• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan sifat fisik dan stabilitas fisik deodoran ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) dengan variasi jumlah sorbitan monostearate sebagai emulsifying agent - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan sifat fisik dan stabilitas fisik deodoran ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica L.) dengan variasi jumlah sorbitan monostearate sebagai emulsifying agent - USD Repository"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERBEDAAN SIFAT FISIK DAN STABILITAS FISIK

DEODORAN EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) DENGAN VARIASI JUMLAH SORBITAN MONOSTEARATE

SEBAGAI EMULSIFYING AGENT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Ananda Siwi Lesmana NIM : 088114132

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

A t l eas t i k now w hat l ov e i s , l i k e cl ou ds l ov e t he s k y , ocean l ov e s and, w i nt er l ov es s now , s now l ov e br eez e, i t ’ s al l connect ed. i t s cal l ed u ncondi t i onal l ov e, i t ’ s i n our hear t . . .

T he beaut y of l i f e i s t o f i ght i n a di f f i cu l t s i t uat i on. . .

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk yang aku sayangi.

U ntuk A yah dan I buku , sebagai tanda bakti dan rasa terimakasih

yang tiada terhingga atas segala dukungan selama ini.

U ntuk M y best friend

RIP

.Y udha, terimakasih atas bantuan, doa,

(5)
(6)
(7)

PRAKATA

Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas berkat dan anugerah yang telah diberikan sehingga penelitian dan

penyusunan skripsi dengan judul “Perbedaan Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik

Deodoran Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dengan Variasi

Jumlah Sorbitan Monostearate sebagai Emulsifying Agent” dapat diselesaikan

dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S. Farm) di

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mengalami permasalahan dan

kesulitan. Namun dengan adanya dukungan, bantuan, dan semangat dari berbagai

pihak, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dengan

baik. Oleh karena itu, dengan segala hormat, penulis ingin mengucapkan terima

kasih atas bantuan yang telah diberikan, kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Rini Dwiastuti, M.S., Apt. selaku dosen pembimbing atas segala kesabaran

untuk selalu mendukung, memberi masukan, dan jalan keluar serta kritik dan

saran yang sangat bermanfaat kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini

3. Agatha Budi Susiana Lestari, M.Si., Apt. dan Yohanes Dwiatmaka, M.Si.

selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang

(8)

4. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

mendampingi, membagi ilmu dan pengalamannya yang sangat bermanfaat

dalam bidang farmasi.

5. Seluruh staf laboratorium dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma terutama Pak Musrifin, Pak Parlan, Pak Kayat, Mas Wagiran, Pak

Heru, pak Parjiman, Mas Sigit, Mas Kunto, Mas Bimo, Mas Otok, Mas

Agung, Mas Darto, Pak Timbul, dan Pak Yuwono yang telah banyak

membantu dan bersedia untuk direpotkan selama penulis menyelesaikan

penelitian skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku yang sudah memberikan kepercayaan penuh kepadaku

untuk dapat menyelesaikan studi dan penelitian ini, adikku tercinta yang terus

mendoakan dan menyemangati selama penelitian ini berlangsung,

7. Yudha Prasetya Bhaskara, sahabat dan teman yang menginspirasi sekaligus

memotivasi. Terimakasih selalu memberikan semangat, canda tawa, dan

kenangan yang tidak terlupakan dalam hidup ini. Terimakasih atas waktu yang

disediakan untuk mendengarkan cerita, keluh kesah, selama ini. Terima kasih

untuk mau menjadi telinga dan mataku juga.

8. Natalia Noveli Hardita, sahabat dan teman satu penilitian yang berjuang

bersama dalam suka dan duka, saling menyemangati saat salah satu sedang

terpuruk. Terima kasih untuk kebersamaan kita dan menyelesaikan skripsi

bersama.

9. Agatha Dessynta Putri, Evelyn Puspita Rini, Hermanto, Mariana, Octo

(9)

Terimakasih untuk persahabatan yang telah terjalin selama ini, untuk doa,

saran, suka, duka dan pengalaman bersama.

10.Yoana Gita Pradnya Lengari, Pritha, Wahyu Pamungkas dan Greystian

Aryaweda sebagai sahabat yang sudah mendukung selama penulis

menyelesaikan naskah penelitian.

11.Dian, Asti, Tika, Dewi, Lala, Sinlie, Dhea, Yesi, Silvia, dan Eddy untuk

segala canda tawa, lelucon, semangat, saran dan kesannya selama berjuang

bersama di laboratorium.

12.Semua teman-teman FST B dan Farmasi-C 2008 untuk cerita, pengalaman dan

kebersamaannya selama ini. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak

akan terlupakan.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun sudah sangat

membantu selama menyelesaikan penelitian dan penyusunan naskah. Terima

kasih untuk seluruh dukungannya.

Penulis menyadari bahwa didalam skripsi ini masih banyak kekurangan

mengingat adanya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh

karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis.

Semoga skripsi ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca dan dapat

berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Yogyakarta, 12 Mei 2012

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….……….... i

HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN……….... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………... vi

PRAKATA………... vii

DAFTAR ISI………... x

DAFTAR TABEL………... xv

DAFTAR GAMBAR………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN………... xviii

INTISARI………... xx

ABSTRACT………... xxi

BAB I PENGANTAR………... 1

A. Latar Belakang………... 1

1. Rumusan Masalah ………... 4

2. Keaslian Penelitian ………... 4

3. Manfaat penelitian ………... 5

B. Tujuan Penelitian ………... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………... 7

A. Keringat dan Bau badan ………... 7

(11)

C. Uji Potensi Senyawa Antibakteri………... 14

D. Daun Beluntas……….……... 17

E. Ekstrak………...………... 19

F. Maserasi... 20

G. Deodoran... 21

H. Emulsi... 22

I. Surfaktan nonionik... 23

J. Sorbitan Monostearate (Span 60)... 24

K. Formulasi... 25

1. Humektan... 25

2. Thickening agent... 27

3. Emolien... 30

4. Etanol... 32

5. Pengawet... 32

6. Aquadest... 34

L. Sifat fisik dan Stabilitas Emulsi... 35

1. Viskositas... 35

2. Daya sebar... 36

3. Ukuran droplet... 36

M. Ketidakstabilan emulsi... 39

N. Landasan Teori... 44

(12)

BAB III METODE PENELITIAN……….….…... 46

A. Jenis dan rancangan penelitian ………... 46

B. Variabel Penelitian ………... 46

C. Definisi Operasional ………... 47

D. Bahan dan Alat Penelitian ………...…………... 49

1. Bahan Penelitian ……….…... 49

2. Alat Penelitian... 50

E. Alur Penelitian ………..………... 51

F. Tata Cara Penelitian ……….…………... 52

1. Pengumpulan Bahan Ektrak dan Determinasi Tumbuhan... 52

2. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Beluntas... 52

3. Penetapan Kadar Total Fenolik... 52

4. Pengujian Potensi Antibakteri Ekstrak Etanol daun Beluntas Metode Difusi... 53 a. Isolasi Bakteri Ketiak... 53

(13)

e. Pengujian Mikromeritik... 58

G. Analisis Data... 58

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…..………..……... A. Pengumpulan Bahan Ektrak dan Determinasi Tumbuhan ………...

B. Pembuatan Serbuk Beluntas ………...

C. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Beluntas dan Verifikasi

Kandungan Senyawa Fenolik...

D. Isolasi Bakteri Ketiak Penyebab Bau Badan...

1. Isolasi Bakteri bau Badan...

2. Identifikasi Isolat Bakteri Bau Badan...

3. Determinasi Isolat Ketiak...

4. Penegasan genus Staphylococcus pada medium selektif...

E. Pengujian Potensi Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas

dengan Metode Difusi...

F. Pembuatan Deodoran Ekstrak Etanol Daun Beluntas...

G. Karakteristik Sifat Fisik dan Stabilitas Deodoran Ekstrak Etanol

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..……….………... A. Kesimpulan ………..………...

B. Saran ………..………...

106

106

106

DAFTAR PUSTAKA ……….... 107

LAMPIRAN ………... 112

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I

Hasil Identifikasi Bakteri Isolat Ketiak Dibandingkan dngan

Pustaka Acuan... 76

Tabel II Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Deodoran Ekstrak Etanol

Daun Beluntas... 91

Tabel III Uji Signifikansi Profil Ukuran droplet Deodoran Ekstrak

Etanol Daun Beluntas Antara Formula 1 dengan Formula 2. 93

Tabel IV Uji Signifikansi Profil Viskositas Deodoran Ekstrak Etanol

Daun Beluntas Antara Formula 1 dengan Formula 2... 96

Tabel V Uji Signifikansi Profil Daya Sebar Deodoran Ekstrak Etanol

Daun Beluntas Antara 48 jam dengan 30 Hari dari

Masing-Masing Formula... 97

Tabel VI Uji Signifikansi Profil Daya sebar Deodoran Ekstrak Etanol

Daun Beluntas Antara Formula 1 dengan Formula 2... 98

Tabel VII Uji Signifikansi Profil Ukuran Droplet Deodoran Ekstrak

Etanol daun Beluntas Antara 48 jam dengan 30 Hari dari

Masing-Masing Formula... 99

Tabel VIII Uji Signifikansi Profil Pergeseran Ukuran Droplet

Deodoran Ekstrak Etanol Daun Beluntas Antara Formula 1

dengan Formula 2... 101

Tabel IX Uji Signifikansi Profil Viskositas Deodoran Ekstrak Etanol

(16)

Masing-Masing Formula... 102

Tabel X Uji Signifikansi Profil Pergeseran Viskositas Deodoran

Ekstrak Etanol Daun Beluntas Antara Formula 1 dengan

Formula 2... 103

Tabel XI Uji Signifikansi Profil Pemisahan Fase Deodoran Ekstrak

Etanol Daun Beluntas Antara Formula 1 dengan Formula

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Molekul tran 3-metil-asam hexanoid... 8

Gambar 2. Morfologi Koloni Bakteri Pada Cawan Petri dan Media Agar... 14 Gambar 3. Tanaman Beluntas (Pluchea indica L.)... 18

Gambar 4. Struktur Molekul Sorbitan Monostearat……... 24

Gambar 5 Struktur Molekul Gliserin ……….... 26

Gambar 6. Struktur Propilenglikol...……….. 27

Gambar 7. Struktur Molekul Cetyl alcohol... 29

Gambar 8. Struktur Molekul Dimethicone ………... 31

Gambar 9. Struktur Molekul Etanol... 32

Gambar 10. Struktur Bangun Metil paraben……….... 33

Gambar 11. Struktur Molekul Propil paraben... 34

Gambar 12. Contoh Grafik Distribusi Frekuensi Ukuran Droplet... 38

Gambar 13. Ketidakstabilan Emulsi... 43

Gambar 14. Daun Beluntas yang Dipetik untuk Dibuat Ekstrak... 61

Gambar 15. Kontrol Media Isolasi Bakteri Ketiak... 68

Gambar 16. Hasil isolasi Ketiak dari 5 probandus... 70

Gambar 17. Hasil Uji Oksidase Isolat Ketiak... 75

Gambar 18. Bakteri Isolat Ketiak Pada Medium Manitol Salt Agar... 77

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Daun Beluntas... 113

Lampiran 2. Certificate of Analysis Ekstrak Etanol Daun Beluntas dari

LPPT UGM... 114

Lampiran 3. Proses Ekstraksi Ekstrak Etanol Daun Beluntas dari LPPT

UGM... 115

Lampiran 4. Penetapan Kadar Total Fenolik... 117

Lampiran 5. Data Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol daun Beluntas

terhadap Pertumbuhan Isolat Bakteri Bau Badan... 120

Lampiran 6. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Beluntas dan

Data Penimbangan Formula... 125

Lampiran 7. Hasil Uji pH Emulsi Deodoran Ekstrak Ertanol Daun

Beluntas...

126

Lampiran 8. Hasil Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Emulsi Deodoran Ektrak

Etanol Daun Beluntas... 127

Lampiran 9. Hasil analisis statistika ukuran droplet menggunakan

program R.2.9.0... 130

Lampiran 10. Hasil analisis statistik viskositas menggunakan program

R.2.9.0... 132

Lampiran 11. Hasil analisis statistik daya sebar menggunakan program

R.2.9.0... 134

(19)

menggunakan program R.2.9.0... 138

Lampiran 13. Hasil analisis statistik pergeseran viskositas menggunakan

program R.2.9.0... 142

Lampiran 14. Hasil analisis statistika pemisahan fase menggunakan

program R.2.9.0... 146

(20)

INTISARI

Penelitian mengenai Perbedaan Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Deodoran Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dengan Variasi Jumlah

Sorbitan Monostearate sebagai Emulsifying Agent dilakukan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas yang dapat digunakan sebagai antibakteri dan untuk mengetahui perbedaan sifat fisik dan stabilitas fisik yang signifikan pada variasi jumlah sorbitan monostearate dalam deodoran ekstrak etanol daun beluntas.

Pada penelitian ini digunakan rancangan percobaan secara acak dengan satu faktor dan dua level. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software R.2.9.0 Taraf kepercayaan yang digunakan adalah 95% untuk melihat signifikansi (p<0,05) dari masing-masing respon. Respon yang diukur dalam penelitian ini adalah ukuran droplet, viskositas, daya sebar, pergeseran ukuran droplet, pergeseran viskositas dan persen pemisahan fase.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 3% dapat memberikan daya hambat antibakteri. Terdapat perbedaan ukuran droplet yang signifikan pada penggunaan variasi jumlah Sorbitan Monostearate sebagai

emulsifying agent.

Kata kunci: deodoran, ekstrak etanol daun beluntas, sorbitan monostearate,

(21)

ABSTRACT

Research on the Difference of Physical Properties and Stability of Ethanol Leaf Extracts of Physical Deodorant Beluntas (Pluchea indica L.) with a variation amount of Sorbitan monostearate as an emulsifying agent conducted to determine the concentration of ethanol leaf extract beluntas that can be used as antibacterial and to know the different physical properties and physical stability significant variation in the amount of sorbitan monostearate6432 in the ethanol extract of leaves beluntas deodorant.

In this study used a randomized experimental design with one factor and two levels. The data obtained were then analyzed using software R.2.9.0 Confidence interfal used was 95% for the significance (p <0.05) of each response. Response measured in this study is the droplet size, viscosity, dispersive power, shifting the droplet size, viscosity and percent shift in the phase separation.

The results of the study showed that the concentration of 3% could give the inhibition of the antibacterial. There are significant differences in droplet size variation in the use of Sorbitan monostearate as an emulsifying agent.

(22)

1 BAB I

PENGANTAR

A.Latar Belakang

Bau badan dari sisi biologis adalah sesuatu yang wajar, namun saat ini

dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak bersih dalam

masyarakat modern (Umbach, 1995). Masalah bau badan merupakan masalah

yang banyak dialami orang. Meskipun terkesan tidak penting, permasalah bau

badan dapat berakibat fatal bagi karir dan pergaulan.

Dalam keadaan bau keringat yang sangat mengganggu, maka orang

membutuhkan deodoran. Banyak orang menganggap bau badan timbul karena

aktivitas berlebih yang menimbulkan aliran keringat. Menurut Howard (1974),

deodoran tidak dirancang untuk mengatur aliran keringat, akan tetapi dirancang

berdasarkan cara kerja bakterisida atau antiseptik yang nantinya membunuh

bakteri atau mencegah aktivitasnya. Keringat yang muncul dari kedua kelenjar

yaitu ekrin dan apokrin sebenarnya tidak berbau. Penyebab bau tersebut adalah

hasil dekomposisi keringat oleh bakteri. Beberapa bakteri yang diduga menjadi

penyebab bau badan tersebut ialah Staphylococcus epidermidis, Streptococcus

pyogenes, Staphylococcus aureus, Cornybacterium acne, Pseudomonas

aeruginosa (Endarti, Yulinah, and Soediro, 2002).

Dipasaran terdapat banyak deodoran dari berbagai bentuk dan merek

dagang, yang dikonsumsi oleh masyarakat untuk mengurangi atau mencegah bau

(23)

yang telah digunakan masyarakat Indonesia sejak lama untuk menghilangkan bau

badan dengan cara direndam kemudian dioleskan (Winarno dan Sundari, 1998).

Ekstrak etanol daun beluntas telah diteliti secara ilmiah memiliki aktivitas

antimikroba terhadap Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorecens,

Escherichia coli dan Salmonela typhi (Ardiansyah, Lilis., and Andarwulan, 2003).

Skrining Fitokimia menunjukkan hasil ekstrak etanol mengandung flavonoid,

fenol hidrokuinon, tanin (Ardiansyah, Lilis., and Andarwulan, 2003). Penelitian

menyebutkan kadar total fenolik ekstrak etanol 50% terbanyak terdapat pada

bagian daun (Normala and Suhaimi, 2011). Ekstrak etanol daun beluntas

berpotensi untuk diformulasikan sebagai sediaan topikal dengan penggunaan lokal

dikulit secara lebih praktis, efektif, dan modern dalam bentuk sediaan deodoran

alternatif, yang memiliki aktivitas antibakteri penyebab bau badan.

Pada penelitian ini akan dibuat deodoran dari ekstrak etanol daun beluntas

yang memiliki efek antibakteri terhadap isolat bakteri bau badan. Deodoran yang

dibuat dalam penelitian ini merupakan bentuk emulsi. Sediaan deodoran

diharapkan dapat meningkatkan acceptability dari konsumen bila dibandingkan

dengan ekstrak etanol daun beluntas sebagai pencegah bau badan secara langsung.

Bentuk sediaan emulsi diharapkan dapat menutupi warna yang kurang menarik

dari ekstrak etanol daun beluntas tetapi tetap nyaman digunakan. Pada emulsi

terdapat fase minyak yang berfungsi sebagai emolien yang akan mencegah

penguapan sehingga kandungan air dapat dipertahankan. Peningkatan oklusivitas

dari fase minyak pada sistem emulsi akan meningkatkan hidrasi pada stratum

(24)

terlarut. Oleh karena itu adanya sistem emulsi akan memberikan penetrasi tinggi

dipermukaan kulit (Block, 2002). Zat aktif ekstrak etanol daun beluntas yang

terdispersi dalam fase air lebih tertahan dipermukaan kulit sehingga dapat

memberikan efek antibakteri lebih efektif. Atas dasar kelebihan dari emulsi

tersebut, maka sediaan deodoran dapat menjadi drug delivery system yang baik

bagi zat aktif yang terkandung di dalamnya ketika diaplikasikan di kulit.

Dalam pembuatan deodoran ekstrak etanol daun beluntas, salah satu yang

penting diperhatikan adalah pemilihan emulsifying agent, karena bahan inilah

yang dapat berperan dalam menentukan sifat fisik dan stabilitas sistem emulsi

baik (Block, 2002). Emulsifying agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah

emusifying agent nonionik karena sifatnya yang tidak toksik dan tidak mengiritasi

kulit, yaitu sorbitan monostearate. Krim dengan sorbitan ester memiliki tekstur

yang halus dan stabil (Aulton and Diana, 1991). Emulsifying agent tersebut

digunakan karena tingkat keamanannya dan diharapkan dapat meningkatkan

kestabilan emulsi dengan adanya gugus hidrofil dan lipofil.

Variasi penamabahan jumlah sorbitan monostearate dalam formula

deodoran perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi parameter-parameter

sediaan emulsi yaitu sifat fisik deodoran yang berupa viskositas dan daya sebar,

serta stabilitas deodoran yang meliputi pergeseran viskositas dan pergeseran

ukuran droplet. Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi deodoran ekstrak

etanol daun beluntas dengan menggunakan variasi jumlah sorbitan monostearate

yang berbeda. Penelitian ini perlu dilakukan sebagai penelitian awal mengenai

(25)

jumlah sorbitan monostearate yang berbeda sebagai emulsifying agent terhadap

sifat fisik dan stabilitas fisik deodoran ekstrak etanol daun beluntas. Dari hasil

penelitian ini dapat diperoleh informasi untuk melakukan penelitian lanjutan

mengenai pengaruh variasi jumlah sorbitan monostearate sebagai emulsifying

agent. Analisa statistik dilakukan menggunakan software R 2.9.0 dengan uji t

tidak berpasangan pada taraf kepercayaan 95%.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan data diatas, maka dapat disusun permasalahan :

a. Apakah ekstrak etanol daun beluntas yang dibuat dalam penelitian ini

memiliki efek antibakteri terhadap bakteri isolat penyebab bau badan?

b. Apakah ada perbedaan sifat fisik dan stabilitas fisik yang signifikan pada

penggunaan variasi jumlah sorbitan monostearate dalam deodoran ekstrak

etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian

mengenai penggunaan variasi jumlah sorbitan monostearate dalam formulasi

deodoran ekstrak etanol daun beluntas yang memiliki efek antibakteri pada

isolat bakteri ketiak belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang pernah

(26)

a. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dan

Stabilitas Aktivitasnya pada Berbagai Konsentrasi Garam dan Tingkat pH

(Ardiansyah, Lilis., and Andarwulan, 2003).

b. Quantification of Total Phenolics in Different Parts of Pluchea indica

(Less) Ethanolic and Water Extracts (Normala and Suhaimi, 2011).

c. Pemeriksaan Minyak Atsiri dan Flavonoid dari Daun Beluntas (Pluchea

indica L.)( Rasmehuli, 1986).

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengembangan

formulasi sediaan topikal deodoran sebagai antibakteri dari bahan alam

daun beluntas (Plechea indica L.), dengan menggunakan sorbitan

monostearate sebagai emulsifying agent.

b. Manfaat praktis

Memperoleh informasi mengenai sifat fisik dan stabilitas fisik

deodoran ekstrak etanol daun beluntas dengan menggunakan variasi

(27)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan formula deodoran ekstrak

etanol daun beluntas (Pluchea indica Less) yang bersifat antibakteri dengan

variasi jumlah sorbitan monostearate sebagai emulsifying agent.

2. Tujuan Khusus

a. Memastikan daya antibakteri deodoran ekstrak etanol daun beluntas

(Pluchea indica Less) terhadap isolat bakteri ketiak secara in vitro.

b. Mengetahui perbedaan sifat fisik dan stabilitas fisik yang signifikan pada

variasi jumlah sorbitan monostearate dalam deodoran ekstrak etanol daun

(28)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Keringat dan Bau badan

Keringat dihasilkan oleh kelenjar ekrin dan kelenjar apokrin yang

terdapat dalam lapisan dermis. Kelenjar ekrin terdapat hampir diseluruh

permukaan kulit kecuali bibir dan alat genital. Kelenjar apokrin terdapat dilipatan

lengan bagian atas, sekitar puting susu, lipatan paha, daerah kemaluan dan kaki

(Depkes RI, 1985). Keringat yang dihasilkan pria dan wanita dalam 24 jam

sebanyak 0,5-1,5 liter (Depkes RI, 1985). Jumlah keringat pada lipatan lengan

bagian atas yang dihasilkan kelenjar apokrin lebih sedikit dibandingkan dengan

kelenjar ekrin, dimana keringat yang dihasilkannya dipengaruhi oleh rangsangan

emosi, atau rangsangan seksual, sedangkan keringat yang dihasilkan kelenjar

ekrin dipengaruhi oleh kondisi suhu ruang yang panas atau jika mengalami stres.

Keringat yang dihasilkan ekrin mempunyai pH 4-7 sedangkan keringat dari

kelenjar apokrin mempunyai pH 6,2-7,5.

Bau badan tidak hanya berbeda dalam perbedaan individu, juga berbeda

pada beberapa permukaan kulit pada individu yang sama. Manusia memiliki bau

badan karena adanya bakteri dalam tubuh. Bakteri berkembangbiak dibeberapa

daerah tertentu, ketika orang berkeringat maka tercipta lingkungan yang kondusif

untuk bakteri berkembangbiak. Bau badan itu sendiri biasanya disebabkan oleh

bakteri yang berkembangbiak, karena keringat sendiri tidak menimbulkan bau.

Bau keringat yang lebih nyata terutama didaerah lipatan lengan bagian atas dan

(29)

terdapat kelenjar apokrin. Keringat apokrin mengandung sejumlah lipid dan

protein, dimana setelah mencapai permukaan kulit akan dirusak oleh bakteri yang

menghasilkan trans 3-metil-2-asam hexanoid (Hasby, 2001). Hasil peruraian ini

yang menyebabkan bau keringat pada lapisan lengan bagian atas. (Hasby, 2001).

Beberapa bakteri yang diduga menjadi penyebab bau badan tersebur diantaranya

ialah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus pyogenes, Staphylococcus

aureus, Corybacterium , Pseudomonas aeruginosa (Endarti et al., 2002).

Gambar 1. Struktur Molekul trans 3-metil-2asam hexanoid

(www.wikipedia.com/ trans 3-metil-2asamhexanoid)

B. Isolasi dan Identifikasi Mikrobia

Untuk menanam suatu mikroba ,perlu diperhatikan faktor nutrisi serta

kebutuhan akan oksigen (gas O2 atau udara). Cara menumbuhkan mikrobia yang

anaerob berbeda dengan yang aerob. Untuk penanaman mikroba yang

aerob,berdasarkan bentuk medium dan cara menanamnya dibedakan atas : biakan

agar tegak,biakan agar miring, dan biakan cair sedangkan penanaman mikrobia

anaerob ada beberapa cara seperti dengan menggunakan medium yang diperkaya,

menghilangkan oksigen bebas dengan pembakaran dan absorbsi oksigen secara

(30)

Ada bermacam-macam cara untuk isolasi mikroba,untuk isolasi tersebut

harus diperhatikan beberapa hal antara lain sifat-sifat spesies mikrobia yang akan

diisolasi, tempat hidup atau asal mikroba tersebut, medium untuk

pertumbuhannya yang sesuai, cara menanam mikrobia tersebut, cara inkubasi

mikroba tersebut, cara menguji bahwa mikroba, cara memelihara agar mikroba

yang telah diisolasi tetap merupakan biakan murni (Jutono et al,1980).

Teknik skrining bersifat efektif apabila dapat mengeliminasi populasi

mikroba yang tak berguna sebanyak-banyaknya dan mengisolasi populasi mikroba

yang berguna/dikehendaki (Suwandi,1989).

Pada identifikasi bakteri mula-mula diamati morfologi individual secara

mikroskopik dan pertumbuhannya pada bermacam–macam medium. Bakteri yang

morfologinya sama mungkin berbeda dalam kebutuhan nutrisi serta persyaratan

ekologi lainnya. Patogenitas bakteri–bakteri pathogen dapat pula dipaki untuk

membantu identifikasi dan determinasi bakteri tersebut (Jutono et al, 1980)

Bentuk–bentuk koloni tergantung pada konsistensi medianya. Pada

media cair, sifat bakteri terhadap kebutuhannya akan oksigen sangat mudah

dilihat dan penampakan koloninya dapat dibedakan menjadi : serabut, cincin, dan

selaput. Demikian pula pada media agar tegak atau miring mempunyai bentuk

yang spesifik. Morfologi koloni dalam cawan agar perlu diamati pertumbuhan

koloni di permukaan atau di bawah permukaan media, bentuk koloni, permukaan

(31)

Morfologi koloni meliputi bentuk, ukuran, tekstur, warna.

a. Bentuk

Bentuk koloni digunakan untuk mempermudah identifikasi dan

determinasi suatu biakan murni bakteri. Bentuk–bentuk koloni bakteri

tergantung pada konsistensi mediannya dan masing–masing mempunyai

bentuk yang spesifik (Jutono et al, 1980). Bentuk–bentuk koloni bakteri

pada agar lempengan (cawan Petri) seperti bentuk titik–titik bulat,

bercabang, tidak teratur, serupa akar, serupa kumparan. Dengan

permukaan : datar, timbul mendatar, timbul melengkung, mencembung

mencembung, rimbul membulat, timbul berkawah (Jutono et al, 1980).

Pada agar miring dapat berbentuk filiform, echinulate, effuse, beaded,

spreading, plumase, rhizoid, arboscent (Jutono et al,1980). Pada medium

cair bakteri akan kelihatan sikapnya terhadap udara, permukaan medium

dapat memperlihatkan adanya serabut, cincin, kulit dan selaput (Jutono et

al, 1980). Pada agar tegak dapat berbentuk : filiform, echinulate, effuse,

villous, rhizoid, arborescent.

b. Tekstur

Tektur bakteri tergantung pada spesiesnya. Tektur pemakain ini

ada yang licin (smooth), kasar (rough), granular, atau mukoid (berlendir).

Koloni spesies terntentu ada yang permukaannya keriput (wrinkled).

Pada umumnya permukaan koloni memiliki 3 macam bentuk : S

(smooth): licin, bundar, konveks, R (rough): kasar, datar bergerigi, M

(32)

c. Warna

Beberapa spesies bakteri dapat menghasilakn zat warna di dalam

sel yang tidak larut dalam air, sehingga koloninya berwarna. Beberapa

koloni menghasilkan zat warna yang larut dalam air, yang menyebar

secara difusi sehingga mewarnai media agarnya. Beberapa zat warna

dapat bersifat fluorescent (dapat menghasilkan cahaya putih/ kebiru –

biruan) di sekitar koloni bila terkena cahaya ultraviolet (Taringan, 1988).

Pengecatan adalah metode pemberian warna pada bagian

mikroorganisme yang berdasarkan atas afinitas sel–sel mikroorganisme

terhadap bahan kimia pewarna. Faktor–faktor yang mempengaruhi

pengecatan : daya serap mikroorganisme terhadap pengecatan, pH bagian

sel, komposisis bagian sel, kuantitas warna terhadap ketahanan sel. Zat –

zat yang sering dipakai adalah : Kristal violet, safranin, Malachite green,

Metylen blue (Jutono et al, 1980).

Pewarnaan gram

Bakteri gram negative tidak mengikat cat utama sehingga dapat

dilunturkan oleh peluntur dan dapat diwarnai cat lawan,sedangkan gram

positif mengikat kuat cat utama sehingga tidak dapat dilunturkan oleh

peluntur dan tidak bisa diwarnai oleh cat lawan. Gram positif memiliki

dinding sel dan sitoplasma dengan afinitas yang kuat terhadap kompleks

Kristal violet dan iodine, karena itu tidak dapat diwarnai oleh cat lawan

(33)

gram adalah pemberian cat warna utama, pengintensifan warna violet,

dekolorasi, pemberian cat lawan (Johnson,1994).

d. Ukuran

Ukuran bakteri bervariasi, mulai dari sebesar jarum, yaitu kira –

kira pecahan mm (diameternya), sampai 5 – 10 mm. Ada beberapa factor

yang mempengaruhi besarnya diameter tersebut. Misal, hanya koloni

yang menyebar saja yang dapat diukur, karena cenderung punya diameter

yang lebih besar daripada koloni yang bertumpuk. Hal ini disebabkan

oleh persaingan pada koloni yang menyebar lebih kecil daripada koloni

yang bertumpuk-tumpuk (Taringan, 1988).

Pada identifikasi bakteri mula-mula diamati morfologi sel individual

secara mikroskopik dan pertumbuhannya pada bermacam–macam medium.

Karena suatu bakteri tidak dapat dideterminasi hanya berdasarkan sifat-sifat

morfologi saja, maka perlu diteliti pula sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhannya. Bakteri yang morfologinya sama mungkin

berbeda dalam kebutuhan nutrisi dan persyaratan ekologi lainnya (Jutono et al,

1980). Untuk mengidentifikasi suatu organisme diperlukan kriteria sebagai

berikut :

A. Ciri morfologi

Dari morfologi sel dapat diketahui hubungan filogeni antara yang

satu dengan yang lain, sehingga berguna dalam identifikasi bakteri

(34)
(35)

Gambar 2. Morfologi Koloni Bakteri Pada Cawan Petri dan Media Agar

B. Pengecatan gram

Pewarnaan merupakan tahap penting dalam pencirian dan identifikasi

bakteri. Pewarnaan gram membagi bakteri menjadi kelompok gram positif

dan gram negatif (Lay, 1994).

C. Uji Potensi Senyawa Antibakteri

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada senyawa antibakteri yang

(36)

membunuh bakteri (bacteriocide). Konsentrasi minimal senyawa antibakteri yang

diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya,

masing-masing dikenal sebagai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi

Bunuh Minimal (KBM). Senyawa antibakteri tertentu aktifitasnya dapat

meningkat dari bacteriostatic menjadi senyawa bacteriocide bila kadar senyawa

antibakteri ditingkatkan (Jawetz, Melnick and Adelberg, 1996).

Potensi senyawa antibakteri dapat diterapkan dengan cara diantaranya

adalah metode difusi dan metode dilusi.

1. Metode Difusi

Metode ini didasarkan pada kemampuan obat untuk berdifusi ke

dalam media tempat bakteri uji berkembangbiak secara optimal dengan

mengamati diameter hambatan pertumbuhan bakteri karena berdifusinya obat

dari titik awal pemberian ke daerah difusi. Metode difusi dapat dilakukan

dengan menggunakan paper disk yang mengandung senyawa antibakteri

diletakkan diatas media agar yang telah diinokulasikan bakteri uji atau bila

dengan sumuran, senyawa antibakteri dimasukkan kedalam sumuran.

Besarnya difusi sesuai dengan daerah pertumbuhan atau hambatan bakteri uji

dan sebanding dengan konsentrasi obat yang diberikan. Pengukuran zona

hambat dilakukan dengan mengukur diameter zona jernih disekitar paper disk

menggunakan penggaris.

Hasil metode difusi adalah:

a. Zona irradikal adalah suatu daerah disekitar disk atau sumuran yang

(37)

antibakteri tersebut tetapi tidak dimatikan. Disini akan terlihat adanya

pertumbuhan yang kurang subur atau lebih jarang dibandingkan dengan

daerah diluar pengaruh senyawa antibakteri tersebut.

b. Zona radikal adalah suatu daerah disekitar paper disk atau sumuran yang

sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri (Jawetz et al,

1996).

2. Metode Dilusi

Prinsip metode ini adalah larutan uji diencerkan sehingga diperoleh

beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair masing-masing konsentrasi obat yang

telah dibuat ersebut ditambahkan suspensi bakteri uji kedalam media,

sedangkan pada dilusi padat masing-masing konsentrasi obat yang telah

dibuat dicampur kedalam media agar kemudian ditanami bakteri dan

diinkubasi. Dengan metode ini akan didapat hasil secara kuantitatif.

Konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan (KHM) dan

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dalam media dapat ditentukan dengan

mengukur kekeruhan setelah inkubasi. Keuntungan metode ini dibandingkan

dengan metode difusi adalah dapat menentukan Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari larutan uji

tersebut (Hugo dan Russel, 1987).

Agen antibakteri yang diformulasikan ke dalam suatu bentuk sediaan

topikal memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelepasan agen

(38)

antibakteri dari basis memegang peran penting terkait aktivitas terapetik dari agen

antibakteri (Jawetz, et.al, 1995)

D. Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Beluntas termasuk salah satu tumbuhan yang memiliki diversitas tinggi

di Indonesia. Beluntas adalah suatu tanaman obat tradisional Indonesia. Tanaman

ini memiliki habitat perdu dengan tinggi 1-1,5 m. Batangnya berkayu, bulat,

tegak, bercabang bila masih muda berwarna ungu setelah tua putih kotor.

Daunnya tunggal, berbentuk telur, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul,

berbulu halus, panjang 3,8-6,4 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, warna

hijau muda hingga hijau. Bunganya majemuk, mahkota lepas, putik bentuk jarum,

panjang ± 6 mm, berwarna hijau kecoklatan, kepala sari berwarna ungu, memiliki

dua kepala putik yang berwarna putih atau putih kekuningan. Akar beluntas

merupakan akar tunggang dan bercabang (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Beluntas tumbuh liar di tanah dengan kelembaban tinggi. Di wilayah

Jawa Barat tanaman ini digunakan sebagai tanaman pagar dan pembatas antar

hulu dan di perkebunan

A.Taksonomi

Berdasarkan kunci determinasi tumbuhan beluntas dikelompokkan

seperti dibawah ini:

Divisi : Spermathophyta

Sub divisi : Angiospermae

(39)

Bunga : Asterales

Suku : Asteraceae

Marga : Pluchea

Jenis : Pluchea indica Less. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Gambar 3. Tanaman Beluntas (Pluchea indica L.) B.Nama Daerah

Sumatera: Beluntas, Jawa: Baluntas (Madura), baruntas, luntas (Jawa

Tengah),. Nusatenggara: Lenaboui, Sulawesi: Lamutasa (Syamsuhidayat dan

Hutapea, 1991)

C. Manfaat dan Kandungan kimia

Beluntas (Pluchea indica L.) digunakan sebagai tanaman pagar dan

pembatas di perkebunan, secara tradisional merupakan tanaman yang telah

digunakan masyarakat Indonesia sejak lama untuk menghilangkan bau badan

(40)

Kandungan minyak atsiri dari daun beluntas mengandung benzil alkohol,

benzil asetat, eugenol, dan linolol (Rasmehuli, 1986). Dari kandungan

tersebut, eugenol merupakan senyawa turunan fenilpropan yang beraktivitas

antibakteri. Selain itu, linolol termasuk senyawa turunan monoterpen alkohol

yang memiliki aktivitas antibakteri kuat (Schanaubelt, 1995). Skrining

Fitokimia menunjukkan hasil ekstrak etanol mengandung flavonoid, fenol

hidrokuinon, tanin dan sterol (Ardiansyah et al, 2003). Flavonoid daun beluntas

memiliki aktifitas antibakteri terhadap Staphylococcus sp, Propinobacterium

sp, dan Corneybacterium (Purnomo,2001). Ekstrak etanol daun beluntas telah

diteliti secara ilmiah memiliki aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus

aureus, Pseudomonas fluorecens, Escherichia coli dan Salmonela typhi

(Ardiansyah et al, 2003). Ektrak etanol 50% daun Beluntas memiliki

kandungan senyawa total fenol paling banyak (Normala and Suhaimi, 2011).

E. Ekstrak

Ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan

yang diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat,

menggunakan penyari yang cocok, kemudian semua atau hampir semua dari

penyarinya diuapkan dan sisa endapan atau serbuk diaitur untuk ditetapkan

standarnya (Ansel, 1989).

Berdasarkan sifat-sifatnya, ekstrak dapat dikelompokkan menjadi:

1. Ekstrak encer (extractum tenue): sediaan ini memiliki konsistensi madu dapat

(41)

2. Ekstrak kental (extractum spissum): sediaan ini liat dalam keadaan dingin,

tidak dapat dituang dan kandungan airnya berjumlah sampai 30%.

3. Ekstrak kering (extractum siccum): sediaan ini memiliki konsistensi kering,

muda digosokkan, dan melalui penguapan cairan pengekstraksi serta

pengeringan sisanya terbentuk suatu produk yang sebaiknya menunjukkan

kandungan lembab tidak lebih 5%

4. Ekstrak cair (extractum fluidum): sediaan ini dibuat sedemikian sehingga 1

bagian jamu sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang juga satu bagian)

ekstrak cair (Voight, 1994).

F. Maserasi

Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya

“merendam”. Merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus

memungkinkan untuk direndam dalam penyari sampai meresap dan melunakkan

susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1989).

Pada proses maserasi, tumbuhan yang akan diekstraksi biasanya

ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, bersamaan penyari

yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang

lamanya biasanya berkisar dari 2-14 hari. Pengocokan memungkinkan pelarut

segar mengalir berulang-ulang masuk keseluruh permukaan dari obat yang sudah

halus. Kemudiaan ampasnya dapat dipisahkan dengan menapis dan/atau

menyaring dimana ampas yang telah dibilas bebas dari ekstrak dengan

penambahan penyari melalui ayakan atau saringan kedalam seluruh ekstrak dalam

(42)

G. Deodoran

Sediaan deodoran dan atau antiprespiran adalah sediaan kosmetika

berbentuk padat (batang dan serbuk), cair (splash dan roll-on) dan aerosol yang

merupakan campuran bahan kimia dan atau bahan lainnya yang digunakan untuk

menghilangkan atau mengurangi serta membantu mencegah terjadinya bau badan

dan atau memperkecil pori kulit sehingga mengurangi atau membantu mencegah

pengeluaran keringat yang berlebih (SNI, 1998).

Deodoran biasanya dibuat dengan basis alkohol. Alkohol dapat

menstimulasi keringat tetapi juga dapat membunuh bakteri. Selain itu deodoran

juga dapat diformulasikan khususnya dengan antimikroba untuk memperlambat

pertumbuhan bakteri. Komposisi lainnya yaitu parfum yang bertujuan untuk

menutupi bau keringat. Secara umum, komponen kosmetik deodoran memiliki

empat fungsi, yaitu:

1. Fungsi antibakteri. Bakteri pada kulit bertanggung jawab menghasilkan bau

badan. Agen antibakteri digunakan untuk menekan proliferasi bakteri untuk

mendapatkan efek deodoran. Contohnya yang paling banyak digunakan

triklosan. Beberapa preparasi juga menggunakan minyak atsiri dan ekstrak

tanaman yang memiliki efek antibakteri.

2. Fungsi antiperspiran. Menekan produksi keringat dengan menggunakan aksi

astringen kuat. Senyawa alumunium paling banyak digunakan seperti

alumunium hidroksida.

3. Fungsi deodoran. Jika garam-garam logam dibentuk dari asam lemak rantai

pendek yang menyebabkan bau badan, maka karakteristik baunya tidak

(43)

Ekstrak tanaman yang mengandung flavonoid dan klorofil dapat digunakan

untuk tujuan ini.

4. Fungsi penutup. Ketika bau badan tidak terlalu kuat dapat ditutupi dengan

parfum. Parfum tersebut merupakan tambnahan pada agen antibakteri.

Dari empat fungsi tersebut, fungsi kontrol keringat dan antibakteri perlu

difokuskan untuk membuat formula kosmetik deodorant (Mitsui, 1997).

Menurut Imron (1985), persyaratan yang harus dipenuhi oleh sediaan

deodoran adalah:

a. Digunakan secara lokal, tanpa resep dokter

b. Mudah dioleskan pada kulit dan menyebar dengan rata

c. Memberikan rasa nyaman dan tidak mengiritasi

d. Nilai pH harus tepat

Dalam formulasi deodoran terdapat bahan-bahan yang bersifat sebagai

pelarut (solvent), pengental (thickener), pengemulsi (emulsifier), stabilizer,

pelembut kulit (emolient), humektan, zat aktif anti bakteri serta bahan aditif

(parfum dan preservatif) (Mitsui, 1997).

H. Emulsi

Emulsi adalah sistem dispersi yang terdiri dari 2 cairan yang tidak saling

campur, dimana salah satu fase terdispersi di dalam fase yang lain dan biasanya

terdiri dari air dan minyak. Emulsi nampak berwarna keruh, nemtuknya tidak

stabil secara thermodinamika, karena sistem emulsi tidak terbentuk secara

(44)

pengojogan, pengadukan, homogenisasi, dan proses spray emulsion. Jika air yang

merupakan fase kontinyu, maka disebut sistem emulsi minyak dalam air (O/W)

dan ketika fase kontinyu adalah minyak maka disebut emulsi air dalam minyak

(A/M). Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan tipe emulsi adalah

emulsifying agent yang dipilih (Aulton and Diana, 1991). Emulsifying agent

bekerja dengan membentuk film atau lapisan disekeliling bulir-bulir tetesan yang

terdispersi dan berfungsi mencegah koalesen dan terpisahnya cairan dispers

(Anief, 2005).

I. Surfaktan Nonionik

Surfaktan nonionik biasa digunakan dalam seluruh tipe produk kosmetik

dan farmasetik (Rieger, 1996). Surfaktan berfungsi menurunkan tegangan

permukaan dari suatu larutan dan menurunkan tegangan antar muka antara dua

larutan, surfaktan dalam suatu emulsi dapat meningkatkan stabilitas kinetika

(Lieberman, 2006). Surfaktan nonionik sangat resisten terhadap elektrolit,

perubahan pH dan kation polivalen (Aulton and Diana, 1991). Surfaktan ini

memiliki rentang dari komponen larut minyak untuk menstabilkan emulsi A/M

hingga material larut air yang memberikan produk M/A. Surfaktan ini biasa

digunakan untuk kombinasi emulsifying agent larut air dan larut minyak untuk

membentuk lapisan antarmuka yang penting untuk stabilitas emulsi yang

optimum. Emulsifying agent nonionik memiliki toksisitas dan iritasi yang rendah

(Billany, 2002). Surfaktan nonionik bekerja dengan membentuk lapisan

antarmuka dari droplet-droplet, namun tidak memiliki muatan untuk menstabilkan

(45)

surfaktan yang terhidrasi dan bulky, yang menyebabkan halangan sterik antar

droplet dan mencegah koalesen (Kim, 2005). Pemakaian surfaktan sebaiknya

tidak berlebih, karena fungsinya menjadi tidak efektif. Emulgator tersebut tidak

akan berada pada permukaan antar fase, tetapi justru akan naik membentuk

lapisan terpisah dari sistem emulsinya (Jellinek, 1970).

J. Sorbitan Monostearate (Span 60)

Span merupakan sorbitan esters disebut juga sorbitan monostearate

(Rowe et al., 2009). Sorbitan esters merupakan surfaktan dengan gugus

hidrofobik yang larut dalam minyak dan digunakan sebagai emulgator A/M.

Biasanya digunakan dalam emulsi, krim, dan salep, dan dapat membentuk emulsi

tipe M/A atau A/M. Krim dengan sorbitan ester memiliki tekstur yang halus dan

stabil (Aulton and Diana, 1991). Sorbitan monostearate memiliki pemerian

sebagai berikut: warna kuning gading, cairan seperti minyak kental, bau khas

tajam, rasa lunak. Span 60 tidak larut tapi terdispersi dalam air hangat dan dingin,

bercampur dengan alkohol, tidak larut dalam propilen glikol, larut dalam hampir

semua minyak mineral dan nabati, sedikit larut dalam ete, titik lelehnya adalah

530-570C (Rowe et al., 2009).

(46)

K. FORMULASI 1. Humektan

Humektan adalah bahan dalam produk kosmetik yang

dimaksudkan untuk mencegah hilangnya lembab dari produk dan

meningkatkan jumlah air (kelembaban) pada lapisan kulit terluar saat produk

digunakan (Loden, 2001). Humektan adalah bahan higroskopis yang

mempunyai sifat menyerap uap air dari udara lembab sehingga dapat

mempertahankan kelembaban kulit (Johnson, 2002). Humektan membantu

menjaga kelembaban kulit dengan cara menjaga kandungan air pada lapisan

stratum corneum serta mengikat air dari lingkungan kulit (Rawlings, 2002).

Humektan ditambahkan terutama pada produk dengan tipe emulsi minyak

dalam air untuk mengurangi kekeringan ketika produk disimpan pada suhu

ruang. Humektan juga membantu dalam menyediakan kontrol untuk

mengurangi rata-rata kehilangan air dan peningkatan viskositas. Syarat dasar

humektan adalah harus mempunyai kemampuan menyerap air yang baik,

mempertahankan penyerapan air (kelembaban pada kulit), menguap paling

rendah, berbaur yang baik dengan unsur lain, harus aman, tidak berwarna, dan

(47)

a. Gliserin

Gambar 5. Struktur molekul gliserin (Depkes RI,1995)

Nama lain dari gliserin adalah gliserol, glycerolum, 1,23

propanetriol, trihydroxypropane glycerol, glycerolum (Rowe et al,

2006). Gliserin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih

dari 101,0% C3H8O3. Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirup,

tidak berwarna, rasa manis, hanya boleh berbau khas lemah (tajam dan

tidak enak), higroskopik, dan netral terhadap lakmus. Gliserin dapat

bercampur dengan air dan dengan etanol, tidak larut dalam kloroform,

dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak menguap. Bobot

jenismya tidak kurang dari 1, 249 (Depkes RI, 1995). Gliserin

digunakan sebagai humectant untuk menjaga kelembaban sediaan

dikarenakan sifatnya yang higroskopis. Gliserin dapat digunakan

sebagai humectant dengan konsentrasi kurang dari 30 % (Rowe, et al.,

2009). Gliserin tidak mengiritasi dan jarang menyebabkan sensitifitas

(48)

b. Propilen Glikol

H3C

OH OH

Gambar 6. Struktur propilenglikol (Depkes RI, 1995)

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna,

rasa sedikit tajam, dan higroskopik. Propilen glikol dapat bercampur

dengan air, alkohol, aseton, dan kloroform. Dapat larut dalam eter dan

dapat melarutkan minyak menguap, tetapi tidak dapat campur dengan

minyak lemak (Depkes RI, 1995). Propilen glikol biasanya

dikombinasikan dengan gliserin untuk memaksimalkan fungsinya

sebagai humektan. Propilen glikol merupakan bahan yang tidak

berbahaya dan aman digunakan pada produk kosmetik dengan

konsentrasi lebih dari 50% (Loden, 2001). Struktur propilen glikol

tampak pada gambar 8

2. Thickening agent

Thickening agent atau bahan pengental digunakan untuk mengatur

kekentalan produk sehingga sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetika

tersebut dan mempertahankan kestabilan produk (Mitsui, 1997).

Bahan pengental yan dugunakan juga bertujuan untuk mencegah

terpisahnya partikel dari emulsi. Umumnya water soluble polymers

digunakan sebagai bahan pengental yang diklasifikasikan sebagai polimer

natural semi sintesis polimer, dan polimer sintesis (Mitsui, 1997). Pengental

(49)

digunakan dalam emulsi dibandingkan dalam formulasi berbasis surfaktan

(Mitsui, 1996). Sistem yang terkentalkan oleh garam atau polimer

menunjukkan sifat alir yang pseudoplastik (Scmitt, 1996). Penggunaan

thickener dalam skin lotion biasa digunakan dalam proporsi yang kecil yaitu

dibawah 2,5 % (Strianse, 1996).

CMC (Carboxymetil Cellulose)

CMC merupakan merupakan eter polimer selulosa linear dan

berupa senyawa anion, yang bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak

berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak

larut dalam larutan organik, bereaksi dengan garam logam berat membentuk

film yang tidak larut dalam air, transparan, serta tidak bereaksi dengan

senyawa organik. Karboksimetil selulosa berasal dari selulosa kayu dan kapas

yang diperoleh dari reaksi antara selulosa dengan asam monokloroasetat,

dengan katalis berupa senyawa alkali. Karboksimetil selulosa juga merupakan

senyawa serbaguna yang memiliki sifat penting seperti kelarutan, reologi, dan

adsorpsi di permukaan. Selain sifat-sifat itu, viskositas dan derajat substitusi

merupakan dua faktor terpenting dari karboksimetil selulosa (Wayan, 2009).

CMC merupakan polimer anion dengan berbagai tingkatan yang

dibedakan berdasarkan berat molekul dan derajat subtitusi. Karakteristik gel

yang dihasilkan seperti konsistensi dan viskositas tergantung pada konsentrasi

polimer dan berat molekulnya (Zats et al, 1996). CMC dapat digunakan

(50)

CMC dengan konsentrasi 4%-6% dapat digunakan sebagai gelling

agent. Gliserin dapat ditambahkan untuk mencegah gel mengering. Presipitasi

dapat terjadi pada pH kurang dari 2, stabil pada pH antara 2-10, dengan

stabilitas maksimum pada pH 7-9 (Allen, 2002). CMC larut dalam air dan

campur dalam air dengan sedikit alkohol dan gliserin. Gel basis ini mudah

ditumbuhi mikroba (Kelch, 1997).

Cetyl alcohol

Gambar 7. Struktur molekul cetyl alcohol (Boylan et al., 1986)

Cetyl alcohol mengandung tidak kurang dari 90% C16H34O,

selebihnya terdiri dari alkohol yang sejenis. pemeriannya berupa serpihan

putih licin, granul, atau kubus, berwarna putih, bau khas lemah, rasa lemah

(Anonim, 1995). dan thickening agent dalam krim dan lotion. Cetyl alcohol

ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh produk akhir yang halus dan

lembut.

Cetyl alcohol juga memberikan kelembutan pada kulit tempat

aplikasi, dan menghasilkan produk yang mudah berpenetrasi (Bannett, 1970).

Cetyl alcohol mampu menjaga stabilitas, memperbaiki tekstur dan

menigkatkan konsistensi, serta mampu menyerap air dan membentuk fase luar

yang kental (Boyland, 1986). Cetyl alcohol tidak toksik dan tidak mengiritasi

(Boylan et al., 1986). Pemakaian cetyl alcohol dalam formulasi menambahkan

(51)

3. Emolien

Emolien (pelunak, zat yang mempu melunakkan kulit)

didefinisikan sebagai sebuah media, bila digunakan pada lapisan kulit yang

keras dan kering akan mempengaruhi kelembutan kulit dengan adanya hidrasi

ulang. Dalam skin lotion, emolien yang digunakan memiliki titik cair yang

lebih tinggi dari suhu kulit. Fenomena ini dapat menjelaskan timbulnya rasa

nyaman, kering, dan tidak berminyak bila skin lotion dioleskan pada kulit

(Scmitt, 1996).

Dimetichone

Dimethicone merupakan salah satu jenis pelembut yang dapat

digunakan dalam pembuatan skin lotion karena selain dapat melembutkan,

bahan ini juga relatif aman untuk kulit yang sensitif. Dimethicone merupakan

silikon organik yang paling luas digunakan, secara kimia disebut juga

polydimethylsiloxane. Secara optik penampakannya bening, tidak beracun,

dan tidak mudah terbakar. Rumus kimia dimethicone adalah

(CH3)3SiO[SiO(CH3)]nSi(CH3)3, dimana n merupakan jumlah monomer

[SiO(CH3)2].

Dimethicone digunakan sebagai bahan dalam pembuatan obat salep

(52)

Gambar 8. Struktur molekul dimethicone (www.mercksource.org)

Silicone oil merupakan komponen yang bersifat non polar yang

dapat digunakan sebagai emolient karena kemampuannya dalam melindungi

kulit. Secara kimia bahan tersebut inert dan tidak mampu mengangkat sebum

dari kulit seperti pada mineral oil. Silicone oil dapat menjadi barrier yang

efektif terhadap senyawa kimia yang mengiritasi kulit (Barnett, 1972).

Silicone oil merupakan salah satu bahan yang termasuk sebagai

emolient yang meninggalkan film pelindung pada permukaan kulit dimana

film tersebut membantu melindungi kulit dari dehidrasi atau kehilangan air.

Silikon digunakan sebagai emolient (pelunak kulit), sebagai pelumas,

thickeners, merupakan cairan yang mudah menguap dan mampu memberikan

rasa halus pada kulit, tetapi menguap tanpa meninggalkan suatu residu yang

berminyak. Silikon digunakan dalam kosmetik karena mampu membentuk

film pada kulit yang menyerap sebum (kulit berminyak). Silikon juga dapat

(53)

4. Etanol

Etanol mengandung tidak kurang dari 92,3 % b/b dan tidak lebih

dari 93,8% b/b, setara dengan tidak kurang dari 94,9% v/v dan tidak lebih

dari 96,0% v/v, C2H5OH pada suhu 15,560 (Depkes, 1995).

Gambar 9. Struktur molekul etanol (Rowe, et.al,2009)

Pemerian cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna. Bau khas

dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada

suhu rendah dan mendidih pada suhu 780C. Mudah terbakar. Kelarutan

bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut organik

(Depkes RI, 1995).

5. Pengawet

Pengawet yang digunakan sebagai tambahan pada produk

menyebabkan tidak dapat tumbuhnya mikroba karena pengawet bersifat

antimikroba. Pengawet juga harus ditambahkan pada suhu yang tepat pada

proses pembuatan, yaitu antara 350-450C agar tidak merusak bahan aktif

dalam pengawet yang bisa menganggu emulsi yang terbentuk. Pengawet yang

baik memiliki persyaratan yaitu efektif mencegah tumbuhnya berbagai

macam organisme yang dapat menyebabkan penguraian bahan, dapat larut

dalam berbagai konsentrasi yang digunakan dan tidak menimbulkan bahaya

secara internal dan eksternal pada kulit. Karena mikroorganisme dapat tinggal

(54)

koefisien partisi minyak-airnya, harus berada dalam level yang efektif dalam

kedua fase, biasanya ditambahkan kombinasi pengawet yang larut fase air dan

larut fase minyak. Pada pembuatan emulsi sering ditambahkan pengawet

sebesar 0,1-0,2% (Scmitt, 1996).

Metil Paraben

Gambar 10. Struktur bangun metil paraben (Depkes RI, 1995)

Metil paraben disebut juga nipagin. Metil paraben digunakan

sebagai penghambat pertumbuhan jamur dan merupakan pengawet yang

sering digunakan. Metil digunakan dalam makanan dan kosmetik (Kim,

2004). Metilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih

dari 100,5% C8H8O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Metilparaben merupakan hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur,

putih, tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar.

Metil paraben larut dalam air, dalam benzena, dan dalam karbontetraklorida,

mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Depkes RI, 1995). Paraben

merupakan pengawet yang efektif di banyak formula. Paraben dan bentuk

garamnya umumnya digunakan sebagai bakterisida dan fungisida. Paraben

dapat ditemui dalam shampo, mouiturizer, shaving gel, lubrikan, sediaan

(55)

dan sejarah pengunaan paraben yang sudah sejak lama digunakan sebagai

pengawet (Anger, Rupp, Lo, and Takruri, 1996).

Propil paraben

Gambar 11. Struktur molekul propil paraben (Depkes RI, 1995)

Propil paraben merupakan turunan paraben yang mempunyai nama

lain propil p-hidroksibenzoat atau nipasol. Bobot molekulnya 180,20 dan

meniliki jarak lebur 95-980C. Propil paraben mengandung tidak kurang dari

99,0% dan tidak lebih daari 100,5%, dihitung terhadap zat yang telah

dikeringkan. Pemerian: berupa serbuk putih atau hablur kecil, tidak berwarna.

Kelarutan: sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam air mendidih,

mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Depkes RI, 1995).

6. Aquadest (Aqua purificata/air murni)

Air merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam

pembuatan skin lotion. Air merupakan substansi yang paling reaktif diantara

bahan-bahan penyusun produk kosmetika. Pada kosmetika air merupakan

bahan pelarut dan bahan baku yang tidak berbahaya dibandingkan bahan baku

lainnya, tetapi air mempunyai sifat korosi. Air juga mengandung beberapa zat

pencemar, untuk itu air yang digunakan untuk produk kosmetika harus

(56)

Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan

destilasi, penukar ion, osmosis balik, dan proses lain yang sesuai. Dibuat dari

air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak mengandung zat tambahan

lain. Air murni digunakan untuk pembuatan sediaan-sediaan. Pemerian:

Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan pH antara 5-7

(Depkes RI, 1995).

L. Sifat Fisik dan Stabilitas Emulsi

Stabilitas sebuah emulsi adalah sifat emulsi untuk mempertahankan

distribusi halus dan teratur dari fase terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu

yang panjang (Voigt, 1994).

1. Viskositas

Reologi mendeskripsikan aliran liquid dan deformasi solid.

Penggolongan bahan menurut tipe aliran dan deformasi dibagi menjadi dua

yaitu sistem Newton dan sisten non-Newton. Dispersi heterogen cairan dan

padatan seperti larutan koloid, emulsi, suspensi cair, salep, dan prodk serupa

termasuk dalam sisten non-Newton (Martin et al, 1993).

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk

mengalir,makin tinggi viskositasnya, maka makin besar tahanannya (Martin,

Swarbrick, Cammarata, 2002). Peningkatan viskositas akan menurunkan daya

sebar (Garg et al.,2002). Penurunan ukuran droplet akan menaikkan viskositas.

Semakin luas distribusi ukuran droplet (polydisperse), maka semakin rendah

viskositasnya jika dibandingkan dengan sistem yang memiliki ukuran droplet

(57)

lebih sempit. Tipe zat pengemulsi akan mempengaruhi flokulasi dan daya

tarik-menarik droplet sehingga mempengaruhi viskositas emulsi (Martin et al,

1993). Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh viskositas fase kontinu karena

menentukan difusi droplet (Mollet and Grubenman, 2001).

2. Daya Sebar

Daya sebar memiliki prinsip hubungan dengan sudut kontak tiap

tetes cairan atau preparasi semipadat yang berhubungan langsung dengan

koefisien friksi. Faktor yang mempengaruhi daya sebar adalah kaku tidaknya

formula, laju dan waktu tekanan yang menghasilkan kelengketan, suhu pada

tempat aksi. Kecepatan penyebaran bergantung pada viskositas formula,

kecepatan evaporasi pelarut dan kecepatan peningkatan viskositas karena

evaporasi (Garg, Aggarwal, Garg, Singla,2002). The paralel-plate method

merupakan metode yang paling sering digunakan dalam menentukan dan

mengukur daya sebar sediaan semi solid, metode ini mudah dan relative murah

(Garg et al, 2002)

3. Ukuran Droplet

Emulsi kasar biasanya terdiri dari droplet yang bersifat

poledisperse yaitu bervariasi dari 1µ m hingga lebih dari 100 µ m. Distribusi

ukuran droplet dalam emulsi penting baik untuk stabilitas maupun dalam

pertimbangan biofarmasetika (Lachman, 1994). Ukuran droplet yang lebih

besar akan cenderung mengalami koalesen sehingga ukuran droplet menjadi

lebih besar lagi dan emulsi terpisah. Droplet dengan ukuran yang lebih kecil

(58)

dipengaruhi oleh karakteristik emulgator dan metode pembuatan (Eccleston,

2007).

Mikromeritik adalah ilmu dan teknologi tentang partikel kecil.

Satuan ukuran partikel yang sering digunakan dalam mikromeritik adalah

mikrometer (µ m yang sering disebut mikron. Bagian penting yang perlu

diperoleh dari partikel yaitu (1) bentuk dan luas permukaan partikel dan (2)

ukuran partikel dan distribusi ukuran diameter (ukuran) partikel, sedangkan

bentuk partikel memberikan gambaran tentang luas pemukaan spesifik partikel

dan testurnya (kasar atau halus) (Martin et al, 1993).

Ukuran partikel merupakan diameter rata-rata partikel dari suatu

sampel, dimana sifat sampel pada umumnya adalah polidispers (heterogen),

bermacam-macam diameter dengan rentan yang lebar. Sampel dengan ukuran

yang sama disebut monodispers, tetapi sangat jarang ditemukan sampel seperti

ini. Salah satu metode dasar dalam mengetahui ukuran partikel adalah metode

mikroskopik. Metode mikroskopik merupakan metode sederhana yang hanya

menggunakan satu alat mikroskop, yang bukan alat rumit dan membutuhkan

penanganan khusus. Mikroskop biasa digunakan dalam pengukuran partikel

yang berkisar 0,2 µ m sampai 10 µ m. Jumlah partikel yang harus dihitung

300-500 partikel agar mendapat suatu perkiraan yang baik untuk distribusi (Martin

et al, 1993). Distribusi ukuran droplet, jika jumlah ukuran droplet yang terletak

dalam suatu kisaran ukuran tertentu diplotkan terhadap kisaran diameter atau

diameter droplet rata-rata, akan diperoleh kurva distribusi frekuensi. Grafik

(59)

Gambar 12. Contoh grafik distribusi frekuensi ukuran droplet (Martin et al, 1993).

Uji stabilitas emulsi penting untuk mengetahui apakah sebuah

emulsi tetap stabil selama periode waktu tertentu, uji yang biasa dilakukan adalah

1. Uji makroskopik

Stabilitas fisik emulsi dapat diketahui dengan uji derajat creaming

yang terjadi pada periode waktu tertentu. Hal ini dilakukan dengan

menghitung rasio volume emulsi yang mengalami pemisahan dibandingkan

dengan volume total emulsi (Billany, 2002).

2. Analisis ukuran droplet

Jika rata-rata ukuran droplet meningkat seiring bertambahnya

waktu (bersamaan dengan penurunan jumlah droplet), dapat diasumsikan

bahwa koalesen adalah penyebabnya (Billany, 2002).

3. Perubahan viskositas

Ditunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi viskositas

emulsi. Adanya variasi pada ukuran atau jumlah droplet dapat dideteksi

Gambar

Tabel I Hasil Identifikasi Bakteri Isolat Ketiak Dibandingkan dngan
Tabel XI Uji Signifikansi Profil Pemisahan Fase Deodoran Ekstrak
Gambar 1. Struktur Molekul trans 3-metil-2asam hexanoid
Gambar 2. Morfologi Koloni Bakteri Pada Cawan Petri dan  Media Agar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan kejelasan hubungan antara penafsiran yang fokus pada ayat-ayat hukum dengan latar belakang penafsir sebagai kritik terhadap tafsir sektarian

Kemudian dilanjutkan dengan menjangkarkan (anchoring) tangan penarik tali di dagu. Pada tahap ini tangan kiri berkontraksi secara isometrik untuk menahan busur, gerakan

Setelah konselor memberi terapi kepada konseli, langkah selanjutnya evaluasi dan follow up, dalam menindak lanjuti masalah ini konselor melakukan home visit sebagai upaya

2. Diberikan n adalah bilangan asli. Diberikan segitiga ABC dan titik D pada sisi AC. Tentukan semua nilai p yang memenuhi. Buktikan ada dua himpunan bagian dari H, yang tidak

Kesejajaran tubuh dan postur tubuh yang baik akan menempatkan tubuh pada posisi tubuh yang meningkatkan keseimbangan yang optimal dan fungsi tubuh yang maksimal, baik dalam

Jika dibandingkan dengan standar plastik internasional(ASTM5336) dalam (Averous,2009) besarnya kuat tarik untuk plastik PLA dari Jepang mencapai 2050 MPa dan plastik PCL

sistem pentahanan juga memiliki beberapa syarat agar sistem pentanahan dapat bekerja dengan baik, yaitu, tahanan pentahanan yang digunakan, sistem dapat digunakan untuk

Pada saat ini telah ada satu metode pembelajaran terbaru yang lebih nyata secara 3 dimensi dalam pembelajaran gerbang logika menggunakan Augmented