• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL KARYA SENI KLAPA WREKSA OLEH: I WAYAN PRADNYA PITALA NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARTIKEL KARYA SENI KLAPA WREKSA OLEH: I WAYAN PRADNYA PITALA NIM:"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL KARYA SENI

KLAPA WREKSA

OLEH:

I WAYAN PRADNYA PITALA NIM: 201202023

PROGRAM STUDI S-1 SENI KARAWITAN

JURUSAN KARAWITAN

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

2016

(2)

KLAPA WREKSA

I Wayan Pradnya Pitala, I Ketut Garwa, I Nyoman Pasek.

Prodi Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar

E-mail: Pitalapradnya@rocketmail.com

No Hp: 089678185788

Abstrak

Persaingan yang semakin ketat dan kebebasan dalam berekspresi membuat para seniman Bali termotivasi untuk dapat menciptakan karya seni yang bernuansa kekinian serta memiliki nilai kreativitas tinggi. Namun, di tengah-tengah itu perlu adanya pelestarian terhadap tradisi yang di wariskan oleh nenek moyang kita khususnya dalam bidang seni karawitan agar tidak punah karena semata-mata mengikuti perkembangan zaman. Untuk mewujudkan sebuah karya yang memiliki nilai kreativitas tinggi, penata tertarik mengangkat bentuk anatomi serta fungsi pohon kelapa yang idenya bersumber dari cerita salah seorang panglingsir Desa Adat Bualu yaitu I Wayan Macring. Beliau menceritakan tentang pohon kelapa sebagai penopang kehidupan masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu. Berdasarkan bentuk anatomi dan fungsi pohon kelapa tersebut diatas, penata mencoba mengungkapkan konsep Klapa Wreksa yang berarti pohon kelapa kedalam sebuah komposisi karawitan berbentuk tabuh kreasi. Komposisi tabuh kreasi ini masih berpijak pada pola tradisi yang sudah ada. Masih tetap terbingkai oleh struktur Tri Angga yaitu:

kawitan, pengawak dan pengecet, diberi sentuhan kreatif dengan mengaransir ulang dari

segi ornamentasi seperti pola ritme, melodi, tempo dan dinamika agar terwujud sebuah komposisi tabuh kreasi bernuansa baru dengan menggunakan barungan Semarandhana sebagai media ungkap. Gamelan Semarandhana ini diciptakan oleh I Wayan Bratha pada tahun 1987 yang merupakan perpaduan antara gamelan Gong Kebyar dan Semara Pagulingan (Bandem, 2013: 284). Penata mencoba mengolah serta memunculkan karakteristik dari barungan gamelan Semarandhana ini, mengingat gamelan ini merupakan hasil penggabungan dari dua gamelan yang memiliki karakteristik berbeda. Dengan mensiasati pola melodi, pola ritme, dinamika, modulasi dari patet yang telah ada, membuat penonjolan-penonjolan serta mempertahankan keseimbangan untuk menimbulkan rasa keindahan maka terbentuklah suatu garapan tabuh kreasi bernuansa baru yang utuh serta memiliki karakteristik tersendiri.

(3)

1. Pendahuluan

Persaingan yang semakin ketat dan kebebasan dalam berekspresi membuat para seniman Bali termotivasi untuk dapat menciptakan karya yang bernuansa kekinian serta memiliki nilai kreativitas tinggi. Hal tersebut merupakan salah satu tolak ukur bahwa perkembangan kesenian Bali khususnya seni karawitan sudah berkembang sangat pesat mengikuti perkembangan zaman. Namun di tengah-tengah itu perlu juga adanya pelestarian agar tradisi Bali khususnya dalam bidang seni karawitan yang diwarisi oleh nenek moyang kita tidak punah karena semata-mata mengikuti perkembangan zaman.

“Sebagai karya kreatif musik Bali garapan baru tidak lahir karena kebetulan, tetapi melalui proses yang menuntut kecakapan dan keterampilan dalam bidang musik serta motivasi yang kuat untuk melakukan pembaharuan terhadap tradisi” (Sugiartha, 2012: 87). Untuk mewujudkan suatu karya musik yang memiliki nilai kreativitas, penata tertarik mengangkat bentuk anatomi dan fungsi pohon kelapa sebagai sumber mata pencaharian utama dalam kehidupan sosial masyarakat di tanah kelahiran penata sendiri yaitu di Desa Adat Bualu pada zaman dahulu, untuk dijadikan sumber inspirasi.

Desa Adat Bualu adalah sebuah desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Badung tepatnya di kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Desa Bualu adalah sebuah desa yang terkenal dengan sebutan Nusa Dua hingga ke ranah Internasional. Sektor Pariwisata menjadi mata pencaharian utama di Desa Adat Bualu pada saat ini. Hal tersebut berkat kerja keras masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu dalam membangkitkan ekonomi kemasyarakatan. Salah satu faktor kebangkitan ekonomi Desa Adat Bualu bersumber dari bercocok tanam pohon kelapa.

Cerita menarik tentang manfaat pohon kelapa dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu penata dapatkan saat menyimak cerita dari salah seorang panglingsir

Desa Adat Bualu yaitu I Wayan Macring. Beliau Menceritakan tentang kehidupan masyarakat Desa Adat Bualu sebelum menjadi seperti saat ini. Masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu adalah masyarakat agraris yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Prinsip gotong royong atau “Menyama Braya” sangat dijunjung tinggi oleh

masyarakat Desa Adat Bualu. Kehidupan masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu sangat tergantung kepada hasil alam salah satunya pohon kelapa sebagai sumber mata pencaharian (Wawancara, 14 Januari 2016).

(4)

Ide Garapan

Karena tertarik untuk mengangkat pohon kelapa dari cerita I Wayan Macring sebagai sumber inspirasi, maka penata sengaja berkunjung ke perkebunan pohon kelapa di pesisir pantai Nusa Dua, pada tanggal 20 januari 2016. Dengan mencermati anatomi, suara-suara dan gerak-gerak kecil pohon kelapa diakibatkan oleh tiupan angin pantai, membuat penata semakin tertarik untuk menggambarkan sebuah pohon kelapa nan indah tersebut kedalam sebuah karya komposisi tabuh kreasi.

Komposisi Kreasi Baru adalah sebuah komposisi karawitan yang diaransir

baru kendatipun materi tradisi masih sangat menonjol, karena yang diinovasi lebih bersifat ornamentasi untuk menampilkan nuansa baru, sedangkan aspek musikal lainnya masih menggunakan materi tradisi secara umum” (Suweca, 2009: 45). Pembentuk inti pohon kelapa berupa akar, batang dan daun digambarkan melalui struktur

Tri Angga, yaitu pengawit, pengawak dan pengecet. Permainan nada, tempo, dinamika,

harmoni, dan ritme akan menghasilkan motif-motif baru sebagai ornamentasi yang menggambarkan akar, ruas, lekukan, cabang, serta warna-warna dari bagian inti pembentuk pohon kelapa.

Setelah adanya pematangan ide, maka penata semakin yakin dengan keinginan sendiri untuk membuat suatu karya tabuh kreasi dengan pohon kelapa sebagai sumber inspirasi dan memilih menggunakan barungan gamelan Semarandhana sebagai media ungkap. Dipilihnya barungan gamelan Semarandhana sebagai media ungkap, karena gamelan ini merupakan jenis gamelan golongan baru serta memiliki kelebihan tersendiri yaitu fleksibel serta memungkinkan untuk di garap sebagai penggambaran akar, batang, serta dedaunan yang kaya akan warna melalui permainan modulasi dari patet yang bisa dimainkan pada gamelan Semarandhana.

Adapun judul yang diangkat dalam karya seni tabuh kreasi ini ialah “Klapa

Wreksa”. Dilihat dari pembendaharaan katanya berdasarkan bahasa Sansekerta “Klapa

Wreksa” dapat dibedah menjadi dua kata yaitu “Klapa” dan “Wreksa”. “Klapa” berarti

kelapa dan “Wreksa” berarti pohon. Jadi “Klapa Wreksa” berarti pohon kelapa (Diunduh dari http://alangalangkumitir.wordpress.com/kamus-sansekerta-indonesia/ ).

(5)

2. Proses Penciptaan dan Wujud Garapan Klapa Wreksa.

Untuk mewujudkan karya seni ini, penata berpedoman pada teori yang dikemukakan oleh Alma M. Hawkins dalam bukunya Creating Through Dance, bahwa penciptaan suatu karya seni itu ditempuh melalui tiga tahapan yaitu: tahap eksplorasi (penjajagan), tahap improvisasi (percobaan), dan tahap forming (pembentukan) (Hadi, 1990:36).

a. Tahap Eksplorasi

Tahap eksplorasi atau penjajagan awal adalah tahap dimana penata mulai mencari ide, merenungkan ide, mencari judul, tema, konsep dan menentukan media ungkap. Penemuan ide berawal dari mendengarkan cerita menarik tentang pohon kelapa yang menjadi sumber mata pencaharian pokok masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu dari salah seorang sesepuh Desa Adat Bualu yaitu I Wayan Macring. Kemudian meresponnya dengan mengkonsultasikan tentang ide yang akan diangkat baik dengan dosen pembimbing, masyarakat umum, maupun seniman akademis, mencari literature yang dianggap relevan serta mencari sebuah judul yang cocok untuk membingkai garapan ini. Selain itu penata juga mengamati barungan gamelan yang cocok untuk mengungkapkan ide ini sesuai dengan kemampuan yang penata miliki dalam penguasaan tehnik permainan dari suatu barungan

gamelan. Dari pengamatan terhadap gamelan yang akan digunakan, maka dipilihlah gamelan Semarandhana sebagai media ungkap.

b. Tahap Improvisasi

Pada tahap ini penata melakukan percobaan-percobaan, mempertimbangkan dan memilih dari apa yang telah dicapai sebelumnya. Penata melakukan percobaan-percobaan secara spontan pada instrument serta menuangkan apa yang ada dalam pikiran penata ke dalam bentuk notasi atau orak-orek untuk mendapatkan lagu yang akan dituangkan kepada pendukung.

Untuk mengawali latihan atau di dalam bahasa Bali lazim disebut dengan Nuasen yang mempunyai arti mencari hari baik, dilakukan pada hari Rabu tanggal 6 April 2016 bertempat di balai Br. Peken, Desa Adat Bualu. Pada awal pertemuan penata mengajak seluruh pendukung untuk melakukan persembahyangan bersama dan menghaturkan Banten Pejati kepada ida Shang Hyang Widhi Wasa di Pura Ratu Gede Penyarikan Br. Peken, Pura Wayang Wong, Pura Ratu Made Delod Peken, dan Pura Perempatan Agung, sebagai permohonan ijin dan

(6)

keselamatan bahwa kita akan melakukan latihan di area tempat tersebut dalam jangka waktu terterntu. Selanjutnya penata memberikan arahan atau penjelasan mengenai ide dan konsep dari karya yang akan digarap, serta memberi pemahaman tentang bentuk garap dari karya ini. c. Tahap Pembentukan

Tahap pembentukan adalah tahap dimana penata mulai menyatukan bentuk-bentuk lagu yang masih terpenggal-penggal di dalam notasi untuk di satukan menjadi suatu struktur komposisi yang utuh. Tahap ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu tahap penuangan dan tahap penyempurnaan.

Pada tahap penuangan merupakan tahap yang paling banyak menghabiskan tenaga dan waktu. Banyak faktor yang menjadi penghambat pada proses ini, misalnya kehadiran pendukung, kemampuan pendukung serta kemampuan penata dalam membuat suatu komposisi. Pada proses ini tidak menutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan karena menganggap bagian komposisi tidak nyambung dengan ide atau konsep. Masukan dari pendukung, masyarakat umum, serta dosen pembimbing sangat membantu kelancaran proses pembentukan ini.

Dari beberapa tahapan tersebut, penata masih merasa kurang yakin dengan apa yang telah penata capai, sehingga penata menambah satu tahapan lagi yaitu tahap penyempurnaan. Tahap penyempurnaan adalah tahap dimana penata mulai menghaluskan, memberi nafas lagu

(ngangkian), melatih rasa kebersamaan (matuhin bayu), serta memberi penjiwaan melalui

ekspresi yang natural agar terwujud suatu karya yang sesuai dengan ide dan tema diinginkan.

Deskripsi Garapan

Karya karawitan “Klapa Wreksa” ini merupakan komposisi karawitan yang berbentuk

tabuh kreasi. Dengan berpijak pada pola-pola tradisi yang sudah ada, kemudian diberi sentuhan

kreatif dengan mengaransir baru dari segi ornamentasi disesuaikan dengan perkembangan estetika karawitan masa kini, agar terwujud suatu tabuh kreasi bernuansa baru. Barungan gamelan Semarandhana yang multi fungsi dan memiliki wilayah nada yang luas dipilih sebagai media ungkap sesuai dengan ide garapan.

“Gamelan Semarandhana adalah sebuah ansambel yang merupakan perpaduan antara Gong Kebyar dan Semara Pagulingan yang diciptakan oleh I Wayan Beratha pada tahun 1987 dengan tujuan untuk mengiringi Sendratari Ramayana dan Mahabrata di panggung terbuka Arda Candra Art Centre Denpasar….”(Bandem, 2013: 284). Instrumen-instrumen yang

(7)

digunakan dalam ansambel gamelan Semarandhana tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar pada umumnya. Yang menjadi pembeda antara gamelan gong kebyar dengan gamelan Semarandhana adalah terletak pada instrumen riong, terompong dan gangsa (pemade, jegog,

jublag, penyacah dan kantilan) mendapat penambahan dua nada yang disebut nada pemero

yaitu daing (2) dan deung (6) pada oktaf kedua sehingga pelawah dari gamelan Semarandhana sedikit lebih panjang dari gamelan Gong Kebyar. Adapun urutan nada pada gamelan Semarandhana yaitu: dong (4) deng (5) dung (7) dang (1) ding (3) dong (4) deng (5) deung (6) dung (7) dang (1) daing (2) ding (3) (diunduh dari

www.researchgate.net/publication/48932366_Tabuh_Kreasi_Pepanggulan_Gamelan_Smarand hana_Lemayung_Bagian_I).

Dari nada-nada tersebut terdapat beberapa penamaan patet serta urutan nada yang penata gunakan dalam gamelan Semarandhana pada oktaf kedua diambil dari repertoar gamelan Semara Pagulingan antara lain; Patet Selisir (345.71.3), Patet Tembung (71.345.7)

Patet Sundaren (.71.345.) Patet Selendro Agung (.571.34.)Patet Selendro Alit (4.571.34)

(Bandem, 1986:20).

Dalam garapan ini penata menggunakan satu barung gamelan semarandhana secara utuh kecuali instrumen terompong, ditambah dengan tiga jenis kendang yang berbeda antara lain; kendang cedugan, kendang gupekan, dan kendang krumpungan. Hal ini bertujuan untuk memunculkan karakteristik Gong Kebyar melalui kendang gupekan, karakteristik Semara Pagulingan yang identik menggunakan kendang krumpungan serta menggambarkan semangat menggebu-gebu masyarakat Desa Adat Bualu dalam memanen hasil dari bercocok tanam pohon kelapa melalui hentakan kendang cedugan. Garapan ini berdurasi kurang lebih 15 menit dengan menggunakan 38 orang pemain yang sebagian besar berasal dari Desa Adat Bualu.

Analisa Pola Struktur

Garapan tabuh kreasi Klapa Wreksa ini tersusun berdasarkan struktur Tri Angga yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu: Pengawit, Pengawak, dan Pengecet. Masing-masing bagian memiliki karakter, nuansa musik dan variasi tersendiri. Adapun beberapa analisis yang dapat dipaparkan dari ketiga bagian utama tersebut yaitu:

Pengawit

Pada bagian pertama atau pengawit sebagai awal lagu dimulai dengan motif kekebyaran

(8)

kemudian diikuti oleh masuknya pukulan riong dan kendang sebagai penekanan kebyar

mengikuti pola gangsa dan diakhiri dengan pukulan gong sebagai final dari kebyar tersebut. Suasana yang ingin ditimbulkan pada bagian ini adalah menggambarkan suasana pagi hari di perkebunan pohon kelapa tepi pantai dihiasi dengan geburan ombak dan suara halus dari dedaunan pohon kelapa yang tertiup oleh angin. Kemudian dilanjutkan dengan penggambaran anatomi dasar pohon kelapa dimulai dari akar pohon kelapa yang serabut melalui pola kotekan

gangsa, kantilan, penyacah, jublag dan jegog. Setelah penggambaran sedikit dari anatomi

pohon kelapa yaitu bagian akar, kemudian dilanjutkan dengan vokal rampak mencerminkan masyarakat yang memuji kegunaan pohon kelapa sebagai sarana upacara Yadnya.

Pengawak

Pada bagian pengawak yaitu bagian gegenderan, dimulai dengan kotekan gangsa

pemade dan kantilan sebagai penggambaran batang pohon kelapa yang beruas. Dalam melodi

gegenderan ini terdapat dua pola, dimana pada pola gegenderan pertama terdapat tehnik

permaina gangsa, kantilan, penyacah, jublag, jegog dengan 32 ketukan, yang dimulai dari nada ndong (4) menggunakan patutan selisir dalam tempo lambat dengan dua kali pengulangan yang ditandai oleh pukulan gong. Pola gegenderan kedua terdapat motif kotekan gangsa dan

kantil yang terkadang beda dan terkadang sama yang mengikuti satu alunan melodi dari ugal,

penyacah, jublag, jegog dan suling. Pada motif gegenderan yang ke dua ini menggunakan 64

ketukan dimulai dari nada ndong (4) dan diakhiri oleh nada ndang (1)dengan tempo sedang menggunakan patutan selisir dan patutan demung. Setelah itu pada pola ke dua ini juga terdapat motif permainan riong yang menggunakan patutan selisir dan patutan demung

dimulai dari nada ndang (1) dan diakhiri oleh nada ndong (4) yang dibarengi dengan pukulan

gong sebagai pengulangan motif gegenderan ke dua. Kemudian masuk pola kekebyaran

sebagai penyalit ke bagian bapang. Dalam bagian bapang ini menggunakan tempo cepat dengan kotekan gangsa dan kantilan dimulai dari nada ndang (1) patutan demung dan di akhiri nada ndang (1) patutan demung serta diwarnai dengan aksen kendang, cengceng ricik, dan

riong.

Pengecet dan Pakaad

Bagian atas pohon kelapa merupakan bagian yang paling banyak memiliki warna dan bentuk maka dari itu di bagian ketiga ini penata ingin menggambarkan warna-warna serta bentuk-bentuk tersebut melalui permainan melodi yang berkombinasi dengaan kotekan gangsa, aksen riong serta angsel kendang dengan menggunakan empat patutan yaitu patutan selendro

(9)

agung, selendro alit, selisir, dan demung. Setelah pengulangan dua kali kemudian masuk motif

kekebyaran dimainkan secara bersama-sama yang lebih menonjolkan intensitas tehnik pukulan

dan kebersamaan. Bagian ini menjadi ending atau klimaks dari garapan yang menggambarkan keagungan pohon kelapa yang kokoh tertiup oleh angin pantai yang kencang.

Sistem Notasi

Dari segi penotasian penata menggunakan sistem notasi karawitan Bali disebut dengan notasi ding dong, simbol-simbolnya berasal dari penganggening aksara Bali. Berikut disampaikan simbol notasi dalam bentuk tabel.

Karena keterbatasan tempat mengingat notasi tabuh kreasi Klapa Wreksa ini cukup panjang maka notasi diambil beberapa bait dari bagian pengawit saja. Berikut contoh cara penotasian Klapa Wreksa yang diambil dari penggalan pada bagian kawitan.

Notasi Kawitan/Pengawit

Motif kekebyaran dimainkan bersama menggunakan Patet Selisir

Jegog .... .... ...7 ....

Jublag, Penyacah .... ..4. ...7 ....

Ugal 1, Gangsa, Kantil polos 44.4 .54. ..57 ...5

Ugal 2,Gangsa, Kantil sangsih 11.1 7.1. ..37 ..4.

Jegog, Jublag, Penyacah .... .3.. 3... ....

Ugal 1, Gangsa, Kantil polos 3431 1134 5111 3.43

Ugal 2,Gangsa, Kantil sangsih 7175 5571 7555 7.17

Nama Aksra Simbol Dibaca

Tedong 4 dong Taleng 5 deng Suku ilut 6 deung

Suku 7 dung Carik 1 dang Pepet 2 daing

(10)

Tata Panggung dan Tata Kostum

Garapan “Klapa Wreksa” ini merupakan garapan yang diciptakan untuk pementasan di

panggung pada malam hari. Oleh karena itu perlu adanya penataan khusus dalam penyajiannya. Garapan ini dipentaskan di Gedung Natya Mandala Insitut Seni Indonesia Denpasar pada tanggal 14 Juli 2016. Dengan keadaan panggung yang seperti itu maka instrumen diatur sedemikian rupa di tambah dengan beberapa trap serta dekorasi dari pohon kelapa membuat garapan ini tidak hanya enak didengar namun juga enak dilihat.

Selain dari segi tata panggung penata juga memperhatikan dari segi tata kostum agar sesuai dengan ide garapan. Pada garapan ini penata menggunakan kostum sederhana yang masih merupakan kostum tradisi Bali seperti Udeng, Saput, Selendang serta Kamben tanpa mengenakan baju di tambah dengan topi petani (Capil). Kostum ini dipilih agar sesuai dengan ide yang menggambarkan kesederhanaan masyarakat Desa Adat Bualu pada zman dahulu.

Tata Lampu dan Sound System

Karena pementasan dilakukan pada malam hari, maka perlu adanya pencahayaan yang cukup untuk mendukung suasana. Berkaitan dengan hal tersebut penata menggunakan lampu general berwarna kuning terang, serta lampu biru, merah, kuning dan hijau yang diatur perubahannya dalam waktu tertentu sesuai kebutuhan pada saat pementasan. Selain itu penata juga menyeting beberapa microphone yang di tempatkan pada bagian-bagian tertentu sesuai dengan kebutuhan.

(11)

3. Foto-Foto

Foto-Foto Pementasan karya tabuh kreasi Klapa Wreksa dalam rangka Ujian Karya Tugas Akhir Sarjana S-1 di gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia Denpasar pada tanggal 14 juli 2016.

Foto pada saat pementasan Ujian Tugas Akhir (Dokumentasi I Wayan Pradnya Pitala)

Foto pada saat pementasan Ujian Tugas Akhir (Dokumentasi I Wayan Pradnya Pitala)

(12)

4. Penutup

Simpulan

Kesiapan mental dan fisik sangat diperlukan dalam proses penciptaan sebuah karya seni karena dalam proses penciptaan karya seni terutama pada tahap pembentukan memerlukan waktu dan tenaga yang cukup banyak baik dari dalam proses kreativitasnya maupun dalam penyelesaian skrip karya. Karawitan kreasi Klapa Wreksa merupakan sebuah karya karawitan yang mentransformasikan sebuah pohon kelapa bersumber dari cerita salah seorang sesepuh Desa Adat Bualu yaitu I Wayan Macring yang menceritakan tentang pohon kelapa sebagai penopang hidup masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu.

Garapan karawitan kreasi Klapa Wreksa berpijak pada pola tabuh kreasi yang sudah ada serta terstruktur dalam konsep Tri Angga yang terdiri dari Kawitan, Pengawak, dan

Pengecet. Dengan menggunakan barungan gamelan Semarandhana sebagai media ungkap,

penata mengolah unsur-unsur musikal seperti melodi, tempo dinamika, modulasi dari patet,

sebagai penggambaran sebuah pohon kelapa yang memiliki akar serabut, batang yang memiliki ruas, dedaunan rimbun kaya akan warna serta multi fungsi sebagai penopang hidup masyarakat Desa Adat Bualu pada zaman dahulu.

Saran-saran

Dalam proses penciptaan karya seni memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Rintangan dan hambatan akan selalu ada dalam setiap langkah pada proses penciptaan sebuah karya seni. Kesabaran dan tekad yang kuat sangat dibutuhkan dalam proses penciptaan karya seni ini.

Adapun beberapa saran yang kiranya bermanfaat baik bagi masyarakat umum, seniman akademis, maupun mahasiswa yang akan menciptakan karya seni karawitan untuk memenuhi persyaratan tugas akhir berikutnya.

a. Walaupun mewujudkan karya seni bukan sesuatu yang mudah, tetaplah berusaha dan berjuang jangan sampai putus asa, karena tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika kita berusaha.

b. Sebelum melangkah ke proses garapan pikirkanlah dengan sangat matang, antara ide, konsep, judul, serta sesuaikanlah dengan kemampuan kita masing-masing agar tidak terjadi kesulitan karena wujud garapan dengan ide tidak sesuai.

(13)

DAFTAR SUMBER

Sumber Pustaka

Bandem, I Made. 1998. Terjemahan Lontar Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali.

Denpasar: STSI Denpasar.

. 2013. Gamelan Bali Di atas Panggung Sejarah. Denpasar: Stikom Bali. Sugiartha, I Gede Arya. 2012. Kreativitas Musik Bali Garapan Baru. Denpasar, Institut Seni

Indonesia Denpasar UPT. Penerbitan.

Sumandyo Hadi, Y. 1990. Mencipta Lewat Tari (terjamahan buku Creating Throught Dance oleh Alma M. Hawkins). Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Suweca, I Wayan. 2009. Estetika Karawitan. Buku Ajar. Denpasar.

Sumber Internet/Online

Kariasa, I Nyoman. Tabuh Kreasi Pepanggulan Semarandhana “Lemayung” Bagian I.

www.researchgate.net/publication/48932366_Tabuh_Kreasi_Pepanggulan_Gamela n_Smarandhana_Lemayung_Bagian_I).diakses 29 Juni 2016, pukul 20.00 PM. Purwadi. 2016 Kamus Bahasa Sansekerta Indonesia.

http://alangalangkumitir.wordpress.com/kamus-sansekerta-indonesia/ diakses 9 Februari 2016, pukul 14.00 Wita.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai seni yang ilustratif, seni lukis prasi merupakan karya rupa yang sarat dengan makna.. simbolis dari suatu cerita yang ingin disampaikan oleh

Pesan yang ingin disampaikan dalam karya karawitan Saros Ati adalah penata mencoba membuka cara pandang tentang pemahaman bahwa dengan karya ini dari dua buah

Sanghyang Igel merupakan sebuah bentuk tari kreasi baru tanpa menyajikan cerita (non literer), yang menggambarkan keberadaan perkembangan tari Bali dari masa ke masa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) latar belakang berdirinya Komunitas Muslim Sasak Bayan di Kampung Anyar, Desa Bukit, Karangasem, Bali tak bisa dilepaskan

Komposisi karawitan Gebog Domas ini merupakan sebuah karya tabuh kreasi yang secara umum konsep musikalitasnya masih mengacu pada konsep, unsur atau pola-pola

didasarkan atas pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi yang menjadi inspirasi dalam penggarapan tabuh kreasi ini adalah pada saat penata mengajar sekaa gong anak–anak di Banjar

Ide garapan lelambatan kreasi tabuh dua Geni Semara ini diangkat dari kisah nyata yang merupakan pengalaman pribadi penata.. Gagasan ini berawal dari

Keindahan yang terdapat dalam genitri itu direpresentasikan kedalam sebuah karya karawitan Bali dengan motif yang sederhana pada bagian awalnya yang tidak