• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PrinsipPrinsip Pengaturan tentang Pencegahan dan Kebakaran Hutan T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PrinsipPrinsip Pengaturan tentang Pencegahan dan Kebakaran Hutan T1 BAB II"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pengertian Hutan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian hutan adalah tanah

luas yang ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara orang),

tumbuhan yang tumbuh di atas tanah yang luas (biasanya di wilayah

pegunungan) dan yang tidak dipelihara orang yang liar (tentang binatang dan

sebagainya). Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan.1

Hutan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang

sangat penting bagi umat manusia. Hal ini didasarkan pada banyaknya

manfaat yang diambil dari hutan. Misalnya hutan sebagai penyangga

paru-paru dunia. Menurut Black Law Dictionary, hutan (forest) adalah suatu daerah

tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan tempat hidup segala binatang.2

Pengertian lain, hutan adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan

hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada

1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang yang terdapat dalam buku Dr. Iskandar, SH.,

M.Hum., Hukum Kehutanan, Mandar Maju, Bengkulu, 2015, hal. 1

2Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang

(2)

suatu kawasan serta membentuk suatu ekosistem yang berada dalam

keseimbangan yang dinamis.3

Hutan adalah suatu lapangan pohon-pohon secara keseluruhan yang

merupakan persekutuan hidup alam hayati besertaalam lingkungannya, dan

yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Hutan merupakan harta

kekayaan yang tidak ternilai, oleh karena itu hasil dari hutan perlu dijaga,

dipertahankan dan dilindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik. Istilah

hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan

forrest(Inggris).Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata.

Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu

yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan

burung-burung hutan.4

Hutan merupakan salah satu penentu penyangga kehidupan dan

sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu

eksistensinya harus juga secara terus menerus, agar tetap abadi, dan ditangani

dengan budi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan

professional serta bertanggung jawab.5

B.

Hukum Kehutanan Indonesia

1. Pengertian Hukum Kehutanan

3 Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 2001, hal.14. 4 Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 40

5Abdul Muis Yusuf, Prof.Mohammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan di Indonesia, Rineka Cipta,

(3)

Idris Sarong Al Mar mengatakan “bahwa yang disebut dengan hukum

kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak

tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan

dalam hal-hal hutan dan kehutanan. Biro Hukum dan Organisai

Departemen Kehutanan merumuskan hukum kehutanan adalah “kumpulan

(himpunanan) peraturan yang tertulis yang berkenaan dengan kegiatan

yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya”.6

Salim mengatakan “hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah atau

ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan hutan dan

kehutanan dan hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan

kehutanan.”7

Salim mengemukakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap

sebagai norma hukum konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar

umum atau sebagai petunjuk bagi hukum yang berlaku. Dengan kata lain,

asas hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum

positif.8

Salim juga mengatakan bahwa yang disebut dengan asas hukum

bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang

peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak dan untuk

menemukan asas-asas hukum tersebut harus dicari sifat umum dalam

6Idris Sarong Al Mar. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar

Grafika, 2008, hal. 5

(4)

kaidah atau peraturan yang konkret. Hal ini berarti menunjuk pada

kesamaan yang terdapat dalam ketentuan yang konkret itu.9

Pasal 2 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

disebutkan pasal-pasal dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia.

Asas-asas tersebut meliputi :

a. Asas Manfaat dan Lestari. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar

setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan

keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial, budaya, dan

ekonomi atau pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat.

b. Asas Kerakyatan dan Keadilan. Asas kerakyatan dan keadilan

dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus

memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga

negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan

kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu dalam pemberian

wewenang pengelolaan dan izin pemanfaatan hutan harus dicegah

terjadinya praktek-praktek yang tidak sesuai.

c. Asas Kebersamaan. Asas kebersamaan dimaksudkan agar dalam

penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga

terjalin keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara

masyarakat setempat dengan pemerintah.

(5)

d. Asas Keterbuakaan. Asas keterbuakaan yang dimaksud agar setiap

kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat

dan memperhatikan aspirasi masyarakat.

e. Asas Keterpaduan. Asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap

penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan

memperhatikan kepentingan Nasional, sektor lain, dan masyarakat

setempat.10

2. Sumber-sumber Hukum Kehutanan

1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

pemberatasan perusakan hutan.

4) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN

Aggrement On Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN

tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan.

6) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32

Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

7) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003

tentang Pengendalian Kebakaran hutan dan atau Lahan.

(6)

8) Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur nomor 7 tahun 2003

tentang Pencegahan dan Penaggulangan Bahaya Kebakaran di

Kabupaten Kotawaringin Timur.

C.

Kebakaran Hutan di Indonesia

Sudah banyak sekali kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia

ini berikut adalah beberapa contoh kebakaran hutan yang pernah terjadi di

Indonesia

“Analisa Peta Kepo Hutan Greenpeace mengungkapkan banyak

kebakaran terjadi di konsesi perkebunan milik industri yang sama dengan kebakaran tahun lalu. Bencana ini terjadi berulang kali karena perusahaan mengabaikan peringatan pemerintah sejak November 2015 lalu untuk segera menyekat kanal-kanal agar gambut kembali basah dan tidak mudah terbakar. Ini adalah salah satu langkah penting pencegahan yang harus dilakukan selama 12 bulan terakhir.

Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan:

“Seperti jarum jam, kebakaran kembali terjadi. Perusahaan lebih tertarik

memamerkan pemadaman dengan bom air, padahal sebenarnya kebakaran tersebut bisa dicegah dengan membasahi kembali gambut yang telah mereka keringkan untuk perkebunan kelapa sawit, kertas dan pulp. Dan justru perusahaan lebih mengutamakan keuntungan daripada kesehatan masyarakat dan lingkungan, dan masih memperdebatkan apakah wilayah gambut masih

bisa dieksploitasi.”

“Kebakaran tahun lalu telah merenggut nyawa banyak balita dan orang tua,

dan membuat hampir lima juta anak-anak tidak masuk sekolah selama sebulan.

Perusahaan-perusahaan yang telah menolak mengambil langkah untuk mencegah kembalinya kebakaran, tangan mereka bukan hanya penuh abu tapi juga darah. Pemerintah harus mengambil tindakan jika perusahaan

mengabaikannya.”

(7)

Meskipun 1.296 titik api terpantau dalam kawasan konsesi pada Agustus ini, Kamis lalu, Kepolisian RI hanya menyelidiki 9 perusahaan di Provinsi

Riau. Sementara itu, 85 petani telah ditetapkan sebagai tersangka di Riau –

mungkin menargetkan petani lebih mudah dibanding perusahaan dan keterkaitannya.

Akses publik terhadap peta yang menunjukkan siapa yang

bertanggungjawab atas api yang terpantau di lahannya sangat penting.

Greenpeace kecewa terhadap pemerintah yang masih bersikukuh

merahasiakan peta konsesi dalam format shapefile, itulah mengapa Greenpeace saat ini sedang berjuang melawan kebijakan tersebut di Komisi Informasi Publik (KIP). Argumentasi dan kesaksian ahli sudah selesai dan kami berharap ada keputusan bersejarah dalam kasus ini yang akan diambil dalam waktu dekat.

Greenpeace mendukung kuat upaya penegakkan hukum yang dilakukan pemerintah atas PT BMH baru-baru ini untuk membuat jera perusahaan yang

lalai mencegah dan mengatasi kebakaran di wilayah konsesi

tanggungjawabnya.

“Ini merupakan pesan kuat bagi perusahaan-perusahaan yang punya komitmen nol deforestasi seperti APP, APRIL dan perusahaan lainnya untuk melihat risiko kegagalan keberlanjutan terkait dengan kebakaran hutan. Perusahaan pemasok dan anak perusahaan yang tersangkut kasus hukum dan diputuskan bersalah oleh pengadilan harus dikeluarkan dari rantai pasok

sampai mereka berubah dan perbaikan terjadi.11

Koalisi organisasi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan Indonesia

dan iklim global menyampaikan masukan atas proses INDC (Intended

Nationally Determined Contributions) Indonesia. Masukan Koalisi ini berdasarkan draft yang beredar secara resmi. Banyak hal dalam draft dokumen INDC yang akan disampaikan bulan ini ke UNFCCC masih lemah, kurang jelas dan tidak partisipatif.

Kenyataan bahwa emisi dan dari deforestasi tidak menurun dan bahkan cenderung meningkat, tidak juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan komitmen penurunan emisinya seperti yang tercermin dalam Draft Dokumen INDC. Penentuan angka penurunan emisi yang 29% sampai tahun 2030 tidak jelas dasarnya, sementara rencana pembangunan yang lebih menekankan eksploitasi sumber daya alam lebih besar justru cenderung meningkatkan emisi.

Juru bicara koalisi, Sisilia Nurmala Dewi dari HuMA menegaskan “Kami

sangat menyarankan bahwa INDC memasukan unsur-unsur Specifik, Terukur,

Relevan, dan berbasis waktu (Specific, Measurable, Relevant,

Time-bound/SMART) untuk bisa mencapai target penurunan emisi yang bisa diverifikasi di masa depan. Hal ini juga seharusnya mencakup kegiatan yang kredibel yang akan dilakukan Pemerintah mulai saat ini sampai dengan dan

11

(8)

tahun 2020, yang akan membangun fondasi pembangunan bertanggung jawab

jangka panjang, serta jalan menuju nol emisi.”

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melalui Abetnego

Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional menggarisbawahi “Problem ikutan yang “menghantui” masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia adalah “Kabut Asap” yang hadir selama kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Tercatat kurang

lebih lebih 120 ribu masyarakat di tiga propinsi di Indonesia, menderita ISPA saat kebakaran hutan dan lahan di tahun 2014. Dan menurut kami, adalah

tugas obligasi Negara untuk memastikan nol deforetasi”.12

Kontraproduktif antara target penurunan emisi dengan model pembangunan, yang tetap mengedepankan penggunaan energi kotor penggundulan dan pemmbongkaran kawasan hutan. Bagaimana mungkin menurunkan emisi karbon 29% pada 2030, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Belum lagi emisi karbon yang dibakar dari minyak dan gas, baik dari pembangkit listrik maupun kendaraan bermotor. Tidak jelas upaya pemerintah dalam upaya memperbaiki moda transportasi publik yang tidak rakus energi fosil. Sementara itu kawasan hutan-kawasan hutan yang difungsikan untuk menyerap emisi, justru makin banyak yang dirusak dan dibongkar untuk menggali batubara dalam rangka memenuhi kebutuhan PLTU sekitar 250 juta ton/tahun.

“Forest Watch Indonesia melihat sisi lain pengelolaan sumber daya alam

di Indonesia, sebagai negara kepulauan, justru perlindungan pulau-pulau kecil

terabaikan. “Dalam draft rencana INDCs, disebutkan bahwa “Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga adaptasi perubahan iklim berbasis darat dan laut sebagai strategi yang terpadu dalam menjamin ketahanan pangan, air,

dan energi”. Dalam draft INDCs juga dikatakan bahwa “pulau-pulau kecil adalah wilayah yang sangat rentan dalam hal perubahan iklim, seperti banjir,

kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut”. Hal ini dikarenakan memang

tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem hutan alam di pulau kecil tersebut. Kajian yang dilakukan FWI menunjukkan, dari total 7 juta ha daratan di pulau-pulau kecil hanya tersisa 48

% yang memiliki tutupan hutan alam.13 Kondisi seperti ini menunjukkan

bahwa perlunya keterpaduan upaya dalam hal adaptasi dan mitigasi

menghadapi perubahan iklim di pulau-pulau kecil” tandas Bob Purba,

Direktur Forest Watch Indonesia.

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN, kembali menegaskan bahwa melalui INDC pemerintah harus sejalan dengan komitmen

12

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Praktik-Bisnis-Merusak-Tidak-Dihukum-Kebakaran-Hutan-dan-Asap-Kembali-Terjadi/, diakses tanggal 9 Juni 2017

(9)

Presiden Joko Widodo yang tegas mengakui kontribusi masyarakat adat dalam mitigasi dan adptasi perubahan iklim. AMAN juga mengkritik INDC

yang mengingkari Masyarakat Adat sebagai Indigenous Peoples yang jelas

bertentangan dengan Putusan MK 35, berbagai dokumen resmi pemerintah dan merupakan pengabaian terhadap rekomendasi Komite PBB untuk Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hanky Satrio dari AMAN menegaskan

“Setidaknya ada 24,6 juta hektar wilayah adat yang masih berhutan yang

dapat dijaga dan sekitar 30 juta lagi dapat direhabilitasi, tetapi jika INDC tetap mengingkari Masyarakat Adat sebagai Indigenous Peoples maka Pemerintah Indonesia tidak pantas mendapatkan manfaat dari kontribusi masyarakat adat

dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim”.

Bukti minimnya perlindungan hutan dan lahan gambut terlihat dari kasus kebakaran hutan dan asap yang masih terjadi hingga saat ini. Moratorium hutan yang diperpanjang bulan Mei lalu sampai 2017, terbukti tidak kuat melindungi hutan dan gambut Indonesia. Seruan penguatan moratorium sudah disampaikan di awal tahun oleh koalisi dan hal tersebut tidak mendapat respon yang baik dari Pemerintah. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa tingkat deforestasi justru meningkat meskipun moratorium diberlakukan. Kenaikan tingkat deforestasi ini terjadi di hutan sekunder atau di wilayah berhutan di dalam konsesi yang tidak dilindungi oleh kebijakan moratorium. Perpanjangan ini juga tidak menyelesaikan masalah tumpang tindih izin yang ada di hutan moratorium yang mencapai 5,7 juta hektar. Dengan demikian, sekitar 48,5 juta hektar

hutan hujan Indonesia masih tetap terancam.”14

Data Kebakaran Hutan di Indonesia.15

(10)

1 2014 8.245,14 hektar

2 2015 146.969,66 hektar

Data Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah17

No Tahun Luas Kebakaran

1 2014 4.022,85 hektar

2 2015 122.882,90hektar

Data Kebakaran Hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur18

No Tahun Luas Kebakaran

1 2014 4.536.00 hektar

2 2015 8.715.60 hektar

D.

Pengaturan Kebakaran di Indonesia

1.

Konsep Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran

Hutan

Pengertian pencegahan kebakaran hutan adalah suatu tindakan

sebelum api menyebar menyebar lebih luas maka dari itu di perlukannya

17 Ibid

18 Data kejadian kebakaran hutan, lahan dan kebun di seluruh kecamatan tahun 2014 dinas

(11)

suatu tindakan seperti tidak membuang sampah sembarangan yang dapat

membuat terjadinya kebakaran hutan dan lain sebagainya.

Pengertian Penanggulangan kebakaran hutan adalah tindakan

menghadapi atau mengatasi kebakaran hutan yang sudah terjadi, hal-hal

apa saja yang harus di lakukan seperti melakukan pemadaman kebakaran

agar tidak menyebar lebih luas lagi.

Tugas dari pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan

a. Pemerintah yang membuat kebijakan tentang mencegah dan

menanggulangi kebakaran hutan dan membentuk lembaga yang

bertugas mengendalikan kebakaran hutan.

b. Pemerintah daerah membuat kebijakan tentang mencegah dan

menanggulangi kebakaran hutan dan menunujuk instansi yang

berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan.

c. Pemegang Izin bertanggung jawab apabila terjadi kebakaran hutan

yang berada di areal kerjanya seperti pemadaman serta melakukan

penanaman kembali (reboisasi) jika tempat yang terbakar adalah

areal kerjanya.

d. Masyarakat juga memegang peran pencegahan dan

penanggulangan kebakaran hutan yaitu melakukan tindakan awal

(12)

2.

Perjanjian ASEAN

ASEAN sendiri telah membuat suatu perjanjian yang di buat dalam

koferensi yang di namakan Agreement On Transboundary Haze Pollution

yang bertujuan untuk untuk mengatasi masalah kabut asap lintas batas

negara.Persetujuan ini merupakan reaksi terhadap krisis lingkungan hidup

yang melanda Asia Tenggara.

Krisis ini terutama disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara

pembakaran di pulau Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Melayu dan

beberapa tempat lainnya yang tentu saja mempengaruhi beberapa negara

yang berada tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunnei

Darussalam.

Isi dari perjanjian ini adalah pencegahan yang di mana berisi di

antaranya pencegahan dan monitoring.“Masing-masing Pihak harus

melakukan tindakan untuk mencegah dan mengendalikan Kegiatan yang

berkaitan dengan kebakaran lahan dan / atau kebakaran hutan yang dapat

terjadi Polusi kabut lintas batas, yang meliputi:

a. Mengembangkan dan menerapkan peraturan legislatif dan peraturan

lainnya Langkah-langkah, serta program dan strategi untuk

dipromosikan Kebijakan zero burning untuk mengatasi kebakaran

lahan dan / atau kebakaran hutan Menghasilkan polusi kabut lintas

(13)

b. Mengembangkan kebijakan lain yang tepat untuk mengekang aktivitas

itu Dapat menyebabkan kebakaran lahan dan / atau kebakaran hutan;

c. Mengidentifikasi dan memantau daerah rawan terjadinya lahan Dan /

atau kebakaran hutan;

d. Memperkuat manajemen kebakaran dan pemadaman kebakaran lokal

Kemampuan dan koordinasi untuk mencegah terjadinya tanah Dan /

atau kebakaran hutan;

e. Membarikan pengetahuan dan membangun kesadaran dan mengajak

masyarakat berpartisipasi dalam kebakaran Pengelolaan untuk

mencegah kebakaran lahan dan / atau kebakaran hutan dan kabut asap

Polusi yang timbul dari kebakaran tersebut;

f. Mempromosikan dan memanfaatkan pengetahuan dan praktik pribumi

Dalam pencegahan dan pengelolaan kebakaran; dan

g. Memastikan bahwa pemerintahdan / atau lainnya yang relevan dalam

mengambil langkah untuk mengendalikan pembakaran terbuka dan

mencegah Pembukaan lahan dengan menggunakan api.”19

Selain itu juga ada monitoring yang terdapat dalam Pasal 7

yaitu mengenai monitoring yang berisi :

1. Masing-masing Pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk

memantau:

a. Semua daerah rawan kebakaran,

(14)

b. Semua kebakaran lahan dan/atau kebakaran hutan

c. Kondosi lingkungan yang kondusif untuk lahan tersebut

dan/atau kebakaran hutan dan,

d. Polusi kabut yang timbul dari kebakaran lahan dan / atau

hutan tersebut.

2. Setiap Pihak harus menunjuk satu atau lebih badan untuk berfungsi

sebagai Pusat Pemantauan Nasional, untuk melakukan pemantauan

Untuk di ayat (1) diatas sesuai dengan yang bersangkutan Prosedur

nasional.

3. Para Pihak, jika terjadi kebakaran, harus memulai Tindakan segera

untuk mengendalikan atau memadamkan api.”20

3.

Peraturan Perundang-undangan Indonesia

a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pasal 47

Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :

a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan

hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan

(15)

b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan

per- orangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta

perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.21

Dalam pasal ini memuat tentang maksud dari perlindungan dan

kawasan hutan dan usaha-usaha apa saja yang di lakukan untuk

melakuakn perlindungan hutan dan kawasaan hutan.

Pasal 49

“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran

hutan di areal kerjanya.”22

Setiap orang merupakan pemegang hak atau izin bertanggung jawab

bila terjadi kebakaran di daerah tempat seseorang itu bekerja.

Pasal 50

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan

hutan.

(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil

hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu

dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan

kerusakan hutan.

(16)

(3) Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan

radius atau jarak sampai dengan:

1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan

sungai di daerah rawa;

3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;

6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan

pasang terendah dari tepi pantai.

d. membakar hutan;

e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan

di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat

yang berwenang;

f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,

menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan

yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan

(17)

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi

atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan,

tanpa izin Menteri;

h. sai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi

bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak

ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat

yang berwenang;

j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang

lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut

hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang

berwenang;

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan

tanpa izin pejabat yang berwenang;

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan

kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan

atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;

dan

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut

tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi

undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari

(18)

(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut

tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal ini berisi larangan-larangan yang tidak boleh di langgar

oleh masyarakat baik yang mendapatkan izin membakar maupun tidak

mendapat izin.23

b. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan hidup.

Pasal 21 ayat (3) huruf c

(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:24

c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan

dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

Jadi dalam pasal ini kebakaran hutan merupakan salah satu

kriteria baku kerusakan ekosistem.

c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Kerusakan Hutan.

Pasal 6

23 Pasal 50, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

24 Pasal 21, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

(19)

(1) Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat

kebijakan berupa:

a. koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan;

b. pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan

hutan;

c. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian

hutan;

d. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis

sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan

e. pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan

pemberantasan perusakan hutan.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif dengan

mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan

teknologi pengolahan.

(3) Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui

penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta

(20)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu alternatif

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan

Menteri.25

Dalam pasal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah

membuat suatu kebijakan untuk mencegah terjadinya kerusakan

hutanyang dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan

meningkatkan peran serta masyarakat.

Pasal 7

Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan

hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan

hutan.26

Pasal 8

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan

pemberantasan perusakan hutan.

(2) Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak

secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak

langsung, maupun yang terkait lainnya.

25 Pasal 6, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Kerusakan Hutan.

(21)

(3) Tindakan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

di sidang pengadilan.27

Dalam pasal ini pemerintah berekewajiban melakuakan

pemberantasan perusakan hutan cara menindak secara hukum pelaku

perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait

lainnya.

Pasal 9

Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan

berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan

lain dalam Undang-Undang ini.28

Pasal 10

Perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk

diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya.29

d.Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan

Pasal 1 ayat (1)

27 Pasal 8, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Kerusakan Hutan.

(22)

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

1. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan

membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,

yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,

daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan

dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas

hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat

yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Pasal ini30 berisi tentang usaha untuk mencegah dan

membatasi kerusakan hutan yang di sebabkan oleh manusia

dan faktor-faktor lainnya serta hak-hak atas hutan.

Pasal 6 huruf a

Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi:

a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan

hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.31

Pasal ini berisi penjelasan tentang prinsip-prinsip perlindungan

hutan yang meliputi tentang mencegah dan membatasi kerusakan

hutan.

(23)

Pasal 8 ayat (4) huruf b

(4) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3) meliputi :

b. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan,

kawasan hutan dan hasil hutan termasuk tumbuhan dan

satwa;32

Dalam pasal ini berisi perlindungan hutan dimana seseorang

yang areal tempat dia bekerja terdapat hutan dan juga makhluk

harus melindunginya.

Pasal 10 ayat (2) huruf b

(2) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi kegiatan antara lain :

b. pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak

kebakaran;33

Jadi pada pasal ini kegiata perlindungan hutan dapat dilakukan

dengan pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak

kebakaran.

Pasal 18

(24)

1) Perlindungan hutan dari kebakaran sebagaimana dimaksud

pada Pasal 6 huruf a, adalah untuk menghindari kerusakan

hutan yang disebabkan oleh:

a. perbuatan manusia;

b. daya-daya alam.

2) Perbuatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, antara lain :

a. melakukan pembakaran hutan tanpa izin; atau

b. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan

kebakaran.

3) Daya-daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b, antara lain akibat petir, gunung berapi, reaksi sumber

daya alam dan atau gempa.34

Maksud dari pasal ini adalah melindungi dari sumber-sumber

penyebab kebakaran seperti manusia dan faktor alam misalnya

seperti petir.

Pasal 19

1) Setiap orang dilarang membakar hutan.

2) Pengecualian dari larangan membakar hutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diperbolehkan dilakukan secara

(25)

terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat

dielakkan, meliputi :

a. pengendalian kebakaran hutan;

b. pembasmian hama dan penyakit;

c. pembinaan habitat tumbuhan dan satwa;

3) Pelaksanaan pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau

kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) harus mendapat izin dari pejabat yang

berwenang.

4) Pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang

tidak dapat dielakkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diatur lebih lanjut oleh Menteri.35

Dalam pasal ini menjelaskan bahwa pembakaran hutan dapat

dilakukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dapat dielakan seperti

serangan oleh hama dan hal tersebut harus mendapat izin

sebelumnya.

Pasal 20

1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan. hutan yang

disebabkan oleh kebakaran sebagaimana dimaksud pada

Pasal 6 huruf a, dilakukan kegiatan pengendalian, yang

meliputi :

(26)

a. pencegahan;

b. pemadaman;

c. penanganan pasca kebakaran.

2) Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan pada

tingkat :

a. nasional;

b. provinsi;

c. kabupaten/kota;

d. unit atau kesatuan pengelolaan hutan.

3) Pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional dilakukan

oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.

4) Pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi dilakukan

oleh dan menjadi tanggung jawab Gubernur.

5) Pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten/kota

dilakukan oIeh dan menjadi tanggung jawab

Bupati/Walikota.

6) Pengendalian kebakatan hutan tingkat kesatuan

pengelolaan hutan dilakukan oleh dan menjadi tanggung

(27)

Pada pasal berisi tentang perlindungan hutan terhadap hutan

dimualai dari pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca

kebakaran.36

Pasal 21

1) Pada tingkat nasionaI Menteri menetapkan program

pengendalian .kebakaran hutan tingkat nasional.

2) Pada tingkat provinsi Gubernur menetapkan program

pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi

3) Pada tingkat kabupaten/kota, Bupati/Walikota menetapkan

rencana pengendalian kebakaran hutan.

4) Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan, Kepala Kesatuan

Pengelolaan Hutan menetapkan rencana kegiatan

pengendalian kebakaran hutan.37

Pada pasal mentakan bahwa program pengendalian kebakaran

hutan dilaksanakan pada tingkat nasional, provinsi,

kabupaten/kota, sampai kesatuan pengelola hutan.

Pasal 22

1) Dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan,

Pemerintah membentuk lembaga pengendalian kebakaran

(28)

hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit

pengelolaan hutan.

2) Lembaga pengendalian kebakaran hutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), disebut brigade pengendalian

kebakaran hutan.

3) Brigade pengendalian kebakaran hutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) bertugas menyusun dan

melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan.

4) Koordinasi dan tata hubungan kerja brigade pengendalian

kebakaran hutan diatur dengan Keputusan Menteri.38

Pada pasal ini berisi tentang lembaga yang di betuk oleh

pemerintah untuk mengendaliakn kebakaran hutan dan bertugas

untuk menyusun dan melaksanakan program pengendaliaj

kebakaran hutan.

Pasal 23

1) Dalam rangka pencegahan kebakaran hutan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 20 ayat ( 1) huruf a, dilakukan

kegiatan:

a. Pada tingkat nasional, antara lain :

1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional;

2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan;

(29)

3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;

4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran

hutan;

5.membuat program penyuluhan dan kampanye

pengendalian kebakaran;

6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran;

dan

7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

b. Pada tingkat provinsi, antara lain :

1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan provinsi;

2. membuat model-model penyuluhan;

3. melaksanakan pelatihan pencegahan kebakaran hutan;

4. membuat petunjuk pelaksanaan pemadaman

kebakaran hutan;

5. mengadakan peralatan pemadam kebakaran hutan;

dan

6. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

c. Pada tingkat kabupaten/kota, antara lain :

1. melakukan evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan;

2. melaksanakan penyuluhan;

3. membuat petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman

kebakaran hutan;

(30)

5. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

d. 1. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi,

kesatuan pengelolaan hutan lindung, izin

pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan hutan

dan hutan hak, antara lain:

a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran

hutan;

b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;

c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;

d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran

hutan;

e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan;

dan

f) membuat sekat bakar .

2. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan konservasi,

antara lain:

a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran

hutan;

b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;

c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;

d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran

(31)

e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan;

dan

f) membuat sekat bakar.

2) Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pencegahan

kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur oleh Menteri.39

Pada pasal ini berisi tentang kegiatan-kegiatan apa saja yang

dilakukan dalam melaksanakan pencegahan pembakaraan hutan

baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai satuan

pengelola hutan.

Pasal 24

1) Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana

dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf b, maka setiap

Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin

Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban

melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara :

a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan;

b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada;

c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api;

(32)

d.memobilisasi masyarakat untuk mempercepat

pemadaman.

2) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang izin

Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan melakukan :

a. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh masyarakat

dalam rangka mempercepat pemadaman, evakuasi,

litigasi dan mencegah bencana;

b. pelaporan kepada Bupati/Walikota tentang kebakaran

hutan yang terjadi dan tindakan pemadaman yang

dilakukan.

3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf b, Bupati/Walikota melakukan :

a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;

b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi

instansi terkait dan tokoh masyarakat;

c. penyampaian laporan kepada Gubernur dan Menteri

tentang kebakaran hutan yang terjadi, tindakan yang

sudah dan akan dilakukan.

4) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Gubernur melakukan :

(33)

b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi

instansi terkait dan tokoh masyarakat;

c. penyampaian laporan kepada Menteri tentang kebakaran

hutan yang terjadi, tindakan yang sudah dan akan

dilakukan.

5) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3),dan ayat (4), Menteri melakukan:

a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;

b. koordinasi dan mobilisasi tenaga, sarana dan prasarana

kebakaran hutan.

6) Dalam rangka koordinasi dan mobilisasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) huruf b, Menteri membentuk Pusat

Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan.40

Dalam pasal ini Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang

Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan

rangkaian tindakan pemadaman yang bekerja sama dengan

bupati/walikota.

Pasal 25

(34)

Koordinasi dan tata hubungan kerja pemadaman kebakaran

sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 diatur dengan Keputusan

Menteri.41

Pasal 26

Untuk membatasi meluasnya kebakaran hutan dan mempercepat

pemadaman kebakaran setiap orang yang berada di dalam dan di

sekitar hutan wajib :

a. melaporkan kejadian kebakaran hutan kepada Kepala Desa

setempat, petugas Kehutanan, Kepala Kesatuan

Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,

Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik

Hutan Hak;

b. membantu memadamkan kebakaran hutan.42

Dalam pasal ini setiap orang wajib meleporkan kejadian

kebakaran hutan kepada pihak yang tau cara mengatasi kebakaran

hutan agar kebakaran cepat dapat di padamkan.

Pasal 27

(35)

Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf c, dilakukan upaya kegiatan

yang meliputi:

a. identifikasi dan evaluasi;

b. rehabilitasi;

c. penegakan hukum.43

Jadi dalam dalam pasal ini untuk menangani pesca kebakaran

di lakukan identifkasi dan evaluasi, rehabilitasi, serta penegakan

hukum bagi para pelaku.

Pasal 28

1) Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin

Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan

Hutan, atau Pemilik Hutan Hak melakukan kegiatan

identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada

Pasa1 27 huruf a.

2) Kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), berupa :

a. pengumpulan data dan informasi terjadinya kebakaran;

b. pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran;

c. analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi;

(36)

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi dan evaluasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.44

Masih berhubnungan dengan Pasal 27, pada pasal ini Kepala

Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,

Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik Hutan

Hak melakukan kegiatan identifikasi dan evaluasi.

Pasal 29

1) Berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada

Pasal 28 ayat (2), dilakukan kegiatan rehabilitasi.

2) Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh Kepala Kesatuan

Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,

Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik

Hutan Hak.

3) Kegiatan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah

tersendiri. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Pidana dan

Perdata 45

Selain itu juga Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang

Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan

Hutan, atau Pemilik Hutan Hak melakukan kegiatan rehabilitasi.

(37)

Pasal 30

1) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin

Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak

bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal

kerjanya.

2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi :

a. tanggung jawab pidana;

b. tanggung jawab perdata;

c. membayar ganti rugi; dan atau

d. sanksi administrasi.46

Bagi para Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin

Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung

jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya baik dalam

tangguang jawab pidana, perdata, membayar ganti rugi, maupun

sanksi administrasi.

Pasal 31

(38)

Penegakan hukum terhadap tindak pidana kebakaran hutan

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.47

e. Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian

Kebakaran Hutan

Pasal 5

(1) Organisasi Dalkarhutla sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

huruf a merupakan organisasi pelaksana pengendalian

kebakaran hutan dan lahan.

(2) Organisasi Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dibentuk berdasarkan:

a. Tingkat Pemerintahan;

b. Tingkat Pengelolaan.48

Dalam pasal ini Menteri lingkungan hidup dan kehutanan

mendirikan suatu organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan

(Dalkarhutla) dengan tujuan terjaminnya efektifitas dan efisiensi

jangkauan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Pasal 65

47 Pasal 31, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. 48 Pasal 5, Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR

(39)

Kegiatan Dalkarhutla, sekurang-kurangnya terdiri atas:

a. perencanaan;

b. penyelenggaraan pencegahan;

c. penyelenggaraan penanggulangan;

d. penyelenggaraan penanganan pasca kebakaran;

e. koordinasi kerja;

f. status kesiagaan.49

Pasal ini menyebutkan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh

dalkarhutla dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.

Pasal 69

1) Penyelenggaraan pencegahan karhutla mencakup

pemberdayaan masyarakat, penyadartahuan, pengurangan

resiko karhutla, kesiapsiagaan, pelaksanaan peringatan dini dan

patroli pencegahan.

2) Kegiatan pencegahan karhutla sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), meliputi:

a. penerapan agroforestry, agro silvo pastura, silvo pastura dan

kegiatan sejenisnya;

b. sosialisasi dan/atau penyuluhan pencegahan karhutla melalui

berbagai ragam metode;

49Pasal 65, Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR

(40)

c. kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan dalam

rangka penyadarantahuan pencegahan karhutla;

d. pembuatan bahan kampanye dan/atau alat peraga

pencegahan karhutla;

e. gerakan pencegahan karhutla;

f. pendampingan masyarakat peduli api;

g. praktek pembukaan lahan tanpa bakar;

h. pembuatan dan/atau pengelolaan sekat bakaran;

i. pembuatan kompos hasil limbah vegetasi;

j. pengelolaan bahan bakaran;

k. pembuatan sekat kanal, embung dan kantong air;

l. pemantapan organisasi dan prosedurnya;

m. simulasi mobilisasi berbagai tingkatan;

n. peningkatan koordinasi melalui rapat kerja, rapat koordinasi,

kunjungan kerja dan lain-lain;

o. peringatan dini dan aplikasi sistem peringkat bahaya

kebakaran atau sistem sejenisnya;

p. pembuatan, pemasangan dan sosialisasi rambu-rambu dan

papan peringatan pencegahan karhutla;

q. pembuatan, penyajian dan penyebar-luasan informasi

(41)

r. pembuatan, penyajian dan penyebar-luasan informasi

sumberdaya pengendalian karhutla nasional, provinsi,

kabupaten/kota, kecamatan dan desa; dan

s. patroli pencegahan dalkarhutla.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pencegahankarhutla

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan

Direktur Jenderal.50

Dalam pasal ini menjelaskan tentang apa saja kegiatan dalam

penyelenggaraan pencegahan karhutla yang mencangkup mencakup

pemberdayaan masyarakat, penyadartahuan, pengurangan resiko

karhutla, kesiapsiagaan, pelaksanaan peringatan dini dan patroli

pencegahan.

Pasal 71

(1) Penyelenggaraan penanggulangan karhutla, meliputi:

a. deteksi dini;

b. pemadaman awal;

c. koordinasi pemadaman;

d. mobilisasi pemadaman;

e. pemadaman lanjutan;

f. demobilisasi pemadaman;

50 Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016

(42)

g. evakuasi dan penyelamatan.

(2) Kegiatan penanggulangan karhutla meliputi:

a. penerapan deteksi dini melalui berbagai macam metode

pengamatan seperti deteksi melalui menara pengawas, aplikasi

berbagai jenis kamera/CCTV, penginderaan jauh (potret udara

atau citra satelit);

b. pengolahan data dan informasi hotspot;

c. penyebarluasan data dan informasi hotspot;

d. penetapan level kesiagaan;

e. penetapan Posko dalkarhutla;

f. pelaksanaan pengukuran api (size up);

g. pendirian posko lapangan;

h. pemadaman langsung;

i. pembuatan ilaran api;

j. pemadaman tidak langsung;

k. dukungan pemadaman udara;

l. penyapuan bara api atau mopping up;

m. keselamatan diri.

(3) Evakuasi dan penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf g, berupa dukungan evakuasi dan penyelamatan dilakukan

terhadap:

a. korban manusia yang berasal dari penduduk sekitar lokasi

(43)

b. tumbuhan langka dan satwa liar (TSL) yang memungkinkan

untuk dievakuasi.

c. aset publik berupa fasilitas umum yang bersifat vital dan berada

di sekitar areal bencana.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penanggulangan

karhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan

Peraturan Direktur Jenderal.51

Pasal ini menjelaskan tentang Penyelenggaraan penanggulangan

karhutla dimulai dari jenisnya, kegiatan penyelenggaraan karhutla dan

evakuasi bagi korban.

Pasal 73

(1) Penyelenggaraan penanganan pasca karhutla, meliputi:

a. pengawasan areal bekas terbakar;

b. inventarisasi luas karhutla;

c. penaksiran kerugian; dan

d. koordinasi penanganan pasca karhutla.

(2) Kegiatan penanganan pasca karhutla, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), meliputi:

a. penaksiran luas;

b. analisa vegetasi bekas terbakar;

51 Pasal 71, Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR

(44)

c. penaksiran kerugian;

d. rekomendasi pelaksanaan rehabilitasi areal bekas terbakar

e. investigasi sebab-sebab kebakaran;

f. melakukan penandaan dengan garis Polisi dan/atau garis PPNS

Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

g. detasering terhadap areal pasca karhutla;

h. melakukan penyidikan; dan

i. monitoring dan menindaklanjuti segala hal terkait pelaksanaan

penanganan proses penegakan hukum bidang karhutla.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penanganan pasca

karhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lanjut

dengan Peraturan Direktur Jenderal.52

Dalam pasal ini menjelaskan tentang penyelenggaraan penanganan

pasca karhutla seperti kegiatannya yang harus di lakukan dalam

menangani pasca kebakaran hutan.

3.

Peraturan Daerah

a. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun

2003 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

Pasal 3

52 Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016

(45)

Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan/atau

pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan

dan/atau lahan.53

Pasal 4

Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan

dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan/atau pencemaran

lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau

lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/lahan di lokasi

usahanya.54

Dalam pasal ini dijelakan bahwa setiap pelaku usaha yang

usahanya bisa menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan

yang dapat menimbulkan kebakaran hutan wajib mencegah agar

kebakaran hutan tersebut tidak terjadi.

Pasal 5 ayat (1)

(1) Setiap Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk

mecegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi

usahanya.55

53 Pasal 3, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pengendalian

Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

54 Ibid Pasal 4.

55 Pasal 5 ayat (1), Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 Tentang

(46)

Pada pasal ini di jelakan bahwa pelaku usaha wajib memiliki

sarana dan prasarana yang memadai agar dapat mencegah kebakarn

hutan terjadi.

Pasal 6

Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib

melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan

dan/atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara

berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada

Gubernur/Bupti/Walikota dengan tembusan kepada instansi yang

bertanggung jawab.56

Setiap pelaku usaha wajib melakukan pemantauan untuk mecegah

terjadinya kebakaran hutan di lokasi usahanya dan melaporkan

hasilnya sekurang-kurangnya 6 bualan sekali.

Pasal 7

Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan

dan/ataulahan dilokasi kerjanya.57

Pasal 8

56 Ibid Pasal 6.

57 Pasal 7, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pengendalian

(47)

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan

dan/atau lahan dilokasi usahanya dan wajib segera melakukan

penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan dilokasi

usahanya.58

Setiap pelaku usaha wajib bertanggung jawab untuk

menanggulangi kebakaran hutan apabila terjadi kebakaran hutan di

lokasi usaha miliknya.

b.Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 7

Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya

Kebakaran di Kabupaten Kotawaringin Timur.

Pasal 44

(1) Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran diareal

miliknya apabila terjadi kebakaran atau terbakar di luar waktu

yang di tetapkan pada pasal 43 Peraturan Daerah ini.

(2) Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan

atau lahan yang bersumber dari lahan miliknya.

(3) Setiap instansi yang di tunjuk oleh pemerintah daerah untuk

bencana kebakaran hutan dan lahan berkewajiban penuh untuk

(48)

menanggulangi kebakaran hutan dan lahan baik yang terjadi

disengaja atau tidak disengaja oleh pihak manapun.59

Dalam pasal ini setiap orang berkewajiban untuk menanggulangi

kebakaran hutan di area yang bersumber dari miliknya dan juga

instansi yang ditunjuk oleh pemerintah berkewajiban penuh untuk

menanggulangi kebakaran hutan dan lahan baik yang terjadi disengaja

atau tidak disengaja oleh pihak manapun.

Pasal 47

(1) Dalam koordinasi penanggulangan kebakaran bupati dapat

membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang

penegndalian kebakaran hutan dan atau lahan didaerah.

(2) Instansi yang berwenang sebagaiamana pada ayat (1), melakuakan

inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensi

menimbulkan kerusakan dan atau pencematran lingkungan hidup,

penyususnan startegi, rencana dan biaya pemulihan dampak

lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau

pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan

dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten.60

59 Pasal 44, Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 7 Tahun 2003 tentang

Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran di Kabupaten Kotawaringin Timur.

60 Pasal 47, Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 7 Tahun 2003 tentang

(49)

Dalam pasal ini bupadi dapat membentuk atau menunjuk instansi

yang berwenang di bidang penegndalian kebakaran hutan dan atau

lahan didaerah dan melakuakan inventarisasi terhadap usaha dan atau

kegiatan yang potensi menimbulkan kerusakan dan atau pencematran

lingkungan hidup.

Pasal 48

(1) Setiap orang atau badan atau perusahaan perkebunan yang

melakuakan pembakaran hutan/lahan terencana yang

mengakibatkan terbakarnya areal hutan diluar lokasi miliknya

wajib melakukan pemulihan seperti penanaman/pemeliharaan

tanaman bernilai ekonomis dan atau membayar ganti rugi.

(2) Setiap orang sebagaimana ayat (1) pasal ini wajib melaporkan

upaya pemulihan yang dilakukannya kepada pemerintah daerah.61

Dalam pasal ini perusahaan yang perkebunan yang pembakaran

hutan/lahan terencana yang mengakibatkan terbakarnya areal hutan

diluar lokasi miliknya wajib melakukan pemulihan seperti

penanaman/pemeliharaan tanaman bernilai ekonomis dan atau

membayar ganti rugi.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu pembelajaran yang bisa digunakan dalam strategi pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri, lebih aktif, dan

Data yang dianalisa ialah data hasil praktikum spektrofotometer yang menunjukkan absorpsi Antosianin terhadap panjang gelombang monokroamatik yang

• Wajib memakai kasut gelanggang (court shoes) yang tidak meninggalkan4. kesan di permukaan gelanggang (non marking

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah peraturan hukum terhadap TKI di Provinsi Lampung diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia

6.3.3 Seseorang peserta yang menarik diri daripada mana-mana acara atas nasihat Pegawai Perubatan hanya boleh mengambil bahagian seterusnya dalam semua acara yang didaftarkan

Mendiskripsikan model pembelajaran perolehan konsep yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-B MTs Al- ma’arif Tulungagung pada pelajaran matematika materi

Salah satunya Alternative Dispute Resolutio / (ADR) atau biasa disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di luar pengadilan. Permasalahan yang diteliti

Hal tersebut dapat dibuktikan dari analisis data dengan menggunakan SPSS 16,0 yang menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara berpikir positif siswa pada matematika