• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Tinjauan Pustaka"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

6

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1

Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang sistem pendukung keputusan dengan mengunakan metode Promethee telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti, akademisi maupun praktisi-praktisi Teknologi Informasi (TI) terdahulu salah satunya dalam skripsi dengan judul “Analisis Dan Desain Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Siswa Baru Kelas X Unggulan Dengan Metode Promethee” (Nurinda, 2010). Dalam penelitian tersebut terlihat bahwah penerapan metode Promethee dapat membandingkan berbagai macam kriteria untuk perankingan kelayakan masuk kelas X unggul, jika dibandingkan dengan cara konvensional maka perankingan tidak optimal, hal disebabkan karena tidak seluruh kriteria dilibatkan untuk mengurangi perhitungan yang kompleks dan lama.

Penelitian berikutnya adalah “Sistem Informasi Pecarian Siswa Bermasalah Dengan Metode Promethee” (Gunawan, 2009), penelitian ini menekankan pada prioritas siswa bermasalah untuk dilakukan bimbingan, Dengan keterbatasannya jumlah tenaga Bimbingan dan Konseling (BK) maka dengan sistem tersebut dapat ditentukan prioritas siswa-siswa mana saja yang didahulukan.

Perbedaan penelitian ini dengan 2(dua) penelitian di atas terletak pada studi kasus dan objek penelitian, meskipun sama-sama menggunakan metode Promethee namun pada penelitian ini mengarah pada perhitungan minimasi atau alternatif dengan nilai terkecil lebih

(2)

diprioritaskan, Hal ini dikarenakan semakin kecil nilai dari suatu alternatif maka dianggap semakin memprihatinkan atau yang paling tertinggal dari alternati-alternatif yang lain oleh karena itu alternatif dengan nialai terkecilah yang akan diprioritaskan. Hasil perhitungan akan di beri ranking, ranking tersebut yang akan menjadi urutan usulan prioritas pembangunan sarana dan prasarana pendidikan SD.

2.2

Sistem Pendukung Keputusan (SPK)

Konsep-konsep mengenai Decesion Suport System (DSS) atau Sistem Pendukung Keputusan (SPK) diungkapkan pertama kali pada awal tahun 1970 oleh Michael S. Scott Marton dengan istilah “Management Decision System ” yang merupakan suatu sistem yang berbasis komputer yang membantu pengambilan keputusan dengan memanfaatkan data dan model-model untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak terstruktur (Turban, 2005:19).

Dari definisi diatas dapat digambarkan bahwa SPK membutuhkan media supaya SPK dapat digunakan, yaitu komputer. Sedangkan aplikasi SPK nantinya akan diinstal atau diletakan dalam media tersebut, selain itu SPK juga memanfaatkan data-data sebagai

inputan kemudian data-data tersebut diproses melalui suatu model

yang telah dirancang khusus untuk memecahkan persoalan tersebut. Keberadaan SPK sendiri tidak untuk mengganti posisi aras manajerial atau tugas-tugas manajerial namun SPK sebagai alat untuk memberikan dukungan pengambilan keputusan berupa penyajian informasi, simulasi kemungkinan, atau rekomendasi kepada pihak-pihak pengambil keputusan.

Pada dasarnya SPK dirancang untuk mendukung seluruh tahapan pengambilan keputusan mulai dari mengidentifikasi masalah,

(3)

memilih data yang relevan, menentukan pendekatan yang digunakan untuk proses pengambilan keputusan, sampai mengevaluasi pemilihan alternatif (Hasan, 2002:27).

Dalam pengimplementasian, suatu SPK memiliki tiga subsistem utama yaitu : subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model, dan subsistem perangkat lunak penyelenggara dialog (Hasan, 2002:32).

1 Subsistem manajemen basis data

Kemampuan yang dibutuhkan dari manajemen basis data antara alain :

Kemampuan untuk mengkombinasikan berbagai variasi data melalui pengambilan dan ekstraksi data.

Kemampuan untuk menambakan sumber data secara mudah dan cepat.

Kemampuan untuk menggambarkan struktur data logikal sesuai dengan pengertian pemakai sehingga mengetahui apa yang tersedia dan dapat menentukan kebutuhan penambahan dan pengurangan.

Kemampuan untuk menangani data secara personil sehingga pemakai dapat mencoba berbagai alternatif personil.

Kemampuan untuk mengelolah berbagai variasi data. 2 Subsistem manajemen basis model

Kemampuan yang dimiliki subsistem basis model sebagai berikut :

(4)

Kemampuan untuk menciptakan model-model baru secara cepat dan mudah.

Kemudahan untk mengakses dan mengintegrasikan model-model keputusan.

Kemampuan untuk mengelolah basis model dengan fungsi manajemen yang analog dan manajemen basis data (seperti mekanisme untuk menyimapan, membuat dialog, menghubungkan dan mengakses model).

3 Subsistem perangkat lunak penyelenggara dialog

Fleksibilitas dan kekuatan karakteristik SPK timbul dari kemampuan interaksi antara sistem dan pemakai yang dinamakan subsistem dialog. Subsistem dialog dapat dibagi menjadi 3(tiga) bagian, yaitu : bahasa aksi (papan ketik/keyboard, panel sentuh,

joystick, perintah suara dan sebagainya), bahasa tampilan (printer,

layar tampilan, grafik, keluaran suara dan sebagainya). Kombinasi dari kemapuan-kemampuan diatas terdiri dari apa yang disebut gaya dialog. Misalnya melalu pendekatan tanya-jawab, bahasa perintah, menu dan mengisi tempat kosong. Kemampuan yang harus dimiliki SPK untuk mendukung dialog pemakai/sistem meliputi :

Kemampuan untuk dapat menangani berbagai variasi gaya dialog.

Kemampuan untuk dapat mengakomodasi tindakan pemakai dengan berbagai peralatan masukan.

Kemampuan untuk menampilkan data dengan berbagai variasi format dan peralatan keluaran.

Kemampuan untuk memberikan dukungan yang fleksibel untuk mengetahui basis pengetahuan pemakai.

(5)

2.3 Preference Ranking Organization Method for

Enrichment Evaluation

Preference Ranking Organization for Enrichment Evaluation

(Promethee) adalah suatu metode penentuan urutan (prioritas) dalam analisis multi kriteria. Masalah pokoknya adalah kesederhanaan, kejelasan, dan kestabilan. Dugaan dan dominasi kriteria yang digunakan dalam Promethe adalah penggunaan nilai hubungan

outranking (Brans, 1992).

Prinsip yang digunakan adalah penetapan prioritas alternatif yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan ( i | ft(.) → [real world] ), dengan kaida dasar :

Max { f1 (x), f2 (x), f3 (x), … , fj (x), … , fk (x) | x ……... (1) Dimana K adalah sejumlah kumpulan alternatif , dan fi (i= 1, 2, … , K) merupakan nilai/ukuran relatif kriteria untuk masing-masing alternatif. Dalam pengaplikasikan metode Promethee beberapa kriteria telah ditetapkan untuk menjelaskan K yang merupakan penilaian dari

(real world).

Promethee termasuk dalmam metode outranking yang

dikembangkan oleh B. Roy. Metode ini meliputi dua fase, antara lain : Membangun hubungan outranking dari K.

Eksploitasi dari hubungan ini memberikan jawaban optimasi kriteria dalam paradigma permasalahan multikriteria.

Dalam fase pertama, nilai hubungan outranking berdasarkan pertimbangan dominasi masing-masing kriteria indeks preferensi ditentukan dan nilai outranking secara grafis disajikan berdasarkan

(6)

preferensi dari pembuat keputusan. Data dasar untuk evaluasi dengan metode Promethee disajikan pada Tabel 2.1(Daihani dan Dada, 2001) :

Tabel 2.1 Data Dasar Analisis Promethee

Alternatif Kriteria f1 (.) f2 (.) … fj (.) … fk (.) a1 f1 (a1) f2 (a1) … fj (a1) … fk (a1) a2 F1 (a2) f2 (a2) … fj (a2) … fk (a2) … … … … ai f1 (ai) f2 (ai) … fj (ai) … fk (ai) … … … … an f1 (an) f2 (an) … fj (an) … fk (an) Keterangan : 1. a1, a2, … , ai, … , an : n alternatif potensial. 2. f1, f2, … , fj, … , fk :k kriteria evaluasi. 2.3.1 Dominasi Kriteria

Nilai f merupakan nilai nyata dari suatu kriteria dan tujuan berupa prosedur optimasi :

f : K →

Untuk setiap alternatif a K, f(a) merupakan evaluasi dari alternatif tersebut untuk suatu kriteria. Pada saat alternatif dibandingkan, a1, a2 K, harus dapat ditentukan perbandingan preferensinya.

Menurut Brans penyampaian intensitas (P) dari preferensi alternatif a1 terhadap alternatif a2 sehingga :

(7)

1. P(a1, a2) = 0, berarti tidak ada beda antara a1 dan a2, atau tidak ada preferensi dari a1 lebih baik dari a2.

2. P(a1, a2) ~ 0, berarti lemah, preferensi dari a1 lebih baik dari a2. 3. P(a1, a2) ~ 1, berarti kuat, preferensi dari a1 lebih baik dari a2. 4. P(a1, a2) ~ 0, berarti mutlak, preferensi dari a1 lebih baik dari a2.

Dalam metode ini, fungsi preferensi seringkali menghasilkan nilai fungsi yang berbedah antara dua evaluasi, sehingga :

P(a1, a2)= P{f(a1) – f(a2) }

Untuk semua kriteria, suatu alternatif akan dipertimbangkan memiliki nilai kriteria yang lebih baik ditentukan oleh nilai f dan akumulasi dari nilai ini menetukan nilai preferensi atas masing-masing alternatif yang akan dipilih.

2.3.2 Rekomendasi Fungsi Preferensi

Dalam metode Promethee terdapat enam fungsi preferensi, namun ini tidak mutlak untuk digunakan semua, penggunaannya sangat tergantung pada persoalan yang ingin dipecahkan. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik terhadap area yang tidak sama, digunakan fungsi selisih nilai kriteria antara alternatif H(d) dimana hal ini mempunyai hubungan langsung pada fungsi preferensi (Brans, 1982).

1.

Kriteria biasa

Pada preferensi ini tidak ada yang bedah antara a dan b jika dan hanya jika f(a) = f(b), apabila nilai kriteria pada masing-masing alternatif memiliki nilai berbedah, pembuat keputusan membuat preferensi mutlak untuk alternatif yang memiliki nilai yang lebih baik.

(8)

………. (2)

Keterangan :

H(d) : fungsi selisi kriteria antar alternatif d : selisih nilai kriteria {d = f(a) - f(b)}

Pada kasus ini tidak ada beda(sama penting) antara a dan b jika dan hanya jika f(a) = f(b); apabila nilai kriteria pada masing-masing alternatif memiliki nilai berbeda, pembuat keputusan membuat preferensi mutlak untuk alternatif yang memiliki nilai lebih baik. Untuk melihat kasus preferensi pada kriteria biasa, ilustrasinya dapat dilihat dari perlombaan lari marathon, seorang peserta dengan peserta yang lain akan memiliki peringkat yang mutlak berbedah walaupun hanya dengan selisih nilai(waktu), yang teramat kecil, dan akan bernilai sama jika dan hanya jika waktu tempuhnya sama atau selisih nilai diatara keduanya sebesar nol (Brans, 1982).

2.

Kriteria quasi

……….. (3)

Keterangan :

H(d) : fungsi selisih kriteria antaralternatif d : selisih nilai kriteria {d=f(a) – f(b)} Paramater (q) : harus merupakan fungsi yang tetap

Kriteria ini memiliki alternatif preferensi yang sama penting selama selisih atau nilai H(d) masing-masing alternatif untuk kriteria tertentu tidak melebihi nilai q, dan apabila selisi evaluasi untuk

(9)

masing-masing alternatif melebihi nilai q maka terjadi preferensi mutlak.

Misalnya seseorang akan dipandang lebih kaya apabila selisih nilai kekayaan lebih besar dari Rp. 10.000.000 dan apabila selisihnya kurang dari Rp. 10.000.000 maka dipandang sama kaya.

3.

Kriteria linier

……… (4)

Keterangan :

H(d) : fungsi selisih kriteria antaralternatif d : selisih nilai kriteria {d=f(a) – f(b)} p : nilai kecendurungan atas

kriteria ini menjelaskan bahwa selama nilai selisih memiliki nilai yang lebih rendah dari p, preferensi pembuat keputusan meningkat secara linier dengan nilai d. jika nilai d lebih besar dibandingkan dengan nilai p, maka terjadi preferensi mutlak.

Misal akan terjadi preferensi dalam hubungan linear kriteria kecerdasan seseorang dengan orang lain apabila nilai ujian seseorang berselisih di bawah 30, apabila di atas 30 poin maka mutlak orang itu lebih cerdas dibandingkan orang lain.

4.

Kriteria level

(10)

Keterangan :

H(d) : fungsi selisih kriteria antaralternatif d : selisih nilai kriteria {d=f(a) – f(b)} p : nilai kecendurungan atas

parameter (q) : harus merupakan nilai yang tetap, q=0

Dalam kasus ini kecendurungan tidak berbeda q dan kecendurungan preferensi p ditentukan secara simultan. Jika d berada di antara nilai q dan p, hal ini berarti situasi preferensi yang lemah (H(d)=0,5). Bentuk kriteria level ini dapat dijelaskan misalnya dalam penetapan nilai preferensi jarak tempu antar kota. Misalnya jarak antara Surabaya-Malang sebesar 60 km, Malang-Kediri sebesar 68 km, Kediri-Madium sebesar 45 km, Malang-Madium sebesar 133 km. telah ditetapkan bahwa selisih jarak sebesar 10 km maka dianggap jarak antar kota tersebut adalah tidak berbeda, selisih jarak sebesar 10-30 km relatif berbeda dengan preferensi yang lemah, sedangkan selisih di atas 30 km diidentifikasikan memiliki preferensi mutlak berbeda.

Dalam kasus ini, selisih jarak atara Surabaya-Malang dan Malang-Kediri dianggap tidak berbeda (H(d)=0) karena selisih jarak dibawah 10 km, yaitu (68-60) km = 8 km, sedangkan preferensi jarak antara Malang-Kediri dan Kediri-Madium dianggap berbeda dengan preferensi lemah (H(d)=0,5) karena selisih berada pada interval 10-30 km, yaitu sebesar (68-45) km = 23 km, dan terjadi preferensi mutlak (H(d)=1) antara jarak Malang-Kediri dan Malang-Madium karena memiliki selisih jarak lebih dari 30 km.

(11)

5.

Kriteria dengan preferensi linier dan area yang tidak berbeda

... (6)

Keterangan :

H(d) : fungsi selisih kriteria antar alternatif d : selisih nilai kriteria {d=f(a) – f(b)} p : nilai kecendurungan atas

parameter (q) : harus merupakan nilai yang tetap, q=0

Pada kasus ini, pengambilan keputusan mempertimbangkan peningkatan preferesi secara linier dari tidak berbeda hingga preferensi mutlak dalam area atara dua kecendurungan q dan p. dua parameter tersebut telah ditentukan dimana fungsi H adalah hasil perbandingan anatr alternatif.

6.

Kriteria guasian

…… ……. (7)

Fungsi ini bersyarat apabila telah ditentukan nilai , dimana dapat dibuat berdasarkan distribusi normal dalam statistic.

2.3.3 Indeks Preferensi Multi Kriteria

Tujuan pembuat keputusan adalah menentukan fungsi preferensi P, dan πi untuk semua kriteria fi (i=1,2, … , k) dari optimasi kriteria majemuk. Bobot (weight) πi merupakan ukuran relatif dari kepentingan kriteria fi, jika semua kriteria memiliki nilai kepentingan

(12)

yang sama dalam pengambilan keputusan maka semua nilai bobot adalah sama.

Indeks preferensi multikriteria ditentukan berdasarkan rata-rata bobot dari fungsi preferensi Pi.

a1,a2 i 1

k

i a1,a2 ; a1,a2 ………. (8)

a1,a2 meruapakan intensitas preferensi pembuat

keputusan yang menyatakan bahwa alternatif a1 lebih baik dari alternatif a2 dengan pertimbangan secara simultan dari seluruh kriteria. Hal ini dapat disajika dengan nilai antara nilai 0 dan 1, dengan ketentuan sebagai berikut :

1. a1,a2 = 0 menunjukan preferensi yang lema untuk

alternatif a1 > alternatif a2 berdasarkan semua kriteria. 2. a1,a2 = 1 menunjukan preferensi yang kuat untuk

alternatif a1 > alternatif a2 berdasarkan semua kriteria

(Daihani, 2001).

2.3.4 Ranking Promethee

Perhitungan arah preferensi dipertimbangkan berdasarkan nilai indeks (Brans, 1982) : 1. Leaving flow a1 1 n 1 a1,x x …………... (9) 2. Entering flow a1 1 n 1 x,a1 x ……….. (10) 3. Net flow

(13)

a1 a1 a1 …………. (11) Keterangan :

1. a1,x = menunjukkan preferensi bahwa alternatif a1 lebih baik dari alternatif x.

2. x,a1 = menunjukkan preferensi bahwan alternatif x lebih baik dari alternatif a1.

3. a1 = Leafing flow, digunakan untuk menetukan urutan prioritas pada proses Promethee I yang menggunakan urutan parsial.

4. a1 = Entering flow, digunakan untuk menetukan urutan

prioritas pada proses Promethee I yang menggunakan urutan parsial.

5. a1 = Net flow, digunakan untuk menghasilkan keputusan akhir penentuan urutan dalam menyelesaikan masalah sehingga menghasilkan urutan lengkap.

Penjelasan dari hubungan outranking dibagun atas pertimbangan untuk masing-masing alternatif pada grafik nilai

outranking, berupa urutan parsial (Promethee I) atau urutan lengkap

(Promethee II) pada sejumlah alternatif yang mungkin, yang dapat diusulkan kepada pembuat keputusan untuk memperkaya penyelesaian masalah.

2.3.5 Perangkingan dalam Promethee

Dalam metode Promethee proses perankingan dilakukan melalui dua perangkingan, yaitu Promethee I (urutan parsial) dan

Promethee II (urutan lengkap). Perangkingan Promethee I

(14)

Flow (EF). Semakin besar nilai LF dan semakin kecil nilai EF maka

alternatif semakin baik. Jika nilai ranking LF dan EF sama maka hasil ranking Promethee I menjadi solusi metode Promethee. Tetapi jika sebaliknya maka proses harus dilanjutkan pada Promethee II.

Promethee II didasarkan pada nilai Net Flow (NF). Semakin besar

nilai NF maka semakin tinggi rankingnya. Melalui complete preorder pada Promethee II, informasi bagi pembuat keputusan menjadi lebih realistis bila dibandingkan dengan partial preorder pada Promethee I yang terkadang hanya memberikan solusi sebagian.

2.4 Standar Nasional Pendidikan

Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan salah satu penjabaran dari UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. SNP sendiri merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 1 PP No 19 tahun 2005). Lingkup SNP antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi, standar pendidik dan tenaga pendidik, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilain pendidikan (Pasal 35 ayat (1) UU No 20 tahun 2003).

2.4.1 Standar Sarana dan Prasarna Pendidikan

Standar sarana dan prasarana pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain.

(15)

Standar sarana dan prasarana pendidikan SD sesuai lampiran peraturan menteri pendidikan nasional nomor 24 tahun 2007 standar sarana dan prasarana SD/MI antara lain sebagai berikut :

Ruang kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktek yang tidak memerlukan peralatan khusus.

Ruang perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka.

Laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktek yang memerlukan peralatan khusus.

Rung pimpinan adalah ruang untuk pimpinan melakukan kegitan pengolahan sekolah/madrasah.

Ruang guru adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat, dan menerima tamu.

Tempat beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah.

Ruang UKS adalah ruang untuk menangani peserta didik yang mengalami ganggguan kesehatan dini dan ringan di sekolah/madrasah.

Jamban adalah runag untuk buang air besar/kecil.

Gudang adalah ruang untuk menyimpan peralatan pembelajaran diu luar kelas, peralatan sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/madrasah.

Ruang sirkulasi adalah ruang penghubung antara bagian bangunan sekolah/madrasah.

(16)

Tempat oberolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.

Tempat bermain adalah ruang terbuka atau tertutup untuk peserta didik dapat melakukan kegiatan bebas.

Gambar

Tabel 2.1 Data Dasar Analisis Promethee

Referensi

Dokumen terkait

Pada responden yang memperoleh rataan nilai STTB < 8.00 kategori jenis kelamin berasosiasi dengan tingkat keberhasilan, 57% dari total perempuan berhasil dan laki-laki 40.7%

Sistematika pembahasan yaitu karya tulis yang mengawali proses perencanaan dan perancangan Peremajaan Wisma Atlet Berbasis Arsitektur Hemat Energidengan Pengoptimalisasian

Guru menjelaskan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran (seperti yang tercantum dalam indikator ketercapaian kompetensi) disertai

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Djami‟atul Islamiyah, M.Ag. Kata Kunci: Buku La Tahzan, Pendidikan Islam. Buku La Tahzan adalah sebuah buku yang di tulis oleh

Pengujian yang dilakukan pada kapasitas mesin dan kebersihan kapuk dari bijinya adalah menguji output/keluaran hasil pengodolan yang paling banyak dan stabil

Berdasarkan hal tersebut, Situmorang (2013) mengembangkan mesin pembeku dengan suhu media bertahap yang menggunakan satu evaporator dan tiga katup ekspansi, sehingga

Dari ketujuh parameter yang diamati, hasil analisis sidik ragam yang berbeda nyata (P-value < α) terdapat pada persen stek berakar, jumlah akar, dan panjang

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung, yang merupakan salah satu institusi pendidikan yang tentunya memiliki tujuan yang tidak berbeda dengan