A. Latar Belakang Masalah
Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana
seseorang akan kehilangan orang yang meninggal dengan penyebab dan
peristiwa yang berbeda-beda pada masing-masing manusia. Kematian pada
seseorang ditandai dengan berhentinya fungsi biologis tertentu, seperti
pernafasan, dan tekanan darah serta kakunya tubuh, hal tersebut telah
dianggap menjadi tanda kematian seseorang dan menandakan berhentinya
proses kehidupan (Santrock dalam Fitria, 2013).
Kematian dapat terjadi karena sakit berkepanjangan, kematian mendadak
karena suatu keadaan tertentu, bunuh diri, dibunuh (pembunuhan) dan bencana
alam (Ann & Lee dalam Fitria, 2013). Peristiwa kematian dapat terjadi
kapanpun, tanpa diduga-duga dan hal tersebut menyebabkan orang yang
ditinggalkan merasakan kehilangan yang mendalam. Turner & Helms (dalam
Fahransa, 2008), menyatakan bahwa kematian orang terdekat merupakan
kehilangan paling menyakitkan yang dapat dialami oleh seseorang.
Kematian merupakan peristiwa dimana seseorang akan kehilangan orang
lain yang ada di sekitarnya, misalnya kematian orang tua, keluarga, teman dan
pasangan (Fitria dkk., 2013). Menurut Walsh & McGoldrick (dalam Murray
dkk., 2005) kematian merupakan kejadian paling menyakitkan bagi keluarga
Kematian salah satu anggota keluarga merupakan pengalaman yang
menyakitkan karena keakraban dalam keluarga dan adanya saling
ketergantungan satu sama lain.
Kematian atau kehilangan pada keluarga lebih spesifik dijelaskan oleh
Murray dkk. (2005) dikelompokkan menjadi:(1) kematian anak (death of
child), (2) kematian saudara (death of sibling),(3) kematian orang tua (death of
a parent) dan; 4) kematian pasangan hidup (death of a spouse or life partner).
Kertamuda (2009) menyatakan bahwa kematian salah satu anggota
keluarga merupakan guncangan yang sangat berat untuk semua orang.
Terlebih lagi apabila yang meninggal adalah orang tua. Jika yang meninggal
adalah sosok yang menjadi tulang punggung keluarga yakni sosok ayah. Maka
kehidupan dalam keluarga tersebut mengalami perubahan yang drastis. Selain
kehilangan figur dan kepala rumah tangga, kematian ayah menyebabkan
terguncangnya kehidupan ekonomi keluarga dan memengaruhi kelangsungan
keluarga tersebut.
Sejalan dengan pendapat tersebut, McLanahan dan Teitler (dalam
Brooks, 2011) menjelaskan bahwa ketiadaan ayah menyebabkan pengurangan
pendapatan sekitar 50 persen dalam keluarga. Dalam peran sosial dan
masyarakat, karakteristik ayah tampak berperan dalam keragaman pendidikan,
harga diri dan ketiadaan tekanan psikologis serta memberikan dampak positif
pada area persahabatan, penghargaan diri dan kepuasan hidup.
Kertamuda (2009) menjelaskan, apabila yang meninggal adalah sosok
akan datang. Dari hasil studi ditemukan, bahwa sosok ibu memiliki peran
penting bagi kehidupan anak hingga masa dewasanya. Ibu sebagai sosok yang
penting dalam perkembangan seorang anak memberikan kasih sayang yang
tiada henti mulai dari kehamilan, proses persalinan dan melahirkan hingga
penerapan dalam pengasuhan adalah momentum vital dalam perkembangan
anak.
Brooks (2011) menyatakan bahwa meski peran ibu dan ayah berbeda,
anak melihat mereka memiliki kualitas yang sama. Kedua orang tua
digambarkan sebagai sosok yang penuh cinta, bahagia, jujur, bertanggung
jawab dan percaya diri. Oleh karena itu, kematian salah satu orang tua dalam
keluarga menjadi hal yang menyakitkan.
Kematian orang tua dalam sebuah keluarga dapat terjadi saat anak-anak
atau ketika dewasa. Walau bagaimanapun, reaksi anak terhadap kematian
orang tua berpengaruh terhadap kondisi emosi dan perkembangan kognitif
anak. Pengaruh tersebut disebabkan karena kedekatan dengan orang tua yang
meninggal dan bagaimana anak merespon atau menjalin interaksi dengan
orang tua yang masih hidup setelah kematian salah satu orang tuanya (Murray
dkk., 2005).
Bagi anak, kematian orang tua merupakan “kehilangan terburuk”. Anak
telah kehilangan sosok tempat ia bergantung untuk mendapatkan keamanan
dalam hidup, dan orang tua yang masih hidup kehilangan pendampingnya
(Brooks, 2011). Hal serupa dikemukakan oleh Nevid dkk. (2003) yang
dicintai seperti pasangan atau orang tua menjadi peristiwa perubahan hidup
yang menjadi sumber stres dan membutuhkan penyesuaian diri yang amat
sulit.
Proses penyesuaian diri setelah meninggalnya salah satu orang tua (ayah
atau ibu) pada masing-masing keluarga memiliki reaksi yang berbeda-beda.
Hampir di setiap peristiwa kehilangan atau kematian akan diikuti dengan
perasaan tertekan dan disorientasi (www.healthday.com). Perasaan tertekan
dan disorientasi tersebut ditunjukkan selama masa duka cita (grief).
Duka cita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya,
kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di
saat seseorang kehilangan orang yang dicintai (Santrock, 2007) dalam hal ini
meninggalnya salah satu orang tua. Menurut National Mental Health
Association (dalam www.healthday.com) disebutkan bahwa kehilangan orang
yang dicintai (orang tua) merupakan salah satu stressor terberat dalam
kehidupan seseorang.
Penyesuaian pasca-kematian orang tua bagi keluarga yang ditinggalkan
diawali dengan duka cita yang mendalam akibat hilangnya figur penting
dalam keluarga. John Bowlbly (dalam Brooks, 2011) menjelaskan empat fase
dalam proses kedukaan : (1) sebuah periode kekakuan yang berlangsung
berjam-jam atau berminggu-minggu dimana seseorang harus menerima fakta
kematian, tetapi belum mampu meredakan emosi karena lukanya sangat besar,
(2) periode memprotes dan merindukan di mana seseorang menolak menerima
dan putus asa dimana kenyataan kematian telah diterima secara emosional dan
hidup tanpa orang tersebut terlihat tidak tertahankan, dan (4) periode
pengaturan hidup kembali untuk meneruskan hidup tanpa orang tersebut.
Beberapa orang mungkin tidak dapat mengatasi perasaan kehilangan dan
berdampak pada kondisi fisik dan emosional negatif yang terus-menerus
dirasakan. Jika kecemasan dan depresi mulai mengakar, kesehatan dapat turun
drastis atau bahkan mengalami gangguan yang fatal (www.healthday.com).
Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan
–kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri
dengan kondisi tersebut secara praktik– dapat memengaruhi semua aspek
kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa
perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi janda
atau dari seorang anak menjadi seorang piatu). Selain kedukaan, kondisi
tersebut juga dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada keluarga T dan K
diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Studi Pendahuluan Keluarga T
Keluarga T (19 bulan)
Ibu (41 tahun) Anak (7 tahun/L) Kesulitan yang dihadapi
Shock, tidak menduga dan menangis, merasa Tuhan tidak adil, tidak bisa tidur memikirkan masa depan anaknya
Terus menerus menanyakan ayahnya, menangis minta bertemu ayahnya untuk dibelikan mainan
1. Sedang mengandung anak saat ayah meninggal, dan merasa tidak berdaya 2. berkurang secara
drastis penghasilan ekonomi dalam keluarga, 3. kesulitan menyesuaikan Berkeinginan untuk
menitipkan anaknya ke saudaranya, melampiaskan kemarahan pada anaknya, mencari pencerahan kepada
Memahami ayahnya telah meninggal karena sebulan sekali
Memutuskan mencari pekerjaan menjadi asisten rumah tangga, mencari penghasilan tambahan, melakukan aktivitas shalat malam rutin 4 hari seminggu
Seringkali mengatakan “kayane nek ana bapake ora sengsara kaya kie ya Ma?” setiap kali melihat foto ayahnya, dan mengeluh hal yang sama saat keinginannya tidak bisa terpenuhi
tunggal 4. dan kurangnya
dukungan sosial dari keluarga besar suami
Sumber : Wawancara Keluarga T, 16 Mei 2016
Tabel 2. Hasil Studi Pendahuluan Keluarga K
Keluarga K (25 bulan)
Ibu (55 tahun) Anak I (26 tahun/L) Anak II (21 tahun/P) Kesulitan yang dihadapi Mengalami gangguan tidur, penurunan berat badan, gangguan makan, setiap hari mengunjungi makam ayahnya
Susah tidur, perasaan sedih dan mengingat
kenangan bersama ayah, menangis
Sering melamun, respon lambat saat diajak bicara dan merasa nge-blank, sering mbolos kuliah 1. Kehilangan rutinitas/kebia saan keluarga berkumpul bersama setiap sabtu malam 2. Kesulitan ekonomi; menjual barang-barang berharga untuk keperluan sehari-hari 3. Menyesuaika n dengan perubahan emosi anggota keluarga Mudah marah,
menjadi lebih jauh dengan anak-anaknya, sering menyendiri,
Menjadi pendiam Menjadi lebih sering diam karena respon ibunya tidak sesuai dengan harapan subjek Harus ditemani tidur
oleh anaknya Mengambil alih tanggungjawab menemani ibu dalam kegiatan sehari-hari Sering mengingatkan pada ibunya untuk jaga kesehatan,
bertanggungjawab atas rumah kos-kosan yang menjadi sumber penghasilan Meningkatnya
intensitas beribadah
Sumber : Wawancara Keluarga K, 24 Maret 2016
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kematian orang tua
memunculkan dinamika resiliensi keluarga yang khas dan perubahan keluarga
saat menyesuaikan diri setelah kematian. Kehilangan yang mendalam seperti
dalam keluarga, terganggunya fungsi keluarga akibat salah satu anggota
keluarga telah meninggal berdasarkan hasil studi pendahuluan diatas sangat
tergambarkan pada kurun waktu sekitar 2 tahun pertama pasca-kematian.
Tidak ada waktu spesifik mengenai berapa lama seseorang berduka.
Dibutuhkan 2 tahun atau lebih sebelum orang-orang mengatur kembali
hidupnya dan mencapai keseimbangan emosional yang stabil. Namun, akan
tetap ada pengingat dan kemunculan tiba-tiba kedukaan yang mendalam
(Brooks, 2011)
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Harakaj
(2005) menemukan bahwa faktor terpenting yang mampu membangkitkan
keluarga dari situasi krisis selama fase duka seperti yang dikemukakan diatas
adalah komunikasi yang terbuka antar anggota keluarga. Selain komunikasi,
pentingnya sistem keyakinan dan dukungan sosial dari orang-orang terdekat
mendorong keluarga yang berduka mampu menghadapi dan bangkit dari
situasi krisis. Oleh karena itu, keluarga harus memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan situasi sulit secara positif, agar dapat kembali
bangkit dari masa krisis yang dialami.
Kemampuan tersebut menurut McCubbin dan McCubbin (1988) , disebut
dengan resiliensi keluarga. Resiliensi keluarga merupakan pola perilaku positif
dan kemampuan fungsional yang dimiliki oleh individu dan keluarga yang
ditampilkan dalam situasi sulit atau menekan. Pola perilaku positif dan
kemampuan fungsional ini menentukan kemampuan keluarga untuk pulih
tetap mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga dan
unit keluarga secara keseluruhan.
Werner (dalam Walsh, 2003; Wandasari, 2012) mengemukakan bahwa
keluarga merupakan faktor yang sangat memengaruhi resiliensi. Krisis dan
tantangan memiliki dampak terhadap seluruh anggota keluarga dan proses di
dalam keluargalah yang dapat membantu memulihkan krisis dan hubungan di
dalam keluarga. Untuk mengurangi dampak negatif dari kejadian sulit yang
dialami seperti kematian salah satu orang tua, maka Walsh (2006)
menyebutkan bahwa proses kunci dari resilensi keluarga yang berperan
sebagai faktor pelindung.
Sebagai faktor pelindung, ketiga proses kunci tersebut mampu
memulihkan krisis dalam masa sulit yang dialami, mendorong keluarga untuk
melakukan penyesuaian kembali dan bangkit dari masa duka yang
berkepanjangan. Keluarga yang resilien akan kembali menyesuaikan dengan
baik dengan kondisi keluarga yang baru untuk mencapai keluarga yang
harmonis dan tetap bisa merasakan kesejahteraan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai resiliensi keluarga pada keluarga yang kehilangan salah
satu orang tuanya. Resiliensi keluarga dalam hal ini perlu diteliti untuk
melihat bagaimana keluarga mampu menghadapi fase duka sebagai masa
krisis atau masa sulit dalam kehidupan keluarga, sehingga dapat kembali
penulis tertarik meneliti dinamika resiliensi keluarga pasca-kematian salah
satu orang tua, karena masih kurangnya penelitian dalam kasus tersebut.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
dinamika resilensi keluarga menghadapi fase duka pasca kematian salah satu
orang tua, sebagai salah satu masa sulit yang dialami oleh sebuah keluarga.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut : ”Bagaimana dinamika resiliensi keluarga dalam menghadapi
fase duka pasca-kematian salah satu orang tua?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana dinamika resiliensi keluarga dalam menghadapi fase
duka pada keluarga yang salah satu orang tuanya telah meninggal. Sedangkan
manfaat yang dapat dirasakan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang dapat diambil dari penelitian ini yakni adanya
pengembangan ilmu psikologi khususnya dalam payung penelitian
Ketahanan Keluarga dalam bidang Psikologi Sosial.
2. Manfaat Praktis
Menggambarkan hasil penelitian bagi pihak yang berkepentingan
terhadap permasalahan kesehatan mental dan ketahanan keluarga seperti :
psikolog klinis, psikolog perkawinan/keluarga dan khususnya bagi