• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

8

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu prosa fiksi yang paling baru dengan menampilkan konflik yang lebih detail dan kompleks. Saat ini, kehadiran novel sangat diminati oleh khalayak umum. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 9), “Sebutan novel (dalam bahasa Inggris novel), dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah, novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟ ”. Senada dengan pendapat Waluyo (2011: 5), “Kata novel berasal dari novellus yang berarti baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru”. Semi (1993:32) berpendapat bahwa “Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Selanjutnya, Semi menambahkan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas”.

Novel memiliki ciri khas tersendiri, Waluyo (2011: 6) mengatakan novel memiliki ciri-ciri lain, yaitu bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib hidup. Menurut Stanton (2012:90), “Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail”. Tarigan (1993) menyimpulkan bahwa novel adalah cerita prosa fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur. Panjang novel mengandung kata-kata berkisar 35.000 buah sampai tak terhingga, untuk novel pendek minimal terdiri dari 100 halaman. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat ditarik simpulan bahwa novel adalah karya sastra yang paling baru, yang menyajikan cerita lebih

(2)

banyak, lebih rinci, lebih detil, dengan permasalahan yang lebih kompleks, dan biasanya pelaku dalam cerita tersebut utamanya mengalami perubahan nasib hidup.

b. Jenis Novel

Sesuai perkembangan zaman, jenis novel pun ada bermacam-macam jenis. Ada novel populer dan novel serius. Saat ini novel populer paling banyak diminati pembaca.

1) Novel Populer

Novel populer bisa disebut sebagai novel hiburan, sebab dalam novel tersebut permasalahan yang diangkat tidak terlalu rumit serta tidak dibahas secara intens, oleh karena itu sifatnya menghibur namun cepat ditinggalkan orang. Menurut Stanton, “Fiksi populer bermaksud menyajikan pengalaman manusia, hanya saja tidak diperlukan perlakuan-perlakuan khusus atau analisis-analisis untuk memahami fiksi jenis ini” (2012:13). Menurut pendapat Semi (1993:72),“Dikatakan novel populer karena karya itu baik tema, cara penyajian, teknik, bahasa, maupun gaya meniru pola umum yang sedang digemari masyarakat pembacanya. Hal ini senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2005:18):

“Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya”.

Dilihat dari segi unsur intrinsik, Nurgiyantoro berpendapat, “Berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar, dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, hanya bersifat itu-itu saja, atau begitu-begitu saja, dan tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan” (2005: 20). Menurut Nugrahani (2009:392), “Sastra populer atau hiburan adalah sastra yang ringan bobot literernya, dan berisi masalah-masalah yang lebih mengedepankan hiburan belaka”. Senada dengan Rokhmansyah (2014) bahwa, “Novel populer mengejar selera pembaca komersial”. Kategori sastra ini tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab akan

(3)

mengurangi jumlah penggemarnya. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati. Ia tidak berpretensi mengejar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari isinya.

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa novel populer mengangkat permasalahan yang ringan, cepat dilupakan orang, dan sifatnya hanya menghibur.

2) Novel Serius

Berbeda dengan novel populer, novel serius membahas suatu permasalahan secara lebih mendalam. Pengarang juga memunculkan unsur kebaharuan untuk menghindari stereotip. Menurut Stanton (2012), fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana kesastraan. Untuk memahaminya harus dilakukan analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain. Untuk menikmati dan memahami novel serius diperlukan pembacaan kembali yang dilakukan dengan cermat dan teliti. Hal ini senada yang diungkap Rokhmansyah (2014: 45) bahwa “Jenis novel ini membutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dalam membacanya. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan, disoroti sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal”. Lain halnya dengan Nurgiyantoro (2005:18-19) menyatakan:

“Novel serius di pihak lain, justru “harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Jika ingin memahami novel serius diperlukan konsentrasi tinggi untuk memahaminya. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan”.

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya, unsur kebaruan diutamakan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak, pengarang berusaha untuk

(4)

menghindarinya (Nurgiyantoro, 2005). Novel serius termasuk jenis sastra serius atau literer. Menurut Nugrahani, dkk. (2009:392), “Sastra literer adalah sastra yang memiliki bobot literer dan berisi masalah-masalah serius dalam kehidupan manusia, seperti masalah kemanusiaan, politik, moral, agama, sufistik, filsafat, dan sebagainya”. Sastra literer juga memiliki fungsi sosial, yaitu memperkaya khasanah batin pembacanya. Semi (1993:72) menambahkan, “Novel serius merupakan karya sastra yang lebih menitikberatkan pada keunikan karya, kebaruan dan kedalaman”.

Berdasarkan pendapat di atas, novel serius mengangkat permasalahan yang lebih intens, dalam membacanya memerlukan konsentasi dan fokus yang tinggi. Novel serius memberikan pengalaman yang berharga bagi penikmatnya.

c. Unsur-unsur Novel

Sama dengan karya sastra yang lain, novel juga memiliki unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra. Menurut Nurgiyantoro (2005:23), unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Pada penjelasan kali ini hanya akan dibahas mengenai unsur intrinsik, karena unsur tersebut berkaitan erat dengan stilistika.

Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang menganalisis dalam karya sastra tersebut. Menurut Suroto (1990:88), “Unsur intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut serta membangun karya sastra itu sendiri”. Semi (1993) mengungkapkan bahwa struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra, seperti penokohan dan perwatakan, alur, plot dan sebagainya. Menurut Nurgiyantoro (2005: 23), “Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud”. Atau sebaliknya, jika

(5)

dilihat dari sudut kita sebagai pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Menurut Semi (1993), unsur-unsur yang membangun novel atau fiksi, yaitu: penokohan dan perwatakan, tema, alur, latar, gaya penceritaan, dan pusat pengisahan. Suroto (1990:88) menjelaskan bahwa unsur intrinsik itu sendiri terdiri atas tema, amanat, plot, perwatakan, latar, dialog, dan pusat pengisahan. Berikut akan dipaparkan unsur-unsur intrinsik berupa ponokohan dan amanat, karena dipandang berhubungan erat dengan nilai pendidikan yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.

1) Penokohan

Ponokohan adalah pemeran dalam sebuah cerita yang sekaligus sebagai penggerak cerita. Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165), “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Rahmanto (1988: 72) menambahkan bahwa “Menafsirkan perwatakan tokoh-tokoh dalam sebuah novel merupakan latihan yang bermanfaat dalam pengumpulan dan penafsiran peristiwa”.

Adanya tokoh atau penokohan akan menyebabkan terjadinya interaksi serta konflik antartokoh dalam cerita. Tokoh tidak terlepas dari perwatakan. Menurut Semi (1993: 37), “Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan”. Adapun cara pengarang membeberkan perwatakan tokoh-tokohnya, antara lain: (1) disampaikan sendiri oleh pengarang pada pembaca; (2) disampaikan oleh pengarang lewat apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh cerita itu sendiri; (3) disampaikan lewat apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang tokoh tertentu; (4) disampaikan lewat apa yang terwakili oleh tokoh itu sebagai pemikiran, perasaan, pekerjaan dan ulangan-ulangan perbuatan.

Menurut Semi (1993:37), cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh lain, dan melalui kiasan atau sindiran. Semi (1993) menambahkan, ada dua cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi, yaitu: (1)

(6)

secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan watak tokoh, pengarang menyebutkan tokoh tersebut keras hati, penyayang; (2) secara dramatis, yaitu penggambar perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi disampaikan melalui: (a) pilihan nama tokoh (misal nama Sarinem untuk babu); (b) melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh lain, lingkungan; (c) melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.

Menurut Lubis (dalam Tarigan, 1993:133-134), ada beberapa cara yang dipergunakan oleh pengarang untuk melukiskan rupa, watak, perilaku atau pribadi para tokoh tersebut, antara lain: (1) physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon); (2) portrayal of thought stream or of concious thought (melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya; (3) reaction to events (melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian); (4) direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis watak pelakon; (5) discussion of environment (pengarang melukiskan keadaan sekiata pelakon; (6) reaction of other about/ to character (pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu); (7) conversation of other about character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama).

Berdasarkan pelukisan tokoh dan perwatakan para ahli di atas, dapat dibagi menjadi dua. Pertama secara analitik, pengarang langsung memaparkan watak tokoh, pengarang menyebutkan tokoh tersebut seperti keras hati, penyayang, penyabar. Kedua secara dramatis, yaitu penggambar perwatakan yang tidak diceritakan langsung. Pelukisan melalui dialog merupakan cara yang cukup penting dan dominan. Pelukisan melalui dialog, mudah diamati lewat apa yang diucapkannya baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain, sehingga kita dapat mengetahui watak tokoh tersebut.

(7)

2) Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karya sastra. Amanat dapat berupa nilai-nilai, tingkah laku, dan perbuatan yang biasanya diselipkan pengarang atau penulis dalam karyanya sehingga pembaca harus membacanya dengan cermat dan teliti karena amanat tidak ditampilkan secara tersurat. Menurut Nurgiyantoro (2005:322) moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005:322) adalah:

“Suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat tokoh-tokohnya.”

Rahim & Rahiem (2012: 455) mengungkapkan bahwa:

“Through story reading or storytelling activities, children become familiar not only with a variety of examples of good and bad deeds, regulations and punishments, but also learn the reasons for taking action, problem solving, weighing action before taking it, and they also learn empathy. Stories, through the characters and events depicted within, provide children with the chance to learn new ideas and concepts. Children learn without being afraid. They can draw their own lessons from a story.”

Melalui kegiatan membaca cerita, pembaca dapat menarik pelajaran (amanat) dari sebuah cerita yang dibaca. Penikmat cerita akan mendapatkan pelajaran tentang kehidupan seperti perbuatan baik dan perbuatan buruk. Tidak berhenti pada itu saja, dalam sebuah cerita pembaca juga akan mempelajari alasan untuk mengambil keputusan, mengambil tindakan,

(8)

pemecahan masalah. Hal tersebut dapat diambil oleh pembaca dari penggambaran peristiwa dan karakter dalam tokoh cerita tersebut.

Rahim & Rahiem (2012: 455) menambahkan “Stories have the potential to function as a vehicle of moral education for young children. Children learn their own religious, social and cultural values and also about others‟ values.” Dijelaskan bahwa cerita berfungsi sebagai wahana pendidikan moral. Melalui amanat yang disampaikan pengarang, pembaca dapat belajar tentang nilai-nilai seperti nilai agama, nilai sosial dan budaya. Biasanya dalam menyampaikan tema, pengarang tidak berhenti pada pokok persoalannya saja akan tetapi disertakan pula pemecahannya atau jalan keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu sangat bergantung pada pandangan dan pemikiran pengarang. Pemecahan permasalahan biasanya berisi pandangan pengarang tentang bagaimana sikap kita kalau kita menghadapi persoalan tersebut. Hal yang demikian itulah yang disebut amanat atau pesan (Suroto, 1990:89).

Penelitian yang dilakukan oleh Khofiyana pada tahun 2013 dengan judul nilai-nilai pendidikan dan aspek sosial budaya novel biografi Sepatu Dahlan serta relevansinya sebagai bahan ajar membaca biografi berbasis pendidikan karakter di SMA merupakan salah satu penelitian yang memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Kesamaan penelitian tersebut adalah sama-sama mengkaji novel Sepatu Dahlan. Perbedaan dari penelitian ini adalah aspek yang dikaji pada penelitian ini berupa stilistika. Penelitian yang dilakukan Khofiyana menghasilkan simpulan: (1) nilai-nilai pendidikan dalam novel biografi Sepatu Dahlan, berupa: nilai pendidikan agama, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral; (2) relevansi novel biografi Sepatu Dahlan sebagai bahan ajar membaca biografi berbasis pendidikan karakter di SMA, novel digunakan sebagai bahan ajar buku biografi nonfiksi, karena meningkatkan minat baca siswa dengan bahasa yang sederhana dan komunikatif, membuat pembelajaran menjadi menyenangkan, sesuai dengan umur dan psikologi siswa SMA kelas XI.

(9)

2. Hakikat Gaya Bahasa

a. Pengertian Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah ungkapan perasaan, pikiran yang ditulis menggunakan bahasa yang khas oleh pengarang untuk menciptakan kesan yang estetis. Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis satu dengan yang lain pasti berbeda. Setiap penulis mempunyai gaya selingkung yang khas. Gaya bahasa yang digunakan pengarang akan menghidupkan setiap kalimatnya, sehingga menimbulkan reaksi dan tanggapan dari pembaca atau penikmatnya. Menurut Slametmuljana (dalam Pradopo, 2005:93), “Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca”. Gaya bahasa biasanya banyak ditemukan pada karya sastra, sebab dalam karya sastra bahasa yang digunakan begitu indah, hidup dan menarik sehingga menimbulkan kesan tertentu pada pembaca. Ilmu yang mempelajari tentang gaya dan bahasa adalah stilistika. Menurut Shipley (dalam Ratna, 2013:8), “Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari akar kata stilus (Latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin”. Menurut Jabrohim (2014), istilah stilistik merupakan pungutan dari stylistics yang merupakan turunan dari kata style tersebut. Dengan demikian, stilistik atau stilistika merupakan ilmu tentang gaya bahasa dalam karya sastra.

Menurut Zaidan (dalam Asis, 2010: 103), “Stilistika merupakan ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya dalam karya sastra”. Senada dengan Panuti Sudjiman (dalam Satoto, 2012: 36) “ „stilistika‟ (stylistic) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra”. Sementara itu, Panuti Sudjiman (dalam Hartono, 2003: 4) mengatakan bahwa “Stilistika menelaah cara sastrawan memanipulasi, dalam arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaan bahasa tersebut. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa”. Dipertegas oleh Sudjiman (dalam Asis, 2010:103), “Pusat perhatian stilistika adalah style , yaitu cara yang digunakan seseorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana”. Sementara itu, Lecch& Short (dalam Nurgiyantoro, 2005:279), ”Stilistika (stylistics)

(10)

menyarankan pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra”.

Satoto (2012: 35) mengungkapkan, “ „style‟, „stail‟ atau „gaya‟, yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi”. Senada dengan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:276), “Stile (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain”. Style atau gaya digunakan oleh pengarang sebagai cara dalam mewakili ide, perasaan, gagasan yang dituangkan ke dalam bahasa. Senada dengan hal tersebut menurut Nurgiyantoro (2005: 277), “Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan”. Leech & Short (dalam Nurgiyantoro, 2005:276-277),“Makna stile adalah suatu hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya”.

Berdasarkan pendapat yang diungkapkan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah kajian yang meneliti tentang gaya bahasa, yang berupa diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa pigura (figurative language), struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana, dan sasarana retorika yang lain.

b. Unsur Stile

Ada beberapa unsur dalam stile atau gaya. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian yang vital untuk mengetahui gaya bahasa yang digunakan oleh penulis. Satoto (2012: 35) berpendapat bahwa cara pengungkapan gaya bahasa bisa meliputi setiap aspek kebahasaan: diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa pigura, struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana, dan sasarana retorika yang lain”. Menurut pendapat Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:289), “Unsur stile terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (rhetorical, yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya)”. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Roger Fowler (dalam Jabrohim, 2014:7) “Stilistika adalah sebagai

(11)

cabang pendekatan karya sastra yang lebih memperhatikan aspek kebahasaan seperti imajeri (citraan), struktur bunyi, sintaksis, dan sebagainya”.

Di pihak lain, Leech& Short (dalam Nurgiyantoro, 2005:289) mengemukakan bahwa “Unsur stile (ia memakai istilah stylistic categories) terdiri dari unsur (kategori), leksikal, gramatikal, figures of speech, dan konteks dan kohesi”. Dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus pada bentuk penggunaan diksi, penggunaan bahasa figuratif, dan penggunaan pencitraan atau imaji.

1) Diksi

Diksi adalah pilihan kata yang digunakan penulis atau penyair untuk mewakili perasaannya. Mengenai pilihan kata atau diksi Pradopo berpendapat, “Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, ia juga ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya” (2005:54). Menurut Rokhmansyah (2014), pilihan kata berguna untuk membedakan nuansa makna dan gagasan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa. Pemilihan kata yang tepat menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca sesuai dengan yang dirasa dan dipikirkan pembaca. Keraf (dalam Wati, 2012:122) mendefinisikan diksi sebagai berikut:

“Diksi adalah pertama mencakup pengertian kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara menggabungkan kata-kata, yang tepat dan gaya yang paling baik dalam situasi tertentu kedua kemampuan secara tepat membedakan nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan yang ingin disampaikan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar atau pembaca ketiga diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosa kata yang banyak”.

Rokhmansyah (2014:16) menyimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana yang diusahakan secermat dan seteliti mungkin, dengan mempertimbangkan arti sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna konotatif sehingga mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pilihan kata merupakan media yang digunakan oleh penulis untuk mengungkapkan

(12)

ide, gagasan yang dimilikinya untuk mewakili ekspresi jiwa penulis. Dalam penelitian novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara hanya terfokus pada penggunaan kata konotatif, kata konkret, dan kata dengan objek realitas alam. a) Kata Konotatif

Kata konotasi adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan (Al-Ma‟ruf, 2009:53). Pradopo (2005) menjelaskan bahwa “Konotasi menunjuk pada arti tambahannya”. Sejalan dengan hal tersebut Suwandi berpendapat, “Konotasi adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi yang biasanya bersifat emosional dan subjektif. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap leksem yang digunakan” (2011:99). Hal ini senada dengan pendapat Keraf (2004:29), “Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosi”.

Satoto menyatakan bahwa bahasa sastra bersifat konotatif. Bahasa sastra tidak hanya berfungsi menerangkan tetapi juga berfungsi sebagai pernyataan perasaan (expressive), menyampaikan nada dan sikap si pembicara atau penulis dan bersifat membujuk (persuasive) (2012:116). Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik simpulan bahwa kata konotatif merupakan makna yang tidak sebenarnya, berupa kiasan, dan bersifat subjektif.

b) Kata Konkret

Kata konkret adalah kata yang memiliki arti yang sebenarnya atau kata dengan makna dasar. Menurut Kridalaksana (dalam Al-Ma‟ruf, 2009:53), kata konkret adalah kata yang mempunyai ciri-ciri fisik yang tampak (tentang nomina). Kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai konvensi tertentu. Menurut Al-Ma‟ruf (2009), kata-kata yang dikonkretkan membuat pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, keadaan yang dilukiskan pengarang. Misalnya, untuk melukiskan citra visual oleh pengarang. Misalnya, untuk melukiskan citra visual tentang keserasian dan kekenesan sosok Srintil(tokoh utama dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari), gadis yang akan diwisuda menjadi seorang ronggeng

(13)

di Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menggunakan kata-kata konkret:”Srintil didandani dengan pakaian kebesaran seorang ronggeng. Aku melihat keris kecil yang kuberikan kepada Srintil terselip di pinggang ronggeng itu. Serasi benar ukurannya dengan badan Srintil” Tohari (Al-Ma‟ruf, 2009:54).

Mendasar pada simpulan Al-Ma‟ruf, kata konkret memiliki makna denotatif. Menurut Suwandi (2011:95), “Makna denotatif (denotative meaning) adalah makna kata yang didasarkan atas penujukkan yang lugas, polos, apa adanya. Makna denotatif dapat disebut pula makna yang sebenarnya atau makna dasar, yaitu makna kata yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa”. Menurut Keraf (2004:28), “Makna denotatif disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan bersifat factual”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata konkret mengandung makna yang sebenarnya, makna dasar dari sebuah kata. Kehadiran kata konkret berfungsi untuk memperjelas pembaca dalam mengimajinasikan sesuatu dalam karya sastra.

c) Kata dengan Objek Realitas Alam

Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang menggambarkan atau mewakili objek realitas alam. Menurut Al-Ma‟ruf (2009:57), kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti. Makna katanya tentu saja dapat dipahami dengan melihat konteks kalimat atau melihat hubungan kata dengan kata lainnya dalam suatu kebahasaan dengan memperhatikan objek realitas alam yang digunakan oleh pengarang.

“Seniman hanya dapat menciptakan keindahan seni, yang bahan bakunya adalah alam semesta (juga keindahan alam sendiri)” (Satoto, 2012:33). Satoto menyimpulkan bahwa jika karya sastra adalah cerminan masyarakat beserta lingkungannya, maka masyarakat, lingkungan, dan alam semesta dapat dijadikan sebagai objek-objek yang estetik.

Dapat disimpulkan bahwa kata dengan objek realitas alam, yaitu kata-kata yang digunakan berkaitan dengan objek unsur-unsur dari alam semesta. Hal ini

(14)

untuk memperjelas keadaan, tempat, suasana, dan peristiwa yang menggambarkan gejala alam.

2) Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif adalah pemanfaatan bahasa yang digunakan oleh pengarang untuk memperoleh efek keindahan pada sebuah karya sastra. Penggunaan bahasa tersebut untuk menyatakan sesuatu yang biasanya dengan cara yang tidak langsung atau bahasa kias. Menurut Waluyo (dalam Al-Ma‟ruf, 2009:59-60) bahasa figuratif atau bahasa kias digunakan oleh sastrawan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak langsung untuk mengungkapkan makna. Al-Ma‟ruf (2009) mengatakan bahasa figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat mencakup majas, idiom dan peribahasa. Pada penelitian ini hanya akan dibahas mengenai majas.

“Pemajasan (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia, merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias” (Nurgiyantoro, 2005:297). Menurut Ratna (2013:164), “Majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan”. Ratna membedakan majas menjadi empat macam, diantaranya: (a) majas penegasan, (b) perbandingan, (c) pertentangan, dan (d) majas sindiran. Lain halnya dengan Suroto (1990:115) mengelompokkannya menjadi empat, yaitu: (a) gaya bahasa perulangan; (b) gaya bahasa perbandingan; (c) gaya bahasa pertentangan; (d) gaya bahasa pertautan. Pradopo (2005; 62) membagi jenis-jenis bahasa kiasan tersebut diantaranya: perbandingan (simile), metafora, perumpaan epos (epic simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori. Menurut Keraf (2004), “Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan, salah satunya gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna”. Gaya bahasa berdasar langsung tidaknya makna dibagi menjadi dua, yakni gaya bahasa retoris, dan gaya bahasa kiasan.

(15)

(1) Gaya Bahasa Retoris

Istilah retorik menurut Aminuddin (1995:4), diartikan sebagai seni dalam menekankan gagasan dan memberikan efek tertentu bagi penanggapnya. Menurut Nurgiyantoro (2005:295), retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.

(a) Aliterasi

Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan pada suatu kata atau beberapa kata (Suroto, 1990: 129). Hal yang sama diungkap oleh Keraf (2004), bahwa aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa.

Misalnya:

Keras-keras kerak kena air lembut juga.(Keraf, 2004:130) Tak-tik tipu terpedaya

Pada contoh di atas terdapat pengulangan konsonan, yaitu pada kalimat pertama berupa pengulangan konsonan k dan r, sedangkan pada kalimat kedua pengulangan konsonan berupa huruf t.

(b) Asonansi

Menurut Suroto (1990:130), asonansi adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berjudul perulangan vokal pada suatu kata atau beberapa kata. Hal itu senada dengan pendapat Keraf (2004) bahwa asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Hal ini dilakukan untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar keindahan. Misalnya:

Ini muka penuh luka siapa punya. (Keraf,2004:130) Sedih merintih perih tak bertepi.

Kedua contoh di atas terdapat pengulangan vokal a pada kalimat pertama, dan terdapat pengulangan vokal e dan i pada kalimat kedua sehingga disebut asonansi yang artinya adalah gaya bahasa yang mengandung pengulangan bunyi vokal yang sama .

(16)

(c) Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan cara pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat (Keraf, 2004:130). Menurut Suroto (1990:124), “Anastrof adalah sejenis majas retoris yang diperoleh dengan membalikkan susunan kata dalam kalimat atau mengubah urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis”. Hal yang senada juga diungkapkan Semi (1993:53), inversi adalah penggunaan atau pemakaian kalimat dengan jalan membalikkan subjek dan predikat; artinya predikat didahulukan dari subjek.

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. (Keraf, 2004:130)

Tafakur ia sambil menadahkan tangannya ke langit. (Semi, 1993:53)

Mendengar suara itu ia langsung berlari terbirit-birit

Contoh di atas termasuk majas anastrof sebab membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat, dari yang biasanya didahului subjek namun pada contoh di atas didahului predikat yang ditandai dengan kata pergilah, tafakur, mendengar. (d) Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Suroto (1990:124) menyimpulkan bahwa “Apofasis adalah sejenis majas atau gaya bahasa yang berupa pernyataan yang tampaknya menolak sesuatu akan tetapi sebenarnya justru menegaskannya. Jadi seolah-olah hendak merahasiakan sesuatu akan tetapi sebenarnya justru menjadi semakin jelas dengan adanya pernyataan tersebut”.

Misalnya:

Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.(Keraf, 2004:130).

(17)

Saya adalah tipe orang yang tidak mau mengungkapkan kejelekan orang lain, tapi perkataan yang perbuatan Anda yang kasar dan arogan membuat saya jengah.

Kalimat di atas menggambar bahwa penulis seolah-olah tidak ingin mengungkapkan sisi keburukan atau dengan kata lain ingin merahasiakan sesuatu terbukti pada bagian tidak mau mengungkapkan dan tidak mau mengungkapkan kejelekan orang lain,tapi sebenarnya ingin mengungkapkan keburukan itu terlihat pada Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang Negara dan perkataan yang perbuatan Anda yang kasar dan arogan

(e) Apostrof

Apostrof adalah berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Senada dengan pendapat Suroto (1990:123), “Apostrof adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipakai oleh orator klasik atau dukun trasidional”.

Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.(Keraf, 2004:131)

Para pejuang yang gugur dan telah berjasa pada negara berilah kami keadilan yang dulu kau berjuangkan.

Kata dewa-dewa dan para pejuang yang gugur pada kalimat di atas adalah bentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Dikatakan pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir karena dewa-dewa dan para pejuang yang gugur merupakan orang yang tidak mungkin hadir atau orang tersebut telah meninggal.

(f) Asindeton

Menurut Sutejo (2010:28), “Asindenton adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa benda, hal, atau keadaan secara berturut-turut tanpa menggunakan kata konjungsi (penghubung). Gaya bahasa ini termasuk ke dalam gaya bahasa penegasan. Contoh: ia terperanjat, terduduk, berdiri dari tempat duduknya”. Senada dengan Suroto (1990:129), “Asindeton semacam gaya bahasa yang berupa sebuah kalimat atau suatu konstruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar akan tetapi tidak dihubungkan dengan kata-kata penghubung”. Asindeton adalah suatu gaya

(18)

yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.

Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji-imaji, metode, prosedur dijungkir balik, masih itu-itu juga.(Keraf, 2004:131)

Pilu, tangis, senyum, bahagia mewarnai kehidupan

Kata yang dicetak tebal merupakan kata yang bersifat padat yang tidak dihubungkan dengan kata sambung melainkan dipisahkan dengan koma, hal inilah yang menandai majas asindeton.

(g) Polisindeton

Menurut Suroto (1990:129), “Polisindeton adalah gaya bahasa yang berupa sebuah kalimat atau sebuah konstruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar dan dihubungkan dengan kata-kata penghubung”. Sutejo (2010: 31) berpendapat bahwa “Polisindenton merupakan gaya bahasa penegasan dengan menyebutkan beberapa benda, hal, atau keadaan secara berturut-turut dengan mempergunakan kata sambung. Contoh: ia terduduk, lalu berdiri, kemudian berjalan-jalan kecil sambil melepaskan amarah”. Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.

Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya? (Keraf,2004:131)

Ia duduk di tepi kemudian tak berapa lama ia pergi dan punggungnya tak kelihatan lagi.

Pada contoh di atas terdapat kalimat yang mengandung kata-kata yang sejajar yang dihubungkan dengan kata sambung. Kata sambung pada contoh tersebut berupa dan pada kalimat pertama dan kata sambung kemudian, dan pada kalimat kedua maka jelas disebut polisindeton.

(h) Kiasmus

Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama

(19)

lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. (Keraf, 2004:132)

Lengkap sudah penderitaan ini, kekasihku pergi tak kembali.

Pada kalimat di atas masing-masing terdiri dari dua bagian yang susunannya terbalik. Suroto (1990:131) menyebut majas atau gaya bahasa ini dengan sebutan kaismus, ia mengungkapkan bahwa kaismus adalah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi (pembalikan susunan) antara dua kata dalam satu kalimat.

(i) Elipsis

Elipsis adalah gaya bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Suroto (1990:128) menyimpulkan bahwa “Elipsis adalah gaya bahasa yang didalamnya terdapat penanggalan atau penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dari suatu konstruksi sintaksis”.

Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ... (Keraf, 2004:132)

Wajahmu sungguh cantik namun sayang hatimu ...

Kedua kalimat di atas menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat ditafsirkan pembaca. Pada kalimat pertama mengungkapkan bahwa keadaan jasmaninya sehat ditandai dengan dari segi fisik engkau tak apa-apa setelah itu dihilangkan beberapa unsur kalimat, tapi pembaca dapat dengan mudah mengartikan bahwa yang sakit adalah psikisnya yang bisa ditafsirkan pembaca bahwa ia gila. Pada kalimat kedua mengungkapkan wajah seorang gadis yang cantik ditandai dengan wajahmu sungguh cantik setelah itu ada unsur kalimat yang dihilangkan, tapi pembaca dapat mengetahui unsur kalimat yang dihilangkan itu bahwa gadis yang cantik itu hatinya buruk atau jahat.

(20)

(j) Eufemismus

Menurut Suroto (1990:127), “Eufimisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan”. Eufemismus adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan-ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (Keraf, 2004:132) Liria terlalu lambat mengikuti pelajaran ini dibandingkan dengan teman-temannya

Pada contoh di atas digunakan ungkapan atau kata-kata yang halus yang tidak menginggung perasaan orang lain, ditandai dengan Pikiran sehatnya semakin merosot pada kalimat pertama yang sebenarnya dapat diganti dengan kata gila dan terlalu lambat mengikuti pelajaran pada kalimat kedua yang dapat diganti dengan kata bodoh, tapi kata itu mungkin dirasakan terlalu kasar dan dapat menyinggung orang lain.

(k) Litotes

Litotes adalah majas yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan untuk merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan yang sebenarnya. Menurut Suroto (1990:119), “Litotes adalah sejenis majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Tujuannya untuk merendahkan diri”.

Apa yang kami hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekali bagimu.(Keraf, 2004:132-133)

Saya hanya tahu sedikit-sedikit tentang musik. (Semi, 1993:52) Datanglah ke gubuk kami yang sederhana.

Pada contoh di atas dipakai kata-kata yang merendahkan diri, terbukti dengan adanya kata hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekali bagimu padahal yang diberikan adalah hadiah yang sangat mewah dan mahal yang sangat berarti dan diinginkan, pada kalimat kedua mungkin sebenarnya ia adalah seorang ahli musik yang mengetahui banyak tentang musik. Selain itu pada kalimat ketiga

(21)

ditandai dengan kata ke gubuk kami yang sederhana, kata gubuk mungkin faktanya adalah rumah mewah dan megah. Kata-kata itu dipilih untuk merendahkan diri. (l) Histeron Proteron

Menurut Suroto (1990:124), “Histeron proteron adalah majas (gaya bahasa) yang isinya merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar”. Pendapat tersebut senada dengan Keraf (2004) bahwa histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.

Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang. (Keraf, 2004:133)

Bila sudah melewati bukit itu, maka ia akan sampai di taman bunga yang indah.

Kalimat di atas merupakan histeron proteron sebab ada kebalikan dari sesuatu yang wajar. Pada majas pertama yang memberikan perlindungan dari panas dan hujan adalah rumah/ kamar bukan jendela, namun pada majas ini di balik. Pada kalimat kedua menempatkan sesuatu yang terjadi pada awal peristiwa ditandai dengan bila sudah melewati bukit.

(m) Pleonasme dan Tautologi

Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Menurut Suroto (1990:117), “Pleonasme adalah penggunaan kata yang mubazir, yang sebenarnya tidak perlu. Jadi, mengemukakan kembali hal yang sebenarnya sudah tercakup dalam kata atau frase yang terdahulu”. Pengertian tautologi sendiri menurut Suroto (1990:117) adalah jenis gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang searti dengan kata yang telah disebutkan terdahulu. Oleh karena itu, ada yang menyebutnya sebagai sinonim. Berikut adalah contoh pleonasme dan tautologi.

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. (Keraf, 2004:133) Aku melihat peristiwa itu dengan mata kepalaku sendiri.

(22)

Contoh di atas adalah majas pleonasme sebab semua acuan tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata dengan telinga saya sendiri, dengan mata kepalaku sendiri.

Mereka akan datang tanggal 25 Desember tepat pada hari Natal. (Saroto, 1990:117)

Gadis itu datang pagi-pagi sekali jam 04.00.

Majas di atas adalah majas tautologi sebab terdapat kata atau frasa yang searti yang telah disebutkan terdahulu, yaitu 25 Desember dengan hari Natal, kata pagi-pagi sekali dengan jam 04.00 sama-sama memiliki arti yang sama.

(n) Perifrasis

Menurut Keraf (2004:134), perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berkelebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Sutejo (2010:31) menyebut gaya bahasa ini dengan prifrase, “Prifrase adalah gaya bahasa perbandingan dengan mengganti sebuah kata dengan beberapa kata atau kalimat”. Suroto (1990:118) mengungkapkan bahwa, “Perifrasis adalah gaya bahasa yang dalam pernyataannya sengaja menggunakan frase yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata kata”.

Ia telah beristirahat dengan damai (Keraf, 2004:134) Permintaan anda belum bisa saya terima

Kami baru datang ketika matahari sudah tenggelam di ufuk timur Suroto (1990:118)

Pada contoh di atas terdapat kata yang berlebihan yang sebenarnya dapat diganti dengan satu kata, pada contoh pertama beristirahat dengan damai dapat diganti dengan kata mati atau meninggal, pada contoh kedua belum bisa saya terima sebenarnya dapat diganti dengan ditolak. Pada contoh ketiga kata matahari sudah tenggelam di ufuk timur dapat diganti dengan kata sore.

(o) Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya

(23)

terjadi (Keraf, 2004:134). Menurut Suroto (1990:118), “Antisipasi (prolepsis) adalah gaya bahasa yang dalam pernyataanya menggunakan frase pendahuluan yang isinya sebenarnya masih akan dikerjakan atau akan terjadi”.

Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru. (Keraf, 2004:134)

Pesawat yang sial itu landing pukul 09.00 WITA

Kalimat di atas termasuk prolepsis atau antisipasi sebab mendeskripsikan peristiwa kecelakaan, terlebih dahulu ditandai dengan frasa pendahuluan pada pagi yang naas itu dan pesawat yang sial itu, padahal kesialan dan kecelakaan baru akan terjadi.

(p) Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis adalah gaya bahasa semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban (Keraf, 2004:134). Senada dengan Suroto (1990), erotesis adalah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang tidak menuntut jawaban sama sekali. Erotesis atau yang disebut juga gaya bahasa retoris, di dalamnya hanya mengandung satu asumsi jawaban.

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?(Keraf, 2004:134)

Siapa yang mengingingkan hidup bahagia?

Kalimat di atas disebut sebagai pertanyaan retoris sebab sebenarnya tidak membutuhkan jawaban, contoh-contoh di atas hanya mengandung satu asumsi jawaban saja.

(q) Selepsis dan Zeugma

Selepsis adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama (Keraf, 2004:135).

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Ia menginginkan cinta dan payung merahnya.

(24)

Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasi, yang lain memiliki makna kiasan, begitu halnya pada kalimat kedua, memiliki makna gramatikal yang berbeda.

Menurut Suroto (1990:120), zeugma adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata yang pertama.

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal. Misalnya:

Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. (Keraf, 2004:134)

Dia memalingkan muka dan badannya saat Roy manatapnya.

Pada kalimat di atas sebenarnya hanya salah satu kata saja yang cocok dan sesuai digunakan pada kalimat, yaitu pada contoh di atas yang cocok adalah membelalakkan mata dan memalingkan muka pada masing-masing kalimat.

(r) Koreksio atau Epanortosis

Koreksio adalah gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya (Keraf, 2004:135). Menurut Suroto (1990:118), “Koreksio atau epanortosis adalah gaya bahasa yang dalam pernyataannya mula-mula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki mana-mana yang salah”. Lain halnya dengan Semi (1993:53), koreksi adalah pembetulan terhadap kata yang sengaja diucapkan salah dengan maksud menarik perhatian.

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. (Keraf, 2004:135)

Ia sudah pingsan, eh bukan, sudah tidur (Semi, 2004:53)

Sudah lama aku meninggalkan kampung ini, sekitar 4 tahun yang lalu, ah tidak sudah 5 tahun yang lalu.

(25)

Pada contoh di atas merupakan majas koreksio, sebab terdapat pembenaran pada kalimat berikutnya yang ditandai dengan ah bukan, sudah lima kali; ah tidak sudah 5 tahun yang lalu dan eh bukan, sudah tidur.

(s) Hiperbola

Menurut Sutejo (2010: 29), “Hiperbola merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya”. Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Suroto (1990:119) menambahkan bahwa “Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan baik jumlah, ukuran ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekankan, memperhemat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Hiperbola merupakan cara yang berlebihan untuk mencapai efek”.

Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. (Keraf, 2004:135).

Suaranya menggelegar seperti petir.

Contoh di atas memperlihatkan bahwa adanya sesuatu yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan yaitu pada hampir-hampir meledak aku dan menggelegar seperti petir.

(t) Paradoks

Menurut Sutejo, “Paradoks adalah gaya bahasa pertentangan yang hanya kelihatan pada arti kata yang berlawanan padahal sesungguhnya objeknya berlainan” (2010:31). Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Menurut Suroto (1990:123) maksudnya bahwa pertentangan yang ada dalam kalimat itu memang benar dan bisa terjadi dalam kenyataan.

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah. (Keraf, 2004:136)

Ia merasa sepi di kota metropolitan yang selalu ramai ini.

Kalimat di atas termasuk majas paradoks sebab mengandung pertentangan dalam kalimatnya. Terlihat pada kata musuh dengan kawan, mati kelapan dengan

(26)

kekayaan yang berlimpah-limpah, sepi dengan kota metropolitan yang selalu ramai.

(u) Oksimoron

Menurut Suroto (1990:120), “Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama”. Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.

Keramah-tamahan yang bengis (Keraf, 2004:136) Kebahagiaan ini membuat luka di kemudian hari.

Terlihat pada kalimat di atas terdapat pertentangan dan menggunakan kata-kata yang berlawanan, seperti Keramah-tamahan dengan bengis, Kebahagiaan dengan luka semuanya mengandung arti yang berlawanan yang disatukan ke dalam kalimat yang bersifat lebih padat.

(2) Gaya Bahasa Kiasan

Menurut Keraf (2004) gaya bahasa kiasan dibentuk berdasar perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang sama antar keduanya. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam-macam gaya bahasa kiasan.

(a) Persamaan atau Simile

Menurut Keraf (2004) persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, maksudnya ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain, sehingga memerlukan upaya secara eksplisit menunjukkan kasamaan itu, yaitu dengan kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana dan sebagainya. Hal ini senada dengan Nurgiyantoro bahwa, “Simile menyaran pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan seperti: seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan sebagainya” (2005:299). Contohnya:

Seperti menating minyak penuh Bagai air di daun talas

(27)

(Keraf, 2004:138)

Wajahku rasanya merah seperti kepiting rebus

Contoh-contoh di atas merupakan majas simile sebab ditandai dengan kata seperti, bagai dalam kalimat tersebut. Dikatakan sebagai majas simile apabila suatu kalimat tersebut membandingkan sesuatu menggunakan kata seperti: seperti, sama, sebagai, bagaikan, dan laksana.

(b) Metafora

Menurut Pradopo (2005:66), “Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, laksana, seperti, dan sebagainya”. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2004:139). Metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tak langsung dan implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit (Nurgiyantoro, 2005:299). Menurut Sutejo (2010:30), metafora merupakan kiasan seperti pembanding pula, akan tetapi gaya ini tidaklah menggunakan kata pembanding seperti gaya perbandingan sebelumnya.

Bunga bangsa adalah ujung tombak negeri ini Raja siang keluar dari peraduannya.

Raja siang dan bunga bangsa adalah majas metafora sebab membandingkan dua hal secara langsung tanpa menggunakan kata seperti: sama, seperti, laksana. Arti bunga bangsa sendiri adalah pemuda, sedangkan raja siang memiliki arti matahari (c) Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat (Keraf, 2004). Menurut Sutejo, “Alegori merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang” (2010:27). Menurut Suroto (1990), alegori lebih tepat dikategorikan sebagai gaya bercerita atau gaya membahasakan cerita, hal itu disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa yang digolongkan dalam alegori adalah cara bercerita yang menggunakan lambang.

(28)

Bunga kuncup belum lagi mekar, badai melanda kembang berguguran (Semi, 1993:51)

Tak lelah aku melangkah, walau kadang aku terjatuh, aku harus bangkit dan terus berjalan, hingga aku berada pada tujuan yang kuinginkan.

Kalimat di atas dirangkai seperti sebuah cerita dengan ada beberapa pelakunya dinyatakan dengan lambang seperti pada kalimat pertama kata bunga kuncup, kembang artinya adalah anak-anak remaja. Kalimat pertama memiliki arti yaitu anak-anak remaja yang ditimpa musibah. Kalimat kedua dikiaskan untuk menyatakan seseorang yang sedang berjuang, berusaha dengan keras untuk mencapai impiannya.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Menurut Suroto (1990:117), parabel merupakan cerita yang disusun untuk menyampaikan ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan menggunakan ibarat. Sutejo (2010) mengungkapkan bahwa parabel merupakan “Gaya bahasa perbandingan dengan mempergunakan perumpamaan dalam hidup. Gaya bahasa ini terkandung dalam seluruh isi karangan. Contoh: Bhagawat Gita, Mahabarata, Bayan Budiman”.

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia (Keraf, 2004:140).

(d) Personifikasi atau Prosopopoeia

Keraf (2004:140) berpendapat bahwa, “Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan”.

Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Jadi dalam personifikasi terdapat persamaan sifat antara benda mati dengan sifat manusia (Nurgiyantoro, 2005:300). Menurut Sutejo personifikasi adalah “Gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia” (2010:31). Majas ini sering sekali digunakan oleh

(29)

pengarang dari dulu hingga sekarang. Menurut Pradopo, “Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang konkret” (2005:75).

Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami. (Keraf,2004:140)

Awan berjalan dari selatan ke utara.

Kalimat di atas termasuk majas personifikasi karena benda mati yaitu angin dan awan (pada kalimat di atas) diibaratkan seperti manusia yang dapat meraung dan berjalan.

(e) Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa (Keraf, 2004:141). Suroto (1990:126) menyebutnya dengan Aluisio, yaitu majas yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal atau diketahui orang, dengan menyebut suatu nama atau peristiwa orang akan tahu apa yang dimaksudkan.

Bandung adalah Paris Jawa (Keraf, 2004:141)

Kalimat di atas merupakan majas alusi, ditandai dengan mensugestikan adanya kesamaan tempat yaitu kota Bandung dengan Paris. Kesamaan kedua kota tersebut mungkin didasari karena kedua kota itu adalah pusat mode, style, fashion di masing-masing negaranya. Kedua nama kota tersebut telah familiar, sehingga menyebut nama kota tersebut orang akan tahu apa yang dimaksud.

(f) Eponim

Eponim adalah suatu gaya dimana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu (Keraf, 2004:141). Menurut Suroto (1990:127), eponim adalah semacam gaya bahasa yang menyebut nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat tertentu.

Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan (Keraf, 2004:141)

(30)

Dewi Fortuna untuk menyatakan keberuntungan

Pada contoh di atas termasuk eponim sebab nama-nama tersebut dihubungkan dengan sifat-sifat tertentu, dan hal tersebut telah diketahui khalayak umum. Seperti hercules identik dengan sesuatu yang menyatakan kekuatan, dewi fortuna dipakai untuk menyatakan keberuntungan.

(g) Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang (Keraf, 2004:141). Hal ini senada dengan pendapat Suroto (1990:127) bahwa epitet adalah semacam gaya bahasa yang berupa keterangan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau suatu hal.

Lonceng pagi untuk ayam jantan Puteri malam untuk bulan Raja rimba untuk singa (Keraf, 2004:141)

Frasa di atas seperti lonceng pagi, puteri malam, raja rimba adalah sesuatu yang menyatakan sifat atau ciri khusus dari suatu hal. Lonceng pagi untuk ayam jantan, sebab ayam jantan selalu berkokok di pagi hari sebelum kebanyakan orang bangun. Puteri malam untuk menggantikan bulan, sebab bulan adalah salah satu benda langit yang cantik yang menghiasi langit di malam hari. Raja rimba untuk singa karena memiliki ciri khusus yaitu singa yang menguasai hutan, dalam arti ia adalah raja di hutan.

(h) Sinekdoke

Sinekdoke yang berasal dari bahasa Yunani synekdechsthai yang berarti “menerima bersama-sama” merupakan gaya yang juga tergolong gaya pertautan, mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya (pars prototo), atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum proparte) (Nurgiyantoro, 1995:300). Sutejo menambahkan, “Gaya bahasa itu sendiri merupakan bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri” (2010:32).

(31)

Menurut Keraf, sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars prototo) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum proparte) (2004:142).

Setiap ekor domba dihargai sebesar Rp. 700.000,00 (pars prototo)

Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4 (totum proparte)

(Keraf, 2004:142)

Pada kalimat pertama disebutkan kata ekor yang dimaksudkan adalah semua bagian tubuh hewan yaitu kepala, badan, dan kaki hewan bukan hanya ekornya. Kata ekor dipakai untuk menyebutkan sebagian untuk keseluruhan yang disebut dengan pars prototo.

Kalimat kedua menggunakan kata Indonesia dan Malaysia yang dimaksud di sini adalah hanya tim yang mengikuti pertandingan sepak bola, bukan seluruh masyarakat Indonesia dan Malaysia. Penggunaan kata Indonesia dan Malaysia untuk menyatakan keseluruhan untuk sebagian yang disebut totum proparte.

(i) Metonimia

Menurut Keraf (2004: 142), “Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat erat”. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro, “Metonimi merupakan sebuah yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat” (2005:300).

Ia membeli sebuah chevrolet.

Saya minum satu gelas, ia dua gelas.

Ialah yang menyebabkan air mata yang gugur. Pena lebih berbahaya dari pedang.

Ia telah memeras keringat habis-habisan. (Keraf, 2004:142)

Pradopo (2005) mengungkapkan bahwa metonimi dalam bahasa Indonesia disebut kiasan pengganti nama. Penggunaan metonimia ini efeknya ialah pertama

(32)

untuk membuat lebih hidup dengan menunjukkan hal yang konkret, sehingga menghasilkan imaji yang nyata.

(j) Antonomasia

Keraf (2004: 142), menjelaskan bahwa antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Senada dengan pendapat Suroto (1990:127), antonomasia adalah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan nama gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri.

Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu. (Keraf, 2004:142)

Pak Bupati datang meresmikan puskesmas.

Pada contoh di atas terdapat penggantian nama diri, dan gelar resmi atau jabatan yang menggantikan nama diri. Kata penggantian nama diri tersebut seperti yang mulia, pangeran dan pak bupati.

(k) Hipalase

“Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Atau dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan” (Keraf, 2004:142). Pendapat tersebut senada dengan Suroto (1990:124), hipalase adalah sejenis majas yang berupa sebuah pernyataan yang mempergunakan kata untuk menerangkan sesuatu kata yang seharusnya lebih tepat dikenakan pada kata yang lain.

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (Keraf, 2004:142). Pada hari yang bahagia ini mari kita ucapkan selamat kepadanya.

Pada contoh pertama maksudnya yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya sedangkan pada contoh kedua yang sedang bahagia adalah seseorang bukan harinya.

(33)

(l) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Menurut Suroto (1990), ironi adalah sejenis majas yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Ironi mengungkapkan sindiran dengan menyatakan kebalikan dari kenyataan. Keraf (2004) menjelaskan bahwa Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya:

Tulisanmu begitu bagus sekali

Rangkaian kata-kata yang digunakan itu sebenarnya untuk mengingkari dari kalimat yang ditulis, maksud penulisan itu sebenarnya adalah kebalikannya.

Kadang-kadang diperlukan juga istilah lain, yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati (Keraf, 2004:143). Suroto (1990:125) menambahkan sinisme seolah-olah menyanjung atau memuji seseorang akan tetapi sebenarnya pujian itu hanya untuk menyindir atau menyangsikannya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis.

Tulisanmu begitu bagus sekali hingga aku tak bisa membacanya.

Kalimat di atas digunakan untuk menyindir orang lain, walaupun di awal kalimat seolah-olah memuji tapi sebenarnya ingin menyindir yaitu tulisannya sangat jelek hingga tidak bisa dibaca.

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme (Keraf, 2004:143). Menurut Suroto (1990:125), sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran yang pedas dan kasar. Kata-kata yang digunakan kata-kata yang kasar dan tak enak didengar.

Tulisanmu seperti cakar ayam, bahkan lebih buruk dari itu.

Kalimat di atas adalah majas sakasme sebab kalimat yang digunakan bukan lagi menyindir tetapi langsung mencela dengan kata yang kasar, yang bisa menyakiti perasaan orang lain.

(m) Satire

Keraf (2004:144), mengungkapkan bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironi.

Gambar

Gambar 1. Kerangka BerpikirPenggunaan Gaya Bahasa Nilai Pendidikan 1.  Pemakaian Diksi 2

Referensi

Dokumen terkait

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami apa yang diperolehnya sehingga dapat menerangkan dan menjelaskan kembali serta memanfaatkan

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Selain kontraksi kinerja usaha pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan & perikanan dan sektor pertambangan & penggalian, penurunan SBT kegiatan

Nilai filosofi yang terkandung dalam bangunan masjid memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang makna yang terkandung pada arsitektur bangunan masjid dan

4) Media pembelajaran membuat siswa mendapatkan pengalaman yang sama tentang peristiwa yang terjadi pada lingkungan mereka, kemungkinan dapat terjadi interaksi

faktor yang dominan dalam permainan sepaktakraw, yaitu meliputi : sepakan atau menyepak, ini sangat penting karena sepakan atau menyepak dapat dikatakan sebagai

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami resiliensi ekonomi rumah tangga petani dalam pengelolaan Ume Talang di Desa Lebung Gajah Kecamatan Tulung