• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DESKRIPSI KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA AKHIR"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PADA REMAJA AKHIR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Odilia Elisetiawati

NIM : 099114014

PROGRAM STUDI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

DESKRIPSI KECEMASAN KOMUNIKASI

PADA REMAJA AKHIR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Odilia Elisetiawati

NIM : 099114014

PROGRAM STUDI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)
(4)
(5)

HALAMAN MOTTO

Jangan pernah takut untuk melakukan perubahan, lakukan perubahan

setiap hari jika tidak maka kita akan terjebak dalam zona nyaman

(Pasoroan Herman Harianja)

Hidup itu seperti kain, berawal dari seutas benang yang dirajut

menjadi sepotong kain yang indah.

(Surgaku Ibuku)

Untuk semua yang telah terjadi, TERIMA KASIH. Untuk semua yang

akan terjadi, BAIKLAH. All is Well.

(6)

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Tuhan Yang Maha Esa

Bapak Wastu dan mamah Cicih

Thomas dan Denny

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 Agustus 2014

Penulis,

(8)

DESKRIPSI KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA AKHIR

Odilia Elisetiawati

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir. Subjek penelitian merupakan remaja akhir yang duduk di bangku kelas X dan XI SMA yang berada dalam rentang usia 15 hingga 19 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert yang disebarkan kepada 119 siswa. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif melalui program SPSS 17,00 for Windows. Skala kecemasan komunikasi ini memiliki reliabilitas sebesar 0,902. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa secara umum tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir masuk dalam kategori cukup, yaitu sebanyak 77 siswa (64,7 %). Remaja yang masuk dalam kategori kecemasan komunikasi tinggi sebanyak 22 siswa (18,5 %), dan sisanya siswa yang masuk dalam kategori kecemasan komunikasi rendah sebanyak 20 siswa (16,8%). Aspek yang paling menggambarkan kecemasan komunikasi yaitu ketidaknyamanan internal, penghindaran komunikasi, penarikan diri, dan komunikasi berlebihan.

(9)

DESCRIPTION OF COMMUNICATION APPREHENSION IN ADOLESCENT

Odilia Elisetiawati

ABSTRACT

This study aimed to determined the level of communication apprehension in adolescent. Subject in this research was adolescent who study in Tenth and Eleventh grade of High School, with range ages of 15 until 19 years old. The data were collected by using Likert scale that was distributed to 119 students. The data were analyzed by using descriptive statistic method with SPSS 17,00 program for windows. Reliability of communication apprehension scale was 0,902. Based on the result of analysis, it was found that generally the scale of communication apprehension in adolescent was in adequate category, as many as 77 students (64.7%). There were 22 students (18,5%) that were categorized into high communication apprehension and 20 students (16,8%) students that were categorized into low communication apprehension. Aspect that described most communication apprehension was internal discomfort, communication avoidance, communication withdrawal, and overcommunication.

(10)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Odilia Elisetiawati

Nomor Mahasiswa : 099114014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

STUDI DESKRIPTIF KECEMASAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI PADA REMAJA AKHIR DI YOHYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 28 Agustus 2014

Yang menyatakan,

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

“Studi Deskriptif Kecemasan Komunikasi Interpersonal Pada Remaja Akhir di

Yogyakarta”.

Skripsi ini juga tidak lepas dari adanya dukungan dari orang-orang yang

telah membantu saya selama perjalanan studi penulis. Oleh karena itu, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si sebagai Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., M.Si. selaku dosen pembimbing yang

senantiasa menyediakan waktu untuk mendampingi dan membimbing saya

dalam menyusun skripsi ini.

3. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing akademik yang telah

membimbing saya selama masa studi.

4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang telah memberikan ilmunya sehingga saya dapat menambah wawasan

mengenai Psikologi.

5. Seluruh staf Fakultas Psikologi, khususnya Mas Gandung, Bu Nanik, Mas

Muji, Mas Doni, dan Pak Gie yang telah membantu dan memberikan

(12)

6. Seluruh staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, khusunya Pak

Sunu, Bu Etik, Pak Widi, Bu Mini, Bu Astuti, Pak Yanto, Pak Narto, Pak

Bardi, dan Mas Rahmadi yang telah memberikan kesempatan kepada saya

untuk berdinamika dan belajar bekerja.

7. SMA Budya Wacana dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta atas

partisipasinya sebagai peserta penelitian.

8. Bapak dan mamah yang telah memberikan semangat , doa, serta dukungan

baik secara moril maupun materiil.

9. Kedua adikku Thomas dan Denny yang selalu memberikan dukungan,

doa, dan motivasi.

10.Seluruh keluarga besar abah Warjo dan abah Sutarya atas dukungan,

motivasi, dan doanya.

11.Teman-teman Psyclassa 09 yang selalu membagikan ilmu dan ceritanya

selama kita kuliah. Terimakasih atas pengalaman yang selalu kalian

berikan. Tetap semangat dalam meraih cita-cita ya.

12.Teman-teman Mitra Perpustakaan Paingan USD atas kesempatannya.

Senang bisa bekerja sama dan bermain bersama kalian. Terimakasih atas

persaudaraan dan pertemanannya, kalian luar biasa.

13.Seluruh penghuni Kost Putri Griya Talenta yang selalu setia menemani,

berbagi cerita, dan keceriaan bersama.

14.Teman-teman Legio Maria Cimahi yang selalu mendukung dan

mendoakan saya. Terimakasih atas semua dukungannya, kalian harus tetap

(13)

15.Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat saya sebutkan satu per

satu. Terimakasih untuk semua dukungan dan doanya, semoga Tuhan

membalas kebaikan kalian.

Semoga rahmat dan berkat Allah selalu menyertai pihak-pihak yang telah

membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih

atas segalanya dan semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.

Yogyakarta, 28 Agustus 2014

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoretis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Kecemasan Komunikasi ... 8

1. Definisi Kecemasan ... 8

2. Definisi Komunikasi ... 9

3. Definisi Kecemasan Komunikasi ... 11

(15)

6. Penyebab Kecemasan Komunikasi ... 15

7. Dampak Kecemasan Komunikasi ... 17

B. Remaja Akhir ... 18

1. Perkembangan Fisik ... 19

2. Perkembangan Kognitif ... 19

3. Perkembangan Sosio-Emosional ... 21

C. Dinamika Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir ... 23

D. Skema Penelitian ... 26

E. Pertanyaan Penelitian ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 27

A. Jenis Penelitian ... 27

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27

C. Definisi Operasional... 27

D. Subjek Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel ... 28

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 29

F. Persiapan Penelitian ... 30

G. Kredibilitas Alat Pengumpulan Data ... 31

1. Validitas ... 31

2. Seleksi Aitem ... 31

3. Reliabilitas ... 33

H. Metode Analisi Data ... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 35

A. Pelaksanaan Penelitian ... 35

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 36

C. Hasil Penelitian ... 37

D. Pembahasan ... 40

E. Keterbatasan Penelitian ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Kesimpulan ... 46

(16)

2. Bagi Orang Tua dan Guru ... 47

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Blue Print Skala Kecemasan Komunikasi ... 30 Tabel 3.2. Pemberian Skor Pada Skala Kecemasan Komunikasi ... 30

Tabel 3.3. Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi

Pada Uji Coba ... 32

Tabel 4.1. Deskripsi Tempat Tinggal Subjek Penelitian... 36

Tabel 4.2. Deskripsi Organisasi Subjek Penelitian ... 36

Tabel 4.3. Deskripsi Lama Berkomunikasi dengan Orang Tua

Dalam Seminggu ... 37

Tabel 4.4. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoretik ... 38

Tabel 4.5. Kategorisasi Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir ... 38

Tabel 4.6. Mean Empirik Kecemasan Komunikasi

Pada Remaja Akhir ... 39

Tabel 4.7. Kategorisasi Aspek Kecemasan Komunikasi ... 39

(18)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Skema Penelitian Kecemasan Komunikasi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Angket Survei Awal ... 52

Lampiran II. Skala Try Out Kecemasan Komunikasi ... 54

Lampiran III. Reliabilitas Skala Try Out Kecemasan Komunikasi... 64

Lampiran IV. Skala Penelitian Kecemasan Komunikasi ... 68

(20)

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk menjalin sebuah interaksi. Melalui interaksi tersebut, setiap manusia akan terlibat dalam kegiatan saling berkomunikasi. Setiap harinya manusia terlibat komunikasi di segala tempat, seperti sekolah, pasar, rumah, kantor, bahkan di taman kota sekalipun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berlo pada tahun 1980 (dalam Wulandari, 2002), menunjukkan bahwa 70% waktu aktif masyarakat di Amerika digunakan untuk berkomunikasi. Di Indonesia sendiri sebanyak 89 % waktu aktif anak Indonesia digunakan untuk berkomunikasi (Razak, 2014). Melalui kegiatan komunikasi segala kebutuhan manusia, baik fisiologis maupun psikologis akan terpenuhi.

(21)

banyak pula pilihan untuk melakukan komunikasi sehari-hari. Dalam dunia pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Proses pembelajaran seperti ini dinamakan dengan pendekatan Student Centered Learnig, dimana setiap siswa dilatih agar memiliki keberanian untuk mengajukan pertanyaan atau menyatakan pendapat di depan kelas. (Overby, 2011).

Berdasarkan kurikulum 2013, tugas sekolah yang diberikan oleh guru bertujuan untuk mengasah pengetahuan dan kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah (kampus.okezone.com). Setelah itu, biasanya guru akan meminta siswanya untuk mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Hal tersebut juga menuntut kreatifitas siswa untuk memikirkan cara menyampaikan pesan yang menarik sehingga dapat diterima oleh pendengar. Selain itu, siswa juga diberikan kesempatan untuk berkonsultasi dengan guru ketika mengalami kesulitan dalam pelajaran atau sekedar ingin menceritakan permasalahan pribadi. Melalui kegiatan seperti ini, diharapkan kemampuan komunikasi siswa dapat terlatih.

(22)

tetapi, pada kenyataannya terdapat beberapa remaja yang mengalami kecemasan komunikasi. Walaupun ada remaja yang berani mengungkapkan pendapat ketika belajar mengajar, diskusi, seminar, atau dalam situasi informal. Tetapi ada juga remaja yang terlihat gemetar dan berkeringat ketika harus mempresentasikan karya tulisnya di depan kelas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Croskey, Hurt, Burgoon dan Ruffner (dalam Apollo, 2007), menunjukkan bahwa 10-20% remaja di Amerika Serikat menderita kecemasan komunikasi (communication apprehension) yang sangat tinggi, dan sekitar 20 % remaja lainnya mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi. Di Indonesia, penelitian mengenai kecemasan komunikasi pernah diteliti oleh Mariani yang menemukan 8 % mahasiswa Fakultas Psikologi dan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta mengalami kecemasan dalam berkomunikasi (dalam Wulandari, 2002). Kecemasan komunikasi merujuk pada rasa malu, keengganan berkomunikasi, ketakutan berbicara di depan umum, dan sikap pendiam dalam interaksi komunikasi. Remaja yang memiliki hambatan atau kecemasan dalam berkomunikasi biasanya terlihat gemetar, gugup, berkeringat, wajah memerah, dan denyut jantung berdebar kencang ketika mereka diminta untuk berkomunikasi. Sebaliknya, remaja yang tidak mengalami hambatan berkomunikasi biasanya merasa tenang ketika berkomunikasi baik menggunakan media komunikasi, maupun berbicara dengan tatap muka secara langsung.

(23)

Bila kecemasan yang terjadi tidak dapat diatasi oleh remaja bisa saja akan berdampak besar bagi remaja yang mengalami kecemasan komunikasi. Adapun dampak yang akan dialami seperti kesulitan menyampaikan pesan di kelas, menarik diri dari kegiatan komunikasi, berbicara lebih sedikit ketika berada dalam kelompok, dan memiliki kompetensi komunikasi yang lebih rendah (McCroskey, 1976). Hal ini sejalan dengan penelitian Devito (2001) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasannya maka akan menghambat komunikasi. Powell & Powell (2010), mengatakan bahwa dalam konteks pengajaran, penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kecemasan komunikasi akan merasa kesulitan untuk menyampaikan pesan dan mengikuti proses belajar mengajar ketika diminta untuk berkomunikasi di sekolah. Selain itu, siswa yang memiliki tingkat kecemasan tinggi biasanya memperoleh rata-rata nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat kecemasan komunikasi rendah.

(24)

untuk menghadapi kegiatan komunikasi dan bila terus meningkat dapat menimbulkan ketakutan yang berlebihan.

Saat remaja memasuki tahap perkembangan dewasa, banyak kegiatan yang menuntut mereka untuk melakukan kegiatan komunikasi. Misalnya saja ketika mereka duduk di bangku kuliah. Banyak tugas-tugas yang bentuknya karya tulis dan harus dipresentasikan di depan kelas. Presentasi tersebut biasanya dilihat oleh teman-teman sekelas dan juga dosen pengampu. Selain itu, juga ada tugas lapangan yang menuntut mereka untuk berinteraksi dengan warga sekitar atau orang yang ahli dalam bidangnya.

Berdasarkan literatur yang peneliti temukan, terdapat beberapa judul penelitian mengenai kecemasan komunikasi, diantaranya adalah hubungan antara konsep diri dengan kecemasan berkomunikasi secara lisan pada remaja (Apollo, 2007), tingkat kecemasan komunikasi mahasiswa dalam lingkup akademis (Lukmantoro, tanpa tahun), kecemasan berkomunikasi antar pribadi dalam tes wawancara kerja (Nasution, tanpa tahun), dan efektivitas modifikasi perilaku-kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi antar pribadi (Wulandari, 2002).

(25)

komunikasi juga terjadi karena remaja merasa grogi ketika melihat pandangan orang lain saat sedang berbicara dengan mereka. Hal lain yang membuat mereka merasa cemas ialah jarang berbicara di depan umum, takut melakukan kesalahan, takut tidak ada yang mendengarkan, dan grogi ketika harus berbicara di depan orang yang baru dikenal.

Berdasarkan survei tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kecemasan komunikasi. Hal yang membuat penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini karena kecemasan komunikasi yang terjadi pada remaja disebabkan oleh ketidaknyamanan internal yang dirasakan dan tidak terbiasa untuk berkomunikasi secara tatap muka (langsung). Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat tingkat kecemasan komunikasi yang dialami oleh remaja. Penelitian ini ditujukan kepada remaja akhir karena masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada tahap perkembangan ini, remaja diharapkan mengasah dan mengembangkan kemampuan komunikasinya. Permasalahan yang muncul adalah remaja saat ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk berkomunikasi menggunakan media komunikasi daripada bersosialisasi dengan teman sebayanya secara langsung sehingga membuat mereka tidak terbiasa untuk berkomunikasi secara tatap muka.

B. Rumusan Masalah

(26)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui tingkat kecemasan komunikasi yang dialami oleh remaja akhir.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu Psikologi Komunikasi, Psikologi Sosial, dan Psikologi Perkembangan Remaja. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kecemasan komunikasi yang dialami oleh remaja akhir.

2. Manfaat Praktis

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecemasan Komunikasi 1. Definisi Kecemasan

Kecemasan berasal dari kata cemas yang berarti bingung, gelisah,

khawatir, resah, risau, takut, tegang, dan was-was (Departemen Pendidikan

Nasional, 2009). Berdasarkan Kamus Psikologi kecemasan adalah kondisi

emosi yang buram dan tidak menyenangkan disertai ciri-ciri takut terhadap

sesuatu hal, menekan, dan tidak nyaman. (Reber, 2010). Menurut Daradjat

(1968) kecemasan adalah perwujudan dari berbagai proses emosi yang

bercampur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan

(frustrasi) dan pertentangan batin (konflik). Watson dan kawan-kawan

(dalam Leary, 1983) mendefinisikan kecemasan sosial sebagai sebuah

pengalaman merasakan kesukaran, ketidaknyamanan, ketakutan, cemas,

dan lain sebagainya di dalam keadaan sosial, dan dengan sengaja

menghindari situasi sosial dari orang lain.

Jadi, berdasarkan definisi tersebut kecemasan dapat diartikan

sebagai suatu proses emosi kebingungan, kegelisahan, ketakutan, dan

kekhawatiran yang terjadi ketika individu berada dalam kondisi yang

(28)

2. Definisi Komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu “communication” yang

berarti pergaulan, persatuan, peran serta, dan kerjasama. Dalam Kamus

Komunikasi, kata komunikasi (communication) merupakan proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang sebagai bentuk pikiran

dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, imbauan, dan

lain sebagainya, yang dilakukan seseorang kepada orang lain, baik secara

langsung (tatap muka) maupun secara tidak langsung (melalui media),

dengan tujuan mengubah sikap dan pandangan atau perilaku.

Menurut Supratiknya (1995), komunikasi dapat diartikan secara

luas dan secara sempit. Secara luas komunikasi adalah tingkah laku verbal

maupun nonverbal seseorang yang ditanggapi oleh orang lain. Secara

sempit komunikasi adalah pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu

atau lebih penerima untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima.

Dahana dan Bhatnagar (dalam Apollo, 2007) mendefinisikan komunikasi

sebagai proses interaksi sosial yang melibatkan dua atau lebih individu

yang berinteraksi, dan terjadi saling mempengaruhi ide, sikap,

pengetahuan, dan tingkah laku satu sama lain. Menurut Devito (2011) komunikasi merupakan tindakan yang dilakukan satu orang atau lebih untuk mengirim pesan yang terpengaruh oleh gangguan (noise) dan mengharapkan umpan balik.

Menurut Zeuschner (2003), komunikasi antar pribadi adalah

(29)

ahli teori komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi

(interpersonal) berdasarkan tiga pendekatan :

a. Definisi berdasarkan komponen (componential),

Komunikasi antarpribadi merupakan penyampaian pesan yang

dilakukan oleh satu orang dan pesan tersebut diterima oleh orang lain

atau sekelompok orang, dan mendapat umpan balik secepat mungkin.

b. Definisi berdasarkan hubungan diadik (relational dyadic),

Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi antara dua

orang yang memiliki hubungan yang jelas. Misalnya komunikasi

antara ayah dengan anak, pelanggan dengan pramuniaga, psikolog

dengan klien.

c. Definisi berdasarkan pengembangan (developmental),

Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai akhir perkembangan

komunikasi yang bersifat tidak pribadi (impersonal) menjadi

komunikasi yang pribadi (intim).

Jadi, berdasarkan definisi para tokoh tersebut komunikasi dapat

diartikan sebagai sebuah interaksi yang dilakukan antara dua orang atau

lebih yang bertujuan untuk mengirimkan pesan kepada orang lain sehingga

terjadi saling mempengaruhi ide, tingkah laku, pengetahuan, sikap, dan

(30)

3. Definisi Kecemasan Komunikasi

Kecemasan komunikasi (communication apprehension) menurut McCroskey (dalam Burgoon, 1982), adalah sebuah ketakutan atau

kecemasan ketika menghadapi situasi komunikasi baik secara langsung

maupun tidak langsung dengan satu orang maupun lebih. Burgoon dan

Michele (dalam Apollo, 2007) memberi istilah kecemasan komunikasi

dengan sebutan communication anxiety, yaitu kondisi seseorang yang merasa cemas ketika menghadapi situasi komunikasi, khususnya

komunikasi di depan umum. Hurt (dalam Apollo, 2007) menyebut

kecemasan komunikasi dengan istilah communication apprehension, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kecemasan ketika berkomunikasi, baik

di depan umum, diskusi kelompok dengan teman sebaya, ataupun

komunikasi yang bersifat formal dengan teman sebaya maupun guru.

Kecemasan komunikasi juga dapat diartikan sebagai sebuah

ketakutan atau kecemasan terkait dengan tindakan komunikasi yang

diselenggarakan oleh sejumlah besar individu. Orang yang memiliki

kecemasan komunikasi yang tinggi adalah orang yang merasa khawatir

ketika harus ikut berpartisipasi dalam situasi komunikasi tertentu. Mereka

akan menghindari komunikasi, bahkan seakan-akan mereka mengalami

berbagai macam kecemasan perasaan ketika dipaksa untuk berkomunikasi

(www.jamescmccroskey.com). Berdasarkan Kamus Komunikasi,

(31)

terhadap diri sendiri dan merasa tidak mampu yang dialami seseorang,

sehingga mengakibatkan menarik diri dari pergaulan.

Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa

kecemasan komunikasi adalah sebuah ketakutan, kegugupan,

kekhawatiran seseorang ketika berada dalam kondisi yang mengharuskan

individu berkomunikasi baik secara formal, langsung maupun tidak

langsung, dan dengan orang yang baru maupun telah lama dikenal.

4. Aspek-aspek Kecemasan Komunikasi

McCroskey dan McCroskey (dalam Powell & Powell, 2010)

mengidentifikasikan bahwa terdapat empat karakteristik dari kecemasan

berkomunikasi. Karakteristik tersebut ialah :

a. Ketidaknyamanan Internal (Internal Discomfort)

Individu yang memiliki kecemasan komunikasi mengalami

ketidaknyamanan komunikasi dan muncul perasaan negatif ketika

mereka dihadapkan pada situasi yang membutuhkan komunikasi.

Perasaan negatif yang muncul sering berkaitan dengan rasa takut.

b. Penghindaran Komunikasi (Communication Avoidance)

Individu yang memiliki kecemasan komunikasi akan memilih untuk

tidak terlibat dalam situasi komunikasi. Mereka sering mencoba untuk

menghindari situasi komunikasi seperti menjawab pertanyaan atau

memberikan laporan lisan karena bagi mereka hal tersebut sangat

(32)

c. Penarikan Diri (Communication Withdrawal)

Individu yang memiliki kecemasan komunikasi biasanya mencoba

untuk secara fisik atau psikologis menarik diri dari situasi komunikasi.

Ketika mereka ditanya oleh gurunya, mungkin mereka akan menjawab

“Saya tidak melakukannya”, atau mungkin akan menanggapi dengan

berkata “Saya tidak tahu”. Kedua hal ini biasanya dilakukan oleh siswa

untuk mundur dari keterlibatan komunikasi.

d. Komunikasi Berlebihan (Overcommunication)

Individu yang memiliki kecemasan komunikasi, dalam situasi tertentu,

akan mencoba berdamai dengan perasaan negatif mereka. Dalam

kecemasan yang dialami, individu akan berusaha untuk berpartisipasi

dalam komunikasi dengan cara berbicara lebih banyak. Dalam situasi

seperti ini, individu mungkin lebih mementingkan kuantitas daripada

kualitas.

5. Faktor Meningkatnya Kecemasan Komunikasi

McCroskey (dalam Burgoon, 1982) mengatakan bahwa

meningkatnya kecemasan komunikasi disebabkan oleh dua faktor, yaitu :

a. Traitlike CA muncul karena adanya pandangan bahwa kecemasan komunikasi berasal dari keturuan atau lingkungan (prose belajar dari

lingkungan).

(33)

status, conspicuousness, unfamiliarity, dan degree of attention from others.

1. The novelty situations, terjadi ketika individu secara tidak sengaja mengalami kecemasan komunikasi karena situasi tertentu.

Misalnya, individu yang tidak pernah mengikuti wawancara kerja.

Dalam wawancara perdananya individu akan merasa tidak yakin

dengan kemampuannya dan mengalami kebingungan bagaimana

seharusnya individu tersebut bertingkah laku.

2. Formal situations, cenderung berhubungan dengan menentukan perilaku yang tepat pada situasi tertentu. Kecemasan komunikasi

akan meningkat dalam situasi formal karena pada situasi ini terjadi

pembatasan perilaku yang dapat diterima.

3. Subordinate status, kecemasan komunikasi dapat meningkat ketika individu berada dalam posisi subordinat (biasanya antara atasan

dengan bawahan atau pemimpin dengan rakyat). Dalam situasi

tertentu perilaku akan dianggap layak atau tidak ditentukan oleh

orang yang memegang kekuasaan tinggi.

4. Conspicuousness, kecemasan komunikasi meningkat ketika individu merasa diperhatikan oleh lingkungan ketika sedang rapat

atau berbicara di depan kelas.

(34)

terasa lebih ketika ketika berkomunikasi dilakukan dengan orang

yang sudah dikenal.

6. Degree of attention from others, kecemasan komunikasi akan meningkat ketika mendapatkan respon atau perhatian yang

berlebihan atau bahkan sebaliknya, tidak diperhatikan dan tidak

didengarkan. Respon yang biasa-biasa saja dari orang lain

merupakan situasi yang paling nyaman.

6. Penyebab Kecemasan Komunikasi

Daly and Friedrich (dalam Powell & Powell, 2010) menyatakan

bahwa kecemasan komunikasi mungkin disebabkan oleh :

a. Genetics, kecemasan komunikasi berhubungan dengan faktor-faktor seperti penampilan fisik dan bentuk tubuh. Masing-masing dari

kecenderungan ini ditingkatkan atau dibatasi oleh faktor lingkungan.

Seorang remaja akan merasa takut atau cemas ketika harus

berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki perawakan tubuh

tinggi besar atau tampangnya menyeramkan. Kecemasan ini dapat

meningkat apabila di lingkungannya ada sosok guru yang ditakuti

karena penampilan fisiknya tinggi besar dan selalu memarahi murid.

Disisi lain, kecemasan komunikasi ini tidak akan berkembang apabila

sosok guru yang tinggi besar tersebut memiliki sifat yang disenangi

(35)

b. Skill acquisition, kecemasan komunikasi mungkin muncul melibatkan cara dimana keterampilan sosial itu diperoleh. Keterampilan seperti

penggunaan bahasa, kepekaan terhadap komunikasi nonverbal, dan keterampilan manajemen interaksi. Bagi siswa yang mengalami

kecemasan komunikasi mungkin kurang atau bahkan tidak memiliki

keterampilan sosial. Misalnya saja siswa dengan tipikal “kikuk” atau

“kutu buku”, mungkin mereka tidak memiliki keterampilan sosial

karena mereka tidak biasa melatih keterampilan sosial bersama orang

di sekitarnya. Selain itu, mereka tidak bisa atau akan kesulitan untuk

“masuk ke dalam aliran” interaksi sosial. Akibatnya, komunikasi

sangat tidak bermanfaat dan keterampilan baru tidak dikembangkan.

c. Modeling, kecemasan komunikasi dipengaruhi oleh proses belajar atau proses meniru dari orang lain. Apabila remaja berada di sekitar

individu yang takut atau cemas berkomunikasi, maka remaja akan

meniru perilaku tersebut. Hal ini akan meningkatkan kecemasan

komunikasi remaja ketika diminta untuk terlibat dalam perilaku

komunikasi yang tidak memiliki kerangka acuan. Misalnya ketika

remaja bertemu dengan orang yang baru dikenal dan belum memiliki

topik pembicaraan. Remaja akan merasa cemas atau takut untuk

berbicara karena tidak tahu apa yang harus dibicarakan.

d. Reinforcement, kecemasan komunikasi terjadi karena anak tidak menerima penguatan positif untuk komunikasi. Anak yang diberitahu

(36)

mengembangkan sikap negatif tentang komunikasi. Sebaliknya, anak

yang selalu diberikan kesempatan untuk berbicara oleh orang tuanya,

akan mengembangkan sikap positif tentang komunikasi.

7. Dampak Kecemasan Komunikasi

(37)

B. Remaja Akhir

Masa remaja akhir merupakan masa dimana remaja harus memperluas

pemahaman mereka mengenai sikap hidup orang lain, memperluas

pemahaman mengenai tingkat saling ketergantungan dalam hidup, dan cara

menangani berbagai permasalahan interpersonal. Selama periode ini,

pengalaman remaja semakin banyak terjadi pada tingkat berpikir sintaksis.

Selain itu, dalam tahapan ini juga remaja mulai memantapkan hubungan cinta

dengan satu pasangan. Menurut Santrock (2003), masa remaja akhir berada

pada rentang usia 15 hingga awal 20 tahun.

Remaja yang mengalami kecemasan dalam kehidupannya, mungkin

akan mengalami beberapa masalah dalam tahapan ini, seperti personifikasi

yang tidak tepat dan berbagai jenis keterbatasan hidup. Dalam hal ini,

keterbatasan hidup yang dialami remaja meliputi, pandangan tidak realistik

mengenai diri, pandangan mengenai orang lain yang stereotip, dan tingkah

laku yang menolak kecemasan yang merusak kebebasan seseorang.

Pencapaian terakhir dalam periode ini adalah self-respect, yang menjadi syarat untuk menghargai orang lain. Menurut Sullivan (dalam Alwisol, 2009), orang

yang bisa menghargai orang lain adalah orang yang bisa menghargai diri

sendiri.

Transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja hingga akhirnya

memasuki masa dewasa melibatkan terjadinya perubahan biologis (fisik),

kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Perubahan-perubahan yang

(38)

1. Perkembangan Fisik

Perubahan biologis yang terjadi ketika masa remaja dapat dilihat

dari bertambahnya berat dan tinggi badan, perubahan dalam proporsi dan

bentuk tubuh, perubahan hormonal, dan kematangan seksual. Ketika

memasuki masa remaja, secara umum remaja akan mengalami pubertas,

yaitu proses dimana seseorang mencapai kematangan seksual dan

kemampuan untuk bereproduksi (Papalia, 2008). Perubahan fisik yang

terjadi tumbuh payudara pada remaja putri dan testis pada remaja putra,

tumbuhnya rambut pubic, dan terjadi perubahan suara. Kematangan seksual yang terjadi pada remaja ditandai dengan menstruasi pertama

(menarche) pada remaja putri dan ejakulasi pertama (spermarche) pada remaja putra.

2. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget tahap perkembangan kognitif ketika masa remaja

berada pada tahap operasional formal. Tahap perkembangan ini muncul

ketika remaja berusia 11 hingga 15 tahun. Karakteristik yang muncul

dalam tahapan ini yaitu remaja bernalar secara lebih abstrak. Remaja tidak

lagi terbatas pada pemikiran-pemikiran yang konkret atau aktual. Mereka

mulai menciptakan situasi-situasi yang fantasi atau khayalan,

kemungkinan-kemungkinan hipotesis, mulai memikirkan yang sedang

mereka pikirkan, dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri.

Karakteristik yang kedua dalam tahapan operasional formal ini

(39)

Remaja mulai memikirkan ciri-ciri yang ideal bagi diri mereka sendiri dan

orang lain, serta mulai menentukan standar-standar ideal seseorang.

Standar ideal yang dibuat menjadikan remaja tidak sabar dan

dibingungkan oleh standar-standar ideal yang mereka buat. Selain berpikir

secara abstrak dan idealistis, remaja juga berpikir secara lebih logis.

Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan yang menyusun rencana,

memecahkan masalah-masalah baru, dan menguji pemecahan masalah

secara sistematis.

Pada tahap perkembangan remaja, pemikiran remaja bersifat

egosentris. Mereka mulai berpikir tentang kepribadian dan mulai

memantau dunia sosial dengan cara mereka. David Elkind (dalam

Santrock, 2002) meyakini bahwa egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) memiliki dua bagian, yaitu penonton khayalan (imaginary audience) dan dongeng pribadi (the personal fable). Penonton khayalan (imaginary audience) adalah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan mereka. Remaja merasa bahwa lingkungan

memperhatikan tingkahlaku, penampilan, sifat, dan perbuatan mereka.

Penonton khayalan disebabkan oleh kemampuan untuk berpikir secara

hipotesis dan kemampuan untuk melangkah keluar dari diri sendiri. Selain

itu, penonton khayalan juga muncul untuk mengantisipasi reaksi-reaksi

orang lain dalam keadaan-keadaan khayalan. Misalnya, seorang remaja

(40)

pesta. Remaja putri tersebut juga akan berpikir bahwa orang lain akan

melihat ke arahnya.

Dongeng pribadi (the personal fable) merupakan egosentrisme yang meliputi perasaan unik mereka. Perasaan unik yang dialami remaja

membuat mereka merasa tidak seorang pun merasakan apa yang remaja

alami. Biasanya perasaan-perasaan unik ini dapat kita temui dalam buku

catatan harian (diary) remaja. Dalam buku diary tersebut biasanya remaja mengarang suatu cerita tentang dirinya sendiri yang dipenuhi dengan

fantasi. Misalnya, seorang remaja yang baru mengalami patah hati, remaja

tersebut akan berpikir bahwa ibu mereka tidak dapat merasakan sakit

seperti yang mereka rasakan.

3. Perkembangan Sosio-Emosional

Menurut Erikson, masa remaja merupakan masa pencarian

identitas diri karena remaja berada dalam tahapan identitas vs kebingungan

identitas. Pencarian identitas dalam tahapan ini merupakan penentuan

konsep diri, tujuan, nilai, dan keyakinan yang dianut oleh remaja. Menurut

Erikson kebingungan identitas yang terjadi pada remaja akan

memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis. Teori mengenai

pencarian identitas menurut Erikson ini diperkuat oleh James Marcia yang

menemukan empat tipe status identitas; identity diffusion (penyebaran identitas), identity foreclosure (pencabutan identitas), identity moratorium

(41)

Dalam tahapan pencarian identitas ini remaja akan menuntut

otonomi diri yang ingin melepaskan diri dari genggaman orang tua.

Remaja ingin menuntut kebebasan agar dapat mengambil keputusan sesuai

dengan yang mereka inginkan. Akan tetapi, peran orang tua juga masih

sangat dibutuhkan ketika anak memasuki masa remaja. Attachment atau kelekatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu

kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja. Attachment yang kokoh dengan orang tua selama masa remaja dapat berlaku sebagai fungsi

adaptif, yang dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi

perasaan-perasaan depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan

transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2002).

Hubungan remaja dengan teman sebaya merupakan hubungan yang

sangat penting bagi remaja. Dalam masa ini, remaja akan lebih sering

beriteraksi dengan teman-teman sebayanya (peer-group). Tekanan teman sebaya dan konformitas dapat memberikan dampak positif maupun

negatif. Remaja akan mulai bergabung dengan klik maupun kelompok dan

mulai menaikkan harga diri mereka. Selain itu, popularitas di antara

teman-teman sebaya merupakan suatu motivasi yang kuat bagi

kebanyakan remaja.

Teman dekat memiliki pengaruh psikologis bagi perkembangan

remaja, walaupun tidak ada kriteria khusus untuk dapat dikatakan teman

dekat. Seorang remaja yang karakternya pendiam biasanya tidak memiliki

(42)

akan merasakan pertamanan yang hangat ketika melakukan aktivitas di

luar sekolah, seperti teman bermain di rumah. Remaja dengan karakter

terbuka juga tidak memiliki teman dekat secara khusus, karena semua

teman diperlakukan dengan cara yang sama. Akan tetapi, ada juga

beberapa remaja yang menganggap teman dekat mereka adalah teman

sebangkunya atau teman kecilnya yang memiliki fungsi untuk

mencurahkan perhatian dan permasalahan yang dirasakan.

C. Dinamika Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir

Kecemasan komunikasi (communication apprehension) merupakan kecemasan, hambatan, atau ketakutan berkomunikasi yang terjadi pada

seseorang ketika dihadapkan dalam situasi yang mengharuskan

berkomunikasi. Menurut McCroskey dan McCroskey (dalam Powell &

Powell, 2010), kecemasan komunikasi dapat diidentifikasi melalui empat

kerakteristik seperti, ketidaknyamanan internal (internal discomfort), penghindaran komunikasi (communication avoidance), penarikan diri (communication withdrawal), dan komunikasi berlebihan (overcommucation). Seseorang yang mengalami kecemasan komunikasi akan merasa cemas ketika

diminta untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Kecemasan komunikasi

ini bisa saja terjadi pada remaja apabila remaja tidak mengembangkan

kemampuan berkomunikasi. Remaja yang mampu mengembangkan

kemampuan komunikasi biasanya akan merasa tenang ketika menjalin

(43)

remaja tidak dapat mengembangkan kemampuan komunikasinya, maka

remaja tersebut akan mengalami hambatan atau kecemasan dalam

berkomunikasi.

Menurut Adler dan Rodman (dalam Apollo, 2007) kecemasan

berkomunikasi pada remaja terjadi karena beberapa faktor, seperti pernah

memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa lalu ketika

berkomunikasi. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut bisa saja

terjadi ketika masa kanak-kanak tidak diberikan penguatan (reinforcement) oleh orang tua saat anak sedang mengembangkan kemampuan

berkomunikasinya. Selain itu, pengalaman tidak menyenangkan juga bisa saja

terjadi ketika seorang remaja pernah dibentak atau dimarahi oleh seseorang

yang memiliki penampilan menakutkan, berbadan besar dan tidak ramah. Hal

tersebut membuat anak memilih untuk menjadi seorang yang pendiam dan

gagal dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi.

Kecemasan komunikasi juga dapat terjadi ketika remaja tidak dapat

mengembangkan keterampilan sosialnya. Misalnya keterampilan dalam

penggunaan bahasa dan kepekaan terhadap bahasa nonverbal. Selain itu, remaja yang berada dalam lingkungan orang-orang yang mengalami

kecemasan komunikasi, biasanya akan meniru perilaku tersebut. Misalnya,

seorang remaja memiliki ibu yang mengalami kecemasan komunikasi,

biasanya remaja akan meniru tingkahlaku ibunya ketika harus berbicara

(44)

akan merasa gugup, gemetar, dan berkeringat ketika harus menjalin sebuah

komunikasi dengan orang lain secara tatap muka.

Hal ini seharusnya dapat diatasi remaja karena pada tahap

perkembangan ini, remaja akan lebih sering berinteraksi dengan teman-teman

sebaya (peer-group). Dalam hal ini diharapkan remaja dapat melatih kemampuan komunikasi dengan teman sebaya agar tidak merasa cemas atau

takut ketika harus berhadapan dengan situasi komunikasi yang berbeda.

Teman sebaya menjadi penting bagi remaja karena mereka dapat bersosialisasi

secara langsung sehingga kepercayaan diri dan kemampuan komunikasi

remaja terlatih. Kurangnya waktu untuk bersosialisasi dapat memberikan

dampak negatif bagi perkembangan sosial dan kepribadian remaja.

Remaja yang memiliki pengalaman komunikasi sedikit dan waktu

bersosialisasi yang kurang, akan menyebabkan keterampilan komunikasi yang

dimiliki tidak berkembang. Apabila keterampilan komunikasi tidak

berkembang maka remaja tersebut mengalami kecemasan komunikasi yang

tinggi. Kecemasan komunikasi yang tinggi akan berdampak bagi remaja,

(45)

D. Skema Penelitian

Bagan 2.1 Skema Penelitian Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir

E. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kecemasan

komunikasi yang dialami remaja akhir? Remaja

Akhir

Pengalaman

Komunikasi

Waktu

Bersosialisasi

Keterampilan

Komunikasi

Kecemasan

Komunikasi Berbicara di Depan

Umum

(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran

mengenai objek penelitian melalui data sampel atau populasi (Sujarweni &

Endrayanto, 2012). Dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan

gambaran mengenai kecemasan komunikasi yang terjadi pada remaja akhir.

Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya satu variabel karena peneliti

hanya ingin melihat tingkat kecemasan komunikasi yang dialami remaja akhir.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan satu variabel, yaitu kecemasan komunikasi.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi yang digunakan untuk

menjelaskan suatu variabel secara spesifik, akurat dan dalam bentuk yang

dapat diukur (Mustafa, 2009). Definisi operasional kecemasan komunikasi

(communication apprehension) adalah ketakutan, kegugupan, dan kekhawatiran remaja akhir ketika menghadapi situasi yang mendesak untuk

berinteraksi dengan orang lain melalui sebuah komunikasi. Kecemasan

(47)

Skala kecemasan komunikasi ini dibuat berdasarkan karakteristik yang

diidentifikasi oleh McCroskey dan McCroskey (dalam Powell & Powell,

2010), yaitu :

a. Ketidaknyamanan Internal (Internal Discomfort)

b. Penghindaran Komunikasi (Communication Avoidance) c. Penarikan Diri (Communication Withdrawal)

d. Komunikasi Berlebihan (Overcommunication)

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, menunjukkan semakin

tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki remaja, sebaliknya semakin rendah

skor yang diperoleh subjek, menunjukkan semakin rendah tingkat kecemasan

yang dimiliki remaja.

D. Subjek Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas X dan XI sekolah

menengah akhir (SMA). Alasan dipilihnya siswa-siswi kelas X dan XI SMA

karena subjek dalam penelitian ini berada pada rentang usia 15 hingga 19

tahun. Rentang usia tersebut merupakan rentang usia remaja akhir yaitu 15

hingga 20 tahun (Santrock, 2003).

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

nonprobability sampling, dimana pengambilan sampel tidak secara acak sehingga setiap subjek tidak memiliki peluang yang sama untuk menjadi

(48)

berdasarkan ketersediaan dan keinginan subjek untuk merespon (Shaugnessy,

Zechmeister, & Zechmeister). Selain itu, convenience sampling ini digunakan untuk kemudahan akses dalam penelitian.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala

Likert. Peneliti memilih skala Likert karena skala ini digunakan untuk

mengukur sikap pengaruh atau penolakan, penilaian, suka atau tidak suka, dan

kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis (Sarwono, 2006).

Skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala mengenai kecemasan

komunikasi. Pernyataan sikap dalam skala ini dibagi menjadi dua macam yaitu

aitem favorable dan aitem unfavorable. Aitem favorable merupakan aitem yang mendukung variabel yang ingin diukur, sedangkan aitem unfavorable

merupakan aitem yang tidak mendukung atau bertolak belakang dengan

variabel yang ingin diukur.

Skala kecemasan komunikasi ini dibuat sendiri oleh peneliti sesuai

dengan indikator yang ada. Skala ini berisi dua pernyataan, yaitu favorable

dan unfavorable. Indikator dalam kecemasan komunikasi antara lain ketidaknyamanan internal, penghindaran komunikasi, penarikan diri, dan

komunikasi berlebihan. Alternatif jawaban terdiri dari empat pilihan jawaban

yaitu “sangat setuju” (SS), “setuju” (S), “tidak setuju” (TS), dan “sangat tidak

setuju” (STS). Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 52 aitem dengan rincian

(49)

Tabel 3.1

Blue Print Skala Kecemasan Komunikasi

No Aspek

Pemberian Skor Pada Skala Kecemasan Komunikasi

Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3

Sangat Tidak Setuju 1 4

F. Persiapan Penelitian

(50)

G. Kredibilitas Alat Pengumpulan Data

1. Validitas

Validitas adalah suatu pengukuran yang digunakan untuk

mengukur sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam

penelitian (Azwar, 1997). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini

adalah validitas isi yang diuji berdasarkan pendapat profesional

(professional judgment). Dalam penelitian ini pendapat profesional (professional judgment) dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi.

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem dilakukan untuk mendapatkan aitem-aitem yang baik

dan berfungsi secara benar. Seleksi aitem didasarkan pada daya

diskriminasi aitem yang akan menghasilkan koefisien korelasi aitem-total

(rix). Batasan yang digunakan untuk pemilihan aitem berdasar korelasi

aitem adalah rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi

minimal 0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem dengan

koefisien korelasional aitem total ≤ 0,30 dianggap gugur karena memiliki

daya diskriminasi yang rendah (Azwar, 1999).

Berdasarkan uji tahap aitem skala kecemasan komunikasi yang

diujikan kepada 44 responden mendapatkan hasil bahwa sebanyak 33

aitem dinyatakan lolos seleksi dari 52 aitem total awal. Aitem yang

(51)

aitem total (rix) ≥ 0,30. Berikut ini adalah distribusi aitem skala kecemasan

komunikasi pada uji coba :

Tabel 3.3

Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi Pada Uji Coba

Aspek yang dinyatakan gugur dalam seleksi.

Pada uji tahap skala kecemasan komunikasi dari 52 aitem yang

diujikan terdapat 19 aitem yang dinyatakan gugur dalam seleksi.

Aitem-aitem tersebut yaitu 4, 5, 6, 10, 12, 13, 14, 18, 19, 23, 27, 28, 29, 32, 33,

34, 41, 46, dan 51. Aitem-aitem tersebut gugur karena memiliki

koefisien korelasi aitem total ≤ 0,30 yang berarti bahwa pernyataan

(52)

3. Reliabilitas

Reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil

pengukuran dapat dipercaya (Azwar,1997). Koefisien reliabilitas berada

dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas

atau mendekati 1,00 berarti semakin reliabilitas. Pengujian reliabilitas

skala penelitian ini menggunakan metode koefisien Alpha Crobach yang dapat melihat korelasi aitem total dan akan diuji menggunakan SPSS 17,00 for Windows.

Berdasarkan perhitungan menggunakan SPSS 17,00 for Windows

diperoleh koefisien Alpha Crobach melalui seleksi aitem pada skala kecemasan komunikasi sebesar (r) = 0,902. Hasil koefisien reliabilitas

tersebut mendekati angka 1,00 yang menunjukkan bahwa skala kecemasan

komunikasi memiliki reliabilitas yang baik.

H. Metode Analisis Data

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan cara mengkategorisasikan

atau menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Luas

interval setiap aspek kategori diperoleh melalui perhitungan skor maksimum,

skor minimum, mean empirik, dan standard deviasi yang dihitung

menggunakan SPSS 17,00 for Windows. Setelah perhitungan skor diperoleh, peneliti menentukan norma kategorisasi ke dalam tiga kategori, yaitu:

x + 1 (SD) ≤ x kategori Tingi

(53)

x < x - 1 (SD) kategori Rendah

Berdasarkan kategorisasi tersebut, peneliti akan melihat banyaknya

siswa yang masuk dari setiap kategori kemudian menghitung persentasinya.

Besarnya persentasi tersebut akan di interpretasi sebagai keadaan tingkat

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada hari Jumat, 28 Maret 2014. Skala

disebarkan secara langsung kepada siswa-siswa kelas X dan XI SMA Pangudi

Luhur Yogyakarta dalam bentuk “booklet”. Penelitian dilakukan dalam satu

hari, dimulai pukul 07.00 WIB dan diakhiri pukul 12.00 WIB. Dalam

penelitian ini peneliti menyebarkan skala dengan cara masuk ke setiap kelas

dan mendampingi hingga selesai. Skala yang disebarkan berjumlah 119

eksemplar sesuai dengan jumlah siswa yang hadir pada saat itu.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 119 siswa. Subjek dalam

penelitian ini terdiri dari siswa kelas X dan XI SMA Pangudi Luhur

Yogyakarta yang berada pada rentang usia 15-18 tahun. Adapun tabel

(55)

Tabel 4.1

Deskripsi Tempat Tinggal Subjek Penelitian

Tempat Tinggal Jumlah Siswa Persentase

Rumah 109 siswa 91,6 %

Kos 10 siswa 8,4 %

Total 119 siswa 100 %

Tabel 4.2

Deskripsi Organisasi Subjek Penelitian

Organisasi Jumlah Siswa Persentase

OSIS 18 siswa 15,1 %

Seni dan Olah Raga 15 siswa 12,6 %

Kegiatan Gereja 15 siswa 12,6 %

Pramuka 10 siswa 8,4 %

Pecinta Alam 5 siswa 4,2 %

Karang Taruna 4 siswa 3,4 %

Jurnalistik 3 siswa 2,5 %

Tidak mengikuti organisasi 49 siswa 41,2 %

(56)

Tabel 4.3

Deskripsi Lama Berkomunikasi dengan Orang Tua Dalam Seminggu

Waktu (Jam) Jumlah Siswa Persentase

1-8 75 siswa 63 %

9-16 33 siswa 27,7 %

17-24 11 siswa 9,3 %

Total 119 siswa 100

C. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat tingkatan kecemasan

komunikasi yang dialami oleh remaja akhir. Cara untuk melihat tingkatan

tersebut adalah dengan mencari luas interval dari setiap kategori yang akan

digunakan. Sebelum mencari luas interval dari setiap kategori, dapat diketahui

bahwa mean empirik (72,4) yang diperoleh lebih rendah dari mean teoretik

(82,5). Hal ini menunjukkan bahwwa tingkat kecemasan komunikasi pada

remaja tergolong rendah. Berdasarkan analisis data menggunakan uji statistik

one sample t-test tersebut diperoleh hasil, bahwa nilai t hitung sebesar 82,492 dan nilai signifikansinya (p) sebesar 0,000 (p>0,05). Hal ini menunjukkan

bahwa tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir secara signifikan

rendah. Table 4.4 dibawah ini merupakan table hasil penghitungan

(57)

Tabel 4.4

Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoretik

N Xmin Xmax Mean SD

Skor Empirik 119 47 92 72,4 9,6

Skor Teoretik 119 33 132 82,5 16,5

Hasil tersebut digunakan untuk menentukan norma kategorisasi yang peneliti

bagi menjadi 3 kategori, yaitu:

Tabel 4.5

Kategorisasi Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir

Kategori Jumlah Siswa Persentase

Tinggi 22 siswa 18,5 %

Cukup 77 siswa 64,7 %

Rendah 20 siswa 16,8 %

Total 119 siswa 100 %

Analisis data juga dilakukan untuk melihat luas interval kategorisasi

dari setiap aspek yang ada. Berdasarkan analisis data tersebut diperoleh hasil

(58)

Tabel 4.6

Mean Empirik Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir

Aspek Xmin Xmax Mean SD

Ketidaknyamanan Internal 7 22 16,2 3,3

Penghindaran Komunikasi 10 32 19,6 3,4

Penarikan Diri 9 24 18,1 3,3

Komunikasi Berlebihan 10 24 18,5 2,6

Berdasarkan hasil analisis tersebut, peneliti juga mengkategorisasikan

setiap aspek berdasarkan norma kategorisasi. Hal ini dilakukan untuk melihat

kategori dari setiap aspek yang ada. Peneliti membagi kategori berdasarkan 3

bagian, yaitu :

Tabel 4.7

Kategorisasi Aspek Kecemasan Komunikasi

Aspek

Kategori (%)

Rendah Cukup Tinggi

Ketidaknyamanan Internal 20,2 % 65,5 % 14,3 %

Penghindaran Komunikasi 16 % 64,7 % 19,3 %

Penarikan Diri 18,5 % 58,8 % 22,7 %

(59)

D. Pembahasan

Mean yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu, mean teoretik

sebesar 82,5 dan mean empirik sebesar 71,4. Berdasarkan hasil tersebut dapat

dilihat bahwa mean empirik yang diperoleh lebih rendah dari mean teoretik.

Hal ini menunjukkan bahwa kecemasan komunikasi yang dialami remaja akhir

berada pada tingkat yang rendah. Berdasarkan tingkat yang rendah tersebut

dapat diketahui bahwa siswa yang masuk ke dalam kategori kecemasan

komunikasi tinggi sebanyak 18,5 %. Siswa yang masuk ke dalam kategori

cukup sebanyak 64,7 %, dan siswa yang masuk ke dalam kategori rendah

sebanyak 16,8 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang

berada dalam tahap remaja akhir memiliki tingkat kecemasan komunikasi

yang cukup.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa banyaknya siswa

yang masuk dalam kategori kecemasan komunikasi tinggi sebanyak 22 siswa

(18,5 %). Hasil ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan

bahwa sebanyak 10-20 % remaja di Amerika mengalami kecemasan

komunikasi yang sangat tinggi, dan sebanyak 20 % remaja lainnya mengalami

kecemasan komunikasi yang cukup tinggi (Apollo, 2007).

Banyaknya siswa yang berada pada kategori cukup karena mereka

sudah dapat mengembangkan kemampuan komunikasi mereka. Hal ini dapat

dilihat dari 119 siswa terdapat 70 siswa yang mengikuti kegiatan organisasi

baik dari sekolah maupun dari luar sekolah. Kegiatan organisasi yang diikuti

(60)

komunikasi remaja. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa

siswa-siswi tersebut dapat mengatasi tingkat kecemasan komunikasinya karena

mereka sudah terbiasa untuk berkomunikasi dengan teman-teman dalam

organisasi. Dalam perkembangan sosio-emosional (Santrock, 2007), selama

tahap perkembangan ini remaja akan lebih sering berinteraksi dengan teman

sebayanya. Popularitas di antara teman sebaya merupakan suatu motivasi yang

kuat bagi kebanyakan remaja.

Hal lain yang dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi adalah

pemikiran remaja yang bersifat egosentris. Bagian dari pemikiran egosentris

yang mempengaruhi ialah penonton khayalan (imaginary audience). Dalam tahap perkembangan remaja biasanya mereka mulai senang untuk tampil di

depan umum dan senang diperhatikan oleh orang lain. Remaja yang

mengalami kecemasan komunikasi akan merasa diperhatikan secara

berlebihan. Perasaan diperhatikan berlebihan tersebut membuat penilaian

mereka terhadap diri sendiri menjadi buruk. Kecemasan komunikasi yang

masuk dalam kategori cukup (64,7 %) ini karena remaja memiliki pemikiran

atau keyakinan bahwa orang lain yang memperhatikan mereka merasa senang

dengan penampilan mereka, sehingga remaja memiliki pandangan terhadap

diri sendiri yang cukup baik.

Keluarga merupakan salah satu faktor yang membentuk karakter

remaja. Keluarga juga merupakan pusat atau dasar remaja memiliki watak

(61)

hal yang lebih bersifat psikologis yang berkaitan dengan kebiasaan dalam

berkomunikasi. Remaja yang tinggal bersama orang tuanya memiliki

kelekatan (attachment) atau merasa nyaman, sehingga memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Attachment yang kokoh dengan orang tua dapat menopang remaja dari kecemasan dan potensi perasaan

depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa

anak-anak ke masa dewasa (Santrock, 2003).

Berdasarkan hasil pemaparan setiap aspek kecemasan komunikasi

dapat dilihat bahwa siswa yang mengalami ketidaknyamanan internal tinggi

sebanyak 14,3 %. Sebanyak 65,5 % siswa cukup mengalami ketidaknyamanan

internal, dan sisanya sebanyak 20,2 % siswa yang sedikit mengalami

ketidaknyamanan internal. Dalam aspek ini siswa akan merasa gelisah,

gemetar, tidak tenang, dan tegang ketika berada pada situasi komunikasi.

Aspek kedua yaitu penghindaran komunikasi, dimana siswa akan

menghindari atau memilih tidak mau bergabung ketika ada situasi komunikasi.

Sebanyak 19,3 % siswa berada pada tingkat penghindaran komunikasi yang

tinggi. Selain itu, sebanyak 64,7 % siswa cukup menghindari komunikasi, dan

16 % siswa tidak terlalu menghindari komunikasi atau berada pada kategori

rendah.

Aspek ketiga yaitu penarikan diri, dimana siswa akan menarik diri dari

situasi komunikasi. Mereka akan memilih diam atau mengatakan tidak tahu

ketika berada dalam situasi komunikasi. Dari aspek ini dapat dilihat bahwa

(62)

tinggi. Siswa yang penarikan dirinya masuk dalam kategori cukup sebanyak

58,8 %. Sisanya sebanyak 18,5 % siswa berada pada kategori rendah.

Aspek yang keempat adalah komunikasi berlebihan. Hal ini terjadi

ketika siswa mencoba berdamai dengan perasaan negatif mereka dan berusaha

untuk berpartisipasi dalam komunikasi. Akan tetapi, partisipasi yang

dilakukan dengan cara berbicara lebih banyak tetapi tidak fokus pada tujuan

pembicaraan. Dari hasil pemaparan aspek komunikasi berlebihan dapat dilihat

bahwa siswa yang berada pada kategori tinggi sebanyak 21,8 %. Siswa yang

berada pada kategori cukup sebanyak 55,5 %, dan sisanya sebanyak 22,7 %

pada kategori rendah.

Dalam penelitian ini, dapat dilihat aspek yang paling menggambarkan

tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir adalah aspek ketidaknyaman

internal, yaitu sebesar 65,5 %. Aspek ketidaknyaman internal ini merupakan

salah satu aspek yang sering dirasakan oleh remaja ketika akan melakukan

kegiatan komunikasi dalam situasi tertentu. Dalam penelitian ini siswa yang

masuk dalam kategori dapat mengatasi ketidaknyamanan internal, sehingga

mereka tidak mengalami kecemasan komunikasi yang berlebihan.

Aspek berikutnya yaitu penghindaran komunikasi sebesar 64,7 % dan

aspek penarikan diri sebesar 58,8 %. Kedua aspek ini merupakan aspek yang

juga sering dilakukan oleh remaja ketika berada dalam situasi komunikasi

tertentu. Remaja yang mengalami kecemasan komunikasi biasanya akan

menghindari komunikasi dengan cara tidak ikut berpartisipasi dalam

(63)

dari pembicaraan apabila mereka terpaksa berada dalam situasi komunikasi.

Siswa yang berada dalam kategori cukup ini menunjukkan bahwa mereka

mampu menghadapi situasi komunikasi.

Pada aspek terakhir, yaitu komunikasi berlebihan sebesar 55,5 %.

Dalam aspek ini remaja sudah terlanjur masuk ke dalam situasi komunikasi

dan berusaha mengatasi kecemasan komunikasi dengan cara berbicara lebih

banyak. Siswa yang masuk dalam kategori cukup ini menunjukkan bahwa

ketika mereka berkomunikasi, mereka dapat berbicara dalam porsi yang pas

dan tidak berlebihan.

Kecemasan komunikasi dapat terjadi ketika remaja tidak memiliki

kemampuan adaptasi yang baik. Apabila remaja memiliki kemampuan

adaptasi yang baik, maka remaja tersebut akan dapat mengatasi kecemasan

komunikasinya. Akan tetapi, bila kemampuan adaptasinya buruk, maka akan

muncul kecemasan komunikasi yang diikuti ketakutan yang berlebihan. Hal

ini sejalan dengan pendapat Buss (dalam Burgoon, 1982) yang mengatakan

bahwa kecemasan komunikasi dapat meningkat ketika remaja tidak mengenal

lingkungan sekitarnya (unfamiliarity). Remaja yang belum mengenal lingkungannya akan kesulitan untuk beradaptasi. Remaja akan merasa aman

apabila sudah mengenal lingkungan komunikasinya sehingga mereka akan

(64)

E. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak membedakan remaja

yang tinggal di kota dan di desa. Penelitian ini tentu akan lebih baik apabila

membedakan tingkat kecemasan komunikasi remaja yang tinggal di desa dan

(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 119 siswa yang

menjadi partisipan terdapat 22 siswa (18,5 %) masuk dalam kategori tinggi, 77

siswa (64,7 %) masuk dalam kategori cukup, dan 20 siswa (16,8 %) masuk

dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan

komunikasi remaja akhir berada pada tingkat cukup atau sedang. Aspek yang

paling menggambarkan kecemasan komunikasi yaitu ketidaknyamanan

internal, penghindaran komunikasi, penarikan diri sebesar, dan komunikasi

berlebihan.

B. Saran

1. Bagi Remaja Akhir

Dari penelitian ini diharapkan remaja akhir dapat memperhatikan

kecemasan komunikasi yang sering dialami. Bagi remaja yang masuk

dalam kategori tinggi diharapkan untuk terus melatih kemampuan

komunikasinya agar kecemasan komunikasi yang dialami tidak

berkembang menjadi sebuah ketakutan yang berlebihan. Selain itu, bagi

remaja yang masuk dalam kategori cukup dan rendah diharapkan untuk

(66)

2. Bagi Orang Tua dan Guru

Dari penelitian ini diharapkan orang tua dan guru memperhatikan

perkembangan kemampuan komunikasi remaja. Orang tua dan guru dapat

menyarankan dan mendukung remaja yang memiliki tingkat kecemasan

komunikasi tinggi untuk aktif dalam kegiatan sosial agar kemampuan

komunikasi remaja dapat terasah.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti mengenai kecemasan

komunikasi, diharapkan untuk memperhatikan variabel-variabel lainnya

yang dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi. Selain itu juga, peneliti

selanjutnya diharapkan memiliki sumber referensi yang lebih banyak agar

Gambar

Tabel 3.2 Pemberian Skor Pada Skala Kecemasan Komunikasi
Tabel 3.3 Distribusi Aitem  Skala Kecemasan Komunikasi Pada Uji Coba
Tabel 4.2 Deskripsi Organisasi Subjek Penelitian
Tabel 4.3
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya, semakin rendah penerimaan diri pada remaja penyandang tuna rungu, maka semakin tinggi kecemasan berinteraksi

Masalah Kecemasan Belajar yang dialami di sekolah dapat membuat siswa merasa tidak percaya diri sehingga mengalami kesulitan dan hambatan yang berakibat pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa, dan mengetahui apakah ada perbedaan

Adanya hubungan yang negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal dapat dijelaskan bahwa kepercayaan diri merupakan faktor penting yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa, dan mengetahui apakah ada perbedaan

Dan dengan ridho- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Kenakalan Remaja Ditinjau dari Kontrol Diri Dan Komunikasi Interpersonal Pada Remaja” untuk

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara body image dengan kecemasan sosial pada remaja akhir di Surabaya.. Kata

Analisis penggunaan Media Sosial terhadap tingkat kecemasan pada remaja 1 ANALISIS PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA Diana Ratna Puspita Bimbingan