• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH KUBURAN DALAM

KAITANNYA DENGAN AZAS RUKUN, LARAS DAN PATUT

( STUDI KASUS DI BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN

BANJAR ADAT SEMANA KECAMATAN UBUD KABUPATEN

GIANYAR PROPINSI BALI )

TIM PENELITI

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn. NIDN : 0007047503 (Ketua)

I Gusti Nyoman Agung, S.H., M.Hum. NIDN : 0031125033 (Anggota)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

BULAN OKTOBER TAHUN 2015

(2)
(3)

ii

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH KUBURAN DALAM KAITANNYA DENGAN AZAS RUKUN, LARAS DAN PATUT (STUDI KASUS DI BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR

ADAT SEMANA KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR PROPINSI BALI)

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, I Gusti Nyoman Agung, Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kampus Bulit Jimbaran Indonesia,

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kampus Bulit Jimbaran Indonesia, Penulis ngurahdharmalaksana@yahoo.com

ABSTRAK

Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan, begitu besarnya manfaat tanah bagi kehidupan manusia, selain itu tanah juga sebagai tempat bagi menguburkan orang-orang yang sudah meninggal (tempat peristirahatan terakhir). Sehingga tanah sering menjadi obyek sengketa dari orang-orang yang menginginkannya. Sengketa merupakan bagian dari konflik dalam dinamika kehidupan masyarakat. Timbulnnya konflik umumnya disebabkan oleh berbagai faktor 1) Konflik Data (Data Conflict), 2) Konflik Kepentingan (Interest Conflict), 3) Konflik Hubungan (Relationship Conflict), 4) Konflik Struktur (Structural Conflict), 5) Konflik Nilai (Value Conflict).

Seperti halnya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali, sebenarnya hal seperti itu sangat disayangkan. Karena akan membawa dampak yang kurang baik, tidak saja menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar (psikis) tetapi menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas. Maka dari itulah diperlukan peran dan kerjasama semua pihak antara lain : para pihak yang bersengketa, pemerintah daerah, penegak hukum (dalam rangka mengamankan ketertiban umum), Kesbang Pol dan Linmas, Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan pihak-pihak yang terkait supaya sengketa tidak berkepanjangan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, permasalahan yang akan dipecahkan adalah faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan serta penerapkan azas rukun, laras, patut dan siapa saja para pihak yang ikut berperan dalam penyelesaian sengketa di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.

Penelitian di atas menggunakan metode pendekatan kasus, yaitu jenis penelitian kualitatif deskriptif, berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (Case Study).

Hasil penelitian yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali, dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan, berawal dari pemotongan tiga pohon kelapa dan satu pohon blalu yang rencananya akan digunakan untuk pembangunan Pura Prajapati. Dengan pemotongan pohon tersebut maka terjadilah sengketa antar dua bajar adat dengan adanya saling klaim kepemilikan tanah kuburan. Dengan demikian maka terjadilah sengketa yang berkepanjangan dan berujung pada pelarangan penguburan jenasah sehingga menyebabkan disintegrasi dan timbul pertentangan antar kelompok.

(4)

iii

Dalam penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan mengadakan pertemuan beberapa kali dengan menerapkan azas rukun, laras, patut untuk tercapainya masyarakat yang aman, tentram dan harmonis, serta menghormati awig-awig (produk hukum adat bali) yang berlaku. Pada pertemuan tersebut menghasilkan beberapa butir kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tanggal 14 April 2011. Terwujudnya perdamaian berarti sengketa tanah kuburan sudah berakhir sehingga terwujud kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penyelesaian sengketa tersebut melibatkan pihak ketiga antara lain : Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud, Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar, Bupati Gianyar.

(5)

iv

K A T A P E N G A N T A R

Atas asung kerta nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenanNya laporan hasil dapat diselesaikan sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Selain atas rahmatNya, laporan hasil ini dapat diselesaikan berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak, antara lain : kepada bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Badan Perijinan dan Penanaman Modal Provinsi Bali yang telah memberi kemudahan dalam mendapatkan surat ijin penelitian, dan pihak-pihak yang terkait secara tulus telah membantu memberikan data berupa dokumen mengenai kasus sengketa tanah kuburan yang dikaji dalam penelitian ini. Atas bantuan dari berbagai pihak tersebut di atas, sudah sepantasnya melalui laporan ini peneliti menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya.

Peneliti menyadari bahwa laporan hasil ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, namun demikian, peneliti yakin sekecil apapun usaha yang telah dilakukan, akan bermanfaat secara teoritis maupun praktis.

Akhir kata, peneliti dengan senang hati selalu membuka diri untuk mendapat kritik, masukan, komentar yang positif dan semoga laporan hasil bermanfaat bagi semua pihak.

13 Oktober 2015

(6)

v D A F T A R I S I HALAMAN PENGESAHAN ... i ABSTRAK ... ii KATA PENGANTAR ... iv DAFTAR ISI ... v BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 11

A. Tujuan Penelitian ... 11

B. Manfaat Penelitian ... 11

BAB IV METODE PENELITIAN ... 12

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

A. Munculnya Sengketa/Konflik di Kabupaten Gianyar ... 14

B. Faktor Penyebab Munculnya Sengketa Tanah Kuburan ... 16

C. Penyelesaian Sengketa Tanah Kuburan Dalam Penerapan Azas Rukun, Laras dan Patut ... 19

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 26

A. Tujuan Penelitian ... 26

B. Manfaat Penelitian ... 27

(7)

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan, mengingat Negara Republik Indonesia merupakan negara agraris yang kehidupan masyarakatnya sebagian besar bergantung pada tanah. Tanah selain dijadikan tempat tinggal juga merupakan sumber kehidupan dan tempat mencari nafkah. Begitu besarnya manfaat tanah bagi kehidupan manusia, sehingga orang-orang akan berusaha untuk melindungi dan mempertahankan tanah miliknya dari gangguan pihak-pihak lain, selain itu tanah juga sebagai tempat bagi menguburkan orang-orang yang sudah meninggal (tempat peristirahatan terakhir).

Mengingat tanah sangat penting bagi kehidupan manusia, sehingga tanah sering menjadi obyek sengketa dari orang-orang yang menginginkannya. Sengketa merupakan bagian dari konflik dalam dinamika kehidupan masyarakat yang semakin komplek, disebabkan adanya benturan kepentingan antara dua atau lebih subyek hukum yang berisikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban.

Konflik mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Konflik terjadi antara individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-berubahan tertentu dalam masyarakat. Pertentangan antar kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan-pertentangan tersebut kerap terjadi, apalagi pada masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya lebih

(8)

2 mudah menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat.1 Timbulnnya konflik umumnya disebabkan oleh berbagai faktor 1) Konflik Data (Data Conflict), 2) Konflik Kepentingan (Interest Conflict), 3) Konflik Hubungan (Relationship Conflict), 4) Konflik Struktur (Structural Conflict), 5) Konflik Nilai (Value Conflict).2 Konflik merupakan suatu gejala yang melekat pada setiap masyarakat, dan setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan untuk terjadinya disintegrasi dalam wujud konflik.3

Mustahil untuk menghilangkan konflik dalam kehidupan masyarakat, namun yang terpenting bagaimana konflik mesti diarahkan kepada sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan dan kemajuan masyarakat. Dalam hubungan tersebut masyarakatlah yang mesti melakukan kontrol.4 Terjadinya konflik/sengketa semakin hari semakin bertambah banyak, baik yang sifatnya sederhana maupun yang bersifat kompleks. Sengketa yang banyak terjadi khususnya di Bali antara lain : sengketa tapal batas, pemekaran wilayah, Perebutan Pura, pensertifikatan tanah adat, sengketa tanah kuburan.

Seperti halnya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali, sebenarnya hal seperti itu sangat disayangkan. Karena akan

1

Soerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.280.

2

Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi,

Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.21-23. 3

Ronny Hanitijo Soemitro, 1981, Pendekatan Konflik Terhadap Masalah-Masalah

Hukum, dalam satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni, Bandung, hal.9. 4

I Ketut Wirta Griadhi, et.al, 2013, Konflik Perbatasan Desa Pakraman Dalam

Perspektif Nilai Ekonomis Tanah Serta Penyelesaiannya, (Laporan Penelitian Kerjasama antara

(9)

3 membawa dampak yang kurang baik, tidak saja menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar (psikis) tetapi menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas. Maka dari itulah diperlukan peran dan kerjasama semua pihak antara lain : para pihak yang bersengketa, pemerintah daerah, penegak hukum (dalam rangka mengamankan ketertiban umum), kesbangpol dan linmas, tokoh adat, tokoh agama, dan pihak-pihak yang terkait supaya sengketa tersebut tidak berkepanjangan.

Sebagaimana yang kita ketahui, bentuk penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan ada 2 (dua) cara, yaitu secara litigasi (pengadilan) dan non-litigasi (diluar pengadilan). Masing-masing penyelesaian sengketa memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana yang lebih disukai atau dianggap paling tepat oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Masyarakat Bali dewasa ini dalam menyelesaikan sengketa, khususnya sengketa adatlebih mengutamakan penyelesaian dengan cara non-litigasi.

Apalagi jika sengketa itu melibatkan antar banjar adat maupun desa adat (sekarang desa pakraman). Apabila dalam kenyataannya tingkat keberhasilan menyelesaikan sengketa melalui mediasi yang mengarah pada win-win solusion sangat rendah sehingga perlu di carikan faktor penyebabnya. Sepatutnya menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat khususnya tanah kuburan, supaya penyelesaian persoalan tidak dengan cara-cara kekerasan (pengerusakan maupun penganiayaan), akan tetapi terlebih dahulu dimusyawarahkan secara kekeluargaan, berdasarkan atas asas rukun, laras dan

(10)

4 patut, apabila penyelesaian demikian berhasil maka akan mempunyai efek yang baik secara sosiologis, psychologis dan yuridis.

B. Rumusan Masalah :

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali?

2. Apa dalam penyelesaian sengketa tanah kuburan menerapkan azas rukun, laras, patut dan siapa saja para pihak yang ikut berperan dalam penyelesaian sengketa tersebut?

(11)

5

BAB II

T I N J A U A N P U S T A K A

Pancasila, sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakat telah mengisyaratkan bahwa azas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat lebih diutamakan, seperti tersirat juga dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, sumber hukum tertulis yang mengatur alternatif penyelesaian sengketa selama ini, khususnya arbitrase dapat ditemui di dalam Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (RV), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang-Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sayangnya undang-undang tersebut tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali arbitrase.5

Sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, yang sangat disayangkan khususnya di Bali yang menjadi obyek sengketa adalah tanah kuburan. Tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui jalur non-peradilan yang umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan dengan dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.6

Istilah konflik berasal dari bahasa inggris, conflict dan dispute, yang berarti perselisihan atau percekcokan, atau pertentangan. Perselisihan atau percekcokan tentang sesuatu terjadi antara dua orang atau lebih7.

5

Joni Emirzon, Op.Cit, hal.8-13.

6

Maria S.W.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa

Pertanahan, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.4.

7

(12)

6 Istilah konflik lebih banyak dibicarakan dalam sosiologi sebagai salah satu bentuk dari suatu proses sosial. Konflik merupakan salah satu dari proses sosial yang bersifat menjauhkan. Konflik sebagai suatu proses sosial dapat berakhir dengan akomodasi (penyatuan kembali) tapi ada kalanya konflik berakhir dengan situasi disintegrasi (perpecahan). Oleh karenanya, konflik juga dapat berakhir dengan terjadinya perubahan sosial. Sedangkan istilah sengketa lebih banyak digunakan dalam disiplin Antropologi Hukum dikaitkan dengan istilah sengketa berkepanjangan dan penyelesaian sengketa. Dalam Hukum Adat, kedua istilah konflik maupun sengketa adat sama-sama digunakan, secara inkonsisten. Penggunaaan istilah sengketa adat antara lain digunakan oleh M.Koesnoe dalam ajarannya yang terkenal dengan ajaran tentang penyelesaian sengketa adat.8

Pertentangan (conflict) masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok. Umumnya masyarakat tradisional di indonesia bersifat kolektif, segala kegiatan didasarkan pada kepentingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompok, yang dalam hal-hal tertentu menimbulkan perubahan sosial.9

Nader dan Todd mengatakan dalam bukunya Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, bahwa konflik sebagai bagian dari proses sengketa. Menurutnya, proses bersengketa itu ada 3 (tiga) yaitu : 1) Pra Konflik (pre conflict stage) yakni

8

TIP. Astiti,et.al., 2012, Sengketa Tanah Adat Yang Disertai Kekerasan Dalam Konteks

Perkembangan Pariwisata, (laporan Penelitian Magister Kenotariatan Universitas Udayana Tahun

2012), (selanjutnya disingkat Astiti.TIP,et.al I), hal.4.

9

(13)

7 kondisi yang mendasari rasa tidak puas seseorang, 2) Situasi Konflik (conflict stage) yakni sikap bermusuhan atau munculnya keluhan sehingga konfontasi berlangsung secara diadik (diadic), 3) Sengketa (dispute stage) yakni perselisihan sudah meningkat menjadi sengketa dan konfrontasi di antara pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik (triadic)/pihak yang berkonflik sudah ditunjukkan dan dibawa ke arena publik (masyarakat).10 Menurut Astiti.TIP, konflik maupun sengketa keduanya terjadi karena adanya gangguan atas keseimbangan dalam pergaulan hidup bermasyarakat.11 Salah satu penyebabnya adalah sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.

Konflik adat yang terjadi di Bali, selama masa reformasi tampak meluas di seluruh wilayah. Penelitian Windia tahun 2006 menunjukkan dalam kurun waktu enam tahun (1999-2005) telah terjadi 101 konflik yang menyebar di seluruh kabupaten kota di Bali.12

Tabel konflik adat yang terjadi di Bali dari Tahun 1999 - 2005 :13

No Kabupaten Konflik Adat di Bali

1 Karangasem 17 2 Gianyar 39 3 Tabanan 14 4 Jembrana 2 10

Salim.H, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet.Kedua, hal.83-84.

11

TIP. Astiti,et.al I, Op.Cit, hal.5.

12

TIP.Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Pres, Cet. Pertama, (selanjutnya disingkat TIP.Astiti II), hal.54.

13

I Gede Suartika, 2010, Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara

(14)

8 5 Bangli 10 6 Klungkung 9 7 Badung 8 8 Denpasar 2 Jumlah 101

Selain istilah konflik/sengketa, penyelesaian sengketa adat juga menggunakan pendekatan hukum adat berdasarkan asas-asas yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Asas kerukunan adalah pedoman dalam menyelesaikan konflik adat. Asas kerukunan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan sikap seseorang menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya, untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera.

Penerapan asas rukun dalam penyelesaian konflik adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan kehormatan, serta terwujudkannya hubungan yang harmonis sesama krama desa. Dalam menyelesaikan konflik adat yang demikian, setiap krama desa dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan krama desa selaku warga masyarakat hukum adat. Asas rukun tidak menekankan menang kalah pada salah satu pihak, melainkan terwujudnya kembali keseimbangan yang terganggu, sehingga para pihak yang bertikai bersatu kembali dalam ikatan desa adat.

2. Asas kepatutan adalah menunjuk kepada alam kesusilaan dan akal sehat, yang ditujukan kepada penilaian atas suatu kejadian sebagai perbuatan

(15)

9 manusia maupun keadaan. Patut pada satu sisi berada dalam lingkungan alam normatif, sedangkan pada sisi lain berada dalam kenyataan. Patut berisi unsur-unsur yang berasal dari alam susila, yaitu nilai-nilai buruk atau baik dan unsur akal sehat, yaitu perhitungan-perhitungan yang menurut hukum dapat diterima.

Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat untuk menjaga nama baik pihak masing-masing, sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan status dan kehormatannya selaku krama desa. Dengan demikian, pedekatan asas patut dapat berlaku efektif untuk mencegah terjadinya konflik adat.

3. Asas keselarasan adalah penggunaan pendekatan asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra) sehingga putusan terhadap konflik adat diterima oleh para pihak dan masyarakat. Asas laras dalam hukum adat digunakan dalam menyelesaikan konflik adat yang konkret dengan bijaksana, sehingga para pihak yang bersangkutan dan masyarakat adat merasa puas.14

4. Asas musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan bahwa dalam hidup bermasyarakat segala persoalan yang hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama oleh anggota-anggotanya atas dasar kebulatan kehendak bersama.

5. Asas mufakat adalah asas yang digunakan dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan kepentingan pribadi seseorang dengan orang lain atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Perundingan difokuskan

14

I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press, Cet. Pertama, hal.78-81.

(16)

10 pada pendapat atau pendirian yang masih berbeda untuk diusahakan mendapat titik temu melalui proses tawar menawar. Proses tawar menawar melalui sikap saling menerima dan saling memberi sesuai dengan apa yang di Bali sebagai saling asah, saling asih, saling asuh.

6. Asas gotong-royong adalah suatu asas dalam penyelesaian pekerjaan secara bersama-sama antara semua warga untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat.

7. Asas tolong-menolong lebih menekankan pada perbuatan yang bersifat timbal-balik antara seseorang dengan orang lainnya dalam upaya memenuhi kesejahteraan pribadi masing-masing. Obyek tolong-menolong tidak hanya berupa pekerjaan, akan tetapi bisa berbentuk materi maupun jasa lainnya.15

15

(17)

11

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut:

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan akar permasalahan sebagai pemicu/penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.

Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1) untuk mengetahui mengapa yang menjadi obyek sengketa merupakan tanah kuburan, 2) bagaimana sengketa tersebut diselesaikan.

B. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian yang dilakukan penulis adalah untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama konsentrasi hukum adat yang berkaitan dengan sengketa tanah kuburan.

Secara praktis, dapat memberi sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa khususnya dalam penerapan azas rukun, laras dan patut.

(18)

12

BAB IV

M E T O D E P E N E L I T I A N

Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (Case Study). Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber. Sebagai sebuah studi kasus maka data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku pada kasus yang diselidiki. Menurut Arikunto, bahwa metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.16

Penelitian case study atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung dan bersifat apa adanya (given). Dalam penelitian case study obyek yang diteliti mengenai sengketa tanah kuburan antara Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana di Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.

Pendekatan dilakukan dengan cara menelaah kasus sengketa tanah kuburan terkait dengan isu yang ada. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah rasio decidendi atau reasoning. Pendekatan kasus mempunyai kegunaan dalam mengkaji rasio decidendi atau reasoning yang merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan masalah.

16

Pendekatan Studi Kasus (Case Study) Dalam Penelitian kualitatif, http://www.menulis

proposalpenelitian.com/2011/01/pendekatan-studi-kasus-case-study-dalam.html, diakses hari

(19)

13 Dalam pendekatan kasus dianggap paling relevan untuk menggali informasi secara mendalam/mengetahui faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan serta pola penyelesaian yang ditempuh oleh para pihak.

(20)

14

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Munculnya Sengketa/Konflik di Kabupaten Gianyar

Kabupaten Gianyar sebagai kota budaya yang memiliki kebudayaan dan adat istiadat beraneka ragam yang bernafaskan agama, telah berhasil dijadikan aset oleh Pemda Gianyar. Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun kepemimpinan Bupati Gianyar jumlah konflik sosial yang muncul dan ditangani sebanyak 56 kasus telah dapat diselesaikan sebanyak 36 kasus dan 20 kasus yang belum. Dari 56 kasus tersebut, 34 kasus terjadi sebelum tahun 2008, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :17

No Tahun Jumlah 1 2007 34 2 2008 5 3 2009 7 4 2010 5 5 2011 5 Jumlah 56

Konflik sosial atau kerusuhan adalah suatu kondisi dimana terjadi huru hara/kerusuhan atau perang/keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku ataupun organisasi tertentu.

17

Pemda Kabupaten Gianyar, 2012, Laporan Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten

(21)

15 Konflik sosial yang didominasi oleh kasus yang berlatar belakang permasalahan adat seperti : tanah laba pura, kuburan, tanah desa adat dan permasalahan tapal batas. Penyebab terjadinya konflik yaitu, perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, peraaan sensitif, komunikasi, kepentingan pribadi.18

Konflik sosial di Kabupaten Gianyar sebagian besar berlatar belakang kasus adat dimana setiap permasalahan yang muncul memiliki karakteristik dan kekhasan tersendiri sesuai dengan adat istiadat dan awig-awig desa adat masing-masing sehingga diperlukan proposionalitas dalam penanganan permasalahan tersebut. Dalam penanganan konflik sosial Pemda Gianyar bekerjasama dengan Polres Gianyar dan Instansi terkait dengan selalu mengedepankan pola penyelesaian antara lain :

1. Koeksistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen;

2. Mediasi (perantaraan), jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-maing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak; 3. Tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang

berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks;

4. Tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan luas/umum, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit/pribadi.19

18

Ibid, hal.3.

19

(22)

16 Dengan telah terselesaikannya sebanyak 36 konflik dari 56 kasus yang ada, maka situasi dan kondisi daerah Kabupaten Gianyar sampai akhir tahun 2011 cukup kondusif. Terwujudnya penyelesaian konflik tersebut berkat kerjasama yang baik antar pemimpin daerah, instansi terkait yang ada di Kabupaten Gianyar dan juga berkat partisipasi masyarakat Kabupaten Gianyar.20

B. Faktor Penyebab Munculnya Sengketa Tanah Kuburan

Munculnya sengketa tanah kuburan berawal dari pemotongan 3 (tiga) pohon kelapa dan 1 (satu) pohon blalu oleh warga Banjar Adat Semana di lokasi kuburan pada tanggal 31 Mei 2007. Menurut warga Banjar Adat Semana, kayu tersebut rencananya akan digunakan untuk pembangunan di Pura Prajapati setempat yang digunakan secara bersama-sama, namun tindakan tersebut dilarang oleh warga Banjar Adat Ambengan.21 Adapun luas obyek sengketa seluas 5,2 are yang letaknya di sebelah barat jalan dengan batas pohon celagi. Sengketa tanah kuburan antara kedua belah pihak terus berkembang yang menyebabkan hubungan kedua banjar adat semakin tegang yang berlanjut dengan pelarangan penggunaan kuburan bagi warga Banjar Adat Semana (sesuai hasil pesamuan Banjar Adat Ambengan tanggal 01 Juni 2007), dalam kaitannya dengan hal tersebut maka pada tanggal 04 Juli 2007, ada Warga dari Banjar Adat Semana meninggal dunia yang penguburannya dilarang menggunakan kuburan di Banjar Adat Ambengan.

20

Ibid, hal.13.

21

Kesbang Pol dan Linmas, 2012, Laporan Kasus Adat/Tapal Batas Desa Yang Masih

Berkembang Yang Perlu Diwaspadai Untuk Tahun 2012 Di Wilayah Kabupaten Gianyar, tanpa

(23)

17 Dengan pelarangan penggunaan kuburan oleh Banjar Adat Ambengan, maka sengketa tanah kuburan semakin berkembang dan hampir terjadi bertrok fisik antara kedua belah pihak. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak Pemda Gianyar telah berjanji memberikan tanah bekas timbunan pasir yang akan dijadikan tanah kuburan dan bangunan perlengkapan lainnya seperti bangunan Pura Prajapati. Atas terjadinya larangan penguburan tersebut, Pemda Gianyar mengadakan pertemuan dengan kedua belah pihak, antara lain membicarakan tentang keinginan pemerintah memberikan tanah seluas 5 are, akan tetapi ditolak oleh warga Banjar Adat Semana karena tidak sesuai dengan tuntutannya untuk diberikan tanah timbunan pasir yang akan dijadikan tanah kuburan. Dan warga Banjar Adat Semana tetap meminta kembali menggunakan kuburan lama. Pihak Banjar Ambengan menolahnya. Ketika diadakan pertemuan berikutnya yang difasilitasi Pemda Gianyar. Pemda Gianyar tetap menawarkan akan memberikan tanah seluas 5 are ditambah tanah bekas timbunan pasir kepada warga Banjar Adat Semana, tetapi warga Banjar Adat Semana tetap tidak mau dan bagi mereka keinginan kembali ke kuburan lama adalah “harga mati” dan tidak perlu lagi tanah kuburan baru berapun luasnya. Situasi tolak menolak antara kedua belah pihak menyebabkan sengketa ini berlangsung lama tidak kunjung selesai (Disusun berdasarkan dokumen Kesbang Pol dan Limas Kabupaten Gianyar).22

Namun berkat kesigapan aparat situasi dapat dikendalikan dan untuk mencarikan jalan keluar, maka aparat terkait mulai dari tingkat desa, kecamatan dan Pemda Gianyar telah mengambil langkah-langkah yaitu kedua belah pihak menandatangani kesepakatan bahwa tanah kuburan dibagi dua, sebagian

22

(24)

18 dipergunakan oleh warga Banjar Adat Semana dan sebagian lagi dipergunakan oleh warga Banjar Adat Ambengan. Adanya sikap ewuh pakewuh (tidak tegas) pejabat di tingkat banjar/dusun dalam menyelesaiakan perkara, sehingga tidak ada usaha maksimal untuk menyelesaiakan perkara secara tuntas, melainkan tergesa- gesa diwaba ke jenjang lebih tinggi, yaitu bendesa atau kepala desa. Sikap ini sering menimbulkan penyelesaian berlarut-larut karena pejabat ditingkat desa kadang-kadang mengembalikan kembali kepada pihak yang berperkara karena pihak yang bersangkutan dianggap lebih tahu pokok permasalahannya.23

Dalam perkembangannya proses industrialisasi, reformasi dan globalisasi, telah banyak menimbulkan perubahan pada masyarakat Bali, antara lain, dalam hal mata pencaharian, gaya hidup, pandangan hidup dan juga karakter orang Bali. Perubahan karakter orang Bali yang sebelumnya ramah tamah dan santun dalam bergaul, kini cenderung beringas dan suka berkonflik. Selain itu, terjadi perubahan dalam fungsi kelembagaan, antara lain, dapat dilihat dari fungsi banjar dan desa adat yang sebelumnya dibanggakan, sebagai lembaga tradisional yang bersifat sosial religius yang berfungsi mengayomi warganya sehingga warganya dapat hidup tenang dan damai, kini lembaga ini sering menjadi arena konflik untuk memperjuangkan berbagai kepentingan (politik, ekonomi, sosial) pribadi dan kelompok.24

Berdasarkan pemaparan di atas, senada apa yang dikemukakan Nader dan Todd bahwa konflik sebagai bagian dari proses sengketa. Proses sengketa berawal dari pra konflik (pre conflict stage), situasi konflik (conflict stage) dan

23

I Nyoman Wita, et.al, 2008, Format Hubungan Antara Desa Dinas/Kelurahan

Dengan Prajuru Adat Dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, (Laporan Penelitian

Kerjasama Pappeda Kabupaten Klungkung dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar, Semarapura), hal.87-88.

24

(25)

19 sengketa (dispute stage) yaitu berawal dari pemotongan pohon yang dilakukan oleh warga Banjar Adat Semana, sehingga perselisihan meningkat menjadi sengketa dan konfrontasi dengan warga Banjar Adat Ambengan. Konflik/sengketa tersebut sudah dibawa ke ranah publik (masyarakat), terbukti dalam penyelesaian sengketa tanah kuburan di mediatori oleh Pemda Gianyar.

C. Penyelesaian Sengketa Tanah Kuburan Dalam Penerapkan Azas Rukun, Laras, Patut

Setiap organisasi, baik organisasi tradisional maupun organisasi modern yang ada hubungannya dengan pengelolaan pemakaman (kuburan umum atau di Bali dikenal dengan nama setra), pasti mempunyai aturan tentang persyaratan pemanfaatan kuburan. Masalah pelarangan penguburan jenasah atau penggalian kembali jenasah yang sudah dikuburkan, terjadi karena beberapa hal, seperti :

1. Masyarakat adat di Bali (warga desa pakraman) belum memahami tujuan (patitis) awig-awig desa pakraman;

2. Yang bersangkutan atau keluarganya telah melakukan pelanggaran awig-awig secara terus-menerus (mamengkung);

3. Yang bersangkutan atau keluarganya tidak memenuhi persyaratan penguburan jenasah seperti diminta atau ditentukan oleh desa pakraman;

4. Masing-masing desa pakraman mempunyai aturan tentang penguburan jenasah, kadang-kadang baru dibuat sesudah ada masalah;

5. Kerancuan pemahaman tentang konsep nindihin gumi.25

25

Wayan P.Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus & Penyelesaiannya, Udayana University Press, Cetakan Pertama, hal.154-156.

(26)

20 Cara mengatasi masalah :

1. Tujuan dibuatnya awig-awig adalah untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian (kasukertan) di desa pakraman. Maka dari itu, kalau ada ketentuan awig-awig yang tidak mencerminkan tujuan, ditinggalkan atau dicabut dan dibuang, diganti dengan ketentuan awig-awig lain yang lebih menjamin terciptanya ketertiban dan kedamaian (kasukertan) di desa pakraman;

2. Pelanggaran terhadap awig-awig dapat dilakukan oleh siapa saja. Setiap pelanggaran sebaiknya diselesaikan semasih yang melakukan pelanggaran dapat diajak ngomong (bicara);

3. Tidak masalah desa pakraman membuat aturan atau persyaratan sendiri tentang penguburan jenasah asalkan tidak mengandung muatan “mencekik leher sendiri”, tetapi justru memberikan kemudahan kepada warga desa pakraman untuk menguburkan jenasah, walaupun mereka dianggap melakukan pelanggaran adat;

4. Nindihin gumi (membela atau bekerja untuk desa) selama ini diartikan terbatas pada aktivitas atau kegiatan membela atau membangun desa sendiri. Bentuk pembelaan atau pekerjaannya juga terbatas pada fisik (ngayah) dan sumbangan sukarela (dana Punia).26

Upaya penyelesaian sengketa tanah kuburan yaitu dengan mengadakan pertemuan berulangkali baik secara bergilir, maupun secara bersama-sama dengan melibatkan pihak ke tiga yaitu Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud,

26

(27)

21 Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar, Bupati Gianyar. Ini mencerminkan ketidak mampuan prajuru banjar adat yang bersangkutan dalam menyelesaikan persoalan intern warganya. Kegagalan tersebut dapat disebabkan karena budaya hukum masyarakat (para pihak) yang bersengketa tidak berkeinginan untuk berdamai.27

Akhirnya pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 bertempat di Pos Polisi Desa Singakerta dan dilanjutkan kembali di pelataran Pura Prajapati diadakan pertemuan membahas kasus tanah kuburan yang disengketakan antara Banjar Adat Ambengan Desa Pakraman Sayan, Desa Sayan dengan Banjar Adat Semana Desa Pakraman Demayu, Desa Singakerta Kecamatan Ubud.

Kesepakatan tersebut ditandatangani pada tanggal 14 April 2011 oleh Bendesa Adat Sayan, Kelihan Banjar Adat Ambengan, Kelian Banjar Dinas Ambengan, Bendesa Adat Demayu, Kelian Banjar Adat Semana, Kelian Banjar Dinas Semana, pihak-pihak yang hadir sebagai saksi pada saat itu antara lain : Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud, Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar, Bupati Gianyar juga ikut penandatangani kesepakatan tersebut.

Adapun kesepakatan yang telah ditandatangani adalah sebagai berikut :

1. Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua) sepakat, lahan kuburan yang terletak di sebelah barat jalan dengan batas pohon celagi ke selatan di bagi sesuai batas dan pembagian yang telah disepakati;

2. Sebagai pembatas untuk lahan kuburan, hasil dari pada pembagian sebagaimana dimaksud pada poin 1 (satu) kesepakatan ini adalah

27

(28)

22 menggunakan batas buatan (tembok) pembuatannya dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar;

3. Lahan kuburan bagian dari pihak I (Pertama) dengan status pemanfaatan, bukan berstatus kepemilikan dan juga bukan sebagai batas wilayah kedinasan;

4. Mengenai batas wilayah kedinasan akan ditentukan oleh Pemerintah Derah Kabupaten Gianyar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;

5. Pelinggih Pura Prajapati dan jalan yang ada sekarang tetap digunakan bersama-sama oleh kedua belah pihak;

6. Pihak I (Pertama) dan pihak II (Kedua) tetap menjalin hubungan yang harmonis dan bila ada kematian tetap berkoordinasi dan menghormati dresta yang berlaku di masing-masing Banjar Adat.

Sebenarnya konflik sudah ada sepanjang sejarah dan menjadi bagian serta dinamika dalam kehidupan. Konflik itu sendiri ada yang bersifat positif (fungsional) ada juga konflik yang bersifat negatif (disfungsional). Disatu sisi konflik dapat menimbulkan terjadinya perubahan sosial, di pihak lain, konflik juga dapat terjadi sebagai akibat suatu perubahan sosial.28

Perubahan dan perkembangan dalam suatu masyarakat di manapun di dunia ini merupakan gejala normal, hal ini merupakan konsekuensi dari akibat melajunya arus globalisasi terutama kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa ada 3 (tiga) teori umum

28

(29)

23 perihal perubahan-perubahan sosial yang berhubungan dengan hukum, yakni pertama : komunikasi yang progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi, kedua : kontak dan konflik antara kebudayaan, ketiga : terjadinya gerakan sosial (social movement).29

Setiap gejala dipandang sebagai suatu unsur yang merupakan bagian daripada keseluruhan proses yang dinamis, gejala sosial dianggap sebagai suatu unsur keseluruhan. Dengan demikian, maka setiap gejala sosial dianggap sebagai bagian daripada jaringan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa, struktur-struktur dan proses-proses yang mendasarinya. Tentang konflik, maka terdapat dua model dari masyarakat yang masing-masing disebut sebagai model konflik dan model konsensus. Cici-ciri kedua model tersebut adalah :

1. Ciri-ciri model konsensus adalah :

a. Masyarakat mempunyai struktur sosial yang stabil dan secara relatif kokoh;

b. Terintegrasi secara baik;

c. Setiap elemen berfungsi dan mendukung pemeliharaan sistem; d. Struktur sosial didasarkan pada suatu konsensus tentang nilai-nilai. 2. Ciri-ciri model konflik adalah :

a. Setiap bagian masyarakat dapat berubah;

b. Pada setiap bagian masyarakat terdapat konflik atau dissensus; c. Setiap elemen mendorong terjadinya perubahan;

29

Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, Cet.Ketiga, hal. 76-77.

(30)

24 d. Didasarkan pada paksaan yang dilakukan oleh sebagian dari warga

masyarakat.30

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sengketa tanah kuburan yang terjadi di Kabupaten Gianyar, akan menyebabkan perubahan sosial dan menimbulkan perpecahan. Sebaliknya apabila sengketa tanah kuburan ditinjau dari azas yang terdapat dalam hukum adat khususnya azas rukun, laras dan patut seperti diuraikan pada halaman 8 s/d 10 dapat diimplementasikan dengan baik melalui proses mediasi, walaupun sebelumnya kedua belah pihak bersikukuh dengan keyakinannya masing-masing bahwa “kamilah yang paling benar/paling berhak”. Dengan demikian upaya mediasi dengan mengedepankan azas rukun, laras dan patut secara terus menerus untuk menumbuhkan kesadaran para pihak supaya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Kabupaten Gianyar tidak berkepanjangan yang pada akhirnya kedua belah pihak sepakat menandatangani surat kesepakatan penyelesaian kasus tanah kuburan pada tanggal 14 April 2011.

Disisi lain menunjukkan bahwa sikap, prilaku maupun moral orang Bali sudah mulai terdegradasi yang melekat pada setiap individu karena berbagai faktor, dan setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan untuk terjadinya disintegrasi dalam wujud konflik. Ini menunjukkan bahwa sengketa kuburan antara warga Banjar Adat Semana dan warga Banjar Adat Ambengan terjadi karena adanya gangguan atas keseimbangan dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

30

Soerjono Soekanto, 1981, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, hal.54-55.

(31)

25 Menurut Moh.Koesnoe, dalam penerapan penyelesaian perkara, berpijak pada sistem adat dan hukum dari pandangan dan ajaran tentang manusia dan kehidupan yang merupakan kategori konstitutip yang terdiri dari tiga macam azas kerja yaitu kerukunan, kepatutan, dan keselarasan untuk dapat mencapai kehidupan bermasyarakat yang tenang, tentram dan sejahtera dalam ikatan kekeluargaan, yang ke tiga azas tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain baik dalam proses, maupun dalam soal-soal materiil.31

31

Herowaati Poesoko, M.Khoidin. Dominikus Rato, 2014, Eksistensi Pengadilan Adat

(32)

26

BAB VI

S I M P U L A N D A N S A R A N

A. Simpulan :

Berdasarkan uraian sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali, akhirnya dapat disimpulkan bahwa :

1. Faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan, berawal dari pemotongan tiga pohon kelapa dan satu pohon blalu yang rencananya akan digunakan untuk pembangunan Pura Prajapati. Dengan pemotongan pohon tersebut maka terjadilah sengketa antar dua bajar adat dengan adanya saling klaim kepemilikan tanah kuburan. Dengan demikian maka terjadilah sengketa yang berkepanjangan dan berujung pada pelarangan penguburan jenasah sehingga menyebabkan disintegrasi dan timbul pertentangan antar kelompok.

2. Dalam penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan mengadakan pertemuan beberapa kali dengan menerapkan azas rukun, laras, patut untuk tercapainya masyarakat yang aman, tentram dan harmonis, serta menghormati awig-awig (produk hukum adat bali) yang berlaku. Pada pertemuan tersebut menghasilkan beberapa butir kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tanggal 14 April 2011. Terwujudnya perdamaian berarti sengketa tanah kuburan sudah berakhir sehingga terwujud kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penyelesaian sengketa tersebut melibatkan pihak

(33)

27 ketiga antara lain : Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud, Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar, Bupati Gianyar.

B. Saran :

Kiranya tidaklah berlebihan penulis mengetengahkan beberapa saran, antara lain :

1. Berdasarkan penelitian Wayan Windia dari Tahun 1999 s/d 2005 konflik adat yang terjadi di Bali sebanyak 101 kasus, khusus di Kabupaten Gianyar dari Tahun 2007 s/d 2011 sebanyak 56 kasus, ini menunjukkan bahwa setiap tahun selalu saja ada desa adat/desa pakraman yang bersengketa/berkonflik. Maka dari itu, desa adat/desa pakraman di Bali yang merupakan organisasi tradisional supaya merevisi awig-awig (produk hukum adat) untuk meminimalisir terjadinya sengketa/konflik yang berkepanjangan, dan dalam penyelesaian sengketa mengedepankan azas rukun, laras dan patut dengan tidak mengutamakan menang atau kalah tetapi yang diutamakan adalah win-win solusion sehingga terwujud keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Untuk menghindari sengketa/konflik antar desa pakraman yang akan menyebabkan perpecahan/disintregrasi maka, bagi Pemerintah Daerah Gianyar, penegak hukum, Kesbang Pol dan Linmas dan pihak yang terkait, supaya terus untuk mengupayakan penyelesaian sengketa/konflik dengan musyawarah-mufakat sehingga terwujud ajeg Bali sesuai dengan berdasarkan konsep Tri Hita Karana.

(34)

28

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, Cet.Ketiga

Herowaati Poesoko, M.Khoidin. Dominikus Rato, 2014, Eksistensi Pengadilan

Adat Dalam Sistem Peradilan di Indonesia, LaksBang Justitia, Surabaya.

I Gede Suartika, 2010, Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara

Penyelesaiannya, Udayana University Press.

I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press, Cet. Pertama

Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), PT.Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Maria S.W.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa

Pertanahan, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1981, Pendekatan Konflik Terhadap

Masalah-Masalah Hukum, dalam satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni, Bandung, hal.9

Soerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---, 1981, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung.

Salim.H, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet.Kedua.

TIP.Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Pres, Cet. Pertama.

Wayan P.Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus & Penyelesaiannya, Udayana University Press, Cetakan Pertama.

Herowaati Poesoko, M.Khoidin. Dominikus Rato, 2014, Eksistensi Pengadilan

(35)

29

Laporan Penelitian :

I Ketut Wirta Griadhi, et.al, 2013, Konflik Perbatasan Desa Pakraman Dalam

Perspektif Nilai Ekonomis Tanah Serta Penyelesaiannya, (Laporan

Penelitian Kerjasama antara LPPM Unud Dengan BAPPEDA Provinsi Bali).

I Nyoman Wita, et.al, 2008, Format Hubungan Antara Desa Dinas/Kelurahan

Dengan Prajuru Adat Dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan,

(Laporan Penelitian Kerjasama Pappeda Kabupaten Klungkung dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar, Semarapura).

Pemda Kabupaten Gianyar, 2012, Laporan Penanganan Konflik Sosial di

Kabupaten Gianyar Tahun 2007-2011

Kesbang Pol dan Linmas, 2012, Laporan Kasus Adat/Tapal Batas Desa Yang

Masih Berkembang Yang Perlu Diwaspadai Untuk Tahun 2012 Di Wilayah Kabupaten Gianyar.

TIP. Astiti,et.al., 2012, Sengketa Tanah Adat Yang Disertai Kekerasan Dalam

Konteks Perkembangan Pariwisata, (laporan Penelitian Magister

Kenotariatan Universitas Udayana Tahun 2012).

Internet :

Pendekatan Studi Kasus (Case Study) Dalam Penelitian kualitatif,

http://www.menulis proposalpenelitian.com/2011/01/pendekatan-studi-kasus-case-study-dalam.html, diakses hari minggu tanggal 10 Mei 2015

Gambar

Tabel konflik adat yang terjadi di Bali dari Tahun 1999 - 2005 : 13

Referensi

Dokumen terkait

Tabel Rekapitulasi Jenis Tindak Tutur Pemasar Asuransi 1 No. Artinya pemasar ini dalam komunikasi pemasarannya banyak menggunakan kata- kata yang berfungsi untuk membujuk

Formula mikrogranul mukoadhesif terdiri dari komponen bahan aktif yaitu GMP yang sebelumnya telah dibentuk menjadi dispersi padat dengan matriks poloxamer 407 dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola korelasi antara recharge yang berupa curah hujan dengan discharge pada beberapa mataair dan sungai bawah tanah pada tiga

Puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan laporan akhir penelitian dosen muda dengan

Dari grafik dan data di atas dapat dilihat bahwa pada pengeringan yang dilakukan dalam model oven pengering sistem rak, pengurangan kadar air lebih cepat terjadi pada rak

Mahasiswa Unsyiah lebih banyak menggunakan lensa dengan jenis lensa kontak lunak dengan pola pemakaian bersifat harian, jangka waktu penggunaan lensa 1-6 bulan,

Pada penelitian ini dilakukan pra-perlakuan bahan baku obat GMP dengan teknik dispersi padat, modifikasi bentuk polimorf dan kokristalisasi menggunakan metode dan matriks yang

Penelitian Hibah Bersaing berjudul kedudukan dan kewenangan antara desa dinas dan desa adat pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Provinsi