• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA SMP NEGERI 6 LHOKSEUMAWE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA SMP NEGERI 6 LHOKSEUMAWE"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

127 Dampak Pendidikan Matematika Realistik

DAMPAK PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH SISWA SMP NEGERI 6

LHOKSEUMAWE

Oleh : Lisa

Dosen Prodi TMA Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email: lisa_pim@yahoo.com

Abstrak

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa dikarenakan siswa tidak memahami masalah yang diberikan dan jarang membuat apa yang diketahui dan ditanya sehingga siswa tidak bisa tau cara apa yang digunakan untuk menyelesaikan masalah akibatnya siswa tidak bisa menyelesaikan masalah. Penelitian kuasi eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari pendidikan matematika realistik (PMR) terhadap peningkatan

kemampuan pemecahan masalah siswa SMP Negeri 6

Lhokseumawe. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas VII-2 kelas eksperimen yang mendapat PMR dan kelas VII-3 kelas kontrol yang mendapat pembelajaran biasa (PB). Analisis data menggunakan uji-t. Hasil penelitian yang diperoleh adalah: peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa SMP Negeri 6 Lhokseumawe dengan PMR lebih tinggi daripada pembelajaran biasa (PB)

Kata Kunci: pendidikan matematika realistik, pemecahan masalah Abstract

Low problem solving ability of students because students do not understand the given problem and rarely make what is known and asked that a student can not know how what used to solve problems as a result students can not solve the problem. This quasi-experimental research aims to determine the impact of realistic mathematics education (PMR) to increase problem-solving ability of students of SMP Negeri 6 Lhokseumawe. Samples were students

(2)

Lisa 128

of class VII-2 experimental class got PMR and class VII-3 control class that gets regular learning (PB). The data analysis using t-test and Anova. The results obtained are: improvement of problem solving ability of students of SMP Negeri 6 Lhokseumawe with PMR higher than usual learning (PB)

Keywords: realistic mathematics education, problem-solving

Latar Belakang

Pusat Kurikulum (Depdiknas, 2003:6) tujuan umum pembelajaran matematika sekolah adalah (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten, dan inkonsistensi, (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinal, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, (3) mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, dan (4) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dan menjelaskan gagasan.

Harapannya siswa dapat menguasai konsep dasar matematika secara benar sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh pembelajaran matematika di jenjang Sekolah Menenggah Pertama diharapkan dapat mengembangkan kemampuan bermatematika dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang penting di mata pelajaran matematika.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa , kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: faktor kebiasaan belajar, siswa hanya terbiasa belajar dengan menghapal, cara ini tidak melatih kemampuan berpikir dan kemampuan pemecahan masalah, dan cara ini merupakan akibat dari penerapan pembelajaran biasa dimana dosen mengajar matematika dengan menerapkan konsep dan operasi matematika, memberi contoh mengerjakan soal, serta meminta siswa untuk mengerjakan soal yang sejenis dengan soal yang sudah diterangkan dosen, model pembelajaran seperti ini menekankan pada menghapal konsep dan prosedur matematika guna menyelesaikan soal. Akibat penggunaan pendekatan pembelajaran dan cara belajar sebagaimana tersebut di atas, sehingga berdampak pada prestasi belajar siswa kita rendah.

(3)

129 Dampak Pendidikan Matematika Realistik

Cooney (dalam Sumarmo, 2005) menyarankan reformasi pembelajaran matematika dari pendekatan belajar meniru (menghafal) ke belajar pemahaman yang berlandaskan pada pendapat knowing mathematics is doing mathematics yaitu pembelajaran yang menekankan pada doing atau proses dibanding dengan knowing that. Perubahan pandangan pembelajaran di atas, dimaksudkan agar pembelajaran lebih difokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formulasi dan aplikasi. Proses mengaktifkan siswa ini dikembangkan dengan membiasakan siswa menggunakan kemampuan berpikirnya (berpikir logis, kritis dan kreatif) untuk memecahkan masalah dalam setiap kegiatan belajarnya. Pentingnya melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir seperti kemampuan pemecahan masalah matematika dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa. Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa, lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dikenal dan dialami siswa, karena dengan memberi masalah yang tidak asing baginya, siswa akan merasa tertantang.

Dalam hal ini PMR dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Dengan pemecahan masalah akan membiasakan siswa menyelesaikan masalah-masalah baik rutin maupun non rutin. Di mana siswa dituntut dapat memahami masalah kontektual, membuat rencana penyelesaian, menyelesaikan masalah dan siswa dapat mengecek kembali hasil yang diperoleh, kondisi-kondisi ini dapat diperoleh melalui pendekatan matematika realistik. Pendekatan matematika realistik peran dosen hanya sebagai pembimbing dan fasilitator bagi siswa. Bahkan di dalam PMR diharapkan siswa tidak sekedar aktif sendiri, tetapi ada aktivitas bersama diantara mereka (interaktivitas). Proses pembelajaran seperti ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa secara optimal, terutama kemampuan pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimiliki siswa. Salah satu upaya yang dicoba dilakukan adalah dengan meneliti dampak pendidikan matematika realistik terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP Negeri 6 Lhokseumawe.

Landasan Teori

Dalam Pendidikan Matematika Realistik (PMR), matematika dipandang sebagai aktivitas insani (human activity), sehingga kegiatan pembelajaran menggunakan konteks real dan menghargai gagasangagasan siswa. Berdasarkan

(4)

Lisa 130

pandangan matematika sebagai aktivitas manusia, dikembangkan empat prinsip dasar PMR, yakni: (a) penemuan kembali secara terbimbing (guided-reinvention); (b) proses matematisasi progresif (progressive mathematizing); (c) penggunaan fenomena didaktik (didactical phenomenology) sebagaimana yang digagas Freudenthal; dan (d) pengembangan model oleh siswa sendiri (self-developed

model) (Gravemeijer, 1994: 90-91).

Empat prinsip PMR tersebut merupakan panduan dalam penyusunan bahan ajar berbasis PMR. Agar lebih mudah diimplementasikan di kelas keempat prinsip tersebut dijabarkan menjadi lima karakteristik PMR yang meliputi: (1) penggunaan konteks sebagai starting point pembelajaran; (2) pengembangan alat matematik untuk menuju matematika formal; (3) kontribusi siswa melalui free production dan refleksi; (4) interaktivitas belajar dalam aktivitas sosial; dan (5) penjalinan (intertwining) (Streefland, 1990 dan Hadi, 2000).

Selanjutnya membahas tentang pemecahan masalah, menurut Bell (1978: 310) definisi pemecahan masalah adalah “Mathematical problem solving is the resolution of a situation in mathematics which is regarded as a problem by the person who resolves it.” Dengan demikian suatu situasi merupakan masalah bagi

seseorang jika ia menyadari adanya persoalan dalam situasi tersebut, mengetahui bahwa persoalan tersebut perlu diselesaikan, merasa ingin berbuat dan menyelesaikannya, namun tidak serta merta dapat menyelesaikannya. Branca (1980: 3-7) menginterpretasikan pemecahan masalah (problem solving) dalam tiga hal, yaitu pemecahan masalah dipandang sebagai tujuan (a goal),proses (a process), dan keterampilan dasar (a basic skill). Dalam penelitian ini pemecahan masalah dijadikan sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui proses belajar mengajar. Menurut Kusumah (2008), pemecahan masalah sebagai suatu tujuan memuat tiga kemampuan yang ingin dicapai; yakni memodelkan masalah sehari-hari dengan memakai simbol dan notasi matematik, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (masalah sejenis ataupun masalah baru) di dalam atau di luar matematika, dan menafsirkan hasil yang diperoleh secara bermakna dengan konteks masalah.

Cara mengukur kemampuan pemecahan matematik pada siswa SMP dapat dilakukan dengan memberikan soal uraian untuk diselesaikan secara tuntas. Siswa mengerjakan soal tersebut selengkap mungkin dan penilaiannya pun dilakukan secara komprehensif. Aspek-aspek yang dinilai meliputi: (1) pengetahuan matematika yang terdiri dari pengetahuan konseptual dan prosedural; (2) pengetahuan strategi pemecahan masalah; (3) komunikasi; dan (4) akurasi (Departemen Pendidikan Oregon dan Illinois State Board of Education, 2009).

(5)

131 Dampak Pendidikan Matematika Realistik Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 6 Lhokseumawe. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas VII-2 (Pembelajaran biasa) dan VII-3 (PMR). Penelitian ini menggunakan jenis instrumen berupa tes yaitu untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik. Hasil uji coba untuk kemampuan pemecahan masalah matematik 4 butir soal dinyatakan valid dengan nilai reliabilitas tes sebesar 0,814 (reliabilitas tinggi).

Penelitian ini merupakan penelitian quasi-eksperimen (quasi experiment) dengan rancangan kelompok pretes-postes kontrol, oleh karena itu pelaksanaannya menggunakan siswa kelompok eksperimen menggunakan pendekatan matematika realistik dan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran biasa. Dalam penelitian ini melibatkan dua jenis variabel: variabel bebas yaitu pendekatan matematika realistik dan pembelajaran biasa, variabel terikat yaitu kemampuan pemecahan masalah matematik.

Data yang diperoleh dari skor kemampuan pemecahan masalah matematik dikumpulkan. Penelitian ini dianalisis dengan melakukan pengujian menggunakan Uji-t. Asumsi-asumsi Uji-t : Uji Normalitas, uji Homogenitas varians tes kemampuan pemecahan masalah matematik dengan uji hipotesis statistik.

Hasil Penelitian

Data kemampuan pemecahan masalah matematik dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sebelum dan sesudah pemberian pelakuan pembelajaran. Data ini diperoleh dari hasil pretes dan postes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, kemudian dicari N-Gainnya.

Hasil analisis deskripstif terhadap data kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kedua kelompok pembelajaran disajikan pada Tabel 1 dibawah ini :

Tabel 1 Deskripsi Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP Negeri 6 Lhokseumawe untuk Kedua Kelompok Pembelajaran

Statistik Pembelajaran PMR PB N-GAIN N 32 30 Rata-rata 0.713 0.384 Simpangan Baku 0.211 0.196

(6)

Lisa 132

Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai rata-rata N-Gain kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat Pendekatan Matematika Realistik (PMR) sebesar 0,713 dan N-Gain pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran biasa dengan rata-rata sebesar 0,384. Berdasarkan kategori Hake, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pendekatan matematik realistik termasuk dalam kategori tinggi ( g > 0,7 ) sementara peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapat pembelajaran biasa termasuk dalam kategori kategori sedang ( 0,3 < g ≤ 0,7 ).

Tabel 2. Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa

Tests of Normality

PEMBELAJAR AN

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. N-GAIN PM SMPN 6 LSM PMR .148 32 .071 .920 32 .020 PB .101 30 .200* .962 30 .354

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai probabilitas atau nilai significance (sig.) kemampuan pemecahan masalah matematik siswa lebih besar dari α = 0,05. Ini berarti data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa berdistribusi normal.

Tabel 3 Uji Homogenitas Univariat N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig. N-GAIN PM SMPN 6 LSM Based on Mean .131 1 60 .718 Based on Median .040 1 60 .842 Based on Median and with

adjusted df .040 1 58.129 .842 Based on trimmed mean .086 1 60 .770

(7)

133 Dampak Pendidikan Matematika Realistik

Dari output uji homogenitas dengan sofware SPSS 17,0 Statistics,

kehomogenan data N-Gain pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pendekatan matematika realistik dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa secara individu (masing-masing) dapat dilihat dari nilai sig. Karena nilai sig. pada kemampuan pemecahan masalah matematik sebesar 0,718 > 0,05 maka H0

diterima. Artinya dengan signifikan, H0 yang menyatakan varians data N-Gain

kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pendekatan matematika realistik dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa secara individu homogen diterima.

Pengujian peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dilakukan dengan menggunakan uji-t . Hasil perhitungan inferensial untuk uji peningkatan dengan uji-t menunjukkan bahwa nilai t adalah 6,354 lebih besar dari

t(0,05;60) = 1,606. Dari kriteria pengujian: jika –ttabel ≤ thitung ≤ ttabel maka H0 terima

jika –ttabel < thitung > ttabel, maka tolak H0. Jadi, terima H0, ini berarti ada peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematik siswa antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik dengan pembelajaran biasa pada taraf signifikansi α = 0,05.

Pembahasan

Penelitian ini menggunakan pendidikan matematika realistik. Tahapan yang dilakukan dalam pendidikan matematika realistik, diawali dengan pemberian masalah kontektual, memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami dan menyelesaikan masalah kontektual secara individu atau kelompok, kemudian mendiskusikan hasil sebagai refleksi. Pembelajaran matematika realistik dalam proses pembelajarannya ada prinsip reinvention, hal ini menunjukkan bahwa matematika itu tidak diberikan kepada siswa sebagai sesuatu yang sudah jadi, melainkan siswa harus mengkonstruk atau menemukan konsep-konsep melalui penyelesaian masalah-masalah kontektual yang realistik bagi anak. Proses pembelajaran dari situasi nyata, kemudian mengorganisasikan, menyusun masalah, mengindentifikasi aspek-aspek masalah secara matematik dan kemudian melalui interaksi diharapkan siswa menemukan konsep matematik itu sendiri, yang nantinya dapat mengaplikasikannya dalam masalah dan situasi yang berbeda. Dengan demikian, proses belajar matematika berlangsung dalam interaksi lingkungan sosial.

Pembelajaran dilakukan dengan cara diskusi kelompok yang beranggotakan lima sampai enam orang. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengaktifkan siswa secara interaktif dalam kelompok, memudahkan peneliti/pengajar dalam memberi bantuan melalui bentuk pertanyaan-pertanyaan

(8)

Lisa 134

(scaffolding), dan menumbuhkan pengetahuan siswa. Langkah pertama dalam

pembelajaran matematika realistik di penelitian ini adalah memberikan masalah kontektual berupa masalah kepada siswa. Masalah tersebut dapat berupa latihan, pembentukan atau penemuan konsep, prosedur atau strategi penyelesaian nonrutin. Jika siswa tidak mampu mengaitkan konsep-konsep matematika sebelumnya dengan informasi yang terdapat dalam masalah, maka guru dapat memberikan bantuan secara tidak langsung , yaitu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan berupa scaffolding kepada siswa, sehingga terjadi interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, atau siswa dengan konteks masalah. Fungsi guru dalam pembelajaran matematika realistik adalah sebagai fasilitator dan mediator.

Pada refleksi dalam pembelajaran akan diberikan waktu khusus pada kegiatan diskusi penyelesaian masalah dalam kelompok atau secara klasikal. Hal ini dilakukan, karena pada tahap ini siswa akan berinteraksi secara aktif dengan siswa yang lain, guru, materi dan lingkungan, sehingga diharapkan akan dapat menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Kegiatan ini dilakukan untuk setiap topik yang diajarkan pada pembelajaran dalam penelitian ini. Jadi, kesempatan siswa untuk berinteraksi secara interaktif, sangat dituntut dalam pembelajaran yang dilakukan. Hal ini bertujuan disamping untuk menemukan penyelesaian masalah dengan cara saling berinteraksi antara anggota kelompok, guru maupun lingkungan belajar yang nantinya diharapkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa lebih baik. Dengan demikian, pemberian masalah kontektual sangat menentukan kegiatan refleksi dalam pembelajaran matematika realistik.

Dari proses pembelajaran pada sekolah SMPN 6 LSM, terlihat mereka sangat senang dengan belajar secara kelompok, mereka sangat interaktif, dari hasil pengamatan, bahwa mereka memiliki perasaan bersaing antar kelompok, dalam hal ini mereka ingin menunjukkan bahwa kelompok merekalah yang terbaik. Sesungguhnya, proses interaksi yang terjadi pada kedua sekolah tersebut antara lain : (1) Pada awal penyelesaian, siswa-siswa telah menggunakan pengetahuan awal atau pengetahuan informalnya sehingga mereka sampai pada penyelesaian menentukan luas dan keliling daerah persegi panjang, dalam pembelajaran matematika realistik, ini yang disebut model of, (2) Pada pertenggahan proses penyelesaian, siswa-siswa telah menerapkannya pada rumus luas persegi panjang adalah panjang kali lebar. Pada tahap ini, siswa-siswa sudah menggunakan model-model (model-model for) dan (3) Pada akhir penyelesaian mereka sudah menemukan konsep tentang luas dan keliling segi empat (reinvention).

Pada awal pembelajaran guru menjelaskan tentang tujuan pembelajaran serta indikator yang akan dicapai oleh siswa, hal ini dimaksudkan untuk

(9)

135 Dampak Pendidikan Matematika Realistik

membangun perhatian siswa dan menuntun siswa pada tujuan pembelajaran dimana keduannya merupakan hal penting untuk membantu terciptanya belajar bermakna. Kemudian dilanjutkan guru menggunakan konteks untuk mengungkapkan ide matematik selama proses pembelajaran, dengan menanyakan bagaimana bentuk segi empat seperti persegi panjang, persegi, jajargenjang, belah ketupat, layang-layang dan trapesium dengan mengingat kembali konsep-konsep yang sudah diberikan.

Selanjutnya, guru memberi peluang dan mendorong siswa menggunakan model-model melalui gambar, sketsa, pola, skema,dan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah, disini guru memberi kebebasan kepada siswa dalam hal menggunakan model atau strategi dalam menyelesaikan masalah, guru hanya mengarahkan dan membimbing. Guru juga memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri dengan menggunakan variasi model, sehingga siswa dapat menggunakan berbagai model penyelesaian dalam menyelesaikan soal-soal.

Guru dan siswa saling berinteraksi, siswa yang tidak mengerti bertanya kepada guru, demikian juga siswa yang sudah mengerti membantu siswa yang lain yang belum mengerti jadi tidak hanya guru dan siswa saja yang berinteraksi tetapi juga antara siswa dan siswa, dengan demikian harapannya siswa bisa mengembangkan pengetahuannya dan saling berbagi dengan siswa lainnya.

Di akhir pembelajaran guru memberitahukan kepada siswa model formal, dimana sebelumnya siswa menjawab berdasarkan pengetahuan yang sudah dia dapat sebelumnya ini dinamakan model of, model coba-coba siswa dalam menyelesaikan soal tanpa penjelasan bentuk formalnya. Jadi, diakhir pembelajaran guru harus memberitahukan model formalnya biar siswa mengetahui bagaimana model formal yang sebenarnya untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah. Guru juga mengaitkan materi yang sudah dipelajari dengan materi lainnya atau kegunaan dari mempelajari materi itu, jadi siswa tidak hanya mengetahui bahwa materi itu hanya untuk pelajaran matematika saja tetapi juga bisa digunakan untuk pelajaran lain atau dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Pada awal pembelajaran siswa membagi kelompok berdasarkan kemampuan tinggi, sedang dan rendah, dimana pembagian kelompok telah dikelompok-kelompokan oleh peneliti, siswa langsung duduk menurut kelompok yang telah diatur. Selanjutnya siswa diberikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dimana dalam LAS diberikan beberapa masalah kontektual. Pada pertemuan pertama respon siswa ketika menerima LAS ada beberapa kelompok yang belum memahami apa yang harus mereka lalukan, siswa berusaha untuk mengerjakan LAS sendiri-sendiri dan jika tidak memahami masalah, siswa baru bertanya kepada

(10)

Lisa 136

guru, selanjutnya guru menginstruksikan agar siswa membaca soal dahulu dengan cermat, setelah itu jika ada yang belum dimengerti baru ditanyakan. Tugas guru hanya membimbing dan mengarahkan siswa dalam menyelesaikan masalah bukan memberi jawaban.

Dalam hal diskusi kelompok, siswa saling mendiskusikan masalah di dalam LAS dan mencoba menyelesaikan dengan menggunakan pengetahuan yang sudah mereka dapat sebelumnya, sehingga disini siswa diberi kebebasan dalam menyelesaikan masalah di dalam LAS. Interaksi antara siswa dan siswa terjadi di dalam diskusi juga ada interaksi antara guru dan siswa, guru disini hanya sebabgai fasilitator, jika ada siswa yang kurang mengerti dan bertanya guru akan memberi

scaffolding berupa pertanyaan yang mengarahkan siswa agar mampu menjawab apa yang diketahui dan yang ditanya.

Di akhir pembelajaran guru akan memberutahukan kepada siswa model formalnya, sehingga siswa dapat menggunakan model tersebut dalam menyelesaikan masalah. Selama proses pembelajaran yang berlangsung selama enam kali, ada beberapa hal yang peneliti amati secara langsung, yaitu :

1. Pada awal pertemuan atau pertemuan pertama, masih banyak terlihat siswa yang bingung dengan pelaksanaan pembelajaran matematika melalui pendekatan matematika realistik, diskusi yang berlangsung dalam kelompok juga hanya didominasi oleh beberapa siswa saja. Beberapa alasan yang mereka kemukakan adalah mereka belum terbiasa belajar dengan cara diskusi dalam pembelajaran matematika.

2. Pada pertemuan selanjutnya siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran matematika melalui pendekatan matemetika realistik bahkan siswa termotivasi untuk mempelajari matematika.

3. Selanjutnya siswa terlihat aktif dan sudah berani menggungkapkan pendapat, bersifat terbuka dalam menerima pendapat orang lain.

Setelah dilakukan pembelajaran, selanjutnya dilakukan postes kemampuan pemecahan masalah untuk melihat sampai mana kemampuan siswa setelah pembelajaran. Hasil analisis data baik dari analisis deskriptif maupun uji statistik menunjukkan bahwa adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendidikan matematika realistik dengan pembelajaran biasa. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan matematika realistik (PMR) kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP Negeri 6 Lhokseumawe akan lebih baik.

Dari hasil analisis data ditemui bahwa faktor pendekatan pembelajaran memberi pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan pemecahan masalah

(11)

137 Dampak Pendidikan Matematika Realistik

matematik siswa. Artinya, terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, jika siswa dikelompokkan berdasarkan pendekatan pembelajaran. Hal ini dimungkinkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dipicu oleh PMR yang dalam pelaksanaan pembelajarannya selalu memperhatikan prinsip dan karakteristik PMR. Melalui prinsip PMR, pembelajaran difokuskan pada kemampuan siswa dalam penemuan kembali (Reinvention) konsep-konsep matematika. Proses penemuan kembali konsep matematika dengan perantara masalah kontektual yang dikemas dalam lembar aktivitas siswa (LAS). Konteks yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik PMR yang memuat masalah kehidupan sehari-hari. Kemudian dari awal konteks dirancang sebagai informal matematika (model of), diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Hal ini sesuai pendapat Polya bahwa yang termasuk pemecahan masalah matematik adalah, memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan memeriksa kembali.

Melalui kegiatan pembelajaran yang dirancang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR inilah yang memungkinkan munculnya indikator-indikator pemecahan masalah matematik. Hal ini dapat dilihat saat siswa mengerjakan LAS, maka siswa akan melakukan kegiatan memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali, hal ini semua sesuai dengan ciri dari pemecahan masalah matematik.

Kesimpulan

Ada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik dengan pembelajaran biasa. Siswa yang diajar dengan pendekatan matematika realistik memperoleh rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik sebesar 0,713, sementara siswa yang diajarkan dengan pembelajaran biasa memperoleh rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik sebesar 0,384. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika melalui pendekatan matematika realistik lebih baik dari pembelajaran biasa.

Saran

Keberhasilan implementasi pendekatan PMR diperlukan bahan ajar yang lebih menarik dirancang berdasarkan permasalahan kontektual yang merupakan syarat awal yang harus dipenuhi sebagai pembuka belajar mampu stimulus awal dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Fokus penelitian ini hanya pada aspek pemecahan masalah matematik siswa SMP, oleh karena itu diharapkan

(12)

Lisa 138

kepada peneliti lain dapat mengkaji lebih lanjut tentang korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP dengan kemampuan matematika lainnya.

Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2009), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara Branca, N.A. (1980). “Problem Solving as a Goal, Process, and Basic Skill”.

Problem Solving in School Mathematics. Editor: Krulik, S. and Reys, R.E.

Reston: NCTM.

Dahar, R.W. (1996), Teori-Teori Belajar, Jakarta:Erlangga

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum 2006: Standar Isi Mata

Pelajaran Matematika untuk SMP/MTs. Jakarta: Depdiknas.

Freudenthal, (1991), Revisiting mathematics education. Dordrecht: Kluwer A.P. Gravemeijer, K. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal

Institute. Utrecht: CDβ Press.

Hadi, S. (2000). Teori Matematika Realistik, The Second Tryout of RME-based

INSET 2000. University of Twente. Enschede: Tidak diterbitkan.

Kaur, B. (2004). Teaching of Mathematics in Singapore Schools. [Online]. Paper Presented at ICME – 10 Copenhagen, Denmark. 2004. Tersedia:home.sandiego.edu. [4 Maret 2009].

Ruseffendi, E. T. (1988), Pengantar kepada Membantu Guru dalam Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk

Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

., (1991), Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini, Tarsito, Bandung.

Sanjaya, Wina. (2005), Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

. (2006), Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan, Edisi 1, cetakan ke-6. Jakarta. Kencana Prenada Media

Group

Santoso, Singgih.(2010), Statistik multivariat, Jakarta, Elex Media Komputindo Shadiq, Fajar,(2004), Pemecahan Masalah,Penalaran dan Komunikasi. Makalah

disajikan dalam Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar di PPPG Matematika Yogyakarta.

Gambar

Tabel  1  Deskripsi  Data  Kemampuan  Pemecahan  Masalah  Matematik  Siswa  SMP Negeri 6 Lhokseumawe untuk Kedua Kelompok Pembelajaran
Tabel 3 Uji Homogenitas Univariat N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah  Matematik

Referensi

Dokumen terkait

4 nomor 2 Desember 2011 ini antara lain membicarakan tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa melalui pendekatan matematika realistik, Penerapan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan motivasi belajar siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis

Seperti halnya yang dikatakan Syaiful (2012) salah satu faktor penyebab kurangnya kemampuan pemecahan masalah siswa adalah faktor kebiasaan belajar, siswa hanya

Tujuan dari penelitian ini untuk menelaah: (1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR) dan

Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pendekatan PMK pada peringkat

Wardani (2009: 31) mendefinisikan kemampuan pemecahan masalah matematis dalam penelitiannya sebagai kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik mencakup

Untuk melatih kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), karena

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa yang diberi model Problem Centered Learning lebih