• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakoekonomi

2.1.1 Definisi Farmakoekonomi

Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi pada masyarakat atau sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik, studi farmakoekonomi adalah proses identifikasi, pengukuran, dan membandingkan biaya, risiko, dan manfaat dari program, pelayanan, atau terapi dan menentukan alternatif yang memberikan keluaran kesehatan terbaik untuk sumber daya yang digunakan (Tri Murti, 2013).

2.1.2 Tujuan Farmakoekonomi

Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga dapat membandingkan pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001).

Hasil kajian farmakoekonomi dijadikan sebagai informasi untuk membantu pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat untuk menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan (Trisna, 2010).

2.1.3 Metode Farmakoekonomi

(2)

farmakoekonomi. Hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode farmakoekonomi dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Metode analisis dalam kajian Farmakoekonomi Metode analisis Karakteristik analisis pengobatan diukur dalam unit alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah

Analisis Utilitas Biaya (AUB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted lfe years/ biaya dalam rupiah

Analisis Manfaat Biaya (AMB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah/biaya dalam rupiah

a. Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB)

(3)

b. Analisis Efektivitas Biaya (AEB)

Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana dan banyak digunakan untuk kajian farmakoekonomi dengan membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati, et al., 2009). Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam dan mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam. Oleh sebab itu, AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki tujuan sama (Kementrian Kesehatan RI., 2013).

Hasil AEB digambarkan sebagai rasio, baik dengan cost-effectiveness ratio (CER) atau sebagai incremental cost-effectiveness ratio (ICER). CER menggambarkan total biaya program atau alternatif dibagi dengan outcome klinik, dipresentasikan sebagai unit moneter per outcome klinik spesifik yang dihasilkan sehingga klinisi dapat memilih alternatif dengan biaya lebih rendah untuk setiap outcome yang diperoleh (Tri Murti, 2013).

c. Analisis Utilitas Biaya (AUB)

(4)

QLAY. Kekurangan metode ini adalah sulit untuk menentukan utilitas atau QLAY secara tepat (Tri Murti, 2013).

d. Analisis Manfaat Biaya (AMB)

Analisis manfaat biaya (AMB) adalah suatu teknik analisis dalam ilmu farmakoekonomi yang menghitung dan membandingkan biaya suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya dan diekspresikan dalam satuan moneter (Kementrian Kesehatan RI., 2013).

Kelebihan AMB adalah beberapa luaran yang berbeda dapat dibandingkan, luaran diukur dengan nilai mata uang. Kekurangan AMB adalah bahwa menempatkan nilai ekonomi pada luaran medik bukan merupakan hal yang mudah dan tidak ada kesepakatan bersama metode standar untuk bisa memenuhinya (Tri Murti, 2013).

2.1.4 Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi 4 kategori (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Tipe Kategori Biaya rumah sakit, penginapan untuk keluarga pasien

3 Indirect cost (biaya tidak langsung) Produktivitas pasien yang hilang, produktivitas dari caregiver yang tidak terbayarkan.

4 Intangible cost (biaya tidak teraba) Nyeri, lemah, cemas

(5)

a. Direct medical costs (biaya medis langsung)

Biaya medis langsung adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan input yang digunakan secara langsung untuk memberikan terapi. Misalnya biaya

obat, test diagnostik, kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat atau biaya rawat inap (Tri Murti, 2013).

b. Direct nonmedical cost (biaya non-medis langsung)

Biaya non medis langsung adalah biaya untuk pasien atau keluarga yang terkait langsung dengan perawatan pasien tetapi tidak langsung terkait dengan terapi. Misalnya biaya menuju rumah sakit, klinik, makanan dan penginapan yang dibutuhkan pasien dan keluarga selama terapi di luar kota (Tri Murti, 2013). c. Indirect cost (biaya tidak langsung)

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit (Bootman, et al., 2005).

d. Intangible cost (biaya tidak teraba)

Biaya tidak teraba adalah biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien/keluarganya (Bootman, et al., 2005).

2.2 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Ndraha, 2014).

(6)

lipid, protein sebagai akibat insufiensi fungsi insulin. Insufiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dikelompokkan ke dalam 4 jenis:

a. Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Diabetes mellitus (DM) Tipe 1 merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM Tipe 1 (DMT1) terjadi karena adanya destruksi sel pankreas karena autoimun. Destruksi autoimun dari sel-sel pulau Langerhans mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolism yang menyertai DMT1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

b. Diabetes Mellitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa di hati (ADA, 2010).

(7)

terjadi perusakan sel-sel Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DMT1. Oleh karena itu defisiensi fungsi insulin pada penderita DMT2 hanya bersifat relatif (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes mellitus (DM) tipe ini terjadi pada masa kehamilan akibat intoleransi glukosa, pertama kali pada masa kehamilan biasanya pada trisemester kedua dan ketiga dan bersifat sementara. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita diabetes lagi di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko tersebut (ADA, 2010).

d. Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes mellitus (DM) tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel , defek genetik fungsi insulin, penyakit eksokrin pankreas, infeksi virus dan kelainan genetik lain (ADA, 2010).

2.2.2 Epidemiologi

Mayoritas pasien diabetes merupakan pasien DMT2. Di USA, sekitar 90% seluruh pasien diabetes menderita DMT2. Angka insiden DMT2 meningkat dengan bertambahnya usia (Stephen, dkk., 2012).

(8)

2.2.3 Faktor Risiko Diabetes Tipe 2

Beberapa faktor risiko DM terutama untuk DMT2 dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Faktor risiko DMT2

1 Riwayat Diabetes dalam keluarga Diabetes Gestasional

Melahirkan bayi dengan berat badan > 4kg Kista ovarium

2 Obesitas > 120 % berat badan ideal

3 Umur 20-59 tahun: 8,7%

> 65 tahun: 18% 4 Hipertensi > 140/90 mmHg

5 Hiperlipidemia Kadar HDL rendah < 35 mg/dL Kadar lipid darah tinggi > 250 mg/dL 6 Faktor lain Kurang olahariaga

Pola makan rendah serat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005)

2.2.4 Gejala Klinik

Penyakit DM ditandai dengan gejala 3P, yaitu poliuri (banyak berkemih), polidpsi (banyak minum), dan polifagi (banyak makan). Di samping meningkatnya KGD, diabetes bercirikan adanya “gula” dalam kemih (glycosuria).

Hal ini karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul rasa haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih (Tjay, 2010).

Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali dapat mengganggu (pruritus) dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.2.5 Diagnosis

(9)

Tabel 2.4 Kriteria Penegakan Diagnosis

No Kriteria Diagnosis Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam setelah makan

1 Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL

2 Pra-diabetes 100-125 mg/dL -

3 IFG atau IGT - 140-199 mg/dL

4 Diabetes > 126 mg/dL > 200 mg/dL

Impaired Fasting Glucose (IFG) adalah keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dL (kadar glukosa darah puasa normal < 100 mg/dL). Impaired Glucose Tolerance (IGT) adalah keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosis IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dL (Soegondo, 1995).

2.2.6 Komplikasi Penyakit Diabetes Mellitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai.

a. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

b. Hiperglikemia

(10)

kelelahan yang parah (fatigue) dan pandangan kabur (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Komplikasi Makrovaskular

Komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak dan penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi ini sering dirasakan pada penderita DMT2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, atau kegemukan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

d. Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada penderita DM antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Hal ini dikarenakan terjadi penyumbatan pada pembuluh darah yang diakibatkan oleh KGD yang tinggi (hiperglikemia) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.2.7 Penatalaksaan Diabetes

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM yang secara spesifik ditunjukkan untuk mencapai 2 target utama yaitu menjaga agar kadar glukosa plasma berkisar dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksaan diabetes yaitu pendekatan tanpa obat dan pendekatan dengan obat.

2.2.7.1 Terapi Non Farmakologi

(11)

a. Pengaturan Diet

Diet merupakan salah satu penanganan pada penderita DM. Diet yang dianjurkan adalah makan dengan komposisi yang seimbang antara karbohidrat, protein dan lemak. Proporsi diet yang seimbang dan baik terdiri dari karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-25%) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

b. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah agar tetap normal. Prinsipnya tidak perlu berolah raga berat, namun ringan dan dilakukan secara teratur. Olahariaga yang disarankan bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Olahariaga aerobik ini paling tidak dilakukan selama 30-40 menit per hari (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.2.7.2 Terapi Farmakologi

Apabila dengan langkah pertama tujuan belum tercapai, maka dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral atau kombinasi keduanya.

a. Insulin

Insulin merupakan obat utama untuk DMT1 dan beberapa jenis DMT2, tetapi banyak pasien DM yang enggan disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karenanya terapi edukasi pasien DM sangatlah penting agar pasien sadar akan perlunya terapi insulin (Suherman, 2007).

(12)

DMT1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DMT2 tidak memerlukan insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005)

Ada beberapa jenis sediaan insulin yang berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 3 kelompok:

a. Insulin masa kerja cepat (Short-acting/insulin)

Insulin yang bekerja cepat memungkinkan penggantian insulin pada waktu makan secara lebih fisiologis karena kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya yang segera tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal (Katzung, 2012)

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal dimana mula kerjanya setelah setengah jam disuntikan (injeksi subkutan). Contohnya: Aprida, Novorapid, Actrapid, Velosulin dan Humulin Regular (Soegondo, 1995).

b. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)

Sediaan insulin ini lama kerjanya dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa macam insulin. Contohnya: Mixtard 30 HM (Tjay, 2010).

c. Insulin masa kerja panjang (Long-acting)

(13)

Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan kerja jenis-jenis insulin dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kurva Onset dan Lama Kerja Insulin (Katzung, 2012). b. Hipoglikemik oral

Obat-obat hipoglikemik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien DMT2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat hipoglikemik oral dapat dibedakan sebagai berikut:

i.Golongan Sulfonilurea

(14)

perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,2005).

ii. Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin

Obat-obat hipoglikemik oral golongan ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea yakni meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah digunakan namun lama kerjanya 5-8 jam (Katzung, 2012).

iii. Golongan Biguanida

Golongan biguanida bekerja langsung pada hati dengan cara menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia (Soegondo, 1995).

Golongan biguanida yang paling banyak digunakan adalah metformin. Metformin menurunkan glukosa darah dan menjadi pilihan utama untuk penderita diabetes obesitas ( Krentz, 2005).

iv.Golongan Tiazolidindion (TZD)

(15)

v. Golongan Inhibitor α-glukosidase

Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas

yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus (Soegondo, 1995).

c. Terapi Kombinasi

Gambar

Tabel 2.1 Metode analisis dalam kajian Farmakoekonomi
Tabel 2.2 Tipe Kategori Biaya
Tabel 2.3 Faktor risiko DMT2
Tabel 2.4 Kriteria Penegakan Diagnosis
+2

Referensi

Dokumen terkait

(Andayani, 2013). Analisis Efektivitas Biaya dapat digunakan untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas, misalnya: 1.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat, kasih, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Analisis

PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE I RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN.. OLEH: BENNY

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket INA-CBGs pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat.. Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Pada penelitian ini yang menjadi populasi target adalah pasien DM yang menerima terapi antidiabetes, yang kemudian berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi akan didapatkan

Analisis Efektivitas Biaya Berdasarkan Nilai ACER Penggunaan Insulin Dibandingkan Kombinasi Insulin-Metformin pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap

“Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket INA-CBGs pada Pasien DM Tipe I Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”.. Struktur

tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan. berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang