• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makian dalam Bahasa Melayu Palembang : studi tentang bentuk , referen, dan konteks sosiokulturalnya - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Makian dalam Bahasa Melayu Palembang : studi tentang bentuk , referen, dan konteks sosiokulturalnya - USD Repository"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Hanu Lingga Purnama NIM: 044114034

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii Oleh

Hanu Lingga Purnama NIM: 044114034

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. Tanggal 17 September 2008

Pembimbing II

(3)

iii

Dipersiapkan dan ditulis oleh Hanu Lingga Purnama

NIM: 04114034

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 25 September 2008

Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ………...

Sekretaris Drs. Hery Antono, M.Hum. ………...

Anggota : 1. Drs. Paulus Ari Subagio, M.Hum. ………... 2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. ………...

3. Drs. Hery Antono, M.Hum. ………...

Yogyakarta, 25 September 2008 Fakultas sastra

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana lazimnya karya ilmiah.

Yogyakarta, 17 September 2008

(5)

Nama : Hanu Lingga Purnama NomorMahasiswa :044114034

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

"MAKIAN DALAM BAHASA MELAYU PALEMBANG : Studi tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya"

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, f,€-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Intemet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenamya"

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 16 Oktober 2008

Yang menyatakan

(6)

vi

karena berkat kasih-Nya, tugas ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang

berjudul Makian Dalam Bahasa Melayu Palembang: Studi tentang Bentuk, Referen,

dan Konteks Sosiokulturalnya ini, merupakan salah satu syarat untuk memeroleh

gelar Sarjana Sastra pada Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Besarnya tantangan yang dihadapi, menyebabkan peneliti memohon bantuan

dari berbagai pihak. Dengan segala hormat, peneliti hendak menyampaikan terima

kasih kepada semua pihak yang terlibat. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Pembimbing I.

2. Drs. Hery Antono, M.Hum., selaku Pembimbing II.

3. Susilawati Endah Peni Adji,S.S., M.Hum., selaku dosen pembimbing

akademik angkatan 2004.

4. Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku Kaprodi Sastra Indonesia.

5. Linny Oktovianny, S.Pd., selaku staf Balai Bahasa Palembang.

6. Taufik Wijaya (TW), penulis dan wartawan DETIK.COM.

7. Para dosen dan staf pengajar pada Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata

(7)

vii angkatan 2004.

10.Athalia Wika Ningtyas, pemberi semangat peneliti dalam merampungkan

kajian ini.

Akhirnya dengan penuh kesadaran, peneliti menyadari segala kekurangan

yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu, demi perbaikan skripsi ini, kritik dan saran

yang membangun akan peneliti tampung dengan senang hati.

(8)

viii

Lambang fonetis

e [ ] : berapo [ ] berapa [ ] : cega [c ga] cegah ng [ ] : ngacau [ aca ] mengacau

i [i] : babi [babi ] babi [ ] : pikir [p k ] pikir

ny [n ] : nyanyi [nani] menyanyi

k [k] : kampang [kampa ] anak haram [ ] : bukak [buka ] buka

o [o] : batako [batako ] batako [ ] : berapo [b ap ] berapa

r [ ] : rai [ ai] wajah

u [u] : guru [gu u] guru [ ] : guyur [g y ] guyur

[ ] : menunjukkan ejaan fonetis

(9)

ix

Yogyakarta. Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Skripsi yang berjudul Makian Dalam Bahasa Melayu Palembang: Studi

tentang Bentuk, Referen, dan Konteks Sosiokulturalnya ini bertujuan

mendeskripsikan bentuk, referen, dan konteks sosiokultural makian dalam bahasa

Melayu Palembang. Dalam pada itu, masalah yang dikaji dalam penelitian ini

mencakup tiga hal, yakni bagaimana bentuk-bentuk makian, referen, dan konteks

sosiokulturalnya.

Dalam Penelitian ini, data diperoleh dengan dua metode, yakni metode simak

dan metode cakap. Metode simak dengan teknik sadap, mencakup penggunaan

bahasa secara lisan dan tertulis. Secara tertulis dilakukan dengan menyimak naskah

Kamus Bahasa Palembang, novel yang berudul Juaro, dan novel yang berjudul

Buntung. Penyimakan secara lisan, dilakukan dengan mendengar percakapan di

beberapa lingkungan masyarakat Palembang. Dalam metode cakap, peneliti

menggunakan teknik pancing, yakni dengan melakukan percakapan dan memberi

stimulasi agar informan memberi informasi tentang makian.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga metode. Metode padan

dengan sub-jenisnya, yakni metode padan translasional, metode padan fonetis

artikulatoris, dan metode padan referensial. Ketiga sub-jenis metode padan tersebut

menggunakan teknik pilah unsur penentu. Metode reflektif-instropektif digunakan

dalam mengkreasikan makian ke dalam kalimat. Metode korelatif, digunakan dalam

mengkaji konteks sosiokultural makian.

Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang bentuk-bentuk makian, referen

makian, dan konteks sosiokultural makian. Studi tentang bentuk, memperoleh makian

(10)
(11)

xi

Literature. Sanata Dharma University.

The thesis entitled The Curse in Palembang Malayan Language: Study of Form, Referent, and Socio-cultural Context aimed to describe form, referent, and socio-cultural context of curse in Palembang Malayan language. Hence problems

investigated by this research include three points, these are, curse form, referent, and

its socio-cultural context.

In this research, data was obtained by two methods; they are listening and

speaking method. The listening method used tap method; involve using of language

by oral and written. Written language was done by listening text of Palembang

Language Dictionary, novel entitled Juaro, and novel entitled Buntung. Listening by

oral was done by conversation and gives some stimulus so that the informant gave

some information about curse.

Data analysis was done by three methods. The matching method with its

sub-type, these are translational matching method, articulatory phonetic matching method,

and referential matching method. The three sub-types of the matching method above

use defining elements classification technique. The reflective-instrospective method

was used in creating the curse into sentence. Correlative method, was used in

investigating socio-cultural context of curse.

The results are description about form curse, referent, and socio-cultural

context of curse. The study about form, obtained the curse in the word, phrase, clause,

and minor sentence form. The study about referent, obtained some forms of referent,

these are situation, characteristic, ethnic, animal, spiritual being, object, a part of

body, activity, and profession referent. The study of socio-cultural context, obtained

socio-cultural context of curse, these are religion, custom, social status, and social

(12)

xii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………. ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……… iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

KATA PENGANTAR ……..……… vi

DAFTAR LAMBANG ………. viii

ABSTRAK ……… ix

ABSTRACT ………... xi

DAFTAR ISI ……… xii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1. Latar Belakang ……… 1

2. Rumusan Masalah ………... 6

3. Tujuan Penelitian ……… 6

4. Manfaat Penelitian ……….. 6

5. Tinjauan Pustaka ……… 7

6. Landasan Teori ………... 8

6.1 Bahasa Melayu Palembang..……….. 8

6.2 Makian ……… 10

6.3 Referen ……… 11

6.4 Bentuk-bentuk Makian ………. 12

6.5 Konteks Sosiokultural Makian ………. 15

7. Metode Penelitian ………... 16

8. Sistematika Penyajian ……… 19

BAB II BENTUK-BENTUK MAKIAN DALAM BAHASA MELAYU PALEMBANG ………. 21

2.1 Makian Berbentuk Kata …..………. 21

2.2 Makian Berbentuk Frase ……….. 25

2.3 Makian Berbentuk Klausa ……… 35

2.4 Makian Berbentuk Kalimat Minor ……….. 39

BAB III REFEREN MAKIAN BAHASA MELAYU PALEMBANG .. . 44

3.1 Keadaan ……….. 45

3.2 Sifat ………. 47

(13)

xiii

3.9 Profesi ………. 56

BAB IV KONTEKS SOSIOKULTURAL MAKIAN BAHASA MELAYU PALEMBANG ……… 57

4.1 Agama ………... 57

4.2 Adat ………... 58

4.3 Status Sosial ……….. 59

4.4 Kondisi Sosial ………... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 64

5.1 Kesimpulan……… 64

5.2 Saran ………. 65

DAFTAR PUSTAKA ……… 67

DAFTAR SUMBER DATA ……….. 70

(14)

xiii

Tuhan, jangan biarkan aku tersesat untuk mencoba kembali ke Timur dan semoga perjalananku tak sia-sia ….

(15)

1. Latar Belakang

Orang Melayu memiliki folkbelief tentang asal usul mereka. Hal ini, telah lama diketahui oleh para peneliti asing dan akrab dicantumkan dalam penelitian-penelitiannya tentang kebudayaan bangsa Melayu, seperti yang dicantumkan oleh Hollander (1948: 221) berikut ini:

Rupanya pulau Sumatera lah yang boleh dianggap tanah air orang Melayu. Menurut tradisi mereka sendiri – di sini bagaimanapun juga pengaruh Islam nampak jelas – mereka agaknya keturunan beberapa orang yang selama Air Bah Besar meninggalkan bahtera Nabi Nuh dan menetap di Pantai Timur Sumatera, antara muara sungai-sungai di Palembang dan Jambi.

Berdasarkan kutipan tersebut, sangatlah wajar apabila orang Melayu menganggap bahwa merekalah penghuni asli pulau Sumatera. Dalam hal ini, tidak ada kebenaran pasti karena folkbelief tidak bersifat faktual dan diceritakan turun-temurun secara lisan. Di samping itu, tentang asal-usul nama Malajoe(Melayu) pun telah diadakan bermacam-macam terkaan; tetapi belum mendapat kepastian.

(16)

Bahasa Melayu memiliki posisi penting pada beberapa abad silam, seperti yang dinyatakan oleh Collins (2005: 32), “Kontak bahasa selama berabad-abad dari pelabuhan-pelabuhan yang menggunakan berbagai bahasa di Mediterania, pengembara bangsa Eropa dari zaman itu menggambarkan bahasa Melayu bukan sebagai bahasa Latin, melainkan sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara.” Apa yang dinyatakan oleh Collins, sama sekali tidak berlebihan. Bahasa Melayu, selain digunakan sebagai bahasa perdagangan, digunakan pula sebagai bahasa resmi dalam surat-surat perjanjian antara bangsa Eropa dengan pihak kerajaan-kerajaan di Tanah Melayu.

Perihal eksistensi geografis bahasa Melayu, dinyatakan pula oleh Wijk (1985: XVIII), “Bahasa Melayu adalah bahasa yang dituturkan oleh penduduk Sumatera Tengah dari pantai timur ke pantai barat, Jazirah atau semenajung Malaka (Malaya) dengan dua kepulauan yang terletak di selatannya dan di pemukiman-pemukiman Melayu di Pantai Barat Kalimantan.” Berdasarkan kutipan tersebut, maka masyarakat kota Palembang termasuk dalam cakupan wilayah penutur bahasa Melayu – bahasa Melayu Palembang.

Palembang merupakan Ibu Kota Propinsi Sumatera Selatan. Dalam buku

Profil Propinsi Republik Indonesia, Rudini menyatakan eksistensi Kota Palembang, sebagai berikut:

(17)

Dalam kajian ini, peneliti memandang bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Palembang bukan sebagai salah satu dialek bahasa Melayu. Hal ini dikarenakan bahasa Melayu Palembang telah diteliti morfologi dan sintaksis bahasanya oleh Aliana dkk, dengan judul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Melayu Palembang. Penelitian tersebut telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1987. Di samping itu, dalam ilmu bahasa batas-batas antara bahasa dan dialek hingga kini belum memperoleh rumusan yang memuaskan (Ayatrohaedi, 2002: 1).

Pada esensinya, bahasa Melayu Palembang berfungsi sebagai alat talimarga

(= komunikasi) intraetnis. Dalam konteks ini, bahasa Melayu Palembang sejajar dengan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa daerah lain di Indonesia. Bahasa Melayu Palembang – oleh masyarakat Palembang disebutBaso Plembang –

memiliki dua tingkatan. Perihal tingkatan tersebut, P.D. Dunggio dkk (1983: 3) menyatakan, ”Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan. Pertama baso Palembang Alus (bahasa Palembang Halus) dan kedua, baso Palembang Sari-sari

(bahasa Palembang Sehari-hari).”

(18)

“Bahasa Melayu Palembang Halus tidak banyak lagi dipakai dalam pergaulan sehari-hari (boleh dikatakan hampir mati).” Sekarang, dua puluh satu tahun telah berlalu dari pernyataan tersebut; bahasa Melayu Palembang Halus pun tetap belum pernah dijadikan objek penelitian. Ada dua kendala jika hendak meneliti bahasa tersebut: tidak adanya kamus bahasa Melayu Palembang halus, dan minimnya jumlah penutur yang masih hidup.

Baso Palembang Sari-sari dipakai dalam percakapan sehari-hari – pada umumnya digunakan saat situasi tidak resmi. Dalam hal ini, baso Palembang Sari-sari merupakan alat bertalimarga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Palembang. Oleh sebab itu, baso Palembang Sari-sari memiliki eksistensi yang kokoh daripadabaso Palembang Alus.

baso saghi-saghi ‘bahasa sehari-hari’ yaitu bahasa Melayu Palembang yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Pada masa lampau, baso saghi-saghi digunakan oleh orang kebanyakan (bukan golongan bangsawan), dan pada masa kini baso saghi-saghi digunakan baik oleh etnik Palembang maupun bukan sebagai alat komunikasi sehari-hari (Oktovianny, 2005: 15).

(19)

Dalam bahasa sehari-hari, makian lazim digunakan penutur sebagai sarana pengungkap emosi. Makian inilah yang dijadikan objek penelitian. Mengenai masalah, apakah makian dalam bahasa Melayu Palembang ini terdapat kemiripan atau bahkan kesamaan dengan bahasa lain – baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah lain – tidak dipermasalahkan. Dalam pada itu, asumsi peneliti bahwa urgensi yang esensial dalam mengkaji makian dalam bahasa Melayu Palembang adalah dengan menyatakan eksistensi kebahasaannya, yakni sebagai milik masyarakat Palembang. Hal ini disebabkan, misalnya kata jembut, kontol, bandit, babi, dan kere dapat ditemui dalamKamus Besar Bahasa IndonesiadanKamus Baso Palembang. Dengan tanpa mempermasalahkan hal itu, makian dalam bahasa Melayu Palembang akan digolongkan berdasarkan bentuk, referen, dan dikaji konteks sosiokultural yang melandasinya.

(20)

2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

2.1 Apa saja bentuk-bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang? 2.2 Apa saja referen makian bahasa Melayu Palembang?

2.3 Apa saja konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan :

3.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang. 3.2 Mendeskripsikan referen makian bahasa Melayu Palembang.

3.3 Mendeskripsikan konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang.

4. Manfaat Penelitian

(21)

Dari uraian hasil penelitian di atas, bentuk makian, referen, dan konteks sosiokulturalnya merupakan tiga dimensi esensial yang saling berhubungan dalam menentukan makna tuturan makian. Tiga dimensi esensial yang saling berhubungan tersebut dapat memberi manfaat teoritis bagi perkembangan kajian sosiolinguistik, dan penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka di bidang sosiolinguistik. Secara praktis, penelitian ini dapat memberi sumbangan entri dalam pembuatan

Kamus Bahasa Palembang, karena terdapat beberapa makian yang belum tercatat dalam naskahKamus Bahasa Palembang.

5. Tinjauan Pustaka

Baryadi (1983) pernah melakukan penelitian mengenai umpatan. Dalam artikelnya yang berjudul “Kata-kata Pisuhan atau Makian dalam Bahasa Jawa,” dibahas mengenai tiga hal, yaitu (1) ciri-ciri kata makian dalam hubungannya dengan kata-kata afektif dalam bahasa Jawa, (2) satuan lingual yang biasa digunakan untuk memaki, dan (3) jenis-jenis kata pisuhan dalam bahasa Jawa.

(22)

relasi makna, berdasarkan maksud penutur kepada lawan tutur, dan berdasarkan suasana hati yang timbul akibat penggunaan kata-kata umpatan bahasa Jawa.

Sukarsa (2000), dalam sripsinya yang berjudul “Umpatan dalam Bahasa Sunda” membahas jenis umpatan dalam bahasa Sunda dan mendeskripsikan tingkat kekasaran umpatan dalam bahasa Sunda. Dalam pembahasannya dapat dilihat: (1) penggunaan umpatan dalam bahasa Sunda yang didasarkan pada konteks tuturan, hubungan antara penutur dan mitra tutur, serta suasana hati penutur dan (2) pembagian tingkat kekasaran umpatan dalam bahasa Sunda dalam dua kategori, yakni tingkat kekasaran rendah dan tingkat kekasaran tinggi.

Ketiga penelitian di atas dapat memberikan konfirmasi bahwa penelitian terhadap makian dalam bahasa Melayu Palembang, khususnya yang mengkaji bentuk, referen, dan konteks sosiokulturalnya merupakan hal baru. Sejauh pengamatan peneliti, publikasi penelitian mengenai makian dalam bahasa Melayu Palembang belum dijumpai.

6. Landasan Teori

6.1 Bahasa Melayu Palembang

(23)

dimaksud dalam kutipan tersebut terletak pada: selalu ditemuinya vokal // pada akhir

kata yang berkorespondensi dengan vokal /a/ dalam bahasa Indonesia, misalnya kata

apo [ap] dalam bahasa Melayu Palembang sepadan dengan kata apa [apa] dalam bahasa Indonesia, dan bunyi getar uvular // pada semua posisi, misalnya jubur

[jb] yang bermakna ‘lubang pada ujung bawah usus’ dan sepadan dengan kata

anusdalam bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu Palembang, disingkat Bahasa Palembang, oleh orang Palembang disebut baso Plembang. Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan. Pertama baso Palembang Alus (bahasa Palembang halus) dan kedua, Baso Palembang Sari-sari (bahasa Palembang sehari-hari). Baso Palembang Alus dipakai dalam percakapan dengan orang-orang tua, pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara-upacara adat (perkawinan, kelahiran, penghitanan, dsb). Baso Palembang Sari-sari dipakai dalam percakapan dengan orang-orang yang seumur atau sederajat atau orang yang lebih muda usianya dari si pembicara, baik dalam upacara-upacara adat maupun dalam pergaulan sehari-hari (Dunggio dkk: 1983).

Pernyataan-pernyataan di atas, menjadi landasan peneliti dalam memahami eksistensi bahasa Melayu Palembang. Esensinya, peneliti memperoleh informasi perihal tingkatan dalam bahasa Melayu Palembang. Baso Palembang Sari-sari

dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan baso Palembang Alus dipakai dengan mempertimbangkan nilai kesopanan dan dalam situasi tertentu – sekarang tidak dipakai lagi oleh penuturnya.

(24)

Kata makian berasal dari kata dasar maki dan mendapat akhiran –an. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:548), maki berarti mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel, dan sebagainya, sedangkan kata makian bermakna sebagai kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya. Memaki, dalam bahasa Palembang sepadan dengan kata carut. Dalam naskah Kamus Bahasa Palembang–Indonesia A–K (2003: 47), carut merupakan kata kerja yang berarti mengumpat. Mencarut berarti mengucapkan kata-kata yang tidak sopan.

Guna menjalankan fungsinya sebagai wahana pengungkap perasaan, bahasa memerlukan berbagai sarana. Bentuk-bentuk makian adalah sarana kebahasaan yang dibutuhkan oleh para penutur untuk mengekspresikan ketidaksenangan dan mereaksi berbagai fenomena yang menimbulkan perasaan seperti itu (Wijana dan Rohmadi, 2006: 125).

Menurut peneliti, pemikiran Wijana dan Rohmadi tentang makian bukan sekadar mencari titik positif dan menghapus citra taboo yang memaknai makian. Esensi yang harus digarisbawahi ialah makian merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh penutur untuk mengungkapkan emosi – mencakup perasaan ketidaksenangan. Di sinilah letak kekuatan yang dijadikan mainstream dalam penelitian ini.

6.3 Referen

(25)

adalah referen dari kata rumah). Perihal hubungan antara kata dengan konsep atau maknanya dan hal yang dirujuk, diutarakan pula oleh Chaer (1990: 31), “ … dalam pembicaraan tentang semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna yang berada di luar dunia bahasa. Hubungan antara ketiganya disebut hubungan referensial.” Untuk memberi kejelasan tentang hubungan tersebut, digambarkan pula oleh Chaer dalam bagan berikut.

(b) konsep/ makna (referens)

(a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk (referen)

Berdasarkan kutipan di atas, penelitian ini juga akan membahas referen makian dalam bahasa Melayu Palembang. Dalam konteks ini, peneliti akan menggolongkan makian berdasarkan hal yang dirujuk oleh satuan lingualnya – sesuatu yang berada di luar bahasa. Seperti halnya Wijana dan Rohmadi dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis menemukan delapan referen makian dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) keadaan, (2) binatang, (3) mahluk halus, (4) benda-benda, (5) bagian tubuh, (6) kekerabatan, (7) aktifitas, dan (8) profesi.

(26)

Wijana dan Rohmadi (2006: 125) menyatakan, “Secara formal bentuk-bentuk makian yang menempati kluasa bukan inti, ada yang berwujud kata (monomorfemik atau polimorfemik), frasa, dan klausa yang secara kategorial dapat berjenis adjektiva, nomina, dan interjeksi.” Berdasarkan kutipan tersebut, sangatlah penting untuk memahami: kata monomorfemik, kata polimorfemik, frasa, dan klausa.

Kata monomorfemik dapat pula disejajarkan dengan morfem bebas. Asumsi tersebut dapat dibuktikan dengan memahami hakikat morfem bebas. Aliana (1987: 20) menyatakan, “Morfem dalam bahasa Melayu Palembang dapat digolongkan ke dalam morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas ini ditandai oleh kemampuan yang dapat berdiri sendiri sebagai pendukung arti penuh, sedangkan morfem terikat ditandai oleh sifat ketergantungan pada morfem lain” Dalam rangka memperkuat asumsi tersebut, Verhaar (2004: 97) juga menyatakan, “ Bentuk bebas secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk bebas lainnya di depannya dan di belakangnya.” Dengan bertumpu pada pernyataan-pernyataan tersebut, makian dalam bahasa Melayu Palembang yang berbentuk kata monomorfemik memiliki eksistensi yang sejajar dengan morfem bebas.

(27)

(1) Pengimbuhan atau pengafiksan, artinya peleburan imbuhan atau afiks pada morfem dasar. (2) Pengklitikaan, yaitu penambahan klitika pada morfem dasar. (3) Pemajemukan, yaitu penggabungan dua morfem dasar atau lebih untuk membentuk satu kata (majemuk). (4) Reduplikasi, artinya penggabungan dua morfem dasar yang sama (atau sebagian daripadanya dengan morfem utuh).

Verhaar (2004: 291) menyatakan, “Frasa adalah kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang.” Ramlan (2005: 138) mengemukakan, “Frase ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.” Pada dasarnya pengertian frase dari dua pakar tersebut sama, yang membedakan hanyalah sudut pandang. Verhaar mengartikan frase dari satuan gramatik yang lebih besar, sementara Ramlan mengartikan frase berdasarkan batasan fungsi. Dalam hal ini, makian yang berupa frase dalam bahasa Melayu Palembang lazim dibentuk dengan cara, yakni: dasar +

makian. Cara tersebut telah digunakan oleh Wijana dan Rohmadi dalam mengkaji bentuk makian dalam bahasa Indonesia. Wijana dan Rohmadi menemukan dua cara pembentukan makian berupa frase dalam bahasa Indonesia, yakni: dasar + makian

dan makian + -mu. Keunikan makian yang berbentuk frase dalam bahasa Melayu Palembang ialah terdapat pula cara, yakni woi + makian. Pada umumnya penutur – masyarakat Palembang – lazim menggunakan dua cara dalam membentuk ‘tuturan makian’ yang secara sintaksis berbentuk frase, yakni: dasar + makian, dan woi +

(28)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 508) dijelaskan, klausa ialah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat. Begitu pula Ramlan (2005: 79) mengutarakan bahwa, “Dengan ringkas, klausa ialah S P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada.” Dalam bahasa Melayu Palembang, makian yang berbentuk klausa dibentuk dengan menambahkan pronomina kau di belakang makian.

Kalimat minor dapat pula diasumsikan sebagai kalimat tak berklausa. Dalam

KBBI, makna darikalimatialah ‘sepatah kata atau sekelompok kata yang merupakan suatu kesatuan yang mengutarakan suatu pikiran atau perasaan (atau pikiran dan perasaan); sementara minor, bermakna ‘kecil’. Dalam BukuMorfologi dan Sintaksis Bahasa Melayu Palembang, Aliana dkk berhasil menemukan empat tipe kalimat minor dalam Bahasa Melayu Palembang yakni: (1) kalimat yang terdiri atas predikat tanpa subjek, (2) kalimat yang menyatakan seruan, (3) kalimat aforistis, dan (4) kalimat fragmen. Makian yang berbentuk kalimat minor dalam Bahasa Melayu Palembang akan dibedakan pula berdasarkan empat tipe kalimat minor tersebut.

6.5 Konteks Sosiokultural Makian

(29)

SPEAKING. Setiap huruf pada akronim tersebut bila dipanjangkan satu-persatu, ialah: S (setting and scene), P (participants), E (end), A (act sequences), K (key), I (instrumentalities), N (norms), dan G (genres). Baryadi menyatakan (2002: 40), ”Dari delapan butir konteks tersebut, sebenarnya yang mendasar hanyalah tiga jenis, yaitu pembicara (speaker/addresser/writer), isi bicara (topic/information, dan mitra bicara (listener/hearer/reader/addressee).” Begitu pula makian, juga membutuhkan setidaknya tiga butir konteks yang mendasar tersebut; meskipun makian lazim dipandang sebagai disfungsi bahasa.

Aminuddin (2002: 36) mengutarakan, “Konteks ujaran merupakan konteks pertuturan berupa situasi, lokasi, persona yang terlibatkan, kondisi saat pertuturan berlangsung dan berbagai situasi dan kondisi pada umumnya yang memungkinkan terjadinya peristiwa tuturan.” Apa yang dinyatakan oleh Aminuddin dan Baryadi memacu kerangka pikir peneliti dalam memandang konteks tuturan. Dalam hal ini, konteks bersifat luas dan dinamis.

Istilah sosiokultural merupakan gabungan dari istilah sosial dan kultural (kebudayaan). Sosial mencakup masyarakat dalam sebuah habitat hidup, sementara kultural atau kebudayaan merupakan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. DalamKBBI

edisi ketiga (2005: 1085), sosial bermakna ‘berkenaan dengan masyarakat,’ dan kultural bermakna ‘berhubungan dengan budaya’.

(30)

peperangan.” Apa yang diutarakan Widy sangat membantu peneliti. Dalam situasi percekcokan atau bahkan peperangan, makian berpotensi digunakan penutur.

Menurut Heraty (1984: 38), “Budaya sebagai jawaban manusia kepada lingkungan dan tantangan hari depan merupakan hasil proses belajar manusia yang berkepanjangan, yang sekaligus merupakan suatu penerapan nilai, sebagai hasil penerapan etik.” Apa yang dikutip ini, sangat baik untuk melandasi keberadaan bahasa. Dengan demikian, bahasa mutlak dijajarkan dalam unsur budaya karena merupakan hasil proses belajar dan digunakan dalam proses belajar manusia. Di samping itu, mengkaji bahasa dalam konteks sosiokultural atau sosial budaya termasuk salah satu masalah utama yang dibahas dalam, sosiolinguistik (Nababan 1984: 3). Dengan begitu, pantas bila makian dalam bahasa Melayu Palembang dikaitkan pada konteks sosikultural yang melandasinya sebab kajian ini berkiblat pada disiplin ilmu sosiolinguistik.

7. Metode Penelitian

Data dikumpulkan lewat penyimakan naskahKamus Bahasa Palembang A-K

tahun 2003 dan naskah Kamus Bahasa Melayu Palembang L-Z tahun 2004, yang merupakan hasil proyek Balai Bahasa Palembang. Data yang diperoleh dari kedua naskah kamus tersebut berupa kata-kata bermakna kasar – yang sering digunakan untuk memaki. Selain itu, data juga diperoleh dari penyimakan dua novel yang bernuansa lokal berjudul Juaro terbitan Pustaka Melayu tahun 2005 dan Buntung

(31)

karya ‘putra daerah’ Palembang (Taufik Wijaya). Dalam novel Juaro dan Buntung

juga terdapat pemakaian makian dalam percakapan sehari-hari – beserta konteksnya. Selain itu, peneliti juga melakukan pengumpulan data dengan metode cakap. Mahsun (2005: 93) mengemukakan, “Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan.” Teknik yang digunakan, yakni teknik pancing – sebagai teknik dasarnya. Peneliti memancing informan agar berbicara secara lisan, disebut pula sebagai teknik lanjutan dari metode cakap, yakni teknik cakap semuka. Dilakukan pula teknik rekam dan teknik catat, yang termasuk teknik lanjutan dari metode cakap (Sudaryanto, 1993: 139).

Informan yang dimaksud adalah masyarakat kota Palembang dengan status sosial yang beragam. Adapun nama-nama Informan, yakni: Kemas Andi Syarifudin (pengurus Masjid Agung Palembang), Masayu Noncik (Ibu Rumah Tangga), Nyimas Laili Yulita, S.Pd. (PNS), Ki Agus Usman (Pengurus Masjid Ki Merogan), dan Nyayu Radiah, S.Pd. (guru). Selain itu, Linny Oktovianny, S.Pd. (Peneliti bahasa, pemerhati budaya Sumsel dan staf Balai Bahasa Palembang) dan Taufik Wijaya (penulis novel dan wartawan DETIKOM) merupakan informan, sekaligus pembimbing lapangan yang mendukung secara aktif.

(32)

karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan.” Teknik ini dilakukan dengan mendengar percakapan di Warung-warung kaki lima, kebisingan Pasar 16 Ilir, bahkan hingga perbincangan mahasiswa di Kantin POLTEK Universitas Sriwijaya.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode padan, metode reflektif-instropektif, dan metode korelasi. Menurut Sudaryanto (1993: 13), “Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa(langue)yang bersangkutan.” Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup: metode padan translasional, metode padan fonetis artikulatoris, dan metode padan referensial. Ketiga sub-jenis metode di atas, menggunakan teknik dasar yang disebut teknik pilah unsur penentu. Peneliti, sebagai penutur bahasa Melayu Palembang, juga menggunakan metode reflektif-instropektif, yakni dengan mengkreasikan makian ke dalam bentuk kalimat. Dua metode di atas, digunakan dalam mengkaji bentuk-bentuk dan referen makian

Dalam mengkaji konteks sosiokultural makian, peneliti menggunakan metode korelasi. Metode analisis jenis ini, merupakan metode yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau sosial budaya (Rakhmat, 1993: 31). Objek yang dimaksud, ialah bahasa kemudian dikaitkan dengan masalah sosial dan budaya.

(33)

mengemukakan, “Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa – walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya; sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.”

8. Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini direncanakan terdiri dari lima bab:

Bab I merupakan bab Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi bentuk-bentuk Makian dalam Bahasa Melayu Palembang. Bab ini berisi uraian dan deskripsi bentuk-bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang. Setiap bentuk makian terdiri dari makian-makian yang sejenis. Setelah itu, makian-makian yang sejenis dijelaskan maknanya dengan menerapkan makian tersebut pada kalimat serta konteksnya.

Bab III berisi uraian referen makian dalam bahasa Melayu Palembang. Pada bab ini, makian diklasifikasikan berdasarkan referennya. Adapun referen makian bahasa Melayu Palembang, yakni keadaan, sifat, etnis, binatang, makhluk halus, benda, bagian tubuh, aktivitas, dan profesi.

(34)

tuturan makian akan dijelaskan pada sub-subbab agar memperoleh kejelasan yang memuaskan.

(35)

Pada bab ini, makian dalam bahasa Melayu Palembang akan dibedakan bentuk-bentuknya secara sintaksis, yakni makian berbentuk kata, makian berbentuk frase (kelompok kata), makian berbentuk klausa, dan makian yang berbentuk kalimat minor. Makian lazim menduduki klausa bawahan yang berdistribusi mendahului klausa intinya, – seperti contoh (1) sampai dengan (7) – walaupun ada kemungkinan ditemukan distribusi yang mengikuti klausa itu – seperti contoh (8), (Wijana, 2006: 115). Perihal pembedaan makian di atas akan diuraikan dalam 2.1, 2.2, 2.3, dan 2.4 berikut ini:

2.1 Makian Berbentuk Kata

Makian yang berbentuk kata dapat dibedakan pula menjadi dua, yakni makian yang berbentuk kata monomorfemik dan makian yang berbentuk kata polimorfemik. Makian berbentuk kata monomorfemik, seperti kampang, burit, gilo, bengak, pilat, jembut, kontol,dantai terlihat pada contoh (1) sampai dengan (8) di bawah ini:

(1) Kampang,nak nyaroke aku bae kau ni!

[]

Kampang, mau menyusahkan aku saja kau ini!’ (2) Burit,kemaren kau ngotaki aku ye?

(36)

(3) Gilo,kau ni galak jugo dengen banci!

[] Gilo, kau ini mau juga dengan banci!’ (4) Bengak,ngapo idak kau bunuh bae dio tu?

[] ‘Bengak, mengapa tidak kau bunuh saja dia itu?’ (5) Pilat,mintak berapo lobang kau?

[] ‘Pilat, minta berapa lubang kamu?’ (6) Jembut,galak nian apo idak?

[] ‘Jembut, mau benaran apa tidak?’ (7) Kontol,nak mati nian apo kau ni?

[] ‘Kontol, mau mati benar apa kamu ini?’ (8)Nak ngajak ribut bae kau ni,tai!

[] ‘Mau mengajak ribut saja kamu ini, tai!’

Pada contoh (1), kata kampang digunakan oleh penutur dalam kondisi kesal atau marah karena ada yang hendak menyusahkan. Dalam hal ini, penutur merasa kesal kepada seseorang (mitra tutur) karena hendak membuat penutur susah. Kata

(37)

Pada contoh (2) terdapat kata burit yang bermakna ‘bagian pangkal paha di sebelah belakang’ dan sepadan dengan kata pantat dalam bahasa Indonesia. Kata

burit dipakai oleh penutur untuk mengungkapkan rasa tidak senang karena kemarin ditipu oleh mitra tutur.

Katagilo pada contoh (3) bermakna ‘sakit pikiran’ yang sepadan dengan kata

gila dalam bahasa Indonesia. Pada contoh di atas, kata gilo dipakai oleh penutur untuk mengungkapkan rasa terkejut karena mitra tutur ternyata suka dengan banci.

Kata bengak yang bermakna ‘kebodohan’ pada contoh (4) sepadan dengan katatololdalam Bahasa Indonesia. Dalam kalimat tersebut, katabengakdipakai oleh penutur untuk mengungkapkan ketidaksenangan karena mitra tutur tidak mau membunuh seseorang. Kata bengak bersinonimi pula dengan lolo, buyan, dan

bongok – juga merupakan kata monomorfemik dalam bahasa Melayu Palembang. Dalam pemakaiannya, kata-kata tersebut lazim pula terdapat dalam contoh (4) menggantikan katabengak. Kecuali katabongokkarena memiliki referen hewan yang hidup di air masalah ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Kata pilat dalam contoh (5) yang bermakna ‘kotoran yang melekat pada alat kelamin pria,’ merupakan sarana bagi penutur untuk mengungkapkan kebencian kepada mitra tutur. Dalam konteks tersebut, penutur menawarkan sesuatu yaitu

lobang kepada mitra tutur. Perlu diketahui, yang dimaksud lobang ialah luka pada tubuh akibat tusukan benda tajam.

(38)

Kejengkelan yang dimaksud disebabkan mitra tutur tampak ragu-ragu atas tawaran penutur. Dalam konteks inilah, penutur memaki dengan kata jembut sekaligus mempertanyakan keseriusan mitra tutur – dapat pula dikatakan tampaknya penutur masih ragu terhadap keseriusan mitra tutur.

Pada contoh (7) terdapat kata kontol yang bermakna 'alat kelamin laki-laki'.

Kontol merupakan sarana untuk menyatakan tingginya frekuensi emosi negatif penutur kepada mitra tutur. Secara jelas, dapatlah diketahui bahwa penutur menanyakan apakah mitra tutur ingin mati. Penutur dan mitra tutur sedang dalam situasi berkonflik – situasi tersebut merupakan konteks tuturan (7).

Tai pada contoh (8) juga lazim digunakan untuk memaki di Indonesia secara umum. Dalam pada itu, tai juga kosa kata milik bahasa Melayu Palembang karena kata tersebut diperoleh dari naskahKamus Bahasa Palembang. Urgensi yang tampak jelas pada kasus ini,taidituturkan seolah-olah kata tersebut mewakili kesadaran mitra tutur. Dengan kata lain, penutur merasa kesal dan bermaksud menyamakan mitra tutur dengantai.

Makian berbentuk kata polimorfemik jarang digunakan oleh penutur bahasa Melayu Palembang. Peneliti hanya memperoleh satu bentuk kata polimorfemik – dalam naskah Kamus Bahasa Palembang (KBP) – yang kondusif dan sering digunakan dalam memaki, yaknibiadab.Lihat contoh (9) di bawah ini:

(9)Biadab,denger dulu aku ni nak bekato!

(39)

Biadab pada contoh di atas bermakna ‘tidak mempunyai adab.’ Kata biadab

terbentuk dari proses morfemik, yakni pelekatan morfem bi di depan morfem adab.

Dalam naskah KBP, adab bermakna ‘kesopanan; kehalusan dan kebaikan budi pekerti yang akhlak.’ Konteks pada contoh di atas ialah orang tua (penutur) yang hendak berkata kepada orang yang lebih muda (mitra tutur). Makian tersebut bertujuan agar mitra tutur mendengarkan perkataan yang hendak diutarakan oleh penutur.

Setelah peneliti melakukan analisis dengan cermat, kata polimorfemik yang kondusif sebagai makian seperti cemekekan, penyungkan, celamitan, dan betakokan,

tidak lazim berdiri sendiri sebagai kata dan menduduki salah satu fungsi dalam kalimat. Kata cemekekan dan penyungkan – dalam kalimat lisan – lazim dibentuk menjadi frase oleh penutur. Katabetakokan dan cemekekanjustru dibentuk menjadi makian berbentuk klausa. Esensinya, peneliti hanya menemukan satu makian berbentuk kata polimorfemik yang sering digunakan oleh penutur, yakni biadab. Makian tersebut merupakan hasil dari proses afiksasi.

2.2 Makian Berbentuk Frase

Makian yang berbentuk frase dalam bahasa Melayu Palembang dibentuk dengan dua cara, yakni dasar + makian, dan woi + makian. Di samping itu, juga terdapat frase yang terbentuk tanpa pelekatan dasar dan woi. Kata dasar

(40)

(10)Dasar cemekekan,mintak sikok bae dak dienjuk!

[] ‘Dasar cemekekan, minta satu saja tidak diberi!’

(11)Dasar penyungkan,nyapu kamar dewek bae dak galak!

[]

‘Dasar penyungkan, nyapu kamar sendiri saja tidak mau!’ (12)Dasar buayo,jingok betino ladas nian!

[]

Dasar buayo,lihat perempuan senang sekali!’ (13) Dasar kere,ngutang tula gawe kau ni!

[] ‘Dasar kere, ngutang terus kerjamu ini!’ (14) Dasar belis,pikirannyo minum bae!

[] ‘Dasar belis, pikirannya minum saja!

(15) Dasar bandit,dak pacak nian jingok wong lemak dikit.

[]

Dasar bandit, benar-benar tidak bisa lihat orang senang sedikit! (16) Dasar dak katek rai,makin tuo makin dak tau diri!

[] ‘Dasar dak katek rai, semakin tua semakin tidak tahu diri!

Apa yang saya tunjukkan di atas – kalimat (10) sampai (16) – merupakan contoh makian berupa frase yang dibentuk dengan cara pelekatan katadasardi depan makian.Penutur bahasa Melayu Palembang lazim menggunakan cara tersebut – yakni

dasarplus makian.

Pada contoh (10), frase dasar cemekekan sepadan dengan frase dasar pelit

(41)

cemekek (-an). Konteks terjadinya kalimat (10) ialah “Penutur meminta sesuatu kepada mitra tutur tetapi tidak diberi,” itulah sebabnya penutur memaki mitra tutur – inilah ‘bumbu’ sehingga makian di atas dituturkan.

Frase dasar penyungkan pada contoh (11) sepadan dengan frase “dasar pemalas,” dalam bahasa Indonesia. Makna dari kata penyungkan yakni ‘orang yang malas’. Perlu diketahui bahwa penyungkan merupakan kata yang terbentuk dari proses morfemis (peN-) sungkan. Konteks pada contoh ini ialah seseorang – lazim jika ia seorang ibu – yang marah kepada pemilik kamar (anak) dikarenakan si pemilik kamar tidak mau menyapu kamarnya.

Frase dasar buayo pada kasus (12) merupakan makian yang timbul karena sifat mitra tutur yang suka ‘cuci mata.’ Dalam hal ini, penutur merasa jengkel karena si mitra tutur suka melihat perempuan. Pada kenyataan, makian ini sering dilontarkan istri kepada suaminya yang suka main mata dengan perempuan lain.

Pada contoh (13) terdapat frasedasar kere.Katakereyang bermakna ‘miskin’ telah menjadi bahasa Indonesia, namun tercantum pula dalam naskahKamus Bahasa Melayu Palembang. Konteks yang melandasi terjadinya makian pada kalimat tersebut, yakni penutur merasa jengkel kepada mitra tutur. Alasannya, mitra tutur selalu berhutang – meminjam uang – kepada si penutur.

(42)

fanatisme Islam turut mempengaruhi iklim sosial masyarakat kota Palembang. Itulah sebabnya pemabuk lazim dipadankan denganbelis.

Banditpada contoh (15) bermakna ‘penjahat.’ Katabanditdigunakan penutur untuk memaki mitra tutur yang selalu tidak suka melihatnya dalam keadaan bahagia atau senang. Hal ini dikarenakan sifat bandit yang selalu membuat orang susah.

Dasar bandit merupakan makian berbentuk frase yang bertujuan menyamakan sifat mitra tutur dengan penjahat.

Dasar dak katek rai pada kasus (16) sepadan dengandasar tidak punya muka

dalam bahasa Indonesia. Makna dari frase tersebut ialah ‘seseorang yang tidak punya malu.’ Pada kasus ini, penutur bermaksud mengungkapkan penilaian negatifnya terhadap mitra tutur – yang telah berusia lanjut – karena sudah tua tetapi tidak tahu diri.

(43)

(17)Dasar Batak,makan apo bae!

[] ‘Dasar Batak, makan apa saja! (18)Dasar Cino,pelitnyo dak ketulungan!

[] ‘Dasar Cino, pelitnya minta ampun!

(19)Dasar Kubu,makan pake sendok bae dak pacak!

[] ‘Dasar Kubu, makan pakai sendok saja tidak bisa! (20)Dasar Jawo, baru pacak make sepatu, begaya pulo!

[] 'Dasar Jawo, baru bisa pakai sepatu, bergaya pula!

Frase Dasar Batak pada kalimat (17) dituturkan sebagai bentuk ketidakberterimaan sebagian masyarakat Palembang terhadap etnis Batak. Dalam kasus ini, sebagian masyarakat Palembang menilai watak etnis Batak – yang menetap di Palembang – tidak suka berbagi; cenderung ingin menguasai segalanya untuk kepentingan pribadi atau sesama etnis. Landasan tersebutlah yang menyebabkan

Batak – nama salah satu etnis di Indonesia – dijadikan makian oleh masyarakat Palembang (etnis Melayu) untuk memaki mitra tutur yang berasal dari etnis tersebut.

(44)

ketidaksenangan penutur kepada mitra tutur (etnis Cina) karena sifatnya yang terkesan pelit.

Frase dasar Kubu pada contoh (19) dituturkan sebagai bentuk makian terhadap mitra tutur sebab etnis Kubu merupakan masyarakat yang masih primitif; tinggal di daerah pedalaman Jambi dan belum bersentuhan dengan kemajuan zaman. Secara gamblang, penutur memaki mitra tutur karena tidak bisa menggunakan sendok. Dalam kasus ini bukannya berarti mitra tutur yang berasal dari etnis Kubu, melainkan mitra tutur yang hanya dipadankan dengan etnis Kubu.

Dasar Jawo pada contoh (20) merupakan makian berbentuk frase yang dilontarkan penutur kepada etnis Jawa. Hal ini terjadi karena sebagian besar etnis Jawa merupakan transmigran; tinggal di pedalaman Sumsel dan hidup dari pertanian. Pada saat-saat tertentu, mereka sering ke pusat kota dan bergaya berlebihan. Masyarakat Kota Palembang sering tidak berterimaan dengan sifat etnis Jawa tersebut. Itulah sebabnya etnis Jawa lazim dijadikan makian untuk memaki mitra tutur yang berasal dari etnis Jawa. Untuk lebih jelas, dapat dilihat penjelasan lebih lanjut pada bab IV.

(45)

(21)Woi babi,kemaren kau ni maling mangga aku ye!?

[] 'Woi babi, kemarin kamu mencuri mangga aku ya!? (22)Woi rai tempek,balik bae sano!

[] 'Woi rai tempek, pulang saja sana!' (23)Woi beruk,pacak anteng dak?

[] 'Woi beruk,bisa tenang tidak?'

(24)Woi dogol nian,dijelaske bekali-kali masi dak ngerti!

[] 'Woi dogol nian,dijelaskan berkali-kali masih tidak mengerti!' (25)Woi monyong,jijik aku jingok mulut kau ni!

[] 'Woi monyong,jijik aku lihat mulut kamu!,

Pada contoh (21) sampai (25) ditemui makian berbentuk frase. Bentuk-bentuk yang layak digunakan penutur untuk memaki mitra tutur dengan jarak jangkau makian agak berjauhan, yakniwoi+babipada contoh (21) danwoi+rai tempekpada contoh (22). Penyebab yang menjadikannya demikian ialah konteks tuturan makian. Kalimat (21) dan (22) dilandaskan pada konteks, penutur sedang berada di suatu tempat dan tiba-tiba melihat mitra tutur yang berada agak jauh. Frase woi babi

(46)

ini dikarenakan mitra tutur memiliki kelakuan yang tidak disukai penutur.Rai tempek

biasa digunakan untuk mewakili sifat maniak sex.

Woi + beruk, woi + dogol nian, dan woi + monyong, merupakan makian berbentuk frase yang layak dilontarkan penutur dengan jarak jangkau makian berdekatan – seperti lazimnya komunikasi verbal terjadi.Woi berukpada contoh (23) merupakan bentuk ketidaksenangan penutur terhadap situasi yang diciptakan mitra tutur. Untuk lebih jelas, mitra tutur tidak bisa tenang; padahal sedang dibonceng dengan kendaraan roda dua. Situasi ketidaktenangan mitra tutur tersebut membuat jengkel penutur sehingga menyebabkan terlontarnya makian. Mitra tutur dipadankan dengan beruk (salah satu jenis kera yang agresif). Woi dogol nian dalam kasus (24) merupakan luapan rasa jengkel penutur karena sulitnya menjelaskan sesuatu kepada mitra tutur. Dogol sepadan dengan kata dungu dalam bahasa Indonesia, sedangkan kataniansepadan dengan katasekali. Woi monyongpada contoh (25) terlontar karena rasa jijik penutur melihat mulut mitra tutur. Konteks yang lazim melatarbelakangi kasus ini ialah: penutur dan mitra tutur sedang makan bersama. Mulut mitra tutur yangmonyong(panjang) menyebabkan pemandangan yang menjijikkan bagi penutur.

Selain bentuk-bentuk di atas, terdapat pula makian berbentuk frase tanpa dilekati dengan kata dasar dan woi di depannya, seperti mulut duo belas, mintak alem, kecik kundu, bujang lapuk, gadis tuo, geta basa, katek otak, jubur molor.

(47)

dewasa dari segi umur tetapi belum menikah,’ sama halnya dengan gadis tuo yang bermakna ‘wanita yang sudah dewasa umurnya dan belum bersuami.’ Geta basa

sepadan dengan kata pelit dalam bahasa Indonesia. Katek otak bermakna ‘tidak mempunyai otak; tidak bisa berpikir.’ Jubur molor bermakna,’usus besar yang memanjang keluar dari lubang dubur; penyakit saluran tinja.’ Bentuk-bentuk di atas, pemakaiannya dapat dilihat pada contoh (26) sampai dengan (32) berikut ini:

(26)Mulut duo belas,dak pacak nian diem barang sedenget!

[] 'Mulut duo belas,tidak bisa benar diam barang sebentar!’ (27)Mintak alem,kagek keno gasak tenangis pulo!

[mintaalm, kagk kengasatnais pul] 'mintak alem, nanti kena embat jadi menangis pula!’ (28)Kecik kundu,liwat kuburan bae mintak kawani!

[] 'Kecik kundu,lewat kuburan saja minta ditemani!’ (29)Bujang lapuk,nyemaki biji mato bae kau ni!

[] 'Bujang lapuk,menutupi biji mata saja kamu ini!'

(30)Gadis tuo,cepatla pulo belaki mako dak ringam aku jingok kau!

[] 'Gadis tuo,cepatlah pula bersuami biar tidak risih aku melihat kamu!' (31)Geta basa,pecak saro nian metuke duit untuk kito-kito!

[] 'Geta basa, seperti sulit sekali mengeluarkan uang buat kita!'

(32)Katek otak,dibunuhnyo kalo kito idak nyetorke duit ini!

[]

(48)

(33)Jubur molor,kau ni kentut sebasingan bae!

[] 'Jubur molor,kau ini kentut sembarangan saja!’

Secara singkat, contoh-contoh pemakaian di atas akan dijelaskan satu-persatu. Kasus (26) merupakan bentuk tuturan yang dilandasi oleh kekesalan penutur sebab mitra tutur terlalu banyak bicara (cerewet). Pada contoh (27), penutur tidak menyukai sifat mitra tutur yang cenderung selalu minta perhatian. Pada contoh (28), penutur kesal dan terpaksa menemani mitra tutur melewati kuburan. Pada contoh (29), penutur merasa muak melihat Si Bujang Lapuk (mitra tutur). Pada contoh (30), penutur merasa risih melihat mitra tutur, dan menyarankan agar cepat bersuami. Pada contoh (31), kejengkelan penutur yang diungkapkan kepada mitra tutur (lebih dari satu orang) terhadap sifat seseorang yang pelit, misalnya salah seorang pekerja (anak buah) yang mengeluh karena bosnya pelit. Pada (32), bentuk ketidaksetujuan pemikiran penutur kepada mita tutur dalam hal uang yang harus disetorkan. (33), penutur jengkel karena mitra tutur kentut sembarangan.

(49)

2.3 Makian Berbentuk Klausa

Pada umumnya, makian yang berbentuk klausa dalam bahasa Melayu Palembang dibentuk dengan menambahkan pronomina di belakang makian. Penutur bahasa Melayu Palembang lazim menggunakan pronomina kau dalam memaki – pronomina kamu tidak lazim digunakan oleh penutur. Adapun penempatan pronomina – di belakang makian – dimaksudkan untuk memberi penekanan pada makian. Di samping itu, ada beberapa bentuk yang lazim ditambah ni (ini) di belakang atau di depan pronomina sebagai tambahan penekanan.

Dalam pemakaian bahasa, ditemui bentuk-bentuk seperti palak bapak kau, burit umak kau, biji mato kau, pilat kau, buntang kau, mampus kau, alangka busuk

ati kau ni, majal nian kau ni, ai banci kau ni, bongok kau ni, nyenyes kau ni, babi ni

kau, dan gilo kanji kau ni. Untuk penggunaannya, dapat diperhatikan contoh (34) sampai dengan (46) berikut ini:

(34)Palak bapak kau,mano galak aku kawin dengan dio!

[] ‘Palak bapak kau, mana mau aku menikah dengan dia!’ (35)Burit umak kau,jago dikit kalu bekato tu!

[] ‘Burit umak kau, jaga sedikit kalau berkata!’ (36)Biji mato kau,aku ni lah bayar dari tadi!

[] ‘Biji mato kau,aku ini sudah bayar dari tadi!' (37)Pilat kau,pacak serius idak?

(50)

(38)Buntang kau,disuruh begawe idak galak!

[] ‘Buntang kau,disuruh bekerja tidak mau!'

(39)Mampus kau,makonyo dak usah melok-melok parpol!

[] ‘Mampus kau,makanya tidak usah ikut-ikut parpol!' (40)Alangka busuk ati kau ni,payolah dio tu masi nak idup!

[] ‘Alangka busuk ati kau ni, ayolah dia itu masih mau hidup!' (41)Majal nian kau ni,bakso tigo mangkok abis galo!

[] ‘Majal nian kau ni, bakso tiga mangkuk habis semua!' (42)Ai banci kau ni,takut nian samo betino!

[ ‘Ai banci kau ni,takut sekali sama wanita!' (43)Bongok kau ni,saban ari keno tilang polisi tula.

[] ‘Bongok kau ni,setiap hari kena tilang polisi terus.’ (44)Nyenyes kau ni,cerito dak sudah-sudah!

[] ‘Nyeyes kau ni, cerita tidak selesai-selesai!’

(45)Gilo kanji kau ni,bini la tigo masi ladas pulo nyingok gadis!

[] ‘Gilo kanji kau ni, istri sudah tiga masih senang pula melihat gadis!' (46)Babi ni kau,ngapo baru ngenjuk tau aku sekarang?

[] ‘Babi ni kau, kenapa baru memberi tahu aku sekarang?'

(51)

penutur memaki ialah ketidakmauannya untuk menikahi seseorang. Burit umak kau

(35) sepadan denganbokong ibumu. Penutur tersinggung oleh perkataan mitra tutur.

Biji Mato kauyang sepadan denganbiji matamu pada (36) digunakan penutur untuk menyangkal tuduhan bahwa penutur belum membayar sesuatu. Pilat kau (37) bermakna ‘kotoran alat kelaminmu’ merupakan ekspresi kemarahan penutur terhadap situasi yang tidak serius – yang di sebabkan oleh mitra tutur. Buntang kau (38) terlontar akibat perintah dari penutur tidak dikerjakan.Buntang sepadan dengan kata

bangkaidalam bahasa Indonesia.Mampus kau(39) terlontar sebagai kutukan penutur karena kerugian yang diderita mitra tutur akibat keikutsertaannya dalam partai politik. Bentuk-bentuk yang ditambah ni di belakang pronomina kau terdapat pada contoh (40) sampai dengan (46).Alangka busuk ati kau ni (40) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Alangkah busuk hatimu ini.” Dalam konteks ini, penutur memaki karena mitra tutur hendak membunuh seseorang. Majal nian kau ni (41) “Rakus sekali kamu ini,” merupakan bentuk sindiran atau ejekan penutur kepada mitra tutur yang rakus.Ai banci kau ni(42), “Ah banci kamu ini,” diutarakan penutur sebagai ejekan. Mitra tutur tampak tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan wanita.Bongok kau ni(43), “Bodoh kamu ini,” dilontarkan karena mitra tutur melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang.Bongok ialah nama salah satu jenis ikan air tawar yang dikhususkan untuk mewakili sifat seseorang yang tidak mampu belajar dari pengalaman. Ikan bongok sering tersangkut di jaring yang sama meski telah dilepaskan. Bongok, nilainya setara dengan keledai dalam bahasa Indonesia.

(52)

diucapkan penutur sebagai bentuk ketidakberterimaannya kepada mitra tutur yang bicara terus tanpa henti. Dalam bahasa Melayu Palembang sendiri, Nyenyes mirip maknanya dengan frase mulut duo belas. Gilo kanji kau ni (45), dalam bahasa Indonesia layak menjadi, “Mata keranjang kamu ini.” Dalam contoh di atas, penutur mengutarakan ketidaksenangannya terhadap sifat mitra tutur yang masih saja suka melihat gadis. Padahal, mitra tutur telah mempunyai tiga istri.

Bentuk yang ditambah nidi depan pronomina terlihat pada Babi ni kau (46).

Babi merupakan hewan najis yang diharamkan oleh ajaran Islam. Penutur melontarkan kata tersebut, pastinya memiliki kejengkelan yang luar biasa kepada mitra tutur. Ada suatu hal penting tidak dikabarkan dalam temporal yang tepat – oleh mitra tutur.

Di samping pronomina kau, ditemukan pula pembentukan dengan penambahan pronomina awak di belakang makian. Kau dan awak merupakan dua buah kata yang saling bersinonimi, namun tidak semua makian dapat ditambahkan pronominaawak di belakangnya. Dari data yang terkumpul, pembentukan ini hanya ditemukan, kacuk umak awak, dan lancang nian awak. Pronomina awak dapat digantikan dengan kau sehingga menjadi kacuk umak kau, dan lancang nian kau. Berbeda halnya dengan pronominaawakyang hanya lazim terdapat pada contoh (47) sampai dengan (48) berikut ini:

(47)Kacuk umak awak,apo aku ni binatang yang buat wong jijik?

[]

(53)

(48)Lancang nian awak,ngambik barang sebasingan! []

‘Lancang nian awak, mengambil barang sembarangan!'

Kacuk pada contoh (47) bermakna ‘senggama; setubuh’. Dalam kasus ini,

kacuk umak awak jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kuperkosa ibumu.” Kejengkelan penutur merupakan esensi mutlak terlontarnya makian ini – dalam bentuk klausa. Hal yang membuat penutur demikian dikarenakan kehadirannya tidak dipandang layak sebagai manusia. Lancang pada (48) bermakna ‘tidak tahu aturan.’ Dalam konteks ini, penutur merasa tidak dihargai karena barangnya diambil begitu saja tanpa prosedur yang jelas.

2.4 Makian Berbentuk Kalimat Minor

Pada dasarnya, makian yang berbentuk kalimat minor dalam bahasa Melayu Palembang, dibentuk dengan mempertimbangkan prinsip ekonomi. Asumsi peneliti di samping dapat diperkuat dengan analogi sederhana berikut. Saat frekuensi emosi negatif penutur bergejolak naik, lazim dilampiaskan secara verbal dengan membentuk tuturan makian yang panjang dan bertele-tele – sesuka hati. Selain itu, lazim pula penutur memilih cara yang singkat, yakni dengan melontarkan makian dalam kalimat minor. Tuturan makian yang singkat – hanya berupa kata kasar – lebih praktis, padat, dan ekonomis.

(54)

predikat tanpa subjek, yang berupa kalimat perintah, (2) kalimat yang menyatakan seruan, (3) kalimat aforistis, dan (4) kalimat fragmen. Meskipun begitu, dari data yang terkumpul, tidak ditemui makian yang dapat digolongkan pada tipe (1). Jadi, hanya diperoleh tiga tipe saja.

Kalimat minor yang menyatakan seruan. Pada dasarnya, semua kata atau pun frase makian dapat dituturkan seperti kalimat minor tipe ini. Hal yang membedakan hanyalah sebatas penggunaannya. Apabila disebut sebagai kata atau pun frase, makian dibentuk seperti tuturan pada contoh (1) sampai dengan (33). Beda halnya jika kata dan frase hanya berdiri sendiri, tidak dibentuk seperti dalam contoh (1) sampai dengan (33). Untuk itu, perhatikan contoh (49) sampai dengan (61) di bawah ini:

(49)Ai da! []

‘seruan untuk menyatakan kemarahan atau kekesalan' (50)Anjing!

[]

‘binatang najis dan haram yang menggonggong' (51)Binatang!

[] ‘hewan' (52)Lonte! []

‘perempuan yang menjual diri' (53)Kelentit!

[]

(55)

(54)Pepek! []

‘alat kelamin wanita' (55)Pengung!

[] ‘tuli' (56)Laila!

[] ‘tiada Tuhan' (57)Taun!

[] ‘setan’ (58)Peler! []

‘alat kelamin laki-laki' (59)Puki!

[]

‘alat kelamin wanita' (60)Tai babi!

[]

‘sisa hasil metabolisme babi' (61)Gilo babi!

[] ‘penyakit ayan'

(56)

mengoptimalkannya. Dengan demikian, kalimat-kalimat minor pada contoh (49) sampai dengan (61) akan menjadi hantaman verbal bagi mitra tutur.

Kalimat aforistis, merupakan bentuk minor seperti ungkapan peribahasa. Dari data yang diperoleh, terdapat empat bentuk makian yang termasuk tipe ini. Perhatikan contoh (62) sampai dengan (64) berikut ini.

(62)Makin tuo makin gilo! [] ‘Semakin tua semakin gila!' (63)Tamba tuo tamba kanji!

[] ‘Tambah tua tambah genit!'

(64)Makin besak makin pecak taun! [] ‘semakin besar semakin seperti taun!'

(57)

genit. Sifat-sifat yang dimiliki mitra tutur itulah yang menyebabkan penutur – istri mitra tutur – melontarkan makian.

Untuk contoh (64), adalah makian yang dilontarkan orang tua kepada anaknya. Hal ini disebabkan, semakin besar sang anak, kelakuannya tidak seperti yang diharapkan orang tuanya. Justru semakin seperti setan. Dengan perkataan lain, semakin buruk kelakuannya.

Kalimat fragmen, ialah bagian dari tuturan yang biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan. Perhatikan contoh (65) dan (66) berikut ini:

(65)(Awak nak ngapoi?)Ngancit!

] [] ‘Kamu mau apa?’ ‘Menyetubuhi!' (66)(Apodio awak makan tu?)Tai!

[] [] ‘Apa yang kamu makan itu?’ ‘Tai!’

Pada contoh (65),ngancitdilontarkan mitra tutur untuk menjawab pertanyaan

(58)

Dalam bahasa, kata-kata dapat digolongkan menjadi dua: kata referensial dan kata nonreferensial. Golongan yang pertama adalah kata-kata yang memiliki referen yang dapat mengisi fungsi-fungsi sintaktik kalimat, dapat disebut sebagai kata utama, seperti kata benda, kata kerja, kata sifat, dan sebagainya. Golongan yang kedua adalah kata-kata yang hanya berfungsi sebagai pembantu kata-kata lain. Dapat disebut sebagai kata tugas, seperti kata penghubung, kata depan, dan kata seru (Wijana, 2006: 119).

Secara umum, kata-kata makian dalam bahasa Melayu Palembang memiliki referen (acuan), kecuali Ai da yang berkategori kata seru. Dari data yang diperoleh, peneliti menggolongkan makian bahasa Melayu Palembang sesuai dengan referennya, yakni keadaan, sifat, etnis, binatang, makhluk halus, benda, bagian tubuh, aktifitas, dan profesi. Penggolongan ini, berkiblat pada penelitian serupa yang pernah dilakukan Wijana dan Rohmadi. Hanya saja, objek yang diteliti oleh kedua peneliti tersebut adalah makian dalam bahasa Indonesia, sedangkan objek pada penelitian ini ialah makian dalam bahasa Melayu Palembang.

(59)

contoh-contoh kalimat untuk memperjelas konteksnya. Untuk pemerian lebih lanjut, dapat dilihat pada bagian setelah ini.

3.1 Keadaan

Kata-kata makian yang memiliki referen keadaan mengarah pada keadaan yang tidak menyenangkan. Secara umum, keadaan tersebut mencakup keadaan mental atau jiwa, keadaan yang tidak sesuai norma agama dan adat, dan keadaan yang berhubungan dengan kejadian buruk. Di bawah ini, data yang diperoleh akan dijelaskan secara singkat.

Kata-kata yang memiliki referen keadaan mental atau jiwa, yakni: gilo, bengak, buyan, lolo, dogol,dan sebagainya. Katagilo,mengacu pada keadaan mental yang tidak sehat.Bengak, buyan, lolo, dandogolmengacu pada keadaan mental yang kurang cerdas. Perihal penggunaannya, perhatikan contoh (67) sampai dengan (72) di bawah ini:

(67) Gilo,nak mati nian budak sikok ini!

 Gilo, mau mati benar orang satu ini!’

(68) Bengak,ngitung limo belas dibagi tigo bae dak pacak!

[] Bengak, menghitung lima belas dibagi tiga saja tidak bisa!’ (69) Buyan kau ni,ngapo dienjukke galo duitnyo?

(60)

(70) Lolo,punyo mato dak dipake! [ Lolo, punya mata tidak dipakai!’ (71) Dogol nian,pempek busuk dimakan!

[ Dogol nian, pempek busuk dimakan!’

Kata-kata makian yang memiliki referen keadaan yang tidak sesuai dengan norma agama, yakni:laila,danbiadab. Lailamengacu pada keadaan tiadanya Tuhan.

Biadab mengacu pada keadaan yang melanggar moral atau aturan agama – termasuk juga aturan adat. Untuk pemakaiannya, perhatikan contoh (72) dan (73) berikut ini:

(72) Laila,ngapo bini aku awak tuja?

[ Laila

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena hubungan kerja yang sudah berakhir, maka pekerja harus. mendapat hak – hak akibat dari PHK tersebut, yaitu berupa

Media yang paling sering digunakan dalam proses ritual mantra bahasa Dayak Desa adalah garam, air putih, dan kapur

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini, adalah (1) terdapat jenis diksi berupa kata abstrak, umum, khusus, kajian, dan serapan dalam abstrak skripsi mahasiswa Program

Oleh sebab itulah, Tukang Sangiang dianggap memiliki gejala dari tipe otoritas tradisional. Keempat, melalui perannya sebagai Tukang Sangiang terdapat beberapa sifat

i) Berbicara tentang topik tertentu. Penutur berasa bebas dan lebih selesa untuk mengekspresikan emosi, keterujaan, atau kemarahan dalam bahasa yang bukan merupakan

Dalam menjaga kearifan lokal serta keberlanjutan lingkungan tentunya manusia dan kebudayaannya berperan aktif didalamnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasruddin

Faktor penghambat pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani cabai oleh Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bener Meriah : a Sumber