Batak 31 58,5 Jawa 11 20,8 Melayu 4 7,5 Padang 1 1,9 Usia Menarche <12 tahun 12 22,6 12-14 tahun 31 58,5 > 14 tahun 10 18,9

Riwayat kanker Keluarga

Ada 12 22,6 Tidak ada 41 77,4 Grade Histopatologi Grade 1 5 9,4 Grade 2 43 81,1 Grade 3 5 9,,4

Riwayat penggunaan kontrasepsi

Menggunakan kontrasepsi 35 66

Tidak ada 18 34

Status menopause

Tidak menopause 9 17

Menopause 44 83

Deskripsi Polimorfisme Gen Reseptor Vitamin D cdx2

Hasil elektroforesis gen reseptor vitamin D cdx2 terlihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Hasil elektroforesis gen reseptor Vitamin D cdx2

Dari hasil elektroforesis gen resptor vitamin D cdx2 dihasilkan 3 alel, Genotip AA tampak pada pita 297 bp dan 235 bp, genotip GA tampak pada pita 297 bp, 235 bp dan 110 bp sedangkan genotip GG tampak pada pita 297 bp dan 110 bp. Hasil distribusi polimorfisme gen reseptor vitamin D Cdx2 pada penderita kanker payudara terlihat pada tabel 2

Tabel 2. Distribusi polimorfisme gen reseptor vitamin D Cdx2 pada penderita kanker payudara Genotip Frekuensi (N) Persentase (%)

AA 31 58,5

GA 19 35,8

GG 3 5,7

Total 53 100

Table 3. Distribusi alel pada polimorfisme gen reseptor vitamin D Cdx2 pada penderita kanker payudara

297 235 110

(5)

Alel Frekuensi (N) Persentase (%) A 81 76,4 G 25 23,6 Total 53 100

Berdasarkan tabel 2 varian gen cdx2 yang terbanyak adalah genotif AA sebanyak 31 orang ( 58,5%) kemudian genotif GA sebanyak 19 orang (35,8%) dan yang paling sedikit adalah genotif GG sebanyak 3 orang (5,7%.) Sedangkan deskripsi alel pada polimorfisme vitamin D reseptor dapat dilihat pada tabel, berdasarkan tabel 3 alel gen Cdx2 yang terbanyak adalah alel A sebanyak 81 alel ( 76,4 %) kemudian alel G sebanyak 25 alel (23,6%)

Analisa Hukum Hardy Weinberg Equilibrium

Table 4. Analisa HWE gen reseptor vitamin D Cdx2 pada penderita kanker payudara

Genotip Frekuensi alel

AA GA GG A G p

Observed 31 19 3 81 25 0,968

Expected 30,9 19,1 2,9

Dariperhitungan diperoleh nilai P = 0,968 (p968 ( p > 0,05 ) yang berarti penelitia ini tidak menyimpang dari hukum keseimbangan Hardy Weinberg Equilibrium

Pembahasan

Pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional dimana peneliti hanya meneliti penderita kanker payudara. 53 subjek yang digunakan oleh peneliti adalah pasien kanker payudara yang sudah memiliki riwayat kemoterapi.Usia termuda pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan adalah 31 tahun dan yang tertua adalah 91 tahun dimana frekuensi yang paling banyak terdapat pada rentang usia 41 - 51 tahun yaitu sebanyak 20 orang (37,7 %), hal ini sejalan dengan penelitian Lumintang, 2015 di Surabaya dari 485 penderita kanker payudara 152 subjek (31,34%) berusia antara 41 sampai 50 tahun. Menurut American Cancer Society, sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasif dijumpai pada wanita yang berusia lebih muda dari 45 tahun. Sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif dijumpai pada wanita berusia 55 tahun atau lebih, sedangkan pada kejadian dibawah 30 tahun jarang dijumpai. Hal ini diduga karena keterlambatan penderita dalam mencari pengobatan.

Hasil penelitian kanker payudara berdasarkan suku yang terbanyak adalah suku Batak 31 orang (58,5%) dan yang paling sedikit adalah suku Padang sebanyak 1 orang (1,9%) ini disebabkan karena mayoritas suku yang ada di Sumatera Utara adalah suku Batak. Persentase penelitian kanker payudara berdasarkan indeks massa tubuh pasien kanker payudara terbanyak adalah normal sebanyak 36 subjek (67,9%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saparudin,et al. 2015 yang dilakukan di RS Dharmais Jakarta bahwa indeks massa tubuh tidak berhubungan terhadap kejadian kanker payudara. Sedangkan berdasarkan hasil meta analisis dari 89 penelitian oleh Munsell MF 2014 bahwasanya ada hubungan yang signifikan antara indeks masa tubuh dengan kejadian kanker payudara. Indeks massa tubuh yang tinggi menggambarkan kadar adipose yang tinggi yang mengakibatkan tingginya kadar esterogen.

Usia haid pertama pada pasien kanker payudara juga berpengaruh pada kanker payudara karena adanya pembentukan hormon estrogen. Pada penelitian ini terlihat pada usia haid pertama terbanyak adalah antara 12 tahun sampai 14 tahun sebanyak 31 orang (58,5%), menurut Setiowati, 2016 dikutip dari penelitian Emy Rianti 2012 bahwa menstruasi sebelum umur 12 tahun akan meningkatkan resiko

(6)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 95 – 102

100 terkena kanker payudara dibandingkan umur diatas 12 tahun Hal ini disebabkan oleh lamanya paparan hormon estrogen dan progesterone yang berpengaruh terhadap proses proliferasi jaringan payudara pada tubuh.

Hasil penelitian riwayat kanker juga berpengaruh pada kejadian kanker payudara karena seorang wanita yang terkena kanker payudara memiliki resiko lebih tinggi jika dia memiliki riwayat keluarga dengan penyakit tersebut. Hal ini disebabkan karena faktor genetik akibat mutasi dari gen BRCA dan P53 sehinga fungsinya sebagai kontrol pertumbuhan sel menjadi tak terkontrol. (Suyanto, 2008). Penelitian pada wanita dengan ibu yang didiagnosa terkena kanker payudara sebelum usia 50 tahun memiliki risiko 1,69 kali terkena kanker payudara sedangkan pada wanita dengan ibu yang didiagnosa terkena kanker payudara pada usia 50 tahun atau lebih memiliki risiko terkena kanker payudara 1,37 kali dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat kanker payudara (Colditz, et.a., 2012). Pada penelitian ini dijumpai sebanyak 41 orang (77,4%) penderita kanker payudara yang memiliki riwayat kanker hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Elisabet Surbakti tahun 2012 dari 82 pasien kanker payudara ditemukan 46 orang yang memiliki riwayat keturunan kanker payudara.

Dalam penelitian ini menunjukan bahwa grading yang paling banyak pada pasien kanker payudara pada grade 2 sebanyak 43 orang (81,1%) disebabkan oleh karena pasien yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan umumya dalam kondisi lanjut. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dari penderita tentang kanker payudara. Persentase penelitian tertinggi pada riwayat penggunaan kontrasepsi pada pasien kanker payudara yaitu sebanyak 35 subjek (66,0%) dari 53 subjek menggunakan kontrasepsi. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiowati, 2016 bahwa ada hubungan antara kejadian kanker payudara dengan kontrasepsi yang dilakukan pada 96 subjek penderita dan 96 subjek sebagai kontrol karena akibat lamanya pemakaian kontrasepsi akan mengakibatkan efek proliferasi berlebih pada duktus payudara. Berlebihnya proses proliferasi dan apoptosis sel akan mengakibatkan ketidak mampuan mendeteksi kerusakan sel mengakibatkan kerusakan DNA sehingga sel abnormal akan berproliferasi secara terus menerus tanpa dapat dikendalikan.

Pada hasil penelitian varian genotif Cdx2 yang terbanyak adalah genotif AA sebanyak 31 subjek (58,5%) kemudian genotif GA sebanyak 19 subjek (35,8%) dan yang paling sedikit adalah genotif GG sebanyak 3 subjek (5,7%.) dimana. hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Iqbal, 2015 di pakistan pada 103 subjek penderita kanker payudara dimana dijumpai varian genotip GA sebanyak 84 subjek (73,6%) lebih banyak dibandingkan dengan genotif GG sebanyak 62 subjek (67,2%) dan yang paling sedikit adalah genotip AA sebanyak 15 subjek (20,2%) Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena polimorfisme gen reseptor vitamin D ini dipengaruhi oleh keragaman genetik antara etnis. Dari hasil meta analisis subkelompok antar etnis dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara polimorfisme gen Cdx2 dengan kanker pada kelompok Asia dan Eropa, sedangkan pada kelompok Amerika-Afrika sebaliknya (Dai, 2015). Frekuensi alel A berkisar 50% di Asia, 80% di Eropa, 98% di Afrika (Int Hapmap. 2003). Terjadinya perbedaan frekuensi alel A pada penelitian ini disebabkan karena pada hapmap jumlah subjek yang diteliti lebih banyak. Alel“A” telah diperlihatkan lebih aktif daripada alel “G”dengan mengikat faktor transkripsi Cdx2 lebih kuat dan mempunyai aktivitas transkripsional lebih banyak (Arai, et al, 2001). Polimorfisme VDR Cdx2 pada alel A dapat meningkatkan kepadatan tulang sehingga meningkatkan ekspresi reseptor vitamin D diusus, sehingga dapat menyebabkan peningkatan kalsium diusus (Iqbal, 2015).

Simpulan

Polimorfisme Cdx2 genotif AA dapat meningkatkan resiko kanker payudara di Medan dan studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat polimorfisme RVD lain dengan kanker payudara.

Daftar Pustaka

(7)

Arai H, Miyamoto KI, Yoshida M, et al, 2001. The polymorphism in the caudal related homeodomain protein Cdx2 binding element in the human vitamin D receptor gene. JBone Miner Res. Vol. 16:1256-64

Colditz. GA, Kimberly Kaphingst, et al 2012. Family history and risk of breast cancer: Nurses’ Health Study.Breast Cancer Res Treat.; 133(3): 1097–1104

Chlebowski.RT , Johnson.KC ,Kooperberg C et al.2007 Kalsium Plus Vitamin D Supplementation and the Risk of Breast Cancer. J Natl Cancer Inst 100: 1581 – 1591

Fang, Y., Meurs, J. B.J V, et al, 2003. Cdx-2 Polymorphism in the Promoter Region of the Human Vitamin D Receptor Gene Determines Susceptibility to Fracture in the Elderly. Journal Of Bone And Mineral Research. Vol. 18:1632-1635

Hashemi, et al. 2017. Association between RVD Gene Polymorphisms (rs 1544410, rs 7975232, rs 2228570, rs 731236, rs 11568820) and Susceptibility to Breast Cancer ina Sample of Southeastern Iranian Population. Int J Cancer Manag, Maret

International HapMap Consortium. The International HapMap Project. Nature. 2003; 426:789–796. [PubMed: 14685227]

Imtiaz, S. et al, 2012.Vitamin D deficiency in newly diagnosed breast cancer patients. Indian J Endocrinol Metab. May-Jun; 16(3): 409–413.

Iqbal, 2015 .Vitamin D Receptor Cdx-2 Polymorphism and Premenopausal Breast Cancer Risk in Southern Pakistani Patients.. PLoS ONE .

Kemenkes : 2016. Bulan peduli kanker payudara ; Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI Kostner K, et al. .2009. The Relevance of Vitamin D Receptor (RVD) Gene Polymorphism for cancer:

A Riview of the Literature..Anticancer Research. 3511-3536

Lumintang L.M, Susanto A, Gadri R, et al 2015. Propil Pasien Kanker Payudara di Rumah Sakit Onkologi Surabaya 2014 Indonesian Journal of Cancer Vol. 9: 3

Mohammed I. Khan, Zofia F, et al. 2014 Vitamin D receptor gene polymorphisms in breast and renal cancer: current state and future approaches (review).International journal of oncology.. Vol. 44: 349-363

Munsell MF, Sprague BL, Berry DA, et al.2014 . Body Mass Index and Breast Cancer Risk According to Postmenopausal Estrogen Progestin Use and Hormone Receptor Status Epidemiol Rev ;36:114–136

Pulito,C, et a, 2015. Cdx2 Polymorphism Affects the Activities of Vitamin D Receptor in Human Breast Cancer Cell Lines and Human Breast Carcinomas. PLoS ONE.

Safarudin, Nurhayati A. Prihartono, Gautama W. 2015 Pengaruh Indeks Massa Tubuh terhadap Disease-Free Survival Lima Tahun Pasien Kanker Payudara di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jakarta. Indonesian Journal of Cancer Vol. 10, No. 1

Serrano, D., Gnagnarella,P. 2016. Meta-analysis on vitamin D receptor and cancer risk: focus on the role of TaqI, ApaI, and Cdx2 polymorphisms. European Journal of Cancer Prevention. Vol. 25 Setiabudiawan, B. 2010. Peran Defisiensi Vitamin D dan Polimorfisme Fok1, Bsm1, Apa1, Serta Taq1

Gen Reseptor Vitamin D terhadap Tuberkulosis Pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 11(5):317-325 Setyowati ,DAI, Taningo EH, Soebijanto RI, 2016. Hubungan Anatra Pemakaian KB Hormonal Dengan

Kejadian Kanker Payudara di Poli Onkologi Satu Atap RSUD Dr. Soetomo, Februari-April 2015 .Indonesian Journal Of Cancer. Vol. 10(1)

Shaikh F, Baig S, Jamal Qamar. 2016. Mini review. Do RVD Gene Polymorphisms Contribute to Breast Cancer. Asian Pac J Cancer Prev. 479-483.

Surbakti .E. 2015. Hubungan Riwayat Keturunan dengan Terjadinya Kanker Payudara Pada Ibu Di RSUP H.Adam Malik Medan. Jurnal precure. Vol. 1(1): 15-21

Suyanto PY, Utomo AR, Sandra F.2008. Mutasi Gen P 53 : Faktor Prediktif Kanker Payudara ?. Indonesian Journal Of Cancer 4 :138-143

Wananukul, W., Sura, T. Yoovathaworn, K. Kasiwut, N, 2012. Impact Of Vitamin DReceptor Gene Polymorphisms On Blood Lead Levels In Thai Lead Exposed Workers. Asian Biomedicine. Vol.6(1). Page 45

Zhi-Ming, et al, 2015. Association of Vitamin D Receptor Cdx-2 Polymorphism With Cancer Risk. Medicine.Vol 94(33): 1

Zhu-Chao Zhou.Z.C, Wang J, et al. 2013. Association between vitamin D receptor gene Cdx2 polymorphism and breast cancer susceptibility. Tumor Biol.

(8)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 102 – 107

MAJALAH KEDOKTERAN

NUSANTARA

The Journal of Medical School

*Corresponding author 102

Serokonversi Pasien Hemodialisis Reguler Di RSUP. H.

Adam Malik Medan pada Agustus 2016 – Juli 2017

Deby Novayanti1*, Ricke Loesnihari2

1Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara /RSUP. H. Adam Malik, Medan

2Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik, Medan

Abstract.Hemodialysis (HD) patients were potentially susceptible to infections of blood borne disease (HBV, HCV, HIV).. The prevalence of hepatitis C in haemodialysis patients in Senegal, Moldavia, Kuwait, Bosnia Herzegovina, and Peru reached 80%; 75%; 71%; 59%; and 59.3%.This study aimed to determine the prevalence of hepatitis C seroconversion, hepatitis B and HIV and determine the prevalence of seroconversion based on the length of patients undergoing regular hemodialysis. Retrospective study. The data were obtained from medical records of hemodialysis patients in Medical Record Installation of RSUP H. Adam Malik Medan from the first of August 2016 to July 31th, 2017. Of 242 patients recorded, 213 patients who fit the inclusion and exclusion criteria were obtained.Of the total sample of 213 regular hemodialysis patients, 126 (59.1%) had positive seroconversion and 87 (40.9%) negative seroconversions. Of the 126 patients with positive seroconversion, most were infected with hepatitis C, followed by hepatitis B, and HIV. The percentages are 93.7%, 4.7% and 1.6% respectively. Of the 120 patients who had a positive anti-HCV most 40% underwent hemodialysis more than 12 months. Of the 6 patients with HBsAg positive most 50% underwent hemodialysis more than 12 months. Two patients with anti-HIV positive all underwent hemodialysis 4-6 months. From the results of this study, patients who experienced positive seroconversion more than those who experienced negative seroconversion. Positive seroconversion occurs most often in patients undergoing hemodialysis with duration of hemodialysis> 12 months. So it is necessary to consider the time of screening can be done per 4 months (3 times a year). Hemodialysis patients are heavily infected with hepatitis C and hepatitis B. HCV and HBV vaccinations are recommended before starting hemodialysis treatment

Keyword:Seroconversion, Haemodialysis, Length of haemodialysis

Abstrak. Pasien hemodialisis berpotensi untuk mengalami serokonversi terinfeksi blood borne disease (HBV, HCV, HIV). Prevalensi hepatitis C pada pasien HD di Senegal, Moldavia, Kuwait, Bosnia Herzegovina, dan Peru berturut-turut mencapai 80%; 75%; 71%; 59%; dan 59,3%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi serokonversi hepatitis C, hepatitis B dan HIV dan mencari prevalensi serokonversi berdasarkan lama pasien menjalani hemodialisis reguler. Menggunakan studi retrospektif. Data diperoleh dari catatan medik pasien hemodialisis di Instalasi Rekam Medik RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1 Agustus 2016 – 31 Juli 2017. Dari 242 pasien, didapatkan 213 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 126 pasien (59,1%) mengalami serokonversi positif dan 87 pasien (40,9%) mengalami serokonversi negatif. Dari 126 pasien dengan serokonversi positif, paling banyak terinfeksi hepatitis C, lalu diikuti hepatitis B, dan HIV. Dengan persentase masing-masing adalah 93,7%, 4,7% dan 1,6%. Dari 120 pasien yang mengalami anti HCV positif yang paling banyak 40% terinfeksi dengan lama hemodialisis >12 bulan. Dari 6 pasien dengan HbsAg positif yang paling banyak 50% terinfeksi dengan lama hemodialisis >12 bulan. Sebanyak 2 pasien dengan anti HIV positif semuanya menjalani hemodialisis 4-6 bulan. Dari hasil penelitian ini pasien yang megalami serokonversi

(9)

positif lebih banyak dari pada yang mengalami serokonversi negatif. Serokonversi positif paling banyak terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan lama hemodialisis >12 bulan. Sehingga perlu dipertimbangkan masa skrining dapat dilakukan per 4 bulan (3 kali dalam setahun). Pasien hemodialisis sangat banyak terinfeksi hepatitis C dan hepatitis B. Maka dianjurkan pemberian vaksinasi HCV dan HBV sebelum memulai perawatan hemodialisis.

Kata Kunci: Serokonversi, Hemodialisis, Lama Hemodialisis 1 Pendahuluan

Virus Hepatitis B (HBV), infeksi Virus Hepatitis C (HCV) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari 350 juta orang terinfeksi HBV kronis, lebih dari 185 juta dengan HCV dan lebih dari 35 juta dengan HIV. Beban penyakit terbesar ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Virus ini secara tunggal atau sebagai koinfeksi dapat menyebabkan peradangan hati yang berpotensi menyebabkan fibrosis progresif yang menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoselular. Pasien hemodialisis (HD) berpotensi untuk terinfeksi

blood borne disease (HBV, HCV, HIV) dibandingkan dengan populasi umum yang menjadikannya sebagai masalah kesehatan masyarakat yang terus-menerus karena penyakit ini menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. [4,5] Prevalensi hepatitis C pada pasien HD di Senegal, Moldavia, Kuwait, Bosnia Herzegovina, dan Peru berturut-turut mencapai 80%; 75%; 71%; 59%; dan 59,3%. Prevalensi hepatitis C di Italia (22,5-32,1%); Yunani (10-29%); Palestina (22%); Libya (20,5%); Amerika Serikat (7-23,3%); Perancis (16,3%); Iran (13,2%); Swedia (11%); Belgia (6,8%); Mexico (6,7%); Jerman (6,1%); Inggris (4%); Puerto Rico (3,5%); Belanda (3,4%), dan Slovenia (1,9%)[6,7]. Sebaliknya di Asia Pasifik berkisar antara 1,3 sampai 14,6%[8]. Prevalensi infeksi hepatitis C dalam hemodialisis sangat bervariasi mulai dari yang rendah 1% sampai setinggi 70% yang umumnya di bawah 5% di negara berpenghasilan tinggi. [9]. Insidens serokonversi hepatitis C pada pasien hemodialisis di berbagai negara bervariasi yaitu mulai dari 0,4% di Perancis hingga 30% di Saudi Arabia. Insidens serokonversi antar unit hemodialisis bervariasi karena perbedaan protokol pengendalian infeksi. [6,10,11].

Sebelum tahun 2001, tingkat prevalensi HCV di antara pasien hemodialisis kronis di rumah sakit tersier di Ho Kota Chi Minh dan Hanoi, Vietnam, mengalami hiperendemik 44% sampai 57%[12].

Menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri) 2004, diperkirakan ada 70 ribu penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia, namun yang terdeteksi menderita penyakit ginjal kronik tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci darah (hemodialisis) hanya sekitar empat ribu sampai lima ribu saja. Tindakan dialisis pada pasien ini harus dilakukan secara rutin satu sampai dua kali per minggu. Pada tindakan dialisis, hemodialisis lebih sering digunakan dibandingkan peritoneal dialisis. Pada hemodialisis darah pasien dipompa keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam suatu alat tempat terjadinya proses difusi melalui membran semipermeabel untuk membuang zat-zat toksik dalam darah[13].

Tindakan hemodialisis merupakan suatu tindakan invasif yang mempunyai risiko untuk terjadinya infeksi. Pada pasien penyakit ginjal kronik terjadi perubahan sistem imun yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, dan keadaan ini mempermudah terjadinya infeksi. [14].

Pasien hemodialisis kronik beresiko tinggi untuk terkena infeksi jika dibandingkan dengan pasien non-hemodialisis[15].Hal tersebut terutama disebabkan prosedur dialisis sendiri, penurunan fungsi imunitas seluler, dan pajanan dengan produk darah dalam waktu lama. [16,17].

Meskipun sudah ada guideline untuk mengontrol infeksi pada hemodialisis, transmisi nosokomial tetap terjadi. [10].

2 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan dengan menggunakan studi retrospektif berdasarkan data sekunder rekam medik. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien hemodialisis reguler yang menjalani hemodialisis di Instalasi hemodialisis RSUP. H. Adam Malik Medan dari 1 Agustus 2016 sampai 31 Juli 2017 yang berjumlah 242 pasien. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 213 pasien. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien hemodialisis reguler dengan serologi anti-HCV pre-HD non reaktif, HBsAg pre-HD negatif, anti HIV pre HD non reaktif dan tetap bertahan hidup minimal 3 bulan setelah hemodialisis pertama. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan anti HCV positif, HBsAg positif, dan anti HIV positif pada saat skrining pre-HD. Hasil penelitian dianalisis secara statistik deskriptif. Data kemudian akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi sesuai variabel-variabel yang diteliti.

(10)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 102 – 107

104 3 Hasil dan Pembahasan

Dari total sampel 213 pasien hemodialisa reguler, didapatkan sebanyak 126 pasien (59,1%) mengalami serokonversi positif dan 87 pasien (40,9%) mengalami serokonversi negatif dapat dilihat pada tabel 1

.

Tabel 1 Distribusi Pasien Hemodialisis Regular Berdasarkan Serokonversi

Serokonversi n %

Positif 126 59,1

Negatif 87 40,9

Total 213 100

Dari hasil penelitian ini pasien yang megalami serokonversi positif lebih banyak dari pada yang mengalami serokonversi negatif. Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan hasil penelitian Khashia (2016) di Pakistan, pada penelitian tersebut didapatkan bahwa pasien hemodialisis yang mengalami serokonversi negatif lebih banyak dari pada yang mengalami serokonversi positif. Dari total 60 pasien hemodialisis, 14 pasien (23,33%) mengalami anti HCV positif dan 46 pasien (76,66%) mengalami anti HCV negatif, 7 pasien (11,66%) mengalami HBsAg positif dan 53 pasien (88,33%) mengalami HBsAg negatif. [18].

Penelitian Phey pada tahun 2015 di Instalasi Hemodialisis RSUP. Mohammad Hoesin Palembang, dari total sampel 92 pasien HD kronik, didapatkan anti HCV positif sebanyak 6 pasien dan anti HCV negatif sebanyak 86 pasien. Prevalensi anti HCV positif 6,5%. Rerata relatif lama hemodialisis pada pasien dengan anti HCV positif adalah 21 bulan. Didapatkan HBsAg reaktif sebanyak 5 pasien dan HBsAg non reaktif sebanyak 87 pasien. Prevalensi HBsAg reaktif 5,4%. Rerata relatif lama hemodialisis pada pasien dengan HBsAg reaktif adalah 25 bulan. Sebanyak 2 pasien mendapatkan anti HIV positif dan 90 pasien anti HIV negatif. Prevalensi anti HIV positif 2,2%. Rerata relatif lama hemodialisis pada pasien dengan anti HIV positif adalah 34 bulan. [19].

Pada penelitian ini, dari total 126 pasien yang mengalami serokonversi positif, terdapat 120 pasien (93,7%) mengalami anti HVC positif, 6 pasien (4,7%) mengalami HBsAg positif, dan 2 pasien (1,6%) mengalami anti HIV positif. Ada 2 orang pasien terinfeksi 2 virus dimana pasien pertama terinfeksi HCV dan HBV, dan pada pasien kedua terinfeksi HCV dan HIV. Dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Serokonversi

Serokonversi n %

Anti HCV positif 120 93,7

HBsAg positif 6 4,7

Anti HIV positif 2 1,6

Total 128 100

Dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien hemodialisis paling banyak terinfeksi hepatitis C, lalu diikuti infeksi hepatitis B, dan HIV. Dengan persentase masing-masing adalah 93,7%, 4,7% dan 1,6%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Luma (2017) di Kamerun, pasien yang menjalani hemodialisis selama 14 bulan yang paling banyak adalah terinfeksi hepatitis C, lalu diikuti HIV dan hepatitis B. Dengan persentase masing-masing adalah 19,2%, 13,5% dan 10,6% [20].

Pada penelitian ini didapatkan prevalensi hepatitis C 93,7%. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Abdullah tahun 1997 di RSUP. Cipto Mangunkusumo, didapatkan prevalensi hepatitis C mencapai 72% [21].

Hasil penelitian Alvina tahun 2015 di RSUP. Cipto Mangunkusumo dari 135 pasien yang anti HCV pre-HD diketahui negatif didapatkan 29 orang (21,5%) hasil anti HCV nya menjadi positif setelah menjalani HD (mengalami serokonversi) [4,5].

Dari hasil penelitian Sja’bani RS Sardjito (Yogyakarta), Soetjipto (Surabaya), dan Santoso (Surabaya) mendapatkan prevalensi hepatitis C berturut-turut mencapai 55%; 76,3%; dan 88% [23] . Menurut penelitian Cuong et al (2015) di Vietnam, didapatkan tingkat seroprevalensi sebesar 6%

(11)

untuk HCV dan 7% untuk HBV pada pasien hemodialisis [12].

Prevalensi Hepatitis C (anti HCV ) Berdasarkan Lama Hemodialisis

Dari 120 pasien yang mengalami anti HCV positif terdapat 48 pasien (40%) menjalani hemodialisis >12 bulan, 27 pasien (22,5%) menjalani hemodialisis 7-9 bulan, 21 pasien (17,5%) menjalani hemodialisis 10-12 bulan, 20 pasien (16,7%) menjalani hemodialisis 4-6 bulan, dan 4 pasien (3,3%) menjalani hemodialisis 1-3 bulan. Pasien hemodialisis reguler mendapatkan anti HCV positif paling banyak terjadi setelah mereka menjalani hemodialisis >12 bulan. Dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Prevalensi Anti HCV Berdasarkan Lama Hemodialisis Lama HD Anti HCV positif

n % 1-3 bulan 4 3,3 4-6 bulan 20 16,7 7-9 bulan 27 22,5 10-12 bulan 21 17,5 >12 bulan 48 40 Total 120 100

Sedangkanmenurut penelitian Cuong (2015) di Vietnam, prevalensi anti HCV positif dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisis median 80.1 + 82.6 bulan [12].

Berbeda dengan penelitian Mohamed (2017) di Mesir, dari 90 pasien dengan hemodialisi reguler, prevalensi infeksi HCV adalah 48,9%(44 pasien). Pasien terinfeksi hepatitis C setelah menjalani dialisis dengan rata-rata 44,39 bulan [24].

Penelitian Alvina tahun 2015 di RSUP. Cipto Mangunkusumo, pasien yang menjalani dialisis >42 bulan lebih banyak yang mengalami serokonversi hepatitis C dibandingkan pasien yang menjalani dialisis <42 bulan (39,4% vs 15,7%) [22].

Menurut penelitian Phey tahun 2013 di RS. Mohammad Hoesin Palembang, rerata relatif lama hemodialisis pada pasien dengan anti HCV positif adalah 21 bulan . [19].

Hasil penelitian ini, dari 6 pasien dengan HBsAg reaktif terdapat 3 orang (50%) menjalani hemodialisis >12 bulan, 1 orang (16,6%) menjalani hemodialisis 10-12 bulan, 1 orang (16,6%) menjalani hemodialisis 4-6 bulan, dan 1 orang (16,6%) menjalani hemodialisis 1-3 bulan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4

Prevalensi HBsAg Berdasarkan Lama Hemodialisis

Lama HD

HbsAg reaktif

n

%

1-3 bulan

1

16,6

4-6 bulan

1

16,6

7-9 bulan

0

0

10-12 bulan

1

16,6

> 12 bulan

3

50

Total

6

100

Menurut penelitian Khashia (2016) di Pakistan, prevalensi HBsAg reaktif lebih banyak dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 50-100 kali. Dimana hemodialisis dilakukan satu kali seminggu [18].

Menurut penelitian Phey tahun 2013 di RS. Mohammad Hoesin Palembang, rerata relatif lama hemodialisis pada pasien dengan HBsAg reaktif adalah 25 bulan[19] .

Pada penelitian ini, sebanyak 2 pasien dengan anti HIV positif semuanya menjalani hemodialisis 4-6 bulan dapat dilihat pada tabel 5.

(12)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 102 – 107

106 Tabel 5 Prevalensi HIV Berdasarkan Lama Hemodialisis

Lama HIV positif

N % 1-3 bulan 0 0 4-6 bulan 2 100 7-9 bulan 0 0 10-12 bulan 0 0 > 12 bulan 0 0 Total 2 100

Berbeda dengan hasil penelitian Phey (2015) di Palembang, prevalensi anti HIV positif dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisi >24 bulan[19] .

Menurut peneliti, serokonversi positif yang terjadi dalam waktu 1-3 bulan hemodialisis adalah sebenarnya pasien sudah terinfeksi tetapi masih dalam masa inkubasi. Jadi sebenarnya pasien yang mengalami serokonversi positif sebanyak 123 orang (58,6%), yang mengalami serokonversi negatif sebanyak 87 orang (41,4%). Prevalensi anti HCV positif sebanyak 116 pasien (94,3%), prevalensi HBsAg positif sebanyak 5 pasien (4,1%), dan prevalensi anti HIV positif sebanyak 2 pasien (1,6%). 4 Kesimpulan

Pada penelitian ini didapatkan 213 pasien hemodialisi reguler, sebanyak 123 pasien (58,6%) mengalami serokonversi positif dan 87 pasien (41,4%) mengalami serokonversi negatif. Pasien hemodialisis lebih banyak yang mengalami serokonversi positif dari pada yang mengalami serokonversi negatif.

Dari 123 pasien dengan serokonversi positif, didapatkan bahwa pasien hemodialisis paling banyak terinfeksi hepatitis C, lalu diikuti hepatitis B, dan HIV. Dengan persentase masing-masing adalah 94,3%, 4,1% dan 1,6%.

Dari 116 pasien yang mengalami anti HCV positif yang paling banyak 41,3% terinfeksi dengan lama hemodialisis >12 bulan.

Dari 5 pasien dengan HbsAg positif yang paling banyak 60% terinfeksi dengan lama hemodialisis >12 bulan.

Sebanyak 2 pasien dengan anti HIV positif semuanya menjalani hemodialisis 4-6 bulan. DAFTAR PUSTAKA

[1] WHO. Guidelines for the prevention, care and treatment of persons with chronic hepatitis B infection. WHO press; Geneva. 2015.

[2] WHO. Guidelines for the screening, care and treatment of persons with hepatitis C infection. WHO press; Geneva. 2014.

[3] World Health Organisation. HIV/AIDS global and regional statistics report 201 fact sheet. Geneva, 2014.

[4] Idrees MK, Batool S, Ahmed E. Hepatitis B virus among maintainence haemodialysis patients: a report from Karachi, Pakistan. The Journal of the Pakistan Medical Association. 2011; 61(12): 1210-1214.

[5] Hasanjani Roushan MR, Farokhtabar S, Bayani M, Siadati S. Epidemiological aspects of hepatitis B and C and human immunodeficiency viruses among hemodialysis patients in Mazandaran Province, Iran. Nephro-urology monthly. 2016; 8(3): e37878.

[6] Alavian S. A Shield against a monster: Hepatitis C in hemodialysis patients. World J Gastroenterol 2009; 15(6):641-46.

[7] El-Citto AE, Elwanama AA, Ayesh BM. Prevalence and Risk Factors of Hepatitis B and C viruses among haemodialysis patients in Gaza strip Palestina. Virol J2010; 7:210-6. [8] Johnson DW, Dent H, Yao Q, Tranaeus A, Huang CC, Han DS, Jha V,

[9] Wang T, Kawaguchi Y, Qian J. Frequencies of hepatitis B and C infections among

haemodialysis and peritoneal dialysis patients in Asia-pacific countries: analysis of registry data: nephrology, dialysis, transplantation. Official publication of the European dialysis and transplant association, European renal association. 2009; 24(5): 1598-1603.

[10] Sekkat S. Prevalence of anti-HCV antibodies and seroconversion incidence in five haemodialysis units in Marocco. Nephrol Ther 2008;a.4(2):105-10.

(13)

[11] Kalantar-Zadeh K, Daar ES, Eysselein VE, Miller LG. Hepatitis C infection in dialysis patients: a link to poor clinical outcome? Int Urol Nephrol 2007; 39:247-59.

[12] Cuong Minh Duong, Dariusz Piotr Olszyna. Mary-Louise McLaws. Hepatitis B and C virus infections among patients with end stage renal disease in a low resourced hemodialysys centre in Vietnam: a cross sectional study. Int J Med Sci. 2015 15:192-7.

[13] Cohcn, G., Rudnicki, M., & Horl, WH. Isolation of modified ubiquitin as a neutrophil chemotaxis inhibitor from uremic patients. J Am Soc Nephrol. 0:451-6.

[14] Pusparini. Perubahan Respon Jamur Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. J Kedokteran Trisakti. 2000;19(3):115-124

[15] D’Agata, E.M.C., Mount, D.B., Thayer,V., & Schaffner, W. Hospital-Acquired Among Chronic Haemodyalisis Patients. Am J Kidney Dis. 35: 1083-1088.

[16] Karkar A. Hepatitis C in dialysis units: the Saudi experience. Hemodial Int 2007; 11(3):354-67. [17] Ohsawa M, Kato K, Itai K, Tanno K, Fujishima Y, Konda R, et al. Standardized prevalence

ratios for chronic hepatitis C virus infection among adult Japanese hemodialysys patients. J Epidemiol 2010; 20(1):30-9.

[18] Khashia Anwar , Imran M, Shahzad F, Noreen M, Atif M, et al. Prevalence of Hepatitis B and Hepatitis C Infection among Patients Undergoing Dialysis. J Hum Virol Retrovirol 2016;3(3). [19] Phey Liana , Kemas Ya’kub Rahadiyanto , Dodi Maulana. Prevalensi Blood Borne Virus pada

Pasien Hemodialisis Kronik di Instalasi Hemodialisis RSMH Palembang; 2015

[20] Luma HN, Halle MP, Eloumou, et.al. Seroprevalence of Human Imunodeficiency Virus, Hepatitis B and C Viruses among Haemodialysis Patients in Two Newly Opened Centres in Cameroon. Pan Afr Med J, 2017 Jul 31;27-235.

[21] Abdullah M. Faktor risiko penularan hepatitis C pada penderita dialisis kronik di RSUP. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.23 pp.

[22] Alvina W, Aida L, Rino A, Siti S. Serokonversi Hepatitis C pada Pasien Hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam. 2015; vol.2 No.1

[23] Sja’bani M, Soefyani SH, Widiana IGR. Hepatitis C Seroconversion and Risk Factors in Hemodialyzed Patients: a follow-up study. Berkala Ilmu Kedokteran 1995; 27(2):89-92. [24] Mohamed El–Tantawy Ibrahim, Mona Ahmed Elawady. Hepatitis C Virus Seroconversion

Among Hemodialysis Patients and the Role of Hepatitis C Virus Positive Patient's Isolation in Benha, Egypt. Clinical Medicine Research. Vol. 6, No. 2, 2017, pp. 31-36.

(14)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 108 – 113

MAJALAH KEDOKTERAN

NUSANTARA

The Journal of Medical School

*Corresponding author 108

Gambaran

Intracerebral Hemorrhage Score

Pada Pasien

Stroke Hemoragik Yang Dirawat Inap Di RSUP H. Adam

Malik Medan

Willy Sunjaya

1*

, Alfansuri Kadri

2

, M. Surya Husada

3

, Aida Fitri

2

, Restuti

Hidayani Saragih

4

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2.Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3.Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstract. Stroke has a profound impact on increasing the patient’s mortality risk and

simultaneously with its increasing prevalence has resulted in hemorrhagic stroke as a notable problem especially in Indonesia. As a result, there is a need for clincal assestment models which can be used to stratify the risk of hemorrhagic stroke in a simple and reliable manner and Intracerebral Hemorrhage (ICH)Score is one of them. The objective of this study was to determine the representation of ICH Score on hospitalized hemorrhagic stroke patient in RSUP H. Adam Malik Medan. This was a descriptive study with cross-sectional design. The datawas obtained from

in-patient’s medical records which compromised of 50 patients in 2015 and 25 patients in 2016 using

consecutive sampling. The results showed that the majority of the hemorrhagic stroke patients hospitalized in RSUP H. Adam Malik Medanhad ICH Score of 2 (38.7%), GCS Score 5 – 12 (65.3%) with volume ICH 30 cm3 (58.7%) and generally did not have intraventricular hemorrhage. In this

study, there was no hemorrhagic patient with infratentorial hemorrhage and mostly with age < 80 years (97.3%). It can be concluded that hemorrhagic stroke patients hospitalized in RSUP H. Adam Malik Medan had a low ICH Score (≤ 2) with the most abundance ICH Score of 2.

Keyword: ICH Score, Hemorrhagic Stroke, Intracerebral Hemorrhage

Abstrak. Stroke memiliki dampak yang luas terhadap peningkatan risiko kematian pasien dan seiring dengan peningkatan prevalensinya, stroke hemoragik menjadi masalah yang harus diperhatikan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu model penilaian klinis yang mampu menstratifikasi risiko dari stroke hemoragik secara sederhana dan reliabel dimana Intracerebral HemorrhageScore merupakan salah satunya. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui gambaran ICH Score pada pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain penelitian potong lintang. Data penelitian berasal dari data rekam medis pasien yang dirawat inap di rumah sakit yang mencakup 50 pasien pada tahun 2015 dan 25 pasien pada tahun 2016 dengan menggunakan metode consecutive sampling. Mayoritas pasien stroke hemoragik yang dirawat inap memiliki ICH Score 2 (38,7%), GCS Score 5 – 12 (65,3%) dengan volume ICH30 cm3 sebesar 58,7% dan umumnya

tidak mengalami perdarahan intraventrikular (61,3%). Pada studi ini, tidak dijumpai pasien dengan perdarahan infratentorial dan usia paling banyak < 80 tahun (97,3%). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan

memiliki ICH Score yang rendah (≤ 2) dengan ICH Score 2 yang paling sering dijumpai.

(15)

1 Pendahuluan

Stroke memiliki dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan. Stroke merupakan suatu kondisi dimana terdapat penurunan fungsi saraf yang disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak.Selama satu dekade terakhir, stroke telah menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia. Menurut World Stroke Organization, angka mortalitas stroke mencakup hampir 50% dari seluruh orang yang mengalami stroke setiap tahunnya bahkan jumlah ini jauh lebih banyak daripada jumlah kematian yang disebabkan oleh gabungan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), tuberkulosis dan malaria [1].

Selain memiliki risiko kematian yang tinggi, stroke juga memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup penderitanya. Dari keseluruhan pasien stroke yang diijinkan pulang setelah perawatan medis di rumah sakit, 24% harus menjalani rehabilitasi, 31% harus dirawat oleh perawat terlatih, 32% masih memerlukan perawatan medis di rumah dan hanya 13% yang hidup mandiri bebas dari perawatan medis [2]. Bila ditinjau dari segi ekonomi, perawatan medis yang dibutuhkan penderita stroke memakan biaya yang cukup besar. Berdasarkan proyeksi American Heart Association, pada tahun 2030, total biaya per tahun yang terkait stroke di seluruh dunia diprediksi akan meningkat 129% menjadi 240 milyar dari tahun 2012 dengan perincian 184 milyar untuk biaya medis dan 56 milyar kerugian tidak langsung [3]. Selain memberikan masalah yang besar bagi negara maju, stroke juga mulai menjadi masalah yang diperhatikan oleh negara berkembang. Hal ini dikarenakan angka insidensi stroke hemoragik di negara berkembang menunjukkan peningkatan cukup signifikan sebanyak 22% dari tahun 1990 [4]. Di Indonesia, prevalensi stroke berdasarkan wawancara menunjukkan pola kenaikan hampir di seluruh provinsi [5].Di Sumatera Utara, prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau dengan gejala mengalami peningkatan dari 6,8 per mil pada tahun 2007 menjadi 10 per mil pada tahun 2012 dan pada umumnya, prevalensi stroke yang terjadi di kota lebih tinggi daripada di desa [5]. Berdasarkan data dari RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari-Desember 2014 diperoleh jumlah orang yang berkunjung ke poliklinik neurologi dengan gejala sisa stroke mencapai 3197 orang (29,68%) dengan perincian 2670 orang dengan stroke iskemik dan 527 orang dengan stroke hemoragik [6].

Berdasarkan data tersebut, meskipun tingkat kejadian stroke iskemik lima kali jauh lebih banyak daripada stroke hemoragik, tetapi stroke hemoragik menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang jauh lebih tinggi daripada stroke iskemik [7]. Jadi, bila ditinjau dari aspek risiko kematian, penurunan kualitas hidup, besarnya biaya pengobatan dan peningkatan prevalensi maka stroke hemoragik merupakan masalah yang memiliki dampak luas dan perlu dilakukan penelitian dalam menentukan besarnya masalah stroke hemoragik khususnya di Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan model penilaian klinis yang mampu menstratifikasi risiko dari stroke hemoragik dan Intracerebral Hemorrhage (ICH) Score merupakan salah satu yang sederhana dan reliabel. Di samping itu, ICH Score juga dapat digunakan untuk memprediksi prognosis dari pasien stroke perdarahan. Hal inilah yang menarik minat peneliti dalam melakukan penelitian mengenai gambaran ICH Score pada pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan.

2 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, dengan desain penelitian potong lintang. Data penelitian merupakan data sekunder, yaitu data rekam medis pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan selama periode Januari 2015 s.d. September 2016 yang mencakup 75 data dengan perincian yaitu 50 data pada tahun 2015 dan 25 data pada tahun 2016 yang diambil menggunakan metode consecutive sampling serta harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Variabel data rekam medis yang diteliti meliputi Glasgow Coma Scale (GCS) Score, volume ICH, perdarahan intraventrikular, perdarahan asal infratentorial, dan usia. Selanjutnya, kelima variabel tersebut diolah menjadi ICH Score dengan menjumlahkan skor hasil interpretasi dari kelima komponen tersebut. Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dan dikelompokkan agar dapat diolah menggunakan program statistik. Protokol penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3 Hasil

Dari keseluruhan data, pasien stroke hemoragik dengan GCS Score 5 - 12 memiliki jumlah terbanyak yaitu sebanyak 49 orang atau 65,3%. Selain itu, mayoritas pasien (58,7%) yang dijumpai memiliki volume ICH 30 cm3. Walaupun demikian,perdarahan intraventrikular lebih sedikit ditemukan dengan jumlah 38,7%. Pada studi ini, tidak dijumpai pasien stroke hemoragik yang mengalami perdarahan asal infratentorial. Kemudian, hampir seluruh pasien yang dijumpai (97,3%)

(16)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 108 – 113

110 berusia <80 tahun. Nilai ICH Score merupakan kelompok terbesar dengan jumlah sebanyak 29 orang atau 38,7%. Data distribusi frekuensi berdasarkan ICH Score beserta komponennya dapat dilihat secara lengkap pada tabel 1, tabel 2, tabel 3, tabel 4, tabel 5, dan tabel 6.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan GCS Score

No. GCS Score Frekuensi Persentase (%)

1 13-15 22 29,3

2. 5-12 49 65,3

3. 3-4 4 5,3

Total 75 100

Tabel 2 Distribusi Frekuensi BerdasarkanVolume ICH

No. Volume ICH (cm3) Frekuensi Persentase (%)

1 ≥ 30 44 58,7

2. < 30 31 41,3

Total 75 100

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perdarahan Intraventrikular No. Perdarahan

Intraventrikular Frekuensi Persentase (%)

1 Ya 29 38,7

2. Tidak 46 61,3

Total 75 100

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Perdarahan Asal Infratentorial No. Perdarahan

Infratentorial Frekuensi Persentase (%)

1 Ya 0 0

2 Tidak 75 100

Total 75 100

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia

No. Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%)

1 ≥ 80 2 2,7

2. < 80 73 97,3

Total 75 100

Tabel 6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan ICH Score

No. ICH Score Frekuensi Persentase (%)

1 0 10 13,3 2. 1 19 25,3 3. 2 29 38,7 4. 3 13 17,3 5. 4 4 5,3 6 5 0 0 7 6 0 0 Total 75 100%

(17)

4 Diskusi

Intracerebral Hemorrhage Score merupakan sebuah instrumen penilaian klinis yang melibatkan lima komponen yaitu Glasgow Coma Scale, volume Intracerebral Hemorrhage (ICH), perdarahan intraventrikular (IVH), perdarahan asal infratentorial dan usia.

Pertama-tama, Glasgow Coma Scale mempunyai pengaurh terhadap mortalitas dari pasien stroke hemoragik dan semakin kecil nilai GCS Score maka semakin besar risiko kematian seseorang. Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa mayoritas pasien pada studi ini memiliki GCS Score 5 - 12 (n = 49; 65,3%) dan hanya sebagian kecil (5,3%) pasien yang memiliki GCS Score 3 - 4. Hal ini sejalan dengan hasil studi Rost dkk di Amerika Serikat dan studi Bhatia dkk di India yang menyatakan bahwa mayoritas dari pasien stroke hemoragik memiliki GCS Score ≥ 9 dengan 64,5% dan 53,3% [8,9]. Walaupun secara spesifik nilai GCS Score tersebut bervariatif, namun sebagian besar hasil studi sebelumnya mendukung hasil dari studi ini. Sebagai contoh adalah studi Safatli dkk di Jerman dan studi Godoy dkk di Argentina dimana mayoritas pasien disana memiliki GCS Score = 9-12 dengan 38,6% dan 41,2% [10,11].Dengan mayoritas pasien stroke hemoragik memiliki GCS Score ≥ 5 maka dapat dikatakan bahwa tingkat resiko kematian stroke di berbagai negara tidak jauh berbeda.

Komponen berikutnya yaitu volume ICH yang merupakan salah satu faktor yangmempunyai pengaruh besar dalam memprediksi mortalitas pasien stroke hemoragik. Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa jumlah pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP HAM Medan dengan volume perdarahan ≥ 30cm3 lebih banyak dibandingkan dengan volume perdarahan < 30 cm3 dengan persentase 58,7% dan 41,3%. Bila dibandingkan dengan studi sebelumnya, maka hasil ini pada umumnya tidak sejalan sebab sebelumnya mayoritas pasiennya memiliki volume perdarahan < 30 cm3. Beberapa contoh diantaranya adalah studi Rost dkk di Amerika (54%) [8], Godoy dkk di Argentina (59%) [11], dan Panchal dkk di India (78%) [12]. Selain itu, hasil ini juga tidak sejalan dengan hasil Arifin dkk di Makassar dengan volume ICH <30 cm3 dengan 52,7% [13]. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pasien stroke hemoragik di RSUP HAM Medan memiliki risiko kematian yang lebih besar.

Selanjutnya, berbagai studi telah menunjukkan adanya hubungan perdarahan intraventrikular sebagai penyebab kematian pasien stroke hemoragik. Tabel 3 menunjukkan frekuensi perdarahanintraventrikular pada pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP HAM Medan yaitu sebanyak 29 orang (38,7%). Pada umumnya, frekuensi kejadian perdarahan intraventrikular di Medan lebih sedikit dibandingkan dengan luar negeri. Hal ini dapat dilihat pada beberapa studi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa distribusi IVH di berbagai negara adalah sebagai berikut di Jerman (58%) [10], Amerika Serikat (55%)[8], Argentina (47,7%)[11], India (47,7%) [9]. Adapun angka kejadian yang paling mendekati hasil studi ini adalah berasal dari sebuah studi multicenter di Inggris dilakukan oleh Parry-Jones dkk dengan perolehan persentase 38% [14]. Ini menunjukkan bahwa resiko kematian di RSUP HAM Medan cenderung lebih rendah dibandingkan di luar negeri.

Komponen keempat yaitu perdarahan asal infratentorial yang memiliki hubungan erat dengan mortalitas pasien stroke hemoragik. Padastudi ini, tidak dijumpai pasien stroke hemoragik dengan perdarahan infratentorial yang dirawat inap di RSUP HAM Medan. Hal ini dikaitkan dengan rendahnya tingkat kejadian perdarahan infratentorial. Sejalan dengan ini, berdasarkan studi Berman dkk di RSUP HAM Medan diperoleh bahwa lokasi perdarahan terendah adalah batang otak dan serebelum dengan 4,2% [15]. Selain itu, studi multicenter di Argentina oleh Godoy dkk dan studi Panchal dkk di India menunjukkan hasil yang sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 6,54% dan 6% [11, 12].

Usia merupakan komponen terakhir yang mempengaruhi outcome dari stroke hemoragik. Dalam tabel 5 diketahui bahwa mayoritas pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP HAM Medanberusia dibawah 80 tahun yaitu sebanyak 73 orang atau 97,3%. Hasil ini sejalan dengan studi sebelumnya misalnya studi oleh Berman dkk di RSUP HAM Medan yang memperoleh mayoritas pasien stroke yang dirawat berusia antara 45-59 tahun [15].Akan tetapi, beberapa studi di Amerika Serikat seperti di California (Clarke dkk)[16] dan di Massachusetts (Rost dkk)[8] menunjukkan persentase usia > 80 tahun yang jauh lebih besar yaitu mencapai 26% dan 28%. Hal ini tentunya dikaitkan dengan perbedaan usia harapan hidup yang terpaut 10 tahun antara Indonesia (69,1 tahun) dengan Amerika Serikat (79,3 tahun) [17].

Secara keseluruhan, dari tabel 6, pasien dengan ICH Score 2 merupakan kelompok yang paling banyak dijumpai. Walaupun hasil ini berbeda dengan studi Arifin dkk di Makassar dimana mayoritas pasien strokenya memiliki ICH Score 1, akan tetapi, bila dilihat dari proporsi keseluruhan pasien, maka akan diperoleh hasil distribusi pasien yang serupa yaitu 77,3% pasien dengan ICH Score ≤ 2 di RSUP HAM Medan dan 77% di Makassar [13]. Selain itu, terdapat kesamaan lain yaitu pada studi ini juga tidak ditemukan pasien dengan ICH Score 5 maupun 6 [13].Di samping itu studi ini juga sejalan dengan

(18)

The Journal of Medical School (JMS) Vol. 52, No. 3, 2019 | 108 – 113

112 studi Panchal dkk di India dimana mayoritas pasien memiliki ICH Score 1 dan proporsi ICH Score ≤ 2 (84%) [12]. Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam mayoritas maupun proporsi ICH Score bila dibandingkan dengan negara maju. Sebagai contoh, studi Clarke dkk di California, Amerika menjumpai pasien dengan ICH Score 5 dengan proporsi ICH Score ≤ 2 adalah 69,7% [16]. Contoh lainnya adalah studi Safatli di Jerman mendapati pasien dengan ICH Score 5 dan 6 sebanyak 16 orang (4%) dengan mayoritas pasien memiliki ICH Score 3 serta proporsi ICH Score ≤ 2 sebesar 50,9% [10]. Perbedaan ini disebabkan karena frekuensi perdarahan intraventrikular dan pasien stroke yang berusia ≥ 80 tahun yang lebih tinggi di negara maju seperti pada pembahasan sebelumnya. Jadi, berdasarkan ICH Score, pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP HAM Medan memiliki resiko yang lebih rendah.

5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data diatas, kesimpulan yang diperoleh adalah mayoritas pasien stroke hemoragik yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan memiliki ICH Score yang rendah (≤ 2) dengan ICH Score 2 yang paling sering dijumpai.

6. Daftar Pustaka

[1] World Stroke Organization. World stroke campaign. World Stroke Organization [Internet]. 2012 [cited 2016 Apr]; Available from:

http://www.world-stroke.org/advocacy/world-stroke-campaign.

[2] Buntin MB, Colla CH, Deb P, Sood N, Escarce JJ. Medicare spending and outcomes after postacute care for stroke and hip fracture. Med Care. 2010;48:776–784. doi:

10.1097/MLR.0b013e3181e359df.

[3] Ovbiagele B, Goldstein LB, Higashida RT, Howard VJ, Johnston SC, Khavjou OA, et al. on behalf of the American Heart Association Advocacy Coordinating Committee and Stroke Council. Forecasting the future of stroke in the United States: a policy statement from the American Heart Association and American Stroke Association Stroke. 2013;44:2361–2375. [4] Krishnamurthi RV, Feigin VL, Forouzanfar MH, Mensah GA, Connor M, Bennett DA, et al.

Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study (GBD 2010) and the GBD Stroke Experts Group. Global and regional burden of firstever ischaemic and haemorrhagic stroke during 1990–2010: findings from the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet Glob Health. 2013;1:e259–e281.

[5] Hendrawan H, Winarto AT, Raflizar, Handayani K, Ida, Nugroho SU, dkk. Pokok-pokok hasil riset kesehatan dasar provinsi sumatera utara. Badan Litbankes. 2013; p.102-103.

[6] RSUP Haji Adam Malik Medan. Data Kunjungan Pasien Poliklinik Neurologi Rsup H. Adam Malik Medan Januari-Desember 2014, RSUP Haji Adam Malik Medan. 2014

[7] Cheung Raymond TF, Zou Liang-Yu. Use of the Original, Modified, or New Intracerebral Hemorrhage Score to Predict Mortality and Morbidity After Intracerebral Hemorrhage. Stroke, 2003;34:1717-1722.

[8] Rost NS, Smith EE, Chang Y, Snider RW, Chanderraj R, Schwab K, et al. Prediction of Functional Outcome in Patients With Primary Intracerebral Hemorrhage: The FUNC Score.Stroke. 2008;39:2304-2309.

[9] Bhatia R, Singh H, Singh S, Padma MV, Prasad K, Tripathi M, et al. A prospective study of inhospital mortality and discharge outcome in spontaneous intracerebral hemorrhage.Neurology India. 2013;61(3):244-249.

[10] Safatli DA, Günther A, Schlattmann P, Schwarz F, Kalff R, Ewald C. Predictors of 30-day mortality in patients with spontaneous primary intracerebral hemorrhage. Surg Neurol Int 2016;7:S510-7.

[11] Godoy DA, Pinero G, Napoli MD. Predicting Mortality in Spontaneous Intracerebral

Hemorrhage Can Modification to Original Score Improve the Prediction?Stroke. 2006;37:1038-1044.

(19)

Independent Predictor of Mortality in Primary Intracerebral Hemorrhage Patients.Indian J Surg. [13] Arifin I, Kaelan C, Akbar M, Muis A, Tammasse J, Ganda IJ. Mortalitas pasien strok perdarahan

intraserebral menggunakan skor intracerebral hemorrhage di Makassar. Universitas Hasanuddin. 2014.

[14] Parry-Jones AR, Abid KA, Napoli MD, Smith CJ, Vail A, Patel HC, et al. Accuracy and Clinical Usefulness of Intracerebral Hemorrhage Grading Scores: A Direct Comparison in a UK

Population. Stroke. 2013;44:1840-1845.

[15] Berman, Hiswani, Makmur. Karakteristik Penderita Stroke Haemoragik Yang Dirawat Inap Di Rsup H. Adam Malik Medan Tahun 2012. FKM USU. 2012

[16] Clarke JL, Johnston SC, Farrant M, Bernstein R, Tong D, Hemphill III JC. External Validation of the ICH Score. Neurocritical Care.2004; 1:53-60

[17] World Health Organization. Life expectancy at birth (years), 2000-2015: Both Sexes: 2015.WHO [Internet]. 2015 [cited 2016 Dec]; Available from:

http://gamapserver.who.int/gho/interactive_charts/mbd/life_expectancy/atlas.html [18] Wang T, Kawaguchi Y, Qian J. Frequencies of hepatitis B and C infections among

haemodialysis and peritoneal dialysis patients in Asia-pacific countries: analysis of registry data: nephrology, dialysis, transplantation. Official publication of the European dialysis and transplant association, European renal association. 2009; 24(5): 1598-1603.

[19] Sekkat S. Prevalence of anti-HCV antibodies and seroconversion incidence in five haemodialysis units in Marocco. Nephrol Ther 2008;a.4(2):105-10.

[20] Kalantar-Zadeh K, Daar ES, Eysselein VE, Miller LG. Hepatitis C infection in dialysis patients: a link to poor clinical outcome? Int Urol Nephrol 2007; 39:247-59.

[21] Cuong Minh Duong, Dariusz Piotr Olszyna. Mary-Louise McLaws. Hepatitis B and C virus infections among patients with end stage renal disease in a low resourced hemodialysys centre in Vietnam: a cross sectional study. Int J Med Sci. 2015 15:192-7.

[22] Cohcn, G., Rudnicki, M., & Horl, WH. Isolation of modified ubiquitin as a neutrophil chemotaxis inhibitor from uremic patients. J Am Soc Nephrol. 0:451-6.

[23] Pusparini. Perubahan Respon Jamur Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. J Kedokteran Trisakti. 2000;19(3):115-124

[24] D’Agata, E.M.C., Mount, D.B., Thayer,V., & Schaffner, W. Hospital-Acquired Among Chronic Haemodyalisis Patients. Am J Kidney Dis. 35: 1083-1088.

[25] Karkar A. Hepatitis C in dialysis units: the Saudi experience. Hemodial Int 2007; 11(3):354-67. [26] Ohsawa M, Kato K, Itai K, Tanno K, Fujishima Y, Konda R, et al. Standardized prevalence

ratios for chronic hepatitis C virus infection among adult Japanese hemodialysys patients. J Epidemiol 2010; 20(1):30-9.

[27] Khashia Anwar , Imran M, Shahzad F, Noreen M, Atif M, et al. Prevalence of Hepatitis B and Hepatitis C Infection among Patients Undergoing Dialysis. J Hum Virol Retrovirol 2016;3(3). [28] Phey Liana , Kemas Ya’kub Rahadiyanto , Dodi Maulana. Prevalensi Blood Borne Virus pada

Pasien Hemodialisis Kronik di Instalasi Hemodialisis RSMH Palembang; 2015

[29] Luma HN, Halle MP, Eloumou, et.al. Seroprevalence of Human Imunodeficiency Virus, Hepatitis B and C Viruses among Haemodialysis Patients in Two Newly Opened Centres in Cameroon. Pan Afr Med J, 2017 Jul 31;27-235.

[30] Abdullah M. Faktor risiko penularan hepatitis C pada penderita dialisis kronik di RSUP. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.23 pp.

[31] Alvina W, Aida L, Rino A, Siti S. Serokonversi Hepatitis C pada Pasien Hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam. 2015; vol.2 No.1

[32] Sja’bani M, Soefyani SH, Widiana IGR. Hepatitis C Seroconversion and Risk Factors in Hemodialyzed Patients: a follow-up study. Berkala Ilmu Kedokteran 1995; 27(2):89-92. [33] Mohamed El–Tantawy Ibrahim, Mona Ahmed Elawady. Hepatitis C Virus Seroconversion

Among Hemodialysis Patients and the Role of Hepatitis C Virus Positive Patient's Isolation in Benha, Egypt. Clinical Medicine Research. Vol. 6, No. 2, 2017, pp. 31-36.

Gambar

Tabel 1    Karakteristik subjek penelitian pada penderita kanker payudara di RSUP Haji  Adam Malik Medan (n = 53)
Tabel 2. Distribusi polimorfisme gen reseptor vitamin D Cdx2  pada penderita kanker payudara
Table 4. Analisa HWE gen reseptor vitamin D Cdx2  pada penderita kanker payudara
Tabel 1 Distribusi Pasien Hemodialisis Regular Berdasarkan   Serokonversi
+7

Referensi

Dokumen terkait

setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian “ Tingkat Kepercayaan Terhadap Pengobatan Medis Pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Haji Adam Malik

Untuk pengumpulan data, dicatat dari rekam medis kesemua pasien yang telah didiagnosa mengalami penyakit kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2009.. Kemudian

dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi penderita kanker payudara rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013 berdasarkan lokasi kanker yang tertinggi adalah pada

Adam Malik Medan perbedaan ekspresi dari reseptor estrogen dan progesterone pada pasien kanker payudara premenopausal dan postmenopausaldi RSUP H. Adam Malik

Judul : Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan.. Nama Peneliti : Rizky

di atas dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi penderita kanker payudara rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2015 berdasarkan riwayat paritas tertinggi ialah yang

setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian “ Tingkat Kepercayaan Terhadap Pengobatan Medis Pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Haji Adam Malik

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap pengobatan medis pada pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012.. Metode :