• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL STUDI KASUS DI KELURAHAN CURUG MEKAR, KOTA BOGOR RISNA WIDIASTUTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL STUDI KASUS DI KELURAHAN CURUG MEKAR, KOTA BOGOR RISNA WIDIASTUTI"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

PERKOTAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL STUDI

KASUS DI KELURAHAN CURUG MEKAR, KOTA BOGOR

RISNA WIDIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi Pemberdayaan

Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Kelembagaan Lokal : Studi Kasus Di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor adalah karya saya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2008

Risna Widiastuti NRP 153044195

(3)

RINGKASAN

RISNA WIDIASTUTI, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Kelembagaan Lokal : Studi Kasus di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor. (Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR sebagai Ketua, LUKMAN M. BAGA sebagai anggota komisi pembimbing).

Dalam rangka menanggulangi kemiskinan perkotaan diperlukan adanya penanganan secara sunguh-sungguh. Seiring dengan dinamika masyarakat pemerintah harus merubah paradigma pembangunan melalui pola pembangunan partisipasi, yaitu menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai subjek atau aktor pembangunan. Selain itu pembangunan haruslah berorientasi pada kemampuan sosial keluarga miskin. Untuk mengetahui program strategi pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan berbasis kelembagaan lokal di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor, maka perlu di lakukan hal-hal sebagai berikut, diantaranya : (1) Mengidentifikasi kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar. (2) Mempelajari pemberdayaan kelembagaan lokal yang bertujuan dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar. (3) Menelaah dan memilah fungsi kelembagaan lokal yang berperan dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar. Harapan yang diinginkan yakni kelembagaan lokal memiliki komitmen, berkelanjutan, memahami peran dan fungsi dalam melakukan manajemen kelembagaan lokal sebagai tahap awal penyusunan visi misi penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar.

Metoda Perancangan Program menggunakan analisa Road Map yakni dengan membagi periodisasi dalam dua fase. Fase pertama adalah fase pemahaman kolektif para subjek atau stakeholder penanggulangan kemiskinan. Fase kedua adalah fase penyusunan visi dan misi penanggulangan kemiskinan, melakukan monitoring dan evaluasi serta suatu harapan dirasakannya manfaat kelembagaan. Perumusan strategi menggunakan analisa SWOT. Input analisa SWOT adalah identifikasi faktor internal dan eksternal, tahap pencocokan dan pemanduan melalui metoda paired comparison, penentuan bobot, penentuan

(4)

rating dan penentuan skor yakni hasil kali antara bobot dan rating. Identifikasi apa kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar menggunakan Content Analysis serta melakukan pembobotan sederhana dengan menggunakan kategori permasalahan kemiskinan tinggi, sedang dan rendah terhadap kuesioner yang diajukan pada 18 kepala keluarga miskin. Untuk memperkaya identifikasi faktor internal dan eksternal perlu diketahui kesamaan persepsi subjek program melalui metoda partisipatif Diskusi Kelompok Terarah. Secara umum pendekatan penelitian adalah Deskriptif-Kualitatif dengan menekankan pada aspek empiris tanpa mengesampingkan data kuantitatif. Pengumpulan data meliputi Observasi, Studi Dokumentasi, termasuk Data Primer dan Data Sekunder terhadap responden keluarga miskin melalui penentuan Purposive Sampling dari Sampling Frame yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Penelitian ini dapat menjadi salah satu bagian kajian bagi kelembagaan lokal menuju pengelolaan kelembagaan lokal secara mandiri dan otonom, agar dapat mengambil peran dan fungsi dalam penanggulangan kemiskinan perkotaan sekaligus memperkaya pemahaman akan dinamika kehidupan khususnya keluarga miskin.

(5)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

PERKOTAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL : STUDI

KASUS DI KELURAHAN CURUG MEKAR, KOTA BOGOR

RISNA WIDIASTUTI

Tugas Akhir

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(7)

Judul Tugas Akhir : Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Kelembagaan Lokal : Studi Kasus di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor

Nama Mahasiswa : Risna Widiastuti Nomor Registrasi Pokok : A153044195

DISETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Dr. Ir. Aris Munandar, MS Ketua

Ir. Lukman M. Baga, MAEc Anggota

Ketua Program Studi Manajemen

Pembangunan Daerah Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Prof. Dr. Ir. Khairil. A. Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Kajian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pokok Bahasan yang dipilih berjudul “Strategi Pemberdayaan

Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Kelembagaan Lokal : Studi Kasus di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor“.

Beranjak dari keinginan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam menanggulangi kemiskinan yang masih menjadi prioritas Kota Bogor, penulis menuangkannya dalam kajian ini. Banyak kajian sebelumnya yang telah mengangkat topik yang sama, yaitu Penanggulangan Kemiskinan atau Pengentasan Kemiskinan. Namun demikian, kajian ini masih bermakna dan membawa manfaat. Kemiskinan hanya dapat ditangani dengan komitmen, kerja keras dan kebersamaan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Aris Munandar dan Bapak Lukman M. Baga atas bimbingannya selama pengajaran dan penyusunan kajian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Dosen dan staf administrasi Institut Pertanian Bogor atas dukungannya. Penulis sampaikan pula penghormatan yang tinggi kepada Ayah, Ibu, Mertua, suami tercinta Munir Wahyudi, kakak-kakak dan adik-adik tersayang atas ketulusan kasih sayang dan motivasinya, juga tidak lupa atas kebersamaan dalam cita dan transfer pikiran positif bersama rekan-rekan Angkatan V Bogor dengan semangat kebersamaan dan berkelanjutan untuk mengimplementasikan ilmu yang diperoleh dalam berbagai bentuk aktualisasi. Ucapan terimakasih pula penulis sampaikan tidak terhingga kepada Bapak H. Diani Budiarto, Bapak. Indra M. Roesli, Hj. Euis Rochayati, seluruh alumnus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri juga pada tim Kelurahan Curug Mekar akan ilmu zuhud tersebut.

Besar harapan penulis kajian ini bermanfaat untuk meningkatkan suksesi Penanggulangan Kemiskinan khususnya penerapan Local Institutions dan Governance Reform Pemerintah Daerah Kota Bogor.

Bogor, Januari 2008

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor dari ayah R. Tata Darmawan Sastrawinata dan Ibu Neneng Yuhena pada 02 Oktober 1980. Penulis menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pengadilan I Kota Bogor Tahun 1993, selanjutnya meneruskan pendidikan menengah pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Kota Bogor Tahun 1995. Pada Tahun 1998 penulis menamatkan sekolah lanjutan atas pada Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Kota Bogor. Selang satu tahun kemudian penulis diterima sebagai Praja pada Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Departemen Dalam Negeri dan lulus pada Agustus Tahun 2003. Keinginannya untuk menuntut ilmu mengantarkannya bergabung bersama rekan mahasiswa Strata - 2 Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak masa kerja Oktober Tahun 2003, penulis ditempatkan pada Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor dan pada September 2006 penulis ditempatkan sebagai Sekretaris Lurah Kelurahan Curug Mekar sampai tahun 2008.

Penulis menikah dengan Munir Wahyudi, SE, MM pada 16 Januari 2007 dan bertekad ingin terus mengaktualisasikan diri dan memberikan sumbang pikiran bagi program pembangunan, suksesi Penanggulangan Kemiskinan khususnya penerapan Local Institutions dan Governance Reform Pemerintah Daerah Kota Bogor.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Kemiskinan... 10

2.1.1. Pengertian Kemiskinan ... 11

2.1.2. Aspek Kemiskinan ... 12

2.1.3. Ragam, Macam dan Pembedaan atas Kemiskinan... 14

2.1.4. Faktor-Faktor Kemiskinan ... 15

2.1.5. Kategori Waktu dalam Konteks Kemiskinan... 16

2.2. Pemberdayaan... 17

III. METODOLOGI KAJIAN... 19

3.1. Kerangka Pemikiran ... 19

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ... 20

3.2.1. Lokasi Kajian ... 20

3.2.2. Waktu Kajian ... 21

3.3. Metode Penelitian ... 21

3.3.1. Desain, Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling ... 21

3.3.2. Metode Pengumpulan Data ... 23

3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

3.4. Metode Perancangan Program... 28

3.4.1. Analisis SWOT ... 28

(11)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 38

4.1. Visi dan Misi ... 38

4.2. Program ... 38

4.3. Batas Wilayah Kelurahan Curug Mekar... 40

4.4. Bidang Pemerintahan dan Pelayanan ... 40

4.5. Kondisi Fisik Kelurahan Curug Mekar ... 41

4.6 Potensi Sumberdaya Manusia... 42

4.7. Potensi Kelembagaan Kelurahan... 46

V. POTENSI INTERNAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELURAHAN CURUG MEKAR ... 47

5.1. Pemberdayaan Bidang Pendidikan ... 47

5.1.1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ... 47

5.1.2. Taman Kanak-Kanak Yayasan Penyantun Cijahe / YPC .. 48

5.2. Pemberdayaan Bidang Kesehatan ... 48

5.2.1. Kebidanan ... 48

5.2.2. Kader Posyandu ... 49

5.3. Pemberdayaan Bidang Keagamaan ... 49

5.4. Pemberdayaan Bidang Ekonomi ... 51

5.5. Pemberdayaan Bidang Fisik/Sarana melalui Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) / CSR... 52

5.5.1. PT. Inti Innovaco... 52

5.5.2. Radar Bogor ... 52

5.5.3. Warga Mampu ... 52

5.5.4. Pertamina... 53

VI. POTENSI EKSTERNAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELURAHAN CURUG MEKAR ... 55

6.1. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kota Bogor ... 55

6.1.1. Visi dan Misi ... 55

6.1.2. Kebijakan ... 55

6.2. Kegiatan dalam Aspek Fasilitas Pendidikan ... 56

(12)

6.2.2. Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS)... 57

6.3. Kegiatan dalam Aspek Fasilitas Kesehatan... 58

6.3.1. Program Pelayanan Rujukan Keluarga Miskin ... 58

6.3.2. Pelayanan Keluarga Berencana Keluarga Miskin... 58

6.3.3. Pemberdayaan Beras Miskin... 59

6.4. Kegiatan dalam Aspek Fisik atau Sarana Lingkungan melalui Rumah Tidak Layak Huni ... 61

6.5. Fasilitas Pelayanan Pemerintahan ... 62

6.6. Kegiatan dalam Aspek Ekonomi ... 63

6.6.1 PROKSIMANTAP... 63

6.6.2. Pengembangan Budi Daya Kambing Peranakan Etawa (PE, Domba dan Pengolahan Produk Samping Peternakan ... 64

6.6.3. Kegiatan Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi Keluarga Miskin (KUBE GAKIN)... 65

6.6.4. Pelatihan Ketenagakerjaan 12 Paket bagi Keluarga Miskin ... 66

6.6.5. Pemberdayaan Usaha Makanan Minuman Keluarga Miskin ... 66

6.7. Tanggung Jawab Sosial Badan Amil Zakat dan Shodaqah (BAZ) Kota Bogor ... 67

VII. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 69

7.1. Hasil Content Analysis... 69

7.1.1. Kecenderungan Kata Kunci dalam Batasan Kemiskinan... 69

7.1.2. Kecenderungan Frekuensi dalam Batasan Kemiskinan ... 71

7.1.3. Pemetaan Kebutuhan Keluarga Miskin... 71

7.2. Kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar... 72

7.3. Hasil Diskusi Kelompok Terarah ... 74

7.3.1. Kemitraan ... 74

7.3.2. Potensi-potensi Internal dalam Pemberdayaan ... 75

7.3.3. Kesepakatan dalam Kemitraan... 75

7.3.4. Perumusan Program dan Kegiatan Kelembagaan Lokal.... 78

VIII PERUMUSAN ALTERNATIF STRATEGI PEMBERDAYAAN

(13)

KELEMBAGAAN LOKAL DI KELURAHAN CURUG MEKAR KOTA BOGOR...

8.1. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ... 81

8.1.1. Identifikasi Faktor Internal... 81

8.1.2. Identifikasi Faktor Eksternal ... 84

8.2. Tahap Pencocokan dan Pemanduan ... 87

8.2.1. Penentuan Nilai Bobot Faktor Internal dan Eksternal... 87

8.2.2. Penentuan Rating Faktor Internal dan Eksternal... 88

8.2.3. Penentuan Skor atau Nilai Terbobot Faktor Internal dan Eksternal... 89

8.3. Tahap Pencocokan melalui Matriks SWOT ... 95

8.3.1. Strategi Strengths – Opportunities (S-O) ... 97

8.3.2. Strategi Weakness – Opportunities (W-O)... 100

8.3.3. Strategi Strengths – Threats (S-T) ... 101

8.3.4. Strategi Weakness – Threats (W-T) ... 103

IX PROGRAM STRATEGI DAN MAPPING PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL DI KELURAHAN CURUG MEKAR, KOTA BOGOR... 105

9.1. Program Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Kelembagaan Lokal di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor ... 105

9.2. Mapping Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan Berbasis Kelembagaan Lokal di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor. ... 112

X. KESIMPULAN DAN SARAN... 118

10.1. Kesimpulan ... 118

10.2. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 2006 ... 13

2. Data Primer yang Diteliti dan Sumber Data... 23

3. Data Sekunder yang Diteliti dan Sumber Data ... 24

4. Skoring Terendah dan Tertinggi... 27

5. Bentuk Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Wilayah ... 30

6. Bentuk Penilaian Bobot Faktor Strategis Ekternal Wilayah ... 31

7. Bentuk Matriks IFE ... 31

8. Bentuk Matriks EFE ... 34

9. Matriks SWOT ... 35

10. Jenis dan Jumlah Pelayanan Kelurahan Curug Mekar Tahun 2005 ... 41

11. Data Sarana Pendidikan Kelurahan Curug Mekar Tahun 2006 ... 43

12. Peruntukan Dana Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) Tahun 2006 ... 57

13. Karakteristik Sosio Demografis 18 Rumah Tangga Miskin ... 80

14. Matriks Gabungan Penentuan Nilai Bobot Faktor Internal... 87

15. Matriks Gabungan Penentuan Nilai Bobot Faktor Eksternal ... 88

16. Matriks Internal Factor Evaluations (IFE Matrix) ... 89

17. Matriks Eksternal Factor Evaluations (EFE Matrix)... 93

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Level Kewenangan dalam Pengambilan Keputusan ... 4

2. Daya Dukung Pedesaan atau Kelurahan ... 5

3. Kerangka Pemikiran ... 19

4. Indikator Penelitian ... 20

5. Jumlah Rumah Menurut Unsur Rumah... 42

6. Penduduk Menurut Pendidikan ... 42

7. Penduduk Berdasarkan Jumlah Jenis Kelamin Tahun 2005 ... 44

8. Struktur Penduduk di Kelurahan Curug Mekar Tahun 2005 ... 45

9. Struktur Organisasi PAUD Al-Barokah ... 47

10. Alur Kebijakan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan... 56

11. Skema Pelayanan Kesehatan Dasar Keluarga Miskin... 58

12. Mekanisme Penyaluran Alat Kontrasepsi Berdasarkan Permintaan ... 59

13. Mekanisme Penyaluran Beras Miskin ... 60

14. Skema Kegiatan Pemberdayaan Beras Miskin... 61

15. Skema Penanganan Rumah Tidak Layak Huni ... 62

16. Alur Pelaksanaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi Keluarga Miskin... 66

17. Matriks Instrumen Strategi Terhadap Bahasa Program ... 109

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

1. Beberapa Pengertian Kemiskinan ... 126

2. Forum Focuss Group Discussion (FGD) ... 131

3. Content Analysis (CA) Eksplorasi Definisi Kemiskinan ... 132

4. Memutuskan Parameter Konsep Kemiskinan ... 136

5. Quesioner CA Untuk Pemetaan Kebutuhan ... 138

6. Frekuensi dan Persentase Frekuensi, Intensitas Skoring dan Unit yang diharapkan Berubah atas Pemetaan Kebutuhan ... 139

7. Kuesioner... 143

8. Pemberdayaan Kelurahan Curug Mekar, 2005-2006 ... 148

9. Matriks Potensi Indikator Kegiatan Kelembagaan Kelurahan Curug Mekar, 2005-2006 ... 149

10. Matriks Potensi Indikator Kegiatan APBD, 2006-2007... 151

11. Matriks Potensi Indikator Kegiatan Kelembagaan Kelurahan Curug Mekar, 2005-2006 dan APBD, 2006-2007 ... 154

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan isu sentral dan global. Sachs, (2005)1 dalam Kompas (2005) menyampaikan bahwa jumlah orang miskin di dunia mencapai 1.100.000.000 orang. Kemiskinan ekstrim yang terjadi menyebabkan 8.000.000 hingga 11.000.000 orang meninggal setiap tahun dan hal tersebut berarti 20.000 orang meninggal setiap harinya.

Program-program dan intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan ekstrim diantaranya Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4NK), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra - Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT).

Sejumlah indikator kemiskinan dikembangkan berbagai sektor, departemen dan instansi dalam memperhatikan program dan intervensi tersebut. Demikian banyaknya indikator kemiskinan di satu sisi menunjukkan besarnya perhatian berbagai pihak terhadap masalah kemiskinan, tetapi di sisi lain menimbulkan berbagai kerancuan dan mengarah pada suatu ketidakselarasan antar program.

1

(18)

Akibatnya, beberapa pihak menilai antar program tersebut didalam prakteknya bukan menghasilkan sinergi, tetapi justru menimbulkan dampak saling melemahkan atau kontraproduktif (Saefuddin, 2003). Bahkan strategi pembangunan yang diterapkan tidak mempengaruhi apapun bagi kesejahteraan, sebaliknya, malah membuat masyarakat semakin sengsara (Strahm, 1999).

Terdapat beberapa pandangan yang memberikan alasan penyebab program kurang berdampak dalam mengurangi kemiskinan. Pertama, Namba (2003) berpandangan bahwa program kurang mempertimbangkan aspek ekosistem suatu wilayah. Padahal kemiskinan yang disebabkan situasi ekosistem persoalannya makin kompleks dan lebih sulit diatasi. Kedua, Soemardjo (2003) menggunakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia sebagai pendekatan pembangunan, kemiskinan artinya sama dengan ketidaksejahteraan, dimana pada tingkat yang paling dasar kesejahteraan manusia yang beradab tersebut, paling tidak, manusia harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Apabila kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, merupakan kondisi tingkat aman pertama dalam kesejahteraan manusia, dan belum beranjak pada tingkatan sejahtera secara keseluruhan (ADB, 1999).

Ketiga, masih lemahnya kesinambungan penyediaan dana dan pengembangan kualitas sumber daya masyarakat, sehingga masyarakat tidak berkembang keswadayaanya untuk menjadi mandiri bahkan beberapa kasus ditemukan timbulnya persepsi pada sasaran program, bahwa yang namanya program bantuan adalah sesuatu yang disamakan dengan hibah (Saefuddin, 2003). Keempat, Nasdian (2005) menambahkan bahwa di satu sisi upaya pengembangan sumber daya manusia miskin memerlukan relevansi dengan pembangunan

(19)

kelembagaannya pula. Masih dalam kondisi yang sama, faktanya perilaku manusia itu sendiri yang tenyata kurang kondusif bagi upaya mewujudkan kesejahteraan mereka bersama, baik secara individu, keluarga maupun masyarakat, sehingga menyebabkan mereka sangat beragam dalam mewujudkan tingkat kesejahteraannya.

1.2. Perumusan Masalah

Paradigma kemiskinan bergeser menjadi subject to subject (Nasdian, 2005). Artinya bahwa dalam penanganan kemiskinan perlu lebih melibatkan penduduk miskin sebagai subjek pembangunan dan diharapkan penanggulangan kemiskinan nantinya dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat (Muchtar, 2006). Selanjutnya kesejahteraan memerlukan beberapa perhatian. Pertama ruang lingkup masyarakat adalah sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Kedua kemandirian merupakan bentuk sistem kerjasama yang bersifat interdependen, sinergis dan bersistem.

Ketiga kemiskinan memiliki dimensi dinamis dan berkelanjutan secara mandiri. Keempat krisis ditempatkan sebagai sesuatu yang mengganggu dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam lingkup luasan dan waktu yang secara substansial membahayakan dan menjauhkan dari pencapaian kesejahteraan dan kelima kesejahteraan yang adil diartikan tercapainya keseimbangan antara kesempatan, kontribusi dan imbalan yang dapat diraih oleh setiap pihak dalam bermasyarakat.

(20)

Uphoff (1986) membedakan istilah ’local’ berdasarkan atas kewenangan dalam pengambilan keputusan sebagaimana pada Gambar 1. terlihat bahwa level kewenangan dalam pengambilan keputusan sebuah kelembagaan lokal pada lingkup garis putus-putus, yakni locality level, Community Level, dan Group Level.

International Level National Level

Regional (State or provincial) level District Level

Sub Distric Level

(e.g. taluk in india or thana in bangladesh Locality Level

(a set of communties having cooperative/commercial relations; This level may be the same as the sub distric level

Where the sub district center is a market town) Community Level

(a relatively self contained, socio-economic-residential unit) Group Level

(a self-identified set of persons having some common interest; May be a small residential group like a hamlet, or neighborhood, An occupational group, or some ethnic, caste, age, sex or other grouping)

Household level Individual Level LO C A L LE V E LS

Gambar 1. Level Kewenangan dalam Pengambilan Keputusan Sumber : Uphoff, 1986

Gambar 1 menunjukan urutan terdiri atas international level, national level, regional/state level (Provinsi/Kota/Kabupaten), distric level (Kecamatan), sub distric level (Desa/Kelurahan), termasuk diantaranya locals level yakni locality level (dusun), community level (rukun warga), group level (rukun tetangga) hingga household level (keluarga batih) dan tingkatan terkecil yakni individual level (individu).

Area aktivitas institusi lokal dalam suatu desa atau kelurahan di bagi ke dalam beberapa fungsi. Fungsi tersebut terdiri dari 7 (tujuh) unit fungsi yakni

(21)

infrastruktur pedesaan, manajemen sumber daya alam, manajemen sumber daya manusia, pengembangan teknologi dan pemanfaatannya, teknologi pertanian, pengembangan sektor non pertanian, dan fasilitasi kredit. Pada Gambar 2. terlihat bahwa institusi lokal dibedakan atas administrasi lokal, pemerintahan lokal, keanggotaan dalam organisasi, kelompok usaha, kelompok jasa dan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, barang dan atau jasa.

Rural Infrastructure Natural Resource Management Tecnology Generation / Dissemination Agricultural Improvement Non-Agricultural Improvement Credit Human Resource Development

Gambar 2. Daya Dukung Pedesaan atau Kelurahan Sumber : Uphoff, 1986

Departemen Dalam Negeri, (2003)2 membagi potensi kelurahan/desa kedalam empat lingkup, diantaranya potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, potensi kelembagaan, dan potensi sarana dan prasarana. Selanjutnya potensi kelembagaan kelurahan terbagi atas lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, lembaga politik, lembaga ekonomi, lembaga pendidikan dan lembaga keamanan maka melalui rujukan normatif tersebut penulis mencoba

2

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 414.3/316/PMD tanggal 17 Februari 2003 tentang Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan. Propinsi Jawa Barat. 2005

(22)

mengelompokannya dan mempelajari kelembagaan tersebut didalam wilayah Kelurahan Curug Mekar.

Variabel kajian pembangunan daerah meliputi definisi kemiskinan perkotaan. Salah satu instansi yang mengulas kemiskinan perkotaan adalah Departemen Pekerjaan Umum. Ditjen Cipta Karya, (2006) mengatakan bahwa ulasan mengenai penanggulangan kemiskinan perkotaan lebih menekankan pada permasalahan kebutuhan fisik dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia dan sosial serta permasalahan ekonomi produktif.

Kemiskinan perkotaan memiliki beberapa bentuk kegiatan diantaranya penyaluran bantuan langsung masyarakat (BLM), untuk membiayai kegiatan sosial kemasyarakatan, pendayagunaan, dan pengembangan prasarana dan sarana lingkungan serta pengembangan ekonomi lokal. Selanjutnya, kemiskinan perkotaan dalam sudut pandang Kota Bogor merupakan permasalahan yang menjadi prioritas pembangunan. Kemiskinan masuk dalam empat besar permasalahan yang dihadapi Kota Bogor 2004 - 2009.

Variabel kajian pembangunan daerah mencakup lingkup Kelurahan di Kota Bogor dan Kelurahan Curug Mekar merupakan satu dari 68 Kelurahan di Kota Bogor. Kelurahan Curug Mekar merupakan kelurahan sasaran penanggulangan kemiskinan dalam konteks kewilayahan. Kelurahan Curug Mekar memiliki kontribusi 1,27% dari 41.487 kepala keluarga miskin Kota Bogor. Data kemiskinan Kota Bogor (BPS, 2006). Artinya 526 kepala keluarga miskin menempati juga 20% dari hampir 2.000 jumlah kepala keluarga Kelurahan Curug

(23)

Mekar. Indikator tersebut akan memberikan predikat ’Kelurahan Miskin’3 bagi Kelurahan Curug Mekar.

Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat hal yang perlu dipertimbangkan (Suharto, 2003). Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik keluarga miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan keluarga miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (sosial capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan, keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic need fulfillment), mengelola aset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to social capital) serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).

Makmun (2003), menyatakan bahwa kondisi lokalitas perlu dipahami sebagai hal yang khusus karena berkaitan dengan penyusunan kriteria kemiskinan, pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah dan upaya – upaya penanggulangan kemiskinan secara lebih objektif dan tepat sasaran. Maka

3

Kelurahan Miskin adalah kelurahan yang persentase jumlah penduduk miskinnya mencapai lebih atau sama dengan 20 persen dari total penduduk kelurahan yang bersangkutan. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 414.3/316/PMD tanggal 17 Februari 2003 tentang Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan.

(24)

pertanyaan spesifik penelitian adalah bagaimanakah gambaran kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar ?

Pada dasarnya rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan bersumber pada sistem kelembagaan sosial, terutama pada masyarakat yang memiliki sistem kelembagaan lokal dengan kontrol sosial yang ketat. Dalam situasi seperti itu pada umumnya masyarakat memperlihatkan partisipasi internal yang tinggi. Partisipasi ini menunjuk pada wujud kesetiaan terhadap norma yang berlaku dalam sistem sosial. Keadaan ini sudah tentu dapat menyebabkan rendahnya partisipasi, apabila program-program tertentu menurut pandangan mereka tidak selaras dengan sistem norma dan kelembagaan yang ada (Soekartawi, Abdurrahman dan Mustafa, 2002).

Penanganan kemiskinan perlu lebih banyak melibatkan penduduk miskin sebagai subjek pembangunan dan diharapkan kemiskinan nantinya dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat (Muchtar, 2006). Aspek penting yang perlu dilakukan oleh dan dengan pemberdayaan kelembagaan lokal adalah dalam menentukan atau mengevaluasi ketidaksejahteraan atau kemiskinan (poverty assesments) (Saefuddin, 2003). Pertanyaan spesifik penelitian berikutnya adalah mempelajari pemberdayaan kelembagaan lokal mana sajakah yang berperan dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar ?

Juoro (1985) berpandangan bahwa pembangunan merupakan suatu strategi yang dirancang guna memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi keluarga miskin maka usaha untuk memeratakan pendapatan dituntut adanya perbaikan kelembagaan. Soekartawi (1990) mengungkapkan aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga segi

(25)

ekonomi desa/kelurahan. Berkaitan ulasan dimuka maka pertanyaan yang akan dipaparkan pada penelitian ini adalah bagaimanakah fungsi kelembagaan tersebut berjalan dan bagaimana kelembagaan tersebut mengambil peran dalam penanggulangan kemiskinan ?

Identifikasi kemiskinan merupakan aspek penting yang perlu dilakukan oleh lembaga lokal. Kelembagaan lokal juga merupakan sebuah wahana penting dalam proses belajar masyarakat. Eksistensi, fungsi dan kesiapannya merupakan salah satu tahapan dalam penanggulangan kemiskinan. Identifikasi kemiskinan, aktivitas pemeduli kelembagaan lokal, strategi dan mapping dalam Road Map merupakan persiapan kelembagaan dalam mengoperasionalisasikan tahapan penanggulangan kemiskinan. Maka yang menjadi pertanyaan pokok dalam kajian ini adalah bagaimanakah rancangan program strategi pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan berbasis kelembagaan lokal di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian

Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan sebelumnya maka beberapa hal yang menjadi tujuan dalam kajian ini adalah :

1. Mengidentifikasi apakemiskinan di Kelurahan Curug Mekar.

2. Mempelajari pemberdayaan kelembagaan lokal yang berperan dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar.

3. Menelaah fungsi kelembagaan lokal yang berperan dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar.

(26)

Berdasarkan tujuan kajian dimuka besar harapan penulis kajian pembangunan daerah ini dapat bermanfaat bagi :

1. Pemerintah, Masyarakat dan Organisasi Non Pemerintah

Memberi masukan kepada Pemerintah, Masyarakat dan Organisasi Non Pemerintah dalam memahami masyarakat miskin.

2. Penulis :

Sebagai bentuk aktualisasi diri dan wahana akademis menerapkan ilmu yang diperoleh dan dalam memahami dinamika kehidupan kehidupan, khususnya penanggulangan kemiskinan secara swadaya.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya–sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, (Makmun, 2003). Berikut adalah beberapa karakteristik kemiskinan :

1. Dinas Sosial, (2005) : kemiskinan adalah pertama, mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Kedua, mereka yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Ketiga, mereka yang termasuk kelompok marginal yang berada disekitar garis kemiskinan.

2. BKKBN : Pertama, tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. Kedua, seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari. Ketiga, seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja, sekolah dan bepergian. Keempat, bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. Kelima, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

3. BPS : Suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori perkapita per hari.

4. Bank Dunia : Keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan $2/hari.

(28)

2.1.2. Aspek Kemiskinan

Empat dimensi pokok kemiskinan (lokal maupun nasional) menurut Makmun (2003) pertama, kurangnya kesempatan (lack of opportunity), kedua rendahnya kemampuan (low of capabilities), ketiga kurangnya jaminan (low-level of security) keempat ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment).

Selanjutnya Narhetali (2003) mengutip hasil penelitian tentang kemiskinan yang dilakukan Yeates dan Mc. Laughin (Bank Dunia, 2000) yang menyatakan bahwa orang miskin mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan, konsumsi, pendidikan dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan faktor psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlessness) serta pengucilan fisik dan sosial sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa bagi orang, kelompok, komunitas, masyarakat miskin, ternyata peningkatan pendapatan bukanlah satu-satunya hal yang amat penting, tetapi perlakuan humanis penuh harga diri, self-respect juga merupakan sesuatu yang amat bernilai.

Sumardjo (2003) mengatakan bahwa terdapat dua kategori kondisi masyarakat yaitu kategori kondisi fenomena kehidupan masyarakat miskin karena ketidakmampuannya meraih aset usaha produktif, yang kedua kondisi fenomena kehidupan masyarakat miskin karena ketidakberdayaannya secara ekonomi, fisik atau ketidakberdayaan mental atau kategori the poorest of the poor.

Sumodiningrat (2002) menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum dapat ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness).

(29)

Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat.

Ciri-ciri orang miskin menurut Salim, (1980) yaitu umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal atau keterampilan; tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri; tingkat pendidikan rata-rata rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar; kebanyakan tinggal di perdesaan, umumnya menjadi buruh tani atau pekerja kasar diluar pertanian; kebanyakan yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan (skill) atau pendidikan.

Meskipun banyak terminologi mengenai kemiskinan, tetapi secara umum dapat dinyatakan bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang serba kekurangan. Kondisi serba kekurangan tersebut bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif, atau secara relatif didasarkan pada perbandingan dengan orang lain, sehingga melahirkan pandangan objektif, subjektif dan relatif tentang kemiskinan.

Menurut Nurkse (1953) menjelaskan bahwa aspek-aspek kemiskinan penduduk yang meliputi aspek sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama disebabkan oleh terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi tampak pada terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemah mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada.

(30)

Berdasarkan aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik terkait dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.

Soemardjo (2003) menyampaikan salah satu cara mengidentifikasi kemiskinan adalah metode garis kemiskinan yaitu suatu tolok ukur yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampaui ukuran garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan (perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang dan jasa). Tabel 1 memberikan contoh bahwa ukuran tersebut terdiri atas makanan dan bukan makanan perkotaan pada garis total Rp 175.324 Sejalan pada batasan yang dikemukakan UNDP 1997 dalam Cox, (2004) bahwa seseorang dikatakan miskin jika tingkat pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan.

Tabel 1. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 2006 Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)

Daerah/Tahun Makanan Bukan Makanan Total Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk miskin Perkotaan Februari 2005 103.992 46.807 150.799 12.40 11.37 Maret 2006 126.527 48.797 175.324 14.29 13.36 Perdesaan Februari 2005 84.014 33.245 117.259 22.70 19.51 Maret 2006 103.180 28.076 131.256 24.76 21.90 Kota+Desa

(31)

Februari 2005 91.072 38.036 129.108 35.10 15.97 Maret 2006 114.619 38.228 152.847 39.05 17.75 Sumber : BPS, 2006

2.1.3. Ragam, Macam dan Pembedaan atas Kemiskinan

Nurkse (1953) membedakan kemiskinan menjadi tiga pengertian. Pertama, Kemiskinan Absolut dimana hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum (pangan, sandang, kesehatan, papan). Kedua, Kemiskinan Relatif dimana seseorang yang telah hidup diatas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Dan ketiga, Kemiskinan Kultural yang berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

Max Neef dalam Zikrullah (2000), mengungkapkan sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu :

a. Kemiskinan Subsitensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal;

b. Kemiskinan Perlindungan, lingkungan buruk, (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan

(32)

hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan;

c. Kemiskinan Partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas;

d. Kemiskinan Identitas, terbatasnya pembauran antara kelompok sosial, terfragmentasi dan

e. Kemiskinan Kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas.

Hendrakusumaatmaja (2002) berpendapat bahwa gejala kemiskinan dapat dicirikan oleh tiga hal. Pertama, rendahnya penguasaan aset dimana skala usaha tidak efisien dan mengakibatkan produktivitas menjadi rendah. Kedua, rendahnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kepemilikan atau penguasaan aset dan ketiga, rendahnya kemampuan dalam mengelola aset.

2.1.4. Faktor-Faktor Kemiskinan

Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor–faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.

Faktor eksternal misalnya kebijakan pembangunan yang keliru temasuk dalam faktor eksternal serta korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi

(33)

anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal. Makmun (2003) berpendapat faktor kemiskinan secara internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya. Sulekale (2003) menambahkan dengan faktor keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos kerja yang rendah. Lantas secara eksternal, kemiskinan merupakan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi misalnya etos kerja yang rendah dari penduduk asli dihadapkan pada etos kerja tinggi penduduk pendatang apabila dalam prosesnya mengalami interaksi fungsional dan berkepanjangan akan memunculkan gejala kemiskinan. Isu kemiskinan yang berkenaan dengan hal ini adalah terjadinya kesenjangan penguasaan aset ekonomi antara pendatang dengan penduduk asli (Namba, 2003).

Faktor-faktor internal juga dapat dipicu munculnya oleh faktor eksternal. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Krisis ekonomi berimplikasi pada turunnya investasi, Putus Hubungan Kerja (PHK) naik akibat faktor produksi mengalami efisiensi, kerugian PHK adalah daya beli turun karena tidak ada pendapatan, maka dampak terbesar adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) turun (faktor internal). Rupiah turun

(34)

berimplikasi pada penurunan produksi barang (faktor eksternal). Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.

2.1.5. Kategori Waktu dalam Konteks Kemiskinan

Makmun (2003) menyatakan bahwa kemiskinan dapat bersifat :

1. Persistent Poverty yakni kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun umumnya menimpa wilayah yang memiliki sumber daya alam yang kritis dan atau terisolasi;

2. Cyclical Poverty yakni kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan;

3. Seasonal Poverty yakni kemiskinan musiman seperti yang terjadi pada usaha tani tanaman pangan dan nelayan;

4. Accidental Poverty yakni kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

2.2. Pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) merupakan konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa. Pranaka dan Moeljarto (1996) berpendapat bahwa konsep pemberdayaan mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an atau akhir abad ke-20.

(35)

Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pembangunan digunakan dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia. Perspektif pembangunan ini menyadari betapa pentingnya kapasitas manusia dalam rangka meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial melalui redistribusi modal atau kepemilikan.

Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan didefinisikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri dari lingkungannya (Payne, 1997).

Ife (1995) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka, menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka.

Bersinggungan dengan hal tersebut Sutrisno (2000) menjelaskan dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada pemilihan, perencanaan, pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh pemerintah.

(36)

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Saefuddin (2003) menegaskan bahwa aspek penting yang perlu dilakukan oleh dan dengan pemberdayaan kelembagaan lokal adalah dalam menentukan atau mengevaluasi ketidaksejahteraan atau kemiskinan (poverty assesments). Dalam mengidentifikasi kemiskinan dengan cara mengambarkan kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar akan membantu fungsi kelembagaan lokal, sebagaimana Makmun (2003) bahwa kondisi lokalitas perlu dipahami sebagai hal yang khusus karena berkaitan dengan penyusunan kriteria kemiskinan, pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah dan upaya–upaya penanggulangan kemiskinan secara lebih objektif dan tepat sasaran.

Secara skematis, kerangka pemikiran tersaji pada Gambar 3.

Status Quo Kondisi Saat Ini Kemiskinan/ Miskin ??

Gambaran Kemiskinan

Pemberdayaan Kelembagaan Lokal 1. Mempelajari 2. Menelaah/Memilah 3. Kemitraan 4. Kekuatan 5. Kesepakatan pelaku Analisa Lingkungan Internal Analisa Lingkungan Eksternal REVIEW Perubahan yang harus dilalui Untuk mencapai kondisi yang diinginkan

Yang harus dikembangkan Untuk mencapai kondisi yang diinginkan

Kompetensi dan Peran Peluang Troika

STRATEGI Strengths-Opportunities Weakness-Opportunities Strengths-Threats Weakness-Threats Road Map :

Pendekatan Arsitektur Strategik

1. Keterlibatan pelaku (Norma, bentuk, dll) 2. Adaptasi Sebuah Arsitektur Strategik

Fase 1 Pemahaman Kolektif Subjektor

Fase 2 Visi Misi, Manfaat Lembaga Arsitektur Strategik Program Kerja/ Strategi/ Aktivitas Lingkup Penelitian

(37)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Gambar 4. menunjukan struktur penelitian yang meliputi tahap input, proses dan output yang dibutuhkan dalam penelitian.

PEMBERDAYAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN

T 1 T 2 T 3 T 4

Input

Output Proses

Pemberdayaan berbasis Kelembagaan Lokal dalam beberapa aktivitas Matriks potensi internal dan

eksternal penanggulangan kemiskinan perkotaan Menemukenali :

• Eksistensi Lembaga • Aspek tujuan lembaga • Kemitraan yang terjadi • Karakteristik/Kriteria Pemanfaat

• Fase yang berlangsung (perintisan, penumbuhan atau penguatan)

Identifikasi Kemiskinan dalam kerangka konseptual: • Permasalahan Kemiskinan dengan kategori ‘sedang’ • Kemiskinan Relatif • Cyclical Poverty (Memberikan Identitas)

• IFE dan EFE Analysis • Analysis SWOT • Analisis Road Map Focuss Group Discussion

(FGD) dengan memperhatikan : • Kelompok Sasaran • Memahami Karakteristik • Mencermati Kriteria • Peran Kelembagaan • Nilai yang dianut • Kemitraan • Tabulasi Data dengan

memperhatikan aspek kemiskinan dan value pemberdayaan. Content Analysis (CA) :

• Langkah 3 CA (Frekuensi dan Parameter) • 93 Kategori dalam Batasan Kemiskinan. • 190 jumlah kata kunci

• Output Tujuan 3 / T 3 Output

• Output Tujuan 2 / T 2 Output.

• Pemkot : TPK • Pelaku (Server Data) • Gakin

• Data Sekunder • Observasi • Dokumentasi

Dalam Kerangka Konseptual: • Aspek Kemiskinan • Konsep, Batasan, Teori

Kemiskinan

• Menggunakan Indikator Komposit BPS

• Data Sekunder, Observasi / Dokumentasi

• Kuesioner 18 gakin

Gambar 4. Indikator Penelitian

3.2. Lokasi dan Waktu Kajian 3.2.1. Lokasi Kajian

Kajian ini dilaksanakan di Kelurahan Curug Mekar. Cakupan kegiatan Kajian Pembangunan Daerah ini adalah potensi internal kelembagaan yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan.

Pemilahan daerah kajian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut antara lain : (1) Kelurahan Curug

(38)

Mekar memiliki kecenderungan berpredikat ’Kelurahan Miskin’ (Depdagri, 2003), (2) Ketersediaan dan kemudahan memperoleh data kajian.

3.2.2. Waktu Kajian

Waktu Kajian mulai bulan September 2006 s/d Mei 2007.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini bermaksud mendapatkan gambaran nyata kelembagaan lokal sebagai basis penanggulangan kemiskinan perkotaan, secara sistematis dan faktual di lapangan, serta kecenderungan pencapaian hasil program, oleh karena itu jenis penelitian ini adalah deskriptif - kualitatif dan evaluatif sifatnya.

Penelitian ini menyajikan gambaran secara detail dari sebuah situasi dan atau social setting (Newman, 1997) sesuai dengan Danim (2002) pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata (kata kunci), gambar dan bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Data dimaksud meliputi transkip wawancara, catatan dan lapangan, foto-foto, dokumen pribadi, nota dan catatan lain-lain. Atas alasan itulah dipilihnya pendekatan kualitatif-deskriptif.

3.3.1. Desain, Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling

Kemiskinan yang akan digambarkan dalam penelitian ini adalah kemiskinan menurut keluarga miskin. Gambaran kemiskinan diperoleh dengan mengajukan kuesioner dengan sifat tertutup artinya telah disediakan jawaban pasti. Variasi jawaban memperlihatkan intensitas gambaran kemiskinan yakni

(39)

dalam kondisi tingkat permasalahan kemiskinan ’tinggi’, ’sedang’ dan ’rendah’. Kuesioner penelitian sebagai data primer diperoleh setelah peneliti merangkum keseluruhan kata kunci dalam telaahan pustaka definisi kemiskinan dengan menggunakan 6 (enam) parameter metode Content Analysis (CA).

Kemiskinan tidak hanya merupakan aspek permasalahan dalam sudut pandang keluarga miskin. Pemerintah, kelompok pemerhati dan masyarakat mampu sebagai pelaksana yang memiliki kepentingan dalam penanggulangan kemiskinan juga memiliki pendapat. Manajemen penanggulangan kemiskinan mengisyaratkan mutlak adaya proses looping dalam memahami kemiskinan. Untuk itulah pandangan stakeholder penanggulangan kemiskinan dirumuskan dalam analisis SWOT.

Informan dalam penelitian ini dilakukan secara beragam yakni purposive sampling (sampling bertujuan). Artinya sampel dipilih dari sampling frame yaitu keluarga miskin yang telah diidentifikasi dan ditetapkan oleh Kelurahan. Keluarga miskin diberikan pilihan menggambarkan kemiskinan versi mereka secara pribadi (digunakan data 18 keluarga miskin yakni satu keluarga miskin per RT).

Stratified Random Sampling digunakan untuk melakukan tahap pemanduan IFE dan EFE Matriks kepada tingkatan sektor pelaksana upaya penanggulangan kemiskinan dengan pertimbangan informan mengetahui secara baik pelaksanaan program. Enam informan adalah Bapeda, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Bagian Sosial, Kecamatan dan kelurahan. Sedangkan informan Focus Group Discussion direkam pada saat rembug warga tingkat RW berlangsung yakni dihadiri Bapeda, Forum BKM tingkat Kota, Forum LPM

(40)

tingkat Kota, Kelurahan, BKM tingkat kelurahan, LPM tingkat kelurahan, Tokoh Masyarakat dan Perwakilan Warga Miskin.

3.3.2. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui bentuk kuesioner terstruktur, dan tahapan identifikasi, tahapan pencocokan dan pemanduan dan tahap pencocokan melalui matriks SWOT serta tahap mapping strategy dengan menggunakan Road Map Analysis. Tabel 2. menunjukan data primer yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian yakni kuesioner untuk memperoleh identitas kemiskinan, kuesioner menyusun dan penentuan paired comparison, nilai bobot dan nilai rating. Selanjutnya pengayaan terhadap tahap masukan identifikasi faktor internal dan eksternal melalui FGD serta kuesioner identifikasi faktor SWOT, serta tahap pemanduan melalui IFE dan EFE Matriks.

Tabel 2. Data Primer yang Diteliti dan Sumber Data

No Jenis Data/Informasi Sumber Data

1. Kuesioner identifikasi kemiskinan Kategori Soal (92)

Kata Kunci (190)

Parameter Pemetaan Kebutuhan (6)

18 Kepala Keluarga Miskin

2. Kuesioner penentuan paired comparison, nilai bobot, nilai rating Faktor Internal : Kekuatan Kelemahan Faktor Eksternal : Peluang Ancaman Kepala/perwakilan Bapeda, Kepala/perwakilan Dinas Pendidikan, Kepala/perwakilan Dinas Kesehatan,

(41)

Camat/perwakilan Kecamatan dan Lurah/perwakilan Kelurahan.

3. Diskusi/wawancara terbuka melalui metode FGD Pengayaan terhadap masukan faktor

strategis : Faktor Internal : Kekuatan Kelemahan Faktor Eksternal : Peluang Ancaman

Bapeda, Forum BKM tingkat Kota, Forum LPM tingkat Kota, Kelurahan, BKM tingkat

kelurahan, LPM tingkat kelurahan, Tokoh Masyarakat dan Perwakilan Warga Miskin

Berikut adalah Tabel 3. Menunjukan jenis data dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam menunjang tujuan dalam kerangka dan struktur penelitian.

Tabel 3. Data Sekunder yang diteliti dan Sumber Data

No Jenis Data Sumber Data

1. Studi Pustaka Kemiskinan Pengertian

Aspek

Ragam, Macam dan Pembedaan

Faktor-faktor

Konteks Kategori Waktu Penyebab Kemiskinan

Sulekale, 2003 ; Nasdian, 2005 ; Muchtar, 2003 ; Saefuddin, 2003 ;

BPS, 2006 ; Suharto, 2003 ; Makmun, 2003 ; Soekartawi dan Mustafa, 2002 ; Juoro, 1985 ; UU32/2003 ; BPS, 2006 ; BKKBN ; Bank Dunia ; Dinas Sosial ; Sajogyo, 1987 ; UNDP ; Nurkse, 1953 ; Max Neef dalam Zikrullah, 2000 ; Namba, 2003 ; Hendrakusumaatmaja, 2002 ; Yeates & Mc. Laughin, 2000. 2. Data Kedinasan/lembaga APBD RKA Dinas Dokumen-dokumen Catatan-Catatan di Lapang

Tim PKP Daerah Kota Bogor, Bapeda, Dinas Pendidikan, Dinas

Kesehatan, Bagian Sosial, Kecamatan dan Kelurahan

PAUD, TK YPC, Kader Posyandu, DKM, PT. Inti Innovaco, Radar Bogor, Pertamina

(42)

3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu : reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan sebagaimana menurut Miles, Huberman dan Yin dalam Suprayogo & Tobroni (2001). Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Penyajian data adalah kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan matrik, grafik, jaringan, tabel dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti terhadap informasi yang diperoleh.

a. Content Analysis (CA)

Tujuan kajian dalam penelitian ini salah satunya adalah mengidentifikasi apa kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar. Untuk itu penulis perlu mengetahui dan mengeksplorasi berbagai istilah dan batasan dalam kemiskinan yang dituliskan oleh para peneliti. Restrukturisasi kemiskinan terbagi dalam dua hal yakni mendapatkan frekuensi kata kunci tertinggi dan yang kedua yakni mendapatkan kata kunci yang dapat dijadikan karakteristik kemiskinan. Pada akhirnya untuk memperoleh identifikasi kemiskinan di Kelurahan Curug Mekar karakteristik kemiskinan tersebut akan disusun dalam bentuk kuesioner dan diajukan pada 18 kepala keluarga miskin dari sampling frame yang telah ditetapkan oleh pihak kelurahan.

(43)

Kuesioner CA selalu mengajukan pertanyaan pasti mengenai data seperti menghasilkan hasil yang terukur untuk menghasilkan informasi deskriptif atau memvalidasi temuan penelitian lain. Mendefinisikan parameter CA adalah teknik untuk membuat pengaruh secara sistematik dan objektif serta mengidentifikasi karakter khusus (Holsti, 1968). Lebih sederhana CA dapat digunakan untuk menganalisis secara sistematis dimensi yang muncul dalam bentuk tulisan (Henderson, 1991). Menurut Berg (1998) banyak penulis merasa bahwa CA berarti bentuk bagian perhitungan yang berorientasi positif. Penggunaan CA juga harus memilih antara atau membandingkan dua jenis CA. Identifikasi pengkodean pada penelitian menurut Cohen (1960) meliputi :

1. Mendefinisikan “kata kunci” yang akan direkam (contoh: pendidikan);

2. Mendefinisikan kategori dan sub kategori dalam hal penelitian yang tekait dengan “pendidikan” ;

3. Menghitung frekuensi pengulangan ;

4. Membuat kata kunci berikutnya (contoh : pemanfaatan) ;

5. Mendefinisikan kategori dan subkategori dalam penelitian yang terkait dengan pemanfaatan; dan mengulangi untuk kata kunci selanjutnya.

Tahap selanjutnya CA digunakan untuk menggali kondisi kemiskinan di lokasi. Penelitian eksplorasi ini menggunakan metode kuesioner kepada kepala keluarga miskin yang meliputi faktor internal kemiskinan. CA merefleksikan hubungan erat interaksi antara ilmu sosial dan psikologi (Berelson, 1952).

1) analisis eksplorasi definisi kemiskinan dengan objek analisis pengertian, aspek, ragam, macam dan pembedaan, faktor-faktor konteks kategori waktu, penyebab kemiskinan dari telaahan pustaka.

(44)

2) memutuskan parameter-parameter konsep kemiskinan meliputi pemetaan kebutuhan kondisi sarana dan prasarana, pemetaan kebutuhan pengembangan usaha produktif, dan pemetaan kegiatan sosial dan sumber daya manusia. 3) Posting dari masing-masing parameter definisi kemiskinan yakni dengan

mengumpulkan kata kunci yang sama, menghitung jumlah kata kunci yang muncul.

4) memutuskan ketepatan parameter berdasarkan frekuensi sub definisi kemiskinan yakni dengan menghitung frekuensi yang paling dominan dari setiap parameter.

5) analisis hasil yakni dengan mengetahui urutan terbesar frekuensi dalam sebuah parameter (menghitung total frekuensi dalam setiap parameter).

b. Analisis Identifikasi Kemiskinan

Analisa tujuan satu yakni mengevaluasi permasalahan kemiskinan, mengidentifikasikannya dengan menguji 18 responden kepala keluarga miskin, sebagaimana skoring pada Tabel 4. berikut :

Tabel 4. Skoring Terendah dan Tertinggi

Jml Nomor Urut Kategori Kategori Jumlah

Kriteria

Skor Tertinggi

Skor Terendah Pemetaan Kebutuhan Kondisi Sarana dan Prasarana

23 Kategori … 33 69 23

Pemetaan Kebutuhan Pengembangan Usaha Produktif

2 Kategori … 7 6 2

Pemetaan Kebutuhan Pengembangan Kegiatan Sosial dan Sumber Daya manusia

14 Kategori … 18 42 15

Pemetaan Kebutuhan Dasar

13 Kategori … 54 39 13

(45)

34 Kategori … 67 103 34 Pemetaan Kebutuhan Historis Geografis/Klimatologi

6 Kategori … 11 16 6

92 TOTAL 190 275 93

Kategori tersebut terdiri dari intensitas permasalahan kemiskinan tinggi, sedang dan rendah dengan total skor 4.950 dari 18 responden sampling frame dengan kategori hasil sebagai berikut :

1. Permasalahan kemiskinan tinggi apabila nilai skornya lebih dari 3.960 (80% dari nilai skor maksimal 4.950).

2. Permasalahan kemiskinan sedang apabila nilai skornya antara 2.970 – 3.960 (60% - 80% dari nilai skor maksimal 4.950).

3. Permasalahan kemiskinan rendah apabila nilai skornya kurang dari 2.970 (kurang dari 60% nilai skor maksimal 4.950).

ai = jumlah skor jawaban variable ke-i

Xi = jumlah skor jawaban kategori ke-i

i = 1,2,3,…, n

n = jumlah responden

c. Diskusi Kelompok Terarah

Diskusi Kelompok terarah atau Focus Group Discussions (FGD) bertujuan untuk menyamakan persepsi merumuskan program dan kegiatan, sehingga selain dapat tergali potensi-potensi yang ada di Kelurahan Curug Mekar dalam juga dapat menjadi landasan dalam mendukung pemberdayaan (penguatan manajemen) kelembagaan lokal. Serangkaian FGD meliputi topik-topik bahasan sebagai berikut

1. Kemitraan ; a i = Xi

(46)

2. Potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan Kelurahan Curug Mekar untuk mendukung pemberdayaan (penguatan manajemen) kelembagaan lokal;

3. Kesepakatan antar pelaku penanggulangan kemiskinan.

4. Perumusan program dan kegiatan yang akan dilakukan kelembagaan lokal.

3.4. Metode Perancangan Program

Perancangan strategi menggunakan analisis SWOT dan tahap akhir mapping yakni output strategi dipetakan kedalam beberapa aktivitas kelembagaan.

3.4.1. Analisis SWOT

SWOT terdiri dari dua faktor strategis yakni internal berisi kekuatan dan kelemahan serta eksternal berisi peluang dan ancaman. Sebagai bagian dari analisis SWOT dan sebagai bagian dari langkah pengembangan strategi maka digunakan teknik Snow Card atau Snow Ball (Nutt dan Backoff, 1987) dimana teknik ini akan digunakan empat kali untuk fokus kepada pertanyaan sebagai berikut :

1. Peluang eksternal terpenting apakah yang dimiliki organisasi ? 2. Ancaman ekstenal terpenting apakah yang dihadapi organisasi ? 3. Apa kekuatan internal terpenting organisasi ?

4. Apa kelemahan internal terpenting organisasi?

Kemudian keempat daftar dibahas, diperbandingkan dan diperhadapkan baik untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan segera maupun untuk mempersiapkan identifikasi isu strategis pada langkah selanjutnya (Bryson, 2005).

(47)

Internal Strategy Faktor Analysis System (IFAS) merupakan analisis internal. Bobot dari berbagai komponen faktor strength dan weakness memiliki nilai satu. Sedangkan External Strategy Faktor Analysis System (EFAS) merupakan analisis eksternal (Opportunity and Threat) memiliki dua elemen pertama lingkungan sosial memuat PEST (politik, ekonomi, sosial dan teknologi). Kedua lingkungan tugas yang terkait langsung dengan misi organisasi. Bobot dari berbagai komponen faktor opportunity dan faktor threat memiliki nilai satu, bobot suatu faktor akan lebih tinggi jika ia memiliki urgensi (Syaukat, 2005)4.

a. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE - EFE)

Matriks evaluasi faktor internal dan eksternal (Internal Faktor Evaluation - EFE Matrix dan External Faktor Evaluation - EFE Matrix) merupakan alat bantu dalam merangkum dan mengevaluasi informasi eksternal yang meliputi informasi ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintah, hukum, teknologi dan persaingan.

Tahapan pencocokan dan pemanduan penting dilakukan untuk melengkapi nilai bobot dan nilai rating kedua faktor strategis. Pembobotan ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE dan matriks EFE, sedangkan rating ditempatkan pada kolom ketiga matriks IFE dan matriks EFE. Penentuan bobot setiap variabel dilakukan dengan mengajukan identifikasi faktor internal dan eksternal dengan menggunakan metode Paired Comparison (Tripomo dan Udan, 2005). Metode ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu

4

(48)

internal dan eksternal. Berikut Tabel 5. adalah bentuk penilaian bobot faktor stategis internal wilayah dengan menggunakan skala 1, 2 dan 3 total dan bobot.

Tabel 5. Bentuk Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Wilayah

Faktor Strategis Internal A B C ... Total Bobot A

B C ...

Total

Sumber : Tripomo dan Udan, 2005

Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skala 1, 2 dan 3. skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah :

1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 = jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan rumus :

ai = Bobot variable ke-i

Xi = Nilai Variabel ke-i

i = 1,2,3,…, n n = jumlah variabel a i = Xi

(49)

Berikut Tabel 6. adalah bentuk penilaian bobot faktor stategis internal wilayah dengan menggunakan skala 1, 2 dan 3 total dan bobot.

Tabel 6. Bentuk Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Wilayah

Faktor Strategis Eksternal A B C ... Total Bobot A

B C ...

Total

Sumber : Tripomo dan Udan, 2005

Setelah melakukan tahapan pencocokan dan pemanduan yakni dengan menentukan nilai bobot dan nilai rating, maka kolom 2 dan kolom 3 matriks IFE dan EFE telah dapat memasuki tahap IFE Matrix pada Tabel 7. dan EFE Matrix pada Tabel 8.

Tabel 7. Bentuk Matriks IFE Key Internal

Factors

Weight (Bobot) Rating Weight Score

(Nilai Terbobot) Strengths :

Weakness :

Total 1.00 Sumber : Tripomo dan Udan, 2005

Langkah-langkah membentuk matriks IFE pada Tabel 7. adalah sebagai berikut. 1. Menuliskan faktor internal utama yang diidentifikasi dari audit internal,

(50)

2. Memberikan bobot untuk setiap faktor dari 0,0 (tidak penting) sampai dengan 1,0 (sangat penting). Bobot ini menunjukkan seberapa penting keberhasilan faktor tersebut dalam pemetaan kebutuhan yang bersangkutan. Jumlah seluruh bobot untuk setiap faktor harus sama dengan 1,0.

3. Memberikan rating untuk setiap faktor. Nilai 4 menunjukkan bahwa kondisi organisasi pada suatu faktor sangat kuat, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa kondisi organisasi pada suatu faktor sangat lemah.

4. Melakukan perkalian bobot dengan rating setiap faktor untuk menentukan nilai terbobot.

5. Melakukan penjumlahan seluruh nilai terbobot untuk menentukan nilai terbobot bagi organisasi. Jumlah total nilai terbobot dapat bervariasi dari yang terendah (1,0) sampai dengan yang tertinggi (4,0) dengan nilai rata-rata 2,5. Nilai dibawah 2,5 menunjukkan bahwa organisasi lemah secara internal, sedangkan nilai diatas 2,5 menunjukkan bahwa organisasi memiliki posisi yang kuat secara internal.

Tahapan-tahapan untuk membentuk suatu matriks EFE adalah :

1. Membuat daftar faktor eksternal yang diperoleh dari proses identifikasi situasi organisasi, yaitu berupa faktor peluang dan ancaman yang diduga akan muncul dan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi-organisasi tersebut. 2. Memberikan bobot untuk masing-masing faktor dari 0,0 (tidak penting)

sampai dengan 1,0 (sangat penting). Bobot ini menunjukkan tingkat penting relatif dari faktor eksternal tersebut. Peluang sering diberi bobot lebih tinggi dari ancaman, tetapi ancaman juga dapat diberi bobot yang tinggi jika sangat

(51)

serius atau sangat mengancam. Penjumlahan dari seluruh bobot yang diberikan kepada semua faktor harus sama dengan 1,0.

3. Memberikan rating setiap faktor untuk menunjukkan seberapa efektif strategi organisasi saat ini untuk merespon faktor tersebut. Nilai 4 menunjukkan bahwa kondisi organisasi saat ini sangat sesuai untuk mengantisipasi peluang/ancaman pada setiap faktor. Nilai 1 menunjukkan bahwa kondisi organisasi saat ini diperkirakan tidak mampu menangani peluang/ancaman pada faktor tersebut. Pemberian rating mengacu pada kondisi organisasi sedangkan pemberian bobot mengacu kepada pentingnya suatu faktor pada pemetaan kebutuhan.

4. Melakukan perkalian bobot dengan rating setiap faktor untuk menentukan nilai terbobot (weighted score).

5. Melakukan penjumlahan seluruh nilai terbobot untuk menentukan nilai terbobot bagi organisasi.

6. Kemungkinan total jumlah nilai terbobot tertinggi adalah 4,0 dan kemungkinan terendah adalah 1,0. Rata-rata total jumlah nilai terbobot adalah 2,5. Total nilai sama dengan 4,0 menunjukkan bahwa organisasi merespon sangat baik untuk setiap peluang dan ancaman, yaitu memaksimalkan peluang dan meminimumkan ancaman yang ada.

(52)

Tabel 8. Bentuk Matriks EFE Key External

Factors Weight (Bobot) Rating

Weight Score (Nilai Terbobot) Opportunities :

Threats :

Total 1.00 Sumber : Tripomo dan Udan, 2005

b. Analisis Matriks Kekuatan-Kelemahan-Ancaman-Peluang (SWOT)

Analisis dengan menggunakan matriks SWOT bertujuan untuk mengidentifikasikan alternatif-alternatif strategi yang secara intuitif dirasakan feasible dan sesuai untuk dilaksanakan (Tripomo dan Udan, 2005). Salah satu alasasan perlunya dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal dengan menggunakan matriks IFE dan EFE adalah penentuan analisis SWOT dilakukan setelah mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada.

Unsur-unsur SWOT meliputi strength (S) yang berarti mengacu pada keunggulan kompetitif dan kompetisi lainnya; weakness (W) yang merupakan hambatan yang membatasi pilihan-pilihan pada pengembangan strategi, opportunities (O) yang menggambarkan kondisi yang menguntungkan atau peluang yang membatasi penghalang, dan threats (T) yang berhubungan dengan kondisi yang dapat menghalangi atau ancaman dalam mencapai tujuan. Matriks SWOT ini mengembangkan empat tipe strategi yaitu : SO (kekuatan-peluang – strength-opportunities), WO (kelemahan-peluang – weakness-opportunities), ST

(53)

(kekuatan-ancaman – strength-threats) dan WT (kelemahan-ancaman – weakness-threats). Berikut adalah Tabel 9. Matriks SWOT.

Tabel 9. Matriks SWOT

Internal

Eksternal (S)trength - Kekuatan (W)eakness - Kelemahan

(O)pportunities - Peluang

STRATEGI S - O Mengatasi Kelemahan dengan

manfaatkan peluang

STRATEGI W - O Menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang (T)hreats - Ancaman

STRATEGI S - T Menggunakan kekuatan untuk

menghindari ancaman

STRATEGI W - T Meminimalkan kelemahan dan

menghindari ancaman

Sumber : Tripomo dan Udan, 2005

3.4.2. Analisis Road Map

Road Map dalam Pendekatan Analisis Dampak Kemiskinan dan Sosial menurut Anis dan Arulpragassan (2001) lebih merupakan upaya pembangunan suatu model konseptual yang dapat menjelaskan posisi dan kebijakan strategis sehingga dapat ditempuh oleh semua stakeholder. Road Map memuat 10 unsur diantaranya :

1. Selalu mengajukan pertanyaan pasti ;

2. Mengidentifikasi keterlibatan institusi/kelompok pemeduli ; 3. Memuat hubungan timbal balik ;

4. Menilai fungsi suatu institusi/kelompok pemeduli ; 5. Merangkum keseluruhan data dan informasi ; 6. Menganalisa dampak yang muncul ;

7. Wahana dalam mendesain perencanaan dan transparansi kepentingan ; 8. Mengukur resiko yang muncul ;

Gambar

Gambar 1.   Level Kewenangan dalam Pengambilan Keputusan  Sumber : Uphoff, 1986
Gambar 2.  Daya Dukung Pedesaan atau Kelurahan  Sumber : Uphoff, 1986
Tabel 1.  Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 2006  Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)
Gambar 3.   Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Astra Daihatsu Motor sebagai salah satu perusahaan otomotif dengan produksi terbesar di Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan untuk mendesain

3) Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan menulis karangan persuasi menggunakan teknik mind mapping dengan tidak menggunakan teknik

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh nilai laba, nilai buku, arus kas, dan profitabilitas sebelum dan setelah international financial

PETA JABATAN BALAI BAHASA SULAWESI UTARA.

Dengan berpegangan pada asas-asas Rochdale, para pelopor Koperasi Rochdale mengembangkan toko kecil mereka itu menjadi usaha yang mampu mendirikan

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten

Hasil analisa dengan menggunakan Strength Acticity Index pada beton dengan campuran RHA yang telah dibakar dan beton dengan campuran RHA yang telah dibakar lalu di