commit to user
35 BAB V PEMBAHASAN
Data yang terkumpul dari penelitian telah dilakukan pengolahan yang diupayakan dapat menjawab pertanyaan penelitian, yaitu untuk mengetahui apakah ada hubungan antara lama menstruasi dengan kejadian anemia pada Mahasiswa Diploma III Kebidananan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
A. Karakteristik Responden
Menurut tabel 4.1 distribusi responden berdasarkan umur, maka didapatkan hasil sebagian besar responden berumur 19 tahun yaitu sebanyak 26 responden (66.7%), kemudian sebanyak 10 reponden (25.6%) berumur 18 tahun, respoden yang berumur 20 tahun sebanyak 2 responden (5.1%), sedangkan responden yang berumur 17 tahun sebanyak 1 responden (2.6%). Hal ini sesuai dengan umur remaja yang didefinisikan oleh Varney (2007) yaitu masa remaja adalah umur 11 sampai 21 tahun. Di mana biasanya umur tersebut adalah umur anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga mahasiswa perguruan tinggi.
Umur responden ini berkaitan dengan potensi kejadian anemia, hal ini disebabkan karena pada umur remaja kondisi remaja putri itu sendiri mulai mengalami menstruasi. Masa menstruasi ini, zat gizi seperti zat besi, vitamin A dan kalsium sangat diperlukan. Remaja putri yang sedang menstruasi dapat kehilangan zat besi hingga dua kali jumlah yang dikeluarkan oleh
remaja putra. Untuk itu kebutuhan zat besi pada remaja putri adalah tiga kali lebih besar dari remaja putra untuk mengembalikan kondisi tubuhnya ke keadaan semula untuk mengganti darah yang keluar pada saat menstruasi sehingga bisa mencegah terjadinya anemia (Lukman, 2004).
Tabel 4.2 berdasar umur menarche didapatkan hasil sebagian besar responden mengalami menarche pada umur 13 tahun yaitu sebanyak 14 responden (36%), kemudian sebanyak 10 responden (25.6%) mengalami menarche pada umur 12 tahun, responden yang mengalami menarche pada umur 14 tahun sebanyak 9 responden (23%) dan sebanyak 6 responden (15.4%) mengalami menarche pada umur 11 tahun.
Menurut Manuaba (2007), menarche adalah menstruasi pertama perempuan yang umunya terjadi pada umur sekitar 10-11 tahun. Sedangkan menurut Proverawati (2009), menarche terjadi pada umur rata-rata 13 tahun atau antara 8-16 tahun. Umur rata-rata menarche sekarang ini berkisar 12-13 tahun, tetapi pada sebagian kecil perempuan yang tampaknya normal, menarche dapat terjadi lebih awal pada umur 10 tahun atau terlambat pada umur 16 tahun (Pritchard, 1991). Menurut Derek (2001), umur menarche telah turun dari 15 menjadi 12.5 tahun. Penurunan ini diyakini karena nutrisi anak yang lebih baik. Menurut Winkjosastro (2008), umur menarche dipengaruhi oleh faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum. Masa produktif sebagian wanita mengalami proses reproduksi dengan alami dan normal, yaitu siklus menstruasi yang teratur setiap bulan dan tidak mengalami keluhan yang berarti. Gangguan atau kelainan pada tubuh atau organ
reproduksi dapat terjadi dari berbagai faktor misalnya genetik, lingkungan dan gaya hidup.
Pada dasarnya usia menarche satu individu dengan lainnya tidak sama hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya perbedaan status gizi, status ekonomi, pendidikan, genetik dan juga karena keadaan lingkungan. Menarche yang terjadi lebih awal kurang dari umur 10 tahun merupakan tanda dari pubertas dini hal ini dikarenakan karena hormon
gonadotropin diproduksi sebelum anak berumur 8 tahun. Hormon ini
merangsang ovarium sehingga timbul ciri-ciri kelamin sekunder, sehingga kemampuan reproduksi terdapat sebelum waktunya. Menarche yang terjadi lebih dari usia normal 14 sampai 16 tahun dianggap pubertas terlambat (Wiknjosastro, 2008). Usia menarche dapat menggambarkan aspek kesehatan dalam suatu populasi terutama mengenai kesehatan reproduksi pada perempuan. Alat reproduksi wanita harus berfungsi sebagaimana mestinya, namun bila menarche terjadi pada usia yang lebih dini dimana alat reproduksi belum siap untuk mengalami perubahan dan masih terjadi penyempitan pada leher rahim maka akan timbul rasa sakit ketika menstruasi (Shanon, 2006). Umur menarche yang terlalu muda juga menyebabkan perempuan mengalami menstruasi sering mengalami gangguan-gangguan yang memiliki efek negative dan menstruasinya lebih lama. Lama menstruasi normalnya 3-7 hari namun banyak wanita yang lama menstruasinya lebih dari batas normal, hal ini dikarenakan karena adanya kelainan kondisi dalam uterus (Wiknjosastro, 2008).
Data di atas menggambarkan bahwa responden yang memiliki siklus menstruasi < 21 hari (tidak normal) sebanyak 1 responden (2.6%), responden tersebut memiliki status gizi kurus (IMT: <18.5), serta responden yang memiliki siklus menstruasi >35 hari sebanyak 2 responden (5.1%) dan memiliki status gizi gemuk (IMT: >25). Siklus menstruasi responden dilihat IMT juga berbeda-beda hal ini disebabkan karena menurut Kusmiran (2011), panjang siklus menstruasi dipengaruhi oleh usia, berat badan, aktivitas fisik, dan gizi.
Pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa siklus menstruasi pada mahasiswa Diploma III Kebidanan Universitas Sebelas Maret Surakarta memiliki siklus menstruasi responden normal (21-35 hari) yaitu sebanyak 36 responden (92.3%), sedangkan siklus menstruasi tidak normal (>35) hari sebanyak 2 responden (5.1%), serta terdapat 1 responden (2.6%) mempunyai siklus menstruasi tidak normal (<21 hari).
Data di atas menunjukkan bahwa responden sebagian besar memilki siklus menstruasi normal (21-35 hari). Menurut Costanzo (2012), panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dengan mulainya menstruasi berikutnya. Panjang siklus menstruasi yang normal ialah 21-35 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama.
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa riwayat penyakit kronis yang sedang diderita rsponden bisa mempengaruhi kejadian anemia. Penyakit kronis disini misalnya TBC, malaria dan demam berdarah. Hal ini sesuai dengan Silalahi
(2007), bila seseorang mendapat suatu penyakit kronis maka sebagian zat gizi yang diperolehnya akan digunakan untuk keperluan penyakit yang diderita misalnya penyakit-penyakit infeksi, kerusakan eritrosit misalnya malaria. Adanya perdarahan-perdarahan kecil yang menyebabkan kurangnya zat besi melalui hilangnya sel-sel darah seperti pada penyakit TBC, disamping adanya beberapa komplikasi misalnya selera makan menurun, organ-organ hemopoetik tidak berfungsi dengan baik misalnya hepatitis, ginjal dan sebagainya.
Tabel 4.12 menunjukkan bahwa tidak ada responden yang pernah menderita payah jantung dan paru. Penyakit payah jantung dan paru dapat memperburuk kejadian anemia. Hal ini sesuai dengan Donald (2009), anemia dapat menyebabkan atau memperburuk gagal jantung kronis dan penyakit ginjal kronis, gagal jantung kronis dapat menyebabkan atau memperburuk anemia dan penyakit ginjal kronis, dan penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan atau memperburuk baik anemia dan gagal jantung kronis. Interaksi ini dipanggil antara tiga kondisi sindrom anemia kardiorenal. Implikasi dari interaksi ini adalah bahwa manajemen yang memadai dari gagal jantung kronis dan anemia akan mencegah perkembangan dari kedua gagal jantung kronis dan penyakit ginjal kronis.
B.Lama Menstruasi
Pada tabel 4.15 menunjukkan lama menstruasi responden sebagian besar normal (3-7 hari) yaitu sebanyak 31 responden sedangkan sebanyak 8 (20.5%) responden mengalami lama menstruasi yang tidak normal (>7 hari).
Data di atas menunjukkan bahwa responden sebagian besar memiliki lama menstruasi 3-7 hari. Menurut Pieter (2013), lama menstruasi biasanya antara 3-7 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang >7 hari hari. Sedangkan menurut Benson (2009), durasi rata-rata perdarahan menstruasi adalah 3-7 hari tetapi dapat pula bervariasi.
Data di atas menggambarkan responden yang memiliki lama menstruasi >7 hari (tidak normal) sebanyak 8 responden (20.5%), responden tersebut memiliki status gizi gemuk (IMT: > 25) serta 31 responden (79.5%) memiliki status gizi kurus (IMT: < 18.5) dan normal (IMT: 18.5-25). Lama menstruasi responden dilihat dari IMT (Status Gizi) yang juga berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena menurut Winkjosastro (2008), lama menstruasi dipengaruhi oleh usia, berat badan, aktivitas fisik, tingkat stres, genetik, dan gizi.
Menurut Kusmiran (2011), faktor risiko yang menyebabkan gangguan menstruasi adalah berat badan, aktivitas fisik, stres, diet, paparan lingkungan dan kondisi kerja, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, sinkronisasi proses menstrual (interaksi sosial dan lingkungan), gangguan endokrin, dan gangguan perdarahan.
Faktor status gizi berpengaruh terhadap lama menstruasi namun selain status gizi banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi lama menstruasi. Penelitian ini belum bisa mengungkapkan semua faktor yang mempengaruhi lama menstruasi tersebut secara mendetail karena terbatasnya instrumen pengukuran dan alokasi waktu penelitian.
C. Kejadian Anemia
Tabel 4.16 menunjukkan bahwa sebanyak 34 responden (87.2%) tidak mengalami anemia (kadar hemoglobin ≥12 gr%) dan sebanyak 5 responden (12.8%) mengalami anemia (kadar hemoglobin <12 gr%). Hal ini sesuai dengan Cut off Point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968 dalam Tarwoto (2010), yaitu seorang wanita dikatakan anemia apabila kadar hemoglobin <12gr% dan tidak anemia apabila kadar hemoglobin ≥12 gr%. Kriteria anemia ini bisa dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain-lain.
Menurut Hoffbrand (2012), anemia disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Pada orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Penyebab perdarahan paling sering pada perempuan dalam masa reproduksi (wanita umur subur) yaitu karena pengeluaran darah yang banyak atau lebih dari 8 hari. Sedangkan menurut Norwitz (2008), lama menstruasi pada seorang wanita bisa menjadi
penyebab terjadinya anemia apabila lama menstruasi tersebut melebihi batas normal.
Pada tabel 4.12 responden yang memiliki jumlah perdarahan >60 ml sebanyak 11 (28.2%). Kehilangan darah yang berlebihan selama menstruasi dapat mengakibatkan terjadinya anemia. Hal ini sesuai dengan Bakta (2009), kehilangan darah dari dalam tubuh yang berlebih pada saat menstruasi berpotensi menyebabkan anemia. Sedangkan menurut Citrakesumasari (2012), anemia merupakan berkurangnya hemoglobin dalam darah yang disebabkan sel darah merah yang terlalu sedikit atau jumlah hemoglobin dalam sel yang terlalu sedikit, dimana rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang berlebihan.
D. Hubungan Lama Menstruasi dengan Kejadian Anemia
Berdasarkan hasil dari analisis Koefisien-Kontingensi diperoleh nilai p= 0.019, karena p < 0.05 maka terdapat hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan kejadian anemia. Nilai r yang diperoleh yaitu r= 0.351 , karena r diantara 0.2 – 0.4 maka kekuatan korelasinya lemah. Arah korelasinya (+) maka diinterpretasikan searah, yaitu semakin lama menstruasi maka semakin tinggi kejadian anemia.
Hasil di atas disebabkan karena pada wanita yang memiliki lama menstruasi lebih panjang maka pengeluaran darah yang dialami cenderung lebih banyak dan pengeluaran zat besi karena perdarahan pun akan semakin banyak. Keadaan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Hudges (1995) yaitu tentang pengeluaran zat besi. Dalam diet sehari-hari, rata-rata terkandung 10-20 mg zat besi perhari. Seseorang dengan jumlah simpanan zat besi dalam jumlah normal akan mengabsorbsi besi sekitar 5-10% dari jumlah total masukan, yaitu sekitar 0,5-2 mg setiap harinya. Sedangkan untuk orang dengan defisiensi zat besi akan mampu menyerap sampai dengan 50% dari total masukan zat besi atau sekitar 5-10 mg. Tidak ada mekanisme spesifik untuk ekskresi zat besi, namun tidak dapat dihindari hilangnya zat besi sehari-hari akibat eksfoliasi usus halus dan sel-sel epitel kulit dimana pada semua sel ini terdapat enzim-enzim yang mengandung zat besi. Rata-rata kehilangan zat besi setiap hari pada orang normal adalah sekitar 0,6 - 1 mg, sedangkan pada wanita menstruasi kehilangan zat besi bisa mencapai 42 mg setiap siklus. Dengan demikian zat besi dalam darah akan menjadi sangat rendah sehingga kadar hemoglobin dalam darah pun akan menurun dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya anemia.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastika (2011) yang berjudul “Hubungan antara Lama Menstruasi terhadap Kadar Hemoglobin pada Remaja Putri”. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian adalah quota sampling. Instrumen yang digunakan adalah wawancara dengan bantuan kuesioner dan pengukuran kadar hemoglobin
dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin. Uji yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Hasil Kali Product-Moment dari Pearson
dan hasil yang diperoleh adalah terdapat hubungan antara lama menstruasi dengan kadar hemoglobin dengan nilai p= 0.000, kekuatan korelasinya kuat dengan nilai r= 0.624 serta arah korelasinya negatif yang berarti bahwa wanita yang memiliki lama menstruasi lebih panjang maka kadar hemoglobin semakin turun.
Penelitan ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Prastika (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Prastika (2011) memiliki kekuatan korelasi yang kuat dan penelitian ini memiliki kekuatan korelasi yang lemah, hal ini terjadi karena penelitian terdahulu menggunakan responden yang sedang menstruasi hari terakhir sebagai variabel bebas dan pada penelitian ini tidak menggunakan responden yang sedang menstruasi hari terakhir.
Menurut penelitian Al-sayes (2011), kehilangan darah yang banyak pada wanita merupakan faktor resiko penting yang dapat menyebabkan anemia. Zat besi akan keluar sebanyak kurang lebih 42 mg setiap siklus menstruasi, sedangkan pada laki-laki kehilangan darah 1 mg per harinya. Wanita dengan lama menstruasi diatas 8 hari dengan riwayat perdarahan dan gumpalan pada saat menstruasi memiliki resiko yang lebih besar mengalami anemia. Dari data primer dapat dilihat bahwa mahasiswa dengan lama menstruasi >7 hari memiliki kadar hemoglobin rata-rata 12,2 gr%, sedangkan mahasiswa dengan lama menstruasi 3-7 hari (normal) memiliki kadar hemoglobin rata-rata 13,2 gr%. Dari data primer ini dapat disimpulkan bahwa
kehilangan darah menstruasi yang berkelanjutan pada wanita saat menstruasi akan memperbesar faktor resiko wanita tersebut mengalami anemia.
Menurut Wolfenden (2010) dalam Adnyani (2012), faktor yang paling berpengaruh dalam regularitas lama menstruasi adalah ketidakseimbangan hormon. Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan pengaturan hormon terganggu, beberapa diantaranya stres, penyakit, perubahan rutinitas, gaya hidup dan berat badan. Selain itu juga terdapat faktor lainnya yang berpengaruh terhadap lama menstruasi menurut Llewellyn, Derek & Jones (2002), yaitu status gizi, kelainan uterus, kondisi fisik, penyakit ginekologi dan umur.
Panjang dan pendeknya lama menstruasi pada setiap siklusnya dipengaruhi oleh usia, berat badan, aktivitas fisik, tingkat stres, genetik dan gizi (Wiknjosastro, 2008). Rata-rata usia responden sekitar 18 – 20 tahun memiliki stress karena jenis aktifitas yang dilakukan oleh responden antara lain mengikuti kegiatan kuliah secara rutin, praktikum, mengerjakan laporan dan tugas-tugas kuliah, ikut dalam organisasi kampus maupun diluar kampus, ada sebagian yang mengikuti kegiatan di masyarakat seperti menjadi remaja islam masjid, serta ada juga beberapa yang mengikuti latihan musik dan berolahraga rutin.
Stress dalam pengaruhnya terhadap pola menstruasi melibatkan sistem
neuroendokrinologi sebagai sistem yang besar peranannya dalam reproduksi
wanita. Gangguan pada pola menstruasi ini melibatkan mekanisme regulasi intergratif yang mempengaruhi proses biokimia dan seluler seluruh tubuh
termasuk otak dan psikologis. Pengaruh otak dalam reaksi hormonal terjadi melalui jalur hipotalamus-hipofisis-ovarium yang meliputi multiefek dan mekanisme kontrol umpan balik. Pada keadaan stres terjadi aktivasi pada
amygdala pada sistem limbik. Sistem ini akan menstimulasi pelepasan
hormone dari hipotalamus yaitu corticotropic releasing hormone (CRH). Hormon ini secara langsung akan menghambat sekresi GnRH hipotalamus dari tempat produksinya di nukleus arkuata. Proses ini kemungkinan terjadi melalui penambahan sekresi opioid endogen. Peningkatan CRH akan menstimulasi pelepasan endorfin dan adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke dalam darah. Endorfin sendiri diketahui merupakan opiat endogen yang peranannya terbukti dapat mengurangi rasa nyeri. Peningkatan kadar ACTH akan menyebabkan peningkatan pada kadar kortisol darah. Pada wanita dengan gejala amenore hipotalamik menunjukkan keadaan hiperkortisolisme yang disebabkan adanya peningkatan CRH dan ACTH. Hormon-hormon tersebut secara langsung dan tidak langsung menyebabkan penurunan kadar GnRH, dimana melalui jalan ini maka stres menyebabkan gangguan lama dan siklus menstruasi yaitu dari yang semula lama dan siklus menstruasinya normal menjadi meorraghia, oligomenorea dan polimenorea. Gejala klinis yang timbul ini tergantung pada derajat penekanan pada GnRH. Gejala-gejala ini umumnya bersifat sementara dan biasanya akan kembali normal apabila stress yang ada bisa diatasi (Mesarini, 2013).
E. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti tidak bisa mengendalikan variabel luar secara detail karena terbatasnya instrumen pengukuran, dana, tenaga dan alokasi waktu penelitian, dimana kekurangan ini sangat diharapkan untuk melengkapi penelitian selanjutnya.