• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PRODUKSI DAGING SAPI DI WILAYAH SENTRA USAHA SAPI POTONG DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA PRODUKSI DAGING SAPI DI WILAYAH SENTRA USAHA SAPI POTONG DI INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PRODUKSI DAGING SAPI DI WILAYAH SENTRA

USAHA SAPI POTONG DI INDONESIA

The Dynamic of Cattle Meat Production in Cattle Production

Center in Indonesia

Atien Priyanti, IGAP Mahendri,1)dan Uka Kusnadi2) 1)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,Jl. Raya Pajajaran Kav. EI9 Bogor 16151

2)Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Jl. Veteran III Tapos Ciawi, PO Box 221 Bogor 16002

ABSTRACT

Cattle meat is a priority commodity selected in national development program in an effort to reach livestock-based food security. The paper is aimed to analyze population and production growth of cattle meat in beef cattle production regions in Indonesia. The study used twelve-year time-series data of Lampung, West and East Java, Bali, West and East Nusa Tenggara by applying linear regression model and trend analysis as well as to analyze the projection of cattle meat production growth throughout five-year in the future. The analysis shows that the growth rates of cattle population and production were positive, ranging from 1 percent to 1.35 percent per annum. This is possible due to the growth of population of cross-breeding of cattle, Simental, Limousine and Brahman in the regions of Lampung, West and East Java. The determining factors for the growth of population of beef cattle and cattle meat production vary among regions, but it is predominantly due to in-coming and out-going of cattle from each region. It shows that cattle trade mobility is so intense, that regulation policy on cattle meat distribution is required to maintain beef cattle production activity in cattle production centers.

Key words:growth, trend, beef cattle

ABSTRAK

Komoditas daging sapi merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan asal hewani. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan populasi dan produksi daging sapi di wilayah sentra usaha sapi potong di Indonesia. Data time seriesdalam periode 12 tahun di wilayah-wilayah Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur digunakan dalam studi ini. Model persamaan linier dan analisis trend dilakukan pada studi ini, sekaligus untuk menganalisis nilai proyeksi pertumbuhan produksi daging sapi dalam lima tahun ke depan. Hasil analisis menunjukkan bahwa laju peningkatan populasi dan produksi daging sapi potong di wilayah sentra produksi sapi menunjukkan nilai yang positif bervariasi, antara 1 – 1,35 persen per tahun. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan laju kenaikan populasi sapi persilangan, baik Simmental, Limousine maupun Brahman di wilayah-wilayah Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan populasi dan produksi daging sapi berviariasi antar wilayah, sebagian besar adalah faktor pemasukan dan pengeluaran sapi. Hal ini menunjukkan bahwa mobilitas perdagangan sapi cukup tinggi, sehingga kebijakan pengaturan distribusi daging sapi sangat diperlukan guna mempertahankan keberlangsungan usaha di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong.

(2)

PENDAHULUAN

Guna memenuhi kebutuhan daging sapi bagi masyarakat Indonesia yang mencapai 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 (BPS, 2010), maka selain mengandalkan pemotongan sapi lokal pemerintah telah mengalokasikan jumlah impor sapi bakalan dan daging beku masing-masing sebesar 500 ribu ekor dan 72 ribu ton (setara dengan 220 ribu ekor) pada tahun 2011 dari Australia dan negara-negara pengekspor daging lainnya (Ditjenakeswan, 2011). Kontribusi daging sapi terhadap konsumsi daging nasional mencapai 390 ribu ton (21%), daging unggas mencapai 1096 ribu ton (59%), babi 186 ribu ton (10%), kambing dan domba 112 ribu ton (6%), dan sisanya 74 ribu ton (4%) berasal dari ternak lain (Ditjen Peternakan, 2009). Tingkat konsumsi daging nasional saat ini mencapai sekitar 7,75 kg/kapita/tahun, dimana pada saat ini produksi daging sapi didalam negeri mencapai volume sekitar 435,3 ribu ton atau baru mencerminkan sebesar 67% dari total kebutuhan, karena selebihnya (33%) masih harus diimpor.

Meat Livestock Australia (2011) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010, Indonesia telah mengimpor 520.987 ekor sapi bakalan dari Australia, menurun sekitar 33 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 772.868 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 60 persen sapi bakalan yang dihasilkan oleh Australia diekspor ke Indonesia dengan total nilai sekitar A$ 312 juta. Diperkirakan, pada tahun 2011 secara nilai maupun volume impor sapi bakalan dan daging sapi akan terus menurun seiring dengan target pencapaian swasembada daging sapi pada tahun 2014.

Secara historis perkembangan baik populasi sapi maupun produksi daging sapi di dalam negeri menunjukkan peningkatan yang cukup berarti sejak 3 dekade terakhir. Namun, pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan (Delgado et al., 1999) tampaknya mengalami laju permintaan yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan produksi daging sapi. Di masa yang akan datang diramalkan akan terus terjadi peningkatan permintaan daging sapi, sehingga akan membuka peluang pasar domestik yang sangat besar. Saat ini rata-rata konsumsi daging sapi secara nasional masih sangat rendah (<2 kg/kapita/tahun), dan diduga akan terjadi peningkatan permintaan mencapai sekitar 3 kg/kapita/tahun dalam dasawarsa mendatang. Peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan rata-rata konsumsi tersebut memerlukan tambahan pasokan sapi potong yang sangat besar. Sayangnya, potensi pasar yang besar tersebut ternyata belum dapat diimbangi dengan kemampuan pasokan dari dalam negeri. Kondisi ini dikhawatirkan dapat meningkatkan ketergantungan pada daging impor sampai 70 persen dalam waktu mendatang seperti ramalan peneliti Australia dalam laporannya (Quirke et al., 2003).

Makalah ini bertujuan untuk mengulas seberapa besar kemampuan produksi daging di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong di Indonesia. Hal ini diproksi melalui parameter produksi seperti populasi sapi potong dan produksi daging sapi. Diharapkan hasil kajian ini dapat dijadikan bahan alternatif dalam membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia.

(3)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Analisis penawaran pasokan daging sapi yang didekati dengan populasi sapi dan produksi daging dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan tren secara historis, dalam hal ini selama 12 tahun terakhir maupun pendekatan ekonometrik. Pada keadaan dimana ketersediaan data sangat bervariasi, maka pendekatan trend dapat digunakan sebagai alternatif alat analisis dengan pertimbangan ilmiah bahwa pertumbuhan populasi dan produksi daging sapi berhubungan erat dengan waktu dan pola produksi tertentu.

Analisis suplai sapi potong ini meliputi sapi potong lokal yang terdiri dari sapi bali dan PO, serta sapi persilangan (Limousin, Simmental dan Brahman cross). Jenis sapi-sapi ini merupakan kontribusi terbesar terhadap pasokan daging sapi di Indonesia.

Data dan Pemilihan Kawasan Produksi

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan jenis data sekunder dengan time series selama 12 tahun terakhir (tahun 1999-2010). Penentuan provinsi dilakukan secara purposive, karena kawasan ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan kondisi dan keberdayaan sumber daya pendukung. Berdasarkan perbedaan peran kawasan terhadap kemampuan produksi dan produktivitas sapi potong, analisis ini meliputi wilayah: NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Lampung. Pada setiap kawasan ini akan diidentifikasi lebih jauh daerah-daerah potensial sebagai pemasok sapi potong, dimana wilayah ini mempunyai kontribusi sebesar 52 persen terhadap total populasi nasional sebagai daerah sentra produksi sapi potong yang sekaligus memiliki populasi sapi potong terbesar di Indonesia (Statistik Peternakan, 2010).

Berdasarkan uraian komoditas sapi potong dan kawasan produksi tersebut di atas, dapat ditentukan wilayah-wilayah potensial pemasok sapi potong lokal dan persilangan, yakni: (i) Kawasan NTT, NTB, dan Bali untuk sapi bali; (ii) Kawasan Jawa Timur untuk sapi potong PO dan sapi persilangan, serta (iii) Kawasan Jawa Barat dan Lampung untuk sapi persilangan.

Kerangka Analisis

Analisis pasokan daging sapi dalam studi ini dilakukan melalui pendekatan tren dan ekonometrik. Kedua pendekatan ini dilakukan secara komplemen maupun secara alternatif tergantung pada kondisi operasional yang ada (Ilham, 2001; Kariyasa, 2005). Pendekatan tren didasari atas pemikiran bahwa pertumbuhan populasi dan produksi daging sapi berhubungan erat dengan waktu dalam suatu pola hubungan yang tertentu dan tetap selama cakupan waktu proyeksi. Model yang digunakan dalam studi ini adalah model linier sederhana, yaitu:

(4)

Q = a + bT

dimana : Q = populasi sapi / daging sapi T = tahun

Proyeksi populasi dan produksi daging sapi merupakan fungsi dari tahun proyeksi, sehingga Qds = f(Tp) dimana Qds adalah volume proyeksi pada tahun p dan Tpadalah tahun proyeksi. Periode proyeksi meliputi tahun 2011-2015.

Sinaga (2003) menyatakan bahwa model adalah representasi fenomena aktual dalam suatu sistem, sehingga dalam memformulasikan model selain harus mempertimbangkan fenomena aktual, juga harus memperhatikan manageable dalam mengoperasionalkannya. Selain merupakan abstraksi, model juga merupakan simplifikasi dari kondisi riil yang ada. Dalam hal memformulasikan model penawaran daging sapi terkait dengan wilayah sentra produksi daging sapi berbagai perbedaan baik agro ekosistem maupun sistem usaha tertuang dalam formulasi model yang dispesifikasikan.

Model persamaan tunggal dengan partial adjustment digunakan untuk mengkuantifikasi dan menganalisis seberapa besar sumber daya yang tersedia mempengaruhi terhadap penawaran daging sapi di enam provinsi tersebut. Keterbatasan perolehan data di feedlooter di wilayah Lampung dan Jawa Barat mengakibatkan studi ini memproksi pasokan daging sapi di wilayah tersebut dengan tingkat peternakan rakyat. Hal ini cukup beralasan mengingat usaha sapi potong di kedua provinsi ini mendekati pada usaha penggemukan karena letak geografis yang dekat dengan pusat pasar (konsumen) di wilayah Jabodetabek. Pendekatan ekonometrik didasari atas pemikiran bahwa volume produksi daging sapi tergantung pada sumber daya yang tersedia, struktur harga input-output, keadaan lingkungan usaha dan perilaku produsen daging sapi. Model partial adjustmentakan dilakukan dalam menganalisis suplai daging sapi sebagai berikut:

Qdst= a0+ bPt+ cQdst-1+ dZt+ εt (1)

dimana:

Q = (populasistanding stock)*(produktivitas sapi/ekor) Qdst = Jumlah produksi daging sapi tahun ke t

Pt = Harga daging sapi pada tahun ke t Qdst-1 = Jumlah produksi daging sapi tahun ke t-1

Zt = Peubah eksogen sebagai produk atau harga lain yang berpengaruh langsung terhadap produksi daging

Spesifikasi model dalam studi ini adalah regresi linier berganda (Putu et al., 1997 dan Sinaga, 2006) dan penyelesaian metode ini menggunakan bantuan komputer dengan programStatistical Analysis System(SAS) versi 9.02.

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendekatan Tren

Analisis tren dilakukan dengan menggunakan model linier sederhana dengan estimasi regresi sederhana. Periode waktu yang digunakan adalah 12 tahun terakhir, yakni dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2010. Data yang digunakan adalah data sekunder dari berbagai terbitan statistik peternakan di tingkat provinsi dan data primer hasil verifikasi di lapang. Analisis ini dilakukan untuk kelompok populasi sapi dan produksi daging di masing-masing provinsi.

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Populasi sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan peningkatan selama periode 2006 – 2010 sebesar 1,63 persen per tahun. Saat ini populasi tersebut mencapai 589 ribu ekor (Statistik Peternakan, 2010) dari berbagai jenis sapi, seperti sapi bali (90%), sapi sumba ongole (SO) (8%), dan sapi persilangan (2%). Hasil analisis tren menunjukkan bahwa terjadi laju peningkatan populasi sapi potong sebesar 0,98 persen per tahun sejak dua belas tahun terakhir (Tabel 1). Populasi sapi potong tahun sebelumnya sangat signifikan berpengaruh terhadap populasi sapi potong tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan populasi sapi potong ini disebabkan oleh peningkatan populasi sapi bali yang mencapai 1,03 persen, sedangkan jenis sapi lainnya seperti sapi SO dan sapi persilangan masing-masing sebesar 0,60 persen dan 0,76 persen.

Pemasukan ternak sapi ke Provinsi NTT dari wilayah lain relatif kecil, sehingga tidak menjadi salah satu peubah penjelas yang mempengaruhi terhadap perubahan populasi sapi potong tahun berlangsung. Pengeluaran sapi potong relatif menurun, rata-rata sebesar 2,7 persen/tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran sapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi sapi potong pada tahun berlangsung (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran sapi lebih kepada tujuan perdagangan sapi antarwilayah dibandingkan dengan usaha budidaya sapi potong yang dilakukan oleh peternak.

Produksi daging sapi potong tahun sebelumnya berpengaruh sangat signifikan terhadap produksi daging sapi potong di Provinsi NTT pada tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan sebesar 0,85 persen per tahun mengindikasikan bahwa produksi daging sapi potong di Provinsi NTT tumbuh relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan populasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan daging sapi di NTT dapat dilakukan oleh wilayahnya sendiri.

Hasil proyeksi lima tahun ke depan dari tingkat populasi dan produksi daging sapi di masing-masing provinsi berdasarkan hasil estimasi analisis tren tersebut di atas disajikan secara rinci pada Tabel 2. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2015 populasi sapi potong di NTT hampir mencapai 620 ribu, sedangkan untuk produksi daging akan mencapai lebih dari 6800 ton.

(6)

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Tren Populasi Sapi Potong dan Produksi Daging di Berbagai Provinsi, 1999 – 2010

Persamaan / Peubah Nilai parameter dugaan Prob │t │

I. Provinsi NTT:

1. Populasi tahun ini (Popt):Adj R

2

= 0,9954 F value = 2393,49

a. Intersep 22518 0,0545

b. Populasi tahun sebelumnya (Popt-1) 0,97907 <, 0001

2. Produksi daging (Prodt):Adj R2= 0,7942 F value = 43,45

a. Intersep 1058,648 0,0862

b. Produksi tahun sebelumnya (Prodt-1) 0,85413 0,0001

II. Provinsi NTB:

1. Populasi tahun ini (Popt):Adj R2= 0,99 F value = 1089,16

a. Intersep - 116120 <, 0001

b. Populasi tahun sebelumnya (Popt-1) 1,31871 <, 0001

2. Produksi daging (Prodt):Adj R2= 0,2040 F value = 3,82

a. Intersep 3898,32161 0,0152

b. Produksi tahun sebelumnya (Prodt-1) 0,38448 0,0792

III. Provinsi Bali:

1. Populasi tahun ini (Popt):Adj R2= 0,9619 F value = 279,01

a. Intersep -35902 0,3632

b. Populasi tahun sebelumnya (Popt-1) 1,08700 <, 0001

2. Produksi daging (Prodt):Adj R

2

= 0,6237 F value = 19,23

a. Intersep 1770,52317 0,3170

b. Produksi tahun sebelumnya (Prodt-1) 0,72300 0,0014

IV. Provinsi Jawa Timur:

1. Populasi tahun ini (Popt):Adj R

2

= 0,8202 F value = 51,17

a. Intersep -526400 0,2871

b. Populasi tahun sebelumnya (Popt-1) 1,23626 <, 0001

2. Produksi daging (Prodt):Adj R2= 0,2040 F value = 3,82

a. Intersep -12975 0,4854

b. Produksi tahun sebelumnya (Prodt-1) 1,19563 0,0003

V. Provinsi Jawa Barat:

1. Populasi tahun ini (Popt):Adj R2= 0,9890 F value = 990

a. Intersep 15799 0,0554

b. Populasi tahun sebelumnya (Popt-1) 0,99872 <, 0001

2. Produksi daging (Prodt):Adj R

2

= 0,8835 F value = 84,46

a. Intersep 21768 0,0039

b. Produksi tahun sebelumnya (Prodt-1) 0,74636 <, 0001

VI. Provinsi Lampung:

1. Populasi tahun ini (Popt):Adj R2= 0,8906 F value = 90,52

a. Intersep -130037 0,0448

b. Populasi tahun sebelumnya (Popt-1) 1,35531 <, 0001

2. Produksi daging (Prodt):Adj R2= 0,9263 F value = 139,23

a. Intersep 276954 0,6310

b. Produksi tahun sebelumnya (Prodt-1) 1,00790 <, 0001

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Populasi sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan peningkatan selama periode 2006 – 2010 sebesar 8,4 persen per tahun. Saat ini

(7)

populasi tersebut mencapai 683 ribu ekor (Statistik Peternakan, 2010) dari berbagai jenis sapi, seperti sapi bali (90%), sapi hissar (5%), dan sapi persilangan serta lainnya (5%). Hasil analisis tren menunjukkan bahwa terjadi laju peningkatan populasi sapi potong sebesar 1,32 persen per tahun (Tabel 1). Populasi sapi potong tahun sebelumnya sangat signifikan berpengaruh terhadap populasi sapi potong tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan populasi sapi potong ini disebabkan oleh peningkatan populasi sapi bali yang mencapai 1,32 persen, sedangkan jenis sapi lainnya seperti sapi persilangan dan sapi hissar bervariasi antara 0,57 – 1,2 persen.

Pengeluaran dan pemasukan ternak ke Provinsi NTB juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi sapi potong pada tahun berlangsung (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran dan pemasukan ternak lebih kepada tujuan perdagangan sapi antarwilayah dibandingkan dengan usaha budidaya sapi potong yang dilakukan oleh peternak.

Produksi daging sapi potong tahun sebelumnya mempengaruhi secara sangat signifikan terhadap produksi daging sapi potong di Provinsi NTB pada tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan sebesar 0,38 persen per tahun mengindikasikan bahwa produksi daging sapi potong di NTB tumbuh relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan populasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan daging sapi di Provinsi NTB dapat dilakukan oleh wilayahnya sendiri.

Hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2015 populasi sapi potong di NTB hampir mencapai 730 ribu ekor, sedangkan pada produksi daging akan mencapai lebih dari 7,5 ribu ton dengan peningkatan rata-rata 0,38 persen per tahun (Tabel 2). Dalam rangka mendukung terwujudnya program swasembada daging sapi, Pemerintah Provinsi NTB telah mencanangkan suatu program implementasi yang disebut dengan program ‘NTB Bumi Sejuta Sapi’. Program ini merupakan wujud dari tujuan utama bahwa pada tahun 2013 NTB dapat memiliki satu juta ekor sapi. Dibandingkan dengan hasil proyeksi menggunakan data time series, 1999-2008 program ini tampak sangat optimis. Namun hal ini mungkin saja tercapai karena dukungan pemerintah provinsi yang sangat intensif dalam usaha peternakan (Munir, 2009). Hal ini dijabarkan dalam strategi dan kebijakan lima tahun mendatang di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB yang terbagi dalam tiga sasaran. Sasaran populasi meliputi peningkatan aspek reproduksi, pakan, dan penyakit. Sasaran pendapatan dan mutu lingkungan meliputi aspek grade sapi dan aspek usaha didukung oleh aspek sosial dan kesehatan lingkungan.

Provinsi Bali

Populasi sapi potong di Provinsi Bali hampir seluruhnya berasal dari jenis sapi bali. Hasil analisis tren menunjukkan bahwa populasi sapi bali mengalami laju peningkatan sebesar 1,09 persen per tahun terhadap populasi sapi bali tahun sebelumnya (Tabel 1). Pemerintah Provinsi Bali menerapkan kebijakan untuk tidak melakukan pemasukan sapi jenis lain. Hal ini terkait dengan upaya pengembangan dan pelestarian sapi bali di provinsi tersebut. Di sisi lain, permintaan sapi bali untuk

(8)

pengembangan di kawasan lain seperti Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat terus meningkat. Informasi terakhir menunjukkan bahwa hampir 75 ribu ekor sapi bali keluar pada akhir tahun 2008 (Dinas Peternakan Provinsi Bali, 2008). Hasil estimasi menunjukkan bahwa pengeluaran sapi bali ini tidak berpengaruh nyata terhadap populasi sapi bali (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan populasi sapi bali di dalam provinsi itu sendiri mampu memenuhi kebutuhan pengeluaran sapi bali untuk perdagangan antar pulau.

Produksi daging sapi bali tahun sebelumnya mempengaruhi secara sangat signifikan terhadap produksi daging sapi bali pada tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan sebesar 0,72 persen per tahun mengindikasikan bahwa produksi daging sapi bali tumbuh relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan populasinya. Oleh karenanya, impor daging segar dan beku mengalami kenaikan yang cukup berarti guna memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa impor daging berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi di Provinsi Bali (P<0.04), sedangkan hal tersebut untuk ekspor daging tidak berpengaruh nyata (P>0.10).

Hasil proyeksi lima tahun ke depan dari tingkat populasi dan produksi daging sapi di Provinsi Bali menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2015 populasi sapi bali akan mencapai hampir 710 ribu ekor, atau dengan rata-rata kenaikan sebesar 1,25 persen per tahun (Tabel 2). Hal yang serupa pada produksi daging akan mencapai 6.700 ton dengan peningkatan rata-rata 0,73 persen per tahun. Diperlukan adanya program-program terobosan dalam rangka meningkatkan populasi dan produksi daging sapi dilengkapi dengan kebijakan pendukung secara lintas sektoral baik dari aspek teknis maupun non teknis. Alit (2009) menyatakan bahwa terdapat 7 program utama Pemerintah Provinsi Bali dalam mendukung pengembangan usaha sapi potong, yakni: (i) meningkatkan produksi dan mutu bibit ternak; (ii) menata ulang dan menguatkan kelembagaan pembibitan ternak sapi potong berbasis komunitas; (iii) meningkatkan kualitas SDM bidang teknologi perbibitan ternak dan pakan; (iv) meningkatkan dan mengembangkan penggunaan IB; (v) pengembangan hijauan makanan ternak sumber daya lokal, (vi) pengendalian penyakit hewan dan penanganan gangguan reproduksi, serta (vii) peningkatan kapasitas instalasi perbibitan (UPTD).

Provinsi Jawa Timur

Populasi sapi potong di Provinsi Jawa Timur terdiri dari berbagai jenis, di antaranya adalah sapi lokal meliputi sapi madura (25%), sapi PO (24%) dan sapi bali (1%) serta sapi persilangan (Simmental, Limousine, Brahman) sekitar 50 persen. Hasil analisis tren menunjukkan bahwa populasi sapi potong di Jawa Timur mengalami laju kenaikan sebesar 1,24 per tahun terhadap populasi tahun sebelumnya (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa populasi sapi potong tahun berlangsung dipengaruhi secara signifikan oleh populasi pada tahun sebelumnya (P<0,001). Hasil estimasi parsial menunjukkan bahwa populasi dari jenis-jenis sapi tersebut di atas pada tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap peningkatan populasi sapi potong (P<0,05). Nilai adjusted koefisien determinasi (82%)

(9)

menunjukkan bahwa hubungan peubah penjelas populasi sapi potong tahun berlangsung cukup erat. Laju peningkatan populasi ini, secara signifikan dipengaruhi oleh laju kenaikan populasi sapi persilangan, sebesar 1,12 persen per tahun. Laju peningkatan jenis sapi lainnya berkisar antara 0,71 – 1,09 persen.

Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi sapi potong yang paling padat di Indonesia, mencapai sekitar 3,8 juta ekor atau sekitar 28 persen dari populasi sapi potong nasional (Statistik Peternakan, 2010). Pengeluaran dan pemasukan ternak sapi ke dan dari wilayah lain cukup tinggi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pengeluaran dan pemasukan sapi potong tidak berpengaruh terhadap populasi sapi potong pada tahun berlangsung (P>0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan populasi sapi potong disebabkan oleh produksi yang dihasilkan, bukan karena aspek perdagangan sapi potong antarwilayah.

Produksi daging sapi mencapai 110 ribu ton pada akhir tahun 2010. Hasil estimasi menunjukkan bahwa produksi daging sapi tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap produksi daging sapi saat ini (P<0,001). Laju peningkatan produksi daging sapi sebesar 1,20 persen per tahun, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan populasi sapi potong. Hal ini mengindikasikan bahwa guna memenuhi kebutuhan daging sapi di Jawa Timur telah dilakukan impor daging antara wilayah maupun dari luar negeri.

Hasil proyeksi lima tahun ke depan dari tingkat populasi dan produksi daging sapi di Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2015 populasi sapi bali akan mencapai lebih dari 4 juta ekor dengan produksi daging mencapai lebih dari 118 ribu ton (Tabel 2). Dalam rangka mendukung terwujudnya program swasembada daging sapi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah meluncurkan suatu program yang disebut dengan sapi beranak lima juta dalam lima tahun, atau yang dikenal dengan ‘Sapi Berlian’. Program ini merupakan optimalisasi dari program sebelumnya yang disebut program inseminasi buatan sejuta akseptor sapi atau ‘Intan Sejati’. Dalam program ini diproyeksikan bahwa laju kenaikan produksi daging adalah 2,67 persen, sehingga diperlukan beberapa upaya trobosan (Kadir, 2009). Pengembangan sapi madura juga ditingkatkan dalam rangka upaya pemanfaatan dan pelestarian plasma nutfah sapi potong lokal. Diharapkan Madura dapat menjadi ‘Pulau Sapi’ melalui pemberdayaan village breeding centerdengan teknik seleksi up grading dengan sapi persilangan. Namun hal ini masih harus dikaji lebih detail, utamanya dari aspek pemuliaan ternak dan insentif nilai ekonomi yang dihasilkan. Masing-masing kabupaten di Pulau Madura ditetapkan sebagai kawasan pembibitan sapi madura rakyat dengan populasi minimal 10 ribu ekor betina dewasa.

Provinsi Jawa Barat

Populasi sapi potong di Jawa Barat menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan selama periode 2006 – 2010 sebesar 5,5 persen per tahun. Saat ini populasi tersebut mencapai sekitar 325 ribu ekor (Statistik Peternakan, 2010) dari berbagai jenis sapi, seperti sapi PO (49%), sapi lokal lain seperti madura, bali dan lainnya (9%), sapi persilangan Simental dan Limousin (27%), serta sapi persilangan Brahman (Australian) (15%). Hasil analisis trendmenunjukkan bahwa

(10)

terjadi laju peningkatan populasi sapi potong sebesar 1,0 persen per tahun sejak dua belas tahun terakhir (Tabel 1). Populasi sapi potong tahun sebelumnya sangat signifikan berpengaruh terhadap populasi sapi potong tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan populasi ini lebih disebabkan oleh peningkatan populasi sapi persilangan baik Simental, Limousin, serta sapi Australian Brahman yang masing-masing mencapai 1,2 persen. Hal tersebut untuk sapi lokal, seperti sapi PO dan lokal lainnya berturut-turut adalah 1 persen dan 0,57 persen.

Pengeluaran sapi potong dari Jawa Barat memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi sapi potong pada tahun berlangsung (P<0,10). Setiap pengeluaran sapi potong sebesar 1 persen, maka populasi tersebut di Jawa Barat menurun sebanyak 0,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pengeluaran sapi potong yang terus menerus karena kompensasi dari pemasukan sapi potong ternyata tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi. (P>0,05). Gambaran ini mengindikasikan bahwa diperlukan suatu program/strategi peningkatan populasi sapi potong di Jawa Barat apabila tidak dikehendaki terjadinya pengurasan sapi potong di masa-masa yang akan datang. Jawa Barat sebagai wilayah yang strategis dengan sentra konsumen daging sapi (Jabodetabek) merupakan tulang punggung penyedia supply bakalan maupun daging sapi yang terdekat dengan konsumen. Oleh karena itu, selain usaha pembesaran sapi potong, usaha penggemukan juga memiliki prospek dan peluang usaha yang sangat besar.

Produksi daging sapi potong tahun sebelumnya mempengaruhi secara sangat signifikan terhadap produksi daging sapi potong di Jawa Barat pada tahun berlangsung (P<0,001; Tabel 2). Laju peningkatan sebesar 0,75 persen per tahun mengindikasikan bahwa produksi daging sapi potong di Jawa Barat tumbuh relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan populasinya. Hal ini sejalan dengan hasil analisis sebelumnya, dimana pengeluaran sapi lebih berpengaruh terhadap populasi dibandingkan dengan pemasukan ternak sapi potong. Produksi daging sapi di Jawa Barat berasal dari pemotongan di wilayah tersebut guna memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, karena pemasukan sapi potong tidak berkontribusi terhadap produksi daging sapi.

Hasil proyeksi lima tahun ke depan dari tingkat populasi dan produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2015 populasi sapi di Jawa Barat akan mencapai hampir 350 ribu ekor, dan produksi daging akan mencapai sekitar 84 ribu ton dengan peningkatan rata-rata 0,75 persen per tahun.

Provinsi Lampung

Populasi sapi potong di Lampung menunjukkan peningkatan selama periode 2006 – 2010 sebesar 5 persen per tahun. Saat ini populasi tersebut mencapai 503 ribu ekor (Statistik Peternakan, 2010) dari berbagai jenis sapi, seperti sapi bali (27,5%), sapi PO (62%), sapi madura (0,4%), dan sapi persilangan (10%). Hasil analisis tren menunjukkan bahwa terjadi laju peningkatan populasi sebesar 1,35 persen per tahun (Tabel 1). Populasi sapi potong tahun sebelumnya sangat signifikan berpengaruh terhadap populasi tahun berlangsung (P<0,005). Pengeluaran dan pemasukan ternak ke Provinsi Lampung juga tidak memberikan

(11)

pengaruh yang nyata terhadap populasi sapi potong pada tahun berlangsung (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran dan pemasukan ternak lebih kepada tujuan perdagangan sapi antarwilayah dibandingkan dengan usaha budidaya sapi potong yang dilakukan oleh peternak.

Tabel 2. Rekapitulasi Proyeksi Populasi dan Produksi Daging Sapi di Berbagai Provinsi di Indonesia

Produksi daging sapi potong tahun sebelumnya mempengaruhi secara sangat signifikan terhadap produksi daging sapi potong di Lampung pada tahun berlangsung (P<0,001). Laju peningkatan sebesar 1,07 persen per tahun mengindikasikan bahwa produksi daging sapi potong di Lampung tumbuh relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laju kenaikan populasinya. Oleh karenanya,

Tahun Populasi sapi (ekor) Produksi daging (ton) I. Provinsi NTT: 2011 594.460 6.607 2012 600.286 6.663 2013 606.169 6.719 2014 612.109 6.777 2015 618.108 6.834 II. Provinsi NTB: 2011 692.358 7.386 2012 701.489 7.415 2013 710.739 7.443 2014 720.112 7.472 2015 729.608 7.501

III. Provinsi Bali:

2011 701.379 6.394

2012 709.003 6.463

2013 716.710 6.534

2014 724.500 6.605

2015 732.376 6.676

IV. Provinsi Jawa Timur:

2011 3.863.382 112.312

2012 3.911.144 113.700

2013 3.959.496 115.106

2014 4.008.445 116.529

2015 4.058.000 117.969

V. Provinsi Jawa Barat:

2011 328.501 81.553

2012 331.753 82.361

2013 335.038 83.176

2014 338.355 84.000

2015 341.704 84.831

VI. Provinsi Lampung:

2011 509.861 11.374

2012 516.771 11.528

2013 523.775 11.684

2014 530.874 11.843

(12)

impor daging segar dan beku mengalami kenaikan yang cukup berarti guna memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa impor dan ekspor daging berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi di Provinsi Lampung (P<0.005). Kenaikan ekspor daging sebesar 1 persen, akan menurunkan produksi daging sapi sebanyak 7,6 persen; sedangkan peningkatan impor daging segar maupun beku sebesar 1 persen, akan meningkatkan produksi daging sapi sebesar 4,6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa perdagangan antarwilayah untuk produk daging sapi di Provinsi Lampung juga diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan lokal.

Hasil proyeksi lima tahun ke depan dari tingkat populasi dan produksi daging sapi di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2015 populasi sapi di Lampung akan mencapai hampir 540 ribu ekor dan produksi daging akan mencapai lebih dari 12 ribu ton dengan peningkatan rata-rata 1,012 persen per tahun.

Pendekatan Ekonometrik

Analisis penawaran melalui pendekatan ekonometrik ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pasokan daging sapi di masing-masing provinsi.

Hasil pendugaan model pada studi ini cukup representatif menjelaskan kinerja ekonomi penawaran daging sapi di wilayah sentra produksi daging sapi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang menyusun masing-masing persamaan mampu menjelaskan variasi peubah dalam proporsi yang cukup baik (R2>90%). Pada derajat bebas masing-masing, uji F menghasilkan kesimpulan bahwa model regresi yang dibangun secara statistik nyata pada taraf nyata 0,01 – 0,2. Hasil uji t menunjukkan bahwa sebagian besar peubah penjelas berpengaruh terhadap peubah endogennya masing-masing pada taraf nyata 5 - 10 persen.

Di wilayah Nusa Tenggara Timur, faktor-faktor seperti harga sapi bibit, harga daging sapi, harga daging ayam, harga dedak, dan produksi daging sapi tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi (P bervariasi 1-10%) (Tabel 3). Sedangkan hal tersebut untuk harga ikan tongkol dan harga telur tidak memberikan perbedaan terhadap produksi daging sapi tahun berjalan (P>0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa kedua komoditas ini tidak berperan sebagai barang substitusi maupun komplemen terhadap komoditas daging sapi di wilayah tersebut.

Hasil perhitungan elastisitas jangka pendek menunjukkan bahwa produksi daging sapi sangat responsif terhadap perubahan-perubahan harga bibit sapi, harga daging ayam, harga daging sapi, dan harga dedak sebagai input produksi. Makin tinggi harga daging sapi, produksi daging sapi makin meningkat, sedangkan makin tinggi input produksi (harga bibit sapi dan harga dedak), maka produksi daging sapi semakin menurun. Komoditas daging ayam (broiler) berperan sebagai barang substitusi terhadap daging sapi, apabila produksi daging sapi meningkat, maka harga daging ayam menjadi turun.

(13)

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Parameter Dugaan dan Elastisitas Penawaran Daging Sapi di Berbagai Provinsi

Peubah Parameter Dugaan Elastisitas Prob > │T│ Nama Peubah

I. Provinsi NTT:F value = 55,510 Prob > F = 0,0178 Adj R-square = 0,9770 INTERCEP PBIBIT PAYAM PTELUR PDAG PDEDAK PIKAN PROD1 -24471 -4,209513***) -1,623933***) -0,253474 0.642902**) 36,161776***) -0,127962 0,295068*) --11,8577 -6,98439 -0,69668 4,249272 -8,27495 -0,41863 0,286946 0,0245 0,0148 0,0149 0,2237 0,0531 0,0280 0,2702 0,0980 Intersep Harga bibit sapi Harga daging ayam Harga telur ayam Harga daging sapi Harga dedak Harga ikan tongkol Lag prod daging sapi II. Provinsi NTB:F value = 9,861 Prob > F = 0,0228 Adj R-square = 0,8312

INTERCEP PBIBIT PAYAM PDAG PDEDAK PROD1 11842 -1,287829***) -0,295135*) 0,309034*) -5,986672**) 0,656618**) --2,52431 -1,12732 2,691559 -1,30291 -0,961263 0,0016 0,0127 0,0786 0,0824 0,0387 0,0320 Intersep Harga bibit sapi Harga daging ayam Harga daging sapi Harga dedak Lag prod daging sapi III. Provinsi Bali:F value = 5,126 Prob > F = 0,1039 Adj R-square = 0,7334

INTERCEP PAYAM PDAG PTELUR PDEDAK PLIMBAH PROD1 17009 -3,846098**) 0,747844*) 3,871422**) -17,665394*) -99,261181**) 0,656618**) --7,94284 3,090093 4,605768 -2,46169 -2,10579 0,755794 0,0061 0,0344 0,0814 0,0484 0,0919 0,0485 0,0668 Intersep

Harga daging ayam Harga daging sapi Harga telur Harga dedak Harga lim tan pangan Lag prod daging sapi IV. Provinsi Jatim:F value = 4,726 Prob > F = 0,1151 Adj R-square = 0,7129

INTERCEP PBAKALAN PDAG PIKAN PDEDAK PRUMPUT PROD1 116915 -5,534848**) 0,291834*) 1,430656 -122,306651**) -166,982129 0,508159**) --1,06166 1,128471 0,255696 -1,69264 -0,2745 0,517704 0,0036 0,0344 0,0814 0,0484 0,0919 0,0485 0,0668 Intersep

Harga sapi bakalan Harga daging sapi Harga ikan tongkol Harga dedak Harga rumput Lag prod daging sapi V. Provinsi Jabar:F value = 13,162 Prob > F = 0,0135 Adj R-square = 0,8711

INTERCEP PBKLANDAG PTELUR PAYAM PKONS PRUMPUT 1251980 -310,6690**) -4,795053 -28,957741***) -161,691414***) -246,607695***) --1,68727 -0,68491 -7,14194 -3,96488 -0,62041 0,0014 0,0274 0,5165 0,0051 0,0018 0,0034 Intersep

Rasio harga bakalan terhadap daging sapi Harga telur

Harga daging ayaml Harga konsentrat Harga rumput VI. Provinsi Lampung:F value = 3,091 Prob > F = 0,1912 Adj R-square = 0,5822 INTERCEP PDAG PAYAM PTELUR PKONS PRUMPUT PROD1 18736 2,570679*) -3,048930**) -2,133090 -12,527069*) -171,935924 0,429016**) -1,680739 -8,1827 -3,65673 -3,64282 -4,30406 0,437172 0,2488 0,0735 0,0537 0,1995 0,1393 0,2988 0,0544 Intersep

Harga daging sapi Harga daging ayam Harga telur Harga konsentra Harga rumput Lag prod daging sapi

Hasil pendugaan model penawaran daging sapi di Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa semua faktor yang masuk dalam model estimasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peubah produksi daging sapi

(14)

tahun berjalan (P bervariasi 1 – 10%; Tabel 3). Hasil estimasi menunjukkan bahwa input produksi seperti harga bibit sapi dan harga dedak memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi daging sapi tahun berlangsung (P<0,01 dan P<0,04). Makin mahal harga input produksi, makin menurun jumlah daging sapi yang diproduksi. Sebaliknya, makin mahal harga output (daging sapi), akan makin banyak produksi daging sapi yang dihasilkan. Komoditas daging ayam memiliki peran sebagai produk substitusi dengan tanda negatif dan signifikan (P<0,08).

Hasil estimasi elastisitas jangka pendek menunjukkan bahwa produksi daging sapi tahun berlangsung sangat responsif terhadap peubah-peubah penjelas tersebut. Setiap kenaikan Rp.100,-/kg untuk masing-masing input produksi harga bibit sapi dan harga dedak, maka produksi daging sapi berturut-turut akan menurun sebesar 128 kg dan 598 kg per tahun. Hal ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah, terlebih dengan program ‘NTB Bumi Sejuta Sapi’ yang menjadi program andalan subsektor peternakan di wilayah ini. Pada saat ini tampak terjadi over demand baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun perdagangan antarprovinsi/wilayah/pulau. Oleh karenanya, sasaran pencapaian program tersebut perlu diakselerasi, utamanya dalam hal peningkatan populasi dari aspek reproduksi dan manajemen pakan.

Provinsi Bali masih mengandalkan sapi bali sebagai usaha sapi potong dengan penerapan peraturan daerah yang sangat ketat untuk tidak memasukkan sapi lain di wilayah ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua peubah penjelas dalam model berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi di tahun berlangsung (P < 0,03 – 0,09; Tabel 3). Komoditas telur merupakan barang komplementer terhadap daging sapi, sehingga tidak bersifat substitusi sebagaimana halnya dengan produk daging ayam. Harga input produksi seperti dedak dan penggunaan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan berpengaruh nyata dan negatif terhadap produksi daging sapi.

Hasil perhitungan elastisitas jangka pendek menunjukkan bahwa produksi daging sapi di Provinsi Bali sangat responsif terhadap perubahan harga output maupun harga input seperti harga dedak dan limbah tanaman pangan sebagai pengganti rumput. Jika harga daging sapi meningkat Rp 100,-/kg, maka produksi daging sapi akan naik sebesar 74,8 kg setiap tahunnya. Sebaliknya, jika harga dedak dan limbah tanaman pangan masing-masing naik Rp 100,-/kg, maka produksi daging sapi akan turun berturut-turut sebesar 17 kg dan 99 kg. Oleh karenanya, diperlukan kebijakan yang tepat untuk mempertahankan harga output maupun input produksi dalam usaha sapi potong. Alternatif kebijakan kombinasi antara kenaikan harga input yang diimbangi juga dengan kenaikan harga output merupakan opsi kebijakan harga yang ideal.

Keragaan usaha sapi potong di Jawa Timur agak sedikit berbeda dengan wilayah lain. Peternak dapat memelihara sapi sebagai usaha pembibitan, pembesaran dan penggemukan dalam satu kandang. Hal ini merupakan fenomena tersendiri yang berkembang di tahun-tahun terakhir, sehingga harga input sapi bibit dan bakalan menjadi peubah penjelas dalam model estimasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa harga ikan sebagai produk substitusi daging sapi tidak berpengaruh terhadap produksi daging sapi (P>0,05), demikian pula halnya dengan harga input produksi berupa rumput (Tabel 3). Harga sapi bakalan

(15)

berpengaruh negatif dan sangat nyata (P<0,03) terhadap produksi daging sapi. Makin mahal harga sapi bakalan, maka produksi daging sapi akan makin menurun. Harga output dan harga input produksi berupa dedak berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi.

Hasil perhitungan elastisitas jangka pendek menunjukkan bahwa produksi daging sapi responsif terhadap perubahan harga input produksi (bakalan sapi dan dedak), serta harga output daging sapi itu sendiri. Kenaikan harga sapi bakalan sebesar Rp.100,-/kg, akan menurunkan produksi daging sapi sebanyak 553 kg setiap tahun.

Usaha sapi potong di Jawa Barat mengarah kepada usaha penggemukan meskipun dilakukan oleh peternakan rakyat. Hal ini didukung oleh penggunaan input produksi berupa pakan konsentrat yang sangat signifikan berpengaruh terhadap produksi daging sapi tahun berjalan (P<0,001; Tabel 3). Komoditas daging ayam merupakan produk substitusi terhadap komoditas daging sapi di wilayah Jawa Barat, sedangkan hal tersebut untuk produk telur tidak berpengaruh nyata.

Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio harga sapi bakalan terhadap harga daging sapi berpengaruh negatif dan nyata terhadap produksi daging sapi tahun berjalan (P<0,03). Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi rasio antara harga input terhadap harga output, produksi daging sapi akan makin menurun. Hasil yang serupa juga terjadi pada komponen input produksi lainnya, seperti harga rumput dan harga konsentrat. Produksi daging sapi pada tahun sebelumnya mengalami eliminasi pada saat dilakukan respesifikasi, sehingga tidak termasuk dalam model estimasi.

Hasil perhitungan elastisitas jangka pendek menunjukkan bahwa produksi daging sapi sangat responsif terhadap perubahan harga daging dan harga input produksi, seperti konsentrat. Meskipun harga rumput berpengaruh signifikan terhadap produksi daging sapi, namun hal tersebut tidak memberikan efek yang responsif terhadap perubahan harga yang terjadi. Pada umumnya, biaya rumput merupakan biaya opportunity, yang dihitung jika peternak tidak dapat mengarit rumput sendiri. Kenaikan harga konsentrat sebesar Rp.100,-/kg akan menurunkan produksi daging sapi sebesar 161 kg per tahun.

Usaha sapi potong di wilayah Lampung juga mengarah kepada usaha penggemukan, dimana penggunaan konsentrat sapi potong sudah umum dilakukan oleh peternak. Hasil analisis menunjukkan bahwa harga konsentrat berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi pada tingkat 14 persen. Kenaikan Rp 100,-/kg pada harga ini akan menurunkan produksi daging sapi sebesar 1.252 kg setiap tahun. Sebaliknya, kenaikan harga daging sapi sebesar Rp 100,-/kg dapat meningkatkan produksi daging sapi mencapai 257 kg setiap tahun. Harga rumput tidak berpengaruh terhadap produksi daging sapi (P>0,05), sedangkan harga telur sebagai produk komplementer baru berpengaruh pada tingkat 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rumput tidak menjadi masalah utama untuk usaha sapi potong di wilayah Lampung, karena potensi sumber pakan hijauan lain memang masih tersedia secara luas. Komoditas daging ayam merupakan produk substitusi bagi komoditas daging sapi dan berpengaruh negatif

(16)

serta nyata terhadap produksi daging sapi tahun berjalan. Harga daging ayam turun sebesar Rp 100,-/kg, produksi daging sapi dapat meningkat 304 kg setiap tahun.

Hasil perhitungan elastisitas jangka pendek menunjukkan bahwa produksi daging sapi di wilayah Lampung sangat responsif terhadap perubahan harga konsentrat dan harga daging sapi itu sendiri. Setiap kenaikan Rp.100,-/kg harga daging sapi, produksi akan meningkat sebesar 257 kg setiap tahun. Sebaliknya, kenaikan harga konsentrat pada tingkat yang sama, akan menurunkan produksi daging sebesar 1.252 kg.

KESIMPULAN

Laju peningkatan populasi dan produksi daging sapi potong di wilayah sentra produksi sapi menunjukkan nilai yang positif bervariasi, antara 1 persen – 1,35 persen per tahun. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan laju kenaikan populasi sapi persilangan, baik Simmental, Limousine, maupun Brahman. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi daging sapi disebabkan oleh perubahan harga input produksi, harga output, dan produksi tahun sebelumnya. Harga input produksi seperti harga sapi bibit, harga dedak, dan harga limbah tanaman pangan sebagai pengganti rumput berpengaruh terhadap produksi daging sapi di wilayah sentra produksi sapi di NTT, NTB, dan Bali. Harga daging sapi berpengaruh positif dan signifikan di semua wilayah, kecuali untuk Jawa Barat yang merupakan rasio dari harga sapi bakalan terhadap harga daging sapi. Produk substitusi maupun komplementer dari daging sapi dapat berupa produk telur dan daging ayam serta ikan tongkol. Pengaruhnya terhadap produksi daging sapi bervariasi antarwilayah, dimana hal ini juga disebabkan oleh ketersediaan dan selera pasar terhadap produk tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alit, I. B. K., 2009. Peluang dan Tantangan Pengembangan Sapi Bali Menuju Komoditas Andalan Nasional. Dinas Peternakan Provinsi Bali. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Lokakarya Dies Natalis Universitas Udayana. Denpasar, 5 Oktober 2009.

Delgado, C. et al., 1999. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. IFPRI, FAO, and ILRI.

Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2008. Statistik Peternakan di Provinsi Bali. Tahun 2008. Ditjen Peternakan. 2009. Strategi Program P2SDS. Makalah disampaikan dalam Workshop

Nasional Dinamika dan Keragaan Implementasi Program SITT berbasis Padi-Sawit dan Kakao. Bogor, 10 Agustus 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

(17)

Ilham, N., B. Wiryono, IK Kariyasa, M.N.A. Kirom dan S. Hastuti. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Kadir, T.N. 2009. Program Sapi Berlian Provinsi Jawa Timur. Makalah disampaikan dalam Seminar Tematik dalam Rangka Hari Ulang Tahun. Indonesia Keluar dari Perangkap Impor Sapi Potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang ke-35. Bogor, 12 Agustus 2009.

Kariyasa, IK. 2005. Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Meat Livestock Association. 2011. Meat Livestock Association Market Information. June 2011.

Munir, B. 2009. Implementasi Program NTB Bumi Sejuta Sapi. Makalah disampaikan dalam Seminar Tematik dalam rangka Hari Ulang Tahun. Indonesia Keluar dari Perangkap Impor Sapi Potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang ke-35. Bogor, 12 Agustus 2009.

Putu, IG., K. Diwyanto, P Sitepu dan D. Sudjana. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 7-8 Januari 1997 : 50-63.

Quirke, D., M. Harding, D. Vincent and D. Garrett. 2003. Effects of Globalisation and Economic Development, on the Asian Livestock Sector. ACIAR, Canberra, Australia.

Sinaga, B.M. 2003. Pendekatan Kuantitatif dalam Penelitian Agribisnis: Konsep, Model dan Metode. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Statistik Peternakan Indonesia 2010. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Rekapitulasi  Hasil  Analisis  Tren  Populasi  Sapi  Potong  dan  Produksi  Daging  di Berbagai Provinsi, 1999 – 2010
Tabel 2. Rekapitulasi Proyeksi Populasi dan Produksi Daging Sapi di Berbagai Provinsi di Indonesia
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil  Parameter  Dugaan  dan  Elastisitas  Penawaran  Daging  Sapi  di Berbagai Provinsi

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan kebutuhan daging sapi tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sapi siap potong dari dalam negeri.. Populasi sapi lokal hanya mampu memasok 2,3

populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, jika dilihat dari alur distribusi daging RPH dalam hasil penelitian menunjukan faktor yang mempengaruhi penyediaan daging sapi di

Pada periode analisis dari tahun 2003-2013, terdapat beberapa isu baik nasional maupun global yang dianggap mempengaruhi volatilitas harga pangan, termasuk daging sapi potong

Predictors: (Constant), Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya, Impor Sapi, Konsumsi Daging Sapi, Produksi Daging Sapi. Dependent Variable: Harga

Hal ini diketahui neraca penawaran dan permintaan daging sapi domestik, bahwa mulai dari tahun 2004-2008 konsumsi daging sapi segar mengalami pertumbuhan yang meningkat yaitu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2006-2015 di Provinsi Sumatera Utara, produksi daging kambing dan daging domba mengalami trend positif dan untuk konsumsi

Hasil uji residu antibiotik dalam daging sapi bali yang berasal dari lima pasar di seluruh bali Asal daging Jumlah sempel buah Positif Keterangan Tetrasiklin Penisilin