Devi Sinta, 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kemunculan bahasa tulisan tidak lain berawal dari bahasa lisan. Dalam ilmu
bahasa, bahasa lisan disebut sebagai bahasa primer. Dalam hal ini, bahasa primer
adalah bahasa yang diucapkan melalui alat ucap manusia (Chaer, 2007, hlm.42).
Bahasa lisanlah yang menjadi objek penelitian para linguis (ahli bahasa). Setelah
berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi, munculah bahasa tulisan yang
memberikan peran besar bagi kehidupan. Bahasa tulisan merupakan realisasi dari
bahasa lisan. Seperti yang diungkapkan oleh Chaer (2007, hlm.42) bahwa bahasa
tulisan merupakan rekaman dari bahasa lisan. Bahasa yang seharusnya diucapkan
melalui alat ucap manusia diubah menjadi huruf-huruf dan tanda-tanda lain menurut
suatu sistem aksara. Sugiyono (2003, hlm.3) pun mengungkapkan hal yang senada bahwa “…, realisasi tulis bahasa itu tidak lebih dari penuangan bahasa lisan dalam sistem simbol yang bersifat visual, yang bagaimanapun setiap grafem yang menjadi simbol visual itu berkorespondensi dengan gejala akustik dalam bahasa lisan”. Oleh karena itu, hakikat bahasa sebenarnya adalah bahasa lisan.
Pembicaraan bahasa Lisan memang tidak lepas dari bunyi. Bunyi merupakan
bagian dari bahasa. Chaer (2007, hlm.41) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan
sistem lambang bunyi. Dalam hal ini, sebuah bunyi dapat dikatakan sebuah lambang
bahasa jika bunyi-bunyi tersebut diucapkan oleh alat ucap manusia. Akan tetapi, tidak
seluruh bunyi yang diucapkan oleh alat ucap manusia disebut bahasa, seperti batuk,
Bunyi bahasa sering dijadikan objek penelitian para linguis. Hal tersebut
karena banyaknya bahasa lisan di dunia menyebabkan para linguis tertarik melakukan
penelitian terhadap bahasa tersebut. Hal ini dapat terlihat di Indonesia yang memiliki
kekayaan bahasa lisan, yakni berjumlah 726 bahasa daerah. Dari 726 bahasa daerah
tersebut, bahasa daerah yang sudah memiliki sistem aksara hanya berjumlah sebelas.
Dalam hal ini, bahasa daerah yang belum memiliki aksara berjumlah 715. Hal ini
membuktikan bahwa bahasa-bahasa di Indonesia memiliki akar kelisanan kuat. Hal
ini diungkapkan pula oleh Sugiyono (2003: 2) sebagai berikut.
“Dari beratus-ratus bahasa yang ada di Indonesia, hanya kurang lebih sebelas bahasa saja yang memiliki sistem aksara. Kesebelas bahasa itu adalah bahasa Bali, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis (Makassar), bahasa Karo, bahasa Mandailing, bahasa Toba, bahasa Rejang, bahasa Kerinci, bahasa Lampung, dan bahasa Melayu. Itu pun saat ini fungsi sistem aksara itu sudah digantikan oleh aksara latin.”
Berdasarkan pendapat Sugiyono di atas, hal tersebut menunjukan bahwa
bahasa-bahasa di Indonesia memang dirancang dengan kelisanan yang amat kental.
Berbagai kajian terhadap tata bahasa untuk tata bahasa lisan, khususnya bahasa yang
tidak mengenal bahasa tulis adalah tidak tepat apabila tidak memfokuskan kajian
pada aspek kelisanan bahasa. Sugiyono (2003, hlm.3) mengungkapkan bahwa
Saussure tidak hanya menganggap bahasa adalah sebuah deretan fonem yang secara
sintagmatik membentuk sebuah makna, melainkan sederetan gejala atau citra akustik.
Sehingga, esensi bahasa lisan dalam hal ini merupakan gejala akustik. Gejala akustik
ini merupakan realisasi aspek semantis sebuah bahasa. Oleh karena itu, penelitian
bahasa lisan harus bertumpu pada bentuk akustik bahasa, tanpa mengabaikan ciri
semantis bentuk-bentuk tuturan yang dikaji.
Penelitian bahasa lisan cenderung bersifat natural dan tidak formal. Dalam hal
berbeda dengan kaidah-kaidah bahasa tulis yang umumnya cenderung formal dan
dibakukan (Sugiyono, 2003, hlm.3).
Penelitian bahasa lisan memiliki keunikan. Unik dalam hal ini mempunyai
ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Ciri khas ini bisa berupa
sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem
lainnya. Salah satu contoh bahasa yang memiliki keunikan dari sistem bunyi dapat
terlihat pada penutur asli bahasa Korea (BK). Gejala akustik (nada,durasi, dan
tekanan) penutur asli BK dalam merealiasikan bahasa Indonesia terpengaruh oleh
bahasa Korea sehingga gejala akustik yang muncul berbeda. Perbedaan gejala akustik
ini berhubungan dengan kajian ilmu Dialektologi. Bahasa korea memiliki rumpun
bahasa yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Menurut Chaer (2007, hlm.75),
bahasa Korea termasuk pada rumpun Ural-Altai, sedangkan bahasa Indonesia
termasuk rumpun Austronesia. Bahasa Korea memiliki dialek yang beragam setiap
wilayah, seperti daerah Busan yang menggunakan dialek Busan atau Satoori Busan.
Dialek Busan termasuk dalam dialek Kyeongsangdo. Dialek Busan adalah dialek
yang memiliki intonasi yang khas dibandingkan dengan dialek lain yang berada di
Korea. Dialek Busan lebih banyak menekankan pada Intonasi yang kental dan jelas.
Haerajjing (2012) menyatakan bahwa perumpamaan dialek Busan seperti dialek Jawa
yang sangat kental.
Saat ini, banyak penutur asli Korea yang belajar bahasa Indonesia. Dalam hal
ini, penutur asli bahasa Korea tentu memiliki keunikan dalam merealisasikan bahasa
Indonesia. Dialek bahasa Korea akan melekat kental pada tuturan bahasa Indonesia.
intonasi ini sangat menarik untuk diteliti karena penelitian ini akan mengungkap
bagaimana ciri akustik penutur asli bahasa Korea dalam merealisasikan bahasa
Indonesia.
Penelitian ini akan mengungkap tekanan, nada, dan durasi. Hal tersebut akan
ini bisa dilanjutkan dalam ranah preskriptif (pendidikan) untuk pengajaran bahasa
Indonesia bagi penutur asing dalam hal penguasaan Intonasi BI. Hal tersebut merujuk
pada teori bilingualisme (dwibahasa), seorang dwibahasawan dituntut untuk memiliki
kompetensi bahasa atau lebih secara sama, baik dalam kompetensi kebahasaaan,
maupun intonasi dari bahasa yang dikuasai. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan
yang muncul yakni banyak orang yang mempelajari bahasa kedua (bahasa tujuan)
hanya berfokus pada penguasaan tataran kata dan kalimat saja. Padahal, intonasi pun
harus diperhatikan pula. Intonasi dalam hal ini merupakan elemen bahasa yang
mampu membedakan makna sebuah ujaran. Intonasi penutur asli bahasa Korea tentu
saja tidak sama dengan intonasi penutur asli BI. Hal tersebut karena bahasa Korea
dan Indonesia memiliki vokal dan konsonan yang berbeda. Bahasa Korea memiliki
konsonan dan vokal yang mudah dibedakan. Terutama, konsonan bahasa Korea
menunjukan lokasi bibir, mulut, dan lidah dengan sangat logis. Haerajjing (2012)
mengatakan bahwa bahasa Korea memiliki intonasi yang jelas. Bahasa Korea pun
diakui sebagai bahasa logis di dunia karena konsonan dan vokal sangat mudah
dibedakan (KBS World Radio, 2012). Permasalahan yang muncul adalah para
penutur asli BK sering merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan penutur asli BI
dengan intonasi tertentu. Seringkali terjadi pengulangan tuturan agar mampu
dipahami oleh penutur asli BI. Hal tersebut karena, vokal dan konsonan bahasa Korea
mudah diucapkan dibandingkan dengan vokal dan konsonan pada bahasa Indonesia.
Hal yang hendak diteliti pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
akustik BK pada ciri akustik bahasa Indonesia. Dalam hal ini, penutur asli bahasa
Korea yang diteliti berasal dari Busan dengan dialek Kyeongsangdo. Dialek
Kyeongsangdo yang diambil merupakan dialek yang sangat kental dan mempunyai
ciri khas dibanding dengan dialek lain di Korea (Haera, 2012), sedangkan penutur asli
bahasa Indonesia yang diambil berasal dari Bandung dengan dialek Sunda Bandung
Indonesia berdialek Sunda Bandung cenderung lebih mudah terkontaminasi oleh
bahasa lain. Dalam hal ini, tingkat loyalitas penutur Sunda Bandung sangat kurang.
Berbeda dengan penutur Jawa, tingkat loyalitas penutur Jawa masih tinggi. Beberapa
ahli bahasa di Indonesia mengungkapkan bahwa bahasa Sunda terancam punah.
Republika online menyatakan bahwa “Kepala UPTD Balai Pengembangan Bahasa
Daerah Jawa Barat, Husen M. Hasan mengatakan, sudah banyak warga atau para
pemuda khususnya yang meninggalkan bahasa Sunda”. Oleh karena itu, penutur
Sunda Bandung dapat menjadi gambaran ciri akustik BI.
Penelitian ini menggunakan ilmu fonetik akustik dengan melihat struktur
melodik dan struktur temporal. Nicholic (2007, hlm.5) menjelaskan bahwa adanya
struktur melodik dan struktur temporal menjadikan penutur asli bahasa
mempertahankan intonasi dasar sampai titik tertentu pada saat berujar bahasa
Indonesia (BI), sehingga penutur asli yang merealisasikan BI memunculkan intonasi
BI yang berbeda. Penelitian ini pun perlu melihat bagaimana Intonasi penutur asli BI
karena hasil gambaran intonasi penutur asli BK akan dibandingkan dengan intonasi
penutur asli BI. Dalam Dialektologi pun dijelaskan bahwa bahasa pertama seorang
penutur akan mendapat pengaruh yang signifikan apabila dipengaruhi oleh bahasa
atau dialek lain dalam jangka waktu tertentu. Penelitian ini akan melihat pengaruh
bahasa Korea oleh penutur asli BK pada pengucapan bahasa Indonesia.
Penelitian ini berfokus pada struktur melodik dan temporal dengan melakukan
segmentasi vokal dan konsonan. Segmentasi vokal dan konsonan ini dikemukakan
oleh Archibald (Nicholic, 2007,hlm.6). Penelitian ini dibantu oleh perangkat lunak,
yaitu speach analysis (SA). Penggunaan perangkat lunak tersebut bertujuan agar
penelitian yang dilakukan akurat karena melibatkan mesin komputer dan piranti lunak
yang jauh lebih sensitif terhadap suara dan akustik suatu ujaran daripada telinga
manusia. Penelitian ini pun menggunakan pendekatan fonetik eksperimental dan
“Pendekatan instrumental digunakan ahli psikologi dan fonetik eksperimental untuk melakukan persepsi tutur dan mengidentifikasi petunjuk akustik gejala intonasional. Sementara pendekatan impresionistik digunakan oleh linguis atau guru bahasa untuk mendeskripsikan intonasi, baik untuk tujuan praktis - misalnya pengajaran bahasa asing – maupun untuk tujuan mengembangkan teori-teori fonemik.”
Pendekatan eksperimental dan impresionistik yang akan digunakan pada
penelitian ini diharapkan akan mampu memudahkan deskripsi gejala akustik yang
telihat pada BI yang diujarkan oleh penutur asli BK.
Berkaitan dengan penelitian fonetik akustik, ditemukan karya-karya penelitian
yang berkaitan dengan fonetik akustik, seperti yang dilakukan Halim (1969) tentang
intonasi dalam hubungannya dengan sintaksis bahasa Indonesia. Halim
mendeskripsikan sistem prosodi dalam bahasa Indonesia dengan teknik yang akurat.
Penelitian intonasi tersebut menggunakan alat migograph milik laboratorium fonetik
University of Michigan. Halim menemukan bahwa intonasi bahasa Indonesia
dikarakterisasi oleh empat satuan intonasional distingtif yang disusun secara teratur,
yaitu pola intonasi (total), kelompok jeda, kontur, dan fonem intonasional (tinggi
nada, aksen, dan jeda). Rahayu Tri Sukma (2013) pun melakukan penelitian tentang
persepsi bunyi choo’on dalam kosakata terhadap mahasiswa tingkat IV Program
Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Riau Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa banyak mahasiswa yang masih belum tepat
dalam merealisasikan nada choo’on. Hal tersebut karena arti panjang-pendeknya
sebuah kata dalam bahasa Jepang dapat menimbulkan perbedaan makna. Tidak hanya
itu, Selviana Napitupulu (2009) melakukan penelitian ciri akustik pantun Jenaka
Melayu. Selviana mendeskripsikan dan menggambarkan frekuensi dan durasi (frasa,
kata, silabel) pada pantun jenaka Melayu.
Veraci Silalahi (2007) membuat tesis yang berkaitan dengan unsur
Toba. Penelitian Veraci mengungkap struktur melodik (intonasi), durasi dengan
modus deklaratif dan interogatif pada bahasa Batak Toba. Siti Rumaiyah (2012)
melakukan pula penelitian pada prosodi pisuhan jamput pada penutur
Jawa-Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa prosodi menentukan fungsi pisuhan
jamput pada penutur Jawa Surabaya setelah dilakukan modifikasi kontur nada dan
durasi pisuhan jamput.
Penelitian lain yang memperkaya penelitian fonetik adalah pemarkah prosodik
kontras tuturan deklaratif dan imperatif bahasa Melayu Kutai yang dilakukan oleh
Sugiyono (2003). Sugiyono memfokuskan pada penelitian kebahasaan dengan
menggunakan praat dengan membicarakan pemarkah prosodi kontras deklaratif dan
interogatif pada bahasa Melayu Kutai. Melalui analisis akustik tuturan, disimpulkan
bahwa struktur melodik dan durasi, terutama durasi silabel dapat digunakan sebagai
pembeda tuturan deklaratif dan interogatif.
Hristina Nicholic (2007) pun melakukan penelitian tentang ciri-ciri akustik
dalam kontras bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa tujuan. Penelitian ini
membandingkan durasi dan tiga submodus kalimat, yaitu kalimat deklaratif, kalimat
deklaratif konfirmatoris, dan kalimat interogatif ekoik penutur asli bahasa Serbia dan
penutur asli bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa durasi penutur
asli bahasa Serbia digunakan berkombinasi dengan intensitas yang hampir semuanya
mengikuti pola penekanan dalam BS sebagai stress-timed language. Ciri akustik
durasi pada penutur Indonesia digunakan dalam kombinasi dengan intensitas tetapi
hampir semua responden mengikuti pola penekanan dalam durasi. Tiga submodus
kalimat memiliki perbedaan yang signifikan penutur asli bahasa Serbia dalam
merealisasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa tujuan. Berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian-penelitian ini pun menggunakan ilmu fonetik akustik. Akan
tetapi, belum ada penelitian mengenai ciri akustik penutur asli bahasa Korea dan
gambaran ciri akustik BI yang diujarkan oleh penutur asli BK dari pengaruh dialek
Kyeongsangdo dalam tuturan bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, penelitian ini pun
diharapkan mampu memberikan gambaran ciri akustik bahasa Indonesia oleh penutur
asli BK dengan melihat pula gambaran ciri akustik penutur asli BI. Hal tersebut
disebabkan oleh tidak adanya ciri akustik bahasa Indonesia yang baku.
Saat ini pun, para peneliti tidak banyak yang melakukan penelitian fonetik
akustik. Sedikit sekali para peneliti menjadikan bunyi sebagai objek penelitian
linguistik. Padahal hasil penelitian fonetik akustik akan mampu mengembangkan
teori. Teori fonetik akustik pada berbagai buku pengajaran bahasa di Indonesia sangat
sedikit. Hal ini tidaklah menguntungkan bagi perkembangan ilmu fonetik dan
perkembangan pengajaran kebahasaan, khususnya bagi perkembangan pengajaran BI
untuk penutur asli bahasa Korea. Penutur asli BK mengalami kesulitan dalam
merealisasikan BI. Pengajaran kebahasaaan untuk penutur bahasa Korea lebih banyak
memfokuskan pada tataran kata dan kalimat, sedangkan tataran bunyi kurang
diperhatikan. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan.
B. Identifikasi Masalah Penelitian
Masalah yang ditemukan pada realitas saat ini adalah sebagai berikut.
1. Pelafalan tuturan bahasa Indonesia penutur asli bahasa Korea mendapat pengaruh
dari bahasa ibunya
2. Penutur asli bahasa Korea memiliki kesulitan dalam merealisasikan beberapa
fonem karena perbedaan klasifikasi vokal antara bahasa Indonesia dan bahasa
Korea.
3. Penutur asli bahasa Korea memiliki kesulitan dalam merealisasikan beberapa
fonem karena perbedaan klasifikasi konsonan antara bahasa Indonesia dan bahasa
Korea.
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah ini bertujuan agar penelitian ini dapat terarah dan sesuai
dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dibatasi pada masalah analisis ciri-ciri akustik
bahasa Indonesia yang menyangkut struktur melodik, dan struktur temporal pada
penutur asli bahasa Korea dan penutur asli bahasa Indonesia. Ciri-ciri akustik tersebut
hendak dibuktikan melalui analisis fonetik impresioistik dan eksperimental, yakni
dengan menggunakan instrumen SA. Tuturan lisan yang diambil dalam penelitian ini
adalah wacana yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan bahasa Indonesia
penutur asli bahasa Korea, yakni wacana tentang Andrea di Indonesia. Penutur asli
bahasa Korea yang diambil dalam penelitian ini adalah mahasiswa Korea yang
berasal dari daerah Busan yang berdialek Kyeongsangdo dengan berkategori tingkat
mahir berbahasa Indonesia, sedangkan penutur asli bahasa Indonesia yang diambil
berasal dari daerah Bandung yang berdialek Sunda.
D. Rumusan Masalah Penelitian
Penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana ciri akustik BI yang diproduksi oleh penutur asli BK berdialek
Kyeongsangdo?
2. Bagaimana ciri akustik BI yang diproduksi oleh penutur asli BI berdialek Sunda
Bandung?
3. Bagaimana perbedaan ciri-ciri akustik antara penutur asli BK berdialek
Kyeongsangdo dan penutur asli BI berdialek Sunda Bandung?
E. Tujuan Penelitian
1. ciri akustik bahasa Indonesia yang diproduksi oleh penutur asli BK berdialek
Kyeongsangdo;
2. ciri akustik BI yang diproduksi oleh penutur asli BI berdialek Sunda Bandung;
3. perbedaan ciri akustik antara penutur asli BK berdialek Kyeongsangdo dan
penutur asli BI berdialek Sunda Bandung.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan kontribusi bagi pengembangan linguistik fonetik sebagai bidang
ilmu pengetahuan bahasa, baik bagi bahasa Indonesia, maupun bahasa Korea
b. Dapat menjadi kerangka berpikir dan pelengkap teori linguistik mengenai
fonetik akustik
c. Memotret gejala akustik penutur asli bahasa Korea berdialek Kyeongsangdo
dalam merealisasikan bahasa Indonesia.
d. Memotret gejala akustik penutur asli bahasa Indonesia berdialek Sunda
Bandung dalam merealisasikan bahasa Indonesia.
e. Dapat menjadi rujukan bagi pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing,
khususnya penutur Korea.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah pengetahuan peneliti dan pembaca mengenai ciri akustik BI oleh
penutur asli bahasa Korea
b. Menambah pengetahuan peneliti dan pembaca mengenai ciri akustik BI oleh
penutur asli bahasa Indonesia berdialek Sunda Bandung
c. Menambah pengetahuan para penutur asli BK yang mempelajari BI sebagai
G. Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi skripsi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
lima bab. Bab I dikemukakan tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah
penelitian, batasan masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan struktur organisasi skripsi.
Bab II dikemukakan tentang tinjauan pustaka dan landasan teoretis.
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah fonologi, fonetik, fonetik
eksperimental dan impresionistik, ciri-ciri akustik, gejala perubahan bunyi, dan
speech analyzer.
Bab III dikemukakan tentang metodologi penelitian yang digunakan, yaitu
lokasi dan informan, metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian,
sumber dan korpus, teknik pengolahan data, dan teknis analisis data
Bab IV dikemukakan tentang analisis dan pembahasan ciri akustik bahasa
Indonesia yang diproduksi oleh penutur asli bahasa Korea berdialek Kyeongsangdo,
ciri akustik bahasa Indonesia yang diproduksi oleh penutur asli bahasa Indonesia
berdialek Sunda Bandung, dan perbedaan ciri-ciri akustik antara penutur asli bahasa
Korea berdialek Kyeongsangdo dan penutur Sunda berdialek Sunda Bandung.