• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN INTERAKSI SOSIAL KEPADA ANAK AUTIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN INTERAKSI SOSIAL KEPADA ANAK AUTIS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN INTERAKSI SOSIAL KEPADA ANAK AUTIS

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh :

AISTI RAHAYU KHARISMA SIWI F10012029

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

(2)

STRATEGI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN INTERAKSI SOSIAL KEPADA ANAK AUTIS

PUBLIKASI

ILMIAI{

Oleh :

AISTI RAHAYU KIIARISMA SIWI

Ft00120029

HAI,AMAN PERSETU.IUAN

Telah diperiksa dan disetujui untuk diu.ji oleh:

Dosen pcmbimbing

Tir".;

Dr. Nisa Rachmah Nur Ansanthi. M.Si. Psi NrK.593/062306640r

(3)

STRATEGI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM MENGAJARK,{N INTERAKSI SOSIAL KEPADA ANAK AUTIS

Oleh :

AISTI RAHAYU KHARISMA SIWI F100120029

Telrh dipeflahxn-kcn drdepan deu an penguji

Fakultas psikologi

Universitas Muhanlmadiyah Surakarta

Pada hari Rabu, 22 Februari 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

3. 2.

l.

Dewan Penguji:

Dr'. Nisa Rachmah Nur Angrnthi, M.Psi, Psi

(Ketua Dewaa Penguji)

Dr. Nanik Prihartanti, M.Si, Psi (Anggota I Dewan Penguji) Dra. Partini, NI.Si

(Anegota

II

Dewan Petrguji)

(...)

1U:]

,

,w

(4)

SUR{T PERYATAAN

Dengan

ini

saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi

ini

tidak

terdapat karya yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis

diacu dalam naskai dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila kelak teftukti

ada

ketidakbenaran

dalam

pemyataan

saya

di

atas,

maka akan

saya pertanggungiawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 22 Februari 2017

Fr00120029 Penulis,

(5)

1

STRATEGI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN INTERAKSI SOSIAL KEPADA ANAK AUTIS

Abstrak

Anak autis merupakan anak yang berbeda dengan yang lainnya, saat melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar anak autis tidak mungkin sendirian. Pasti mereka akan didampingi oleh orang terdekat, misalnya ayah, ibu, kakak, adik, dsb. Strategi pendampingan merupakan salah satu pola asuh yang bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam kelompok yang lebih berkonotasi pada menguasai, mengendalikan, dan mengontrol. Autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain. Salah satu faktor penyebab autis adalah kekacauan interpretasi dari sensori, yang menyebabkan stimulus dipersepsi secara berlebihan oleh anak sehingga menimbulkan kebingungan juga menjadi salah satu penyebab autisme. Tujuan dari penelitian ini untuk memahami strategi orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial pada anak penyandang autis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Informan penelitian ini adalah 2 orang tua dari anak autis, seorang ayah dari anak autis, seorang ibu dari anak autis, serta salah satu terapis dari anak autis yang berada di Pusat Layanan Autis, Sragen. Berdasarkan hasil penelitian, analisis, serta pembahasan yang telah diuraikan penulis terdapat beberapa strategi pendampingan orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial kepada anak autis yaitu strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek bahasa dan komunikasi yaitu menggunakan strategi menirukan apa yang diucapkan oleh informan serta menempelkan tulisan di atas meja belajar. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek hubungan dengan orang lain menggunakan strategi mengajak anak untuk bermain di luar rumah, mengenalkan anak kepada teman orang tua jika bertamu di rumah, serta menggunakan strategi mencoba untuk menitipkan anak pada neneknya jika informan ke luar rumah. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek hubungan dengan lingkungan yaitu menggunakan strategi menirukan apa yang dia lihat misalnya membuang sampah di tempatnya, mengajak anak untuk bermain di halaman rumah, serta mengajak jalan-jalan anaknya di alam bebas misalnya di sawah ataupun di kebun. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek respon terhadap rangsang indera yaitu, pada menggunkan strategi tanya jawab antara informan dengan anak. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek kesenjangan sosial yaitu, pada menggunakan strategi melatih untuk tetap fokus pada apa yang diperintahkan oleh informan mengulang-ulang apa yang diajarkan oleh informan, serta mengulang-ulang apa yang diajarkan oleh informan serta melatih disiplin dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Strategi tersebut dilakukan oleh orang tua supaya anak mereka mau berinteraksi dengan orang lain.

(6)

2 Abstract

An autistic child is a who is different from the others, when social relationships with the surrounding environment autistic child may not be alone. Surely they will be accompanied by people nearby, such as father, mother, brother, sister, etc. Mentoring strategy is one meaningful parenting coaching, teaching, directing in a larger group connote dominate, control, and control. Autism is a severe neurobiological developmental disorder that affects the way a person to communicate and relate to (associated) with others. One of the causes of autism is the interpretation of sensory chaos, which causes excessive stimulus perceived by the child, causing confusion also be one of the causes of autism. The purpose of this study to understand the strategy of the parents in the teaching of social interaction in children with autism. This study uses a qualitative method. The informants are 2 parents of children with autism, a father of an autistic child, a mother of a child with autism, as well as one of the therapists of children with

autism who are in the Autism Services Center, Sragen. Based on the research,

analysis, and discussion described the author, there are several strategies assisting parents in teaching social interaction for children with autism is the strategy undertaken by parents on aspects of language and communication that is using a strategy mimicked what was said by informants as well as paste post on desks. The strategy carried out by parents on aspects of the relationship with another person using a strategy invites children to play outdoors, introducing kids to friends parents if visiting at the home, and use the strategy to try to entrust the child to the grandmother when the informant to the outdoors. The strategy carried out by parents on aspects of the relationship with the environment that is using a strategy of imitating what he saw, for example throwing garbage in its place, invites children to play in the yard, and invites her walks in the wild, for example in the fields or in the garden. The strategy carried out by parents on aspects of the response to sensory stimuli that is, the strategy of using the question and answer between the informant and child. The strategy carried out by parents on aspects of social inequality, namely, the use of strategies to train to stay focused on what was ordered by the informant to repeat what is taught by the informant, and repeats what is taught by the informant and training discipline in carrying out daily activities -day. The strategy carried out by parents to their children want to interact with others.

Keywords: Autism, Social Interactions, Parents Assistance Strategy

1. PENDAHULUAN

Kehadiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehadirannya bukan saja mempererat tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga sebagai penerus generasi yang sangat diharapkan keluarga.

(7)

3

Menurut Hidayah (2013) anak yang terlahir sempurna merupakan harapan semua orang tua, mereka mendambakan memiliki anak yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani, tetapi harapan itu tidak selalu dapat terwujud. Kenyataannya bahwa anak yang dimiliki berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya merupakan salah satu hal yang harus diterima apa adanya. Walaupun anak tersebut tidak sama dengan anak-anak lain, orang tua wajib untuk menjaganya sampai dewasa, sehingga diperlukan peran penting bagi orang tua yang memiliki anak yang berbeda dengan anak-anak lain, misalnya dengan sering melakukan komunikasi antar anggota keluarga, maupun masyarakat. Anak autistik ditinjau dari masa kemunculannya atau kejadiannya dapat terjadi sejak lahir yang disebut dengan autistik klasik dan sesudah lahir dimana anak hingga umur 1-2 tahun menunjukkan perkembangannya yang normal. Tetapi pada masa selanjutnya menunjukkan perkembangan yang menurun atau mundur. Hal ini disebut dengan autistik regresi (Yuwono, 2009). Menurut Puspitaningrum (2004) autistik klasik adalah adalah autisme yang disebabkan kerusakan syaraf sejak lahir. Kerusakan syaraf disebabkan oleh virus rubella (dalam kandungan) atau terkena logam berat (merkuri dan timbal). Sedangkan autistik regresif adalah autisme yang muncul saat anak berusia antara 12-24 bulan. Perkembangan anak sebelumnya relatif normal, namun setelah usia 2 tahun kemampuan anak menjadi merosot. Yuwono (2012) mengemukakan bahwa beberapa tahun yang lalu, terjadi perdebatan mengenai angka statistik yang menunjukkan peningkatan jumlah anak yang didiagnosis sebagai anak dengan gangguan autistik. Sekitar 30 tahun yang lalu, angka kejadian anak dengan gangguan autistik antara 1-4 per 10.000 anak-anak. Setelah tahun 1990 jumlah anak-anak dengan gangguan autistik meledak semakin besar. Dalam hal ini memang kesulitan untuk menemukan data statistik secara akurat, tetapi angka perkiraan oleh lembaga penelitian menunjukkan 1-2% per 500 hingga 1% per 100 anak-anak. The Center for Desease Control (CDC) telah melaporkan 2-6 per 1000 anak-anak. Selama tahun 2000-2001 terdapat lebih dari 15.000 anak-anak berusia 3-5 tahun dan lebih dari 78.000 anak-anak berusia 6-21 tahun di Amerika Serikat adalah autistik sebagaimana didefinisikan dalam

(8)

4

Wiendijarti, dan Prabowo (2009) cara yang tepat untuk anak autistik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yaitu menggunakan teori interaksionisme simbolik, yaitu dengan bahasa non verbal atau simbol-simbol. Simbol-simbol yang menyatukan interaksi antara anak-anak autis dengan lingkungan sekitarnya dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah penggunaan bahasa isyarat yang mencakup isyarat tangan dan gesture tubuh.

Saat melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar anak autis tidak mungkin sendirian. Pasti mereka akan didampingi oleh orang terdekat, misalnya ayah, ibu, kakak, adik, dsb. Muzaqi (2005) menjelaskan bahwa pendampingan merupakan salah satu pola asuh yang bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam kelompok yang lebih berkonotasi pada menguasai, mengendalikan, dan mengontrol. Pola asuh sendiri merupakan pola pengasuhan yang berlaku dalam keluarga, interaksi antara orang tua dan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Tarmudji, 2002). Adanya pendampingan atau seing disebut sebagai pola asuh akan mempermudah anak autis dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan uraian tersebut maka muncul pertanyaan penelitian “bagaimana strategi orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial pada anak penyandang autis?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti membuat judul Strategi Pendampingan Orang Tua Dalam Mengajarkan Interaksi Sosial Kepada Anak Autis.

Menurut Walgito, 2003 interaksi sosial ialah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Menurut Gerungan (2004) interaksi sosial adalah suatu hubungan antar dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan saling timbal balik antar orang lain. Hubungan tersebut dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya.

(9)

5

Menurut Tarde (dalam Ahmadi, 2007) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial, diantaranya yaitu (a) Faktor imitasi, yang beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Hal tersebut misalnya pada anak yang sedang belajar bahasa, seakan-akan mereka mengimitasi dirinya sendiri, mengulang bunyi kata-kata, melatih fungsi lidah, dan mulut untuk berbicara. (b) Faktor identifikasi, identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. (c) Faktor simpati, simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga proses identifikasi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial itu berdasarkan faktor imitasi saja, jadi hanya terjadi dalam diri sendiri bukan karena lingkungan sekitar. Namun, individu terkadang tertarik akan perilaku orang lain, sehingga individu tersebut terdorong untuk menjadi sama dengan orang lain.

Santoso (2004) mengemukakan beberpa aspek dalam proses interaksi sosial, diantaranya: (a) Motif/tujuan yang sama. Suatu kelompok tidak terbentuk secara spontan, tetapi kelompok terbentuk atas dasar motif/tujuan yang sama. (b) Suasana emosional yang sama. Jalan kehidupan kelompok, setiap anggota mempunyai emosional yang sama. Motif/tujuan dan suasana emosional yang sama dalam suatu kelompok disebut sentimen. (c) Ada aksi interaksi. Tiap-tiap anggota kelompok saling mengadakan hubungan yang disebut interaksi, membantu, atau kerjasama. Dalam mengadakan interaksi, setiap anggota melakukan tingkah laku yang disebut dengan aksi. (d) Proses segi tiga dalam interaksi sosial (aksi, interaksi, dan sentimen). Kemudian menciptakan bentuk piramida dimana pimpinan kelompok dipilih secara spontan dan wajar serta pimpinan menempati puncak piramida tersebut. (e) Dipandang dari sudut totalitas, setiap anggota berada dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan secara terus-menerus. (f) Hasil penyesuaian diri tiap-tiap kelompok terhadap lingkungannya tanpa tingkah laku anggota kelompok yang seragam. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu interaksi sosial dapat terbentuk jika terdapat dua orang

(10)

6

atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Selain tujuan yang sama, mereka juga memiliki emosional yang sama, sehingga dalam melakukan interaksi, setiap anggota dapat melakukan tingkah laku sama yang disebut dengan aksi.

Menurut Sunu (2012) autisme berasal dari kata ‘auto’ yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka yang mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat seperti seorang yang hidup sendiri. Mereka seolah-olah hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada di sekitarnya. Sedangkan pandangan dari Priyatna, 2010 menyatakan bahwa autis mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi dan bermain dengan imajinatif yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah tiga tahun dan mereka mempunyai keterbatasan pada level aktifitas dan interest dan hampir tujuh puluh lima persen dari anak autispun mengalami beberapa derajat retardasi mental. Autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain, penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti, serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena ketidak mampuannya membangun untuk berkomunikasi dan mengerti perasaan orang lain (Mawardah dan Ainin, 2014). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa autis merupakan sebuah probem yang diderita seseorang dalam menghadapi komunikasi, interaksi sosial, dan imajinasi, hal tersebut terjadi pada saat mereka berusia kurang dari tiga tahun, namun dalam level yang berbeda. Sehingga seolah-olah mereka hidup di dunia sendiri dan terlepas dari kontak di lingkungan sekitar.

Boham, 2013 menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab kelainan yang bisa terjadi pada anak autis, diantaranya yaitu (a) Kelainan anatomis otak: kelaianan pada bagian-bagian tertentu otak yang meliputi

cerebellum (otak kecil), lobus parietalis, dan sistem limbik ini mencerminkan

bentuk-bentuk perilaku berbeda yang muncul pada anak-anak autis. (b) Faktor pemicu tertentu saat hamil: terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan karena poluta logam berat, infeksi, zat adiktif, hipremesis, pendarahan berat, dan alergi berat. (c) Zat- zat adiktif yang mencemari otak anak diantaranya

(11)

7

asupan MSG, protein tepung terigu, protein susu sapi, zat pewarnaan, dan bahan pengawet. (d) Gangguan sistem pencernaan seperti kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya gejala autisme. (e) Kekacauan interpretasi dari sensori: yang menyebabkan stimulus dipersepsi secara berlebihan oleh anak sehingga menimbulkan kebingungan juga menjadi salah satu penyebab autisme. (f) Jamur yang muncul di usus anak: akibat pemakaian antbiotik yang berlebihan dapat memicu ganguan pada otak. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor penyebab anak autis, diantaranya yaitu kelainan anatomis otak, faktor peicu saat hamil, dsb. Hal tersebut stimulus dipersepsi secara berlebihan oleh anak sehingga menimbulkan kebingungan.

2. METODE

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis. Informan dalam penelitian ini diambil secara purposive sampling yaitu informan diambil berkaitan dengan ciri-ciri atau karakter tertentu. Informan dalam penelitian ini yaitu orang tua yang memiliki anak autis dan melakukan terapi di PLA (Pusat Layanan Autis) Sragen. Disana terdapat 10 anak autis yang melakukan terapi, peneliti melakukan penelitian pada 3 orang tua anak autis, yaitu 2 orang tua dari anak autis, seorang ayah dari anak autis, seorang ibu dari anak autis, serta salah satu terapi dari anak autis, jadi terdapat 5 informan dalam penelitian tersebut. Tempat penelitiannya yaitu di PLA yang berada di Sidomulyo, Sragen. Peneliti memilih tempat tersebut karena disana disediakan ruang untuk melakukan wawancara kepada orang tua anak autis, selain kedap suara juga dapat menjaga kerahasiaan dan menggali data lebih dalam lagi, sehingga tidak akan ada pengaruh dari lingkungan sekitar. Sedangkan cara pengambilan informan yaitu menentukan informan, menyampaikan maksud dan tujuan kepada informan, melakukan pendekatan-pendekatan supaya lebih akrab, dan melakukan wawancara.

(12)

8 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan di Pusat Layanan Autis (PLA), Sidomulyo, Sragen. PLA didirikan di Sragen yaitu pada tahun 2015. Penelitian ini menggunakan wawancata terstruktur, yaitu wawancara yang diserti dengan panduan.

Penelitian dilakukan di Pusat Layanan Autis (PLA), Sidomulyo, Sragen. PLA didirikan di Sragen yaitu pada tahun 2015. Sedangkan PLA sendiri memiliki pegawai berjumlah 15 orang diantaranya seorang kepala PLA, 9 orang terapis, 2 orang recepsionis, 2 orang satpam, serta seorang offical boy. Disana terdapat 5 ruang untuk terapi serta 1 ruang untuk konsultasi. setiap ruang untuk satu anak terapi, karena setiap anak memiliki tingkat keparahan tersendiri. Awal mulanya sebelum banyak diketahui oleh orang, PLA melayani setiap anak yang ingin terapi, atau belum terjadwal. Namun, sekarang karena banyak pasien, setiap anak yang ingin terapi, maka diberikan jadwal 2 atau 3 kali dalam seminggu dengan durasi waktu 45 menit. Peneliti melakukan wawancara kepada informan dengan karkteristik tertentu, yaitu infroman yang mempunyai anak autis. Serta dengan bagaimana peran orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial kepada anak autis dan strategi orang tua dalam mendampingi anak autis saat melakukan interaksi sosial. Wawancara dilaksanakan di ruang konsultasi Pusat Layanan Autis, Sragen dengan ukuran ruang 3X4 m. Informan pertama berinisial R.W.S. berjenis kelamin laki-laki. Wawancara kepada informan pertama kurang lebih selama 40 menit dengan dua kali pertemuan. Informan kedua berinisial R berjenis kelamin perempuan. Wawancara kepada informan kedua dilaksanakan dengan durasi kurang lebih 60 menit dengan dua kali pertemuan. Informan ketiga yang berinisial S berjenis kelamin laki-laki. Wawancara dilakukan kurang lebih selama 50 menit dengan sekali pertemuan. Informan keempat berinisial S.M. berjenis kelamin perempuan. Wawancara kepada informan kedua selama kurang lebih 70 menit dengan dua kali pertemuan. Sedangkan informan pendukung berinisial W.N.H. berjenis kelamin laki-laki. Wawancara kepada informan kelima dilakukan selama kurang lebih 50 menit dengan sekali pertemuan.

(13)

9 3.1 Hasil Penelitian

Informan (1) awal mulanya anak informan belum bisa berbicara sama sekali, padahal usianya sudah lima tahun. Dia sudah dibawa terapi ke kota lain, namun karena antrian banyak dan kurang efektif maka terapi tersebut jarang dilakukan. Anak informan hiperaktif, oleh karenanya susah dalam mengajarkan interaks sosial kepadanya. Namun, lama-kelamaan anak tersebut dapat berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. Orang tua selalu mengajarkan anaknya setelah apa yang diajarkan di tempat terapi. Informan (2) Awal mulanya, anaknya hiperaktif sehingga jika diberi tahu akan sesuatu pasti tidak fokus. Anak tersebut hanya fokus jika ada mainan yang dia suka. Namun setelah mengikuti terapi di PLA, anak tersebut sudah mau berbicara dan berinteraksi dengan orang lain, walaupun harus difokuskan pada hal yang dituju. Informan (3) awalnya anak informan sudah dapat berbicara dan sudah dapat berjalan. Namun, lama-kelamaan perkembangannya mulai menurun karena lama menunggu saat mengikuti terapi di luar kota. Setelah itu, infoman memindahkan tempat terapis anaknya yaitu di PLA. Setelah di PLA, sudah mulai bisa berbicara kembali walaupun baru sepatah kata. Selain itu, untuk berinteraksi dengan orang lain, anak tersebut belum mau dikarenakan dahulu pernah dinakali oleh teman sebayanya. Informan (4) awal mulanya anak informan hanya bisa menunjuk saat meminta barang, serta belum dapat berbicara sama sekali. Namun setelah mengikuti terapi di PLA, kurang lebih 7 bulan, lama-kelamaan anak tersebut dapat berkomunikasi dengan baik walaupun baru sepatah kata. Selain itu, untuk berinteraksi dengan lingkungan dan dengan orang lain, anak tersebut dapat berinteraksi dengan baik misalnya saat melihat kambing, sudah dapat mengatakan bahwa itu kambing. Dalam hal tersebut, informan selalu mengajarkan apa yang diajarkan saat terapi, jadi dapat berkesinambungan antara di rumah dan di tempat terapi. Informan pendukung, terapis mengajarkan strategi interaksi sosial kepada anak autis dengan metode yang sama namun cara yang berbeda sesuai dengan tingkat keparahan anak tersebut. Biasanya, terapis mengajarkan cara menirukan, melihat, serta bermain bersama teman-teman yang lain. Cara yang dilakukan oleh terapis misalnya menirukan apa yang diucapkan olehnya, mengajarkan untuk membuang sampah

(14)

10

setelah selesai terapi, serta bermain kelompok dengan anak lain pada satu minggu sekali. Hal tersebut efektif dilakukan oleh terapis, namun untuk hal bermain kelompok, lama-kelamaan yang mengikuti tidak banyak dikarenakan rumah pasien yang terlalu jauh.

3.2 Pembahasan

Orang tua pastinya menghendaki bahwa anaknya tidak berbeda dengan anak yang lainnya, namun ternyata berbeda dengan anak lainnya. Orang tua dalam penelitian ini menghendaki bahwa anaknya dapat sembuh total, namun harus rutin dalam melakukan terapi. Strategi yang dilakukan oleh orang tua hampir sama, yaitu mendampingi anak saat terapi, memfokuskan anak akan hal-hal tertentu, serta melakukan apa yang disarankan oleh terapis. Selain itu mereka juga akan selalu mengawasi mereka dari kejauhan, misalnya saat bermain dengan teman sebayanya. Orang tua merasa khawatir jika anaknya suatu saat akan berbuat apa yang tidak diinginkan olehnya, maka dari itu sesekali orang tua menasehati anaknya dengan pelan-pelan, satu atau dua kata. Salah satu yang diinginkan oleh orang tua kepada anaknya yaitu dapat berinteraksi sosial dengan baik. Interaksi sosial sendiri dapat memudahkan anak dalam memahami lingkungan sekitar. Menurut Walgito, 2003 interaksi sosial ialah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Penulis memaparkan bahwa terdapat beberapa tipe strategi interaksi sosial yang dilakukan oleh beberapa informan. Penulis memaparkan bahwa terdapat beberapa tipe strategi interaksi sosial yang dilakukan oleh beberapa informan. Informan 1 (R.W.S.) pada aspek bahasa dan komunikasi, informan mengajarkan untuk menirukan apa yang diucapkan oleh informan. Pada aspek hubungan dengan orang lain, informan menggunakan strategi mengenalkan ataupun mengajak bermain dengan teman di sekitar rumah saat anak tersebut bermain dengan teman-temannya. Pada aspek hubungan dengan lingkungan, informan menggunakan strategi menirukan apa yang dilakukan oleh informan, misalnya dengan membuag sampah pada tempatnya. Pada aspek respon terhadap rangsang indera, informan menggunakan strategi menirukan apa yang diucapkan oleh informan. Pada aspek

(15)

11

kesenjangan perilaku, informan menggunakan strategi melatih anaknya untuk tetap fokus serta disiplin dalam berbagai hal misalnya dalam belajar. Hal tersebut dilakukan oelh informan karena informan menginginkan bahwa anak tersebut dapat fokus jika diajak berbicara dengan orang lain, selain itu informan berharap bahwa anaknya tidak berbeda lagi dengan anak yang lainnya. Informan 2 (R) pada aspek bahasa dan komunikasi, informan menggunakan strategi mengajarkan serta menempelkan tulisan pada meja belajar anaknya. Pada aspek hubungan dengan orang lain, informan menggunakan strategi mengenalkan anak dengan lingkungan bermain di sekitar rumah dengan cara mengajarkan berbicara dengan orang lain. Pada aspek hubungan dengan lingkungan, informan menggunakan strategi menirukan apa yang dilakukan olehnya misalkan membuang sampah pada tempatnya. Pada aspek respon terhadap rangsang indera, informan menggunakan strategi menirukan apa yang diucapkan oleh informan. Pada aspek kesenjangan perilaku, informan menggunakan strategi melatih anak tersebut agar tetap fokus seta disiplin dalam belajar maupun kegiatan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan oelh informan karena informan menginginkan bahwa anak tersebut dapat fokus jika diajak berbicara dengan orang lain, selain itu informan berharap bahwa anaknya tidak berbeda lagi dengan anak yang lainnya. Informan 3 (S) pada aspek bahasa dan komunikasi, informan menggunakan strategi menirukan apa yang diucapkan oleh informan serta menempelkan huruf pada dinding yang sering dilihat oleh anaknya. Pada aspek hubungan dengan orang lain, informan menggunakan strategi mengenalkan anaknya dengan teman informan saat berkunjung ke rumah. Pada aspek hubungan dengan lingkungan, informan menggunakan strategi mengajak anaknya untuk bermain di halam rumah, walaupun anak tersebut belum mau untuk bermain dengan teman-temannya, setidaknya dia sudah mau melihat dari dalam rumah. Pada aspek respon terhadap rangsang indera, informan mengajarkan untuk bertanya kepada anaknya yang kemudian anak tersebut menjawab pertanyaan informan. Pada aspek kesenjangan perilaku, informan menggunakan strategi mengulang-ulang apa yang dia ajarkan. Hal tersebut dilakukan oleh informan karena informan menghendaki bahwa besok anak tersebut dapat mandiri serta sembuh, tidak bergantung pada orang lain jika ia

(16)

12

sudah dewasa nanti. Informan 4 (S.M) strategi yang digunakan pada aspek bahasa dan komunikasi yaitu dengan menempelkan huruf pada meja belajarnya anak serta mengajarkan untuk berbicara kepada anak tersebut. Pada aspek hubungan dengan orang lain, informan menggunakan strategi mencoba untuk menitipkan anak tersebut kepada neneknya jika informan keluar, supaya anak tersebut mau dengan orang lain. Pada aspek hubungan dengan lingkungan, informan menggunakan strategi mengajak jalan-jalan anaknya di alam bebas seperti di sawah dan jalan. Pada aspek respon terhadap rangsang indera, informan menggunakan strategi bertanya kepada anaknya dan anak tersebut kemudian menjawab pertanyaan informan. Pada aspek kesenjangan perilaku, informan menggunakan strategi mengulang-ulang apa yang diajarkan oleh informan misalnya berbicara. Hal diatas dipaparkan oleh informan karena menurut infroman efektif, karena dilakukan setiap hari dan lama-kelamaan terdapat berubahan pada anaknya. Informan juga menginginkan bahwa anaknya sembuh dan dapat melebihi anak-anak yang lain dalam hal tertentu, misalkan di pendidikan.Pada informan pendukung, di aspek bahasa dan komunikasi, informan menggunakan strategi mengenalkan huruf dan angka pada buku yang disediakan oleh PLA dan mengajarkan membaca huruf tersebut. Pada aspek hubungan dengan orang lain, informan menggunakan strategi bermain kelompok dengan anak autis lainnya yang diadakan setiap satu minggu sekali di PLA. Pada aspek hubungan dengan lingkungan, informan menggunakan strategi menirukan apa yang dilakukan olehnya misalkan membuang sampah setelah selesai melakukan terapi. Pada aspek respon terhadap rangsang indera, informan menggunakan strategi tanya jawab antar informan dan anak autis, namun pertanyaan yang diajukan sesuai keparahan autism yang dialami anak tersebut. Pada aspek kesenjangan perilaku, informan menggunakan strategi mengulang-ulang apa yang diajarkan olehnya supaya anak tersebut tidak memiliki kesenjangan perilaku dengan teman-teman yang lainnya. Hal tersebut dilakukan oleh terapis karena beliau menginginkan bahwa anak yang beliau ajar bisa sembuh walaupun tidak sembuh total. Serta beliau berharap apa yang diajarkan di PLA dapat juga diajarkan di rumah, sehingga pada pertemuan berikutnya beliau hanya sedikit mengulas pelajaran yang kemarin serta dapat berkesinambungan

(17)

13

antara pengajaran terapis di PLA dan pengajaran oleh orang tuanya di rumah. Saat semua strategi dilakukan oleh iforman, ternyata anak mereka mengalami perubahan. Perubahan yang dialami anak tersebut berbeda-beda. Pada informan satu dan dua, anaknya sudah dapat berbicara dan menanggapi perkataan orang lain, selain itu saat berinteraksi dengan orang yang belum dia kenal, anak tersebut sudah mau berbicara. Pada informan ketiga, anaknya sudah bisa berbicara namun baru dengan keluarganya, jika ada teman yang bermain di rumahnya, anak tersebut belum mau untuk melakukan interaksi sosial. Pada informan keempat, anaknya sudah mau berkomunikasi namun baru sepatah atau dua patah kata, sedangkan jika bertemu dengan orang yang belum dia kenal, anak tersebut belum mau untuk berbicara dengannya.Salah satu bentuk dalam melakukan interaksi yang baik yaitu membangun atensi bersama. Atensi bersama adalah kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal maupun tidak, di sekitar pengalaman, objek atau kejadian yang dimiliki bersama. Orang tua dapat membangun atensi bersama dan memampukan anak berinteraksi dengan baik misalnya dengan cara membuat kelompok teman sebaya yang mendukung dalam berinteraksi (Sastry & Aguirre, 2014).

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian, analisis, serta pembahasan yang telah diuraikan penulis terdapat beberapa strategi pendampingan orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial kepada anak autis yaitu strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek bahasa dan komunikasi yaitu menggunakan strategi menirukan apa yang diucapkan oleh informan serta menempelkan tulisan di atas meja belajar. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek hubungan dengan orang lain menggunakan strategi mengajak anak untuk bermain di luar rumah, mengenalkan anak kepada teman orang tua jika bertamu di rumah, serta menggunakan strategi mencoba untuk menitipkan anak pada neneknya jika informan ke luar rumah. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek hubungan dengan lingkungan yaitu menggunakan strategi menirukan apa yang dia lihat misalnya membuang sampah di tempatnya, mengajak anak untuk bermain di

(18)

14

halaman rumah, serta mengajak jalan-jalan anaknya di alam bebas misalnya di sawah ataupun di kebun. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek respon terhadap rangsang indera yaitu, pada menggunkan strategi tanya jawab antara informan dengan anak. Strategi yang dilakukan oleh orang tua pada aspek kesenjangan sosial yaitu, pada menggunakan strategi melatih untuk tetap fokus pada apa yang diperintahkan oleh informan mengulang-ulang apa yang diajarkan oleh informan, serta mengulang-ulang apa yang diajarkan oleh informan serta melatih disiplin dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Strategi tersebut dilakukan oleh orang tua supaya anak mereka mau berinteraksi dengan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2007). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Boham, S. E. (2013). Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Autis (Studi pada orang tua dari anak autis di Sekolah Luar Biasa AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado). 2(4), Diunduh dari http://

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/2886/2436

Gerungan. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama

Hidayah, N. (2013). Kebermaknaan Hidup Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta). Diunduh dari

http://digilib.uin-suka.ac.id/12434

Karningtyas, M. A., Wiendijarti, I., Prabowo, A. (2009). Pola Komunikasi Interpersonal Anak Autis Di Sekolah Autisme Fajar Nugraha Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(120), 120-129. Diunduh dari

http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/16

Mawardah, N. V., Ainin, I. K. (2014). Interaksi Sosial Anak Autis Dengan Metode Bermain Peran Di SLB. 4(1). Diunduh dari

http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan khusus/article/view/6338

Muzaqi, M. (2005). Pengaruh Pendampingan Tutor Terhadap Motivasi Belajar Warga Belajar PKBM Taman Belajar Kecamatan Kenjeran Surabaya (Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya). Diunduh dari

(19)

15

Puspitaningrum, D. (2004). Peran keluarga pada penanganan individu autistic

spectrum disorder. Diunduh darihttp://puterakembara.org/

rm/peran_ortu.htm

Santosa, S. (2010). Teori-teori Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama

Sastry, A. & Aguirre, B. (2014). Parenting Anak Dengan Autisme: Solusi,

Strategi, dan Saran Praktis Untuk Membantu Keluarga Anda. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Sunu, C. (2012). Unlocking Autism. Jakarta: Griya Taman Asri

Tarmudji, T. (2002). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Agresivitas Remaja. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 8(37), 504-519. Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial Suatu Pengantra. Yogyakarta: Andi

Yuwono, J. (2009). Memahami Anak Autis: Kajian Teoritis dan Empirik. Bandung: Alfabeta

Yuwono, J. (2012). Memahami Anak Autis: Kajian Teoritis dan Empirik. Bandung: Alfabeta

Referensi

Dokumen terkait

Rekomendasi yang dapat diberikan pada pendidik anak usia dini selanjutnya bahwa masih banyak kegiatan - kegiatan yang dapat digunakan dalam meningkatkan

Agen Obat Sipilis Paling Manjur Di Apotik ~ Bagi anda yang kini baru menderita penyakit sipils pasti anda bingung atau malu untuk mencari obat yang mampu menyembuhkan

Pada era komputerisasi saat ini, perkembangan teknologi komputer terus meningkat dengan pesat. Perkembangan teknologi komputer telah memberikan banyak.. 456

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi anggota Badan Perwakilan Desa di Kabupaten Sleman tentang kesetaraan gender dan organisasi peka gender.. Populasi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas lulusan ditinjau dari sudut pandang mahasiswa dan

There were no significantly different (p>0.05) on the percentages of motile and viable sperm in SMT (21.7% and 43.4%, respectively) compared with those extended with DV

Berdasarkan uraian latar tersebut, maka penulis mengangkat judul “Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Customers Perspective Dalam Balanced

Simpulan : Ada hubungan positif yang signifikan antara kedisiplinan belajar dan adversity quotient secara bersama-sama dengan prestasi belajar mata kuliah KDK II