BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis palma yang saat ini dikenal sebagai tanaman sebagai penghasil minyak terbesar per hektar per satuan waktu. Kelapa sawit tersebar di daerah teropis antara lain seperti negara Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Afrika. Pada tahun 1848 benih kelapa sawit pertama kali ditanam di Indonesia berasal dari Mauritius, Afrika dan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipelopori oleh Adrien Hallet berkebangsaan Belgia di daerah Tanah hitam, Hulu Sumatera Utara (Setyamidjaja, 2006).
Elaeis guineensis Jacq. berasal dari bagian barat Afrika yang terdapat di
daerah Guinea Bissau dan di Amerika Latin yaitu Elaeis oleifera terdapat di daerah Brazil (Guedes et al., 2011). Hanya jenis Elaeis guineensis Jacq. yang memiliki kandungan minyak yang tinggi yang dihasilkan dari bagian mesokarp (minyak sawit) dan kernel minyak sawit sehingga memiliki daya tarik ekonomi yang tinggi (Cochard et al.,2009).
Kelapa sawit dapat tumbuh subur pada tanah yang gembur, pengairan dan drainasenya baik, kaya akan humus, serta tidak memiliki lapisan padas (Setyamidjaja, 2006). Curah hujan optimum adalah 2000 – 2500 mm/tahun, memiliki temperatur optimum sekitar 24 – 28 oC, kelembaban 80% dan intensitas penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari serta kecepatan angin yang baik untuk membantu proses penyerbukan sekitar 5 – 6 km/jam (Kiswanto et al., 2008).
2.2. Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu teknik untuk mengisolasi sel, protoplasma, jaringan, dan organ kemudian menumbuhkan bagian tersebut pada media buatan yang mengandung kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh tanaman dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Subarnas, 2011). Manfaat utama dari aplikasi tehnik kultur jaringan adalah perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain (Zulkarnain, 2009).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam kultur jaringan ditentukan oleh sejumlah faktor antara lain :
a. Faktor genetik tanaman.
b. Nutrien, seperti makro dan mikro nutrient, air, gula, dan asam amino. c. Faktor fisik, seperti cahaya, temperatur, dan pH.
d. Beberapa substansi organik seperti zat pengatur tumbuh, vitamin, senyawa organik dan organik.
e. Kandungan oksigen.
Dengan teknik kultur jaringan akan dihasilkan tanaman kelapa sawit yang mampu bereproduksi 30% lebih banyak dari tanaman biasa. Penerapan teknik kultur jaringan dalam sekala besar untuk perkebunan harus dilakukan secara hati-hati karena perbanyakan dengan kultur jaringan dapat memberikan keragaman genetik yang kecil. Keadaan ini dapat menimbulkan kerawanan genetik (genetic vulnerability) yang sangat berbahaya terhadap serangan hama dan penyakit
Hartman et al. (1997) mengemukakan lima istilah yang diterapkan untuk menunjukkan tipe-tipe dasar dari regenerasi tanaman secara vegetatif (regenerassi somatik) dalam kultur in vitro. Kelima istilah tersebut didasarkan atas macam-macam eksplan yang digunakan dalam kaitannya dengan siklus hidup tanaman, yaitu kultur meristem, poliferasi pucuk aksilar, induksi tunas adventif, organogenesis dan embriogenesis somatik (Zulkarnain, 2009).
2.3. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam adalah auksin dan sitokinin karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Pada media tanam, auksin mempunyai peranan terhadap pembelahan sel, dominasi apikal, pemanjangan dan diferensiasi sel dan pembentukan kalus. Kisaran auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm (Herawan & Ismail,2009), namun para ahli kultur jaringan sering menganjurkan untuk membatasi penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro karena dapat meningkatkan peluang terjadinya mutasi genetik dan menghambat fotosintesis pada tanaman yang diregenerasikan (Zulkarnain, 2009).
2.4. Embriogenesis Somatik dan Organogenesis
lintasan perkembangan yang unik, termasuk sejumlah karakteristik dediferensiasi sel, aktivitas pembelahan sel, reprogram proses fisiologi sel, metabolisme, dan pola ekspresi gen (Yang & Zhang, 2010).
Embriogenesis somatik memiliki keuntungan, yaitu embrio-embrio somatik yang dihasilkan bersifat bipolar, yakni memiliki ujung-ujung akar dan pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap (Zulkarnain, 2009).
Proses pembentukan organogenesis dimulai dengan pembentukan dan perkembangan tunas dari jaringan meristem dengan perubahan sel parenkim tunggal atau sekelompok kecil sel yang membelah yang menghasilkan massa sel globuler yang bersifat kenyal dan berkembang menjadi promidium pucuk atau akar. Organogenesis dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pembentukan tunas secara langsung tergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan dan jenis tanaman yang dikultur, sedangkan organogenesis secara tidak langsung dapat dilakukan dengan inisiasi kalus pada media tumbuh. Akar atau tunas adventif yang akan terbentuk diawali dengan terbentuknya kalus (Nugrahani et al., 2011).
Perbanyakan tanaman melalui kalus akan menghasilkan tanaman dengan genetik yang bervariasi. Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Jaringan meristem memiliki sifat-sifat genetik yang stabil, memungkinkan dihasikannya tanaman baru dengan sifat-sifat genetik yang identik dengan induknya. Stabilitas meristem ditentukan oleh sejumlah faktor diantaranya sel-sel meristem memiliki mekanisme penggandaan DNA yang lebih efisien daripada sel-sel pada jaringan yang belum terorganisasi (misalnya kalus) sehingga kemungkinan terjadinya mutasi sangat kecil (Stafford, 1991).
abnormalitas ini terjadi pada konversi satu atau lebih primodial anter menjadi karpel tambahan yang lunak dan berkembang menjadi buah mantel (Corley et al., 1986). Tidak terbentuknya buah pada abnormalitas karena tandan buah dipenuhi oleh bunga jantan atau buah yang menyebabkan hilangnya produksi (Mathes et al., 2001). Hasil penelitian Hetharie (2008) menggunakan jaringan daun,
bunga,dan buah mantel menunjukkan adanya perubahan metilasi pada jaringan daun dan bunga tetapi diduga tidak berkaitan langsung dengan abnormalitas bunga (mantel).
Pada kelapa sawit variasi somaklonal berefek pada pembentukan organ
pembungaan baik jantan maupun betina disebut dengan “mantled” (Jaligot et al.,
2004). Menurut Euwens et al. (2004) bahwa persentasi bunga mantled meningkat dari 5% hingga 80% selama tiga sampai empat tahun proses regenerasi kultur.
Konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media berpengaruh terhadap keragaman somaklonal, gangguan ekspresi gen yang diakibatkan fitohormon (Jones, 1991), struktur kalus, lamanya subkultur dan umur kalus, tekanan seleksi yang dipakai, jenis eksplan yang digunakan, level ploidi sumber eksplan dan kecepatan proliferasi kalus (Skirven et al., 1994) sedangkan menurut Karp (1995) terdapat empat faktor yang menyebabkan keragaman yaitu, derajat awal dari pertumbuhan meristematik, konstitusi genetik dari material awal, dan zat pengatur tumbuh pada media serta sumber jaringan.
Masalah abnormalitas pada kelapa sawit dapat diatasi apabila penyebab abnormalitas dapat diidentifikasi atau tersedia teknologi untuk mendeteksi dan menyeleksi bibit kelapa sawit abnormal (Budiana & Febrimarsa, 2010).
2.6. Mikrosatelit SSR (Simple Sequence Repeats)
Pada saat ini penanda molekuler yang paling luas digunakan untuk mendeteksi keragaman genetik adalah SSR (simple sequence repeat), karena sifatnya yang reproducible, kodominan, dan dapat mendeteksi variasi alel yang tinggi (Utami, 2007). Penanda ini telah digunakan pada berbagai studi, diantaranya studi keragaman genetik atau identifikasi varietas tanaman (Bredemeijer et al., 2002). Untuk kelapa sawit, saat ini penanda SSR merupakan penanda yang paling prospektif untuk menganalisis populasi dan mengetahui struktur genetik populasi kelapa sawit (Singh et al., 2008; Zulhermana, 2009). Penanda SSR ini juga telah digunakan secara luas untuk mengkarakterisasi koleksi plasma nutfah kelapa sawit (Zaki et al., 2012) dan peta genetik kelapa sawit berdasar penanda SSR juga telah dikonstruksi (Billote et al., 2010).
SSR dapat dideteksi dengan pewarnaan menggunakan teknik Silver Staining PAGE (pewarnaan perak dengan teknik Polyacrilamyde Gel
Electrophoresis). Proses SSR dapat diotomatisasi dengan menggunakan penanda
fluorescently-labeled dan alat analisis genetik (genetic analyzer). Kelebihan