PADA REMAJA AKHIR
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Odilia Elisetiawati
NIM : 099114014
PROGRAM STUDI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
DESKRIPSI KECEMASAN KOMUNIKASI
PADA REMAJA AKHIR
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Odilia Elisetiawati
NIM : 099114014
PROGRAM STUDI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
HALAMAN MOTTO
Jangan pernah takut untuk melakukan perubahan, lakukan perubahan
setiap hari jika tidak maka kita akan terjebak dalam zona nyaman
(Pasoroan Herman Harianja)
Hidup itu seperti kain, berawal dari seutas benang yang dirajut
menjadi sepotong kain yang indah.
(Surgaku Ibuku)
Untuk semua yang telah terjadi, TERIMA KASIH. Untuk semua yang
akan terjadi, BAIKLAH. All is Well.
Skripsi ini kupersembahkan untuk
Tuhan Yang Maha Esa
Bapak Wastu dan mamah Cicih
Thomas dan Denny
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Agustus 2014
Penulis,
DESKRIPSI KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA AKHIR
Odilia Elisetiawati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir. Subjek penelitian merupakan remaja akhir yang duduk di bangku kelas X dan XI SMA yang berada dalam rentang usia 15 hingga 19 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert yang disebarkan kepada 119 siswa. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif melalui program SPSS 17,00 for Windows. Skala kecemasan komunikasi ini memiliki reliabilitas sebesar 0,902. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa secara umum tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir masuk dalam kategori cukup, yaitu sebanyak 77 siswa (64,7 %). Remaja yang masuk dalam kategori kecemasan komunikasi tinggi sebanyak 22 siswa (18,5 %), dan sisanya siswa yang masuk dalam kategori kecemasan komunikasi rendah sebanyak 20 siswa (16,8%). Aspek yang paling menggambarkan kecemasan komunikasi yaitu ketidaknyamanan internal, penghindaran komunikasi, penarikan diri, dan komunikasi berlebihan.
DESCRIPTION OF COMMUNICATION APPREHENSION IN ADOLESCENT
Odilia Elisetiawati
ABSTRACT
This study aimed to determined the level of communication apprehension in adolescent. Subject in this research was adolescent who study in Tenth and Eleventh grade of High School, with range ages of 15 until 19 years old. The data were collected by using Likert scale that was distributed to 119 students. The data were analyzed by using descriptive statistic method with SPSS 17,00 program for windows. Reliability of communication apprehension scale was 0,902. Based on the result of analysis, it was found that generally the scale of communication apprehension in adolescent was in adequate category, as many as 77 students (64.7%). There were 22 students (18,5%) that were categorized into high communication apprehension and 20 students (16,8%) students that were categorized into low communication apprehension. Aspect that described most communication apprehension was internal discomfort, communication avoidance, communication withdrawal, and overcommunication.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Odilia Elisetiawati
Nomor Mahasiswa : 099114014
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
STUDI DESKRIPTIF KECEMASAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI PADA REMAJA AKHIR DI YOHYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 28 Agustus 2014
Yang menyatakan,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Studi Deskriptif Kecemasan Komunikasi Interpersonal Pada Remaja Akhir di
Yogyakarta”.
Skripsi ini juga tidak lepas dari adanya dukungan dari orang-orang yang
telah membantu saya selama perjalanan studi penulis. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si sebagai Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., M.Si. selaku dosen pembimbing yang
senantiasa menyediakan waktu untuk mendampingi dan membimbing saya
dalam menyusun skripsi ini.
3. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing saya selama masa studi.
4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma
yang telah memberikan ilmunya sehingga saya dapat menambah wawasan
mengenai Psikologi.
5. Seluruh staf Fakultas Psikologi, khususnya Mas Gandung, Bu Nanik, Mas
Muji, Mas Doni, dan Pak Gie yang telah membantu dan memberikan
6. Seluruh staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, khusunya Pak
Sunu, Bu Etik, Pak Widi, Bu Mini, Bu Astuti, Pak Yanto, Pak Narto, Pak
Bardi, dan Mas Rahmadi yang telah memberikan kesempatan kepada saya
untuk berdinamika dan belajar bekerja.
7. SMA Budya Wacana dan SMA Pangudi Luhur Yogyakarta atas
partisipasinya sebagai peserta penelitian.
8. Bapak dan mamah yang telah memberikan semangat , doa, serta dukungan
baik secara moril maupun materiil.
9. Kedua adikku Thomas dan Denny yang selalu memberikan dukungan,
doa, dan motivasi.
10.Seluruh keluarga besar abah Warjo dan abah Sutarya atas dukungan,
motivasi, dan doanya.
11.Teman-teman Psyclassa 09 yang selalu membagikan ilmu dan ceritanya
selama kita kuliah. Terimakasih atas pengalaman yang selalu kalian
berikan. Tetap semangat dalam meraih cita-cita ya.
12.Teman-teman Mitra Perpustakaan Paingan USD atas kesempatannya.
Senang bisa bekerja sama dan bermain bersama kalian. Terimakasih atas
persaudaraan dan pertemanannya, kalian luar biasa.
13.Seluruh penghuni Kost Putri Griya Talenta yang selalu setia menemani,
berbagi cerita, dan keceriaan bersama.
14.Teman-teman Legio Maria Cimahi yang selalu mendukung dan
mendoakan saya. Terimakasih atas semua dukungannya, kalian harus tetap
15.Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat saya sebutkan satu per
satu. Terimakasih untuk semua dukungan dan doanya, semoga Tuhan
membalas kebaikan kalian.
Semoga rahmat dan berkat Allah selalu menyertai pihak-pihak yang telah
membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih
atas segalanya dan semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.
Yogyakarta, 28 Agustus 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoretis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
BAB II LANDASAN TEORI ... 8
A. Kecemasan Komunikasi ... 8
1. Definisi Kecemasan ... 8
2. Definisi Komunikasi ... 9
3. Definisi Kecemasan Komunikasi ... 11
6. Penyebab Kecemasan Komunikasi ... 15
7. Dampak Kecemasan Komunikasi ... 17
B. Remaja Akhir ... 18
1. Perkembangan Fisik ... 19
2. Perkembangan Kognitif ... 19
3. Perkembangan Sosio-Emosional ... 21
C. Dinamika Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir ... 23
D. Skema Penelitian ... 26
E. Pertanyaan Penelitian ... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 27
A. Jenis Penelitian ... 27
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27
C. Definisi Operasional... 27
D. Subjek Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel ... 28
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 29
F. Persiapan Penelitian ... 30
G. Kredibilitas Alat Pengumpulan Data ... 31
1. Validitas ... 31
2. Seleksi Aitem ... 31
3. Reliabilitas ... 33
H. Metode Analisi Data ... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 35
A. Pelaksanaan Penelitian ... 35
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 36
C. Hasil Penelitian ... 37
D. Pembahasan ... 40
E. Keterbatasan Penelitian ... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46
A. Kesimpulan ... 46
2. Bagi Orang Tua dan Guru ... 47
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blue Print Skala Kecemasan Komunikasi ... 30 Tabel 3.2. Pemberian Skor Pada Skala Kecemasan Komunikasi ... 30
Tabel 3.3. Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi
Pada Uji Coba ... 32
Tabel 4.1. Deskripsi Tempat Tinggal Subjek Penelitian... 36
Tabel 4.2. Deskripsi Organisasi Subjek Penelitian ... 36
Tabel 4.3. Deskripsi Lama Berkomunikasi dengan Orang Tua
Dalam Seminggu ... 37
Tabel 4.4. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoretik ... 38
Tabel 4.5. Kategorisasi Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir ... 38
Tabel 4.6. Mean Empirik Kecemasan Komunikasi
Pada Remaja Akhir ... 39
Tabel 4.7. Kategorisasi Aspek Kecemasan Komunikasi ... 39
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1. Skema Penelitian Kecemasan Komunikasi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Angket Survei Awal ... 52
Lampiran II. Skala Try Out Kecemasan Komunikasi ... 54
Lampiran III. Reliabilitas Skala Try Out Kecemasan Komunikasi... 64
Lampiran IV. Skala Penelitian Kecemasan Komunikasi ... 68
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk menjalin sebuah interaksi. Melalui interaksi tersebut, setiap manusia akan terlibat dalam kegiatan saling berkomunikasi. Setiap harinya manusia terlibat komunikasi di segala tempat, seperti sekolah, pasar, rumah, kantor, bahkan di taman kota sekalipun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berlo pada tahun 1980 (dalam Wulandari, 2002), menunjukkan bahwa 70% waktu aktif masyarakat di Amerika digunakan untuk berkomunikasi. Di Indonesia sendiri sebanyak 89 % waktu aktif anak Indonesia digunakan untuk berkomunikasi (Razak, 2014). Melalui kegiatan komunikasi segala kebutuhan manusia, baik fisiologis maupun psikologis akan terpenuhi.
banyak pula pilihan untuk melakukan komunikasi sehari-hari. Dalam dunia pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Proses pembelajaran seperti ini dinamakan dengan pendekatan Student Centered Learnig, dimana setiap siswa dilatih agar memiliki keberanian untuk mengajukan pertanyaan atau menyatakan pendapat di depan kelas. (Overby, 2011).
Berdasarkan kurikulum 2013, tugas sekolah yang diberikan oleh guru bertujuan untuk mengasah pengetahuan dan kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah (kampus.okezone.com). Setelah itu, biasanya guru akan meminta siswanya untuk mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Hal tersebut juga menuntut kreatifitas siswa untuk memikirkan cara menyampaikan pesan yang menarik sehingga dapat diterima oleh pendengar. Selain itu, siswa juga diberikan kesempatan untuk berkonsultasi dengan guru ketika mengalami kesulitan dalam pelajaran atau sekedar ingin menceritakan permasalahan pribadi. Melalui kegiatan seperti ini, diharapkan kemampuan komunikasi siswa dapat terlatih.
tetapi, pada kenyataannya terdapat beberapa remaja yang mengalami kecemasan komunikasi. Walaupun ada remaja yang berani mengungkapkan pendapat ketika belajar mengajar, diskusi, seminar, atau dalam situasi informal. Tetapi ada juga remaja yang terlihat gemetar dan berkeringat ketika harus mempresentasikan karya tulisnya di depan kelas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Croskey, Hurt, Burgoon dan Ruffner (dalam Apollo, 2007), menunjukkan bahwa 10-20% remaja di Amerika Serikat menderita kecemasan komunikasi (communication apprehension) yang sangat tinggi, dan sekitar 20 % remaja lainnya mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi. Di Indonesia, penelitian mengenai kecemasan komunikasi pernah diteliti oleh Mariani yang menemukan 8 % mahasiswa Fakultas Psikologi dan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta mengalami kecemasan dalam berkomunikasi (dalam Wulandari, 2002). Kecemasan komunikasi merujuk pada rasa malu, keengganan berkomunikasi, ketakutan berbicara di depan umum, dan sikap pendiam dalam interaksi komunikasi. Remaja yang memiliki hambatan atau kecemasan dalam berkomunikasi biasanya terlihat gemetar, gugup, berkeringat, wajah memerah, dan denyut jantung berdebar kencang ketika mereka diminta untuk berkomunikasi. Sebaliknya, remaja yang tidak mengalami hambatan berkomunikasi biasanya merasa tenang ketika berkomunikasi baik menggunakan media komunikasi, maupun berbicara dengan tatap muka secara langsung.
Bila kecemasan yang terjadi tidak dapat diatasi oleh remaja bisa saja akan berdampak besar bagi remaja yang mengalami kecemasan komunikasi. Adapun dampak yang akan dialami seperti kesulitan menyampaikan pesan di kelas, menarik diri dari kegiatan komunikasi, berbicara lebih sedikit ketika berada dalam kelompok, dan memiliki kompetensi komunikasi yang lebih rendah (McCroskey, 1976). Hal ini sejalan dengan penelitian Devito (2001) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasannya maka akan menghambat komunikasi. Powell & Powell (2010), mengatakan bahwa dalam konteks pengajaran, penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kecemasan komunikasi akan merasa kesulitan untuk menyampaikan pesan dan mengikuti proses belajar mengajar ketika diminta untuk berkomunikasi di sekolah. Selain itu, siswa yang memiliki tingkat kecemasan tinggi biasanya memperoleh rata-rata nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat kecemasan komunikasi rendah.
untuk menghadapi kegiatan komunikasi dan bila terus meningkat dapat menimbulkan ketakutan yang berlebihan.
Saat remaja memasuki tahap perkembangan dewasa, banyak kegiatan yang menuntut mereka untuk melakukan kegiatan komunikasi. Misalnya saja ketika mereka duduk di bangku kuliah. Banyak tugas-tugas yang bentuknya karya tulis dan harus dipresentasikan di depan kelas. Presentasi tersebut biasanya dilihat oleh teman-teman sekelas dan juga dosen pengampu. Selain itu, juga ada tugas lapangan yang menuntut mereka untuk berinteraksi dengan warga sekitar atau orang yang ahli dalam bidangnya.
Berdasarkan literatur yang peneliti temukan, terdapat beberapa judul penelitian mengenai kecemasan komunikasi, diantaranya adalah hubungan antara konsep diri dengan kecemasan berkomunikasi secara lisan pada remaja (Apollo, 2007), tingkat kecemasan komunikasi mahasiswa dalam lingkup akademis (Lukmantoro, tanpa tahun), kecemasan berkomunikasi antar pribadi dalam tes wawancara kerja (Nasution, tanpa tahun), dan efektivitas modifikasi perilaku-kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi antar pribadi (Wulandari, 2002).
komunikasi juga terjadi karena remaja merasa grogi ketika melihat pandangan orang lain saat sedang berbicara dengan mereka. Hal lain yang membuat mereka merasa cemas ialah jarang berbicara di depan umum, takut melakukan kesalahan, takut tidak ada yang mendengarkan, dan grogi ketika harus berbicara di depan orang yang baru dikenal.
Berdasarkan survei tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kecemasan komunikasi. Hal yang membuat penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini karena kecemasan komunikasi yang terjadi pada remaja disebabkan oleh ketidaknyamanan internal yang dirasakan dan tidak terbiasa untuk berkomunikasi secara tatap muka (langsung). Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat tingkat kecemasan komunikasi yang dialami oleh remaja. Penelitian ini ditujukan kepada remaja akhir karena masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada tahap perkembangan ini, remaja diharapkan mengasah dan mengembangkan kemampuan komunikasinya. Permasalahan yang muncul adalah remaja saat ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk berkomunikasi menggunakan media komunikasi daripada bersosialisasi dengan teman sebayanya secara langsung sehingga membuat mereka tidak terbiasa untuk berkomunikasi secara tatap muka.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui tingkat kecemasan komunikasi yang dialami oleh remaja akhir.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu Psikologi Komunikasi, Psikologi Sosial, dan Psikologi Perkembangan Remaja. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kecemasan komunikasi yang dialami oleh remaja akhir.
2. Manfaat Praktis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Komunikasi 1. Definisi Kecemasan
Kecemasan berasal dari kata cemas yang berarti bingung, gelisah,
khawatir, resah, risau, takut, tegang, dan was-was (Departemen Pendidikan
Nasional, 2009). Berdasarkan Kamus Psikologi kecemasan adalah kondisi
emosi yang buram dan tidak menyenangkan disertai ciri-ciri takut terhadap
sesuatu hal, menekan, dan tidak nyaman. (Reber, 2010). Menurut Daradjat
(1968) kecemasan adalah perwujudan dari berbagai proses emosi yang
bercampur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan
(frustrasi) dan pertentangan batin (konflik). Watson dan kawan-kawan
(dalam Leary, 1983) mendefinisikan kecemasan sosial sebagai sebuah
pengalaman merasakan kesukaran, ketidaknyamanan, ketakutan, cemas,
dan lain sebagainya di dalam keadaan sosial, dan dengan sengaja
menghindari situasi sosial dari orang lain.
Jadi, berdasarkan definisi tersebut kecemasan dapat diartikan
sebagai suatu proses emosi kebingungan, kegelisahan, ketakutan, dan
kekhawatiran yang terjadi ketika individu berada dalam kondisi yang
2. Definisi Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu “communication” yang
berarti pergaulan, persatuan, peran serta, dan kerjasama. Dalam Kamus
Komunikasi, kata komunikasi (communication) merupakan proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang sebagai bentuk pikiran
dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, imbauan, dan
lain sebagainya, yang dilakukan seseorang kepada orang lain, baik secara
langsung (tatap muka) maupun secara tidak langsung (melalui media),
dengan tujuan mengubah sikap dan pandangan atau perilaku.
Menurut Supratiknya (1995), komunikasi dapat diartikan secara
luas dan secara sempit. Secara luas komunikasi adalah tingkah laku verbal
maupun nonverbal seseorang yang ditanggapi oleh orang lain. Secara
sempit komunikasi adalah pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu
atau lebih penerima untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima.
Dahana dan Bhatnagar (dalam Apollo, 2007) mendefinisikan komunikasi
sebagai proses interaksi sosial yang melibatkan dua atau lebih individu
yang berinteraksi, dan terjadi saling mempengaruhi ide, sikap,
pengetahuan, dan tingkah laku satu sama lain. Menurut Devito (2011) komunikasi merupakan tindakan yang dilakukan satu orang atau lebih untuk mengirim pesan yang terpengaruh oleh gangguan (noise) dan mengharapkan umpan balik.
Menurut Zeuschner (2003), komunikasi antar pribadi adalah
ahli teori komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi
(interpersonal) berdasarkan tiga pendekatan :
a. Definisi berdasarkan komponen (componential),
Komunikasi antarpribadi merupakan penyampaian pesan yang
dilakukan oleh satu orang dan pesan tersebut diterima oleh orang lain
atau sekelompok orang, dan mendapat umpan balik secepat mungkin.
b. Definisi berdasarkan hubungan diadik (relational dyadic),
Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi antara dua
orang yang memiliki hubungan yang jelas. Misalnya komunikasi
antara ayah dengan anak, pelanggan dengan pramuniaga, psikolog
dengan klien.
c. Definisi berdasarkan pengembangan (developmental),
Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai akhir perkembangan
komunikasi yang bersifat tidak pribadi (impersonal) menjadi
komunikasi yang pribadi (intim).
Jadi, berdasarkan definisi para tokoh tersebut komunikasi dapat
diartikan sebagai sebuah interaksi yang dilakukan antara dua orang atau
lebih yang bertujuan untuk mengirimkan pesan kepada orang lain sehingga
terjadi saling mempengaruhi ide, tingkah laku, pengetahuan, sikap, dan
3. Definisi Kecemasan Komunikasi
Kecemasan komunikasi (communication apprehension) menurut McCroskey (dalam Burgoon, 1982), adalah sebuah ketakutan atau
kecemasan ketika menghadapi situasi komunikasi baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan satu orang maupun lebih. Burgoon dan
Michele (dalam Apollo, 2007) memberi istilah kecemasan komunikasi
dengan sebutan communication anxiety, yaitu kondisi seseorang yang merasa cemas ketika menghadapi situasi komunikasi, khususnya
komunikasi di depan umum. Hurt (dalam Apollo, 2007) menyebut
kecemasan komunikasi dengan istilah communication apprehension, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kecemasan ketika berkomunikasi, baik
di depan umum, diskusi kelompok dengan teman sebaya, ataupun
komunikasi yang bersifat formal dengan teman sebaya maupun guru.
Kecemasan komunikasi juga dapat diartikan sebagai sebuah
ketakutan atau kecemasan terkait dengan tindakan komunikasi yang
diselenggarakan oleh sejumlah besar individu. Orang yang memiliki
kecemasan komunikasi yang tinggi adalah orang yang merasa khawatir
ketika harus ikut berpartisipasi dalam situasi komunikasi tertentu. Mereka
akan menghindari komunikasi, bahkan seakan-akan mereka mengalami
berbagai macam kecemasan perasaan ketika dipaksa untuk berkomunikasi
(www.jamescmccroskey.com). Berdasarkan Kamus Komunikasi,
terhadap diri sendiri dan merasa tidak mampu yang dialami seseorang,
sehingga mengakibatkan menarik diri dari pergaulan.
Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kecemasan komunikasi adalah sebuah ketakutan, kegugupan,
kekhawatiran seseorang ketika berada dalam kondisi yang mengharuskan
individu berkomunikasi baik secara formal, langsung maupun tidak
langsung, dan dengan orang yang baru maupun telah lama dikenal.
4. Aspek-aspek Kecemasan Komunikasi
McCroskey dan McCroskey (dalam Powell & Powell, 2010)
mengidentifikasikan bahwa terdapat empat karakteristik dari kecemasan
berkomunikasi. Karakteristik tersebut ialah :
a. Ketidaknyamanan Internal (Internal Discomfort)
Individu yang memiliki kecemasan komunikasi mengalami
ketidaknyamanan komunikasi dan muncul perasaan negatif ketika
mereka dihadapkan pada situasi yang membutuhkan komunikasi.
Perasaan negatif yang muncul sering berkaitan dengan rasa takut.
b. Penghindaran Komunikasi (Communication Avoidance)
Individu yang memiliki kecemasan komunikasi akan memilih untuk
tidak terlibat dalam situasi komunikasi. Mereka sering mencoba untuk
menghindari situasi komunikasi seperti menjawab pertanyaan atau
memberikan laporan lisan karena bagi mereka hal tersebut sangat
c. Penarikan Diri (Communication Withdrawal)
Individu yang memiliki kecemasan komunikasi biasanya mencoba
untuk secara fisik atau psikologis menarik diri dari situasi komunikasi.
Ketika mereka ditanya oleh gurunya, mungkin mereka akan menjawab
“Saya tidak melakukannya”, atau mungkin akan menanggapi dengan
berkata “Saya tidak tahu”. Kedua hal ini biasanya dilakukan oleh siswa
untuk mundur dari keterlibatan komunikasi.
d. Komunikasi Berlebihan (Overcommunication)
Individu yang memiliki kecemasan komunikasi, dalam situasi tertentu,
akan mencoba berdamai dengan perasaan negatif mereka. Dalam
kecemasan yang dialami, individu akan berusaha untuk berpartisipasi
dalam komunikasi dengan cara berbicara lebih banyak. Dalam situasi
seperti ini, individu mungkin lebih mementingkan kuantitas daripada
kualitas.
5. Faktor Meningkatnya Kecemasan Komunikasi
McCroskey (dalam Burgoon, 1982) mengatakan bahwa
meningkatnya kecemasan komunikasi disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
a. Traitlike CA muncul karena adanya pandangan bahwa kecemasan komunikasi berasal dari keturuan atau lingkungan (prose belajar dari
lingkungan).
status, conspicuousness, unfamiliarity, dan degree of attention from others.
1. The novelty situations, terjadi ketika individu secara tidak sengaja mengalami kecemasan komunikasi karena situasi tertentu.
Misalnya, individu yang tidak pernah mengikuti wawancara kerja.
Dalam wawancara perdananya individu akan merasa tidak yakin
dengan kemampuannya dan mengalami kebingungan bagaimana
seharusnya individu tersebut bertingkah laku.
2. Formal situations, cenderung berhubungan dengan menentukan perilaku yang tepat pada situasi tertentu. Kecemasan komunikasi
akan meningkat dalam situasi formal karena pada situasi ini terjadi
pembatasan perilaku yang dapat diterima.
3. Subordinate status, kecemasan komunikasi dapat meningkat ketika individu berada dalam posisi subordinat (biasanya antara atasan
dengan bawahan atau pemimpin dengan rakyat). Dalam situasi
tertentu perilaku akan dianggap layak atau tidak ditentukan oleh
orang yang memegang kekuasaan tinggi.
4. Conspicuousness, kecemasan komunikasi meningkat ketika individu merasa diperhatikan oleh lingkungan ketika sedang rapat
atau berbicara di depan kelas.
terasa lebih ketika ketika berkomunikasi dilakukan dengan orang
yang sudah dikenal.
6. Degree of attention from others, kecemasan komunikasi akan meningkat ketika mendapatkan respon atau perhatian yang
berlebihan atau bahkan sebaliknya, tidak diperhatikan dan tidak
didengarkan. Respon yang biasa-biasa saja dari orang lain
merupakan situasi yang paling nyaman.
6. Penyebab Kecemasan Komunikasi
Daly and Friedrich (dalam Powell & Powell, 2010) menyatakan
bahwa kecemasan komunikasi mungkin disebabkan oleh :
a. Genetics, kecemasan komunikasi berhubungan dengan faktor-faktor seperti penampilan fisik dan bentuk tubuh. Masing-masing dari
kecenderungan ini ditingkatkan atau dibatasi oleh faktor lingkungan.
Seorang remaja akan merasa takut atau cemas ketika harus
berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki perawakan tubuh
tinggi besar atau tampangnya menyeramkan. Kecemasan ini dapat
meningkat apabila di lingkungannya ada sosok guru yang ditakuti
karena penampilan fisiknya tinggi besar dan selalu memarahi murid.
Disisi lain, kecemasan komunikasi ini tidak akan berkembang apabila
sosok guru yang tinggi besar tersebut memiliki sifat yang disenangi
b. Skill acquisition, kecemasan komunikasi mungkin muncul melibatkan cara dimana keterampilan sosial itu diperoleh. Keterampilan seperti
penggunaan bahasa, kepekaan terhadap komunikasi nonverbal, dan keterampilan manajemen interaksi. Bagi siswa yang mengalami
kecemasan komunikasi mungkin kurang atau bahkan tidak memiliki
keterampilan sosial. Misalnya saja siswa dengan tipikal “kikuk” atau
“kutu buku”, mungkin mereka tidak memiliki keterampilan sosial
karena mereka tidak biasa melatih keterampilan sosial bersama orang
di sekitarnya. Selain itu, mereka tidak bisa atau akan kesulitan untuk
“masuk ke dalam aliran” interaksi sosial. Akibatnya, komunikasi
sangat tidak bermanfaat dan keterampilan baru tidak dikembangkan.
c. Modeling, kecemasan komunikasi dipengaruhi oleh proses belajar atau proses meniru dari orang lain. Apabila remaja berada di sekitar
individu yang takut atau cemas berkomunikasi, maka remaja akan
meniru perilaku tersebut. Hal ini akan meningkatkan kecemasan
komunikasi remaja ketika diminta untuk terlibat dalam perilaku
komunikasi yang tidak memiliki kerangka acuan. Misalnya ketika
remaja bertemu dengan orang yang baru dikenal dan belum memiliki
topik pembicaraan. Remaja akan merasa cemas atau takut untuk
berbicara karena tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
d. Reinforcement, kecemasan komunikasi terjadi karena anak tidak menerima penguatan positif untuk komunikasi. Anak yang diberitahu
mengembangkan sikap negatif tentang komunikasi. Sebaliknya, anak
yang selalu diberikan kesempatan untuk berbicara oleh orang tuanya,
akan mengembangkan sikap positif tentang komunikasi.
7. Dampak Kecemasan Komunikasi
B. Remaja Akhir
Masa remaja akhir merupakan masa dimana remaja harus memperluas
pemahaman mereka mengenai sikap hidup orang lain, memperluas
pemahaman mengenai tingkat saling ketergantungan dalam hidup, dan cara
menangani berbagai permasalahan interpersonal. Selama periode ini,
pengalaman remaja semakin banyak terjadi pada tingkat berpikir sintaksis.
Selain itu, dalam tahapan ini juga remaja mulai memantapkan hubungan cinta
dengan satu pasangan. Menurut Santrock (2003), masa remaja akhir berada
pada rentang usia 15 hingga awal 20 tahun.
Remaja yang mengalami kecemasan dalam kehidupannya, mungkin
akan mengalami beberapa masalah dalam tahapan ini, seperti personifikasi
yang tidak tepat dan berbagai jenis keterbatasan hidup. Dalam hal ini,
keterbatasan hidup yang dialami remaja meliputi, pandangan tidak realistik
mengenai diri, pandangan mengenai orang lain yang stereotip, dan tingkah
laku yang menolak kecemasan yang merusak kebebasan seseorang.
Pencapaian terakhir dalam periode ini adalah self-respect, yang menjadi syarat untuk menghargai orang lain. Menurut Sullivan (dalam Alwisol, 2009), orang
yang bisa menghargai orang lain adalah orang yang bisa menghargai diri
sendiri.
Transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja hingga akhirnya
memasuki masa dewasa melibatkan terjadinya perubahan biologis (fisik),
kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Perubahan-perubahan yang
1. Perkembangan Fisik
Perubahan biologis yang terjadi ketika masa remaja dapat dilihat
dari bertambahnya berat dan tinggi badan, perubahan dalam proporsi dan
bentuk tubuh, perubahan hormonal, dan kematangan seksual. Ketika
memasuki masa remaja, secara umum remaja akan mengalami pubertas,
yaitu proses dimana seseorang mencapai kematangan seksual dan
kemampuan untuk bereproduksi (Papalia, 2008). Perubahan fisik yang
terjadi tumbuh payudara pada remaja putri dan testis pada remaja putra,
tumbuhnya rambut pubic, dan terjadi perubahan suara. Kematangan seksual yang terjadi pada remaja ditandai dengan menstruasi pertama
(menarche) pada remaja putri dan ejakulasi pertama (spermarche) pada remaja putra.
2. Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget tahap perkembangan kognitif ketika masa remaja
berada pada tahap operasional formal. Tahap perkembangan ini muncul
ketika remaja berusia 11 hingga 15 tahun. Karakteristik yang muncul
dalam tahapan ini yaitu remaja bernalar secara lebih abstrak. Remaja tidak
lagi terbatas pada pemikiran-pemikiran yang konkret atau aktual. Mereka
mulai menciptakan situasi-situasi yang fantasi atau khayalan,
kemungkinan-kemungkinan hipotesis, mulai memikirkan yang sedang
mereka pikirkan, dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri.
Karakteristik yang kedua dalam tahapan operasional formal ini
Remaja mulai memikirkan ciri-ciri yang ideal bagi diri mereka sendiri dan
orang lain, serta mulai menentukan standar-standar ideal seseorang.
Standar ideal yang dibuat menjadikan remaja tidak sabar dan
dibingungkan oleh standar-standar ideal yang mereka buat. Selain berpikir
secara abstrak dan idealistis, remaja juga berpikir secara lebih logis.
Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan yang menyusun rencana,
memecahkan masalah-masalah baru, dan menguji pemecahan masalah
secara sistematis.
Pada tahap perkembangan remaja, pemikiran remaja bersifat
egosentris. Mereka mulai berpikir tentang kepribadian dan mulai
memantau dunia sosial dengan cara mereka. David Elkind (dalam
Santrock, 2002) meyakini bahwa egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) memiliki dua bagian, yaitu penonton khayalan (imaginary audience) dan dongeng pribadi (the personal fable). Penonton khayalan (imaginary audience) adalah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan mereka. Remaja merasa bahwa lingkungan
memperhatikan tingkahlaku, penampilan, sifat, dan perbuatan mereka.
Penonton khayalan disebabkan oleh kemampuan untuk berpikir secara
hipotesis dan kemampuan untuk melangkah keluar dari diri sendiri. Selain
itu, penonton khayalan juga muncul untuk mengantisipasi reaksi-reaksi
orang lain dalam keadaan-keadaan khayalan. Misalnya, seorang remaja
pesta. Remaja putri tersebut juga akan berpikir bahwa orang lain akan
melihat ke arahnya.
Dongeng pribadi (the personal fable) merupakan egosentrisme yang meliputi perasaan unik mereka. Perasaan unik yang dialami remaja
membuat mereka merasa tidak seorang pun merasakan apa yang remaja
alami. Biasanya perasaan-perasaan unik ini dapat kita temui dalam buku
catatan harian (diary) remaja. Dalam buku diary tersebut biasanya remaja mengarang suatu cerita tentang dirinya sendiri yang dipenuhi dengan
fantasi. Misalnya, seorang remaja yang baru mengalami patah hati, remaja
tersebut akan berpikir bahwa ibu mereka tidak dapat merasakan sakit
seperti yang mereka rasakan.
3. Perkembangan Sosio-Emosional
Menurut Erikson, masa remaja merupakan masa pencarian
identitas diri karena remaja berada dalam tahapan identitas vs kebingungan
identitas. Pencarian identitas dalam tahapan ini merupakan penentuan
konsep diri, tujuan, nilai, dan keyakinan yang dianut oleh remaja. Menurut
Erikson kebingungan identitas yang terjadi pada remaja akan
memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis. Teori mengenai
pencarian identitas menurut Erikson ini diperkuat oleh James Marcia yang
menemukan empat tipe status identitas; identity diffusion (penyebaran identitas), identity foreclosure (pencabutan identitas), identity moratorium
Dalam tahapan pencarian identitas ini remaja akan menuntut
otonomi diri yang ingin melepaskan diri dari genggaman orang tua.
Remaja ingin menuntut kebebasan agar dapat mengambil keputusan sesuai
dengan yang mereka inginkan. Akan tetapi, peran orang tua juga masih
sangat dibutuhkan ketika anak memasuki masa remaja. Attachment atau kelekatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu
kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja. Attachment yang kokoh dengan orang tua selama masa remaja dapat berlaku sebagai fungsi
adaptif, yang dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi
perasaan-perasaan depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan
transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2002).
Hubungan remaja dengan teman sebaya merupakan hubungan yang
sangat penting bagi remaja. Dalam masa ini, remaja akan lebih sering
beriteraksi dengan teman-teman sebayanya (peer-group). Tekanan teman sebaya dan konformitas dapat memberikan dampak positif maupun
negatif. Remaja akan mulai bergabung dengan klik maupun kelompok dan
mulai menaikkan harga diri mereka. Selain itu, popularitas di antara
teman-teman sebaya merupakan suatu motivasi yang kuat bagi
kebanyakan remaja.
Teman dekat memiliki pengaruh psikologis bagi perkembangan
remaja, walaupun tidak ada kriteria khusus untuk dapat dikatakan teman
dekat. Seorang remaja yang karakternya pendiam biasanya tidak memiliki
akan merasakan pertamanan yang hangat ketika melakukan aktivitas di
luar sekolah, seperti teman bermain di rumah. Remaja dengan karakter
terbuka juga tidak memiliki teman dekat secara khusus, karena semua
teman diperlakukan dengan cara yang sama. Akan tetapi, ada juga
beberapa remaja yang menganggap teman dekat mereka adalah teman
sebangkunya atau teman kecilnya yang memiliki fungsi untuk
mencurahkan perhatian dan permasalahan yang dirasakan.
C. Dinamika Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir
Kecemasan komunikasi (communication apprehension) merupakan kecemasan, hambatan, atau ketakutan berkomunikasi yang terjadi pada
seseorang ketika dihadapkan dalam situasi yang mengharuskan
berkomunikasi. Menurut McCroskey dan McCroskey (dalam Powell &
Powell, 2010), kecemasan komunikasi dapat diidentifikasi melalui empat
kerakteristik seperti, ketidaknyamanan internal (internal discomfort), penghindaran komunikasi (communication avoidance), penarikan diri (communication withdrawal), dan komunikasi berlebihan (overcommucation). Seseorang yang mengalami kecemasan komunikasi akan merasa cemas ketika
diminta untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Kecemasan komunikasi
ini bisa saja terjadi pada remaja apabila remaja tidak mengembangkan
kemampuan berkomunikasi. Remaja yang mampu mengembangkan
kemampuan komunikasi biasanya akan merasa tenang ketika menjalin
remaja tidak dapat mengembangkan kemampuan komunikasinya, maka
remaja tersebut akan mengalami hambatan atau kecemasan dalam
berkomunikasi.
Menurut Adler dan Rodman (dalam Apollo, 2007) kecemasan
berkomunikasi pada remaja terjadi karena beberapa faktor, seperti pernah
memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa lalu ketika
berkomunikasi. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut bisa saja
terjadi ketika masa kanak-kanak tidak diberikan penguatan (reinforcement) oleh orang tua saat anak sedang mengembangkan kemampuan
berkomunikasinya. Selain itu, pengalaman tidak menyenangkan juga bisa saja
terjadi ketika seorang remaja pernah dibentak atau dimarahi oleh seseorang
yang memiliki penampilan menakutkan, berbadan besar dan tidak ramah. Hal
tersebut membuat anak memilih untuk menjadi seorang yang pendiam dan
gagal dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi.
Kecemasan komunikasi juga dapat terjadi ketika remaja tidak dapat
mengembangkan keterampilan sosialnya. Misalnya keterampilan dalam
penggunaan bahasa dan kepekaan terhadap bahasa nonverbal. Selain itu, remaja yang berada dalam lingkungan orang-orang yang mengalami
kecemasan komunikasi, biasanya akan meniru perilaku tersebut. Misalnya,
seorang remaja memiliki ibu yang mengalami kecemasan komunikasi,
biasanya remaja akan meniru tingkahlaku ibunya ketika harus berbicara
akan merasa gugup, gemetar, dan berkeringat ketika harus menjalin sebuah
komunikasi dengan orang lain secara tatap muka.
Hal ini seharusnya dapat diatasi remaja karena pada tahap
perkembangan ini, remaja akan lebih sering berinteraksi dengan teman-teman
sebaya (peer-group). Dalam hal ini diharapkan remaja dapat melatih kemampuan komunikasi dengan teman sebaya agar tidak merasa cemas atau
takut ketika harus berhadapan dengan situasi komunikasi yang berbeda.
Teman sebaya menjadi penting bagi remaja karena mereka dapat bersosialisasi
secara langsung sehingga kepercayaan diri dan kemampuan komunikasi
remaja terlatih. Kurangnya waktu untuk bersosialisasi dapat memberikan
dampak negatif bagi perkembangan sosial dan kepribadian remaja.
Remaja yang memiliki pengalaman komunikasi sedikit dan waktu
bersosialisasi yang kurang, akan menyebabkan keterampilan komunikasi yang
dimiliki tidak berkembang. Apabila keterampilan komunikasi tidak
berkembang maka remaja tersebut mengalami kecemasan komunikasi yang
tinggi. Kecemasan komunikasi yang tinggi akan berdampak bagi remaja,
D. Skema Penelitian
Bagan 2.1 Skema Penelitian Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir
E. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kecemasan
komunikasi yang dialami remaja akhir? Remaja
Akhir
Pengalaman
Komunikasi
Waktu
Bersosialisasi
Keterampilan
Komunikasi
Kecemasan
Komunikasi Berbicara di Depan
Umum
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran
mengenai objek penelitian melalui data sampel atau populasi (Sujarweni &
Endrayanto, 2012). Dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai kecemasan komunikasi yang terjadi pada remaja akhir.
Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya satu variabel karena peneliti
hanya ingin melihat tingkat kecemasan komunikasi yang dialami remaja akhir.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan satu variabel, yaitu kecemasan komunikasi.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang digunakan untuk
menjelaskan suatu variabel secara spesifik, akurat dan dalam bentuk yang
dapat diukur (Mustafa, 2009). Definisi operasional kecemasan komunikasi
(communication apprehension) adalah ketakutan, kegugupan, dan kekhawatiran remaja akhir ketika menghadapi situasi yang mendesak untuk
berinteraksi dengan orang lain melalui sebuah komunikasi. Kecemasan
Skala kecemasan komunikasi ini dibuat berdasarkan karakteristik yang
diidentifikasi oleh McCroskey dan McCroskey (dalam Powell & Powell,
2010), yaitu :
a. Ketidaknyamanan Internal (Internal Discomfort)
b. Penghindaran Komunikasi (Communication Avoidance) c. Penarikan Diri (Communication Withdrawal)
d. Komunikasi Berlebihan (Overcommunication)
Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, menunjukkan semakin
tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki remaja, sebaliknya semakin rendah
skor yang diperoleh subjek, menunjukkan semakin rendah tingkat kecemasan
yang dimiliki remaja.
D. Subjek Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas X dan XI sekolah
menengah akhir (SMA). Alasan dipilihnya siswa-siswi kelas X dan XI SMA
karena subjek dalam penelitian ini berada pada rentang usia 15 hingga 19
tahun. Rentang usia tersebut merupakan rentang usia remaja akhir yaitu 15
hingga 20 tahun (Santrock, 2003).
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling, dimana pengambilan sampel tidak secara acak sehingga setiap subjek tidak memiliki peluang yang sama untuk menjadi
berdasarkan ketersediaan dan keinginan subjek untuk merespon (Shaugnessy,
Zechmeister, & Zechmeister). Selain itu, convenience sampling ini digunakan untuk kemudahan akses dalam penelitian.
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala
Likert. Peneliti memilih skala Likert karena skala ini digunakan untuk
mengukur sikap pengaruh atau penolakan, penilaian, suka atau tidak suka, dan
kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis (Sarwono, 2006).
Skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala mengenai kecemasan
komunikasi. Pernyataan sikap dalam skala ini dibagi menjadi dua macam yaitu
aitem favorable dan aitem unfavorable. Aitem favorable merupakan aitem yang mendukung variabel yang ingin diukur, sedangkan aitem unfavorable
merupakan aitem yang tidak mendukung atau bertolak belakang dengan
variabel yang ingin diukur.
Skala kecemasan komunikasi ini dibuat sendiri oleh peneliti sesuai
dengan indikator yang ada. Skala ini berisi dua pernyataan, yaitu favorable
dan unfavorable. Indikator dalam kecemasan komunikasi antara lain ketidaknyamanan internal, penghindaran komunikasi, penarikan diri, dan
komunikasi berlebihan. Alternatif jawaban terdiri dari empat pilihan jawaban
yaitu “sangat setuju” (SS), “setuju” (S), “tidak setuju” (TS), dan “sangat tidak
setuju” (STS). Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 52 aitem dengan rincian
Tabel 3.1
Blue Print Skala Kecemasan Komunikasi
No Aspek
Pemberian Skor Pada Skala Kecemasan Komunikasi
Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable
Sangat Setuju 4 1
Setuju 3 2
Tidak Setuju 2 3
Sangat Tidak Setuju 1 4
F. Persiapan Penelitian
G. Kredibilitas Alat Pengumpulan Data
1. Validitas
Validitas adalah suatu pengukuran yang digunakan untuk
mengukur sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
penelitian (Azwar, 1997). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah validitas isi yang diuji berdasarkan pendapat profesional
(professional judgment). Dalam penelitian ini pendapat profesional (professional judgment) dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi.
2. Seleksi Aitem
Seleksi aitem dilakukan untuk mendapatkan aitem-aitem yang baik
dan berfungsi secara benar. Seleksi aitem didasarkan pada daya
diskriminasi aitem yang akan menghasilkan koefisien korelasi aitem-total
(rix). Batasan yang digunakan untuk pemilihan aitem berdasar korelasi
aitem adalah rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi
minimal 0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem dengan
koefisien korelasional aitem total ≤ 0,30 dianggap gugur karena memiliki
daya diskriminasi yang rendah (Azwar, 1999).
Berdasarkan uji tahap aitem skala kecemasan komunikasi yang
diujikan kepada 44 responden mendapatkan hasil bahwa sebanyak 33
aitem dinyatakan lolos seleksi dari 52 aitem total awal. Aitem yang
aitem total (rix) ≥ 0,30. Berikut ini adalah distribusi aitem skala kecemasan
komunikasi pada uji coba :
Tabel 3.3
Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi Pada Uji Coba
Aspek yang dinyatakan gugur dalam seleksi.
Pada uji tahap skala kecemasan komunikasi dari 52 aitem yang
diujikan terdapat 19 aitem yang dinyatakan gugur dalam seleksi.
Aitem-aitem tersebut yaitu 4, 5, 6, 10, 12, 13, 14, 18, 19, 23, 27, 28, 29, 32, 33,
34, 41, 46, dan 51. Aitem-aitem tersebut gugur karena memiliki
koefisien korelasi aitem total ≤ 0,30 yang berarti bahwa pernyataan
3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran dapat dipercaya (Azwar,1997). Koefisien reliabilitas berada
dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas
atau mendekati 1,00 berarti semakin reliabilitas. Pengujian reliabilitas
skala penelitian ini menggunakan metode koefisien Alpha Crobach yang dapat melihat korelasi aitem total dan akan diuji menggunakan SPSS 17,00 for Windows.
Berdasarkan perhitungan menggunakan SPSS 17,00 for Windows
diperoleh koefisien Alpha Crobach melalui seleksi aitem pada skala kecemasan komunikasi sebesar (r) = 0,902. Hasil koefisien reliabilitas
tersebut mendekati angka 1,00 yang menunjukkan bahwa skala kecemasan
komunikasi memiliki reliabilitas yang baik.
H. Metode Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan cara mengkategorisasikan
atau menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Luas
interval setiap aspek kategori diperoleh melalui perhitungan skor maksimum,
skor minimum, mean empirik, dan standard deviasi yang dihitung
menggunakan SPSS 17,00 for Windows. Setelah perhitungan skor diperoleh, peneliti menentukan norma kategorisasi ke dalam tiga kategori, yaitu:
x + 1 (SD) ≤ x kategori Tingi
x < x - 1 (SD) kategori Rendah
Berdasarkan kategorisasi tersebut, peneliti akan melihat banyaknya
siswa yang masuk dari setiap kategori kemudian menghitung persentasinya.
Besarnya persentasi tersebut akan di interpretasi sebagai keadaan tingkat
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada hari Jumat, 28 Maret 2014. Skala
disebarkan secara langsung kepada siswa-siswa kelas X dan XI SMA Pangudi
Luhur Yogyakarta dalam bentuk “booklet”. Penelitian dilakukan dalam satu
hari, dimulai pukul 07.00 WIB dan diakhiri pukul 12.00 WIB. Dalam
penelitian ini peneliti menyebarkan skala dengan cara masuk ke setiap kelas
dan mendampingi hingga selesai. Skala yang disebarkan berjumlah 119
eksemplar sesuai dengan jumlah siswa yang hadir pada saat itu.
B. Deskripsi Subjek Penelitian
Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 119 siswa. Subjek dalam
penelitian ini terdiri dari siswa kelas X dan XI SMA Pangudi Luhur
Yogyakarta yang berada pada rentang usia 15-18 tahun. Adapun tabel
Tabel 4.1
Deskripsi Tempat Tinggal Subjek Penelitian
Tempat Tinggal Jumlah Siswa Persentase
Rumah 109 siswa 91,6 %
Kos 10 siswa 8,4 %
Total 119 siswa 100 %
Tabel 4.2
Deskripsi Organisasi Subjek Penelitian
Organisasi Jumlah Siswa Persentase
OSIS 18 siswa 15,1 %
Seni dan Olah Raga 15 siswa 12,6 %
Kegiatan Gereja 15 siswa 12,6 %
Pramuka 10 siswa 8,4 %
Pecinta Alam 5 siswa 4,2 %
Karang Taruna 4 siswa 3,4 %
Jurnalistik 3 siswa 2,5 %
Tidak mengikuti organisasi 49 siswa 41,2 %
Tabel 4.3
Deskripsi Lama Berkomunikasi dengan Orang Tua Dalam Seminggu
Waktu (Jam) Jumlah Siswa Persentase
1-8 75 siswa 63 %
9-16 33 siswa 27,7 %
17-24 11 siswa 9,3 %
Total 119 siswa 100
C. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat tingkatan kecemasan
komunikasi yang dialami oleh remaja akhir. Cara untuk melihat tingkatan
tersebut adalah dengan mencari luas interval dari setiap kategori yang akan
digunakan. Sebelum mencari luas interval dari setiap kategori, dapat diketahui
bahwa mean empirik (72,4) yang diperoleh lebih rendah dari mean teoretik
(82,5). Hal ini menunjukkan bahwwa tingkat kecemasan komunikasi pada
remaja tergolong rendah. Berdasarkan analisis data menggunakan uji statistik
one sample t-test tersebut diperoleh hasil, bahwa nilai t hitung sebesar 82,492 dan nilai signifikansinya (p) sebesar 0,000 (p>0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir secara signifikan
rendah. Table 4.4 dibawah ini merupakan table hasil penghitungan
Tabel 4.4
Perbandingan Mean Empirik dan Mean Teoretik
N Xmin Xmax Mean SD
Skor Empirik 119 47 92 72,4 9,6
Skor Teoretik 119 33 132 82,5 16,5
Hasil tersebut digunakan untuk menentukan norma kategorisasi yang peneliti
bagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Tabel 4.5
Kategorisasi Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir
Kategori Jumlah Siswa Persentase
Tinggi 22 siswa 18,5 %
Cukup 77 siswa 64,7 %
Rendah 20 siswa 16,8 %
Total 119 siswa 100 %
Analisis data juga dilakukan untuk melihat luas interval kategorisasi
dari setiap aspek yang ada. Berdasarkan analisis data tersebut diperoleh hasil
Tabel 4.6
Mean Empirik Kecemasan Komunikasi Pada Remaja Akhir
Aspek Xmin Xmax Mean SD
Ketidaknyamanan Internal 7 22 16,2 3,3
Penghindaran Komunikasi 10 32 19,6 3,4
Penarikan Diri 9 24 18,1 3,3
Komunikasi Berlebihan 10 24 18,5 2,6
Berdasarkan hasil analisis tersebut, peneliti juga mengkategorisasikan
setiap aspek berdasarkan norma kategorisasi. Hal ini dilakukan untuk melihat
kategori dari setiap aspek yang ada. Peneliti membagi kategori berdasarkan 3
bagian, yaitu :
Tabel 4.7
Kategorisasi Aspek Kecemasan Komunikasi
Aspek
Kategori (%)
Rendah Cukup Tinggi
Ketidaknyamanan Internal 20,2 % 65,5 % 14,3 %
Penghindaran Komunikasi 16 % 64,7 % 19,3 %
Penarikan Diri 18,5 % 58,8 % 22,7 %
D. Pembahasan
Mean yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu, mean teoretik
sebesar 82,5 dan mean empirik sebesar 71,4. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dilihat bahwa mean empirik yang diperoleh lebih rendah dari mean teoretik.
Hal ini menunjukkan bahwa kecemasan komunikasi yang dialami remaja akhir
berada pada tingkat yang rendah. Berdasarkan tingkat yang rendah tersebut
dapat diketahui bahwa siswa yang masuk ke dalam kategori kecemasan
komunikasi tinggi sebanyak 18,5 %. Siswa yang masuk ke dalam kategori
cukup sebanyak 64,7 %, dan siswa yang masuk ke dalam kategori rendah
sebanyak 16,8 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang
berada dalam tahap remaja akhir memiliki tingkat kecemasan komunikasi
yang cukup.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa banyaknya siswa
yang masuk dalam kategori kecemasan komunikasi tinggi sebanyak 22 siswa
(18,5 %). Hasil ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan
bahwa sebanyak 10-20 % remaja di Amerika mengalami kecemasan
komunikasi yang sangat tinggi, dan sebanyak 20 % remaja lainnya mengalami
kecemasan komunikasi yang cukup tinggi (Apollo, 2007).
Banyaknya siswa yang berada pada kategori cukup karena mereka
sudah dapat mengembangkan kemampuan komunikasi mereka. Hal ini dapat
dilihat dari 119 siswa terdapat 70 siswa yang mengikuti kegiatan organisasi
baik dari sekolah maupun dari luar sekolah. Kegiatan organisasi yang diikuti
komunikasi remaja. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa
siswa-siswi tersebut dapat mengatasi tingkat kecemasan komunikasinya karena
mereka sudah terbiasa untuk berkomunikasi dengan teman-teman dalam
organisasi. Dalam perkembangan sosio-emosional (Santrock, 2007), selama
tahap perkembangan ini remaja akan lebih sering berinteraksi dengan teman
sebayanya. Popularitas di antara teman sebaya merupakan suatu motivasi yang
kuat bagi kebanyakan remaja.
Hal lain yang dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi adalah
pemikiran remaja yang bersifat egosentris. Bagian dari pemikiran egosentris
yang mempengaruhi ialah penonton khayalan (imaginary audience). Dalam tahap perkembangan remaja biasanya mereka mulai senang untuk tampil di
depan umum dan senang diperhatikan oleh orang lain. Remaja yang
mengalami kecemasan komunikasi akan merasa diperhatikan secara
berlebihan. Perasaan diperhatikan berlebihan tersebut membuat penilaian
mereka terhadap diri sendiri menjadi buruk. Kecemasan komunikasi yang
masuk dalam kategori cukup (64,7 %) ini karena remaja memiliki pemikiran
atau keyakinan bahwa orang lain yang memperhatikan mereka merasa senang
dengan penampilan mereka, sehingga remaja memiliki pandangan terhadap
diri sendiri yang cukup baik.
Keluarga merupakan salah satu faktor yang membentuk karakter
remaja. Keluarga juga merupakan pusat atau dasar remaja memiliki watak
hal yang lebih bersifat psikologis yang berkaitan dengan kebiasaan dalam
berkomunikasi. Remaja yang tinggal bersama orang tuanya memiliki
kelekatan (attachment) atau merasa nyaman, sehingga memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Attachment yang kokoh dengan orang tua dapat menopang remaja dari kecemasan dan potensi perasaan
depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa
anak-anak ke masa dewasa (Santrock, 2003).
Berdasarkan hasil pemaparan setiap aspek kecemasan komunikasi
dapat dilihat bahwa siswa yang mengalami ketidaknyamanan internal tinggi
sebanyak 14,3 %. Sebanyak 65,5 % siswa cukup mengalami ketidaknyamanan
internal, dan sisanya sebanyak 20,2 % siswa yang sedikit mengalami
ketidaknyamanan internal. Dalam aspek ini siswa akan merasa gelisah,
gemetar, tidak tenang, dan tegang ketika berada pada situasi komunikasi.
Aspek kedua yaitu penghindaran komunikasi, dimana siswa akan
menghindari atau memilih tidak mau bergabung ketika ada situasi komunikasi.
Sebanyak 19,3 % siswa berada pada tingkat penghindaran komunikasi yang
tinggi. Selain itu, sebanyak 64,7 % siswa cukup menghindari komunikasi, dan
16 % siswa tidak terlalu menghindari komunikasi atau berada pada kategori
rendah.
Aspek ketiga yaitu penarikan diri, dimana siswa akan menarik diri dari
situasi komunikasi. Mereka akan memilih diam atau mengatakan tidak tahu
ketika berada dalam situasi komunikasi. Dari aspek ini dapat dilihat bahwa
tinggi. Siswa yang penarikan dirinya masuk dalam kategori cukup sebanyak
58,8 %. Sisanya sebanyak 18,5 % siswa berada pada kategori rendah.
Aspek yang keempat adalah komunikasi berlebihan. Hal ini terjadi
ketika siswa mencoba berdamai dengan perasaan negatif mereka dan berusaha
untuk berpartisipasi dalam komunikasi. Akan tetapi, partisipasi yang
dilakukan dengan cara berbicara lebih banyak tetapi tidak fokus pada tujuan
pembicaraan. Dari hasil pemaparan aspek komunikasi berlebihan dapat dilihat
bahwa siswa yang berada pada kategori tinggi sebanyak 21,8 %. Siswa yang
berada pada kategori cukup sebanyak 55,5 %, dan sisanya sebanyak 22,7 %
pada kategori rendah.
Dalam penelitian ini, dapat dilihat aspek yang paling menggambarkan
tingkat kecemasan komunikasi pada remaja akhir adalah aspek ketidaknyaman
internal, yaitu sebesar 65,5 %. Aspek ketidaknyaman internal ini merupakan
salah satu aspek yang sering dirasakan oleh remaja ketika akan melakukan
kegiatan komunikasi dalam situasi tertentu. Dalam penelitian ini siswa yang
masuk dalam kategori dapat mengatasi ketidaknyamanan internal, sehingga
mereka tidak mengalami kecemasan komunikasi yang berlebihan.
Aspek berikutnya yaitu penghindaran komunikasi sebesar 64,7 % dan
aspek penarikan diri sebesar 58,8 %. Kedua aspek ini merupakan aspek yang
juga sering dilakukan oleh remaja ketika berada dalam situasi komunikasi
tertentu. Remaja yang mengalami kecemasan komunikasi biasanya akan
menghindari komunikasi dengan cara tidak ikut berpartisipasi dalam
dari pembicaraan apabila mereka terpaksa berada dalam situasi komunikasi.
Siswa yang berada dalam kategori cukup ini menunjukkan bahwa mereka
mampu menghadapi situasi komunikasi.
Pada aspek terakhir, yaitu komunikasi berlebihan sebesar 55,5 %.
Dalam aspek ini remaja sudah terlanjur masuk ke dalam situasi komunikasi
dan berusaha mengatasi kecemasan komunikasi dengan cara berbicara lebih
banyak. Siswa yang masuk dalam kategori cukup ini menunjukkan bahwa
ketika mereka berkomunikasi, mereka dapat berbicara dalam porsi yang pas
dan tidak berlebihan.
Kecemasan komunikasi dapat terjadi ketika remaja tidak memiliki
kemampuan adaptasi yang baik. Apabila remaja memiliki kemampuan
adaptasi yang baik, maka remaja tersebut akan dapat mengatasi kecemasan
komunikasinya. Akan tetapi, bila kemampuan adaptasinya buruk, maka akan
muncul kecemasan komunikasi yang diikuti ketakutan yang berlebihan. Hal
ini sejalan dengan pendapat Buss (dalam Burgoon, 1982) yang mengatakan
bahwa kecemasan komunikasi dapat meningkat ketika remaja tidak mengenal
lingkungan sekitarnya (unfamiliarity). Remaja yang belum mengenal lingkungannya akan kesulitan untuk beradaptasi. Remaja akan merasa aman
apabila sudah mengenal lingkungan komunikasinya sehingga mereka akan
E. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak membedakan remaja
yang tinggal di kota dan di desa. Penelitian ini tentu akan lebih baik apabila
membedakan tingkat kecemasan komunikasi remaja yang tinggal di desa dan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 119 siswa yang
menjadi partisipan terdapat 22 siswa (18,5 %) masuk dalam kategori tinggi, 77
siswa (64,7 %) masuk dalam kategori cukup, dan 20 siswa (16,8 %) masuk
dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan
komunikasi remaja akhir berada pada tingkat cukup atau sedang. Aspek yang
paling menggambarkan kecemasan komunikasi yaitu ketidaknyamanan
internal, penghindaran komunikasi, penarikan diri sebesar, dan komunikasi
berlebihan.
B. Saran
1. Bagi Remaja Akhir
Dari penelitian ini diharapkan remaja akhir dapat memperhatikan
kecemasan komunikasi yang sering dialami. Bagi remaja yang masuk
dalam kategori tinggi diharapkan untuk terus melatih kemampuan
komunikasinya agar kecemasan komunikasi yang dialami tidak
berkembang menjadi sebuah ketakutan yang berlebihan. Selain itu, bagi
remaja yang masuk dalam kategori cukup dan rendah diharapkan untuk
2. Bagi Orang Tua dan Guru
Dari penelitian ini diharapkan orang tua dan guru memperhatikan
perkembangan kemampuan komunikasi remaja. Orang tua dan guru dapat
menyarankan dan mendukung remaja yang memiliki tingkat kecemasan
komunikasi tinggi untuk aktif dalam kegiatan sosial agar kemampuan
komunikasi remaja dapat terasah.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti mengenai kecemasan
komunikasi, diharapkan untuk memperhatikan variabel-variabel lainnya
yang dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi. Selain itu juga, peneliti
selanjutnya diharapkan memiliki sumber referensi yang lebih banyak agar